BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebudayaan Jawa telah ada dan berkembang bahkan jauh sebelum penduduk Pulau Jawa mengenal agama seperti Hindu, Budha maupun Islam dan semakin berkembang seiring dengan meningkatnya pengetahuan yang dimiliki oleh penduduk dan pengaruh dari kebudayaan lain yang masuk ke Pulau Jawa bersamaan dengan masuknya agama Hindu, Budha dan Islam. Kebudayaan yang dimaksud dapat berupa kesenian, bahasa, arsitektur dan jenis budaya lain yang menjadi ciri khas di Pulau Jawa. Salah satu yang menarik dari Kebudayaan Jawa adalah keindahan arsitektur yang sangat kaya akan detail dan memiliki arti atau maksud tertentu di setiap bagiannya. Arsitektur Jawa diwujudkan dalam setiap detail bangunan seperti rumah, gedung pertemuan, tempat peribadatan, dan bangunan lain yang digunakan oleh masyarakat yang pada zaman dahulu masih menggunakan bahan material lokal seperti batu, kayu atau bambu yang sangat mudah didapatkan di Pulau Jawa. Dari beberapa peninggalan struktur dan arsitektur yang masih bertahan hingga sekarang, dapat dilihat bahwa ini merupakan bukti tingginya pengetahuan masyarakat kala itu tentang ilmu sipil dan arsitektur. Hingga saat ini, belum ada sumber yang jelas menyebutkan awal mula wujud atau bentuk rumah dan bangunan-bangunan orang Jawa karena sebagian cerita disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut kepada anak, cucu atau orang lain dan turun-temurun sehingga tidak dapat disimpulkan secara pasti kapan dan seperti apa bentuk asli bangunan Jawa. Namun dengan berkembangnya ajaran Hindu dan Budha dan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu - Budha di Pulau Jawa seperti Kerajaan Tarumanagara, Sunda-Galuh, Kalingga, Mataram Hindu dan kerajaan lain memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan arsitektur. Kemudian diikuti dengan masuknya ajaran Islam serta munculnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Demak, Pajang, Banten, Cirebon, Mataram Islam (Kartasura, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualam) semakin menambah kekayaan arsitektur Jawa secara umum. Setiap kerajaan yang berdiri memiliki ciri khas masing-masing pada bangunan-bangunan yang dimiliki, mulai dari bentuk, ukuran/dimensi, filosofi, fungsi serta tujuan pembangunannya. Namun secara umum, bangunan-bangunan di Jawa pada zaman dahulu memiliki bentuk atap yang mirip, memiliki setidaknya dua kemiringan yang berbeda pada 1
2 bagian tengah bangunan dan pada bagian lain yang mengelilinginya. Bentuk arsitektur yang memiliki beberapa persamaan namun terdapat perbedaan mendasar dapat ditemukan di daerah lain seperti bangunan tradisional di Madura dan Sumba seperti pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Perbandingan Joglo Jawa (atas), Madura (tengah) dan Sumba (bawah) (Prijotomo, 1995)
Perancangan bangunan-bangunan Jawa pada umumnya mengacu pada aturan-aturan tak tertulis yang beredar di masyarakat, namun beberapa naskah kuno telah menyebutkan adanya bagian-bagian yang menunjuk langsung pada bangunan dan arsitektur Jawa seperti yang telah disebutkan oleh Prijotomo (1995), salah satunya adalah Primbon. Sumber tersebut menerangkan bahwa Primbon sering kali dianggap tidak ilmiah, klenik dan anggapan-anggapan negatif lainnya padahal belum ada bukti jelas yang membenarkan
3 anggapan-anggapan tersebut. Selain itu, tidak banyak yang mengetahui bahwa Primbon menyediakan sederetan patokan mengenai perbandingan ukuran untuk bangunan. Naskah lain yang menunjuk pada bangunan dan arsitektur Jawa adalah Serat Centhini dan Kawruh Kalang. Berdasarkan beberapa naskah tersebut, perhitungan ukuran dalam arsitektur Jawa menjadi sangat rumit, terperinci dan mendalam. Patokan-patokan ini menjadi sulit untuk diikuti karena sebagian patokan tidak dijelaskan secara langsung seperti pada aturan-aturan yang ada saat ini, namun dijelaskan dalam sastra Jawa kuno dengan bahasa yang terkadang sulit untuk dipahami secara langsung, misalnya dalam bentuk tembang. Selain itu, struktur bangunan Jawa memiliki sistem yang berbeda dengan sistem yang ada saat ini, contohnya pada rangka atap, bangunan Jawa tidak mengenal adanya kuda-kuda dan beberapa hal lain yang tidak ditemui pada struktur bangunan saat ini. Satu hal lain yang menarik dari bangunan Jawa pada umumnya adalah bahwa bangunan ini dapat juga dibuat dengan sistem bongkar-pasang (knock-down). Bangunan seperti Joglo dapat dibangun di tempat lain untuk kemudahan pengerjaan kemudian setelah selesai konstruksinya, Joglo dapat dibongkar agar memudahkan dalam transportasi sehingga dapat dipindahkan ke lokasi yang diinginkan. Hal ini merupakan salah satu bukti kecerdasan arsitektur Jawa yang sudah mampu menciptakan sistem seperti ini bahkan jauh sebelum teknologi modern ditemukan. Pulau Jawa sendiri terletak kawasan Cincin Api, yaitu suatu area di sekitar lempeng Samudera Pasifik yang terdapat banyak patahan lempeng dan gunung berapi akibat adanya tumbukan antara lempeng Pasifik dan lempeng-lempeng di sekitarnya. Pulau Jawa teretak di pertemuan antara lempeng Benua Asia dengan lempeng Samudera Hindia sehingga di pulau ini terdapat banyak sekali gunung berapi dan patahan lempeng. Selain itu, risiko terjadinya gempa bumi di pulau ini juga sangat besar seperti halnya tempat-tempat lain di kawasan Cincin Api, salah satu contoh gempa bumi yang memberikan dampak besar adalah gempa di Yogyakarta tanggal 26 Mei 2006. Keunikan-keunikan struktur bangunan Jawa serta kondisi pulau Jawa yang rawan gempa inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan analisis pada salah satu struktur bangunan Jawa yaitu Joglo. Penentuan ukuran pada bangunan yang dianalisis mengacu pada Petungan yang digunakan pada bangunan Jawa dan akan dianalisis menggunakan peraturan perancangan struktur bangunan yang berlaku saat ini termasuk analisis gempa menggunakan SNI yang terbaru yaitu SNI 1726-2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung. Beberapa bagian
