BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Siklus Haid 2.1.1. Definisi Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Hanafiah, 2009). Haid merupakan pengeluaran darah secara periodik, cairan jaringan dan debris sel-sel endometrium dari uterus dalam jumlah bervariasi (Jones, 2002). Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikut. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan kurang lebih satu hari. Panjang siklus haid yang normal atau dianggap sebagai siklus haid yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Juga pada kakak beradik bahkan saudara kembar, siklusnya tidak terlau sama. Panjang siklus haid dipengaruhi oleh usia seseorang. Rata-rata panjang siklus haid gadis usia kurang dari 12 tahun ialah 25,1 hari, pada wanita usia 43 tahun 27,1 hari, dan pada wanita usia 55 tahun 51,9 hari. Jadi, sebenarnya panjang siklus haid 28 hari itu tidak sering dijumpai (Hanafiah, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Lama haid biasanya antara 3-5 hari, ada yang 1-2 hari diikuti darah sedikit-sedikit kemudian, dan ada yang sampai 7-8 hari. Pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap (Hanafiah, 2009). Jumlah darah yang keluar rata-rata 33,2 ± 16 cc atau 40 mL. Pada wanita yang lebih tua biasanya darah yang keluar lebih banyak. Pada wanita dengan anemia defisiensi besi jumlah darah haidnya juga lebih banyak. Jumlah darah haid lebih dari 80 cc dianggap patologik dan dapat menimbulkan anemia. Darah haid tidak membeku; ini mungkin disebabkan fibrinolisin (Hanafiah, 2009). Suatu cara yang mudah untuk menjelaskan siklus menstruasi endometrium adalah memulainya segera setelah menstruasi berhenti dan mengikuti siklus ini sampai menstruasi berikutnya karena siklus ini melewati fase proliferatif dan sekresi (luteal) (Jones, 2002). 2.1.2. Siklus Endometrium Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, selaput lendir uterus mengalami perubahan-perubahan siklik yang berkaitan erat dengan aktivitas ovarium (Hanafiah, 2009). 2.1.2.1. Fase Proliferasi Setelah masing-masing daerah endometrium mengelupas sewaktu menstruasi,
mulai
terjadi
proses
perbaikan
regeneratif,
permukaan
endometrium dibentuk kembali dengan metaplasia sel-sel stroma dan dengan pertumbuhan keluar sel-sel epitel kelenjar endometrium. Dalam tiga hari setelah menstruasi berhenti, perbaikan seluruh endometrium sudah selesai. Endometrium pada fase proliferatif dini tipis; kelenjarnya sedikit, sempit, lurus dan dilapisi sel kuboid, dan stromanya padat. Fase regeneratif dini berlangsung dari hari ke-3 siklus menstruasi hingga hari ke-7, ketika
Universitas Sumatera Utara
proliferasi semakin cepat. Kelenjar-kelenjar epitelial bertambah besar dan tumbuh ke bawah tegak lurus terhadap permukaan. Sel-selnya menjadi kolumnar dengan nuklei di basal. Sel-sel stroma berproliferasi, tetap padat dan berbentuk kumparan. Pembelahan sel (mitosis) umum terjadi pada kelenjar dan stroma. Endometrium disuplai oleh arteri-arteri basal di miometrium yang memberikan percabangan pada sudut yang
tepat untuk mendarahi
endometrium. Pada mulanya ketika menembus endometrium basal, masingmasing arteri berjalan lurus, tetapi pada lapisan media dan superfisial arteri berubah
menjadi
spiral.
