AUTEKOLOGI DAN STUDI POPULASI Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) DI CAGAR ALAM PULAU SEMPU, JAWA TIMUR
ROSNIATI APRIANI RISNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
AUTEKOLOGI DAN STUDI POPULASI Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) DI CAGAR ALAM PULAU SEMPU, JAWA TIMUR
ROSNIATI APRIANI RISNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Rosniati Apriani Risna NIM. G351060501
ABSTRACT ROSNIATI APRIANI RISNA. Autecology and Population Study of Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) in Sempu Island Nature Reserve, East Java. Under supervision of DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO. In an attempt to determine ecological characteristics and current population status of Myristica teijsmannii Miq., an endangered species under the IUCN, the autecology and population study of the species was conducted in six localities within Sempu Island Nature Reserve, East Java. Vegetation analysis was employed to determine vegetation and population structure, as well as interspecific association within communities. Both physical and chemical analysis of soil and topographical observation were carried out to identify environmental factors with the greatest influence on the presence of the species. The study revealed that M. teijsmannii distributed very frequently with the highest tree density of 14 individuals/ha covering a total of 82 individuals within 6 ha area studied with a clumped distribution pattern throughout the island, and was associated with 12 tree species. Overall population was found in a good structure showing domination of younger stages and decreasing density as plants grow. Individual numbers of tree, pole and sapling stages were found significantly correlated with sand content whilst abundance parameter of the sapling stage showed a strong correlation with carbon, nitrogen and K contents. The species favored flat areas (0-8% slope) with north-west aspect preference, suggesting that the species was reasonably semi-shade tolerant. This study also identified some threats to the populations and discussed some implications of the biological and habitat preferences of the species to develop a proper conservation strategy. Keywords: Myristica teijsmannii, autecology, population study, Sempu Island
RINGKASAN
ROSNIATI A. RISNA. Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO. Myristicaceae merupakan famili khas tropis dengan Myristica sebagai genus terbesar. Di antara 175 spesies Myristica di dunia 9 spesies merupakan spesies asli Indonesia bahkan beberapa termasuk endemik, langka dan dilindungi undang-undang. Myristica teijsmannii Miq. atau dikenal dengan nama Durenan, Palan, Kosar atau Kayu Resep merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam kategori endangered atau genting menurut IUCN dengan kriteria EN B1+2C. Spesies ini memiliki penyebaran jarang dan baru dilaporkan ditemukan di Jawa Timur, yaitu di kawasan Pacitan - Gunung Kawi, Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro dan Pulau Sempu. Data kuantitatif status populasi serta aspek-aspek ekologis, kebutuhan dan interaksi ekologis M. teijsmannii dengan habitatnya (autekologi) belum diketahui. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari populasi, karakteristik habitat, interaksi dan kebutuhan-kebutuhan ekologis M. teijsmannii dengan memfokuskan penelitian di Pulau Sempu yang berstatus sebagai cagar alam. Studi ini dilakukan di enam lokasi yang secara estimasi visual mewakili keragaman floristik dan kondisi lingkungan Cagar Alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Teluk Semut, Air Tawar, Gua Macan, dan Waru-waru. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa tegakan pohon M. teijsmannii menunjukkan nilai dominasi relative dan kerapatan tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha dengan indeks nilai penting sebesar 27,91% yang menunjukkan dominasi M. teijsmannii. Struktur populasinya secara keseluruhan didominasi oleh fase semai, sedangkan fase-fase yang lebih dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon memiliki proporsi terendah. Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi M. teijsmannii. Waru-waru memiliki jumlah total individu terbanyak (59 individu) sedangkan di Telaga Lele hanya ditemukan 5 individu. Di Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut nampak jelas dominasi fase semai dengan kecenderungan menurun pada populasi fase lebih dewasa. Di Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa rekruitmen semai tidak merata di setiap lokasi, berkaitan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dilihat dari segi gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan efek tepi (edge effect) yang lebih meluas ke dalam hutan sehingga dapat merugikan pertumbuhan populasi M. teijsmannii.
M. teijsmannii menyebar secara mengelompok dengan indeks penyebaran Morisita (Ip) 0,51 dan berasosiasi positif dengan 12 spesies pohon pada tingkat asosiasi yang bervariasi. Tingkat asosiasi yang cukup tinggi berdasarkan Jaccard Index ditunjukkan oleh Pterospermum javanicum (0,529), Cryptocarya ferrea (0,500), Orophea hexandra (0,455), dan Aglaia elliptica (0,467). Agen dispersal bijinya adalah lutung Jawa (Trachypitecus auratus) dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Keberadaan kedua spesies tersebut perlu dilindungi agar kelangsungan populasi M. teijsmannii juga dapat terjaga. Hasil analisis korelasi antara parameter kemelimpahan spesies dan faktor fisika serta kimia tanah menunjukkan bahwa jumlah individu fase sapihan, tiang dan pohon M. teijsmannii berkorelasi kuat pada tanah yang memiliki kandungan pasir lebih tinggi. Ini menjadi argumen mengapa Waru-waru dikoloni individu M. teijsmannii lebih banyak daripada lokasi lainnya karena lokasi ini memiliki kandungan pasir lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Fase sapihan memiliki korelasi kuat tidak saja dengan kandungan pasir tetapi juga dengan kandungan C, N dan K. Ini menunjukkan faktor kesuburan tanah (rasio C dan N) menentukan seedling recruitment dan seedling establishment menuju fase sapihan yang lebih dewasa. Secara umum pH di lokasi penelitian bersifat netral (6,0 – 7,0) dengan rataan suhu 24-260C dan kelembaban tanah 45-86%. Suhu udara pada pengukuran sekitar pukul 08.00-14.00 tercatat antara 22-300C dengan kisaran kelembaban udara 53-92%. Teluk Semut memperlihatkan nilai kelembaban udara yang relatif tinggi, antara lain disebabkan oleh kondisi hutan di kawasan tersebut yang relatif terang dan memiliki lebih banyak gap kanopi. Kondisi ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab kesintasan semai di kawasan ini sangat rendah. Pengujian statistik untuk model distribusi populasi M. teijsmannii dengan menggunakan metode Generalized Linear Model (GLM) terhadap pengaruh faktor topografis memberikan ketepatan model atau deviansi sebesar 1,10 yaitu berkategori baik dengan nilai signifikan pada lereng dan arah lereng. Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi populasi M. teijsmannii ditentukan oleh lereng dan arah lereng tetapi tidak oleh ketinggian. Kehadiran individu M. teijsmannii secara signifikan dijumpai lebih banyak pada kawasan datar dengan kemiringan 0-8%, sedangkan pada kemiringan agak curam (15-25%) dijumpai populasi yang rendah. M. teijsmannii ditemukan pada seluruh kisaran kelas ketinggian di CA Pulau Sempu, tepatnya pada 25–86 m dpl sehingga variabel ketinggian lokasi tidak memberikan perbedaan yang berarti secara statistik terhadap kehadiran individu. Jumlah individu dalam plot pengamatan cenderung semakin banyak pada arah lereng yang tidak mengarah langsung ke sebelah timur, yaitu pada utara-barat. Sebaliknya pada aspek yang langsung mengarah ke timur, jumlah individu ditemukan semakin sedikit. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada lereng yang tidak memperoleh sinar matahari sepanjang hari. Fenomena ini mendukung dugaan bahwa spesies ini memiliki sifat semi toleran. Pihak pengelola Resort CA Pulau Sempu perlu menekan dampak aktivitas pengunjung terhadap keaslian dan kealamian habitat di kawasan ini. Kawasan Teluk Semut perlu mendapat pengawasan dan pengelolaan yang lebih baik karena ada ketidakseimbangan populasi M. teijsmannii sebagai tumbuhan langka Jawa
Timur. Selain itu, lokasi ini juga merupakan jalur jelajah lutung sebagai agen dispersal biji, dan merupakan habitat bagi macan tutul (hewan yang juga dilindungi) seperti yang teramati dalam penelitian.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ibnul Qayim
Judul Tesis
: Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur
Nama
: Rosniati Apriani Risna
NIM
: G351060501
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Dede Setiadi, MS. Ketua
Dr. Didik Widyatmoko, M.For.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Dedy Duryadi Solihin, D.E.A.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro
Tanggal Ujian: 23 Desember 2008
Tanggal Lulus: 05 Februari 2009
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2007 ini adalah autekologi tumbuhan langka dan endemik, dengan judul Autekologi dan Studi Populasi Myristica teijsmannii Miq. (Myristicaceae) di Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur. Tema ini dipilih sesuai dengan kecintaan terhadap bidang ekologi dan ketertarikan penulis pada famili Myristicaceae (pala-palaan) yang merupakan salah satu famili khas kawasan tropis. Anggota famili ini banyak yang merupakan spesies asli Indonesia, sekaligus banyak pula di antaranya yang dikategorikan rentan (vulnerable) terhadap kepunahan bahkan genting (endangered) menurut versi IUCN. Penelitian yang dilakukan ini juga selaras dengan pekerjaan penulis dalam bidang reintroduksi tumbuhan langka di Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberikan beasiswa serta Departemen Pendidikan Nasional, Yayasan Konservasi Flora dan Yayasan Damandiri atas bantuan dana penelitiannya sehingga penelitian ini dapat dilakukan dan ditulis menjadi sebuah tesis. Penghargaan setinggi-tingginya disampaikan pada Bapak Prof. Dr. Dede Setiadi, MS. dan Dr. Didik Widyatmoko, M.For.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Suhirman, PhD. yang telah banyak memberi masukan bagi penelitian ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para teknisi Kebun Raya (Cecep Suryana, Dwinarko, Matrani dan Ruspandi) yang banyak membantu penelitian di Cagar Alam Pulau Sempu dan mengidentifikasi spesimen herbarium di Herbarium Bogoriense, rekan-rekan di INetPC serta Didit Okta Pribadi, MS. atas dukungan dan saran-saran mereka dalam analisis dan penulisan. Bantuan dari para staf resort Cagar Alam Pulau Sempu Wilayah BKSDA II Jatim, para asisten dosen mata kuliah GIS di Fakultas Kehutanan dan Ekologi Lansekap di PPLH juga sangat penulis hargai. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, Tata M. Syaid, putra tersayang Naufal Oktafiandri Nursaid, serta kepada Ibu, Bapak, Mimih, Bapa, Ade, Ida dan seluruh keluarga besar atas segala motivasi, do’a dan kasih sayang mereka. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, terutama bagi program konservasi M. teijsmannii dan membantu pencapaian target Strategi Global Konservasi Tumbuhan. Bogor, Februari 2009 Rosniati Apriani Risna
RIWAYAT HIDUP
P
enulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 April 1974 dari pasangan M. Rosjid Abdurachman M.Sc dan Nia Suniarsih, sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Setelah tamat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Bandung pada tahun 1992, penulis melanjutkan studi S1 di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung hingga tahun 1997 lulus dengan predikat cum laude. Tahun 1997 – 2001 penulis bekerja sebagai asisten peneliti di sebuah yayasan swasta yang bergerak dalam konservasi flora dan bertugas melakukan penelitian, menangani database dan koleksi Polyporaceae. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja sebagai peneliti di UPT Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang bernama Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor). Mulai tahun 2002 penulis dikhususkan bekerja di bagian reintroduksi tumbuhan langka di bawah bidang Konservasi Ex-situ di PKT Kebun Raya Bogor. Sejak tahun 2004 penulis merangkap sebagai volunteer di sebuah gugus tugas PKT Kebun Raya Bogor, yaitu Indonesian Network for Plant Conservation (INetPC), suatu jaringan dan wadah komunikasi bagi aktivis konservasi tumbuhan yang beranggotakan individu dan organisasi dalam dan luar negeri. Penulis di bawah koordinatornya bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kegiatan rutin INetPC dan menjadi salah satu editor majalah Eksplorasi, majalah bilingual triwulanan yang diterbitkan INetPC. Beberapa konferensi internasional telah penulis ikuti sebagai pembicara. Tahun 2000 penulis mendapatkan small grant for young scientist dari Hong Kong University untuk mempresentasikan penelitiannya dalam Asian Mycological Congress (AMC) 2000. Kemudian tahun 2003 penulis menjadi presenter makalah ilmiah dalam International Botanic Gardens Conference di Bedugul, Bali. Pada tahun 2005 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti Applied Plant Conservation Internship Training Program di Denver Botanic Gardens, Colorado, AS selama 10 minggu. Setahun berselang, penulis berhasil mendapatkan beasiswa dari LIPI untuk melanjutkan studi S2 di Program Studi Biologi, Sub program Ekologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................vi I.
II.
PENDAHULUAN .....................................................................................1 1.1
Latar Belakang ...................................................................................1
1.2
Tujuan Penelitian ...............................................................................4
1.3
Manfaat Penelitian .............................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................5 2.1. Myristica teijsmannii Miq. ................................................................5 2.1.1. Nomenklatur .......................................................................... 5 2.1.2. Nama-nama Lokal ................................................................. 5 2.1.3. Morfologi ...............................................................................5 2.1.4. Klasifikasi .............................................................................. 6 2.1.5. Distribusi dan Ekologi ........................................................... 6 2.1.6. Pertumbuhan dan Perkembangan .......................................... 7 2.1.7. Pola Penyebaran ....................................................................8 2.1.8. Asosiasi Interspesifik .............................................................8 2.1.9. Status Kelangkaan dan Konservasi .....................................10 2.1.10. Aspek Pemanfaatan .............................................................11 2.2. Kategori Kelangkaan ....................................................................... 11 2.3. Istilah-istilah yang digunakan ..........................................................15
III. METODOLOGI .....................................................................................17 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 17 3.2. Bahan dan Alat ................................................................................ 17 3.3. Metode Penelitian ............................................................................ 18 3.3.1. Autekologi M. teijsmannii ...................................................18 3.3.2. Pengambilan Data Karakteristik Habitat ............................. 18 3.3.2.1. Penentuan Lokasi Penelitian ................................. 18 3.3.2.2. Pengukuran di Lapangan ......................................19 i
3.3.2.3. Pengambilan Contoh Tanah ................................. 20 3.3.2.4. Analisis Contoh Tanah ......................................... 20 3.4. Analisis Data ....................................................................................21 3.4.1. Autekologi dan Populasi M. teijsmannii serta Struktur Komunitas ............................................................................ 21 3.4.1.1. Kerapatan .............................................................. 22 3.4.1.2. Frekuensi .............................................................. 22 3.4.1.3. Dominasi ............................................................... 22 3.4.1.4. Indeks Nilai Penting .............................................23 3.4.1.5. Indeks Keragaman ................................................23 3.4.1.6. Indeks Kesamaan Komunitas ............................... 23 3.4.1.7. Pola Penyebaran ...................................................25 3.4.1.8. Peta Penyebaran .................................................... 26 3.4.1.9. Asosiasi Interspesifik ............................................28 3.4.2. Karakteristik Habitat M. teijsmannii berdasarkan Variabel Lingkungan ..........................................................................28 3.4.3. Interaksi M. teijsmannii dengan Variabel Lingkungan ....... 28 3.4.4. Diagram Alir Penelitian ....................................................... 30 IV. KONDISI UMUM KAWASAN .............................................................31 4.1. Letak Geografis, Batas–batas Administratif dan Status Kawasan ..31 4.2. Kondisi Iklim ...................................................................................33 4.3. Geologis dan Hidrologis ..................................................................33 4.4. Kondisi Biologis ..............................................................................34 4.5. Aksesibilitas ....................................................................................35 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................37 5.1. Struktur Komunitas Vegetasi di Cagar Alam Pulau Sempu ............ 37 5.2. Autekologi M. teijsmannii ...............................................................38 5.2.1. Struktur Populasi ................................................................. 38 5.2.2. Pola Penyebaran ..................................................................43 5.2.3. Pertumbuhan dan Perkembangan ........................................ 44 5.2.4. Reproduksi ........................................................................... 46
ii
5.2.5. Interaksi dengan Komponen Biologis ................................. 48 5.2.5.1. Asosiasi Interspesifik ............................................48 5.2.5.2. Predasi dan Agen Dispersal Biji ........................... 48 5.2.6. Karakteristik Habitat ........................................................... 52 5.2.6.1. Faktor Edafik ........................................................52 5.2.6.2. Faktor Klimatik .................................................... 60 5.2.6.3. Faktor Topografis .................................................60 5.3. Aspek Konservasi M. teijsmannii ....................................................62 5.3.1. Implikasi Karakter dan Interaksi Biologis M. teijsmannii terhadap Konservasi ............................................................62 5.3.2. Implikasi Karakter dan Preferensi Habitat M. teijsmannii terhadap Konservasi ............................................................64 5.3.3. Status Kelangkaan ...............................................................65 5.3.4. Potensi dan Ancaman .......................................................... 67 VI.
