4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Obesitas
2.1.1. Definisi Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebihan di simpanan jaringan adiposa. Obesitas terjadi jika selama periode waktu tertentu, kilokalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh dan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak. Sebagian faktor yang mungkin berperan adalah gangguan emosi dengan makan berlebihan yang menggantikan rasa puas lainnya, pembentukan sel-sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat pemberian makanan berlebihan, gangguan endokrin tertentu, gangguan pusat pengatur kenyang-selera makan (satiety-appetite center) di hipotalamus, kecenderungan herediter, kelezatan makanan yang tersedia, dan kurang berolahraga (Sherwood, 2001). Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Seseorang dapat dikatakan obesitas berdasarkan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Untuk orang dengan obesitas, maka didapatkan hasil IMT > 25 kg/m2. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO, 2000).
2.1.2. Etiologi a. Faktor Genetik Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar pada kejadian obesitas. Jika kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi terjadinya obesitas pada anak sebesar 14%. Tetapi jika hanya salah satu
Universitas Sumatera Utara
5
orang tua obesitas, prevalensi terjadinya obesitas sebesar 40%. Dan jika kedua orang tua mengalami obesitas, prevalensi terjadinya obesitas pada anak meningkat hingga 80% (Mustafa, 2010).
b. Faktor Lingkungan 1. Gaya hidup Gaya hidup tidak aktif merupakan penyebab utama obesitas. Dimana aktifitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan aktifitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan sel adiposa. Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan yang erat antara obesitas dan perilaku tidak aktif seperti menonton televisi dalam waktu yang lama (Guyton, 2007).
2. Sosial Ekonomi Sosial ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kejadian obesitas. Penduduk dengan status ekonomi tinggi memiliki peningkatan risiko yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan penduduk dengan sosial ekonomi rendah. Hal ini terjadi akibat peningkatan asupan makanan serta aktivitas fisik yang kurang yang sejalan dengan perubahan gaya hidup (Shayo dan Mugusi, 2011).
3. Nutrisi Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energy (energy intake) dibandingkan dengan yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan asupan energi disimpan dalam bentuk lemak. Makanan merupakan sumber dari asupan energi. Karbohidrat, protein dan lemak yang terdapat pada makanan akan diubah menjadi energi di dalam tubuh. Apabila asupan karbohidrat berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas dan sisanya akan disimpan dalam bentuk lemak. Jika asupan
Universitas Sumatera Utara
6
protein berlebih, maka akan dibentuk sebagai protein tubuh dan sisanya disimpan dalam bentuk lemak. Sedangkan jika asupan lemak yang berlebih, maka lemak akan disimpan dalam bentuk lemak. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak tidak terbatas. Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan yang menyebabkan obesitas adalah kuantitas, porsi sekali makan, kepadatan energi dari makanan yang dimakan, dan kebiasaan makan (Nugraha, 2009).
2.1.3.
Epidemiologi Pada tahun 1995, diperkirakan ada 200 juta orang dewasa menderita
obesitas di seluruh dunia. Pada tahun 2000, jumlah orang dewasa yang obesitas meningkat menjadi lebih dari 300 juta. Sedangkan di negara berkembang, diperkirakan bahwa lebih dari 115 juta orang menderita obesitas. Kejadian obesitas pada anak juga dilaporkan mengalami peningkatan pesat (WHO, 2003; De Onis and Blossner, 2000). Secara global, pada tahun 2005 sekitar 1,6 miliar orang dewasa berusia diatas 15 tahun mempunyai berat badan yang berlebih dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 25 - 29,9 dan sekurang-kurangnya 400 miliar orang dewasa mengalami obesitas dengan IMT > 30,0. Prediksi jangka panjang WHO, pada tahun 2015 angka tersebut akan meningkat menjadi 2,3 miliar orang dewasa mempunyai berat badan yang berlebih dan lebih dari 700 miliar orang akan mengalami obesitas (WHO, 2006). Obesitas meningkat seiring dengan usia, memuncak pada kelompok usia 55-64 tahun. Warga dari daerah pemukiman kelas atas memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga dari daerah pemukiman kelas lebih rendah. Penduduk perkotaan memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk pedesaan (Amoah, 2003).
2.1.4.
