BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam strategi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan misinya. Isu ganja di tanah air sendiri sudah sering terdengar beberapa tahun terakhir, pemerintah dan beberapa kelompok masyarakat banyak mengkampanyekan gerakan anti-narkotika untuk memberantas dan meminimalisir akibat peredaran narkotika. Namun disini menarik, ketika ramai orang mengkampanyekan anti-narkotika, di satu sisi muncul sebuah gerakan sosial yang antimainstream yang membawa isu untuk melegalkan salah satu anggota dari golongan narkotika. Indonesia sebagai negara berkembang memang mengalami masalah yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain di dunia dalam mengatasi peredaran gelap narkotika, dalam kasus ini yaitu ganja. Masalah perdagangan gelap ganja sudah lama berlangsung sejak pelarangan ganja resmi dicanangkan pada Konvensi Tunggal PBB tahun 1961. Banyak oknum yang mecari keuntungan yang sangat luar biasa dari peredaran gelap ganja. Di Indonesia sendiri, besarnya barang bukti penangkapan ganja disetiap operasi yang dilakukan oleh Kepolisian menunjukkan betapa tingginya demand akan tanaman ini di masyarakat. Pengguna ganja di Indonesia sangat banyak jumlahnya, dan dari seluruh kalangan. Pengguna ganja tidak memiliki ciri atau penampilan tertentu, sehingga bisa tampak seperti orang biasa yang tidak mengkonsumsi ganja. Karena hukumannya yang relatif berat, peredaran ganja banyak dilakukan oleh pasar gelap, karena hanya orang yang berani mengambil resiko yang bisa menjadi penjual atau pengedar ganja.
Berbicara tentang ganja masih dianggap sangat tabu oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Tidak heran jika kemudian topik tentang ganja selalu menimbulkan perdebatan dan bahkan kontroversi. Tak terkecuali tentang isu legalisasi ganja yang diusung oleh Lingkar Ganja Nusantara, yang menuai banyak tanggapan dari masyarakat dan media massa, baik yang pro maupun yang kontra. Lingkar Ganja Nusantara, sebagai pihak yang mengangkat isu legalisasi ganja, berpedoman pada pandangan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang sangat potensial yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya, baik manfaat di bidang kesehatan maupun manfaat di bidang industri. Pihak lain yang memandang segi positif tanaman ganja juga menyatakan bahwa ganja selama ini lekat dengan nilai negatif karena memang selama ini tidak ada upaya untuk mengembangkannya ke arah positif. Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja selalu berkonotasi buruk. Menurut mereka, ganja harus dilihat secara proporsional, tidak begitu saja dibasmi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini” Kenyataan menunjukan bahwa ganja memiliki status sebagai narkotika golongan 1, walaupun tidak didukung oleh data ilmiah yang masih belum jelas kebenarannya. Di sinilah akar permasalahan mengapa ganja dinilai sebagai sesuatu yang buruk terbentuk. Oleh karena itu, Lingkar Ganja Nusantara muncul sebagai ujung tombak pergerakan dalam membuat perubahan
dalam hal ini, mengeluarkan ganja dari narkotika golongan 1. Dengan statusnya sebagai narkotika golongan 1, ganja mendapat citra buruk di mata masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat di Indonesia saat ini memiliki pendapat bahwa ganja adalah tanaman yang berbahaya yang bisa menjerumuskan manusia ke hidup penuh dosa, penyakit, dan kecanduan (Narayanaet.al, 2011: 1). Ganja juga dikenal sebagai tanaman yang hanya diburu oleh pemakainya demi kesenangan yang sifatnya sesaat. Tujuan utama dari diberlakukannya undangundang tentang narkotika adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Namun, Lingkar Ganja Nusantara melihat bahwa undang-undang narkotika ini memberi cap buruk terhadap ganja, karena masyarakat di Indonesia kurang mendapat informasi yang jelas dari pemerintah tentang bahaya ganja, pemerintah hanya memberitahu bahwa menurut penelitian ganja adalah narkotika golongan 1 yang sama berbahayanya dengan cocaine dan heroin, sedangkan penelitian tersebut sampai sekarang masih diperdebatkan dan belum dapat dibuktikan kebenarannya. Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mengetahui dengan pasti apa sebenarnya akibat yang ditimbulkan dari penggunaan ganja. Masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang valid dan jujur mengenai efek dari zat yang terkandung dalam ganja. Informasi yang selalu diperoleh umumnya bersumber dari suatu penelitian ilmiah yang tidak lengkap dan cenderung sepihak. Banyak informasi yang keliru yang bisa ditemukan dari hasil penelitian tersebut. Isu legalisasi ganja di Indonesia, seperti juga halnya di negara-negara lain, selalu menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang mendukung dan adapula yang tegas menolak dan menentangnya. Meski demikian, Lingkar Ganja Nusantara tetap dalam usahanya memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia. Lingkar Ganja Nusantara berpandangan dan
berkeyakinan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang dapat dimaksimalkan untuk kepentingan yang positif dan legal. Manfaat ganja dari segi medis, industri dan dekriminalisasi pengguna ganja menjadi landasan perjuangan mereka dalam mengibarkan bendera legalisasi ganja di Indonesia, bukan dalam rangka melegalkan ganja untuk dikonsumsi demi kepentingan rekreasional saja, yang sejauh ini telah terbukti banyak disalahgunakan sehingga menciptakan persepsi negatif dari masyarakat terhadap tanaman ganja. Perjalanan panjang tanaman ganja di Indonesia telah menghantarkannya sekali lagi ke dalam kesadaran publik. Pemakai dan pemakaian ganja yang terus bertambah dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun tidak pernah terlihat berkurang sedikitpun. Pemerintah Indonesia disini melihat fenomena ganja sebagai „penyakit‟ dalam masyarakat dan terjebak dalam perangkap propaganda yang diatur oleh kekuatan politik sebagai „perang terhadap narkotika‟. Memerangi narkotika sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah usaha yang sama sekali tidak menemui keberhasilan. Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa dalih moral, ketertiban sosial, dan norma agama telah dipakai berulang-ulang oleh pihak yang berkepentingan untuk mempertahankan persepsi masyarakat terhadap kriminalisasi pemakaian dan pemakai ganja. Lingkar Ganja Nusantara juga menarik kesimpulan bahwa pihak yang berkepentingan seperti para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan para ilmuwan yang ada telah melihat dampak sosial yang tak tertanggungkan yang muncul dari „perang‟ terhadap ganja. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, ganja memiliki dampak negatif sosial dan kesehatan yang lebih rendah daripada narkotika golongan lainnya, atau bahkan tembakau. Satu hal yang diyakini oleh Lingkar Ganja Nusantara untuk tetap memperjuangkan ganja untuk dilegalkan karena ganja sudah tidak layak lagi dikambing-hitamkan sebagai sebuah sumber penyakit dalam masyarakat, karena sudah saatnya masyarakat memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri dan tidak lagi menyalahkan atau bergantung secara pasif kepada modifikasi kesadaran dari hal lain diluar dirinya. Legalisasi ganja sebagai suatu isu yang masih kontroversial, di satu sisi memang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, namun di sisi lain, adanya kontroversi terkait isu tersebut tidak dapat dipungkiri, secara langsung maupun tidak juga dapat sedikit banyak membantu Lingkar Ganja Nusantara dalam membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat luas terhadap keberadaan isu tersebut di Indonesia. Hal tersebut pada saatnya akan berpengaruh terhadap berbagai strategi dan usaha dalam sosialisasi maupun kampanye legalisasi ganja di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan isu legalisasi ganja menjadi penting karena untuk dapat mempengaruhi masyarakat akan sesuatu yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran, haruslah diawali dari membangun sebuah isu menjadi sesuatu yang dipahami secara luas. Jika isu legalisasi
