BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai salah satu negara yang memiliki biodiversitas sangat besar, Indonesia menyediakan banyak sumberdaya alam hayati yang tak ternilai harganya, dari bakteri hingga jamur, tumbuhan, dan hewan. Pencarian isolat dan jenis organisme yang potensial untuk digunakan dalam bidang industri, pertanian, dan kesehatan merupakan pekerjaan yang harus terus dilakukan (Suryanto 2009).
Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi enzim. Oleh karena itu, penggalian mikroorganisme indigenous penghasil kitinase perlu dilakukan di Indonesia. Keragaman hayati yang tinggi memberikan peluang yang besar untuk mendapatkan mikroorganisme yang potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil enzim (Akhdiya 2003). Salah satu enzimnya adalah kitinase. Kitinase adalah enzim yang mendegradasi kitin menjadi Nasetilglukosamin, degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase (Muharni 2009). Kitinase ini dapat ditemukan dalam berbagai organisme, kitinase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur yang diperoleh dari berbagai sumber seperti tanah atau perairan dengan cara menumbuhkannya di media yang mengandung kitin koloidal. Aktivitas kitinase secara kualitatif dapat diuji dengan penentuan zona bening disekitar pertumbuhan koloni pada media agar yang mengandung kitin (Herdiyastuti et al. 2009). Organisme pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok mikroorganisme diantaranya adalah dari kelompok bakteri. Bakteri yang dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik seperti, Vibrio furnissi, Serratia marcescens, Bacillus circulans dan Pseudomonas aeruginosa (Muharni 2009).
Universitas Sumatera Utara
Selain menghasilkan enzim, mikroorganisme juga dapat menghasilkan antijamur seperti antibiotik. Kata antibiotik diberikan pada produk metabolik yang dihasilkan suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Pelczar & Chan 2005). Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 3000 antibiotik, namun hanya sedikit saja yang diproduksi secara komersil. Beberapa antibiotik telah dapat diproduksi dengan kombinasi sintesis mikroorganisme dan modifikasi kimia, antara lain: golongan penisilin, sefalosporin, dihidrostreptomisin klindamisin, tetrasiklin dan rifamisin. Bahkan ada yang telah dibuat secara kimia penuh misalnya: kloramfenikol dan pirolnitrin (Suwandi 1989).
Mikroorganisme penghasil antibiotik dapat diisolasi dari tanah, air laut, lumpur, kompos, limbah domestik, bahan makanan busuk dan lain-lain (Suwandi 1989). Namun kebanyakan mikroba penghasil antibiotik diperoleh dari mikroba tanah terutama streptomises, bakteri dan jamur Tanah merupakan tempat interaksi biologis yang paling dinamis dan mempunyai lima komponen utama yaitu mineral, air, udara, zat organik dan organisme hidup dalam tanah antara lain: bakteri, aktinomisetes, fungi, algae, dan protozoa (Setiadi 1989).
Bakteri- bakteri tanah yang dapat menghasilkan antibiotik diantaranya Serratia plymuthica yang diisolasi dari tanah yang berpotensi sebagai agensia biokontrol yang mampu menekan pertumbuhan jamur Verticillium dahlia (Herdyastuti et al. 2009), selain itu bakteri seperti Pseudomonas (Burkholder et al. 1996; Schnider et al. 1995; Thomashow et al. 1990), Kibdelosporangium aridum, Actinoplanes friuliensis (Müller et al. 2007), dan Roseobacter clade-affiliated species ( Brinkhoff et al. 2004) dapat menghasilkan antibiotik, namun kebanyakan antibiotik yang dihasilkan bakteri adalah polipeptid yang terbukti kurang stabil, toksik dan sukar dimurnikan (Suwandi 1989).
Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang mikroorganisme penghasil antibiotik. Diantaranya adalah studi biosintesis antibiotik dan aktivitas antibiotik dari jamur Penicillium chrysogenum (Sri et al. 2000), isolasi Actinomycetes dari tanah sawah sebagai penghasil antibiotik (Ambarwati & Gama 2009), fungi penghasil antibiotik dari fungi dermatofita (Kheira et al. 2007), aktivitas antibakteri ekstrak metanol dan fraksi metanol jamur Termitomyces eurrhizus (Milanda et al. 2000).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang mikroorganisme kitinolitik
juga telah banyak dilakukan
diantaranya, keragaman genetik gen penyandi kitinase pada berbagai jenis bakteri dan pemanfaatannya (Suryanto et al. 2006), potensi pemanfaatan isolat kitinolitik lokal untuk pengendalian jamur ( Suryanto & Munir 2006), isolasi bakteri kitinolitik dan uji aktivitas kitinase kasar (Ginting 2006) dan kajian pembiakan bakteri kitinolitik Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. Pada limbah organik dan formulasinya sebagai pestisida hayati (Giyanto & Rustam 2009). Dengan semakin banyaknya penelitian mengenai mikroorganisme penghasil antibiotik dan enzim kitinase maka ketertarikan di bidang ini semakin meningkat.
Dalam beberapa kasus, mikroba digunakan dalam pengendalian fungi yang mengganggu pertumbuhan berbagai jenis tanaman (Irawati 2008). Beberapa diantaranya adalah Phytium sp. yang menyebabkan busuk benih, busuk akar dan busuk pada tanaman, Ganoderma boninense yang menyebabkan busuk pangkal batang yang sering ditemukan pada tanaman kelapa sawit dan Fusarium oxysporum yang merupakan salah satu fungi patogen penyebab penyakit layu dan rebah kecambah pada cabai (Semangun 2000).
Menurut http://www.bangka.go.id/, tanah di daerah Kabupaten Bangka mempunyai pH rata-rata di bawah 5. Dewanta (2006) dan Irawati (2008) telah meneliti bakteri penghasil enzim kitinase dari tanah Bangka yang berpotensi menghambat pertumbuhan fungi patogen tanaman yaitu G. boninense dan F. oxysporum. Hasil penelitian menunjukkan adanya kemampuan menghambat jamur. Pada penelitian ini dilakukan isolasi bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur dari tanah Bangka dan menguji kemampuan hambatan terhadap G. boninense dan F. oxysporum.
Berdasarkan pemaparan di atas, pencarian bakteri penghasil antijamur dan bakteri penghasil enzim kitinase baru dengan kemampuan yang lebih baik harus dilakukan. Salah satunya adalah dengan upaya penelitian dan pengujian lebih lanjut bakteri penghasil antijamur dan penghasil enzim kitinase dari tanah Bangka.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Permasalahan
Bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur diketahui memberikan manfaat sebagai pengendali penyakit tanaman, tetapi informasi tentang kedua bakteri ini yang berasal dari tanah Bangka masih perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian dan pengujian terhadap jamur patogen tanaman F. oxysporum dan G. boninense secara in vitro dan pengujian kombinasi antara bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur untuk menghambat penyakit layu Fusarium
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk
mengetahui potensi
isolat
bakteri tanah dalam
menghambat
pertumbuhan jamur patogen tanaman F. oxysporum dan G. boninense secara in vitro. b. Untuk mengetahui kemampuan kombinasi antara bakteri kitinolitik dan bakteri antijamur sebagai agen biokontrol F. oxysporum pada benih cabai merah.
1.4 Hipotesis a. Isolat bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman F. oxysporum dan G. boninense secara in vitro. b. Isolat bakteri tanah mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum pada benih cabai merah.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan tentang potensi isolat bakteri asal tanah Bangka dalam menghambat jamur patogen tanaman F. oxysporum dan G. boninense. b. Dapat meningkatkan kualitas benih cabai merah terhadap serangan jamur patogen tanaman khususnya jamur F. oxysporum.
Universitas Sumatera Utara