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................70 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 70 6.2. Saran – saran ....................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................72 LAMPIRAN – LAMPIRAN ..............................................................................76
iii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Asosiasi di antara spesies akibat adanya interaksi antar spesies dan proses ekologis ..............................................................................................9
2
Kriteria status kelangkaan untuk kategori kritis, genting dan rentan .......... 14
3
Kriteria penilaian Sifat Kimia Tanah ........................................................... 21
4
Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling .................................................................................................... 26
5
Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies ........................................... 28
6
Klasifikasi variabel-variabel yang digunakan dalam uji statistik.................29
7
Data curah hujan CA Pulau Sempu tahun 2002-2006.................................. 33
8
Posisi dan kondisi lokasi penelitian ............................................................. 36
9
Indeks kesamaan, jumlah spesies dan indeks keragaman pohon di lokasi penelitian Cagar Alam Pulau Sempu ................................................ 37
10
Parameter kemelimpahan pohon M. teijsmannii di lokasi penelitian...........41
11
Hasil uji asosiasi interspesifik antara M. teijsmannii dengan 14 spesies di CA Pulau Sempu berdasarkan tes chi-square........................................... 49
12
Hasil analisis sifat fisika dan kimia tanah di lokasi penelitian..................... 55
13
Nilai korelasi antara parameter kemelimpahan M. teijsmannii dan variabel edafik di lokasi penelitian............................................................... 59
14
Data iklim mikro pada tanah dan udara di lokasi penelitian ........................60
15
Perbandingan variabel topografi dengan kehadiran dan ketidakhadiran M. teijsmannii di CA Pulau Sempu ..............................................................61
16
Ringkasan hasil pengujian generalized linear model (GLM) untuk distribusi populasi M. teijsmannii ................................................................61
17
Kemelimpahan M. teijsmannii dan karakteristik lingkungannya ................ 63
18
Potensi dan ancaman terhadap kawasan konservasi CAPS dan keberadaan M. teijsmannii ...........................................................................69
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Skema pembuatan plot pada sampling ........................................................ 19
2
Skema plot bersarang pada plot 20 x 20 m .................................................. 19
3
Diagram alir penelitian ................................................................................ 30
4
Peta lokasi penelitian di CA Pulau Sempu ...................................................31
5
Perbatasan CA Pulau Sempu dan Pulau Jawa dilihat dari Selat Sempu .... 32
6
Batas selatan CA Pulau Sempu dengan Samudera Indonesia ..................... 32
7
Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu berdasarkan diameter setinggi dada ................................ 38
8
Struktur populasi M. teijsmannii di setiap lokasi penelitian ........................ 39
9
Peta distribusi populasi M. teijsmannii di CA Pulau Sempu, Jawa Timur .. 42
10
Habitus M. teijsmannii .................................................................................46
11
Sisa buah M. teijsmannii yang dimakan primata ......................................... 51
12
Beberapa variabel tanah yang berkorelasi nyata dengan kemelimpahan M. teijsmannii ..............................................................................................58
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Daftar spesies yang ditemukan dalam plot pengamatan di Cagar Alam Pulau Sempu ....................................................................................... 76
2
Morfologi Myristica teijsmannii ..................................................................79
3
Gambaran kondisi umum CA Pulau Sempu ................................................80
4
Hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu ..........................................................................................................83
5
Hasil analisis vegetasi pada enam lokasi penelitian di CA Pulau Sempu ..........................................................................................................84
6
Hasil uji chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan .................................................................................................90
vi
1
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Myristicaceae atau famili pala-palaan adalah kelompok tumbuhan yang
populer dan penting di Indonesia, baik bagi ekonomi maupun ilmu pengetahuan. Famili ini menjadi kelompok tumbuhan yang penting secara ekonomi setelah diperkenalkannya Myristica fragrans atau Pala dari Indonesia ke dunia perdagangan internasional oleh Belanda pada abad ke-16. Selain itu, Myristicaceae memiliki banyak kegunaan yang telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat lokal maupun untuk diperjualbelikan ke luar negeri, yaitu sebagai bahan makanan, minyak sayur dan lemak, rempah-rempah dan bumbu masak, obat, pewarna dan sumber kayu untuk furnitur dan bahan bangunan (Heyne 1987; Jansen et al. 1993). Myristicaceae adalah famili khas kawasan tropis beranggotakan 16 genera dengan genus Myristica sebagai genus terbesar (Heywood 1993). Dari 175 spesies Myristica di dunia yang tersebar dari India bagian selatan dan Indochina sampai kawasan Malesia hingga Australia bagian utara dan di Pasifik bagian timur sampai Fiji, 9 spesies diantaranya merupakan spesies asli Indonesia bahkan beberapa termasuk endemik (Arrijani 2005) serta langka dan dilindungi undang-undang (Mogea et al. 2001; Nurdjito dan Maryanto 2001). Salah satu spesies anggota Myristicaceae yang termasuk ke dalam kategori endangered atau genting menurut the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources atau IUCN (IUCN 2006) adalah Myristica teijsmannii Miq. atau dikenal dengan nama Durenan, Palan, Kosar atau Kayu Resep di daerah Jawa Timur. Spesies ini penyebarannya jarang dan baru dilaporkan ditemukan di Jawa Timur, yaitu di hutan tropis campuran dataran rendah dan submontana pada ketinggian 50-1000 m dpl (Heyne 1987; de Wilde 2000). Berdasarkan studi herbarium di Herbarium Bogoriense pada tahun 2006, didukung informasi dari ahli Myristicaceae, W.J.J.O de Wilde, M. teijsmannii Miq. baru ditemukan di kawasan Gunung Wilis, Gunung Anjasmoro dan Pulau Sempu, seluruhnya di Jawa Timur. Namun informasi mengenai aspek ekologi, kebutuhan dan interaksi ekologis dari spesies ini dengan habitat atau lingkungannya
2 (autekologi) masih sangat terbatas, termasuk status populasi terkini, preferensi habitat, interaksi dengan komponen abiotik, asosiasi, serta penyebaran maupun program-program konservasinya. Konservasi spesies penting dilakukan karena pada dasarnya kita sebagai umat manusia memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk peduli dan memelihara kehidupan di bumi. Beberapa alasan lain pentingnya mengkonservasi spesies adalah karena spesies dapat memberikan manfaat bagi manusia (antara lain bahan obat, sumber makanan, bahan bakar, bahan bangunan), organismenya berperan untuk ekosistem sebagai penyangga sistem kehidupan di bumi, serta spesies merupakan salah satu tolok ukur atau standar tentang pemanfaatan kekayaan bumi secara berkelanjutan (Kunin & Lawton 1996). Pemanfaatan sumberdaya di bumi yang tidak berkelanjutan karena eksploitasi berlebihan, konversi habitat untuk pemukiman, industri dan pertanian, antara lain akan bermuara pada kelangkaan spesies, yang dapat berdampak buruk tidak saja pada lingkungannya tapi juga terhadap spesies lain di mana mereka berinteraksi. IUCN (2000) mempublikasikan 590 spesies tumbuhan Indonesia terancam kepunahan dan tidak ada satu spesies pun mendapat perencanaan program recovery atau strategi konservasi spesies sehingga perhatian terhadap spesies terancam kepunahan tersebut begitu penting untuk menghasilkan pendekatan konservasi spesies yang efektif (Widyatmoko 2001). Menurut Widyatmoko (2001), konservasi berbasis spesies akan efektif dengan melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan habitat dan ekologi, status populasi, viabilitas populasi, asosiasi, distribusi, jumlah lokasi dan area minimum di mana spesies dapat dikonservasi, serta aspek-aspek biologis penting lainnya yang dapat menjadi penyebab kelangkaan spesies. Oleh karena itu konservasi spesies harus lebih diperhatikan serta perlu dijadikan suatu aksi global, dan sebagai langkah awalnya adalah menginventarisasi dan meneliti status populasi ataupun status kelangkaan spesies pada skala lokal dan nasional. Di Indonesia sendiri M. teijsmannii tidak digolongkan sebagai spesies langka Indonesia (Mogea et al. 2001) maupun jenis hayati yang dilindungi perundang-undangan Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 (Nurdjito dan Maryanto 2001). Perbedaan status kelangkaan M. teijsmannii antara yang ditetapkan IUCN dengan PP No. 8 Tahun 1999 tersebut perlu dikaji kembali
3 dengan melakukan studi populasi. Studi seperti ini penting untuk mengetahui status populasi terkini dari spesies terancam kepunahan sehingga hasilnya akan memberikan informasi dasar bagi upaya-upaya konservasi spesies maupun konservasi kawasan di mana spesies tersebut hidup, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatannya. Penelitian mengenai aspek ekologi, biologi konservasi dan penyebaran populasi M. teijsmannii juga perlu dilakukan karena spesies ini masih tergolong liar, memiliki nilai manfaat namun belum dibudidayakan dan ditemukan di habitat hutan tropis dataran rendah yang memiliki gangguan serta ancaman yang tinggi dari perusakan hutan akibat aktivitas manusia. Berdasarkan data spesimen herbarium, jumlah populasi spesies ini terbatas pada 5 lokasi di Jawa Timur dengan distribusi jarang dan kemungkinan termasuk spesies endemik kawasan ini. Oleh karena alasan-alasan tersebut, penelitian autekologi M. teijsmannii ini perlu menjadi salah satu prioritas dalam konservasi spesies terancam kepunahan. Menurut Given (1994), penelitian dengan fokus berbasis pada satu spesies perlu menjadi prioritas riset dalam konservasi karena dapat menyediakan dasar-dasar ilmiah untuk perlindungan, pengelolaan, propagasi dan reintroduksi spesies terancam kepunahan. Hal ini antara lain mengarah pada tujuan utama untuk mendapatkan pemahaman dari proses kepunahan spesies maupun persistensi serta viabilitas populasinya. Studi mengenai status populasi spesies terancam kepunahan juga merupakan langkah penting yang mendukung implementasi Target 2 Strategi Global Konservasi Tumbuhan atau Global Strategy for Plant Conservation (GSPC). Target kedua tersebut adalah penilaian awal mengenai status konservasi dari seluruh spesies tumbuhan yang telah diketahui, baik pada level nasional, regional maupun internasional yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2010 (CBD 2002). Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS) merupakan kawasan yang tepat untuk dijadikan lokasi penelitian autekologi dan pola penyebaran M. teijsmannii dalam komunitas hutan tropis dataran rendah. Kawasan konservasi tersebut memiliki batas ekologi yang jelas karena berupa pulau kecil yang dikelilingi selat dan samudera serta tidak berpenduduk. Vegetasi, kekayaan hayati lain dan kondisi
4 lingkungannya relatif masih terjaga (Goni et al. 1997). Selain itu, penelitian autekologi spesies tumbuhan belum pernah dilaporkan dari kawasan ini. Pentingnya penelitian-penelitian flora dan fauna di kawasan konservasi dapat menentukan jumlah spesies atau keragaman spesies di dalamnya yang dapat dilindungi dari kepunahan dalam integritas dan stabilitas kawasan yang terjamin.
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan status
populasi M. teijsmannii Miq. di Cagar Alam Pulau Sempu berdasarkan data kuantitatif, serta menentukan karakteristik habitat dan interaksinya dengan kondisi lingkungan untuk mendapatkan peta distribusi geografis dari populasinya di Pulau Sempu. Selain itu penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ancaman bagi penurunan populasinya di lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi bagi strategi konservasi yang tepat bagi spesies langka ini.
1.3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar bagi
kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan strategi konservasi spesies M. teijsmannii Miq. dalam pembangunan berkelanjutan sehingga dapat menyelamatkan spesies langka tersebut dari kepunahan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Penelitian ini juga dapat memberikan data kuantitatif untuk memastikan kategori kelangkaan sehingga memberikan nilai konservasi bagi P. Sempu serta mendukung implementasi dari Target 2 GSPC pada level nasional.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Myristica teijsmannii Miq.
2.1.1
Nomenklatur Myristica teijsmannii Miq. pertama kali dideskripsikan pada publikasi
tahun 1858 berdasarkan type Teijsmann s.n. dari Jawa. M. teijsmannii Miq. memiliki beberapa sinonim yaitu M. teysmanni dari type yang sama, dan M. hyposticta Miq. dari type Horsfield s.n. dari Jawa (de Wilde 2000).
2.1.2
Nama-nama Lokal Di Jawa Timur, yaitu di kawasan-kawasan ditemukannya spesies ini di
alam, Myristica teijsmannii dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat kawasan Gunung Wilis menyebutnya dengan Kayu Resep yang berarti kayu haid karena kayunya yang mengeluarkan getah berwarna merah seperti darah. Di kawasan lain di Jawa Timur, spesies ini juga dikenal dengan nama Durenan, Kosar, Palan atau Kayu Palan.
2.1.3
Morfologi Myristica teijsmannii merupakan pohon dengan ketinggian 10 – 20 m.
Batangnya seringkali memiliki akar udara atau akar lutut, kulit batangnya coklat kemerahan dengan getah berwarna merah coklat. Ranting berbentuk sedikit bersegi, berwarna kekuningan atau coklat oranye yang ditutupi rambut pendek 0.1 mm. Susunan daunnya tunggal, berbentuk lonjong-bulat atau bulat memanjang berukuran 10-30(-34) x 2.5–9 cm, dengan pangkal membulat atau agak meruncing dan ujung yang meruncing. Permukaan bagian atas berwarna coklat olive sedangkan permukaan bagian bawah berwarna coklat keabu-abuan dengan rambut yang menyebar menyerupai sisik. Pada daun tidak terdapat kelenjar, tulang daun utamanya rata di bagian atas, dengan pertulangan lateral berjumlah 14 – 19 buah di setiap sisinya, membentuk sudut 45(-60)0 terhadap ibu tulang daun. Tangkai daun berukuran 10-20(-30) x 1.5-3mm sedangkan tunas daunnya 8-12 x 2.5 mm dengan rambut yang rapat setinggi 0.2 mm.
6 Perbungaan M. teijsmannii terletak di antara daun, kadang-kadang dekat pucuk lateral, berwarna coklat kekuningan, bertangkai pendek, tidak bercabang dan berambut sangat pendek (0.1-0.2 mm) serta memiliki braktea. Bunga jantan berukuran lebih besar daripada bunga betina. Pada bunga jantan panjang pedicel 4-6 mm dengan tunas yang bulat lonjong dan brakteola berbentuk ginjal. Jumlah bunga jantan pada setiap tangkai perbungaan berjumlah (5-)10-20. Pada bunga betina, panjang pedicel hanya 2 mm, tunasnya bulat dengan ovarium bulat berukuran 2.5-3.5 x 2-2.5mm. Tidak ada informasi mengenai tipe perbungaannya, namun de Wilde (2000) melaporkan bahwa salah satu spesimen M. teijsmannii di British Museum memperlihatkan bunga jantan dan betina pada perbungaan yang sama (dioecious). Buahnya berwarna coklat, berjumlah 1-2 pada setiap perbuahannya, sedikit duduk dengan tangkai sepanjang 5 mm, berbentuk membulat dengan diameter 34.5 cm. Buahnya berambut rapat sangat pendek (0.1 mm) dengan warna karat. Daging buah memiliki ketebalan 4-8 mm, berair dan mengeluarkan aroma khas buah pala. Aril berwarna oranye pada buah masak, dan tidak saling menutupi. Bijinya lonjong pendek berukuran 2.5-3 cm.
2.1.4
Klasifikasi Klasifikasi M. teijsmannii Miq. menurut Takhtajan (1997) adalah sebagai
berikut: Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
2.1.5
: Magnoliophyta : Magnoliopsida : Myristicales : Myristicaceae : Myristica : Myristica teijsmannii
Distribusi dan Ekologi M. teijsmannii Miq. merupakan spesies asli Indonesia (Arrijani 2005).
Berdasarkan studi herbarium yang dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, M. teijsmannii Miq. baru ditemukan di Jawa Timur, seperti yang dilaporkan de Wilde (2000) yaitu di Desa Parang, Gunung Wilis di
7 daerah Kediri. Seluruh spesimen M. teijsmannii Miq. di National Herbarium the Netherland di Leiden dilaporkan berasal dari Jawa Timur dan di antaranya P. Sempu (de Wilde WJJO 5 Maret 2007, komunikasi pribadi). Backer dan van den Brink (1963) menyatakan M. teijsmannii ditemukan dari Pacitan hingga Gunung Kawi dan Gunung Anjasmoro di Jawa Timur. Berdasarkan spesimen herbarium, beberapa lokasi lain yang merupakan tempat ditemukannya spesies tersebut dari tahun 1898 hingga 1956 adalah Gunung Wilis dan Desa Parang di Kediri, Gunung Anjasmoro serta P. Sempu. Dalam dekade terakhir, belum pernah dilaporkan ditemukannya populasi M. teijsmannii di kawasan lain. Berdasarkan data herbarium dan informasi literatur tersebut, ada kemungkinan M. teijsmannii Miq. bukan hanya asal Indonesia tapi juga kemungkinan besar merupakan spesies endemik Jawa Timur. Sampai saat ini M. teijsmannii dilaporkan jarang ditemukan, hidup di hutan tropis campuran dataran rendah dan submontana Jawa pada ketinggian 50-1000 m di atas permukaan laut (de Wilde 2000). Informasi ekologis lainnya pun sangat terbatas dan belum pernah dilaporkan sampai saat ini.
2.1.6
Pertumbuhan dan Perkembangan Tidak banyak informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan
M. teijsmannii, baik pada periode germinasi maupun fase dewasanya. Namun pada umumnya karakteristik genus Myristica memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung lambat pada fase germinasi. Sebagai contoh, M. crassa memiliki periode germinasi 46-104 hari dan M. malaccensis 47-125 hari (Ng 1992). Pada umumnya spesies-spesies yang termasuk famili Myristicaceae menunjukkan
pertumbuhan
yang
intermittent
atau
diskontinyu
sehingga
membentuk percabangan yang diskontinyu. Bagian apikal akan beristirahat setelah inisiasi cabang dan selama periode ini aktivitas pertumbuhan dialihkan ke percabangan (Ng 1992). Susunan percabangannya plagiotropik dan diidentifikasi memiliki model arsitektur Massart (Ng 1992; Keller 1996). Masa berbunga M. teijsmannii diketahui pada bulan Oktober hingga Mei, sedangkan masa berbuahnya dimulai sekitar bulan Mei hingga Juni (de Wilde 2000). Usia reproduktifnya belum pernah diteliti, demikian juga kemampuan perekrutan semai (seedling recruitment) maupun cara dispersi bijinya.
8 2.1.7
Pola Penyebaran Individu-individu dalam populasi dapat menyebar menurut tiga pola yaitu
acak, seragam dan mengelompok (Krebs 2002; Odum 1994; Ludwig & Reynolds 1988). Banyak populasi tumbuhan (maupun hewan) penyebarannya bersifat mengelompok di alam, dan hanya sedikit yang populasinya menyebar dalam pola yang teratur (Krebs 2002). Pola penyebaran populasi ini perlu diketahui secara objektif melalui metode yang tepat agar dapat menjelaskan sifat populasi secara biologis. Metode yang sering digunakan untuk mengetahui pola penyebaran adalah indeks penyebaran atau dispersal index. Indeks kesamaan yang paling banyak diterapkan dalam bidang ekologi adalah indeks Morisita karena hampir tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel (Krebs 2002). Indeks ini dinilai merupakan metode pengukuran terbaik untuk kesamaan dalam penerapan ekologi (Wolda 1982 dalam Krebs 2002). Informasi mengenai pola penyebaran M. teijsmannii akan memiliki peranan penting dalam menentukan extent of occurrence atau daerah sebaran geografisnya serta area of occupancy atau luas daerah yang ditempatinya di kawasan Pulau Jawa, sehubungan dengan keberadaannya yang kemungkinan besar tergolong endemik. Kedua kriteria tersebut menjadi faktor penting dan direkomendasikan oleh IUCN dalam menentukan kategori kelangkaan spesies langka (IUCN 2008).
