BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia dimulai dari VOC hingga pemerintah kolonial Nederlands Indie yang berlangsung selama 30 tahun (Kartodirdjo,et.Al, 1977: 63), telah membawa pengaruh terhadap sistem perkebunan di Indonesia yang diperkenalkan lewat kolonialisme Barat. Dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sistem kebun di Indonesia juga merupakan sistem usaha pertanian yang lebih dahulu dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan. Sejak masa tradisional sampai masa penjajahan VOC (Vereenigde Oost Indische Compangnie), yaitu pada abad ke- 17 sampai abad ke- 18, sistem usaha kebun
menjadi sumber produksi komoditi perdagangan yang penting.
Bahkan pada masa VOC sistem usaha kebun rakyat menjadi sumber eksploitasi komoditi perdagangan untuk pasaran Eropa. Sampai awal abad ke- 19, sekalipun pemerintah jajahan telah berganti ke tangan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1800-an (Kartodirdjo & Suryo, 1994: 10). Sistem kebun pada masa tradisional memiliki empat sistem pertanian yang telah lama dikenal di daerah Indoensia. Keempat sistem ini, ialah (1) sistem perladangan (shifting cultivation), yaitu jenis kegiatan pertanian yang dilakukan secara berpindah-pindah, dengan penanaman berbagai tanaman berumur pendek, terutama tanaman pangan; (2) sistem persawahan (wet rice cultivation system); (3) sistem kebun (garden system), yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman (perdu) berusia panjang (perennial) atau tanaman
2
penghasil panenan (crops) yang ditanam pada lahan tetap; dan sistem tegalan (dry field), yaitu tipe kegiatan penanaman tanaman pangan (food crops) secara tetap pada daerah lahan kering (Kartodirdjo & Suryo, 1994:16). Masing-masing sistem telah berlaku di Indonesia sebelum kedatangan bangsa Eropa, dan sistem tersebut hingga masa kini masih berlaku. Proses perubahan dari sistem usaha kebun ke perusahaan perkebunan di Indonesia bukan sekedar perubahan teknologi dan organisasi proses produksi pertanian, tetapi berkaitan dengan kebijaksanaan politik dan sistem kapitalisme kolonial yang menguasainya. Karena itu proses perkembangan politik kolonial dan
sistem
kapitalisme
kolonial
melatarbelakanginya.
Secara
pokok
pertumbuhan sistem perkebunan pada masa kolonial mengalami dua fase perkembangan, yaitu dari fase perkembangan industri perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta. Perkembangan ini berlangsung sejajar dengan terjadinya perubahan orientasi politik kolonial yang mendasarinya, yaitu dari orientasi politik konservatif ke politik liberal. Perubahan orientasi politik itu sendiri terjadi karena adanya perubahan sistem kapitalisme di negeri Belanda yaitu dari sistem kapitalisme merkantilis ke sistem kapitalisme industri, atau kapitalisme agro-industri. Fase awal dari perkembangan perkebunan ditandai dengan kecenderungan
politik
pemerintah
kolonial
Belanda
untuk
meneruskan
kebijaksanaan politik eksploitasi (drainage politiek) yang dijalankan oleh VOC. Golongan konservatif, yang menguasai pemerintahan kolonial pada masa awal abad ke-19, memandang politik eksploitasi dengan penyerahan-paksa dari VOC sangat cocok untuk mengelola Indonesia sebagai daerah “wingewest” , atau daerah yang menguntungkan negeri induk. Sistem penyerahan paksa itu dapat diterapkan dalam usaha eksploitasi produksi pertanian tanah jajahan yang
3
langsung ditangani oleh pemerintah kolonial. Eksploitasi produksi pertanian yang dilakukan oleh rejim pemerintahan kolonial ini diwujudkan dalam bentuk usaha perkebunan negara. Sistem Tanam Paksa atau tanam paksa (Kultuurstelsel) adalah salah satu bentuk perwujudannya. Bedanya ialah apabila politik eksploitasi VOC dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kepala pemerintahan feodal setempat, maka
politik eksploitasi pemerintah kolonial