ganja
ini
menjadi
isu
yang
mainstream
di
Indonesia,
maka
untuk
mengimplementasikan wacana ini menjadi lebih mudah. Oleh karenanya, penelitian ini berfokus pada strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dalam mengkampanyekan isu legalisasi ganja di Indonesia. Hal ini sekali lagi mengingat bahwa isu legalisasi ganja di Indonesia yang masih dianggap kontroversial, sehingga strategi advokasi yang dilakukan sangat menarik untuk dilihat. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana strategi Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan advokasi untuk legalisasi ganja di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
penelitian
yang
mengangkat
bagaimana
Lingkar
Ganja
Nusantara
memperjuangkan visi dan misinya dalam proses legalisasi ganja di Indonesia, penelitian ini memiliki tujuan utama yaitu mengetahui dan mengelaborasi cara Lingkar Ganja Nusantara melakukan strategi advokasi dalam usaha mencapai visi dan misinya. D. Kerangka Teori Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam strategi advokasi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan misinya. Untuk membahas pentingnya strategi suatu organisasi dalam melaksanakan sebuah gerakan advokasi, terlebih dahulu diperlukan pemahaman tentang advokasi. Advokasi muncul akibat dari proses kebijakan publik yang tidak selalu mulus dan hanya sampai pada tahap evaluasi kebijakan, tetapi juga memungkinkan hadirnya pertentangan dari pihak lain terhadap kebijakan pemerintah. Dampak dari suatu kebijakan itu tidak sama bagi setiap orang sehingga muncul perlawanan dari kelompok masyarakat yang sifatnya mengadvokasi kepentingan masyarakat. Advokasi terhadap kebijakan hadir sebagai alternatif kebijakan yang mendorong pada arah perubahan yang lebih baik. D.1 Advokasi Pengertian tentang advokasi, dewasa ini sangatlah beragam. Namun dalam praktiknya, baik yang dilakukan oleh praktisi (advokat, pendamping korban), maupun kalangan akademisi mempunyai pandangan yang sama tentang kegiatan advokasi adalah sebuah pembelaan bagi korban baik individu maupun kelompok/masyarakat. Konsepsi advokasi menurut pengertian dalam kamus (Macquarie Dictionary) mengatakan bahwa asal kata advokasi berasal dari kata
advocate yaitu, kegiatan-kegiatan untuk membela dengan aksi bersimpati, aksi menggalang bantuan dan pertolongan, berupa dukungan argumentasi yang dapat diterima oleh publik dari seorang yang membela, yang menjadi korban, atau dari orang-orang atau dari pihak lain yang mendukung alasan-alasan kasus, termasuk dari pihak pengacara atau advokat (Wahyudi et.al, 2008: 24). Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan (approaches) terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan (Dunn, 1999: 406). Oleh karena itu, yang menjadi sasaran atau target advokasi adalah para pemimpin suatu organisasi atau institusi kerja, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, serta organisasi kemasyarakatan. Advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang. Secara sederhana, advokasi dapat dipahami sebagai: Pertama, serangkaian tindakan yang diarahkan terhadap para pembuat kebijakan untuk mendukung isu kebijakan tertentu (Topatimasang et.al, 2005; viii). Kedua, suatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju (incremental) (Topatimasang et.al, 2005; viii). Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) (Parson, 2006: 70). Maka yang dimaksud advokasi disini adalah advokasi kebijakan, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu meliputi hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan pengadilan.