Bergelungnya
arteri
ini
memungkinkannya
memberikan suplai darah pada endometrium yang terus tumbuh hingga menjadi tidak berkelok lagi. Setiap arteri spiral mensuplai suatu daerah endometrium tertentu (Jones, 2002). Fase proliferasi ini berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid dan terbagi 3 fase yaitu fase proliferasi dini (hari ke-4 sampai hari ke-7), fase proliferasi media (hari ke-8 sampai hari ke-10), dan fase proliferasi akhir (hari ke-11 sampai hari ke-14) (Hanafiah, 2009). 2.1.2.2. Fase Luteal (Sekresi) Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai ke-28 (Hanafiah, 2009). Jika terjadi ovulasi, seperti biasanya, endometrium mengalami perubahan-perubahan yang nyata, kecuali pada awal dan akhir masa reproduksi. Perubahan ini mulai pada dua hari terakhir pada fase proliferatif, tetapi meningkat secara dramatis setelah ovulasi. Vakuol-vakuol sekretorik, yang kaya akan glikogen, tampak di dalam sel-sel yang melapisi kelenjar endometrium. Pada mulanya vakuol-vakuol tersebut terdapat di bagian basal dan menggeser inti sel ke arah superfisial. Jumlahnya cepat meningkat dan kelnjar menjadi berkelok-kelok. Pada hari keenam setelah ovulasi, fase sekresi mencapai puncak. Vakuol-vakuol telah melewati nukleus. Beberapa diantaranya sudah mengeluarkan mukus ke dalam rongga kelenjar;
Universitas Sumatera Utara
yang lain penuh dengan mukus, sehingga tampak seperti gigi gergaji. Arteri spiral bertambah panjang dengan meluruskan gelungan (Jones, 2002). Apabila tidak ada kehamilan, sekresi estrogen dan progesteron menurun karena corpus luteum menjadi tua. Penurunan ini menyebabkan peningkatan asam arakidonat dan endoperoksidase bebas di dalam endometrium. Enzim-enzim ini menginduksi lisosom sel stroma untuk mensintesis dan mensekresi prostaglandin (PGF2α
dan PGE2α) dan
prostasiklin. PGF2α merupakan suatu vasokonstriktor kuat dan menyebabkan kontraksi uterus; PGE2α menyebabkan kontraksi uterus dan vasodilatasi; prostasiklin adalah suatu vasodilator, yang menyebabkan relaksasi otot dan menghambat agregasi trombosit. Perbandingan PGF2α dengan kedua prostaglandin meningkat selama menstruasi. Perubahan ini mengurangi aliran darah melalui kapiler endometrium dan menyebabkan pergeseran cairan dari jaringan endometrium ke dalam kapiler, sehingga mengurangi ketebalan endometrium. Ini menyebabkan bertambahnya kelokan arteri spiral bersamaan dengan terus berkurangnya aliran darah. Daerah endometrium yang disuplai arteri
spiral
menjadi
hipoksik,
sehingga
terjadi
nekrosis
iskemik.
Vasokonstriksi terjadi pada setiap arteri spiral dengan waktu berbeda, bergantian
dengan
vasodilatasi.
Daerah
nekrotik
dari
endometrium
mengelupas ke dalam rongga uterus disertai dengan darah dan cairan jaringan, maka menstruasi mulai terjadi (Jones, 2002). Jika diambil panjang siklus haid 28 hari dengan perkiraan ovulasi terjadi pada hari ke-14, maka 36-48 jam setelah ovulasi belum terlihat perubahan yang menonjol pada endometrium. Karena itu, dating hari ke-14 dan ke-15 tidah berguna untuk dilakukan, dan sebaiknya baru dimulai pada hari ke-16. Pada hari ke-16 vakuola basal subnukleus terlihat pada banyak kelenjar. Hari ini ialah hari terakhir pseudostratifikasi barisan inti. Terlihat mitosis pada kelenjar-kelenjar dan stroma. Pada hari ke-19 sebagian kecil
Universitas Sumatera Utara