2.1.8
Asosiasi Interspesifik Hampir semua spesies tumbuhan tropis berada dalam interaksi kompleks
atau
asosiasi
untuk
melengkapi
fase-fase
dalam
siklus
kehidupannya
(Widyatomoko 2001). Interaksi-interaksi species seperti ini sangat penting dalam ekologi suatu spesies sehingga studi untuk mengetahui adanya asosiasi spesies dapat memiliki implikasi ekologis yang penting (Ludwig & Reynolds 1988). Namun demikian asosiasi antar spesies dalam komunitas pada akhir tahun 1980-an masih menjadi sentral perdebatan (Fritz et al. 1987). Ada kelompok ekologis yang berpendapat bahwa spesies hidup individualistis di lingkungannya dan cenderung untuk berasosiasi secara acak, kelompok lain berpendapat bahwa spesies yang berkompetisi untuk sumber makanan akan berasosiasi negatif, sedangkan pendapat kelompok lain mengarah pada kecenderungan untuk berasosiasi positif karena
9 respons serupa terhadap variasi dalam kualitas ataupun kuantitas sumber makanannya. Beberapa proses ekologis dapat memperlihatkan asosiasi positif atau negatif antara dua spesies dalam suatu komunitas seperti diringkas dalam Tabel 1 (Schluter 1984, dalam Ludwig & Reynolds 1989). Penelitian ekologi mengenai M. teijsmannii Miq. sejauh ini belum pernah dilaporkan, dan informasi mengenai spesies tumbuhan yang secara umum berasosiasi dengan spesies langka ini juga tidak didapatkan. Akan tetapi dengan melihat distribusi geografis spesies ini yang menempati hutan hujan dataran rendah pada ketinggian 0-1000 m dpl, maka ada kemungkinan spesies ini berasosiasi dengan anggota-anggota dari famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Ebenaceae, Moraceae atau Burseraceae, karena famili-famili tersebut banyak ditemukan dan menjadi karakteristik zona hutan hujan bawah (Indriyanto 2006). Prediksi ini perlu mendapatkan pembuktian melalui penelitian ekologi untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tabel 1 Asosiasi di antara spesies akibat adanya interaksi antar spesies dan proses ekologis Tipe interaksi
Contoh proses ekologis Positif
Negatif
Tidak ada
Spesies memiliki respon yang sama terhadap suplai sumberdaya yang terbatas
Spesies memiliki sumberdaya yang berbeda
Mutualisme
Spesies satu dengan lainnya saling mempertinggi daya survivalnya
Sumberdaya diperebutkan dan dipergunakan secara eksklusif oleh spesies
Kompetisi
Spesies berfluktuasi selaras dengan terbatasnya sumberdaya
Gangguan antar spesies menghasilkan keterasingan spesies lainnya
Predasi
Predator berfluktuasi selaras dengan kepadatan mangsanya
Kepadatan predator yang tinggi menurunkan kepadatan mangsanya
kebutuhan
Sumber: Schluter (1984) dalam Ludwig & Reynolds (1988).
Data mengenai asosiasi interspesifik perlu dilakukan untuk M. teijsmannii untuk mendapatkan tambahan gambaran mengenai preferensi habitatnya, yang salah satunya dapat diimplikasikan pada pendugaan distribusi populasi di skala regional yang lebih luas. Dengan mengetahui pendugaan distribusi populasinya akan diperkirakan habitat-habitat yang sesuai bagi pertumbuhannya, yang dapat bermuara pada program konservasi spesies langka tersebut, antara lain program reintroduksi.
10 Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa penentuan asosiasi spesies melibatkan dua komponen yang berbeda: 1) uji statistik terhadap hipotesis bahwa dua spesies berasosiasi atau tidak, dan 2) pengukuran tingkat atau kekuatan asosiasi. Uji statistik untuk mendeteksi asosiasi spesies dilakukan dengan tes chisquare (Ludwig & Reynolds 1988) atau tes varians rasio (Schluter 1984, dalam Ludwig & Reynolds 1988). Tes varians rasio ini dapat diterapkan tidak hanya untuk asosiasi interspesifik namun juga untuk pola asosiasi intraspesifik (Fritz et al. 1987). Pengukuran tingkat asosiasi ini dapat diketahui dengan berbagai metode dalam bentuk indeks asosiasi, antara lain Ochiai Index, Dice Index, Jaccard Index (Ludwig & Reynolds 1988) dan Yule’s V Index (Slone & Croft 2001; Ludwig & Reynolds 1988).
2.1.9
Status Kelangkaan dan Konservasi Pada daftar status kelangkaan tumbuhan versi IUCN (2006) terdapat 44
spesies Myristica yang tergolong rentan (vulnerable) hingga genting (endangered) dan 22 spesies di antaranya ditemukan di Indonesia, termasuk M. teijsmannii Miq. M. teijsmannii Miq. oleh IUCN digolongkan ke dalam status endangered dengan kriteria B1+2C berdasarkan penilaian kualitatif data herbarium oleh de Wilde pada tahun 1998. M. teijsmannii dinilai memiliki risiko kepunahan yang tinggi di alam karena hilangnya atau degradasi habitat sebagai penyebab utamanya. Degradasi habitat tersebut diakibatkan oleh praktek-praktek pertanian, deforestasi dan pembangunan infrastruktur termasuk pemukiman penduduk, yang ketiganya masih berlangsung hingga saat ini (IUCN 2006). Ironisnya, dengan status genting seperti ini, M. teijsmannii tidak digolongkan ke dalam tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al, 2001) ataupun jenis-jenis yang dilindungi undang-undang di Indonesia berdasarkan PP No. 7 dan PP No. 8 tahun 1999 (Nurdjito dan Maryanto 2001). Dalam kedua peraturan tersebut, hanya empat jenis Myristica yang digolongkan langka dan dilindungi undang-undang berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 54/Kpts/Um/2/1972, yaitu M. papuana Scheff., M. paucifolia var. lancifolia, M. sphaerosperma S.C. Smith. dan M. argentea Warb.
11 Hingga saat ini belum pernah dilaporkan upaya perlindungan bagi M. teijsmannii, baik secara ex-situ maupun in-situ. Berdasarkan data dari Herbarium Bogoriense dan NHN Leiden, salah satu spesimen M. teijsmannii dikoleksi dari Hortus Botanicus (Kebun Raya Bogor). Namun setelah melalui pengecekan berulang termasuk pada spesies sinonimnya baik di lapangan baik di database maupun dari data katalog kartu mati, aksesi dari spesies ini tidak pernah ada, yang berarti belum pernah dikoleksi di Kebun Raya Bogor. Dari seluruh lokasi populasi M. teijsmannii, hanya satu yang merupakan kawasan perlindungan yang berada di bawah Departemen Kehutanan, yaitu P. Sempu yang berstatus cagar alam, sehingga penentuan status populasi terkini di kawasan tersebut untuk menentukan langkah konservasinya merupakan langkah awal yang sangat diperlukan bagi pelestarian M. teijsmannii. 2.1.10 Aspek Pemanfaatan M. teijsmannii dilaporkan dapat bermanfaat sebagai bahan pewarna merah dari getah pada batang kayu yang dikeluarkannya (Heyne 1987). Hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan di Desa Parang Kecamatan Banyakan di kawasan Gunung Wilis, Kediri, mendukung data tersebut. Pada awal abad ke-20, getah dari buah dan kayu M. teijsmannii digunakan untuk bahan pewarna kertas payung. Selain getahnya, kayunya juga cukup sering digunakan untuk bahan bangunan pada tiang dan penyangga rumah serta untuk gandar cangkul. Di samping itu, daun dan buahnya dipakai sebagai bahan campuran ramuan obatobatan, namun khasiatnya tidak diketahui secara khusus. Hegnauer (2001) melakukan uji biokimia pada biji M. teijsmannii dan menemukan kandungan minyak sebesar 3,5% vol. Akan tetapi jenis minyak yang terkandung dalam biji M. teijsmannii yang diuji tersebut tidak dijelaskan jenisnya.
2.2
Kategori Kelangkaan Kelangkaan merupakan sebuah konsep yang kompleks karena memiliki
sejumlah batasan yang berlainan dan suatu kombinasi antara faktor-faktor dinamis yang berkaitan dengan penyebaran spesies. Kelangkaan spesies ini bersifat kompleks secara fenomenal: temporal, spasial dan taksonomik (Widyatmoko
12 2001). Ditinjau dari fenomena spasialnya, kelangkaan suatu spesies sangat bergantung pada distribusi spesies dalam area tertentu (Cropper 1993). Berdasarkan penyebabnya yang berupa proses alami dan non-alami, kelangkaan spesies tumbuhan dikategorikan ke dalam tiga kelompok (Cropper 1993). Kelompok pertama, spesies yang memiliki beberapa populasi besar dan tidak dianggap memiliki risiko kepunahan. Biasanya kelangkaan spesies ini diakibatkan oleh perusakan atau degradasi habitatnya. Kelompok kedua, spesies endemik, di mana jumlah populasi maupun jumlah individu dalam setiap populasinya sangat rendah. Spesies ini memiliki risiko kepunahan karena adanya proses alami seperti serangan hama, kekeringan atau bencana alam. Kelompok ketiga, tumbuhan langka yang terancam karena kegiatan-kegiatan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesintasan spesies tersebut. Penyebab utamanya adalah konversi habitat seperti praktek-praktek agrikultur, pembangunan jalan, pertambangan. Kelangkaan spesies dapat berujung pada kerentanan terhadap kepunahan. Spesies-spesies yang rentan terhadap kepunahan memiliki paling tidak satu dari 10 karakter tertentu yang dirangkum dalam Primack et al. (1998). Spesies-spesies tersebut perlu mendapat perhatian agar keberadaannya dapat terselamatkan dari kepunahan. Untuk melindungi keberadaan suatu species, The IUCN Species Survival Commission telah menetapkan penggolongan spesies berdasarkan risiko kepunahannya dalam Red Data Book, yang direvisi secara kontinyu. Sejak pertama kali diperkenalkan, penggunaan kategori ini telah diakui dan dipakai secara internasional. Ada delapan kategori kelangkaan yang ditetapkan IUCN (HiltonTaylor 2000), yaitu: 1. Extinct (EX) / punah Suatu taksa dikategorikan Extinct jika individu terakhir telah mati. 2. Extinct in the wild (EW)/ punah di alam Suatu jenis dikategorikan EW jika taksa tersebut diketahui hanya ada dalam budidaya, di karantina atau sebagai suatu populasi yang telah mengalami naturalisasi di luar daerahnya. Suatu taksa diduga punah di alam jika surveysurvei sudah dilakukan pada daerah yang diduga /diketahui sebagai habitatnya,
13 pada waktu tertentu (diurnal, musiman, tahunan) dalam sepanjang daur hidupnya, tetapi taksa tersebut tidak ditemukan lagi. 3. Critically endangered (CR) Suatu takson dikategorikan CR jika taksa tersebut menghadapi risiko kepunahan yang sangat ekstrim di alam dalam waktu yang sangat dekat, dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. 4. Endangered (EN) / genting Suatu takson dikategorikan EN jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR tetapi mengalami risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, yang didefinisikan dengan kriteria-kriteria tertentu. 5. Vulnerable (VU) / rentan Suatu taksa dikategorikan VU jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR atau EN tetapi mengalami risiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat, seperti yang didefinisikan dengan kriteria-kriteria tertentu. 6. Lower Risk (LR) / risiko rendah Suatu taksa dikategorikan LR jika taksa tersebut setelah dievaluasi, tidak memenuhi criteria-kriteria CR, EN atau VU. Taksa yang termasuk kategori ini dibagi menjadi tiga sub kategori: 1). Conservation dependent (cd) / tergantung upaya konservasi 2). Near threatened (nt) / Nyaris terancam 3). Least concern (lc) / Kekhawatiran minimal 7. Data deficient (DD) Suatu taksa termasuk kategori ini jika informasi distribusi dan atau status populasinya tidak memadai untuk membuat dugaan risiko kepunahan suatu taksa baik secara langsung atau tidak langsung. 8. Not evaluated (NE) Suatu taksa termasuk kategori NE jika taksa tersebut belum dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori No. 1-7 karena belum dievaluasi. Berdasarkan IUCN (2008), ada beberapa kriteria khusus untuk kategori CR, EN dan VU (Tabel 2). M. teijsmannii dikategorikan ke dalam EN pada kriteria B1+2C berdasarkan data kualitatif spesimen herbarium (IUCN 2006), artinya spesies ini diperkirakan memiliki daerah sebaran yang sempit di mana luas daerah sebarannya (extent of occurrence) <5000 km2 dan luas daerah yang ditempatinya
14 (area of occupancy) <500 km2, dengan jumlah perkiraan < 2500 individu dewasa. Kemungkinan kepunahan dari spesies ini juga tergolong tinggi. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa tingginya tingkat risiko kepunahan spesies disebabkan oleh kemerosotan populasi yang besar, area geografi dan luas area yang ditempatinya sempit serta ukuran populasi kecil. Tabel 2 Kriteria status kelangkaan untuk kategori kritis, genting dan rentan Kriteria A
B
C
Penurunan populasi A1 A2, A3, A4
Kritis (CR)
Genting (EN)
Rentan (VU)
Pengukuran dilakukan 10 tahun atau 3 generasi >90% >70% >80% >50%
Kisaran sebaran geografis: B1 : luas daerah <100 km2 sebaran B2 : luas daerah <10 km2 ditempati, atau 2 dari 3 kriteria berikut (a) Jumlah lokasi =1 (b) penurunan terus menerus (c) fluktuasi ekstrim Populasi kecil dan menurun Jumlah individu < 250 dewasa (C1 dan C2) 25% dalam 3 tahun C1: Penurunan populasi terus menerus atau 1 generasi s.d. 100 tahun
>50% >30%
<5000 km2
<20000 km2
<500 km2
<2000 km2
≤5
≤10
< 2500
< 10000
20% dalam 5 tahun atau 2 generasi
10% dalam 10 tahun atau 3 generasi
C2: (ai) jumlah individu dewasa pada sub populasi terbesar (aii) % individu dewasa dalam 1 subpopulasi
<50
<250
<1000
90-100%
95-100%
100%
(b) fluktuasi ekstrim dalam jumlah individu dewasa D
Populasi sangat kecil atau populasi terbatas (restricted) < 50 < 250 D1 : jumlah individu dewasa D2 : daerah ditempati terbatas
E
Analisis kuantitatif; Kemungkinan punah di alam
Sumber: IUCN (2008).
≥50% dalam 10 tahun atau 3 generasi (maks 100 tahun)
<1000
-
<20 km2 atau ≤5 lokasi
≥20% dalam 20 tahun atau 5 generasi
≥10% dalam 100 tahun
(maks 100 tahun)
15 2.3
Istilah-istilah yang digunakan
Autekologi adalah studi ekologi yang memfokuskan pada satu spesies tertentu beserta interaksi dengan habitat atau lingkungannya, meliputi dinamika dan status populasi, demografi, preferensi habitat, interaksi dengan komponen abiotik, asosiasi serta ekofisiologi (Widyatmoko dan Irawati 2007). Cagar Alam. Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya (UU No. 5 Tahun 1990). Endangered atau genting. Suatu takson digolongkan genting bila takson tersebut tidak tergolong kritis namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Tingkat risiko kepunahan yang tinggi disebabkan oleh kemerosotan populasi yang besar, area geografi dan area okupasi yang sempit serta ukuran populasi yang kecil (IUCN 2001). Fase semai. Semai didefinisikan sebagai individu yang memiliki dbh (diameter setinggi dada pada batang bebas cabang ± 1,3 m dari atas permukaan tanah) <3 cm dan tinggi ≤1,5 m (Indriyanto 2006). Fase sapling. Sapling didefinisikan sebagai individu yang memiliki dbh <10 cm dan tinggi >1,5 m (Indriyanto 2006). Fase tiang. Tiang diartikan sebagai individu yang memiliki dbh 10 – 20 cm (Indriyanto 2006). Fase pohon. Pohon diartikan sebagai individu yang memiliki dbh >20 cm (Indriyanto 2006). Global Strategy for Plant Conservation (GSPC). Strategi dunia untuk konservasi tumbuhan yang disusun oleh BGCI (Botanic Gardens Conservation International) beserta CBD (Convention on Biological Diversity) dan UNEP (United Nation for Environmental Program). Strategi dalam GSPC ini mencakup kerangka kerja
16 global untuk konservasi tumbuhan di seluruh dunia, yang terangkum dalam 16 target yang akan dicapai pada tahun 2010 (CBD 2002). Reintroduksi adalah pelepasan dan pengelolaan suatu spesies ke suatu daerah di mana spesies tersebut dulu pernah ada namun telah punah atau dipercaya telah punah dari area tersebut dengan tujuan memulihkan keberadaannya secara global atau lokal di habitat alaminya di dalam kisaran area geografiknya (Widyatmoko dan Irawati 2007). Studi populasi adalah penelitian mengenai populasi spesies tertentu yang meliputi kemelimpahan, pola penyebaran, struktur populasi setiap fase pertumbuhannya serta demografi yang mencakup regenerasi, kematian maupun perpindahan (Widyatmoko dan Irawati 2007).
17
III.
3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian autekologi Myristica teijsmannii dilakukan di kawasan hutan
campuran dataran rendah Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS), Jawa Timur. Studi herbarium dilakukan di herbarium Kebun Raya Bogor dan Herbarium Bogoriense LIPI, analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Bogor. Kegiatan penelitian dilakukan mulai Maret 2007 sampai dengan Januari 2008, sejak survey pendahuluan hingga diselesaikannya tahap identifikasi spesimen herbarium. Enam lokasi penelitian dipilih dalam kawasan cagar alam, yaitu Telaga Lele, Telaga Sat, Waru-waru, Air Tawar, Gua Macan dan Teluk Semut (Gambar 4). Seluruh lokasi penelitian merupakan hutan tropis dataran rendah dengan dominasi vegetasi bervariasi berdasarkan estimasi visual pada tahap observasi umum pada awal penelitian.
3.2
Bahan dan Alat Objek utama dalam penelitian ini adalah Myristica teijsmannii. Peralatan
yang digunakan adalah: 1). Perlengkapan sampling vegetasi: Global Positioning System (GPS) Garmin GPSMAP 60CSx, peta lokasi, peta kontur Pulau Sempu, meteran, kompas, tambang plastik; 2). Perlengkapan koleksi herbarium dan koleksi tumbuhan hidup termasuk buku identifikasi tumbuhan; 3). Peralatan pencatatan data lingkungan: altimeter, clinometer, termohigrograf, soil tester; 4). Peralatan sampling tanah: ring sample diameter 2 inci, Munsell’s color chart, pisau, sekop, label bersegel dan kertas label; 5). Perlengkapan entri data dan analisis data: software program Statistical Ecology (Ludwig & Reynolds 1988), Ecological Methodology (Krebs 2002), MapSource untuk upload data dari GPS ke komputer, STATISTICA 6 untuk analisis statistik, serta ArcView 3.2 (ESRI) untuk kepentingan pemetaan.
18 3.3 3.3.1
Metode Penelitian Autekologi Myristica teijsmannii Data yang dikumpulkan meliputi data biotik dan abiotik pada lokasi
penelitian. Data faktor biotik meliputi kemelimpahan spesies, komposisi vegetasi, pencatatan individu M. teijsmannii reproduktif untuk data struktur populasi dan asosiasi serta spesies agen dispersalnya. Data abiotik yang dicatat meliputi karakteristik habitat berupa faktor edafik, topografi dan iklim mikro. Untuk mengetahui struktur populasi M. teijsmannii dan struktur komunitas di lokasi penelitian, empat fase pertumbuhan (semai, sapling, tiang dan pohon) seluruh spesies yang ditemui dalam plot dihitung dan diukur diameternya pada setinggi dada (DBH / diameter at breast height). Pengambilan data populasi dilakukan dengan menggunakan metode sampling garis paralel sistematis (Cropper 1993; Krebs 1989) dalam sejumlah plot sepanjang garis transek (Gambar 1). Plot yang dibangun berbentuk bujursangkar yang berlainan ukurannya untuk setiap fase vegetasi dengan menggunakan metode plot bersarang (nested plot method). Untuk fase semai, plot yang dibangun berukuran 2 x 2 m, fase sapling 5 x 5 m, fase tiang 10 x 10 m, dan fase pohon 20 x 20 m (Gambar 2). Definisi untuk setiap fase telah dijelaskan pada bagian istilah-istilah bab II halaman 15. Transek yang dibangun berjumlah 15 buah dengan total luas plot penelitian 150 x 20 x 20 m yang meliputi kawasan seluas 0,68% dari total luas Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS). Setiap transek dan plot pengamatan ditandai lokasinya (ditentukan koordinatnya) dengan menggunakan GPS.