dilakukan secara langsung, dengan menggunakan sistem perkebunan negara. Pelaksanaan sistem eksploitasi baru ini dilancarkan dengan melalui alat birokrasi pemerintah, yang berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses mobilisasi sumber daya perekonomian agraris tanah jajahan yang berupa tanah dan tenaga kerja (Kartodirdjo & Suryo, 1994:11). Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan yang diusahakan, terutama perkebunan tembakau, masih merupakan perkebunan yang relatif kecil diusahakan oleh pengusaha perseorangan bangsa Belanda (Padmo, 2002: 89). Hal ini diperkuat oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 91) yang mengatakan bahwa tembakau telah lama ditanam oleh rakyat, antara lain di Kedu, sedangkan pengusaha Belanda sejak tahun 1820-an telah membuka perkebunan tembakau di wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, Wilayah pertanian dari beberapa kecamatan di Kabupaten Klaten, seperti Wedi, Kebonarum, dan Ketandan; tanahnya subur karena abu vulkanik Gunung Merapi dimana tembakau dengan kualitas tinggi bisa tumbuh. Industri tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1595. Hal ini berdasarkan informasi yang diberitakan oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yaitu Cornelis de Houtman yang singgah di Pulau Jawa pada tahun tersebut (Enggar, 2011: 63). Ia menemukan di Banten (Jawa Barat), penduduk
4
telah menjual tembakau yang didatangkan dari berbagai daerah yaitu Jakarta, Karawang, Jepara, Timor, dan Palembang. kemudian mulailah didirikan unit-unit produksi kecil di daerah-daerah yaitu 80 perusahaan di Jakarta, 11 perusahaan di sepanjang Pantai Utara Jawa, 5 perusahaan di Cirebon dan 4 perusahaan di Banten (Mubyanto,dkk, 1992: 76). Pada mulanya VOC yang berdiri tahun 1602 tidak mencampuri urusan pertanian industri tembakau di Jawa, VOC mulai mendatangkan tembakau dari Cina, Taiwan, Benggala, Muangthai dan bila ada kekurangan diambil dari Belanda. Meningkatnya permintaan tembakau di Eropa, mengakibatkan tembakau menjadi komoditi dagang yang mendorong VOC untuk mengembangkan perkebunan tembakau di Jawa (Mubyanto,dkk, 1992:77). Melihat pasaran tembakau yang cukup baik di Eropa, penguasa Belanda di Jawa sangat prihatin terhadap kualitas tembakau yang dihasilkan di Pulau Jawa dan mencari cara untuk meningkatkan. Pada tahun 1834 misalnya, pemerintah Belanda di Jawa mengirim N.G. de Voogt ke Cuba untuk mempelajari cara penanaman tembakau di sana. Empat tahun kemudian, de Voogt diangkat sebagai pembantu dalam meningkatkan kualitas tembakau di Jawa dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh di Cuba. Percobaan itu antara lain dilakukan di daerah Karisedenan Rembang, Afdeeling Tuban. Pengusahaan tembakau yang diorganisir oleh de Voogt itu menerapkan cara pengolahan tanah ataupun organisasi produksi seperti yang diterapkan di Cuba. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada kontraktor swasta untuk mengambil bagian dalam kegiataan produksi dengan syarat bahwa ia harus menyerahkan sebagian dari hasilnya untuk dibeli oleh pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan. Pada percobaan ini masih banyak hambatan yang dihadapi, sehingga pada 1854 pemerintah Belanda mengirim
5
O.W. Swaving dan H.J. van Swieten ke Cuba untuk lebih mendalami pengusahaan tembakau di negeri tersebut. Sekembali dari Cuba, kedua orang tersebut diperkerjakan sebagai kontrolir dan pembantu pada pengusahaan tembakau di Rembang (Padmo & Djatmiko, 1991: 29). Budidaya tembakau untuk pasaran ekspor telah dicoba di beberapa daerah di Jawa oleh orang Belanda sejak abad ke-19. Beets melaporkan bahwa pada sekitar tahun 1858 di Desa Jetis, Onderdistrik Gondang, Mendez da Costa adalah orang yang pertama melakukan penanaman tembakau di daerah Klaten. Ternyata percobaan tersebut memberikan hasil yang cukup baik, sehingga pengusahaannya diperluas ke desa-desa sekitarnya