Kegiatan advokasi dapat dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang menjadi korban dengan dukungan pihak lain yang tidak hanya dari seorang pengacara atau advokat melainkan dukungan masyarakat di semua lapisan. Namun, idealnya, advokasi tetap dilaksanakan dengan berbasis perjuangan dari kelompok masyarakat yang menderita dampak atas hak (asasi atau hukum) baik secara laten maupun manifes. Intinya, kegiatan advokasi adalah untuk menggalang dukungan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan kekuatan untuk suatu tujuan tertentu dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Advokasi dapat juga dikatakan sebuah seni, karena dalam praktiknya dibutuhkan daya kreatifitas dan kecerdasan pelakunya untuk membuat aksi strategis dan terpadu untuk memasukkan masalah ke dalam agenda kebijakan dan mengontrol para pembuat kebijakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Pada dasarnya, tujuan dari advokasi adalah untuk mendapatkan komitmen pembelaan dan pendampingan untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara secara demokratis dan adil. Sedangkan, tujuan akhir advokasi adalah terjadinya perubahan peraturan atau kebijakan (policy reform). Dengan kata lain, advokasi sebenarnya merupakan upaya untuk memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Secara lebih spesifik, dalam praktiknya kegiatan advokasi banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa. Kebijakan publik merupakan beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan
pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan. Uraian diatas menunjukan bahwa advokasi mempunyai dimensi yang sangat luas dan komprehensif sekali. Advokasi bukan sekedar melakukan lobi-lobi politik, tetapi mencakup kegiatan persuasif, memberikan semangat, dan bahkan sampai memberikan tekanan kepada para pimpinan institusi. Advokasi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh kelompok/organisasi, maupun masyarakat. Tujuan utama advokasi adalah to encourage public policies that are supportive to people (Dunn, 1999: 404). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa advokasi adalah kombinasi antara pendekatan atau kegiatan individu dan kelompok, untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, dan adanya sistem yang mendukung terhadap suatu program atau kegiatan. Tujuan advokasi dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan atau pendekatan, dan untuk melakukan kegiatan advokasi yang efektif memerlukan argumen yang kuat. Secara rinci Wahyudi (2008: 27) menjelaskan beberapa tujuan advokasi, yaitu:
Perbaikan substansi kebijakan Advokasi terhadap kebijakan dilakukan untuk mendesakkan perubahan atas nilai, ukuran dan kualitas beijakan agara berpihak pada masyarakat sebagai objek kebijakan.
Perbaikan proses penyusunan dan keputusan kebijakan Sebagai prasyarat agar kualitas kebijakan diatas, berpihak pada rakyat, maka harus didesakkan perubahan atas proses penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara terbuka.
Perbaikan pelaksanaan dan pertanggung jawaban kebijakan
Penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan dapat menyebabkan kerugian akan ditanggung
oleh
masyarakat.
Oleh
karena
itu,
memantau
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban kebijakan penting dilakukan sebagai bagian dari advokasi terhadap kebijakan.
Perubahan persepsi dan sikap masyarakat Perubahan persepsi, pemahaman, penafsiran, reaksi dan tindakan masyarakat yang melihat bahwa kebijakan adalah miliki para pejabat publik dan elit politik atau masyarakat saja. Pada dasarnya kebijakan adalah milik publik, sehingga masyarakat berhak untuk tahu dan berpartisipasi didalamnya.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah Perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangatlah rawan dengan banyaknya berbagai kepentingan yang masuk didalamnya. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk terlibat dalam monitoring proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dari beberapa poin di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan advokasi terhadap suatu
kasus atau isu bertujuan untuk membangun dukungan terhadap kasus atau isu tertentu, mempengaruhi orang lain untuk mendukungnya dan berusaha mempengaruhi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi. Untuk mencapai tujuan advokasi, tidak dapat dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat saja, tetapi dibutuhkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Hal ini guna menekan pemerintah agar dapat mempengaruhi kebijakan yang diskriminatif. Untuk itu, dalam melakukan kegiatan advokasi diperlukan strategi yang tepat agar mampu mempengaruhi persepsi masyarakat secara luas guna mendukung kegiatan advokasi yang dilakukan.