vakuola terlihat. Sepintas lalu gambarannya menyerupai hari ke-16, tetapi pada hari ke-19 ini dapat dilihat sekresi intraluminal, dan tidak terdapat pseudostratifikasi dan mitosis (Hanafiah, 2009). 2.1.2.3. Fase Menstruasi Selama menstruasi, lapisan superfisial dan media endometrium dilepaskan, namun lapisan basal profunda dipertahankan. Pengelupasan ini terjadi secara tidak teratur, serampangan, beberapa daerah tidak terganggu, bagian lain mengalami perbaikan, sedangkan tempat-tempat lain secara serentak dilepaskan. Endometrium yang lepas, bersama dengan cairan jaringan dan darah, membentuk koagulum di dalam rongga uterus. Koagulum ini segera dicairkan oleh fibrinolisin dan cairan, yang tidak berkoagulasi, ini dikeluarkan melalui serviks dengan kontraksi uterus. Jika jumlah darah yang dikeluarkan pada proses ini sangat banyak, mungkin fibrinolisis tidak mencukupi sehingga wanita ini mengeluarkan bekuan darah dari serviks (Jones, 2002). Pembuluh darah yang menyuplai daerah di bawah endometrium yang dilepaskan disumbat dengan sumbat hemostatik yang terbentuk dari agregasi trombosit dan serabut-serabut fibrin yang menginfiltrasi agregat trombosit membentuk plak sumbatan yang stabil. Disamping itu juga terjadi vasokonstriksi. Lapisan basal endometrium mengalami regenerasi sehingga epitelium baru menutupi daerah yang terlepas. Apabila regenerasi lebih besar daripada nekrosisnya dan proses perbaikan sudah selesai atau mendekati selesai, menstruasi berhenti dan kemudian siklus menstruasi baru mulai kembali (Jones, 2002). Fase ini berlangsung 3-4 hari. Darah haid ini mengandung darah vena dan arteri dengan sel-sel darah merah dalam hemolisis atau aglutinasi, sel-sel
Universitas Sumatera Utara
epitel dan stroma yang mengalami disintegrasi dan otolisis, dan sekret dari uterus, serviks, dan kelenjar-kelenjar vulva (Hanafiah, 2009). 2.1.3. Siklus Serviks Selama fase folikular, kelenjar-kelenjar yang melapisi celah-celah di kanalis servikalis berproliferasi dan mensekresi mucus yang lengket, sehingga membentuk anyaman kompleks di dalam kanalis servikalis. Tepat sebelum ovulasi, lonjakan medadak estrogen mengubah sifat-sifat mukus serviks sehingga membentuk helaian-helaian tipis dan panjang yang memperlihatkan saluran-saluran heliks. Setelah ovulasi, progesteron mengubah sifat mukus sehingga menjadi kental kental kembali dan tidak dapat ditembus (Jones, 2002). 2.1.4. Siklus Vagina Perubahan-perubahan siklik terjadi di epitelium vagina, yang tergantung pada rasio estrogen dan progesteron. Sel-sel superfisial dan intermediet yang besar mendominasi pada fase folikular. Ketika menjelang ovulasi, proporsi sel superfisial meningkat dan dapat dilihat beberapa leukosit. Setelah ovulasi terjadi perubahan nyata ketika disekresi progesteron. Sel-sel superfisial digantikan sel-sel intermediet, dan jumlah leukosit meningkat sehingga membuat pulasan tampak kotor (Jones, 2002). 2.1.5. Gangguan Menstruasi Menstruasi dianggap normal jika terjadi dengan interval 22-35 hari (dari hari pertama menstruasi sampai pada permulaan periode menstruasi berikutnya). Jika lamanya perdarahan kurang dari 7 hari ; dan jika jumlah darah yang hilang kurang dari 80 ml. Perlu dicatat bahwa discharge menstruasi terdiri dari cairan jaringan (20-40 persen dari total discharge), darah (50-80 persen), dan fragmen-fragmen endometrium. Namun, bagi
Universitas Sumatera Utara
wanita discharge menstruasi tampak seperti darah dan inilah yang dilaporkan (Jones, 2002). Gangguan menstruasi paling umum terjadi pada awal dan akhir masa reproduktif, yaitu di bawah usia 19 tahun dan di atas usia 39 tahun. Gangguan ini mungkin berkaitan dengan lamanya siklus menstruasi, atau jumlah dan lamanya menstruasi . Seorang wanita dapat mengalami kedua gangguan itu (Jones, 2002). 2.1.5.1.
Gangguan pada lamanya siklus menstruasi:
2.1.5.1.1.
Polimenore atau Epinore
Pada polimenore siklus menstruasi lebih pendek dari biasanya yaitu terjadi dengan interval kurang dari 21 hari (Jones, 2002). Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak dari biasa. Polimenore dapat disebabkan oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi, atau menjadi pendeknya masa luteal. Sebab lain adalah kongesti ovarium karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya (Simanjuntak, 2009). 2.1.5.1.2.