seperti Kebonarum, WediBirit, dan Manjung (Padmo & Djatmiko, 1991: 34). Padmo (1994) mengatakan bahwa ada tiga wilayah perkebunan dan pabrik tembakau pada jaman Belanda, yaitu Vereenigde Deli Maatschappij (UDM) yang sangat luas di Sumatera Utara, NV. Klatensche Cultuurmaatschappij atau NV. KCM di Kabupaten Klaten, Karesidenan Surakarta, dan Landbouw Maatschappij Oud (LMOD) di Jember, Karesidenan Besuki, Jawa Timur (Padmo, dalam Enggar, 2011: 63). Pembangunan pabrik tembakau yang berada di wilayah Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Besuki dimulai sekitar tahun 1850-an, sampai dapat diambil alih oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1957 (Enggar, 2011: 26). Seperti yang telah dinyatakan oleh Soegijanto Padmo (1994), salah satu bukti tinggalan arkeologi yang hingga kini masih ada dari perkebunan dan pabrik NV. Klatensche Cultuurmaatschappij atau NV. KCM di Kabupaten Klaten, Karesidenan
Surakarta,
adalah bangunan pabrik
pengolahan
tembakau
Kebonarum. Bangunan pabrik ini merupakan salah satu tinggalan arkeologis
6
yang tersebar di kawasan kabupaten Klaten. Peran pabrik ini dalam perjalanan sejarah perekonomian di kabupaten Klaten belum banyak diungkap. Arkeologi berusaha mengungkap budaya manusia masa lampau dengan menggunakan data berupa artefak, ekofak, dan fitur. Dengan mempelajari peniggalan budaya materi manusia masa lampau, tingkah laku manusia yang bersangkutan
diharapkan
dapat
diungkap.
Oleh
karena
itu,
Arkeologi
dimasukkan pula sebagai ilmu yang mempelajari budaya tingkah laku manusia (Ratje & Shiffer, 1982: 15). Salah satu hasil budaya tingkah laku manusia adalah arsitektur, yaitu hasil dari proses perancangan dan pembangunan oleh seorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kebutuhan tertentu (Sumalyo, 2001: 7). Adapun penataan ruang pada hakekatnya adalah proses perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara lebih spesifik. Penataan ruang dapat diartikan sebagai upaya mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial serta interaksi antar lingkungan (Soegiyoko, 1995: 63). Dengan adanya tata ruang yang baik akan menghasilkan bangunan yang selaras dengan lingkungan sekitar, enak dipandang, disamping memberikan kenyamanan, dan efisiensi. Oleh karena itu, penelitian mengenai tata ruang masih dirasakan sangat penting dan masih tinggi tingkat urgensinya. Arkeologi ruang sebagai salah satu studi dalam bidang arkeologi, pada dasarnya lebih menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spasial) dari benda dan situs arkeologi dari pada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi temporal (waktu) (Mundarjito, 1993: 3). Ada tiga skala keruangan (spasial) dalam arkeologi yaitu skala mikro, meso dan makro.
7
Skala mikro yaitu mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara bendabenda arkeologi dengan ruang dalam bangunan, skala meso yaitu mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antar benda-benda arkeologi dan situs di dalam suatu situs, dan skala makro yaitu mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda-benda arkeologi dengan situs dalam suatu wilayah (Mundarjito, 1995: 25). Baik ruang makro, meso, dan mikro terdiri atas komponen-komponen atau sub-sub ruang yang skalanya lebih kecil, masingmasing sub ruang tersebut saling berhubungan (Musadad, 1996: 25). Contoh ruang skala mikro adalah ruang-ruang dalam rumah tinggal atau bangunan seperti gudang, ruang tidur, kandang ternak, dan halaman. Ruang skala meso contohnya dapat berupa daerah pemukiman seperti kampung, RT, RW, dan kelurahan. Ruang skala makro dapat berupa bagian dari kota seperti kawasan kota lama, kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan pariwisata. Di samping itu ruang makro dapat berupa hamparan ekosistem alam seperti daerah pegunungan,
daerah
sungai,
dan
daerah
pantai
(Haryadi,
1995:
5).
