1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dengan tujuan untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah
menetapkan Ujian Nasional (UN) pada siswa kelas XII sebagai salah satu syarat yang paling menentukan kelulusan siswa (Made, 2009). Kelulusan SMA ini juga sangat penting untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja. Menurut Menteri Pendidikan Nasional RI, Mohammad Nuh menyatakan bahwa Ujian Nasional (UN) merupakan bagian dari metode evaluasi dalam proses belajar mengajar (Haryo, 2010). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional menjelaskan bahwa Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kemudian dalam keputusan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan dari Ujian Nasional yaitu untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengenai nilai minimal kelulusan UN, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan nilai minimal tersebut setiap tahunnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.97 Tahun 2013, bahwa nilai ratarata UN pada tahun 2014 ini minimal sebesar 5,5 dengan kombinasi nilai UN 60% dan nilai UAS 40%. Sama seperti pada tahun 2013, pada tahun 2014 ini pemerintah juga menyediakan 20 paket variasi soal untuk setiap ruangan (Bali post, 2013). Sehingga tiap anak dalam satu kelas yang terdiri dari 20 siswa akan mendapatkan soal yang berbedabeda, dimana sistem soal pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah hanya menyediakan 5 paket variasi soal untuk peserta ujian (Sultan, 2013). Kemudian mata pelajaran yang diujikan dalam UN ini juga lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari yang semula tiga mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran. Banyaknya materi yang akan diujikan dalam UN, mulai dari pelajaran kelas X sampai kelas XII dengan enam mata pelajaran yang berbeda dan di tambah dengan meningkatnya standar nilai kelulusan UN hampir setiap tahun ini dapat menyebabkan siswa merasa stres, cemas, bahkan depresi dalam menghadapi Ujian Nasional (Zamroni,
2
2008). Hal tersebut sejalan dengan Nasution (2010) dalam artikelnya yang menyebutkan bahwa hal-hal yang dicemaskan oleh para siswa dalam menghadapai Ujian Nasional antara lain adalah bahan ujian yang terlalu banyak (meliputi materi kelas X, XI, dan XII), tidak mampu menguasai materi, sulitnya soal-soal yang keluar pada saat UN, standar nilai kelulusan yang tinggi dan selalu meningkat setiap tahunnya, banyaknya mata pelajaran yang diujikan, hasil ujian yang tidak memuaskan, dan rasa takut tidak lulus karena merupakan salah satu penentu kelulusan. Ditambah Ujian Nasional pada saat ini tidak hanya sekadar masalah kelulusan, tapi juga telah menjadi syarat utama bagi seorang siswa untuk dapat tembus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) (Afifah, 2013). Dimana hal tersebut dapat menambah kecemasan yang dirasakan siswa. Terlebih kecemasan yang dirasakan oleh siswa-siswi yang bersekolah pada sekolah unggulan. Berdasarkan Departemen Pendidikan dan Budaya (dalam Ibnu, 2012) sekolah unggulan merupakan sekolah yang memiliki kelebihan, kebaikan, keutamaan jika dibandingkan dengan yang lain, maka dalam konteks ini sekolah unggul mengandung makna sekolah model yang dapat dirujuk sebagai contoh bagi kebanyakan sekolah lain karena kelebihan, kebaikan dan keutamaan serta kualitas yang dimilikinya baik secara akademik maupun non akademik. Berkaitan dengan kecemasan pada sekolah unggulan, Ema (2011) melakukan penelitian mengenai gambaran kecemasan akademik siswa di SMA N Unggul Aceh Timur yang menunjukkan bahwa kecemasan akademik pada siswa SMA unggul yang berada dalam kategori rendah sebanyak 15 orang (15%), dalam kategori sedang sebanyak 68 orang (68%), sementara dalam kategori tinggi sebanyak 17 orang (17%). Sejalan dengan Fiyanti (2003 dalam Ema, 2011) yang menyatakan bahwa kecemasan terhadap lingkungan sekolah dan ujian sekolah sering di alami oleh siswa yang berada di sekolah unggulan. Sebagai sekolah unggulan, pasti sekolah tersebut akan berusaha mempertahankan atau bahkan meningkatkan lagi prestasinya dengan berbagai cara. Salah satu cara SMAN unggulan di DKI Jakarta dalam mempertahankan prestasinya adalah dengan mengadaptasi kurikulum IGCSEA/A/AS level dari Cambridge International Examination (CIE) dengan memperpanjang kegiatan belajar dari 38 jam/minggu menjadi 51 jam/minggu atau dengan cara memberikan bimbingan belajar tambahan bagi siswa kelas XII. Ini menunjukan bahwa siswa di drill agar bisa
3