3.3.2
Pengambilan Data Karakteristik Habitat
3.3.2.1 Penentuan Lokasi Penelitian Langkah pertama penentuan lokasi penelitian adalah dengan melakukan penjelajahan di kawasan CAPS. Pada observasi umum ini dilakukan estimasi visual terhadap fisiognomi dan asosiasi floristik yang dominan.
Penempatan
transek-transek ditentukan berdasarkan asosiasi tegakan dan kondisi hutan yang cukup berbeda dengan sedapat mungkin mewakili tipe-tipe asosiasi dan kondisi topografi yang ada di kawasan CAPS.
19 3.3.2.2 Pengukuran di Lapangan Karakteristik habitat yang diukur di lapangan meliputi faktor topografis, klimatik dan faktor edafik. Faktor topografis yang diukur adalah ketinggian menggunakan GPS dan altimeter, kemiringan tempat diukur dengan clinometer Suunto, serta arah lereng dengan kompas. Arah lereng diukur dari garis transek ke arah tepi terluar plot 20 x 20 m yang sejajar dengan garis transek. Arah lereng juga diperoleh dari titik koordinat transek dalam GPS yang ditumpangsusunkan ke dalam peta kontur yang telah dianalisis lereng dan arah lerengnya dengan program ArcView. Data klimatik (iklim mikro) yang dicatat meliputi kelembaban dan suhu udara menggunakan termohigrograf serta curah hujan. Data curah hujan diperoleh dari data sekunder di lokasi yang bersumber dari instansi terkait. Data tanah yang diukur di lokasi penelitian adalah pH, kelembaban dan suhu tanah yang diukur pada permukaan tanah menggunakan Soil Tester. Warna tanah dicatat dan dibandingkan dengan Munsell’s Soil Color Chart (Anonim 2005). 2 1
4 3
6
10
8
5
7
9
Arah garis transek
20 m
20 m 200 m Gambar 1 Skema pembuatan plot pada sampling.
4
3 2 1
Gambar 2 Skema plot bersarang pada plot 20 x 20 m. Keterangan: Plot 1 = 2 x 2 m untuk semai; Plot 2 = 5 x 5 m untuk sapihan; Plot 3 = 10 x 10 m untuk tiang; Plot 4 = 20 x 20 m untuk pohon.
20 3.3.2.3 Pengambilan Contoh Tanah Contoh tanah untuk sifat fisika diambil dengan menggunakan ring sample berdiameter 2 inci sesuai dengan prosedur standar (Anonim 2005). Untuk kepentingan pengujian sifat kimia, contoh tanah diambil dan disimpan dalam plastik bersegel. Pengambilan contoh dilakukan di setiap lokasi penelitian dari lapisan top soil (0-20 cm) dan lapisan sub soil (>20 cm) masing-masing sebanyak 2 ulangan.
3.3.2.4 Analisis Contoh Tanah Contoh tanah yang diambil dari lokasi penelitian dianalisis sifat fisika dan kimianya di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian di Bogor, melalui tahap pengeringan suhu 1050C. Faktor fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), kadar air, kerapatan lindak (bulk density), dan ruang pori total, sedangkan faktor kimiawi meliputi pH, kandungan bahan organik yang dinyatakan dalam rasio C/N, serta kandungan bahan organik meliputi Ca, Mg, K dan Na, serta nilai kapasitas tukar kation (KTK). Analisis tekstur tanah dilakukan dengan pemisahan partikel liat menggunakan ultrasonik dan sedimentasi, sedangkan partikel pasir dipisahkan dan diukur dengan metode penyaringan dan pencucian. pH tanah diukur pada ekstraksi campuran tanah dan air dengan perbandingan 1:5, KTK diekstraksi dengan NH4 asetat 1 N dan pH 7, kandungan C dianalisis dengan metode Walkley & Black, sedangkan N total dideterminasi dengan metode Kjeldahl. Untuk mendapatkan nilai total setiap variabel tanah dari dua lapisan topsoil dan subsoil, setiap parameter hasil analisis dihitung dengan formula:
X = di mana :
(X topsoil × T ) + ( X subsoil × S ) T +S
X = nilai pada parameter i T = kedalaman topsoil S = kedalaman subsoil
21 Apabila kadar unsur hara dalam tanah dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara bagi tanaman, maka akan diketahui apakah kadar unsur-unsur hara dalam tanah tersebut kurang, rendah, sedang atau tinggi. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah Sifat Tanah C (%) N (%) C/N
pH H2O
Sangat rendah < 1,00 < 0,10 <5 Sangat masam < 4,5
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
1,00 – 2,00 0,10 – 0,20 5 –10
2,01 – 3,00 0,21 – 0,50 11 – 15
3,01 – 5,00 0,51 – 0,75 16 – 25
> 5,00 > 0,75 > 25
Masam 4,5 – 5,5
Agak masam 5,6 – 6,5
Netral 6,6 – 7,5
Agak alkalis 7,5 – 8,5
Alkalis > 8,5
Sumber: Hardjowigeno (1992).
3.4
Analisis Data
3.4.1
Autekologi dan Populasi Myristica teijsmannii Serta Struktur Komunitas Data populasi yang meliputi kemelimpahan spesies dalam komunitas
dihitung mengikuti formulasi dari Cox (2002). Keragaman spesies, kesamaan (similarity) antar lokasi penelitian serta pola penyebaran M. teijsmannii dihitung berdasarkan Krebs (1989) dengan menggunakan program ECOLOGICAL METHODOLOGY (Krebs 2002). Khusus untuk uji asosiasi interspesifik, perhitungan dilakukan berdasarkan metode dan software STATISTICAL ECOLOGY (Ludwig & Reynolds 1988).
3.4.1.1
Kerapatan (K) Kerapatan adalah jumlah individu suatu spesies dalam suatu luasan
tertentu. Parameter ini dihitung dengan persamaan: Ki = ni / A
[3.1]
di mana Ki adalah kerapatan untuk spesies i, ni adalah jumlah total individu spesies i yang terhitung dalam plot, dan A merupakan luas total plot sampel.
22 Kerapatan relatif (KR) adalah jumlah individu spesies i (ni) proporsional terhadap jumlah total individu seluruh spesies yang dijumpai dalam plot (Σn). KR dihitung dengan persamaan: KR = (ni / Σn) x 100%
3.4.1.2
[3.2]
Frekuensi (F) Frekuensi adalah kesempatan menjumpai spesies dalam suatu sampel, yang
diperoleh dari persamaan [3.3]. Fi = jumlah plot yang diduduki spesies jumlah total plot yang dibangun
[3.3]
Frekuensi relatif (FR) adalah frekuensi dari individu spesies i (Fi) sebagai proporsi dari jumlah frekuensi seluruh spesies yang dijumpai dalam plot. FR dihitung dengan persamaan [3.4]. FRi = (Fi / ΣFi) x 100% 3.4.1.3
[3.4]
Dominasi (D) Dominasi adalah proporsi dari permukaan tanah yang diduduki oleh
proyeksi vertikal bagian tajuk tumbuhan ke permukaan tanah. Dominasi dihitung dengan persamaan: Di = ai / A
[3.5]
di mana ai merupkan total area yang ditutupi oleh spesies i (perkiraan melalui basal area, penutupan tajuk) dan A merupakan total area habitat yang disampling. Dominansi Relatif untuk spesies i (DRi) adalah adalah penutupan atau kelindungan untuk spesies tersebut (Di) yang diekspresikan sebagai proporsi dari total dominansi seluruh spesies. DRi dihitung dengan persamaan: DRi = (Di / ΣD) x 100% 3.4.1.4
[3.6]
Indeks Nilai Penting Jumlah dari ketiga pengukuran relatif untuk spesies i merupakan sebuah
indeks yang disebut indeks nilai penting (INP).
23 INP = KR + FR + DR
3.4.1.5
[3.7]
Indeks Keragaman Nilai keragaman spesies dalam habitat dinyatakan dengan indeks
keragaman atau diversity index. Indeks keragaman yang digunakan dalam penelitian ini dan juga paling umum digunakan dalam metode ekologi adalah indeks keragaman Shannon-Wiener. Persamaannya adalah sebagai berikut. H’ = – Σ pi log2 pi
[3.8]
di mana H’ menyatakan indeks keragaman menurut Shannon-Wiener (Krebs 1989), sedangkan pi menyatakan proporsi spesies i terhadap keseluruhan jumlah spesies yang dijumpai pada plot di dalam komunitas yang diteliti. Proporsi ini diperoleh dari perbandingan jumlah spesiesnya di mana ni merupakan jumlah individu spesies i dan N adalah jumlah seluruh individu spesies yang dijumpai dalam plot. pi = ni / N 3.4.1.6
[3.9]
Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat kesamaan atau kemiripan komunitas ditentukan berdasarkan indeks
kesamaan Morisita (Morisita 1951 dalam Krebs 1989). Indeks ini memiliki kisaran 0 (tidak memiliki kesamaan) hingga mendekati 1 (kesamaan sempurna). Krebs (1989) menyatakan bahwa indeks kesamaan Morisita hampir tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel, kecuali oleh ukuran sampel yang sangat kecil sehingga direkomendasikan sebagai metode pengukuran kemiripan komunitas yang terbaik untuk ekologi (Wolda 1981 dalam Krebs 1989).
Cλ =
di mana
Cλ Xij,Xik Nj Nk
= = = =
2 ∑ n X ij X ik
(λ1 + λ2 ) N j N k
[3.10]
indeks kesamaan Morisita antara sampel j dan k jumlah individu spesies i dalam sampel j dan sampel k Σ Xij = total jumlah individu dalam sampel j Σ Xik = total jumlah individu dalam sampel k
24
λ1 = λ2 =
3.4.1.7
[ ( )] N j (N j − 1)
Σ n X ij X ij − 1
[3.11]
Σ n [X ik ( X ik − 1)] N k (N k − 1)
[3.12]
Pola Penyebaran Untuk mengetahui pola penyebaran populasi M. teijsmannii di lokasi
penelitian digunakan indeks penyebaran Morisita (Morisita 1962 dalam Krebs 1989). Indeks tersebut dihitung dengan [3.13].
⎡ ∑ x2 − ∑ x ⎤ Id = n ⎢ ⎥ 2 ⎢⎣ (∑ x ) − ∑ x ⎥⎦
[3.13]
di mana :
Id n Σx Σx2
= = = =
indeks dispersi Morisita jumlah plot jumlah total plot jumlah kuadrat untuk total plot
Jika :
Id Id Id
= = =
1, maka pola penyebaran spesies acak (random) 0, maka pola penyebaran spesies seragam (uniform) n, maka pola penyebaran spesies mengelompok (clumped)
Untuk mengetahui signifikansi dari nilai tersebut maka dilakukan uji hipotesis dengan tes distribusi χ2 melalui rumus sebagai berikut.
χ 2 = Id ( ∑ x − 1) + n − ∑ x
(d.f.= n − 1)
[3.14]
Hipotesis null (H0) yang diajukan adalah spesies menyebar secara acak. Apabila χ2hitung > χ2tabel maka H0 ditolak, berarti spesies menyebar tidak secara acak. Meskipun banyak digunakan dalam penelitian ekologi, terdapat indeks dispersi yang lebih baik dengan melakukan standarisasi Indeks Morisita. Dalam sebuah simulasi studi, Indeks Morisita yang distandarisasi ini (standardized Morisita’s index) dinilai sebagai pengukuran dispersi populasi yang terbaik karena sifatnya independen terhadap kerapatan populasi dan tidak bergantung pada ukuran sample (Myers 1978 dalam Krebs 2002). Namun demikian direkomendasikan bahwa ukuran sampel minimum untuk pengujian pola dispersi populasi ini adalah 50 kuadrat (Green 1966 dalam Krebs 2002).
25 Indeks Morisita yang diperoleh selanjutnya dicari dua titik kritisnya melalui uji χ2 untuk mencari derajat pengelompokannya. Uniform index = Mu =
di mana
2 χ.975 − n +
∑x
( ∑ xi ) − 1
i
[3.15]
χ2.975 = nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97,5% area ke sebelah kanan kurva
ΣXi = jumlah organisme dalam kuadrat i (i = 1,...n) n = jumlah kuadrat
Clumped index = Mc =
di mana
2 χ.025 − n +
∑x
( ∑ xi ) − 1
i
[3.16]
χ2.025 = nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2,5% area ke sebelah kanan kurva
Berdasarkan hasil indeks Mc atau Mu di atas maka Indeks Morisita standar (IP) dihitung berdasarkan salah satu dari empat persamaan berikut ini. 1. Jika Id ≥ Mc > 1,0 : ⎛ I − Mc ⎞ ⎟ I P = 0.5 + 0.5 ⎜⎜ d ⎟ ⎝ n − Mc ⎠
[3.17]
2. Jika Mc > Id ≥ 0 : ⎛ I −1 ⎞ ⎟ I P = 0.5 ⎜⎜ d ⎟ ⎝ M u − 1⎠
[3.18]
⎛ I −1 ⎞ ⎟ I P = − 0.5 ⎜⎜ d ⎟ ⎝ Mu − 1⎠
[3.19]
3. Jika 1,0 > Id > Mu :
4. Jika 1,0 > Mu > Id : ⎛ I − Mu I P = − 0.5 + 0.5 ⎜⎜ d ⎝ Mu
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
[3.20]
Indeks Morisita yang distandarkan (IP) ini berkisar antara -1,0 hingga +1,0. Jika IP = 0 pola penyebaran acak,
IP < 0 penyebaran seragam dan IP > 0
penyebaran mengelompok. 3.4.1.8 Peta Penyebaran M. teijsmannii di Cagar Alam Pulau Sempu Penyebaran populasi M. teijsmannii digambarkan pada peta digital Pulau Sempu dengan mentransfer data koordinat hasil penandaan GPS di setiap plot
26 penelitian di dalamnya dijumpai individu M. teijsmannii. Titik-titik plot sampling yang memiliki individu M. teijsmannii yang dipilih untuk pemetaan populasi. Kemudian file dengan titik-titik koordinat populasi M. teijsmannii pada program MapSource disimpan dalam format dxf. File tersebut selanjutnya diimpor dari program ArcView dan disimpan dalam format shapefile sehingga dapat ditumpangsusunkan dengan peta digital kontur dan batas kawasan Pulau Sempu.
3.4.1.9
Asosiasi Interspesifik Pola asosiasi antara M. teijsmannii dan spesies tumbuhan lainnya di lokasi
penelitian diuji berdasarkan data kehadiran–ketidakhadiran (data biner) pada plot yang diuji. Pengujian ini meliputi dua tahap yaitu 1) mencari adanya asosiasi dan 2) mengukur kekuatan asosiasi. Pengujian pola asosiasi interspesifik ini ditentukan dari indeks Jaccard berdasarkan metode spesies berpasangan untuk multispesies (Ludwig and Reynolds 1988). Sejumlah 60 plot yang mewakili 6 lokasi penelitian dipilih untuk pengujian asosiasi. Plot tersebut masing-masing diambil secara acak sebanyak 10 plot berukuran 20 x 20 m pada transek dari setiap lokasi penelitian untuk keseragaman. Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya diberi nilai 0. Tabel 4
Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling UNIT SAMPLING (N)
Total spesies
0 1 0 .. .. 1
0 1 1
n1 n2 n3
1
T3
TN
ns
SPESIES
(1)
(2)
(3)
1 2 3 .. .. S Total SU
1 1 0 .. .. 0
1 0 1 .. .. 0
T1
T2
...
Meskipun semua kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi akan dihitung, namun mereka tidak akan bebas sehingga kemungkinan distribusi hasilnya tidak dapat ditentukan (Schluter 1984 dalam Ludwig & Reynolds 1988). Oleh karena itu digunakan pendekatan baru dengan menggunakan variance ratio
27 (VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji signifikansi dari asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data kehadiranketidakhadiran (Tabel 4). Hipotesis nol (H0) yang dibangun adalah bahwa M. teijsmannii merupakan spesies independen; tidak ada asosiasi dengan spesies lain. Hipotesis ini diuji dengan uji statistik chi-square (χ2). Selanjutnya dihitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel, dengan persamaan [3.21]. S
δT = ∑ pi (1 − pi ) i =1
[3.21]
di mana pi = ni/N. Selanjutnya dilakukan pendugaan varians jumlah spesies total dengan persamaan: ST 2 =
1 N 2 ∑ (Tj − t ) N j =1
[3.22]
Di mana t adalah rata-rata jumlah spesies per sampling unit. Kemudian VR (Variance Ratio) yaitu indeks asosiasi antar seluruh spesies dihitung dengan rumus: VR = ST2 δT2
Bila
[3.23]
: VR = 1 maka tidak ada asosiasi VR > 1 menunjukkan asosiasi positif VR < 1 menunjukkan asosiasi negatif
Untuk menguji adanya penyimpangan terhadap nilai 1, maka dilakukan penghitungan nilai statistik W, dihitung dengan rumus:
W = ( N )(VR)
[3.24]
Jika nilai W terletak pada batas distribusi χ2 dengan probabilitas 90% maka hipotesis bahwa tidak ada asosiasi spesies diterima.
χ 2 0.5 N < W < χ 2 0.95 N
[3.25]
Selanjutnya seluruh spesies diiuji asosiasinya dengan uji chi-square (α 0,05; df = 1) spesies berpasangan dari tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 5). Hipotesis nol (H0) yang dibangun adalah bahwa M. teijsmannii merupakan spesies independen; tidak ada asosiasi dengan spesies lain. Hanya pasangan spesies yang memiliki nilai signifikan diuji tingkat asosiasinya dengan menggunakan Jaccard Index pada persamaan [3.27]. Jaccard index digunakan karena memiliki bias
28 terkecil dibandingkan dengan indeks-indeks asosiasi yang lainnya (Ludwig & Reynolds 1988).
J=
a a+b+c
[3.26]
Tabel 5 Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies SPESIES B Ada Tidak ada Myristica teijsmannii
Ada
a
b
m = a+b
Tidak ada
c
d
n = c+d
r = a+c
s = b+d
N = a+b+c+d
Keterangan: a = jumlah plot di mana M. teijsmannii dan spesies B ditemukan b = jumlah plot di mana terdapat M. teijsmannii namun tidak terdapat spesies B c = jumlah plot di mana terdapat spesies B namun tidak terdapat M. teijsmannii d = jumlah plot di mana M. teijsmannii dan spesies B tidak ditemukan; n adalah jumlah total unit sampling atau plot
3.4.3
Karakteristik Lingkungan
Habitat
M.
teijsmannii
berdasarkan
Variabel
Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor yang paling berkaitan erat dengan kehadiran M. teijsmannii diidentifikasi dengan melakukan analisis statistik menggunakan software STATISTICA 6. Untuk mengetahui karakteristik faktor edafik habitat M. teijsmannii dilakukan analisis korelasi antara parameter abundansi spesies dengan variabel lingkungannya. Interaksi spesies langka dengan faktor lingkungannya dapat dianalisis menggunakan metode generalized linear model atau GLM (Crase et al. 2006). Metode GLM digunakan untuk menghubungkan atribut topografis dari lokasi penelitian terhadap kehadiran M. teijsmannii. Model yang digunakan adalah distribusi binomial (hadir/tidak hadir) dengan fungsi hubungan logistik. Untuk memperoleh kecukupan model minimum dari variabel signifikan dipilih metode
backward stepwise.