Pengukuran dan Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana
untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan obesitas
Universitas Sumatera Utara
7
dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Kriteria obesitas di Asia Pasifik memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Kriteria obesitas pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT ≥ 25,0. Berdasarkan kriteria obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu obesitas tingkat I dengan IMT 25,0 - 29,9 dan obesitas tingkat II dengan IMT ≥ 30,0. (World Health Organization Western Pacific Region, 2000) Klasifikasi obesitas berdasarkan IMT untuk orang Asia menurut World Health Organization Western Pacific Region sebagai berikut;
Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi IMT (kg/m2)
IMT
Kurang gizi
<18,50
Normal
18,50 – 22,99
Berat badan berlebih
≥ 23,00
Risiko obes
23,00 – 24,9
Obesitas I
25 – 29,9
Obesitas II
≥ 30,0
Sumber: World Health Organization Western Pacific Region (2000)
2.1.5.
Komplikasi a. Hipertensi Hipertensi sangat erat kaitannya dengan obesitas. Pada Swedish Obesity Study dikemukakan bahwa dari seluruh subjek dengan obesitas, 4451% mengalami hipertensi (Sjostrom, Lindroos, Peltonen, et al., 2004). Disamping itu, kenaikan berat badan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi. Risiko relatif pada wanita dengan kenaikan berat badan sebanyak 5-9,9 kg adalah sebesar 1,7. Sedangkan wanita dengan kenaikan berat badan sebanyak lebih dari 25 kg memiliki risiko relatif sebesar 5,2
Universitas Sumatera Utara
8
(Willet, Dietz, and Colditz, 1999). Perkiraan dari Framingham Health Study, kenaikan berat badan dapat menyebabkan 26% kasus hipertensi pada pria dan 28% kasus hipertensi pada wanita (Wilson, D’Agostino, dan Sullivan, 2002).
b. Dislipidemia Obesitas dikaitkan dengan profil lipid yang abnormal. Kelainan lipid yang berkaitan dengan obesitas yaitu konsentrasi serum kolesterol, lowdensity-lipoprotein (LDL), very-low-density-lipoprotein yang sangat rendah (VLDL), trigliserida, dan apolipoprotein B, serta penurunan serum highdensity-lipoprotein (HDL). Mekanisme
yang mendasari dislipidemia ini
masih belum diketahui secara pasti. Tetapi keadaan ini diketahui melibatkan kombinasi resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang merangsang sintesis trigliserida hati dari perombakan sel adiposa melalui proses lipolisis. Hal ini menyebabkan hypertrigliseridemia postprandial, partikel LDL yang lebih kecil dan lebih padat, dan konsentrasi kolesterol HDL berkurang (Grundy dan Barnett, 1990).
c. Penyakit Jantung Koroner Pada penelitian Hubbert (1983) dalam Ibarra (2009) dikatakan bahwa obesitas adalah prediktor penyakit arteri koroner baik sebagai faktor independen dan sebagai pemicu dari beberapa proses aterogenik dari Sindrom Metabolik. Fenomena ini telah djelasan pada Framingham Heart Study, di Manitoba Study, dan Harvard Public Health Nurses Study. Pada Framingham Study, pasien 28-62 tahun diikuti selama 26 tahun. Setelah disesuaikan untuk faktor risiko kardiovaskular lainnya, risiko wanita dengan obesitas dari kelompok usia yang sama adalah 2,4 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal.
Universitas Sumatera Utara
9
d. Diabetes Mellitus Tipe-2 Penelitian Abdullah, Peeters, dan de Courten M, et al. (2010) dalam Public Helath England (2014) disebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara obesitas dengan diabetes mellitus tipe 2. Karakteristik dan derajat keparahan diabetes melitus tipe 2 berhubungan erat dengan IMT. Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 tujuh kali lebih besar pada kelompok dengan obesitas dibandingkan dengan kelompok dengan berat badan yang normal. Sementara itu, diketahui bahwa distribusi lemak tubuh merupakan faktor penentu penting dari peningkatan risiko diabetes. Namun, mekanisme yang tepat yang mendasari hubungan tersebut masih belum jelas.
e. Kelainan pernafasan Menurut Carmelli dan Bliwise (2000) dalam Villareal, Apovian, Kushner, at al,. (2005), obesitas, terutama obesitas abdominal memiliki hubungan dengan kelainan fungsi paru, sindrom obesitas-hipoventilasi, dan obstructive sleep apnea. Penimbunan lemak terutama pada dinding dada dapat menurunkan pemenuhan volume paru, meningkatkan kerja pernafasan, dan mempersempit volume ventilasi. Dalam sebuah studi prospektif, lakilaki usia tua dengan obesitas mengalami peningkatan terbesar pada nilai Respitarory Distubance Index (RDI; angka kejadian apnea dan hipopnea berdasarkan perkiraan lamanya waktu tidur). Kenaikan IMT sebanyak 5% akan meningkatkan nilai RDI sebesar 2% pada wanita usia 20 tahun dengan berat badan normal. Sedangkan pada laki-laki usia 60 tahun dengan obesitas, kenaikan IMT sebanyak 5% akan meningkatkan nilai RDI hingga 27%.