lulus Ujian Nasional (Zamroni, 2008). Sementara menurut Sudrajat (2008) target kurikulum yang terlalu tinggi merupakan salah satu dari faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Sehingga siswa di sekolah unggulan dapat mengalami kecemasan yang disebabkan karena adanya sistem atau standar yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah (Ema, 2011). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 10 orang siswa SMAN unggulan di Jakarta yaitu 5 orang siswa SMAN X dan 5 orang siswa SMAN Y Jakarta Selatan, didapat bahwa 80% siswa mengatakan mereka mengalami kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional. Kecemasan yang mereka alami disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah hasil Ujian Nasional yang akan dimasukan dalam perhitungan SNMPTN dan undangan PTN. Kemudian mereka juga merasa cemas karena berdasakan pengalamannya dalam melakukan try out Ujian Nasional di dapat bahwa banyak soal-soal try out yang memiliki kesalahan dalam kunci jawaban dan bahkan ditemukan bahwa tidak adanya pilihan jawaban yang tepat, dimana menurut mereka jika hal ini terjadi pada Ujian Nasional maka dapat mengurangi nilainya. Mereka juga mengungkapkan bahwa hasil try out mereka tidak memuaskan, sehingga dapat menambah kecemasan mereka dalam menghadapi UN. Selanjutnya terdapat siswa yang mengaku mengalami kecemasan dalam menghadapi UN karena ia merasa harapan dari orang-orang disekitarnya yang terlalu tinggi mengenai hasil UN. Dari sejumlah siswa yang diwawancarai, sebanyak 60% siswa mengaku bahwa mereka mengalami perubahan fisiologis sebagai bentuk dari kecemasan, seperti mudah lelah, radang tenggorokan, lebih sering mengalami sariawan, lebih mudah berkeringat dan sulit tidur. Kemudian berkaitan dengan tuntuan dari pihak sekolah, mereka mengaku bahwa pihak sekolah secara tidak langsung memberikan tuntutan. Tuntutannya seperti memberikan
siswa-siswinya
himbauan
agar
melakukan
yang
terbaik
untuk
mempertahankan nama baik sekolah dan untuk mengangkat nama baik guru-guru di sekolah mereka. Para siswa juga mengaku bahwa sekolah memberikan mereka tuntutan dengan membuat suatu “kontrak prestasi”, dimana sekolah mewajibkan setiap siswa mendapatkan nilai 100 pada setidaknya satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagai sekolah unggulan pihak sekolah tidak hanya memberikan tuntutan kepada siswa untuk sekedar lulus, tetapi mereka juga memberikan tuntutan-tuntutan yang lebih terkait dengan hasil Ujian Nasional, dimana
4
hal tersebut dapat membuat siswa menjadi lebih cemas dalam menghadapi Ujian Nasional. Seperti yang dikemukakan oleh Conner et.al (dalam Feld, 2011) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa ketakutan dan kecemasan merupakan kondisi psikologis yang dimiliki oleh siswa yang dihadapkan dengan ujian terstandar. Menurut Slameto (2010) siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi tidak memiliki prestasi sebaik siswa yang tingkat kecemasannya lebih rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sarason & Davitson (Zulkarnain & Novliadi, 2009) yang menemukan bahwa para peserta didik yang mempunyai kecemasan tinggi cenderung mendapat skor yang lebih rendah daripada skor para peserta didik yang kurang cemas. Ketakutan dan kecemasan dapat menjadi beban dan membuat para peserta Ujian Nasional tersebut merasa takut, tertekan, dan depresi menghadapi ujian nasional sehingga ujian tersebut di persepsikan sebagai sesuatu yang mengancam yang dapat membuat siswa mengalami kecemasan (Akmadi, 2013). Seperti yang diungkapkan Rini (2013) bahwa kegagalan menghadapi Ujian Nasional ternyata tidak hanya disebabkan oleh ketidaksiapan siswa dalam penguasaan materi pembelajaran yang diujikan, melainkan lebih disebabkan oleh adanya stres dan rasa takut menghadapi ujian, takut gagal, dan tidak lulus yang bisa menyebabkan kecemasan. Kecemasan merupakan suatu kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang berorientasi pada masa yang akan datang, yang ditandai dengan kekhawatiran karena kita tidak dapat memprediksi dan mengontrol kejadian yang akan datang (Durand & Barlow, 2006). Kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional tersebut disadari oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Chairil Anwar Notodipuro, mengatakan bahwa Ujian Nasional membuat sebagian besar siswa SMA merasa cemas (Ananda, 2012). Hal tersebut terungkap dari angket Kementerian yang di isi oleh siswa sebelum melaksanakan Ujian Nasional pada tahun 2012. Dimana angket tersebut di sebar untuk mengetahui respon siswa terhadap Ujian Nasional. Ada tiga pilihan jawaban yang diberikan Kementerian di dalam angket tersebut untuk mengetahui tingkat kecemasan siswa, yakni tidak cemas, cemas, dan sangat cemas. Hasilnya, sebagian besar menyatakan cemas, diikuti tidak cemas, kemudian sangat cemas. Menurut Eysenck (2001 dalam Yousefi et.al., 2010) kecemasan dalam
5