29 Tabel 6 Klasifikasi variabel-variabel yang digunakan dalam uji statistik VARIABEL
KATEGORI
KISARAN
JUMLAH INDIVIDU
1 2 3
0 – 10 11 – 20 > 20
KEHADIRAN INDIVIDU
0
0
KETERANGAN Rendah Sedang Tinggi Tidak ada
1
>0
1 2 3 4 5
10 - 30
sangat rendah
>30 - 50 >50 - 70 >70 - 90 >90
rendah sedang cukup tinggi tinggi
KEMIRINGAN (%)
1 2 3 4 5
0-8 >8 - 15 >15 - 25 >25 - 45 >45
datar landai agak curam curam sangat curam
ASPEK 5 KATEGORI
1 2 3 4 5
-1 0 - 90 90 - 180 180 - 270 270 - 360
datar utara-timur selatan-timur selatan-barat utara-barat
KETINGGIAN (m dpl)
3.4.5
Ada
Diagram Alir Penelitian Untuk menjelaskan secara ringkas metode penelitian yang akan dilakukan,
maka dibuat diagram alir penelitian seperti diperlihatkan pada Gambar 3.
30
MULAI
KOLEKSI DATA
ANALISIS VEGETASI
ANALISIS FAKTOR LINGKUNGAN
Struktur, komposisi, kemelimpahan, distribusi M. teijsmannii
populasi M. teijsmannii dominan
EDAFIK
KLIMATIK
- Sifat fisika - Sifat kimia
-curah hujan -kelembaban -suhu
PETA PENDUKUNG Peta rupa bumi
TOPOGRAFI -ketinggian -slope -aspek
PREFERENSI HABITAT Faktor lingkungan yang mendukung penyebaran populasi M. teijsmannii di P. Sempu
DATA KUALITATIF CATATAN HERBARIUM
Gambar 3
Diagram alir penelitian.
PETA DISTRIBUSI POPULASI
M. teijsmannii
SELESAI
31
IV. KONDISI UMUM KAWASAN 4.1
Letak Geografis, Batas-batas Administratif dan Status Kawasan Secara geografis Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS) berada di antara
112040’45” – 112042’45”BT dan 8027’24” – 8024’54”LS, sekitar 0,5 km dari garis pantai Pulau Jawa, di sebelah selatan Provinsi Jawa Timur. Pulau ini terbentang 3,9 km dari barat ke timur, dan 3,6 km dari utara ke selatan. CAPS bagian selatan dan timur langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia, sedangkan bagian utara hingga ke barat dipisahkan dari daratan Jawa oleh Selat Sempu yang tenang.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Cagar Alam Pulau Sempu.
32
Gambar 5
Cagar Alam Pulau Sempu dan Selat Sempu dilihat dari Pulau Jawa.
Gambar 6
Batas selatan Cagar Alam Pulau Sempu dengan Samudera Indonesia.
Secara administratif, CAPS termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Gondangwetan Kabupaten Malang, kurang lebih berjarak 70 km dari kota Malang. Pulau tak berpenduduk seluas 877 ha ini ditetapkan sebagai kawasan lindung berdasarkan GB No. 46 Stbl 609 tanggal 15 Maret 1928 dan ditentukan sebagai cagar alam menurut SK Menhutbun No. 417/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 (Rais et al. 2006). Pulau ini ditetapkan sebagai cagar alam karena merupakan pulau kecil dengan karakteristik hidrologi, serta kekayaan flora dan fauna yang khas (Purwanto et al. 2002).
33 4.2.
Kondisi Iklim Berdasarkan catatan data curah hujan harian dari Stasiun Sitiarjo
Kabupaten Malang tahun 2002-2007, diperoleh data curah hujan bulanan dalam lima tahun terakhir (Tabel 7). Data curah hujan yang tersedia kurang memadai untuk diperhitungkan dalam klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson karena penentuan tipe iklim membutuhkan kisaran waktu yang jauh lama dalam pengamatan curah hujan. Berdasarkan klasifikasi intensitas hujan (SK Menteri Kehutanan No. 837/Kpts/II/1980), kawasan ini memiliki intensitas curah hujan sedang dengan nilai intensitas hujan (IH) 20,7-27,2 mm/hari hujan. Tabel 7 TAHUN
Data curah hujan Cagar Alam Pulau Sempu tahun 2002-2006 BULAN KE-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
BK
BB
BL
2002 203 327 88 311 66 24 60 14 0 36 125 286 4 5 3 2003 352 292 204 144 42 14 13 0 27 252 DT DT TD TD TD 2004 332 200 335 86 516 49 80 0 13 95 268 691 3 6 1 2005 263 232 303 193 0 117 291 0 64 469 415 702 2 9 1 2006 323 241 279 350 163 0 0 0 0 0 0 99 6 5 1 Sumber : Diolah dari data sekunder Stasiun Sitiarjo 2002-2006. Keterangan : BK = bulan kering; BB = bulan basah; BL = bulan lembab (dihitung menurut Tjasyono 2004); DT = data tidak tercatat karena peralatan rusak; TD = tidak dapat dihitung.
4.3
Geologis dan Hidrologis Topografi CAPS memiliki kontur yang bergelombang dan berbukit-bukit,
dan sebagian besar berbukit karang dengan ketinggian 0–102 m dpl. Berdasarkan klasifikasi kelas lereng menurut SK Menteri Kehutanan No. 837/Kpts/II/1980, kemiringan lereng yang tercatat di kawasan ini berkisar pada datar (0-8%) hingga sangat curam (>45%). Pada sebagian besar kawasan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia maupun dengan Selat Sempu, terdapat karang-karang terjal (coastal limestone) berwarna gelap, sedangkan kawasan hutan di bagian dalamnya memiliki lapisan permukaan (topsoil) yang relatif dangkal berbatasan dengan batu padas berwarna terang yang sangat keras. Batu jenis seperti itu juga banyak dijumpai di kawasan hutan, namun demikian ada beberapa spesies pohon yang mampu hidup di atasnya.
34 Tanah di CAPS tergolong subur walaupun memiliki topsoil yang dangkal, dan pada tempat-tempat yang kering mengalami keretakan atau perekahan. Warna tanah umumnya coklat gelap hingga hitam (Tabel 12) menunjukkan kandungan bahan organik yang tinggi. Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa makin tinggi kandungan bahan organik, maka warna tanah makin gelap. Berdasarkan peta digital jenis tanah Jawa Timur (BAKOSURTANAL), jenis tanah di CAPS secara umum digolongkan ke dalam calciustolls. Tanah jenis ini banyak mengandung kalsium atau kapur, dan dapat digolongkan vertisols atau mollisols antara lain bergantung pada karakter kedalaman liat pada horison, bahan induk serta kandungan bahan kimianya (Soil Survey Staff 1992). Walaupun dikelilingi oleh selat dan samudera, Pulau Sempu memiliki beberapa sumber air tawar, yaitu Telaga Lele (± 1 ha) yang dihuni oleh banyak ikan lele, Telaga Sat (± 1,5 ha) yang hanya berair saat musim hujan (Rais et al. 2006) dan Air Tawar yang akan tertutup air laut saat pasang naik. Pulau ini juga memiliki laguna Segara Anakan yang terisi air laut pasang dari Samudera Indonesia dan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Berdasarkan laporan Goni et al. (1997), P. Sempu masih dipandang sebagai pulau keramat oleh penduduk lokal di selatan Jawa Timur sehingga kondisi alam pulau ini secara umum terkesan utuh dan alami, di samping adanya penjagaan dan pengawasan yang cukup baik oleh petugas Resort CAPS.
4.4
Kondisi Biologis CAPS memiliki tiga tipe ekosistem yaitu hutan tropis dataran rendah, hutan
pantai dan hutan mangrove. Hutan dataran rendah meliputi sebagian besar daratan CAPS, hutan mangrove terdapat di Teluk Raas, Teluk Semut dan beberapa kawasan pantai di bagian utara pulau, sedangkan hutan pantai terdapat di sepanjang pantai utara ke arah barat dengan hamparan pasir putih. Kondisi vegetasi CAPS relatif baik serta cukup banyak dijumpai spesiesspesies yang berdiameter > 50 cm. Spesies tersebut di antaranya Artocarpus
elasticus, Ficus spp. (Moraceae), Bischovia javanica, Dysoxylum spp. dan Aglaia spp. (Meliaceae), Garcinia spp. (Clusiaceae), Knema spp. dan Myristica (Myristicaceae), Pterospermum spp., Sterculia spp. (Sterculiaceae), Macaranga sp.
35 dan Mallotus spp. (Euphorbiaceae) dan Peltophorum sp. (Caesalpiniaceae). Flora yang paling khas dari CAPS adalah bendo (Artocarpus elasticus, famili Moraceae) dan sempu (Dillenia sp., famili Dilleniaceae). Species yang sering dijumpai adalah bendo
(Artocarpus
elasticus),
durenan
(Myristica
teijsmannii),
wadang
(Pterocarpus javanicum dan P. diversifolium), nyamplung (Calophyllum
innophyllum), waru laut (Hibiscus tiliaceus) dan ketapang (Terminalia catappa). Fauna besar yang dapat ditemukan di kawasan lindung ini antara lain kijang (Muntiacus muntjak), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung Jawa (Trachypitecus auratus) dan macan tutul (Panthera pardus). Jenis burung besar yang ditemukan pada waktu penelitian adalah rangkong (Buceros rhinoceros). Jenis flora yang dilindungi di pulau ini adalah kayu sentigi (Pemphis
acidula Forst.) sedangkan untuk faunanya adalah kura-kura belimbing, macan tutul, ikan hias serta spesies-spesies terumbu karang. Pada saat penelitian berlangsung, flora khas CAPS yaitu sempu dan kayu sentigi serta fauna dilindungi yaitu kura-kura belimbing tidak dapat ditemukan.
4.5
Aksesibilitas Akses menuju P. Sempu cukup mudah dan ditempuh dengan perjalanan
darat dari kota Malang ke selatan hingga Pantai Sendangbiru di Desa Sitiarjo, Kecamatan Gondangwetan dengan jarak tempuh sekitar 70 km. Jalur yang dapat ditempuh adalah Pasuruan – Malang – Terminal Gadang – Pantai Sendangbiru. Dari pantai wisata tersebut, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal nelayan sewaan hingga ke pantai Waru-waru di sebelah utara, Air Tawar atau Teluk Semut di sebelah barat laut P. Sempu. Untuk memasuki kawasan P. Sempu diwajibkan mendapat ijin dan pengarahan dari petugas Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu yang berlokasi di Pantai Sendangbiru. Khusus untuk kegiatan penelitian, surat ijin masuk kawasan konservasi diperoleh dari BKSDA Jawa Timur II Seksi Konservasi Wilayah I di Jember.
36 Tabel 8
Posisi dan kondisi lokasi penelitian
LOKASI
POSISI GEOGRAFIS
KETINGGIAN & KEMIRINGAN
Telaga Lele
80 26’646” LS 1120 42’339” BT
50 – 102 m dpl;
Waruwaru
80 26’020” LS 1120 41’863” BT
25-87 m dpl
Telaga Sat
80 27’228” LS 1120 42’173” BT
30 – 65 m dpl
Air Tawar
80 26’068” LS 1120 4’557” BT
40,5 – 84,7 m dpl
0 – 90%
0 – 43%
0 – 90%
0 – 40% Gua Macan
80 26’159” LS 1120 4’523” BT
41 – 76,8 m dpl
Teluk Semut
80 26’300” LS 1120 4’328” BT
17 – 68,8 m dpl;
0-27%
0-15 dan 90%
VEGETASI DOMINAN / JENIS HUTAN
KONDISI HUTAN
Pterospermum (Sterculiaceae)
Vegetasi rapat oleh sapling dan tiang, pohon besar jarang ditemukan namun teduh dan sejuk. Tingkat semai dan sapling didominasi spesies pionir terutama di bagian hutan yang agak terbuka dan datar. Di tepi danau terdapat area sempit tempat berkemah peneliti.
MyristicaceaePterospermum -AnnonaceaeEuphorbiaceae
Hutan secara umum ternaung (teduh). Banyak dijumpai pohon berdiameter besar, semai dan sapling cukup melimpah, banyak M. teijsmannii reproduktif, topsoil dangkal.
MoraceaeMacaranga
Hutan berada di lereng, mengelilingi telaga yang kering. Perbatasan hutan dengan telaga didominasi gempol (Nauclea quadunata). Lantai hutan relatif jarang ditumbuhi semai dan tumbuhan penutup tanah, serasah kasar cukup tebal. Banyak pohon berdiameter besar di lereng atas, namun didominasi tumbuhan pionir di lereng bawah dan datar.
Pterospermum - MyristicaGarciniaArtocarpus
M. teijsmannii reproduktif ditemukan; di puncak atau punggung hutan terdapat batu yang sangat besar. Memiliki formasi mangrove.
MyristicaPterospermum - MaranthesAnnonaceae
Hutan teduh, spesies penutup lantai hutan relatif sedikit, serasah tebal. Banyak Myristica reproduktif, spesies merambat. banyak dijumpai batu-batu karang besar.
Euphorbiaceae Pterospermum
Lereng curam didominasi Drypetes, lereng agak landai didominasi Pterospermum berukuran besar dan semai dan sapling mendominasi, banyak perdu berkayu dan spesies pemanjat berkayu. Lereng banyak terbentuk dari batu-batu karang besar. Memiliki formasi mangrove. Jalan setapak yang disediakan banyak dilalui orang karena merupakan jalur utama menuju Segara Anakan, salah satu tujuan wisata di CAPS.
37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Struktur Komunitas Vegetasi di Cagar Alam Pulau Sempu Total jumlah spesies pada semua fase yang dijumpai dalam plot
pengamatan sepanjak transek adalah sebanyak 128 spesies yang mewakili 44 famili (Lampiran 1). Jumlah spesies pada fase pohon adalah 72 spesies, fase tiang 43 spesies, fase sapling 97 spesies dan fase semai sebanyak 83 spesies. Indeks keragaman spesies pohon seluruh kawasan CAPS adalah 5,071 yang menunjukkan nilai keragaman pohon yang tinggi, dengan indeks keragaman pohon di setiap lokasi penelitian juga tergolong tinggi (H’>4). Tabel 9 Indeks kesamaan, jumlah spesies dan indeks keragaman pohon di lokasi penelitian Cagar Alam Pulau Sempu LOKASI TELAGA LELE (TL) WARU WARU (WR) TELAGA SAT (TST) AIR TAWAR (AT) GUA MACAN (GM) TELUK SEMUT (TSM)
Indeks Kesamaan Morisita (Cλ) Jumlah TL WR TST AT GM TSM Spesies 0.54 0.54 0.63 0.69 0.51 0.67
0.48 0.79 0.87 0.72
0.63 0.48
0.69 0.51 0.79 0.87 0.38 0.41 0.38 0.85 0.41 0.85 *0.35 **0.89 0.81
KESELURUHAN
0.67 0.72 0.35 0.89 0.81
H'
37 34 32 33 34 24
4.403 4.442 4.381 4.292 4.635 4.078
72
5.071
Keterangan: * indeks terendah; **indeks tertinggi; H’=indeks keragaman spesies Shannon-Wiener.
Lokasi yang memiliki kemiripan tertinggi berdasarkan indeks kesamaan Morisita adalah Teluk Semut dan Air Tawar dengan Cλ = 0,89 (Tabel 9). Lokasi yang paling berbeda di antara enam lokasi penelitian adalah antara Teluk Semut dan Telaga Sat (Cλ = 0,35). Teluk Semut dan Air Tawar memiliki struktur dan bentuk batuan yang serupa; lereng-lerengnya didominasi oleh batu-batu karang besar, namun memiliki asosiasi hutan yang sedikit berbeda (Tabel 8). Teluk Semut dan Telaga Sat banyak memiliki perbedaan dari asosiasi spesies pohon dan kondisi stratum di bawahnya. Di Telaga Sat, lantai hutan jarang ditumbuhi semai dan tumbuhan penutup tanah dengan dominasi Macaranga di lereng bawah, sedangkan di teluk Teluk Semut justru didominasi oleh semai dan sapling serta banyak ditemukan perdu dan tumbuhan merambat berkayu.
38 Hutan di Waru-waru memiliki kesamaan yang tinggi dengan hutan di Gua Macan (Cλ = 0.87). Kedua lokasi ini memiliki asosiasi hutan yang mirip yaitu jumlah spesies yang sama dengan dominasi Myristica – Pterospermum –
Annonaceae serta individu-individu M. teijsmannii reproduktif yang tercatat banyak ditemui. Fakta ini menimbulkan dugaan bahwa Waru-waru dan Gua Macan merupakan kawasan hutan yang disukai atau cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan spesies langka tersebut.
5.2.
Autekologi M. teijsmannii
5.2.1
Struktur Populasi Struktur populasi M. teijsmannii dinyatakan dalam fase pertumbuhan
berdasarkan diameter setinggi dada. Keseluruhan populasi, ditinjau dari jumlah individu per hektar, didominasi oleh fase semai dengan DBH < 3 cm dan tinggi <1,5 m, sedangkan fase yang semakin dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon pada proporsi terendah (Gambar 7). Hasil analisis vegetasi menunjukkan tegakan pohon M. teijsmannii memiliki nilai dominasi dan kerapatan relatif tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha dengan indeks nilai penting sebesar 27,91%. Indeks nilai penting yang tinggi ini menunjukkan M. teijsmannii mendominasi lebih dari seperempat kawasan yang diteliti.
KERAPATAN (jumlah individu/ha
200
150
100
50
0 SEMAI
Gambar 7
SAPIHAN
TIANG
POHON
Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu berdasarkan diameter setinggi dada.
39 Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi
M. teijsmannii. Populasi total terbanyak untuk seluruh fase pertumbuhan adalah di lokasi Teluk Semut dengan total jumlah individu 616/ha, diikuti Waru-waru (440/ha), Air Tawar (413/ha), Gua Macan (272/ha), Telaga Lele (23/ha) dan Telaga Sat (17/ha). Pada tiga lokasi yaitu Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut memperlihatkan dominasi pada fase semai dengan kecenderungan menurun pada populasi fase lebih dewasa. Sementara di lokasi Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa seedling recruitment tidak merata di setiap lokasi, kemungkinan adanya faktor lingkungan yang mempengaruhinya. 500
jumlah individu per ha
400
300
200
100
0 TELAGA LELE
WARU WARU
TELAGA SAT
AIR TAWAR
GUA MACAN
TELUK SEMUT
LOKASI Semai
Gambar 8
Sapihan
Tiang
Pohon
Struktur populasi M. teijsmannii di setiap lokasi penelitian.