2.2.
Fungsi paru
2.1.1. Fisiologi Pernafasan Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. Alveoli merupakan unit fungsional paru-paru dan juga sebagai tempat pernafasan seluler. Pada trakea, saluran pernafasan terbagi secara progresif menjadi 2 bagian seperti cabang pohon baik secara simetris maupun
Universitas Sumatera Utara
10
tidak simetris. Setiap cabang saluran pernafasan yang menjauh dari trakea menjadi lebih kecil, tetapi total dari luas saluran udara meningkat. Hal ini mengakibatkan resistensi aliran udara menurun sehingga udara bergerak ke bronkiolus yang lebih kecil (National Health and Nutrition Examination Survey, 2008). Paru dan dinding dada adalah struktur elastis. Pada keadaan normal hanya ditemukan selapis tipis cairan diantara paru dan dinding cairan. Paru dengan mudah dapat bergeser sepanjang dinding dada tetapi sukar untuk dipisahkan dari dinding dada seperti halnya 2 lempengan kaca yang direkatkan dengan air dapat di geser tetapi tidak dapat dipisahkan. Tekanan di dalam “ruang” antara paru dan dinding dada (tekanan intrapleura) bersifat subatmosferik. Pada saat kelahiran, jaringan paru dikembangkan sehingga teregang dan pada akhir ekspirasi tenang, kecenderungan daya recoil jaringan paru untuk menjauhi dinding dada diimbangi oleh daya recoil dinding dada kearah yang berlawanan (Ganong, 2005). Otot diafragma yang terletak di bagian dalam dan luar interkostalis kontraksinya bertambah dalam. Rongga toraks menutup dan mengeras ketika udara masuk ke dalam paru, diluar muskulus interkostalis menekan tulang iga dan mengendalikan luas rongga toraks yang menyokong pada saat ekspirasi sehingga bagian luar interkostalis dari ekspirasi menekan bagian perut. Kekuatan diafragma kearah atas membantu mengembalikan volume rongga pleura (Guyton, 2007). Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi tetapi pengeluaran pernapasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan napas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas bernapas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernapas dalam dan volume udara bertambah (Syaifuddin, 2001). Selama pernapasan tenang, ekspirasi adalah pasif, dalam arti bahwa tidak ada otot-otot yang menurunkan volume untuk toraks berkontraksi. Pada permulaan ekspirasi, kontraksi ini menimbulkan kerja yang menahan kekuatan recoil dan melambatkan ekspirasi. Insiprasi yang kuat berusaha mengurangi tekanan intrapleura sampai 30 mmHg sehingga menimbulkan pengembangan paru
Universitas Sumatera Utara
11
dengan derajat yang lebih besar. Bila ventilasi meningkat seluas deflasi maka paru meningkat dengan kontraksi otot-otot pernafasan yang menurunkan volume intratoraks (Syaifuddin, 2001). Pertukaran oksigen dari lingkungan luar dengan karbon dioksida dari darah pada vena merupakan proses dasar respirasi. Pertukaran ini terjadi pada permukaan alveoli yang berjumlah 300 juta alveoli pada masing-masing paru. Apabila digabungkan, alveoli memiliki total luas permukaan untuk pertukaran gas yang setara dengan ukuran lapangan tenis (NHANES, 2008).