Oligomenore
Siklus menstruasi lebih panjang dari normal yaitu lebih dari 35 hari (Jones, 2002). Perdarahan pada oligomenore biasanya berkurang. Pada kebanyakan kasus oligomenore kesehatan wanita tidak terganggu, dan fertilitas cukup baik. Siklus menstruasi biasanya ovulatoar dengan masa proliferasi lebih panjang dari biasanya (Simanjuntak, 2009). 2.1.5.3. Amenore Amenore adalah keadaan tidak adanya menstruasi sedikitnya tiga bulan berturut-turut. Amenore primer terjadi apabila seorang wanita berumur 18 tahun ke atas tidak pernah mendapatkan menstruasi, sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
amenore sekunder penderita pernah mendapatkan menstruasi tetapi kemudian tidak dapat lagi (Simanjuntak, 2009). Amenore primer (dialami oleh 5 persen wanita amenore) mungkin disebabkan oleh defek genetik seperti disgenensis gonad, yang biasanya ciri-ciri seksual sekunder tidak berkembang. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan duktus Muller, seperti tidak ada uterus, agenesis vagina, septum vagina transversal, atau himen imperforata. Pada tiga penyebab terakhir, menstruasi dapat terjadi tetapi discharge menstruasi tidak dapat keluar dari traktus genitalis. Keadaan ini disebut kriptomenore, bukan amenore. Penyebab yang paling umum pada amenore sekunder adalah kehamilan (Jones, 2002). Tabel 2.1. Penyebab amenore sekunder (persen). Penyebab Amenore Sekunder (persen)
Berat badan menurun
20-40
Ovarium polikistik
15-30
Hipofisis tidak sensitive (pascapenggunaan pill)
10-20
Hiperprolaktinemia
10-20
Kegagalan ovarium primer
5-10
Sindroma Asherman
1-2
Hipotiroidism
1-2
(Jones, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5.2.
Gangguan
jumlah
darah
menstruasi
dan
lamanya
perdarahan dikelompokkan menjadi dua yaitu: 2.1.5.2.1.
Hipomenore
Perdarahan haid yang lebih pendek dan atau kurang dari biasa dengan discharge menstruasi sedikit atau ringan (Jones, 2002). Hipomenore disebabkan oleh karena kesuburan endometrium kurang akibat dari kurang gizi, penyakit menahun maupun gangguan hormonal. Adanya hipomenore tidak mengganggu fertilitas (Simanjuntak, 2009). 2.1.5.2.2.
Hipermenore atau Menoragia
Perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari). Sebab kelainan ini terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya adanya mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu haid, dan sebagainya . Pada gangguan pelepasan endometrium biasanya terdapat juga gangguan dalam pertumbuhan endometrium yang diikuti dengan pelepasannya pada waktu haid (Simanjuntak, 2009). Menoragia mungkin terjadi disertai dengan suatu kondisi organik uterus, atau mungkin terjadi tanpa ada kelainan yang nyata pada uterus. Hal ini disebut perdarahan uterus disfungsional, dengan kata lain disebabkan oleh perubahan endokrin atau pengaturan endometrium lokal pada menstruasi (Jones, 2002). Ada pula gangguan menstruasi yang berhubungan dengan adanya gangguan pada siklus dan jumlah darah menstruasi yaitu metroragia. Pada keadaan ini, terdapat gangguan siklus menstruasi dan sering berlangsung lama, perdarahan terjadi dengan interval yang tidak teratur, dan jumlah darah menstruasi sangat bervariasi. Pola menstruasi seperti ini disebut metroragia.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kondisi patologik di dalam uterus atau organ genitalia interna. Perlu bagi dokter untuk mengadakan investigasi lebih lanjut. Investigasi meliputi histeroskopi dan biopsi endometrium atau kuretase diagnostik (Jones, 2002). 2.2.