Struktur populasi di Teluk Semut menunjukkan selisih yang sangat besar antara kerapatan tingkat semai dengan individu dewasanya terutama pohon. Tampaknya seedling establishment di kawasan ini kurang baik dibandingkan di lokasi lainnya. Jika dikaitkan dengan gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata Segara Anakan. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan
40 efek tepi atau edge effect yang lebih meluas ke dalam hutan (Primack et al. 1998). Selain itu tanah pada jalur setapak dan sekitarnya menjadi lebih padat karena pengaruh injakan (trampling) yang dapat mengarah pada sulitnya biji-biji untuk berkecambah. Kebalikan dari Teluk Semut, di plot pengamatan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai M. teijsmannii, bahkan semai dari spesies lain pun jarang dijumpai. Di lain pihak, seluruh individu dewasa M. teijsmannii yang ditemukan di lokasi ini dalam masa reproduktif dengan buah yang melimpah. Jarang ditemukannya semai di lokasi ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi lantai hutan yang banyak ditutupi serasah kasar dengan kondisi tanah yang cukup dangkal, liat, serta kandungan air tersedia yang rendah dibandingkan di lokasi penelitian yang lain (rata-rata 10,6% vol; Tabel 12) karena kemiringan yang curam membuat air dengan cepat turun ke lereng bawahnya. Kondisi demikian dapat menjadi salah satu penyebab mengapa biji-biji M. teijsmannii kurang dapat berkecambah walaupun biji banyak dihasilkan. Seperti halnya di Telaga Sat, di lokasi penelitian kawasan Telaga Lele tidak dijumpai semai M. teijsmannii. Vegetasi tingkat semai dan sapling didominasi spesies pionir terutama di bagian hutan yang agak terbuka dan datar, serupa dengan kondisi di Telaga Sat. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa individu semai
M. teijsmannii kurang dapat bersaing dengan spesies-spesies pionir tersebut sehingga menekan pertumbuhan dan rekrutmen biji menjadi tingkat pertumbuhan selanjutnya. Di lokasi ini tercatat bahwa pohon besar jarang ditemukan serta memiliki gap-gap hutan sehingga banyak ditumbuhi spesies-spesies pionir yang menyukai cahaya. Kondisi ini yang diduga kurang sesuai dengan kebutuhan ekologis bagi perkecambahan M. teijsmannii. Struktur populasi yang secara umum tampaknya seimbang adalah di Waruwaru dan Gua Macan. Tipe vegetasi di kedua lokasi ini memiliki kemiripan dalam hal asosiasi hutannya (Tabel 8) dengan indeks kesamaan tinggi (Tabel 9). Kawasan hutan Waru-waru terlihat memiliki kondisi vegetasi yang paling baik di antara semua lokasi penelitian. Spesies-spesies pohon berdiameter besar banyak ditemui dengan individu-individu semai dan sapling yang cukup melimpah.
41 Parameter kemelimpahan M. teijsmannii yang diamati di CA Pulau Sempu diperlihatkan pada Tabel 10. Pada fase pohon, M. teijsmannii menunjukkan kekerapan, kerapatan, dominasi dan indeks nilai penting tertinggi di Waru-waru. Dilihat dari keragaman spesies pohonnya, Waru-waru termasuk memiliki keragaman yang tinggi yaitu 4,44 atau terbesar kedua setelah keragaman pohon di Gua Macan (H’ = 4,64). Di lokasi Waru-waru, M. teijsmannii merupakan spesies dengan frekuensi, kerapatan dan dominasi tertinggi dibandingkan di lokasi lainnya (Lampiran 5). Di Gua Macan, M. teijsmannii merupakan spesies pohon yang paling banyak dijumpai dengan kerapatan pohon dan indeks nilai penting tertinggi, di mana parameter tersebut menunjukkan dominasi spesies dalam komunitasnya (Indriyanto 2006). Gua Macan dan Waru-waru secara umum memiliki tipe vegetasi yang didominasi Pterospermum (Sterculiaceae) dan Myristica. Perbedaannya di Gua
Macan
cukup
banyak
dijumpai
tegakan
Maranthes
corymbosa
(Chrysobalanaceae), sedangkan di Waru-waru lebih banyak dijumpai spesies dari famili Annonaceae. Fenomena ini mengarah pada dugaan bahwa M. teijsmannii memiliki preferensi habitat yang memiliki spesies-spesies pohon besar, tinggi atau tajuk yang lebar karena spesies langka tersebut dijumpai menjadi dominan pada fase dewasa kebanyakan di lokasi-lokasi yang memiliki vegetasi pohon besar. Hal ini dibahas lebih lanjut pada bab asosiasi interspesifik. Tabel 10 Parameter kemelimpahan pohon M. teijsmannii di lokasi penelitian LOKASI Parameter TL WR TS AT GM TSM Frekuensi 0.07 *0.48 0.17 0.38 0.26 0.20 Kerapatan (jumlah individu/ha) 1.79 *29.03 4.17 17.71 15.22 11.25 Dominasi (m2) 0.74 *8.91 0.77 4.70 3.45 2.33 Frekuensi relatif (%) 1.90 *11.28 2.44 10.11 7.56 6.56 Kerapatan relatif (%) 1.55 *19.67 3.74 14.17 14.43 10.47 Dominansi relatif (%) 1.97 *17.73 2.10 14.79 7.59 0.39 Indeks nilai penting (%) 5.42 *48.68 8.28 39.07 29.62 26.41 Indeks Keragaman Shannon (H’) 4.40 4.44 4.38 4.29 *4.64 4.08 Keterangan: TL=Telaga Lele, WR=Waru-waru, TS=Telaga Sat, AT=Air Tawar, GM=Gua Macan, TSM=Teluk Semut; * nilai tertinggi pada parameter yang sama;
42
Gambar 9
Distribusi populasi Myristica teijsmannii di lokasi penelitian.
43 5.2.2
Pola Penyebaran Perhitungan indeks dispersi Morisita (Id) menghasilkan Id = 4,225 yang
berarti
bahwa
M.
teijsmannii
menunjukkan
pola
penyebaran
populasi
mengelompok atau bergerombol. Hasil pengujian χ2hitung 656,253 > χ2tabel 177,357 menunjukkan bahwa pola penyebaran mengelompok ini signifikan (df=149;
P <0,000). Untuk standarisasi indeks Morisita selanjutnya digunakan rumus clumped
index (Mc) karena hasil perhitungan Id menunjukkan pola mengelompok. Perhitungan tersebut menunjukkan nilai Mc = 1,0078. Besarnya Id ≥ Mc > 1,0 sehingga formula yang digunakan untuk menentukan koefisien Morisita standar IP adalah persamaan [3.17]. Hasil perhitungan menghasilkan Ip = 0,51. Karena Ip > 0 maka pola penyebaran M. teijsmannii digolongkan mengelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Krebs (2002) bahwa banyak populasi tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok di alam, dan hanya sedikit yang populasinya menyebar dalam pola yang teratur. Odum (1994) juga berpendapat bahwa penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam dan bahkan terdapat kecenderungan untuk berkumpul di dalamnya. Pola penggerombolan dengan berbagai derajat juga mewakili pola yang paling umum terjadi di alam. Hal ini antara lain disebabkan kondisi lingkungan yang jarang seragam walaupun meliputi area yang sempit (Indriyanto 2006). Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu kawasan akan mengakibatkan perbedaan kondisi habitat yang penting bagi setiap organisme yang tinggal di dalamnya, karena suatu organisme akan hadir pada suatu area yang faktor-faktor ekologinya tersedia dan sesuai bagi kehidupannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Odum (1994) yang menyatakan bahwa interaksi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama. Berdasarkan studi populasi yang dilakukan di enam area hutan dalam kawasan CAPS, diperoleh peta distribusi populasi M. teijsmannii (Gambar 9). Terlihat populasi yang melimpah berdasarkan frekuensi kehadiran dalam plot observasi di bagian utara pulau, yaitu kawasan Waru-waru, Gua Macan dan Air Tawar. Frekuensi kehadiran individu sangat rendah ditemukan di Telaga Sat dan
44 Telaga Lele. Ilustrasi tersebut mendukung hasil perhitungan dalam pola penyebaran M. teijsmannii yang mengelompok. 5.2.3
Pertumbuhan dan Perkembangan Berdasarkan pengamatan morfologi pohon, M. teijsmannii menunjukkan
percabangan mengikuti model arsitektur Massart. Percabangannya plagiotropik, dengan 2 – 3 cabang dari pangkal percabangan yang sama. Secara umum, individu M. teijsmannii ditemukan pada kawasan yang landai (kemiringan 0-8%) hingga agak curam (30-40%). Ciri morfologi yang menarik ditemukan adalah sifat akar di atas tanahnya memiliki karakter yang unik, yaitu berupa akar udara atau akar lutut (Gambar 10), yang strukturnya menyerupai akar tumbuhan lahan basah. Oleh karena habitat M. teijsmannii bukan di kawasan basah, adanya akar lutut ini tampaknya merupakan salah satu bentuk adaptasi dari beberapa faktor lingkungan di habitatnya. Dickinson (2000) menyatakan bahwa perubahan-perubahan adaptif yang dilakukan akar dapat terjadi selama periode cekaman kekeringan dan kondisi tergenang. Tipe akar seperti ini berfungsi sebagai organ pendukung sekaligus pelindung, serta memiliki peranan penting dalam translokasi serta pertukaran udara. Perakaran juga dapat dipengaruhi oleh struktur batuan (Hardjowigeno 1992). Berdasarkan dua argumen tersebut, adanya struktur akar udara dan akar napas pada M. teijsmannii dapat terjadi berkaitan dengan tempat tumbuhnya pada kemiringan dengan lapisan tanah relatif dangkal sehingga memiliki akar-akar khusus untuk menopang tegaknya individu. Selain itu, berkaitan dengan keadaan batuan atau tekstur tanah di lokasi penelitian yang membuat kondisi tanah kurang menyediakan aerasi yang cukup bagi akar M.
teijsmannii. Kondisi umum tanah di lokasi penelitian tergolong relatif dangkal dengan batu-batuan padas yang keras di lapisan bawah. Individu dewasa M. teijsmannii di kawasan CAPS tampaknya menempati lapisan tajuk dengan ketinggian pohon antara 3 – 16 m, namun tidak ditemukan individu yang menempati lapisan emergent. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa M. teijsmannii menempati stratum C (C-storey) yaitu lapisan tajuk yang tingginya 4–20 m, dan stratum D (D-storey) yaitu lapisan tajuk yang dibentuk oleh semak dan perdu setinggi 1–4 m. Berdasarkan pengamatan juga ditemukan bahwa individu M. teijsmannii tidak pernah ditemukan di tepi hutan (forest edge)
45 melainkan selalu ditemukan pada interior hutan (forest interior). Hal ini menunjukkan bahwa spesies ini menyukai naungan atau tidak menyukai intensitas cahaya tinggi pada sebagian dari tahap perkembangannya, atau disebut spesies toleran naungan (shade-tolerant) atau semi toleran naungan. Dugaan ini didukung oleh adanya asosiasi positif dengan spesies-spesies pohon yang relatif besar dan tinggi yaitu antara lain dengan Pterospermum javanicum, Cryptocarya ferrea,
Artocarpus elasticus dan Aglaia elliptica (Tabel 11). Kerapatan dan dominasi populasi M. teijsmannii juga ditemukan pada lokasi pengamatan dengan kehadiran spesies-spesies dengan tajuk yang lebar atau spesies pohon tinggi (Lampiran 5). Pohon yang bersifat toleran terhadap naungan akan tumbuh dengan baik jika mendapat naungan dari pohon-pohon lain yang lebih tinggi, bahkan perlu berdampingan dengan pohon lain sebagai penaung agar pertumbuhannya optimal (Indriyanto 2006). Spesies yang tergolong toleran naungan rentan terhadap pembukaan hutan, terutama pembukaan yang sifatnya luas karena intensitas cahaya matahari yang semakin tinggi. Deforestasi akan menyebabkan spesies ini semakin rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itu, degradasi dan konversi hutan hujan dataran rendah di Jawa Timur yang selama ini masih terus terjadi tentu akan menyebabkan populasi spesies ini semakin lama akan semakin kecil dan terisolasi di CAPS jika deforestasi kawasan hutan hujan dataran rendah di Jawa Timur tidak segera dihentikan. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian individu dewasa sedang berbuah akan tetapi umumnya periode berbuah ini masih dalam tahap pertengahan. Sebagian individu populasi menunjukkan masa berbuah akhir menuju kematangan. Berdasarkan pengamatan tersebut, kemungkinan masa berbuah M. teijsmannii adalah Mei hingga akhir Agustus. Kemungkinan ini diperkuat dengan tidak ditemukan lagi individu yang berbuah pada bulan September tahun yang sama (Sujoto, komunikasi pribadi). Hal ini berbeda dari laporan Heyne (1987) yang menyatakan bahwa periode berbuah spesies ini adalah bulan Mei hingga Juni. Perbedaan atau pergeseran masa berbuah dapat disebabkan tidak serempaknya musim berbuah dan berbunga pada populasi di kawasan CAPS yang disebabkan perbedaan kondisi lingkungan.
46
A
B
C
D
Gambar 10 Habitus Myristica teijsmannii. A. B. C. D.
5.2.4
struktur akar di atas permukaan tanah, memperlihatkan akar lutut dan akar napas tajuk yang menempati lapisan kanopi pokok utama yang mengeluarkan getah merah buah
Reproduksi Cara pemencaran biji M. teijsmannii yang berhasil diamati adalah berkaitan
dengan perilaku tumbuhnya yang secara umum menyukai lereng dengan kemiringan landai hingga agak curam. Karena kemiringan lereng, buah-buah
47 masak yang jatuh tidak berdekatan dengan induknya sehingga memungkinkan spesies ini hidup cenderung mengelompok dengan yang usianya relatif sama. Oleh karena itu pula, selama penelitian berlangsung, jarang sekali ditemukan semai yang tumbuh bersamaan dalam satu plot dengan individu dewasa. Adanya mekanisme alelopatik yang menghambat germinasi biji pada spesies ini masih dipertanyakan, namun kemungkinan besar ketidakhadiran individu-individu semai di bawah naungan individu dewasa disebabkan oleh mikrohabitat yang tidak sesuai untuk perkecambahan serta ketahanan biji. Selain kondisi mikrohabitat, kehadiran individu semai yang relatif berjauhan dengan individu induk dapat berkaitan dengan sifat penyebaran biji. Penyebaran biji M. teijsmannii ini ditemukan dibantu oleh beberapa spesies hewan pemakan buah dari kelompok primata (pasal 4.2.5.2), di mana kelompok ini memiliki mobilitas yang tinggi sehingga memungkinkan biji sisa dari buah yang dimakan tersebar lebih jauh. Pengamatan pada tahap germinasi M. teijsmannii di kawasan konservasi CAPS tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu. Namun demikian sejumlah kecil bijinya telah berhasil dikoleksi dan disemai di rumah kaca pembibitan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI. Akan tetapi persentase keberhasilan germinasi sangat rendah (<10%) sehingga penelitian mengenai tahap perkecambahan tidak dilakukan dalam ulangan yang memadai. Hanya tiga individu yang berhasil berkecambah dan telah dipersiapkan untuk menjadi koleksi M. teijsmannii pertama di PKT Kebun Raya Bogor, melengkapi koleksi tumbuhan langka Indonesia di lokasi konservasi ex-situ ini. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ketiga biji yang berhasil berkecambah, M. teijsmannii memperlihatkan periode germinasi yang cukup lambat, yaitu 31 – 60 hari, sejak mulai disemai hingga munculnya daun pertama. Namun demikian, dibandingkan dengan penelitian Ng (1992) terhadap M. crassa dan M. malaccensis, periode germinasi spesies langka ini termasuk lebih singkat. Setelah 10 bulan pertumbuhannya, M. teijsmannii hanya mencapai tinggi 25-35 cm dari permukaan tanah (Lampiran 2). Biji pada umumnya berkecambah segera setelah masak apabila kondisi lingkungannya sesuai. Menurut Meyer dan Anderson (1954) sedikitnya ada tiga
48 kondisi lingkungan eksternal yang dibutuhkan untuk germinasi yaitu air, temperatur yang sesuai dan oksigen. Biji tidak mempersingkat aktivitas fisiologinya selama periode germinasi hingga biji mampu melakukan imbibisi sejumlah air. Ketiga faktor tersebut perlu diteliti sejauh mana pengaruhnya terhadap perkecambahan biji-biji M. teijsmannii untuk mendukung upaya propagasinya secara ex-situ. Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian in-situ, kandungan air tersedia pada tanah termasuk rendah antara lain karena ruang pori total yang tinggi (Tabel 12) sehingga dapat menjadi salah satu penyebab biji-biji
M. teijsmannii yang berserakan di lantai hutan lebih lambat berkecambah. Selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan eksternal, proses germinasi berkaitan dengan morfologi biji. Biji M. teijsmannii memiliki tiga lapisan selaput biji di lapisan sebelah dalam aril. Lapisan itu berturut-turut dari luar ke dalam adalah: 1) selaput biji bagian luar yang tipis dan halus, 2) lapisan tengah yang keras, dan 3) lapisan dalam yang berongga. Lapisan dalam ini menuju ke bagian albumen yang tebal membentuk garis-garis atau pita-pita membentuk suatu pola. Embrio berukuran kecil dan terletak di bagian basal biji. Pada saat berkecambah, kotiledon membesar di bagian basal biji tersebut. Adanya lapisan biji yang berlapis-lapis dan di antaranya terdapat lapisan yang keras juga dapat menentukan waktu perkecambahan di mana pada masa ini biji tidak melakukan aktivitas fisiologi hingga biji mampu melakukan imbibisi sejumlah air dari luar yang ditentukan pula oleh sifat selaput biji. Masa germinasi serta kecepatan pertumbuhan semai yang relatif lambat kemungkinan ada kaitannya dengan daya regenerasinya yang membuatnya memiliki tingkat seedling establishment yang rendah di alam. Hal ini dapat menjadi salah satu sebab keberadaannya di hutan alam menjadi semakin jarang.