4 bangunan dilakukan penyederhanaan agar dapat dianalisis sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh peneliti. Selain penyederhanaan atau simplifikasi bentuk, beberapa asumsi juga harus dilakukan mengingat jenis struktur yang unik dan tidak biasa yang dimiliki bangunan Jawa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan catatan sejarah, banyak sekali bangunan-bangunan Jawa yang mampu bertahan hingga ratusan tahun, khususnya bangunan-bangunan di area keraton baik di Kesultanan Yogyakarta maupun kesultanan lain di Pulau Jawa. Namun beberapa di antaranya mengalami kerusakan ringan, sedang hingga parah bahkan ada yang rubuh saat diguncang gempa berkekuatan 5,6 skala Richter pada tanggal 26 Mei 2006. Bagaimana sebenarnya perilaku struktur bangunan joglo terhadap beban gempa yang diterima oleh struktur tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan Laporan Tugas Akhir ini adalah: 1. Menganalisis perilaku struktur pendopo joglo terhadap gaya-gaya yang bekerja pada struktur berdasarkan peraturan perancangan struktur bangunan kayu. 2. Menganalisis pengaruh gempa bumi berdasarkan SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung terhadap struktur pendopo joglo. 1.4 Batasan Masalah Batasan penelitian dalam Tugas Akhir ini adalah: 1. Pemodelan struktur pendopo joglo tiga dimensi, input beban dan analisis struktur menggunakan program SAP2000 Evaluation 16.0.2, menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat lunak di institusi peneliti. 2. Pembebanan yang diberikan pada struktur berupa beban mati, beban hidup dan beban gempa sesuai dengan SNI 03-1727-1989 tentang Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung. 3. Khusus untuk beban gempa yang digunakan dalam penelitian, perencanaan pembebanan mengacu pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung SNI 1726:2012. 4. Analisis beban gempa yang digunakan adalah analisis gempa metode ragam spektrum (response spectrum analysis). Struktur pendopo Joglo memiliki
5 kekakuan yang rendah pada bagian kolom karena tidak adanya struktur pengaku lateral sehingga analisis dengan metode statik ekuivalen tidak dapat dilakukan. 5. Beban gempa arah vertikal tidak diperhitungkan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh peneliti. 6. Jenis kayu yang digunakan dalam pemodelan struktur adalah kayu jati kelas 1, mengacu pada jenis kayu yang digunakan pada bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta. 7. Dimensi penampang bagian-bagian struktur pendopo joglo mengacu pada sistem ukuran pada bangunan Jawa yang terdapat dalam salah satu naskah Jawa yaitu Kawruh Kalang yang dijelaskan kembali oleh Prijotomo (1995). 8. Tumpuan pada struktur yang berupa umpak disederhanakan dan diasumsikan sebagai tumpuan yang memperbolehkan adanya rotasi dan tidak mampu menahan momen sehingga diidealisasikan sebagai tumpuan sendi. 9. Struktur tumpang sari yang ada di bagian gajah/brunjung pendopo Joglo disederhanakan dan diasumsikan sebagai satu batang yang menerima beban merata akibat beban sendiri dan dianggap sebagai struktur yang memiliki kekakuan lateral yang cukup tinggi. 10. Pengaruh waktu pada kayu termasuk pelapukan dan degradasi diabaikan karena keterbatasan data yang dimiliki peneliti. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penulisan Laporan Tugas Akhir ini adalah: 1. Memberikan gambaran perilaku struktur bangunan Jawa khususnya tipe Joglo terhadap beban-beban yang bekerja pada struktur termasuk beban mati, beban hidup dan beban gempa, sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan perkuatan pada struktur, khususnya bangunan tradisional Jawa tipe Joglo. 2. Dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai struktur bangunan Jawa dalam upaya untuk melestarikan kekayaan arsitektur kebudayaan Jawa. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai bangunan Jawa telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, namun sebagian besar tidak membahas secara struktur. Salah satu penelitian mengenai bangunan Jawa yang terkait dengan struktur telah dilakukan oleh Khairil pada tahun 2010. Khairil melakukan penelitian terkait evaluasi kegempaan dan perkuatan
6 struktur pada bangunan cagar budaya di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, termasuk salah satunya pendopo joglo. Namun berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kali ini menggunakan bentuk pendopo joglo yang digunakan oleh masyarakat secara umum sehingga memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan bersifat asli.