1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Dorland, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer A, 2002). Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Insiden kecelakaan merupakan salah satu dari lima masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri (Depkes RI, 2007). World Health of Organisation (WHO) Global Status report on Road Safety-Time for Action, melaporkan dari kajian di 178 negara, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas (KLL) dan 20-50 juta jiwa menderita luka/cacat. Sejak tahun 2004 - 2009 dilaporkan tidak terjadi penurunan yang signifikan. Kecelakaan lalu lintas masih menjadi beban kesehatan masyarakat. Pejalan kaki, pengendara sepeda, dan pengendara motor merupakan kelompok terbesar yang menjadi korban, jumlahnya hampir separuh dari total korban. Secara medis, fraktur dapat ditangani dengan cara bedah atau non bedah. Penanganan fraktur dengan pembedahan dilakukan oleh bedah orthopedi. Bedah orthopedi yaitu tindakan pembedahan untuk memperbaiki sistem muskuloskeletal akibat cedera akut, kronis, dan trauma serta gangguan lain sistem muskuloskeletal. Penanganan pasien yang mengalami fraktur terdapat beberapa cara yang digunakan tergantung dari bagaimana bentuk fraktur yang terjadi. Penanganan
2
yang dilakukan yaitu dengan cara fiksasi interna dan fiksasi eksterna. Fiksasi interna yakni dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan (plate) atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang atau sering disebut open reduction with internal fixation (ORIF) dan fiksasi eksterna yang digunakan untuk menstabilkan fraktur dengan menggunakan pin yang dihubungkan dengan bars atau frame yang dapat dilihat diluar tubuh atau sering disebut open reduction with external fixation (OREF) (Fisher, 2007). Penanganan fraktur non bedah ditangani dengan reposisi tertutup dan traksi dilanjutkan dengan pemasangan mitella, gips, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk membatasi pergerakan (immobilisasi) sehingga ujung-ujung patah tulang dapat berdekatan dan tetap menempel sehingga proses penyembuhan fraktur menjadi lebih cepat (Browner et al., 2003). Karena masyarakat Indonesia masih banyak percaya pada ajaran nenek moyang, maka banyak masyarakat yang mengalami fraktur mengobatinya ke pengobatan tradisional, bukan mengobatinya ke pelayanan medis terdekat seperti Puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan alternatif menurut WHO (2000), pengobatan alternatif adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktek – praktek yang berdasarkan pada teori – teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental. Pengobatan alternatif bisa dilakukan dengan menggunakan obat-obat tradisional, yaitu bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Pengobatan alternatif merupakan bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran modern (pelayanan kedokteran standar) dan digunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan kedokteran moderen tersebut. Berbagai istilah telah digunakan untuk cara pengobatan yang berkembang di tengah masyarakat. WHO (1974) menyebut sebagai “traditional medicine” atau
3
pengobatan tradisional. Para ilmuwan lebih menyukai “traditional healing”. Adapula yang menyebutkan “alternatif medicine”. Ada juga yang menyebutkan dengan folk medicine, ethno medicine, indigenous medicine (Agoes, 1992). Dalam sehari-hari kita menyebutnya “pengobatan dukun”. Menurut Riskesdas, Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankesrad) terdiri dari 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam) (Riskesdas, 2013). Perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku pencarian di masyarakat terutama di negara yang sedang berkembang sangat bervarasi, diantaranya ada 5 pilihan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi mengenai tindakan pada saat mengalami gangguan kesehatan (sakit), yaitu: tidak bertindak atau tidak melakukan apa – apa (no action), tindakan mengobati sendiri (self- treatment), mencari pengobatan ke fasilitas – fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy), mencari pengobatan dengan membeli obat – obat ke warung – warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang – tukang jamu, serta mencari pengobatan ke fasilitas – fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga – lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit (Notoatmodjo, 2007). Dari penelitian sebelumnya, disebutkan bahwa salah satu jenis pengobatan tradisional yang diminati oleh masyarakat saat ini adalah Pengobatan tradisional patah tulang. Hal ini dapat dilihat dari data selama periode Januari 2005 sampai Maret 2007 didapatkan kasus patah tulang di RSUPHAM Medan sejumlah 864 kasus, dimana 463 (53,6%) kasus merupakan kasus baru, 401 (46,4%) kasus lagi datang ke rumah sakit lebih dari satu minggu setelah kecelakaan. Dari 463 kasus baru hanya 211 (45,5% ) kasus yang bersedia dilakukan pengobatan di RSUP
4
HAM Medan, sedangkan 252 (54,5%) lagi menolak melakukan pengobatan, hanya dilakukan pertolongan pertama dan foto rontgen saja dari tungkai yang patah. Jadi masih banyak masyarakat kita yang menderita patah tulang tidak mencari pertolongan ke rumah sakit, melainkan pergi ke dukun patah atau sinshe/pengobatan tradisional (Moesbar, 2007). Sedangkan, menurut Wahyudiputra, dari penelitiannya didapati bahwa dari 26 penderita neglected fracture, 20 orang (76,92%) laki-laki dan 6 orang (23,08%) perempuan. Sebanyak 1 orang (3,85%) berusia kurang dari 24 tahun, 24 orang (92,5%) berusia dewasa atau produktif, dan 1 orang (3,85%) lanjut usia. Umur rata-rata penderita neglected fracture adalah 36,38 tahun. Sebanyak 10 orang (38,46%) masuk kelas I, 1 orang (3,85%) masuk pelayanan kelas 2, sisanya 15 orang (57,69%) masuk pelayanan kelas 3. Dari 26 orang penderita tersebut, sebagian besar (69,23%) pasien mengalami neglected fracture di ektremitas bawah, yaitu femur, tibia, dan fibula, sebanyak 30,76% pasien mengalami neglected fracture pada ekstremitas atas. Sebanyak 12 orang (46,155%) mengalami komplikasi nonunion, 12 orang (46,155%) mengalami komplikasi malunion, dan 2 orang (7,69%) mengalami komplikasi infeksi ( Wahyudiputra, et al, 2015). Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui karakteristik pasien fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan pasca penanganan awal oleh pengobatan tradisional terutama dari faktor suku, pekerjaan, tempat tinggal, dan faktor faktor lainnya yang akan dibahas di dalam penelitian ini. Karena populasi pasien fraktur pasca penangan awal oleh pengobatan tradisional cukup tinggi di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana karakteristik pasien fraktur di RSUP H. Adam Malik pasca penanganan oleh sistem medis tradisional.
5
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana gambaran pasien fraktur pasca penanganan awal oleh sistem medis tradisional yang dirawat di RSUP.H. Adam Malik Medan. 1.3.2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui gambaran predisposisi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku/etnis, tempat tinggal, lama pengobatan di pengobatan tradisional, jenis fraktur, dan lokasi fraktur dan komplikasi) masyarakat yang memilih pengobatan awal oleh pengobatan tradisional.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai karakteristik pasien fraktur khususnya pasien fraktur pasca penanganan awal oleh sistem medis tradisional. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi kajian kesehatan khususnya dalam kasus fratur pasca pengobatan awal oleh sistem medis tradisional. 3. Menambah informasi bagi ilmu Kedokteran tentang gambaran pada penderita fraktur pasca penanganan awal oleh sistem medis tradisional. 4. Memahami kendala – kendala mengapa masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional dibanding dengan pengobatan medis secara langsung.