5.2.5
Interaksi dengan komponen biologis
5.2.5.1
Asosiasi Interspesifik Total sebanyak 104 spesies telah diuji asosiasinya dengan M. teijsmannii
dengan tes varians (VR; variance-ratio test) mengikuti Schluter (1984, dalam Ludwig & Reynolds 1988). Nilai VR diperoleh 1,322 menunjukkan adanya asosiasi positif secara keseluruhan (VR > 1). Signifikansi VR yang dinyatakan
49 dengan W menunjukkan bahwa asosiasi interspesifik yang ada adalah nyata (χ2 hitung (92,548) > χ2 tabel (90,531). Hasil pengujian χ2 untuk tipe asosiasi interspesifik memperlihatkan 12 spesies berasosiasi positif dengan M. teijsmannii (Tabel 11). Tingkat asosiasi yang cukup tinggi berdasarkan Jaccard Index ditunjukkan oleh Pterospermum
javanicum (Sterculiaceae), Cryptocarya ferrea (Lauraceae) Orophea hexandra (Annonaceae) dan Aglaia elliptica (Meliaceae). Interaksi ini mendukung pendugaan dari hasil penelitian bahwa M. teijsmannii memiliki pola penyebaran yang mengelompok diduga karena memiliki asosiasi interspesifik dengan spesies tertentu dalam habitatnya (pasal 4.2.2.). Menurut Odum (1994), interaksi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama. Tabel 11 Hasil uji asosiasi interspesifik antara Myristica teijsmannii dengan 12 spesies di CA Pulau Sempu berdasarkan tes chi-square SPECIES
FAMILI
Pterospermum javanicum Cryptocarya ferrea Orophea hexandra Aglaia elliptica Polyalthya lateriflora Drypetes ovalis Artocarpus elasticus Buchanania arborescens Knema laurina Aglaia sp. Prunus javanicus Diospyros malabarica
Sterculiaceae Lauraceae Annonaceae Meliaceae Annonaceae Euphorbiaceae Moraceae Anacardiaceae Myristicaceae Meliaceae Rosaceae Ebenaceae
Tipe Asosiasi
Indeks Jaccard
positif positif positif positif positif positif positif positif positif positif positif positif
0.529 0.500 0.455 0.467 0.394 0.235 0.308 0.296 0.308 0.222 0.222 0.079
indeks Jaccard menunjukkan tingkat asosiasi pada α 0,05;df=1; nilai 0 setara dengan tidak ada asosiasi; nilai 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum.
Asosiasi positif M. teijsmannii dengan spesies Myristicaceae lainnya yang ditemukan di CAPS, yaitu dengan Knema laurina, sedangkan dengan Knema
glauca tidak memperlihatkan asosiasi yang signifikan. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua spesies dalam famili yang sama tersebut tampaknya memiliki kebutuhan ekologis dan habitat yang serupa. Keduanya merupakan spesies yang menempati kawasan hutan hujan dataran rendah, namun K. laurina memiliki kisaran distribusi geografis yang lebih luas dibandingkan M. teijsmannii. Populasi
50
K. laurina diketahui menyebar di tidak hanya di Jawa, tapi juga di Sumatra, Borneo, bahkan Thailand dan Semenanjung Malaysia (Anonim 2008). Pendugaan bahwa M. teijsmannii memiliki asosiasi dengan anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Ebenaceae, Moraceae atau Burseraceae yang merupakan famili khas hutan tropis dataran rendah, ada sebagian yang terbukti. Di kawasan CAPS, M. teijsmannii berasosiasi positif dengan Cryptocarya ferrea (Lauraceae), dan Diospyros malabarica (Ebenaceae) tapi tidak dengan enam spesies Diospyros lainnya, dengan Artocarpus elasticus (Moraceae) tapi tidak dengan Streblus asper dan Ficus spp. yang cukup banyak ditemui di CAPS. M. teijsmannii memperlihatkan kemungkinan asosiasi positif dengan Canarium hirsutum (Burseraceae) dan Acmena acuminatissima (Myrtaceae) namun uji statistik tidak menunjukkan nilai yang signifikan (Lampiran 6). Asosiasi positif M. teijsmannii dengan Artocarpus elasticus, Pterospermum
javanicum, Cryptocarya ferrea, Aglaia elliptica dan Diospyros malabarica menunjukkan kecenderungan sifat M. teijsmannii yang memerlukan naungan karena kelima spesies asosiasi tersebut merupakan spesies-spesies pohon yang relatif besar, tinggi serta memiliki tajuk yang cukup lebar atau rapat. Hal ini mendorong pendugaan bahwa M. teijsmannii merupakan spesies yang semi-toleran naungan, yaitu memiliki sifat membutuhkan naungan dalam sebagian daur hidupnya. Hal lain yang memperkuat argumen ini adalah berkaitan dengan keberadaan Macaranga sp. yang melimpah di Telaga Sat. Spesies ini diketahui merupakan spesies pionir yang menyukai cahaya atau tidak toleran naungan. Ini menunjukkan bahwa Telaga Sat memiliki intensitas cahaya lebih tinggi sehingga individu M. teijsmannii ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit.
5.2.5.2
Predasi dan Agen Dispersal Biji Warna yang menarik dan relatif mencolok di antara dedaunan serta aroma
pala yang dihasilkan M. teijsmannii tampaknya menjadi daya tarik bagi hewanhewan pemakan buah yang hidup di kawasan CAPS. Selama penelitian berlangsung, tercatat dua spesies primata arboreal yang menyukai daun dan buah
M. teijsmannii, yaitu Macaca fascicularis (kera ekor panjang) dan Trachypitecus auratus (lutung Jawa). Kedua mamalia tersebut tercatat menyukai daun terutama
51 bagian pucuk, sedangkan bagian buah yang dimakan adalah daging buah yang telah matang sementara bijinya dibuang. Biji yang masih diselaputi oleh aril seringkali dijumpai berserakan di lantai hutan dan sebagian besar biji-biji yang jatuh tersebut telah rusak dimakan oleh serangga dari kelompok semut dan rayap sebelum berhasil berkecambah.
Gambar 11 Sisa buah M. teijsmannii yang dimakan primata. Sejalan dengan penemuan frugivora yang merupakan agen dispersal biji
M. teijsmannii seperti yang dipaparkan di atas, Ganesh dan Davidar (2001) menemukan empat jenis mamalia arboreal yang berlaku sebagai predator sekaligus agen dispersal biji bagi M. dactyloides, yang memiliki tajuk rapat seperti
M. teijsmannii, di Whestern Ghats, India. Keempat jenis mamalia tersebut adalah lion-tailed macaque (Macaca silenus), langur Nilgiri (Trachypitechus johnii), Malabar giant squirrel (Ratufa indica), bajing terbang (Petaurista philippensis) dan kelelawar (Cynopterus sphinx). Dilihat dari hasil penelitian tersebut, dua genus
Macaca dan Trachypitechus sama-sama ditemukan sebagai predator sekaligus agen penyebaran biji Myristica. Kedua spesies mamalia tersebut memang dilaporkan sebagai agen penyebaran biji Myristica dalam komunitasnya di hutanhutan tropis namun perannya dianggap semakin berkurang terkait dengan ketersediaan buah-buahan dalam habitatnya (Ganesh & Davidar 2001). Walaupun burung dikenal sebagai agen dispersal biji yang utama di hutanhutan tropis Asia, Australia dan Pasifik (Meehan et al. 2005; Ganesh & Davidar 2001) di kawasan CAPS yang memiliki spesies-spesies burung besar tidak
52 ditemukan spesies yang memakan buah atau biji M. teijsmannii selama observasi berlangsung. Hal ini kemungkinan disebabkan M. teijsmannii menyukai habitat dengan kanopi yang rapat dan berada dalam interior hutan karena spesies ini merupakan jenis yang toleran naungan. Di sisi lain, umumnya burung sebagai agen dispersal menyukai buah-buahan dari pohon-pohon yang berada di tepi hutan atau pada gap (Ganes & Davidar 2001) atau pada pucuk-pucuk tajuk pohon sehingga mudah diakses (Meehan et al. 2005). Sejenis merpati (Ducula pacifica) dilaporkan merupakan agen dispersal M. hypargyraea di hutan tropis Tonga (Meehan et al. 2005). 5.2.6
Karakteristik Habitat
5.2.6.1
Faktor Edafik Berdasarkan peta tanah, seluruh kawasan Pulau Sempu dikategorikan
memiliki jenis tanah calciustolls. Tanahnya relatif dangkal dengan kedalaman 20 – 50 cm di lokasi sampling, dan sebagian besar memiliki kandungan liat yang kuat dengan banyak batuan padas dari sedimen kapur di bagian bawah permukaan sehingga menimbulkan pH (pH H2O) yang cenderung tinggi hingga mencapai 7,7 (Tabel 12). pH tinggi ini dapat disebabkan oleh kandungan basa kation yang tinggi di lokasi penelitian karena pada tanah dengan pH mendekati netral atau basa, tempat pertukaran dalam tanah cenderung ditempati oleh kation-kation basa dapat tukar seperti Ca, Mg, Na dan K menggantikan ion-ion hidrogen dan aluminium mengakibatkan konsentrasi ion hidrogen dalam tanah menurun yang berakibat pada meningkatnya pH tanah (Killham 1994). Pada beberapa lokasi, tanah di kawasan CAPS mengalami retak-retak terutama dalam kondisi kering. Lokasi lain di mana dilaporkan pernah ditemukan
M. teijsmannii memiliki jenis tanah dystrandepts untuk kawasan Gunung Anjasmoro dan tanah vulkanik dari golongan stratovulcano di Gunung Wilis dan Gunung Kawi. Hal ini dapat diartikan bahwa M. teijsmannii memiliki preferensi habitat pada jenis tanah yang subur dengan tipe tutupan lahan berupa hutan. Sifat fisika tanah di lokasi penelitian dianalisis kandungan pasir, debu dan liat, kerapatan lindak, ruang pori total (pori makro dan mikro) serta kandungan airnya, sedangkan sifat kimia tanah dianalisis dari rasio C/N, kandungan kation, pH, kation dapat tukar dan kejenuhan basanya (Tabel 12). Untuk mengetahui
53 karakteristik edafik M. teijsmannii, perbandingan antara variabel edafik dengan dan tanpa keberadaan M. teijsmannii dianalisis dengan metode statistik nonparametrik dengan beberapa variabel bebas dinyatakan dalam kategori (Tabel 6). Pengujian yang digunakan adalah tes Kruskal-Wallis untuk membandingkan >1 kelompok variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis sifat fisika, kandungan liat pada tekstur tanah kawasan ini termasuk tinggi, dengan kandungan pasir yang sangat rendah yaitu pada kisaran ≤ 6%. Kandungan pasir yang rendah dapat menjadi salah satu sebab KTK (kapasitas tukar kation) tanah menjadi tinggi, sesuai dengan teori yang dipaparkan
Hardjowigeno
(1992).
Tekstur
tanah
berdasarkan
persentase
kandungan pasir, liat dan debu ini setelah diidentifikasi menggunakan segitiga tekstur tanah (soil texture triangle) menunjukkan tekstur liat, liat berdebu hingga lempung berdebu. Terlihat bahwa unsur liat di kawasan penelitian ini cukup mendominasi. Berdasarkan Hardjowigeno (1992), tanah liat seperti ini mempunyai pori-pori total yaitu jumlah pori makro (pori kasar berisi udara dan air gravitasi) dan pori mikro (pori halus berisi air kapiler atau udara) yang lebih tinggi daripada tanah pasir. Hal ini dibuktikan dengan angka ruang pori total yang tinggi di lokasi penelitian pada umumnya (Tabel 12), yaitu berkisar antara 55,5 – 66,6 %vol pada topsoil dan 55,5 – 65,5%vol pada subsoil. Persentase ruang pori total yang tinggi (>50% vol) pada tanah dengan tekstur liat menunjukkan kandungan material organik yang sangat kaya (Meyer & Anderson 1954). Ruang pori ini pada sebagian besar tanah ditempati oleh gas dan air pada proporsi yang bervariasi, bergantung pada kandungan air dalam tanah. Ruang pori total inilah yang antara lain dapat menjelaskan keterkaitan adanya morfologi akar napas dan akar lutut yang diperlihatkan M. teijsmannii dengan kondisi tanah di lokasi penelitian yang teksturnya liat hingga liat berdebu. Semakin kecil partikel tanah maka semakin kecil ventilasinya karena pori-pori yang sempit pada tanah bertekstur halus terisi air kapiler (Dwidjoseputro 1992). Kondisi ini memungkinkan akar M. teijsmannii beradaptasi membentuk banyak struktur akar napas di atas permukaan tanah untuk memperoleh udara bagi respirasi akar. Warna tanah yang dinyatakan dengan notasi Munsell hasil identifikasi warna menggunakan Munsell’s color chart diterjemahkan dan dipadankan dengan
54 standar penamaan warna (Takehara 1970). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa warna tanah di lokasi penelitian berkisar antara hitam kemerahan, hitam kecoklatan hingga hitam menurut Munsell, namun seluruhnya digolongkan ke dalam warna yang sama menurut standar penamaan warna, yaitu coklat tua keabuan. Tanah berwarna gelap seperti ini dikategorikan sebagai tanah yang subur karena mengandung banyak bahan organik (Hardjowigeno 1992). Oleh karena warna tanah tidak memberikan varians terhadap keberadaan M. teijsmannii, maka variabel warna tidak diikutsertakan dalam pengujian statistik. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah, derajat keasaman tanah (pH H2O) di lokasi penelitian berkisar antara 5,8 – 7,3 pada topsoil (agak masam hingga netral) dan 5,3 – 7,7 pada subsoil (agak asam hingga agak alkalis). pH tanah menunjukkan tingkat kemudahan unsur-unsur hara diserap tumbuhan dan pada umumnya pH tanah sekitar netral membuat unsur-unsur hara mudah diserap karena pada kisaran tersebut unsur hara mudah larut dalam air (Hardjowigeno 1992). pH yang agak masam pada topsoil dan subsoil memungkinkan perkembangbiakan bakteri dan jamur. Kondisi pH sedemikian juga cukup menguntungkan dari segi mikroorganisme karena memungkinkan pertumbuhan bakteri pengikat nitrogen dan bakteri nitrifikasi, yang tumbuh baik pada pH > 5,5. Rasio C/N di lokasi penelitian digolongkan ke dalam kandungan yang rendah hingga sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah cukup banyak mengandung bahan organik halus. Kandungan N topsoil termasuk sedang (rata-rata 0,2 %), sedangkan N pada subsoil tergolong rendah (rata-rata 0,11%). Unsur K pada kedua lapisan tanah di lokasi penelitian tergolong tinggi, yaitu pada kisaran 17,55 – 33,98 cmol/kg (topsoil) dan 15,59 – 35,73 cmol/kg (subsoil). Tingginya kandungan Ca tanah di lokasi sampling erat kaitannya dengan jenis batuan yang membentuk geologi kawasan CAPS, yang sebagian terbentuk dari batu sedimen berkapur. Kandungan Ca yang tinggi juga memberikan pH yang cenderung alkalis pada tanah (Tabel 12). Kandungan Mg menunjukkan angka yang cukup luas kisarannya baik pada lapisan topsoil maupun subsoil. Kandungan Mg tertinggi pada kedua lapisan tanah ditemukan di lokasi Telaga Sat, mencapai > 10 cmol/kg. Kandungan dua kation lainnya yaitu K dan Na digolongkan pada kategori sedang pada kedua lapisan tanah.
55 Tabel 12 Hasil analisis sifat fisika dan kimia tanah di lokasi penelitian LOKASI
No.
