1
BAB 1 PENDALUHUAN A. Latar Belakang Masalah
Dewasa muda merupakan kelompok usia yang masuk pada tahap ke enam perkembangan manusia yaitu intimasi versus isolasi. Pada tahap ini orang dewasa muda sangat berhasrat untuk meleburkan identitas diri yang dimiliki dengan orang lain (Erikson, 2010). Derlega dan Janda (1978) menjelaskan bahwa pada tahap intimasi versus isolasi, keterlibatan yang mungkin dialami oleh individu dewasa muda dalam kehidupannya adalah memiliki sahabat, kekasih dan pasangan hidup. Oleh karena itu, banyak dari individu yang telah memasuki usia dewasa muda memutuskan untuk mengikat hubungan kasih yang dimiliki ke dalam perkawinan. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian milik Rubbin (dalam Mar’at, 2012) yang menunjukkan bahwa sebagian besar individu di Amerika yaitu 95% melakukan perkawinan pada usia dewasa muda. Papalia, dkk. (2007) juga menyebutkan bahwa 70% dan 30% laki-laki di Hungaria menikah pada usia dewasa muda. Walgito (2010) juga menyampaikan bahwa usia ideal bagi individu untuk melangsungkan perkawinan adalah usia dewasa muda. Perkawinan adalah dua orang atau lebih yang berkomitmen satu sama lain dan saling berbagi intimasi, pendapatan, membuat keputusan, tanggung jawab dan nilai-nilai (Olson & Defrain, 2003). Perkawinan memberikan kesempatan bagi sepasang kekasih untuk membentuk keluarga. Keluarga adalah awal perjalanan hidup manusia karena pada hakikatnya keluarga merupakan sistem satuan terkecil dari sistem sosial keseluruhan. Berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat terbentuk dari dalam keluarga seperti interaksi sosial, kerjasama, komunikasi, pembagian tugas, hak dan kewajiban. Oleh karena itu, penting membentuk keluarga yang harmonis melihat suasana keluarga merupakan 1
2
aspek penting dalam membentuk masyarakat yang baik. Keluarga harmonis adalah keluarga yang bahagia dan sebaliknya. Suasana keluarga yang harmonis akan menghasilkan masyarakat yang baik karena dari keluarga individu belajar tentang kehidupan (Surya, 2001). Pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan telah menjelaskan bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa merupakan tujuan dalam perkawinan (Walgito, 2010). Keluarga yang bahagia memiliki banyak dampak positif pada aspek-aspek kehidupan bagi pasangan suami istri. Salah satu dampak positif perkawinan yang bahagia berpengaruh positif pada kondisi kesehatan. Adapun empat dampak positif yang dimaksud meliputi mencegah penuaan dini. Perasaan senang yang timbul karena perkawinan yang bahagia dapat membuat tubuh dan pikiran selalu muda dan sehat. Dampak positif kedua yaitu terhindar dari stres. Pada perkawinan yang harmonis, pasangan suami istri selalu menemukan dukungan dan tempat untuk mengekspresikan perasaan. Pasangan yang berhadapan dengan masalah tidak akan merasa sendiri karena ada pasangan yang selalu memberi dukungan. Dukungan yang diberikan oleh pasangan berpengaruh positif pada kesehatan mental dan mencegah pasangan dari stres. Dampak positif ketiga yaitu tekanan darah menjadi normal. Pasangan yang bahagia dengan perkawinannya memiliki tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan pasangan yang bermasalah dengan perkawinannya. Dampak positif keempat yaitu hidup menjadi lebih lama. Perkawinan yang harmonis membuat pasangan suami istri lebih jarang sakit dibandingkan dengan individu yang belum kawin. Hal tersebut dikarenakan pasangan suami istri akan berusaha untuk bersama lebih lamadengan menjaga kesehatan dan kebugaran fisik (Jawaban.com, 2015). Kebahagiaan atau keharmonisan keluarga dapat terwujud dengan kualitas hubungan antarpribadi, baik inter atau antarkeluarga. Keharmonisan di dalam atau antar keluarga
3
tidak akan mudah dicapai tanpa adanya hubungan antarpribadi yang baik (Surya, 2001). Sahara (dalam Simanjuntak, 2013) menjelaskan bahwa untuk mencapai keluarga yang harmonis bukan merupakan hal yang mudah. Membentuk keluarga yang harmonis memerlukan persiapan yang matang dan setiap anggota keluarga harus mengerti peran yang dimiliki di dalam keluarga. Hal serupa juga disampaikan oleh Rachmad (dalam Simanjuntak, 2013) bahwa untuk menciptakan keluarga yang harmonis setiap anggota keluarga harus menjalankan status dan peran yang dimiliki di dalam keluarga.Sadarjoen (2005) menambahkan bahwa kebahagiaan di dalam perkawinan bukan merupakan tujuan yang mudah dicapai karena setiap perkawinan tidak dapat terhindar dari konflik perkawinan. Konflik perkawinan dapat menyebabkan penderitaan dalam perkawinanyang dapat memengaruhi faktor-faktor penting lain dalam perkawinan seperti produktivitas kerja. Penderitaan dalam perkawinanmengakibatkan penurunan produktivitas kerja bagi pasangan suami istri. Bloom, dkk.