Pengkajian Kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum berikut ini akan didasarkan dengan konsep-konsep di atas, sehingga penelitian ini pada dasarnya dapat disebut sebagai kajian arsitektur dan arkeologi ruang.
B. RUMUSAN MASALAH Dalam mengkaji sebuah objek arkeologi khususnya bangunan tidak hanya terbatas pada bentuk arsitektur, struktur bangunan, pembagian ruang, dan sebagainya, tetapi juga pada tujuan pendirian bangunan tersebut dan faktorfaktor pendukungnya. Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
8
1. Bagaimana pola tata ruang kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum ditinjau dari tata letak dan hubungan antar bangunan yang ada didalamnya?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengungkap pola tata ruang, serta fungsi dari setiap bangunan yang berada di kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum yang masih beroperasi berdasarkan data bangunan yang tampak sekarang. Dengan mengetahui pola tata ruang dan fungsi dari setiap bangunan yang berada di kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum, maka dapat diketahui pula gagasan atau ide yang melatarbelakangi terbentuknya pola tersebut. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat membantu penelitian arkeologi selanjutnya sebagai bahan pembanding untuk penelitian yang berkaitan dengan bangunan-bangunan kolonial lainnya, khususnya bangunan Pabrik Pengolahan Tembakau.
D. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai keruangan yang berkaitan dengan kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum belum pernah ada yang meneliti sebelumnya. Penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sehingga hasil dari penelitian ini nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bahan pembanding atau sebagai bahan rujukan untuk penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan pabrik pengolahan tembakau. Diharapkan muncul penelitian-penelitian yang
9
lebih mendalam untuk dapat mengungkap bangunan-bangunan kolonial lainya, khususnya pabrik pengolahan tembakau.
E. TINJAUAN PUSTAKA Di dalam ilmu Arkeologi, kajian yang mengupas tetang tinggalan-tinggalan bangunan Pabrik masa kolonial dapat dikategorikan ke dalam kajian arkeologi industri (Industrial Archaeology). Arkeologi industri sebagai salah satu kajian dalam disiplin ilmu arkeologi dimaksudkan sebagai penyelidik, perekaman, dan kajian terhadap tinggalan industri dan hubungannya dari masa lalu (Kenneth, 1979: 2). Arkeologi industri usianya paling muda bila dibandingkan dengan kajian lainya dalam arkeologi. Kajian arkeologi industri dipelopori oleh Donal Dudley serta Michael Rix di Inggris sekitar tahun 1950-an. Objek yang diamati adalah tinggalan-tinggalan yang berasal dari periode Revolusi Industri di Inggris pada abad XVIII – XIX, yaitu berupa pabrik-pabrik dan tempat pemintalan, mesinmesin uap dan lokomotif, jembatan besi, jalan kereta api, pintu air, dan kanalkanal (Kenneth, 1979:2). Di Indonesia tinggalan-tinggalan industri masa lalu banyak yang berasal dari masa kolonial, yaitu masa sejak kehadiran bangsa Eropa di Indonesia. Selama masa Kolonial, kebudayaan Eropa telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia, seperti yang terlihat pada beberapa ragam corak bangunan. Bangunan kolonial diartikan sebagai semua banguan yang berupa rumah tempat tinggal, gedung-gedung pemerintahan atau umum, perkantoran, benteng, monumen, bangunan keagamaan dan sebagainya yang memiliki nilai keindahan,
10
