5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Universitas Sumatera Utara
6
Gambar 2.1. Anatomi Faring Atlas of Human Anatomy 4th Edition Faring terdiri atas : Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
Universitas Sumatera Utara
7
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius (Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa Hetharia, 2011). Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia, 2011). Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Universitas Sumatera Utara
8
Ruang Faringal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.2 Anatomi Faring Bagian Posterior Atlas of Human Anatomy 4 TH Edition
Universitas Sumatera Utara
10
2.2. Faringitis Akut 2.2.1. Definisi Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise (Miriam T. Vincent, 2004). Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan bersamasama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections) (Rusmarjono, 2001). 2.2.2. Etiologi Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering ( Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007). Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan
faringitis
termasuk
Influenza
virus,
Parainfluenza
virus,
Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L. Boone, 2003; Anthony W Chow, 2013). Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria
gonorrhoeae,
Corynebacterium
diphtheria,
Arcanobacterium
haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun) (Ferri, 2012; Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007). Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
11
kontak orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi (John L. Boone, 2003). Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang menlakukan kontak orogenital (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007). Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Jill Gore, 2013). 2.2.3. Epidemiologi Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun (Mary T. Caserta, 2009). Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas, termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika Serikat (Alan L. Bisno, 2001). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun (John R Acerra, 2013).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.4. Gejala Klinis Gejala-gejala yang timbul pada faringitis akut bergantung pada mikroorganismenya. Faringitis akut yang disebabkan bakteri mempunyai gejala nyeri kepala yang hebat, demam atau menggigil, malaise, nyeri menelan, muntah dan mungkin batuk tapi jarang (Rusmarjono, 2007). Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu demam, limfaadenopati pada anterior servikal, eksudat pada tonsil, tidak ada batuk (Jill Gore, 2013). Faringitis yang disebabkan virus biasanya mempunyai gejala nyeri tenggorokan yang parah dan dapat disertai dengan batuk, suara serak dan nyeri substernal. Demam, menggigil, malaise, mialgia dan sakit kepala juga dapat terjadi (John L. Boone, 2003). Sedangkan gejala pada faringitis fungal adalah nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis (Rusmarjono, 2007). 2.2.5. Diagnosis Pada faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak di bawah 3 tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini (Alan, et.al.,2001). Pada faringitis viral, pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachie virus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachie virus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
Universitas Sumatera Utara
13
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmarjono, 2007). Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus. Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam, batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan infeksi, dan adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa, petechie dan adenopati (Miriam T. Vincent, 2004). Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus, seorang dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan mengevaluasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai 38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS (Alan, et.al.,2001) Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari (Miriam T. Vincent, 2004).
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.6. Penatalaksanaan Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk beristirahat di rumah dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Rusmarjono, 2007). Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus. Dapat juga diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau antiseptik beberapa kali sehari (Rusmarjono, 2007). Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 – 400.000 2 kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular (Rusmarjono, 2007) 2.2.7. Komplikasi Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak diobati (John R. Acerra, 2013).
Universitas Sumatera Utara
15
2.2.8. Prognosis Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus. Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati dengan komplikasi yang berpotensi terjadi (John R. Acerra, 2013).
Universitas Sumatera Utara