Hemoglobin
2.2.1. Definisi Hemoglobin adalah molekul yang terdiri atas empat kandungan haem (berisi zat besi) dan empat rantai globin (alfa, beta, gamma, dan delta), berada didalam eritrosit dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah darah ditentukan oleh kadar hemoglobin. Struktur hemoglobin dinyatakan dengan menyebut jumlah dan jenis rantai globin yang ada. Terdapat 141 molekul asam amino pada rantai beta, gamma, dan delta (Sutedjo, 2009). 2.2.2. Sintesis Hem Kedua bagian molekul hemoglobin (hem dan globin) memiliki jalur pembentukan yang sangat berbeda. Setiap molekul hemoglobin memiliki empat gugus hem identik yang melekat ke empat rantai globin. Dengan demikian, sepasang rantai alfa tersusun di atas sepasang rantai nonalfa (rantai beta pada hemoglobin dewasa). Gugus hem terdiri dari empat struktur 4 karbon berbentuk cincin simetris yang disebut cincin pirol, yang membentuk satu molekul porfirin. Cincin porfirin ini juga dijumpai pada protein lain selain hemoglobin, termasuk mioglobin dan enzim lain (katalase, sitokrom, dan peroksidase). Cincin-cincin ini terbenam dalam kantung-kantung hem didalam struktur protein. Biosintesis hem melibatkan dua pembentukan bertingkat sebuah rangka porfirin, diiikuti oleh insersi besi ke masing-masing dari empat gugus hem (Sacher et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Sintesis porfirin memerlukan pembentukan sebuah rantai lurus gugus karbon yang menutupi sebuah cincin pirol. Empat pirol kemudian menyatu, dan setelah beberapa kali perubahan dan pertukaran gugus substituen, terbentuk senyawa bebas-besi yang disebut protoporfirin (Sacher et al., 2004). Konstituen gugus karbon yang membentuk cincin ini berasal dari asam amino glisin dan sebuah koenzim, suksinil koenzim A. Sintesis hem berawal dari senyawa-senyawa ini dan berjalan dalam pola yang cukup dapat diperkirakan, sebagai berikut: •
Pada awalnya, dua senyawa ini glisin dan suksinil koenzim A menyatu untuk membentuk senyawa asam aminolulinat (ALA). Senyawa lurus ini adalah prekursor pertama yang nyata berkaitan dengan sintesis hem. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini, ALA-sintetase, tampaknya merupakan enzim penentu kecepatan (rate-limitting) jalur metabolik ini. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah koenzim untuk reaksi ini. Reaksi ini dirangsang oleh adanya hormon eritropoietin dan dihambat oleh pembentukan hem (kontrol umpan balik negatif). Jalur ini dimulai di mitokondria dan sitoplasma sel yang sedang berkembang.
•
Dua molekul ALA menyatu untuk membentuk porfobilinogen, sebuah molekul cincin.
•
Kemudian, empat molekul senyawa ini menyatu untuk membentuk sebuah
senyawa
bercincin
empat
(tetrapirol),
yang
disebut
uroporfirinogen. •
Senyawa ini diubah menjadi koproporfirinogen
•
Koproporfirinogen diubah menjadi protoporfirin.
•
Akhirnya, protoporfirin berikatan dengan besi dengan bantuan enzim penentu kecepatan jalur metabolik yang lain, yaitu feroketalase (hem sintetase). Koproporfirin dan uroporfirin yang tidak digunakan
Universitas Sumatera Utara
diekskresikan melalui urin dan feses. Apabila sintesis hem terganggu, mungkin terjadi ekskresi senyawa-senyawa ini serta metabolit lain dalam jumlah yang tidak normal (Sacher et al., 2004). Dengan demikian, keadaan-keadaan klinis yang berkaitan dengan gangguan sintesis hem mungkin mencakup anemia dan gangguan enzim didapat atau genetik yang menyebabkan penimbunan porfirin (porfiria) (Sacher et al., 2004). Insersi empat molekul hem ke dalam empat molekul globin merupakan tahap terakhir dari sintesi hemoglobin. Hem disintesis di mitokondria, dan penggabungan globin terjadi di sitoplasma eritrosit yang sedang berkembang (Sacher et al., 2004). 2.2.3. Sintesis Globin Hemoglobin dewasa normal (HbA) (95% dari hemoglobin dewasa) terdiri dari empat rantai polipeptida yang terdiri dari dua rantai alfa dan dua rantai beta (α2, β2), yang masing-masing memiliki gugus hem yang terikat padanya. Dalam keadaan normal, rantai alfa dan beta diproduksi dalam jumlahs setara. rantai-rantai minor lain juga disintesis pada orang dewasa dan mencakup rantai delta (δ) dan rantai gamma (γ) janin, yang membentuk dua hemoglobin dewasa minor (Sacher et al., 2004). Sintesis globin diperkirakan juga berada dibawah kendali eritropoietin, walaupun tempat kerja molekularnya tidak diketahui. Sintesis hem juga dipicu oleh hem bebas. Sintesis globin terutama terjadi di eritoblas dini., atau basofilik dan berlanjut, dengan tingkat yang terbatas, bahkan sampai di retikulosit tidak berinti. Diperkirakan bahwa sampai 15-20 % hemoglobin disintesis selama stadium yang disebut terakhir. Gen-gen untuk sintesis globin terletak di kromosom 11 (rantai gamma, delta, beta) dan 16 (alfa). Sebagian