(dalam Sadarjoen, 2005) menjelaskan bahwa konflik perkawinan memberi dampak negatif pada kesehatan fisik dan mental. Adapun efek negatif yang dimaksud meliputi meningkatnya resiko psikopatologi. Meningkatnya kecelakaan mobil yang berakibat fatal. Meningkatnya kasus percobaan bunuh diri. Meningkatnya kekerasan antar pasangan. Rentan terhadap penyakit yang disebabkan hilangnya daya tahan tubuh. Efek negatif terakhir yaitu kematian yang disebabnan oleh penyakit yang berasal dari ketegangan psikologis. Konflik perkawinan yang menyebabkan keluarga tidak harmonis selain berdampak negatif pada pasangan suami istri, konflik di dalam perkawinan juga berpengaruh pada perkembangan psikologis anak. Dampak negatif ketidakharmonisan keluarga pada psikologis anak meliputi depresi, anak menarik diri dari pergaulan sosial. Anak memiliki
4
kompetensi sosial yang rendah. Anak memiliki performa akademik yang rendah dan gangguan perilaku (Hetherington & Clingempeel dalam Sadarjoen, 2005). Melihat banyaknya dampak negatif yang disebabkan oleh konflik perkawinan terhadap kebahagiaan perkawinan. Penting untuk melakukan usaha agar kebahagiaan perkawinan yang dialami pasangan suami istri terus tercapai bahkan meningkat. Salah satu indikator untuk mencapai kebahagiaan perkawinan maka pasangan suami istri harus mencapai perkawinan yang puas. Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan suami istri belum tentu sama. Mar’at (2012) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan gender dalam kepuasan perkawinan. Istri memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah dibandingkan dengan suami. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ibrahim (2002) bahwa jumlah kepuasan perkawinan yang dirasakan istri lebih sedikit dibandingkan dengan suami. Dion dan Dion (dalam Matlin, 2008) menjelaskan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa banyaknya peran yang dimiliki oleh perempuan setelah kawin menyebabkan kepuasan perkawinan menjadi berkurang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bell (Mar’at, 2012) menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan yang dimiliki oleh istri lebih rendah dibandingkan kepuasan perkawinan yang dimiliki suami. Rendahnya kepuasan perkawinan terutama terjadi pada istri yang tidak bekerja, karena istri memiliki pilihan yang lebih terbatas dalam memenuhi kepuasan pribadi. Rubin (dalam Mar’at, 2012) juga menambahkan
bahwa
keluhan
yang disampaikan
oleh
istri
tentang kepuasan
perkawinannya berkaitan dengan sikap suami yang tidak peduli pada kondisi emosional istri dan tidak mengekspresikan perasaan serta pikiran yang dimiliki. Mar’at (2012) memaparkan bahwa kepuasan dan kebahagiaan perempuan dalam perkawinannya tidak sama pada setiap budaya dan negara. Perempuan yang telah melangsungkan perkawinan memiliki persepsi sendiri terkait kepuasan di dalam
5
perkawinannya. Hasil penelitian menunjukkan 86,2% perempuan Jepang mengaku puas dengan perkawinan yang dijalani (Shimbun dalam Mar’at, 2012). Kecenderungan yang sama juga ditemui di Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kebahagiaan istri dengan partisipasi suami dalam membantu pekerjaan rumah tangga pada orang Jawa. Pada perempuan Minahasa, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi partisipasi suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga maka semakin rendah tingkat kebahagiaan perkawinan yang dimiliki oleh istri (Megawangi dalam Mar’at, 2012). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Ardhani (2015) menemukan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan dari suku Bugis, Jawa dan Banjar di kecamatan Balikpapan Selatan kota Balikpapan. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak adanya perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bugis, Jawa dan Banjar adalah kesamaan budaya. Budaya yang dimaksud adalah budaya koletivistik. Pada budaya kolektivistik individu cenderung memperhatikan kebutuhan dan minat orang lain, saling tergantung, hal pribadi kurang menonjol, emosi tergantung pada kelompok serta menekankan pada loyalitas. Beberapa negara yang masih menganut budaya kolektivistik meliputi negara seperti Indonesia, India, Cina dan Pakistan. Suku Bugis, Jawa dan Banjar termasuk dalam golongan masyarakat yang kolektivistik, artinya individu cenderung memperhatikan kebutuhan dan minat pasangan, saling tergantung, lebih memperhatikan kebutuhan pasangan dan setia pada pasangan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang memengaruhi tercapainya kepuasan perkawinan yang dialami oleh perempuan. Sadarjoen (2005) menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi tercapainya kepuasan perkawinan meliputi komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan. Brubaker (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008)