D.2 Strategi Advokasi Kebijakan Penyusunan strategi dalam melakukan advokasi berangkat dari asumsi bahwa sebuah tujuan mustahil tercapai apabila tidak ada upaya untuk mencapainya, dan kalaupun tercapai tidak lebih dari sebuah keberuntungan semata yang kita tidak tahu kapan itu akan datang (Pamungkas, 2010: 59). Jadi dapat dikatakan bahwa melakukan perencanaan strategi sama dengan mengusahakan separuh dari keberhasilan kegiatan advokasi, begitupun sebaliknya, tanpa melakukan perencanaan strategi sama dengan merencanakan setengah kegagalan dalam kegiatan advokasi. Secara spesifik Pamungkas (2010: 60) menjelaskan bahwa dalam proses advokasi, menyusun strategi merupakan hal yang urgen karena memberikan pelbagai manfaat, antara lain:
Perencanaan strategi memandu aktivitas advokasi lebih terarah.
Mengoptimalkan potensi positif serta mendayagunakan peluang dan meminimalisasi resiko dan tantangan dalam proses advokasi. Proses penyusunan strategi sangat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan utama advokasi
yaitu memperoleh komitmen dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat terlebih dari para penentu kebijakan atau pembuat keputusan di segala tingkat. Hal terpenting dalam advokasi kebijakan adalah membangun siasat yang tepat agar misi dari advokasi tercapai (Pamungkas, 2010: 76). Dapat dikatakan, berhasil atau tidaknya kegiatan advokasi dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya perencanaan strategi. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan tersebut dengan membangun kesadaran publik dan mendorong adanya perubahan kebijakan. D.2.1 Membangun kesadaran publik
Dalam kegiatan advokasi, proses penyadaran publik merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mempengaruhi cara pikir masyarakat dan proses kebijakan. Proses penyadaran publik ditempuh dengan upaya memberikan argumen rasional dengan harapan bahwa masyarakat dapat ikut meyakini tujuan kegiatan advokasi yang dilakukan merupakan respon terhadap masalah sosial. Strategi ini merupakan langkah untuk mengemas isu secara menarik dan meyakinkan. Strategi ini berupa kegiatan advokasi yang dapat dilihat secara langsung dengan tujuan untuk menarik perhatian para pembuat kebijakan dan masyarakat. Kegiatan ini juga dimaksudkan agar masyarakat mendapat informasi yang lebih jelas dan dapat menilai sendiri tentang isu yang diangkat dalam kegiatan advokasi. Sebagai individu atau organisasi pelaku advokasi yang ingin membangun opini publik dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik, diharuskan memiliki kekuasaan berdasarkan isu yang diangkat. Pelaku advokasi dapat mengubah kebijakan publik apabila mampu menawarkan alasan yang masuk akal untuk menjustifikasi posisi atau kebenaran. Kondisi tersebut harus diselaraskan dengan kepentingan publik, membangun hubungan yang efektif dan saling menguntungkan atau meningkatkan kepentingan pelaku advokasi. Para pihak yang terlibat dalam proses advokasi memainkan peran sebagai agenda-setter yang berusaha untuk mempengaruhi opini publik agar sejalan dengan yang diinginkan sehingga proses advokasi akan mendapatkan dukungan dari masyarakat secara lebih luas (Pamungkas, 2010: 79). Dengan adanya dukungan dari masyarakat secara luas, ini merupakan “amunisi” yang sangat berharga karena mengindikasikan adanya legitimasi sosial yang kuat atas isu yang diangkat oleh pelaku advokasi. Pelibatan banyak orang dengan beragam kepentingan ke dalam satu isu bersama dalam banyak hal bisa memberikan rasa aman terhadap proses advokasi dan bisa memberi dasar dukungan politik (Pamungkas, 2010: 18).