Universitas Sumatera Utara
hemoglobin mudigah juga dikode oleh kedua kromosom ini. Pengatura ekspresi DNA
serta pembentukan RNA dan sintesis protein selanjutnya
sekarang sudah berhasil diungkapkan seluruhnya. Anemia dapat terjadi karena kelainan di tingkat DNA, defek dalam interpretasi cetakan RNA, atau karena selama sintesis protein kode perantara nonsense tidak ditranslasi. atau diekspresikan. Karena masing-masing kromosom individual berasal dari kedua orang tua, ekspresi genetik jelas bergantung pada gen mana yang diwariskan ke anak. Gangguan herediter produksi hemoglobin dapat menyebabkan anemia serius (Sacher et al., 2004). 2.2.4. Fungsi Hemoglobin Menurut Giardina et al (1995) dalam Abidin (2010) selain berperan dalam transportasi oksigen, hemoglobin juga berperan sebagai molekular transduser panas melalui siklus oksigenasi-deoksigenasi. Hemoglobin juga adalah modulator metabolisme eritrosit dan oksidasi hemoglobin merupakan pertanda proses penuaan hemoglobin. Pada penderita malaria, hemoglobin mempunyai implikasi resistensi genetik. Aktivitas enzimatik hemoglobin mempunyai peranan dalam interaksi dengan obat, selain ia juga merupakan sumber katabolit fisiologi yang aktif. Penurunan jumlah hemoglobin dalam darah dapat menimbulkan gangguan pada fungsi-fungsi di atas. Menurut Gledhill et al (1999) dalam Abidin (2010) uptake oksigen maksimum (VO2 max) kadar hemoglobin dan volume darah di dalam tubuh adalah saling berkait. Jika volume darah dalam keadaan tidak berubah, penurunan konsentrasi hemoglobin akan menyebabkan penurunan nilai uptake oksigen maksimum (VO2 max), manakala, jika konsentrasi hemoglobin meningkat, uptake oksigen maksimum (VO2 max) turut meningkat. Apabila kadar hemoglobin tidak berubah, tetapi volume darah bertambah, nilai uptake oksigen maksimum (VO2 max) turut bertambah dan jika volume darah berkurang, nilai uptake oksigen maksimum (VO2 max) turut berkurang. Di
Universitas Sumatera Utara
sini dapat disimpulkan bahawa uptake oksigen maksimum (VO2 max) sangat dipengaruhi oleh kadar hemoglobin dan volume darah. 2.2.5. Kadar Hemoglobin dan Anemia Menurut World Health Organization (WHO, 1997) batas kadar Hb remaja putri untuk diagnosis anemia apabila kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl. Sedangkan di Indonesia kriteria anemia di klinik (dirumah sakit atau praktik klinik) adalah hemoglobin < 10 g/dL, hematokrit <30%, dan eritrosit <2,8 juta/mm3. Hal ini dipertimbangkan untuk mengurangi beban klinisi melakukan work up anemia jika kita memakai kriteria WHO. Secara tepat, anemia adalah suatu keadaan di mana terjadi penurunan terhadap massa sel darah merah. Metode pengukuran sel darah merah adalah agak rumit karena butuh waktu, biaya yang mahal dan biasanya memerlukan transfusi eritrosit radio label (Bakta, 2006). Tabel 2.2. Tahap Keparahan Anemia Menurut Konsentrasi Hemoglobin Tahap
Nilai Hb
Keparahan
(g/dL)
Simptom
Tindakan Medis
Pada kebiasaannya
Tidak ada intervensi
Anemia
Ringan
9,5-12,0
tidak ada tanda dan gejala Sedang
8,0-9,5
Bisa disertai gejala
Pada manajemen
anemia
untuk mencegah dari terjadinya komplikasi
Berat
<8,5
Pada kebiasaannya
Bisa menggugat
Universitas Sumatera Utara
disertai gejala anemia
nyawa dan diperlukan manajemen segera
(Elesevier Oncology, 2006). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai hemoglobin. Pengambilan alkohol dapat menyebabkan perdarahan internal yang bisa memicu ke arah anemia. Penyakit kronis atau penyakit kritikal yang berhubungan dengan proses inflamasi meningkatkan risiko anemia. Selain itu, antara faktor yang paling sering menyebabkan penurunan nilai hemoglobin adalah kekurangan zat besi yang terkait dengan faktor kemiskinan. Anak-anak mempunyai risiko tertinggi terkena anemia diikuti oleh wanita premenopause. Lebih dari 10% remaja putri dan wanita di bawah usia 49 tahun mengalami defisiensi zat besi. (Simon, 2009). Menurut penelitian, sebelum pemberian tablet tambah darah, prevalensi anemia adalah 77,77% dan setelah diberikan tablet tambah darah satu kapsul perminggu dan satu kapsul selama 10 hari saat haid, dalam jangka waktu 16 minggu prevalensi anemia menurun menjadi 8,95% (Mulyawati, 2003). Tabel 2.3. Kriteria anemia menurut WHO (Hoffbrand AV et al., 2001) Kelompok
Kriteria anemia (Hb)
Laki-laki dewasa
<13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil
<12 g/dl
Wanita hamil
<11 g/dl
(Bakta, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.2.6. Anemia Defisisensi Besi 2.2.6.1. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC ( total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, ferritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negative dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi (Bakta, 2006). 2.2.6.2. Etiologi 1.