juga
6
menyebutkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi kesuksesan perkawinan diantaranya, komunikasi, pembuatan keputusan dan penyelesaian konflik. Calhoun dan Acocella (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa faktor penting yang memengaruhi tercapainya keutuhan keluarga adalah keberhasilan dalam melakukan penyesuaian antar pasangan. Paragraf sebelumnya telah disebutkan beberapa faktor yang memengaruhi tercapainya kepuasan perkawinan. Adapun faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah penyesuaian perkawinan. Faktor penyesuaian perkawinan sangat komprehensif menjadi faktor penting yang memengaruhi kepuasan perkawinan. Surya (2001) menjelaskan bahwa perkawinan merupakan proses yang penuh transisi dari suatu keadaan ke keadaan lain. Proses ini akan dapat dilalui dengan sukses dan membawa kebahagiaan di dalam perkawinan jika individu memiliki kemampuan menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang utama dalam keseluruhan proses kehidupan perkawinan adalah penyesuaian perkawinan. Walgito (2010) menyatakan hal serupa bahwa untuk mencapai keutuhan perkawinan pasangan suami istri harus melakukan penyesuaian satu sama lain. Hal itu perlu dilakukan karena pasangan suami istri adalah dua individu yang masing-masing telah memiliki pribadi sendiri. Glenn (dalam Lestari, 2012) juga menjelaskan tentang pentingnya penyesuaian perkawinan terhadap keutuhan keluarga. Menurut Glenn (dalam Lestari, 2012) di dalam proses penyesuaian perkawinan terdapat tiga indikator penting yang meliputi, konflik, komunikasi dan pembagian tugas rumah tangga. Tiga indikator tersebut akan menentukan keberhasilan penyesuaian di dalam perkawinan. Keberhasilan penyesuaian perkawinan ditandai dengan sikap dan cara konstruktif dalam menyelesaikan masalah. Komponen dalam melakukan penyelesaian masalah yang konstruktif adalah komunikasi yang positif. Peran penting komunikasi adalah untuk
7
membangun kedekatan dan keintiman antar pasangan. Keberhasilan penyesuaian perkawinan dapat disebut berhasil jika pasangan mampu menjaga kedekatan dan keintiman satu sama lain. Pembagian tugas rumah tangga merupakan indikator terakhir dari proses penyesuaian perkawinan. Pasangan suami istri dapat dikatakan memiliki penyesuaian perkawinan yang baik jika pasangan suami istri terlibat bersama dalam melaksanakan tugas dan peran dalam rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian perkawinan akan terasa semakin sulit bagi istri yang pada akhirnya harus tinggal bersama keluarga batih suami (keluarga besar). Istri tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan suami tetapi juga dengan keluarga batih dari pihak suami seperti mertua, kakak atau adik ipar. Bentuk penyesuaian perkawinan
seperti
keluarga batih masih berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patrilineal. Salah satu daerah yang masih menganut budaya patrilineal adalah Bali. Perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan dan belum mampu memiliki rumah sendiri diwajibkan untuk menetap atau tinggal di keluarga batih pihak suami dalam satu atap atau pekarangan yang biasanya terdiri dari mertua dan ipar. Swarsi, dkk. (1986) menjelaskan bahwa setelah melangsungkan perkawinan istri perlu menyiapkan mental karena mereka akan berpisah dengan orang tua maupun kerabat dekatnya. Istri kemudian masuk ke dalam lingkungan baru yaitu keluarga batih suami dengan berbagai macam kondisi dan orang-orang yang cukup heterogen sehingga dibutuhkan penyesuaian yang baik oleh istri agar mampu mengurangi ketegangan atau konflik dengan mertua. Studi pendahuluan oleh Rospita(2015) pada 40 orang perempuan Bali yang telah kawin menemukan area-area penyesuaian dan konflik pada menantu perempuan yang tinggal di keluarga batih suami. Area-area yang membutuhkan penyesuaian oleh menantu perempuan terhadap keluarga batih suami meliputi adat istiadat keluarga suami, komunikasi, kepribadian atau karakter mertua, nilai dan norma keluarga