Strategi untuk membangun kesadaran publik dapat ditempuh melalui media massa, social media dan aksi turun ke jalan. Media massa dan social media memiliki peran penting dalam proses advokasi. Melalui media cetak maupun media elektronik, permasalahan disajikan baik dalam bentuk lisan, artikel, berita, diskusi, penyampaian pendapat, dan sebagainya (Nugroho, 2006: 168). Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa mempunyai kemampuan yang kuat untuk membentuk opini publik (public opinion), yang dapat mempengaruhi bahkan memberikan tekanan (pressure) terhadap para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan (Nugroho, 2006: 169). Strategi ini juga dapat dilakukan dengan menggelar aksi di jalanan sebagai bentuk perlawanan kepada para pembuat kebijakan. Aksi yang dilakukan lebih secara aksi damai dalam menyuarakan pendapat dengan tidak melakukan tindakan provokatif (bakar ban, bersitegang dengan aparat pengamanan, bahasa yang tidak sopan), hal ini dilakukan guna menarik simpati masyarakat bahwa aksi yang dilakukan adalah murni untuk menyuarakan pendapat dan guna mengurangi resiko mendapatkan cap buruk dari pemerintah maupun masyarakat. Aksi ini sangat membutuhkan kerjasama dengan pihak media massa untuk memberitakan adanya suatu kegiatan advokasi yang isunya layak disoroti. Strategi ini diperlukan untuk mengangkat dan menyebarluaskan isu kepada masyarakat agar isu yang diangkat dapat menjadi topik perbincangan di masyarakat, pro-kontra yang tercipta akibat isu yang diangkat akan sangat membantu proses advokasi karena hasil perdebatan baik dari pihak pendukung maupun dari pihak yang menentang merupakan bahan pembelajaran penting dalam mempersiapkan strategi ke depannya. D.2.2 Mendorong perubahan kebijakan
Advokasi merupakan bentuk penguatan strategi “otak” dengan melakukan kajian ilmiah melalui berbagai metode dalam riset, dengan tujuan untuk meyakinkan para pembuat kebijakan maupun masyarakat luas bahwa isu advokasi yang diusung merupakan isu publik yang sesungguhnya (Pamungkas, 2010: 77). Pelaku advokasi pun dituntut untuk memberikan tawaran solusi yang tepat berdasarkan riset. Kemampuan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar mendukung ide-ide pelaku advokasi sesungguhnya suatu seni yang memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang bersifat multidisipliner (Dahl, 1991 : 42). Keberhasilan mempengaruhi ini akan sulit apabila aktor-aktor pembuat kebijakan juga mempunyai kepentingan sendiri dengan argumentasi masing-masing. Asumsi dasar yang harus dipegang dalam melakukan advokasi kepada pembuat kebijakan adalah sebuah paradigma bahwa mereka adalah “bukan bawahan kita”. Jadi, apa yang dapat dilakukan hanyalah sebatas mempengaruhi mereka untuk memahami kepentingan masyarakat. Dalam mempengaruhi ini, pelaku advokasi harus menggunakan taktik dan strategi yang tepat. Agar isu atau pilihan kebijakan yang diangkat mendapatkan komitmen politik dan dukungan kebijakan. Dalam upaya mempengaruhi pembuat kebijakan, disini pelaku advokasi seringkali melakukan lobi kepada pihak terkait. Proses lobi akan efektif apabila dapat memahami siapa lawan dan juga didukung dengan persiapan yang matang. Pelaku advokasi perlu memahami siapa lawan mulai dari latar belakang lawan, kesukaan lawan, hingga kepentingan lawan itu sendiri (Dahl, 1991 : 46). Persiapan yang baik akan meningkatkan daya tawar dalam negosiasi. Hal yang perlu disiapkan adalah data. Data perlu menggunakan data yang valid guna meningkatkan daya tawar.