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun yang dapat berasal dari : • saluran cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulitis, hemoroid, da infeksi cacing tambang. • saluran genitalia wanita : menorrhagia atau metrorhagia • saluran kemih : hematuria • saluran napas : hemoptoe
2.
Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
3.
Kebutuhan besi meningkat : prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
4.
Gangguan absorpsi besi : gastrektomi dan kolitis kronik (Bakta, 2006).
2.2.6.3. Patogenesis Perdarahan
menahun
menyebabkan
kehilangan
besi
sehingga
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient erytropoiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gaejala lainnya (Bakta, 2006). 2.2.6.4. Gejala Klinis Gejala anemia dibagi menjadi gejala umum, gejala penyakit dasar, dan gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Gejala umum anemia dapat dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 gr/dL. Gejalanya yaitu badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Gejala khas akibat defisiensi besi tidak dijumpai pada anemia jenis lain, yaitu koilonychia, atrofi pupil lidah, stomatitis angularis, disfagia, dan atrofi mukosa gaster. Gejala penyakit dasar yaitu gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut (Bakta, 2006). 2.2.6.5. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboraturium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisisensi
Universitas Sumatera Utara
besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisisensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut : Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d. 1. dua dari tiga parameter di bawah ini : a. Besi serum <50 mg/dL b. TIBC >350 mg/dL c. Saturasi transferin 2. ferritin serum <20 µg/dL 3. pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif 4. dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 gr/dL (Bakta, 2006). 2.2.6.6. Penatalaksanaan Terapi kausal tergantung penyebabnya, misalnya pengobatan terhadap menoragia, pemberian preparat besi, dan pengobatan lain, meliputi diet, vitamin C, dan transfusi darah (Bakta, 2006). 2.2.7. Cara Mengukur Hemoglobin Terdapat beberapa cara untuk mengukur kandungan hemoglobin dalam darah, paling banyak dilakukan secara automatik oleh mesin yang direka khusus untuk membuat beberapa ujian terhadap darah. Tempat pengambilan darah kapiler orang dewasa dipakai ujung jari atau daun telinga, sedang pada bayi dan anak kecil diambil dari tumit atau ibu
Universitas Sumatera Utara
jari kaki. Tempat yang dipilih tidak boleh memperlihatkan gangguan peredaran darah seperti cyanosis. Untuk darah vena orang dewasa dipakai salah satu vena dalam fossa cubiti, sedangkan pada bayi vena jugularis superficialis, dapat juga sinus sagitalis superior. Kadar hemoglobin darah ditentukan dengan bermacam-macam cara antara lain: cyanmethemoglobin dan sahli (Gandasoebrata, 2009). 2.2.7.1. Cara Fotoelektrik: Cyanmethemoglobin Cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk
penerapan
kadar
hemoglobin
dengan
teliti
karena
standard
cyanmethemoglobin yang ditanggung kadarnya bersifat stabil dan dapat dibeli. Kesalahan cara ini dapat mencapai ± 2% (Gandasoebrata, 2009). 2.2.7.2. Cara Sahli Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu (Gandasoebrata, 2009). Cara Sahli ini bukanlah cara teliti. Kelemahan metodik berdasarkan kenyataan bahwa kolorimeter visual tidak teliti, bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak dapat distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam, umpamanya karboxyhemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin (Gandasoebrata, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.3. Hemoglobinometer Hemoglobinometer adalah suatu alat untuk mengukur konsentrasi hemoglobin dalam darah. Ini menggunakan pengukuran spektrofotometri dari konsentrasi
hemoglobin.