2.1.2. Hubungan Obesitas dengan Fungsi Paru Obesitas, dikenal sebagai faktor risiko kardiovaskular, juga dapat menyebabkan komplikasi pernafasan yang signifikan. Perubahan pernafasan yang berhubungan dengan obesitas merupakan perubahan sederhana dalam fungsi pernafasan yang tidak memiliki efek pada pertukaran gas (Rabec, Ramos, dan Veale, 2010). Penelitian oleh Kopelman (1984) dalam Lolo (1999), komplikasi pernafasan akibat obesitas terjadi akibat akumulasi lemak pada dinding dada dan abdomen sehingga menurunkan volume paru dan menyebabkan perubahan gambaran ventilasi pada setiap respirasi. Hal ini didukung oleh penelitian Neimark (1990) dalam Sood (2009) bahwa akumulasi lemak pada dinding dada dapat menurunkan elastisitas dinding dada. Berkurangnya elastisitas dinding dada akan berakibat pada penurunan udara yang dapat masuk ke paru. Menurut Rochester dan Enson (1974) dalam Sood (2009), hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya fungsi otot pernafasan terutama diafragma yang menyebabkan penurunnan kemampuan diafragma untuk turun pada levelnya pada individu dengan berat badan berlebih dan individu dengan kegemukan sentral, sehingga tekanan intra torakal akan menjadi kurang negatif dibanding normal. Dinding dada yang tebal oleh lipatan lemak pada keadaan yang lanjut akan sangat menghambat gerakan bernafas dinding dada, bahkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas secara intermite. Pada penelitian Chlif, Keochkerian, Feki, et al., (2007) dalam Sood (2009), orang dengan obesitas memiliki risiko lebih besar
Universitas Sumatera Utara
12
untuk terjadinya kelelahan otot pernafasan baik saat latihan fisik maupun saat istirahat. Hal ini juga didukung dengan terjadinya peningkatan kekuatan dan daya tahan otot perafasan pada subjek obesitas yang mengalami penurunan berat badan. Menurut Liwijaya (1992) dalam Pinzon (1999), dalam kajian yang lebih mendalam dapat diterangkan pula kerugian berat badan berlebih dalam hubungannya dengan V02 maks. Pada individu yang mempunyai berat badan normal-berlebih tentu akan mempunyai lipatan lemak lebih banyak. VO2 maks mempunyai arti volume oksigen yang dapat tubuh gunakan saat bekerja sekeras mungkin. Semakin tinggi VO2 maks seseorang akan semakin tinggi pula kemampuan kerjanya. Individu dengan berat badan berlebih dan lipatan lemak yang banyak tentu saja mempunyai kecenderungan untuk mempunyai VO2 maks yang lebih rendah dibanding individu dengan lipatan lemak yang lebih sedikit sehingga kapasitas tubuh untuk dapat menghasilkan energi dan bekerja menjadi semakin terbatas. Hal ini akan menjadi semakin buruk karena dengan berkurangnya kemampuan kerja individu tersebut akan cenderung menjadi lebih gemuk untuk kemudian akan mengurangi V02 maks nya dan demikian seterusnya keadaan menjadi semakin parah tanpa disadari.
2.1.3. Pengukuran Uji Fungsi Paru Uji fungsi paru atau pulmonary function test atau ada juga yang menyebutnya lung function test, digunakan untuk mengevaluasi dan menangani pasien penderita penyakit paru. Spirometri merupakan tes fungsi paru yang paling sering dilakukan untuk mengukur fungsi paru, khususnya volume dan/atau kecepatan aliran udara yang dapat dihirup dan dibuang. Dalam melakukan pengukuran, alat sederhana yang dapat digunakan adalah spirometri. Spirometri pada dasarnya terdiri dari drum atau tong berisi udara yang mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu subjek menghirup dan menghembuskan udara dari drum menggunakan selang penghubung, drum bergerak naik dan turun dan gerakan ini direkam sebagai suatu spirogram yang dikalibrasikan terhadap besar perubahan volume (Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
13
Pada spirometri, dapat dinilai 4 volume paru dan 4 kapasitas paru (Harahap dan Aryastuti, 2012), yaitu; a. Volume paru: 1. Volume tidal, yaitu jumlah udara yang masuk ke dalam dan ke luar dari paru pada pernafasan biasa. 2. Volume cadangan inspirasi, yaitu jumlah udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa. 3. Volume cadangan ekspirasi, yaitu jumlah udara yang dikeluarkan secara aktif dari dalam paru setelah ekspirasi biasa. 4. Volume residu yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru setelah ekspirasi maksimal. b. Kapasitas paru: 1. Kapasitas inspirasi, yaitu jumlah udara maksimal yang dapat masuk ke dalam paru setelah akhir ekspirasi biasa. 2. Kapasitas vital, yaitu jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. 3. Kapasitas residual fungsional, yaitu jumlah udara dalam paru pada akhir ekspirasi biasa. 4. Kapasitas paru total, yaitu jumlah total udara dalam paru setelah inspirasi maksimal.
Universitas Sumatera Utara