nilai historis, atau pun yang mewakili zaman kolonial (pengaruh Eropa) (Djoko, 1996: 156). Penelitian yang mengkaji tentang tembakau sudah dilakukan. Penelitianpenelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Soegijanto Padmo dalam disertasinya yang berjudul “The Cultivation of Vorstenland Tobacco in Surakarta Residency and Besuki tobacco in Besuki Residency and Its Impact on The Peasant Economy And Society”, 1860-1960. Disertasi tersebut membahas tetang prinsip-prinsip sistem perkebunan yang diterapkan oleh Karesidenan Surakarta pada tahun 1860-1915, Perusahaan tembakau di pemerintahan dan dampaknya terhadap perekonomian petani dan masyarakat yang terjadi pada tahun 18601915, Reorganisasi agraris di Surakarta pada tahun 1900-1920, perkebunan tembakau setelah Reorganisasi agraris pada tahun 1920-1930, Surakarta selama tahun 1930 pada masa depresi ekonomi, Industri tembakau di Surakarta pada tahun 1942-1958, Industri tembakau sejak diambil alih oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1958 sampai 1980. Dalam beberapa kajian yang beliau teliti di atas, keseluruhannya mengulas tentang keterkaitan peristiwa atau kejadian sejarah perkebunan dan pabrik tembakau yang terjadi di wilayah Surakarta. Penelitian lainnya yang berkaitan tentang tembakau oleh Enggar Widya Asih(2011) judul skripsinya Usaha Tembakau dan Kondisi Sosial Ekonomi Pekerja di Perkebunan Klaten, Jawa Tengah Pada Masa Depresi Ekonomi Tahun 1930-an, dalam skripsi tersebut memberikan gambaran tentang perkebunan tembakau di Klaten serta peristiwa sejarah pada saat depresi ekonomi tahun 1930 yang berdampak pada sistem upah pekerja pada saat itu.
11
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada pabrik sebelumnya, sejauh pengetahuan penulis lebih pada kajian sejarah. Penelitian yang mengkaji pola tata ruang telah sudah dilakukan. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Sri Budi Sulastri (2006) judul skripsinya Pola Tata Ruang Kompleks Pabrik Gula Colomadu, dalam skripsi tersebut memberikan gambaran tentang pola keruangan yang dimiliki oleh pabrik gula Colomadu. Sejauh ini belum ada tulisan yang membahas lebih dalam mengenai masalah keruangan pada pabrik pengolahan tembakau Kebonarum. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai pola tata ruang Kompleks Pabrik Pengolahan Tembakau Kebonarum berdasarkan tata letak dan hubungan antar bangunan yang ada di dalamnya sehingga diharapkan dapat diketahui fungsi dari setiap ruang yang ada pada setiap banguan dan gagasan atau ide apa yang melatarbelakanginya.
F. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan langkah-langkah ilmiah yang sistematis untuk mencari suatu kebenaran yang objektif. Kebenaran tersebut didukung oleh faktafakta yang digunakan. Sebagai bukti tentang adanya factor-faktor yang mengakibatkan adanya kebenaran yang objektif (Nawawi, 1990: 24). Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Deskriptif-Analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan konsep kajian data dari pada menerapkan konsep-konsep hipotesis atau teori-teori tertentu (Tanudirdjo, 1988/1989: 34). Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini
12
adalah analisis keruangan dengan menggunakan skala mikro dan meso. Dengan analisis tersebut, peneliti dapat menjabarkan beberapa fenomena menarik dari bangunan pabrik pengolahan tembakau Kebonarum yang sebelumnya tidak pernah diketahui mengenai pola tata ruangnya. Demi tercapainya tujuan yang telah
dipaparkan
maka
peneliti
menyusun
beberapa
tahapan
ketika