Portable
hemoglobinometer
menyediakan
pengukuran yang mudah dan terpercaya terhadap konsentrasi hemoglobin yang dapat digunakan khususnya di daerah yang tidak memiliki laboratorium (Britton, 1991). Portable hemoglobinometer adalah suatu alat noninvasif untuk menentukan konsentrasi oksigen di jaringan yang diambil dari permukaan kulit. Meskipun cara penetapan kadar hemoglobin dalam darah yang dianjurkan masa kini bukanlah yang memakai hemoglobinometer menurut sahli, tapi cara ini masih berguna dalam laboratorium kecil (Gandasoebrata, 2009).
Gambar 2.1 Easy Touch GHb Blood Glucose/Hemoglobin Dual Function Monitoring System
2.3.
Siklus Haid dan Pengaruhnya Pada Kadar Hemoglobin Penelitian yang dilakukan oleh Abidin terhadap mahasiswi FK-USU ACMS Angkatan 2007 dan FK UKM-ACMS Angkatan 2009 dengan siklus
Universitas Sumatera Utara
hid normal menyatakan bahwa rata-rata konsentrasi hemoglobin pada saat menstruasi yaitu hari ke-2 siklus adalah 11,36 gr/dL dan pada saat tidak menstruasi yaitu hari ke-16 siklus adalah 11,91 gr/dL. Ini menunjukkan bahwa subjek penelitian yang mempunyai siklus menstruasi normal juga mempengaruhi kadar hemoglobin. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyati pada remaja siswi SMP Negeri Lasusua Kabupaten Kolaka Utara menunjukkan bahwa lama haid memiliki hubungan yang paling besar dengan kadar hemoglobin dengan tingkat signifikan (p=0,009). Penelitian yang dilakukan oleh Handayani et al pada remaja putri SMK Negeri 1 Metro Lampung juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan anemia. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al kepada wanita yang berusia 18-44 tahun di US dengan jumlah sampel 1.712 orang menyatakan bahwa nilai hemoglobin (Hb), Transferin Saturation (TS), dan Serum Ferritin (SF) paling rendah dijumpai pada fase menstruasi dan paling tinggi pada fase luteal (10-16 hari setelah menstruasi) atau sekresi lanjut dari siklus haid ( Hb = 130 vs 133 g/L; TS = 21,2% vs 24,8% dengan P < 0,01 untuk keduanya; dan SF = 17,2 vs 24,0 µg/L dengan P < 0,05). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yerna kepada 49 orang siswi kelas 2 SMP Negeri 1 Raha Kabupaten Muna menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lama menstruasi dengan kadar hemoglobin dengan nilai P >0,05. Penelitian yang dilakukan oleh Clancy et al menyatakan bahwa mentruasi tidak menyebabkan anemia. Penebalan endometrium menyebabkan peningkatan penyimpanan zat besi lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Volume Kehilangan Darah Menurut Fraser et al (1985) dalam Abidin (2010) jumlah kehilangan darah yang murni adalah kira 36.1% daripada jumlah cairan yang keluar pada saat menstruasi. Sisanya adalah cairan hasil dari bahan bukan darah. Volume darah yang keluar adalah paling banyak pada hari ke-2 menstruasi. Dan ditemukan jumlah darah pada hari ke-1 dan pada hari ke-3 adalah relatif sama. Namun begitu, jumlah darah yang keluar adalah semakin sedikit mulai hari ke-4 dan seterusnya sampai menstruasi berhenti. Normalnya volume kehilangan darah selama haid adalah 40 mL. Kehilangan darah lebih dari 80 mL per siklus adalah abnormal dan dapat menimbulkan anemia (MacKay, 2010). 2.3.2. Lama Haid Pengaliran darah menstruasi biasanya berlaku dari tiga hingga lima hari, tetapi alirannya bisa berlaku dalam satu hari saja malah bisa juga sehingga delapan hari (Ganong, 2005). Pada kebiasaannya, menstruasi ini akan berakhir setelah lima hingga tujuh hari selepas degenerasi korpus luteum yang bersamaan dengan saat bermulanya fase folikuler (Sherwood, 2007). Jika lama siklus haid lebih dari normal (23-35 hari) dengan perdarahan yang berat dan tidak teratur adalah patologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut (MacKay, 2010).
Universitas Sumatera Utara