menghadapi tes akan berdampak pada prestasi akademik seseorang. Yousefi et.al., (2010) juga menyatakan bahwa kecemasan dalam tes dapat menurunkan motivasi terhadap kemampuan untuk memperhatikan, konsentrasi, dan yang paling buruk adalah kegagalan dalam prestasi akademis. Dimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Yousefi et.al (2010) mengenai hubungan antara test anxiety dan prestasi akademik menunjukan bahwa kecemasan dalam menghadapi ujian memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik. Kemudian lebih lanjut, Bernstein (1997 dalam Dewi & Amrizal, 2008) menjelaskan bahwa siswa yang mengalami kecemasan berisiko mengalami prestasi yang rendah (underachievement) di sekolah yang ditunjukkan dengan kurangnya motivasi berprestasi dan merasa tidak berharga. Motivasi berprestasi menurut McClelland (1987) adalah suatu dorongan yang muncul karena adanya suatu rangsangan atau stimulus yang menggerakkan individu untuk dapat menyelesaikan suatu tugas dengan lebih baik, lebih cepat dan lebih efisien. Kemudian Saryanto (2013) menyatakan bahwa salah satu strategi untuk mengatasi kecemasan siswa dalam menghadapi UN adalah dengan program penguatan yang diarahkan untuk membangun dan meningkatan motivasi berprestasi bagi siswa, sehingga semua aktivitas pembelajaran yang dilakukan selama ini di dukung oleh keinginan yang kuat dari siswa untuk mencapai prestasi yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2002) yang membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan prestasi belajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa motivasi berprestasi ini merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh siswa. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Covington dan Omelich (1979 dalam Ergene, 2011) menemukan bahwa individu dengan motivasi berprestasi yang kuat umumnya melihat dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan yang tinggi dan merasa lebih optimis serta menghargai kesempatan untuk meraih kesuksesan. Berdasarkan hasil wawancara mengenai motivasi berprestasi yang dilakukan guru SMAN X didapat bahwa siswa memiliki motivasi berprestasi yang cukup tinggi dalam menghadapi UN, ini terlihat bahwa siswa memiliki keinginan untuk mendapatkan nilai UN yang tinggi. Menurut guru tersebut siswa melihat ujian nasional sebagai sesuatu yang menantang dan siswa cukup bertanggung jawab serta memiliki ketangguhan terhadap tugasnya dalam belajar UN. Tanggung jawab siswa dapat dilihat ketika siswa
6
sedang berlatih soal-soal ujian nasional pada saat jam belajar tambahan, dimana mereka tidak akan meninggalkan jam tambahan tersebut sebelum selesai. Mereka juga akan berusaha untuk menyelesaikan soal-soal latihan ujian sampai berhasil walaupun mereka menemukan kesulitan. Kemudian meskipun terdapat beberapa siswa yang memiliki kecemasan mengenai hasil UN, namun sebagian siswa juga merasa memiliki kemampuan yang tinggi untuk berhasil menghadapi UN. Ini menunjukan bahwa siswa memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dalam menghadapi ujian nasional. Berkaitan dengan kecemasan dan motivasi berprestasi, Hermansyah (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan antara motivasi berprestasi dengan kecemasan siswa menghadapi ujian pada SMK Senopati Sidoarjo, dan hasilnya menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian. Selain itu, hasil penelitian Subiyantoro (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan terhadap tes dan motivasi berprestasi pada siswa kelas akselerasi SMA Negeri 3 Malang menunjukan bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan, antara kecemasan terhadap tes dan motivasi berprestasi pada siswa kelas akselerasi SMA Negeri 3 Malang. Kesimpulan penelitian tersebut adalah semakin tinggi kecemasan terhadap tes maka motivasi berprestasi semakin rendah, sebaliknya semakin rendah kecemasan terhadap tes maka motivasi berprestasi semakin tinggi. Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara kecemasan dengan motivasi berprestasi dalam menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMAN unggulan berdasarkan nilai UN di DKI Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini digambarkan dalam pertanyaan penelitian berikut ini. 1. Apakah ada hubungan antara kecemasan dengan motivasi berprestasi dalam menghadapi ujian nasional pada siswa SMAN unggulan berdasarkan nilai UN di DKI Jakarta? 2. Apakah semakin tinggi kecemasan maka motivasi berprestasi semakin rendah? 3. Apakah semakin rendah kecemasan maka motivasi berprestasi semakin tinggi?
7
1.3 Tujuan Penelitian Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Hubungan antara kecemasan dengan motivasi berprestasi dalam menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMAN unggulan berdasarkan nilai UN di DKI Jakarta 2. Semakin tinggi kecemasan maka motivasi berprestasi semakin rendah 3. Semakin rendah kecemasan maka motivasi berprestasi semakin tinggi
8