Dalam proses kegiatan advokasi sangat dibutuhkan kejelian untuk melihat siapa sasaran utama advokasi, dalam hal ini terutama adalah orang yang berpengaruh dalam kebijakan. Mereka bisa saja para politisi, birokrasi, staf ahli, penasihat, dan staf dari orang-orang yang terlibat dalam proses kebijakan (Pamungkas, 2010: 17). Proses ini juga memerlukan kejelian dalam memilih hal apa yang akan disampaikan kepada siapa. Menyampaikan persoalan kepada politisi dan pemerintah agar merespon isu tertentu pasti akan berbeda dengan menyampaikan pesan kepada media massa ataupun LSM (Pamungkas, 2010: 18). Pilihan kata, isi dan mekanisme penyampaian pesan perlu diperhatikan dengan seksama agar mereka yang kita target bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan isu yang hendak diadvokasi (Pamungkas, 2010: 18). Dalam kegiatan ini, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat, serta saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima. Tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran, namun berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dari kegiatan ini diharapkan terbentuk rasa saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi substansi advokasi. Sangat diperlukan kesadaran bahwa pihak yang terlibat belum lengkap, belum penuh dan belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Tujuannya yaitu kegiatan dijadikan sarana untuk saling memahami, menerima dan bekerja sama antar kelompok masyarakat dan pembuat kebijakan yang berbeda latar belakang. Dalam proses mendorong kebijakan, pelaku advokasi juga dapat menempuh jalur hukum dalam melakukan kegiatannya dengan melakukan judicial review. Judicial review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan
cabang kekuasaan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) (Soemantri, 1997: 6). Karena itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai judicial review, melainkan legislative review. Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil. Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya (Soemantri, 1997: 6). Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya. Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum (Soemantri, 1997: 7). Misalnya, suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi. Pengujian atau review oleh hakim itu dapat dilakukan secara institusional atau formal dan dapat pula dilakukan secara prosedural atau substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara judicial review
itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian materil itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara keseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, pengujian juga dapat dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. E. Definisi Konseptual 1. Advokasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakankebijakan publik tertentu, meliputi hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan pengadilan. 2. Strategi advokasi kebijakan adalah perencanaan dan penyusunan langkah-langkah efektif dalam kegiatan advokasi untuk memperoleh dukungan dari berbagai lapisan masyarakat sebagai kekuatan untuk mendorong pemerintah melakukan kajian ulang terhadap kebijakan yang ada.
F. Definisi Operasional Advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai berikut: 1. Advokasi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. 2. Advokasi hak asasi warga negara pengguna ganja. Strategi advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai berikut: 1. Kampanye: a. Membuat karya ilmiah. b. Melakukan bedah buku.
c. Mengubah stigma buruk ganja. 2. Mendorong perubahan kebijakan: a. Melakukan kajian/penelitian tentang ganja. b. Melakukan dialog dengan pembuat kebijakan dan pihak terkait. c. Melakukan judicial review.
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik beratkan untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari sebab akibat yang di teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan pada penelitian sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai relatif dan hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat (Suklandarrumidi, 2002: 117). Winarno Surachmad mengatakan bahwa, ciri-ciri yang terdapat pada penelitian deskriptif ialah: Pertama , memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (Surachmad, 1982: 132). Penelitian yang akan dilakukan masuk kedalam jenis penelitian kualitatif karena kompleksitas dan interkoneksi dalam proses penyelidikannya (Denzinet.al, 1993: 4). Pertama, peneliti dan kasus yang diteliti tidak memiliki jarak. Sebab peneliti langsung terjun kelapangan dan berhadapan langsung dengan narasumber. Kedua, peneliti tidak bebas nilai dalam artian peneliti memposisikan diri dalam proses penginterpretasian data namun dalam dalam prosesnya peneliti tetap menjunjung objektivitas agar dikelajutan proses tidak menghadirkan bias-bias hasil penelitian.