melaksanakan penelitian, sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data dapat dikategorikan menjadi data Primer dan data sekunder. Agar memudahkan bagi peneliti dalam tahap analisi data. Adapun cara untuk mendapatkan data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut: Sumber utama/data primer dalam penelitian adalah komponen bangunan yang berada di kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum. a. Observasi Observasi adalah pegumpulan data dengan cara mengamati secara langsung lokasi penelitian, yang bertujuan memperoleh gambaran mengenai beberapa komponen bangunan yang berada pada kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum. Dalam penelitian ini, pengamatan dilakukan terhadap komponen fisik bagunan yang berada pada kompleks pabrik. Dari observasi tersebut diperoleh dokumentasi berupa foto. b. Studi Pustaka Pustaka-pustaka yang digunakan untuk menelusuri data penelitian ini berupa arsip daerah, arsip tentang bangunan gudang pengolahan tembakau kebonarum, dokumentasi dari kantor pusat PT. Perkebunan Nusantara X (persero). Tujuan penelusuran data arsip ini untuk memperoleh data tentang sejarah bangunan,
13
denah, pola pemukiman tempo dulu, foto-foto, serta peta yang relevan dengan objek penelitian. c. Wawancara Teknik wawancara yang akan dilakukan peneliti adalah wawancara terstruktur yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan kepada narasumber. Wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang dilaksanakan secara terencana dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Wawancara ini bertujuan mengetahui beberapa nama dan fungsi dari ruang pada komponen bangunan yang telah diperbarui maupun bangunan yang dibuat baru atau bangunan yang telah hilang atau mengetahui apabila
adanya
peralihan
fungsi
dari
setiap
ruang
banguan,
struktur
kepemimpinan, struktur organisasi , serta gambaran kondisi bangunan pabrik pengolahan tembakau Kebonarum pada tempo dulu. Kriteria narasumber yang akan diwawancara oleh peneliti,meliputi: *Orang yang bekerja di pabrik gudang pengolahan tembakau Kebonarum. *Orang yang tinggal dan penduduk asli di sekitar Pabrik Gudang Pengolahan Tembakau Kebonarum. Variable
yang
menentukan
pemilihan
narasumber
diantaranya;
mampu
menjelaskan sejarah pengalaman narasumber yang berkaitan dengan pabrik pengolahan tembakau Kebonarum dengan baik, mampu diajak berbicara dengan lancer atau tidak bisu atau tuli. Beberapa pertanyaan yang ditanyakan oleh penulis dalam penelitian antara lain: 1. Lokasi bagunan yang bersangkutan. 2. Perubahan apa saja yang pernah dilakukan terhadap bagunan.
14
3. Sejarah dari bagunan atau ruang yang ditanyakan, dapat juga bersangkutan dengan pengalaman narasumber dengan bagunan yang dimaksud. 2. Analisis Data Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis tata ruang mengenai bagunan pabrik pengolahan tembakau Kebonarum. Analisis tata ruang yang digunakan pada kompleks pabrik pengolahan tembakau Kebonarum yaitu skala mikro, guna mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara bagunan atau ruang yang berada pada kompleks pabrik. Skala semi makro, guna mempelajari proses produksi dari perkebunan sampai ke kompleks pabrik pengolahan tembakau. Tahap analisis data dilakukan melalui data yang sudah diperoleh baik dari sumber studi pustaka, wawancara, dan observasi lapangan. Secara umum kompleks Pabrik Pengolahan Tembakau Kebonarum akan dibedakan menjadi dua kelompok besar berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu terdiri dari bangunan inti Gudang pengolahan tembakau (fungsinya proses pengolahan tembakau) dan kompleks perumahan (fungsi tempat tinggal pegawai pabrik).
3. Kesimpulan Tahap kesimpulan merupakan tahap terakhir pada tulisan ini setelah data yang diperoleh dideskripsikan, dianalisis, dan diinterpretasikan. Kesimpulan merupakan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Selain itu kesimpulan juga merupakan intisari dari hasil pembahasan yang telah dilakukan.
15
Bagan Alir Penelitian
Tahap Pengumpulan Data
Data Primer
Data Sekunder
Observasi Lapangan Wawancara
Studi Pustaka
Arsip/Foto/Gambar/Peta Data fungsi bangunan/ruang Kondisi bangunan pada tempo dulu Struktur Organisasi & kepemimpinan
Analisis Data
Kesimpulan