8
suami. Adapun konflik-konflik yang terjadi antara menantu perempuan dengan mertua meliputi masalah domestik, pengasuhan anak (cucu), karakter mertua, perbedaan sudut pandang, masalah komunikasi, masalah finansial dan tradisi keluarga. Pada masyarakat Bali juga terdapat pasangan suami istri yang memilih untuk tidak tinggal bersama keluarga batih pihak suami atau keluarga batih pihak istri, tetapi pasangan suami istri berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Masyarakat Bali mengenal perkawinan ini sebagai nuclear family atau keluarga inti (Swarsi, dkk., 1986). Pasangan suami istri yang memilih untuk tinggal sendiri tidak berarti bahwa pasangan tersebut terlepas dari tugas untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Penyesuaian perkawinan tetap diperlukan untuk mencegah konflik pada perkawinan yang dijalani. Landis dan Landis (1970) menjelaskan bahwa perbedaan kepribadian pada pasangan suami istri mampu membuat penyesuaian perkawinan terasa lebih sulit. Mar’at (2012) menambahkan bahwa penyesuaian perkawinan antar pasangan suami istri bukan merupakan penyesuaian perkawinan yang mudah, karena suami atau istri memiliki persepsi dan harapan yang berbeda terhadap perkawinan yang dijalani. Studi pendahuluan oleh Rospita(2015) pada 40 orang perempuan Bali yang telah kawin menemukan area-area penyesuaian dan konflik yang terjadi antara istri dengan suami yang tinggal di dalam keluarga inti. Area-area yang membutuhkan penyesuaian antara istri dengan suami meliputi masalah keuangan (pendapatan), latar belakang pasangan, kepribadian pasangan, perbedaan prinsip atau pandangan, komunikasi, waktu luang dan pengasuhan anak. Adapun konflik-konflik yang terjadi antara istri dengan suami meliputi masalah keuangan, kepribadian suami, pengasuhan anak, perbedaan pendapat, resolusi konflik, komunikasi, waktu luang dan campur tangan orangtua. Berkaitan dengan penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh perempuan Bali yang tinggal di dalam keluarga batihdan keluarga inti. Mar’at (2012) menjelaskan bahwa
9
perkawinan menuntut perubahan peran yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Besarnya peran dan tanggung jawab di dalam perkawinan memerlukan penyesuaian sehingga kelanggengan dan kebahagiaan perkawinan mampu dicapai. Atwater (1983) menambahkan bahwa untuk mencapai kepuasan di dalam perkawinan, suami atau istri terus melakukan penyesuaian terkait harapan dan peran satu sama lain. Pada perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan dan tinggal di dalam keluarga batih atau keluaga inti memiliki peran-peran yang tidak sedikit dan wajib untuk dilaksanakan. Peran-peran tersebut terbagi menjadi dua yaitu peran dalam ranah domestik dan peran di masyarakat. Adapun peran domestik perempuan Bali meliputi mengatur peralatan rumah tangga, memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu, mengasuh dan mendidik anak-anak. Peran perempuan Bali dalam kegiatan sosial keagamaan atau adat di masyarakat meiputi menyiapkan sajen untuk upacara, gotong royong dan tolong menolong (Arsana, dkk., 1986). Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti ingin mengetahui tentang penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dengan yang tinggal di keluarga batih.Penelitian ini akan dilakukan di Denpasar dengan pertimbangan Denpasar memiliki jumlah rumah tangga tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Provinsi Bali. Jumlah
rumah tangga yang ada di Kota
Denpasar yaitu 228.119 rumah tangga, Buleleng sejumlah 173.041 rumah tangga, Badung sejumlah 142.503 rumah tangga, Tabanan sejumlah 106.197 rumah tangga, Gianyar sejumlah 103.516 rumah tangga, Karangasem sejumlah 103.093 rumah tangga, Jembrana sejumlah 72.661 rumah tangga, Bangli sejumah 55.473 rumah tangga dan Klungkung sejumlah 43.657 rumah tangga. Adapun pertimbangan lain yaitu Denpasar memiliki keragaman karakteristik penduduk dalam hal pendidikan dan pekerjaan sehingga hasil
10
yang ditemukan dari penelitian ini akan lebih bervariasi (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014). A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Apakah ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti? 2. Apakah ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga batih? 3. Apakah ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga intidengan yang tinggal di keluarga batih? 4. Apakah ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dengan yang tinggal di keluarag batih?
B. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti. 2. Untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga batih. 3. Untuk mengetahui perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dengan yang tinggal di keluarga batih. 4. Untuk mengetahui perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga intidengan yang tinggal di keluarga batih.
11
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
:
a. Memperkaya kajian Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Klinis terkait penyesuaian dan kepuasan perkawinan, b. Menambah kajian indigeneous psychology tentang perkawinan dalam Budaya Bali. 2. Manfaat Praktis
:
a. Memberikan insight pada perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di keluarga intiatau keluarga batihbahwa penyesuaian perkawinan menentukan kepuasan perkawinan yang dialami oleh istri. b. Memberikan informasi tentang faktor-faktor penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di keluarga intiatau keluarga batihsehingga mampu melakukan penyesuaian perkawinan dengan mudah dan mampu mencapai kepuasan perkawinan.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul Penyesuaian dan Kepuasan Perkawinan pada perempuan Bali yang Tinggal di keluarga inti dan keluarga batih suamimerupakan penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain atau peneliti sebelumnya. Berdasarkan penelusuran peneliti terdapat enam judul penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Enam penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian milik peneliti yaitu Wisnubroto (2009) yang melakukan penelitian berjudul Kebahagiaan Perkawinan Ditinjau dari Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri, yang hasilnya menunjukkan adanya hubungan
12
yang positif dan signifikan antara penyesuaian diri pada pasangan suami istri dengan kebahagiaan perkawinan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dimana subjek merupakan 358 pasangan suami istri yang berasal dari Purwokinanti. Ermawati (2010) melakukan penelitian berjudul Pengaruh Self Disclosure terhadap Penyesuaian Diri pada Keluarga Pasangan (Studi Pada Menantu Perempuan yang Tinggal Serumah Dengan Mertua), yang hasilnya menunjukkan adanya pengaruh antara self disclosure terhadap penyesuaian diri pada menantu perempuan yang tinggal serumah dengan mertua. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dimana subjek merupakan 34 menantu perempuan yang bersuku Jawa dan tinggal bersama dengan mertua. Fitroh (2011) melakukan penelitian berjudul Hubungan antara Kematangan Emosi dan Hardiness dengan Penyesuaian Diri Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua, yang hasilnya menunjukkan ada hubungan positif antara kematangan emosi dan hardiness dengan penyesuaian diri menantu perempuan yang tinggal bersama mertua. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dimana subjek merupakan 30 menantu perempuan yang tinggal dengan mertua. Comin dan Santos (2012) melakukan penelitian berjudul Correlation between Subjective Well-Being, Dyadic Adjustment and Marital Satisfaction in Brazilian Married People, yang hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara dyadic adjustment dengan marital satisfaction. Penelitin ini dilakukan dengan metode kuantitatif dimana subjek merupakan menantu perempuan yang tinggal bersama mertua atau tinggal sendiri. Surya (2013) melakukan penelitian berjudul Kepuasan Perkawinan pada Isrti Ditinjau dari Tempat Tinggal, yang hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan kepuasan pernikahan pada subjek yang tinggal dengan mertua dan tinggal sendiri. Kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh kedua kelompok subjek menunjukkan sama-sama tinggi.
13
Penelitin ini dilakukan dengan metode kuantitatif dimana 53 subjek merupakan pasangan suami istri yang telah menikah minimal 1 tahun dengan atau tanpa anak. Batuh, dkk. (2013) melakukan penelitian berjudul Marital Satisfaction of Balinese Women in Ngerob Family, yang hasilnya menunjukkan bahwa pernikahan Wanita Bali yang melakukan ngerob dalam keadaan baik, harmonis dan bahagia, namun tidak ada yang menyebutkan pernikahannya berada tingkat sangat bahagia. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dimana subjek merupakan 20 Perempuan Bali yang telah menikah dan tinggal bersama mertua. Dari keenam penelitian yang telah dijabarkan pada paragraf sebelumnya, terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian milik peneliti. Perbedaan tersebut misalnya pada variabel bebas, variabel tergantung, metode penelitian atau populasi subjek yang diteliti. Variabel bebas pada penelitian ini adalah penyesuaian perkawinan, sedangkan variabel tergantungnya adalah kepuasan perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan populasi subjek perempuan Bali yang telah kawin dan berdomisili di Denpasar. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.