Metode studi kasus dipilih karena memiliki signifikansi untuk menjawab langkah strategi advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di Indonesia. Menurut Yin, studi kasus adalah sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik . Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar (Yin, 2003: 12). Kajian yang dilakukan melalui desain studi kasus adalah penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya dan apa yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu. Pertama, studi kasus dianggap relevan karena sifatnya mampu menjawab pertanyaan “bagaimana”. Dalam hal ini berkaitan dengan langkah strategi advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di Indonesia adalah studi kasus dengan unit analisis tunggal. Studi kasus dengan unit analisa tunggal dipilih karena mampu menjelaskan corak pandang Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan perjuangan legalisasi ganja di Indonesia. Kedua, proses kontrol analisa peneliti nantinya akan minim. Sebab nantinya peneliti tidak dapat menghilangkan kenyataan yang ada dilapangan terkait isu legalisasi ganja yang diangkat oleh Lingkar Ganja Nusantara. Peneliti nantinya hanya meneliti bagaimana strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dengan menggunakan triangulasi bukti seperti dokumen, arsip, observasi, wawancara, dan perangkat fisik (Moleong, 1994: 3).
H. Unit Analisa Penelitian Kantor pusat Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang dipiilih menjadi unit analisis sehubungan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini. Pertama, Lingkar Ganja Nusantara yang berpusat di Tangerang dianggap paling kompeten dan memiliki sumber data dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi ganja di Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan mengapa kantor pusat LGN dianggap kredibel untuk memperoleh data bagi proses analisa penelitian. Kedua, akses untuk memperoleh data ke LGN di kantor pusat dianggap mudah karena peneliti selaku anggota Lingkar Ganja Nusantara yang terdaftar di pusat. Para pengurus dan para aktivis juga sangat ramah dan siap membantu dalam memberikan dan menjelaskan analisa mereka terkait isu legalisasi ganja. Hal ini terbukti dari berbagai kesempatan yang dilakukan oleh peneliti sejak awal menjadi anggota dan melakukan perjuangan bersama para pengurus LGN pusat. Peneliti akan lebih memfokuskan analisa pada kantor pusat, walaupun di regional Yogyakarta sendiri sudah memiliki basis gerakan dan anggota, namun kantor pusat yang dianggap peneliti mampu memberikan data valid terkait tema yang diangkat. I. Pengumpulan data Proses perolehan data di lapangan akan menggunakan triangulasi bukti. Wawancara dengan Ketua Umum LGN dan Kepala Divisi Advokasi yang memahami perjuangan Lingkar Ganja Nusantara. Peneliti menggantungkan sebagian besar data dari hasil wawancara dengan informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan dengan mengambil informan yang memiliki kesamaan sudut pandang mengenai advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara. Wawancara dilakukan secara open-ended yaitu informan berhak menunjuk informan lain untuk
ikut menyumbangkan data. Pada akhirnya, peneliti yang menentukan apakah informan baru memiliki kapasitas dan relevansi dengan tema yang diangkat. Proses wawancara dilakukan secara informal namun terfokus, panduan wawancara hanya digunakan untuk menjadi pemandu agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya diajukan. Peneliti akan menggukan dokumen, arsip, artikel media massa cetak maupun elektronik bekaitan dengan penelitian. J. Teknik analisa data Setelah data-data dari lapangan baik primer (wawancara) dan sekunder (buku, jurnal, media) diperoleh, selanjutnya akan dilakukan analisis. Dimulai dengan pemilahan data dengan tujuan memfokuskan data yang diperoleh. Proses memilah data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis, proses tersebut juga merupakan bagian dari proses analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang tidak akan dipakai, dan informasi di media yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Zed, 2004: 19). Pada proses pembuatan kesimpulan peneliti akan bergantung pada temuan saat proses pengumpulan data sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan bagaimana maksud kerangka berfikir dibuat untuk menjelaskan analisa terhadap strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara terkait isu legalisasi ganja di Indonesia.