Telaga Lele
1
Lapisan
AT
KL
RPT
Pasir
Liat
Debu
pH
C
N
(% vol)
(gr/cc)
(% vol)
(%)
(%)
(%)
(H2O)
(%)
(%)
topsoil 12.6 1.07 59.6 1 48 51 6.3 2.31 subsoil 20.1 0.91 65.5 2 48 50 7.7 0.86 2 topsoil 12.4 1.07 59.8 2 29 69 6.7 1.63 subsoil 17.2 1.04 60.9 5 29 66 7.3 1.34 3 topsoil 11.6 1.12 57.7 1 35 64 7.3 1.38 subsoil 10.1 1.09 59.0 1 38 61 7.3 1.30 4 topsoil 8.6 1.11 58.3 2 43 56 6.1 1.65 subsoil 11.0 1.10 58.5 1 54 45 5.9 1.23 Waru-waru 1 topsoil 17.1 0.89 66.6 6 23 71 7.3 2.01 subsoil 9.6 1.12 57.6 6 21 73 7.5 1.50 2 topsoil 15.6 0.99 62.6 5 43 52 5.8 1.60 subsoil 15.0 1.00 62.3 5 70 25 5.3 0.92 Telaga Sat 1 topsoil 10.6 1.10 58.4 1 61 38 6.1 0.87 subsoil 9.0 1.07 59.8 1 62 37 6.2 0.73 2 topsoil 11.3 1.14 57.0 3 60 37 6.2 0.88 subsoil 11.5 1.03 61.2 4 69 27 6.2 0.63 Gua Macan 1 topsoil 11.6 1.08 59.2 3 48 49 7.1 2.51 subsoil 12.0 1.09 58.7 4 69 27 6.9 1.84 2 topsoil 17.9 0.91 65.7 3 30 67 6.1 2.58 subsoil 11.4 1.18 55.5 2 22 76 6.8 1.47 Teluk Semut 1 topsoil 11.7 0.94 64.5 4 31 65 6.3 3.47 subsoil 11.7 1.13 57.5 4 45 51 6.3 1.42 2 topsoil 13.7 1.07 59.8 6 57 37 6.2 1.92 subsoil 10.6 1.16 56.3 3 52 45 6.0 1.17 Air Tawar 1 topsoil 19.9 0.95 64.0 6 25 69 6.5 3.21 subsoil 11.8 0.95 64.1 3 52 45 6.5 1.70 Keterangan: AT= air tersedia; KL=kerapatan lindak; RPT=ruang pori total; KTK=kapasitas tukar kation
0.24 0.07 0.21 0.13 0.18 0.11 0.20 0.11 0.23 0.13 0.21 0.09 0.11 0.07 0.07 0.05 0.20 0.15 0.24 0.15 0.26 0.11 0.17 0.10 0.25 0.20
Ca
C/N
(cmol/kg)
9.63 12.29 7.76 10.31 7.67 11.82 8.25 11.18 8.74 11.54 7.62 10.22 7.91 10.43 12.57 12.60 12.55 12.27 10.75 9.80 13.35 12.91 11.29 11.70 12.84 8.50
26.76 33.71 29.59 32.64 33.31 35.73 24.83 25.68 33.98 32.10 17.55 15.59 24.02 25.80 18.72 20.06 29.96 30.05 27.07 32.35 25.14 26.57 22.26 22.44 26.47 28.35
Mg
cmol
/kg
6.39 4.23 3.53 2.02 2.31 1.70 4.89 4.07 2.86 2.14 4.71 4.27 10.28 10.33 6.16 6.60 2.05 2.04 4.62 3.58 5.65 6.12 4.57 3.28 3.96 2.87
K
Na
(cmol/kg)
(cmol/kg)
KTK
0.69 0.24 0.25 0.09 0.48 0.35 0.85 0.56 0.88 0.60 0.37 0.12 0.20 0.09 0.13 0.09 0.60 0.56 0.28 0.10 0.67 0.09 0.86 0.61 0.95 0.62
0.51 0.58 0.62 0.56 0.41 0.31 0.53 0.61 0.28 0.27 0.53 0.62 1.52 2.11 1.25 1.37 0.24 0.25 0.53 0.51 0.36 0.64 0.28 0.31 0.34 0.38
30.83 31.68 28.04 30.46 36.51 30.96 31.10 31.34 39.18 29.03 23.16 26.23 36.02 33.73 24.68 26.61 33.47 29.44 34.61 36.03 33.35 34.15 29.87 27.04 33.87 35.87
56 Secara keseluruhan, nilai KTK (kapasitas tukar kation) di lokasi sampling termasuk tinggi di mana pada topsoil memiliki kisaran nilai KTK lebih lebar (23,16 – 39,18 cmol/kg) daripada KTK pada subsoil (26,23 – 36,03 cmol/kg). KTK merupakan sifat kimia tanah yang menjadi salah satu indikator kesuburan tanah karena tanah dengan KTK yang tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno 1992). KTK yang efektif, yaitu paling sedikit 4 meq/kg, diperlukan untuk menahan sebagian besar kation terhadap pencucian, terutama jika kation dapat tukarnya yang ada bersifat basa (Sanchez 1992). KTK yang tergolong tinggi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tanah di kawasan ini dapat dikatakan tanah yang subur, mendukung laporan Goni et al. (1997). Menurut Hardjowigeno (1992), tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi memiliki KTK lebih tinggi daripada tanah berpasir, dan tanah dengan nilai kejenuhan basa yang tinggi digolongkan tanah yang subur. Kejenuhan basa tinggi disebabkan kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) yang mudah tercuci belum banyak mengalami proses pencucian atau leaching. Kation-kation inilah yang umumnya merupakan unsurunsur hara yang diperlukan tumbuhan sehingga kejenuhan basa dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan tanah. Angka kejenuhan basa (KB) dari hasil analisis mencapai nilai sangat tinggi (≥ 90%), bahkan beberapa sampel memperlihatkan KB>100%, terutama pada lapisan subsoil. Hasil ini juga memperkuat bukti bahwa lokasi penelitian di CAPS merupakan tanah yang termasuk subur ditunjukkan dari nilai KB yang sangat tinggi. Individu M. teijsmannii dijumpai lebih banyak pada tanah dengan kandungan pasir lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang pasirnya rendah (Gambar 12). Kandungan pasir di lokasi penelitian memang sangat rendah dengan kandungan liat dan debu yang tinggi memberikan ruang pori makro yang rendah. Ruang pori makro yang rendah akan menyebabkan tanah lebih menahan air. Sifat
M. teijsmannii yang memiliki kecenderungan untuk hidup pada tanah dengan drainase baik membuatnya memerlukan kandungan pasir yang tidak terlalu rendah agar air dapat turun ke lapisan bawah dan tidak menggenang di permukaan, apalagi kandungan liat yang tinggi menyebabkan tingginya ruang pori halus berisi air kapiler dan udara. Hal ini mengimplikasikan bahwa tanah dengan kandungan liat
57 dan debu yang tinggi dan proporsi pasir yang tidak terlalu rendah adalah tanah yang sesuai bagi habitat M. teijsmannii. Hasil uji korelasi antara kemelimpahan M. teijsmannii dengan variabel edafik di lokasi penelitian menunjukkan korelasi tertinggi pada tekstur pasir dengan r ≥0,90 (Tabel 13). Jumlah individu seluruh fase pertumbuhan spesies ini memiliki hubungan yang paling erat dengan kandungan pasir di antara parameterparameter kemelimpahan dan variabel tanah yang diuji. Nilai korelasi signifikan diperlihatkan pada jumlah individu pada fase pohon (r = 0.93; p = 0,008), tiang (r = 0.85; p =0.033) dan sapihan (r = 0.90; p = 0.015). Nilai korelasi positif antara jumlah individu semai dengan tekstur pasir menunjukkan korelasi tinggi namun kurang signifikan (r = 0.80; p = 0.057). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi berpasir erat hubungannya dengan kolonisasi M. teijsmannii dewasa, atau dapat dianggap bahwa rekrutmen semai menjadi fase-fase dewasa berkaitan dengan tekstur pasir pada substrat di mana spesies berada. Keterkaitan ini dapat menjawab pertanyaan mengapa di lokasi Waru-waru ditemukan lebih banyak individu
M. teijsmannii, yaitu karena di lokasi tersebut persentase kandungan pasirnya relatif tinggi dibandingkan di lokasi lain (Tabel 12). Seluruh parameter kemelimpahan pohon menunjukkan korelasi positif yang signifikan terhadap tekstur pasir, namun tidak demikian dengan kandungan debu dan liatnya. Ini menunjukkan hubungan yang menarik antara organisme dengan substratnya dan dapat menjadi dasar argumen pada adaptasi morfologi akar napas yang menjadi karakter spesies M. teijsmannii (de Wilde 2000). Struktur akar napas antara lain dapat ditemukan pada organisme terestrial yang tumbuh pada kondisi tanah yang anaerobik seperti tergenang atau rawa (Gill & Tomlinson 1978). Kondisi anaerobik atau kurangnya ventilasi udara ini dapat disebabkan oleh kandungan pori-pori kapiler tanah yang terisi oleh air karena jumlah ruang pori mikro yang tinggi berkaitan dengan tingginya kandungan liat dalam tanah (Meyer & Anderson 1954). Berbeda dengan fase pohon, tiang dan semai yang hanya memiliki korelasi signifikan dengan satu variabel tanah yaitu kandungan pasir, fase sapihan memiliki korelasi kuat dengan beberapa variabel tanah lainnya. Kerapatan dan jumlah individu sapihan berkorelasi erat dengan kandungan pasir (r = 0.84). Telaga Lele
58 memiliki kandungan pasir relatif rendah dibandingkan persentase pasir di lokasi penelitian lainnya. Ada kemungkinan hal inilah yang mempengaruhi tidak dijumpainya individu sapihan di lokasi tersebut (Gambar 8). Selain itu, dominasi fase sapihan yang berdiameter ≤ 3 cm (berdasarkan luas basal area di lokasi penelitian), dan nilai pentingnya dalam komunitas sapihan di lokasi penelitian menunjukkan korelasi positif yang kuat dengan kandungan C dan N, sementara frekuensi keterdapatannya berkorelasi kuat dengan kandungan K pada tanah. Sebaliknya, nilai penting fase sapihan spesies ini berbanding terbalik dengan kandungan Na tanah di lokasi penelitian. Hal ini mungkin dapat menjelaskan bahwa pada kondisi tanah dengan kandungan C, N dan Na tertentu saja yang sesuai untuk rekrutmen semai menjadi fase sapihan. Fenomena ini terjadi di Telaga Sat, di mana tidak ditemukan individu-individu sapihan karena dilihat dari faktor C dan N tersebut, lokasi ini memiliki kandungan C dan N yang sangat rendah dan paling rendah di antara lokasi penelitian lainnya. 6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 Telaga Lele
Waru-waru
Telaga Sat Gua Macan Teluk Semut
Air Tawar
Lokasi penelitian C (%)
N (%)
K (cmol/kg)
Gambar 12 Beberapa variabel tanah yang kemelimpahan M. teijsmannii.
Pasir (%)
berkorelasi
nyata
dengan
59 Tabel 13 Nilai korelasi antara parameter kemelimpahan M. teijsmannii dengan variabel edafik di lokasi penelitian Fase
Parameter Kemelimpahan
pH H2O
Kation dapat tukar (cml/kg) C
N
C/N
Ca
Mg
K
Na
Faktor drainase KTK
Tekstur Tanah
KA
AT
KL
RPT
Pasir
Debu
Liat
POHON
Jumlah individu Dominasi Frekuensi Kerapatan INP H
-0.10 -0.07 -0.08 -0.13 -0.15 0.62
0.26 0.32 0.52 0.42 0.57 -0.02
0.35 0.42 0.60 0.47 0.61 0.06
-0.45 -0.49 -0.52 -0.40 -0.39 -0.32
-0.22 -0.17 -0.11 -0.18 -0.14 0.47
-0.43 -0.48 -0.54 -0.48 -0.53 -0.25
0.38 0.45 0.62 0.48 0.62 -0.30
-0.42 -0.47 -0.55 -0.49 -0.58 0.01
-0.24 -0.18 0.07 -0.09 0.08 0.03
-0.23 -0.23 -0.23 -0.30 -0.32 -0.24
0.38 0.44 0.48 0.37 0.40 0.19
-0.34 -0.39 -0.48 -0.33 -0.38 0.05
0.33 0.38 0.47 0.31 0.36 -0.07
*0.93 *0.93 *0.90 *0.93 *0.92 -0.15
-0.41 -0.45 -0.47 -0.43 -0.46 -0.15
0.28 0.33 0.35 0.30 0.33 0.18
TIANG
Jumlah individu Dominasi Frekuensi Kerapatan INP H
-0.09 0.03 -0.18 0.04 -0.07 0.16
0.57 0.02 -0.10 0.11 0.08 -0.79
0.65 -0.07 -0.18 -0.05 -0.08 -0.72
-0.50 0.20 0.22 0.43 0.43 0.05
-0.08 -0.09 -0.33 0.00 -0.13 -0.14
-0.52 -0.24 -0.14 -0.21 -0.20 0.30
0.61 -0.22 -0.20 -0.25 -0.20 -0.76
-0.52 -0.24 -0.19 -0.25 -0.27 0.45
0.18 -0.50 -0.67 -0.34 -0.46 -0.79
-0.24 -0.64 -0.50 -0.76 -0.74 0.13
0.42 -0.07 -0.12 -0.21 -0.20 -0.18
-0.47 0.47 0.41 0.65 0.62 0.32
0.45 -0.48 -0.42 -0.67 -0.64 -0.32
*0.85 0.54 0.70 0.36 0.50 -0.11
-0.41 -0.26 -0.20 -0.21 -0.24 0.19
0.30 0.19 0.10 0.17 0.17 -0.18
SAPIHAN
Jumlah individu Dominasi Frekuensi Kerapatan INP H
0.02 0.25 -0.15 0.01 0.05 0.14
0.47 *0.84 0.77 0.64 *0.86 0.09
0.50 *0.83 0.79 0.60 *0.81 0.33
-0.31 -0.35 -0.35 -0.17 -0.21 *-0.86
-0.03 0.33 -0.02 0.03 0.17 -0.01
-0.61 -0.77 -0.60 -0.65 -0.74 -0.23
0.47 0.68 *0.90 0.55 0.79 0.23
-0.62 -0.77 -0.72 -0.71 *-0.83 -0.04
-0.12 0.41 0.36 0.05 0.34 0.10
-0.51 -0.60 -0.27 -0.63 -0.60 0.28
0.43 0.53 0.51 0.37 0.49 0.43
-0.18 -0.27 -0.50 -0.09 -0.24 -0.71
0.17 0.24 0.49 0.07 0.22 0.70
*0.90 0.61 0.76 *0.84 0.73 0.43
-0.58 -0.65 -0.54 -0.60 -0.67 -0.11
0.46 0.59 0.45 0.49 0.58 0.04
Jumlah individu -0.47 0.55 0.47 0.05 -0.33 -0.33 0.68 -0.56 0.06 -0.29 0.16 -0.17 0.16 0.80 Dominasi -0.54 0.17 -0.06 0.72 -0.37 0.07 0.17 -0.23 -0.17 -0.35 -0.33 0.47 -0.46 0.27 Frekuensi -0.52 0.45 0.26 0.45 -0.32 -0.16 0.47 -0.45 0.02 -0.39 -0.11 0.19 -0.19 0.53 Kerapatan -0.50 0.55 0.42 0.22 -0.31 -0.26 0.63 -0.52 0.11 -0.32 0.05 -0.04 0.04 0.65 INP -0.51 0.47 0.30 0.38 -0.34 -0.20 0.51 -0.48 0.00 -0.40 -0.05 0.14 -0.14 0.61 H -0.04 -0.36 -0.24 -0.35 -0.30 0.05 -0.33 0.20 -0.54 0.07 0.00 -0.08 0.07 0.48 Keterangan: KA=kandungan air; AT= air tersedia; KL=kerapatan lindak; RPT=ruang pori total; KTK=kapasitas tukar kation; * signifikan (p≤0.05)
-0.35 -0.04 -0.21 -0.28 -0.25 0.07
0.24 0.00 0.14 0.19 0.17 -0.15
SEMAI
60 5.2.6.2
Faktor klimatik Derajat keasaman yang langsung diukur di lapangan menunjukkan bahwa
kisaran pH di lokasi penelitian termasuk netral dengan kisaran 6.0 – 7.0 (Tabel 14). Tabel 14 Data iklim mikro pada tanah dan udara di lokasi penelitian Lokasi
§
Air Tawar Gua Macan Telaga Lele Telaga Sat Teluk Semut Waru-Waru
Jumlah total individu 34 28 5 7 22 59
pH* 7.0 7.0 6.7-7.0 6.0-7.0 7.0 6.9-7.0
TANAH Kelembaban§ (%) 55 45-75 75-86 55-79 45-70 70-75
Suhu§ (0C) 24 26 26-28 25-28 25-26 26-28
UDARA Kelembaban§ Suhu§ (%) (0C) 70-92 22-25 65-80 25-26 70-81 26-29 60-81 25-26 53-68 25-28 70-79 27-30
data kelembaban dan suhu bukan merupakan nilai minimum dan maksimum; *pH diukur langsung di lokasi penelitian menggunakan soil tester.
Kelembaban udara dan tanah di Teluk Semut pada waktu pengamatan memiliki kisaran 45-70% pada tanah dan 53-68% pada udara. Berdasarkan estimasi visual, kawasan ini relatif terbuka sehingga mendapatkan penyinaran matahari yang lebih banyak. Selain letaknya yang relatif dekat dengan pantai, fenomena ini dapat dihubungkan dengan ketidakseimbangan struktur populasi di lokasi ini. Kerapatan semai yang melimpah tidak diikuti oleh tingginya kerapatan umur individu yang lebih tua karena faktor kelembaban udara yang rendah. Kawasan Air Tawar yang juga memiliki struktur populasi M. teijsmannii yang tidak seimbang terdapat di kawasan dengan kelembaban tanah rata-rata rendah namun kelembaban udara masih tinggi karena tutupan vegetasinya masih tergolong baik dan hanya bagian pesisir mangrove yang mendapat gangguan pengunjung, serta lokasi hutan berada pada elevasi yang lebih tinggi daripada Teluk Semut.
5.2.6.3
Faktor topografis Lokasi penelitian dilakukan pada kisaran ketinggian 17-102 m dpl. Dalam
kisaran tersebut, individu-individu M. teijsmannii dijumpai pada ketinggian 25-82 m dpl. Berdasarkan hasil uji statistik, kehadiran M. teijsmannii dipengaruhi oleh variabel kemiringan dan aspek atau arah lereng (Tabel 15). Untuk menguji kategori mana yang memiliki pengaruh tersebut, uji ini dilanjutkan dengan uji generalized
linear model atau GLM (Tabel 16).
61 Tabel 15 Perbandingan variabel topografi dengan kehadiran dan ketidakhadiran M. teijsmannii di CA Pulau Sempu Parameter topografi Ketinggian Kemiringan (5 kategori) Aspek (5 kategori)
M. teijsmannii hadir 54.28 (98) 13.43 (98) 2.21 (98)
M. teijsmannii Tidak hadir 56.80 (52) 18.19 (52) 2.69 (52)
Z 1.0956 ** -3.2481** -2.5242 *
P 0.273 0.001 0.011
Keterangan: Nilai yang ditampilkan adalah mean; angka di dalam kurung menunjukkan jumlah kuadrat atau sampel yang diuji; Z merupakan median hasil uji Wald; * P<0.005; ** P<0.05.
Tabel 16 Ringkasan hasil pengujian generalized linear model (GLM) untuk distribusi populasi M. teijsmannii Variabel prediktor Lereng Lereng Lereng Lereng Arah lereng Arah lereng Arah lereng Arah lereng Ketinggian Deviance
Level pengaruh datar landai agak curam curam utara-timur selatan-timur utara-barat selatan-barat 1,104
Estimasi 1.941 0.249 -1.887 0.416 -1.251 0.485 1.156 0.183 0.001
Standar error 0.446 0.448 0.926 0.473 0.467 0.530 0.493 0.448 0.012
Wald statistik **18.904 0.309 **4.150 0.775 **7.179 0.839 **5.513 0.166 0.007
P 0.000 0.578 0.042 0.379 0.007 0.360 0.019 0.683 0.936
Keterangan: Nilai estimasi merupakan besarnya kontribusi variabel prediktor terhadap keberadaan populasi M. teijsmannii; dengan mengabaikan tanda, nilai yang mendekati 1 menunjukkan ketepatan estimasi; tanda negatif menunjukkan arah pengaruh.
Pengujian statistik untuk model distribusi populasi M. teijsmannii dengan menggunakan metode GLM pada distribusi binomial dengan fungsi hubungan logit terhadap variabel topografi memberikan ketepatan model atau deviansi sebesar 1,10 yaitu baik karena mendekati nilai 1 dengan nilai signifikan pada lereng dan arah lereng. Sesuai dengan hasil uji Wald (Tabel 15) hasil uji GLM menunjukkan bahwa distribusi populasi M. teijsmannii ditentukan oleh lereng dan arah lereng tapi tidak oleh ketinggian (Tabel 16). Kategori lereng yang berpengaruh pada kehadiran spesies adalah lereng datar (kemiringan 0-8%) dan lereng agak curam (15-25%). Pada lereng datar dijumpai keberadaan M. teijsmannii yang lebih banyak sedangkan pada lereng agak curam keberadaannya semakin sedikit. Pada arah lereng utara-timur kehadiran individu M. teijsmannii terlihat rendah sedangkan pada arah lereng utara-barat sebaliknya. Hal ini menunjukkan
62 bahwa
M. teijsmannii membutuhkan sinar matahari untuk pertumbuhan dan
perkembangannya namun dalam intensitas yang tidak penuh sepanjang hari.
5.3
Aspek Konservasi
5.3.1
Implikasi Karakter dan Interaksi Biologis M. teijsmannii terhadap Konservasi Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian di dalam
kawasan CAPS memperlihatkan kestabilan populasi, dengan kecenderungan kerapatan semakin tinggi pada fase-fase lebih muda (Gambar 8). Akan tetapi jika ditinjau per lokasi hutan, terdapat ketidakseimbangan struktur populasi di kawasan Telaga Lele, Telaga Sat, Air Tawar dan Teluk Semut. Di hutan kawasan Telaga Lele dan Telaga Sat tidak dijumpai individu M. teijsmannii tingkat semai yang menunjukkan bahwa regenerasi di kawasan ini tidak berlangsung semestinya, atau ada gangguan pada proses regenerasinya. Oleh karena itu, di kedua lokasi tersebut dapat dilakukan program reenforcement atau menanam kembali sejumlah individu untuk menambah jumlah individu dalam populasinya, dalam hal ini tingkat semai, yang berasal dari lokasi lain di kawasan CAPS. Sumber semai dapat berasal dari Teluk Semut yang memiliki kerapatan semai tertinggi. Ketidakseimbangan populasi terlihat pula di kawasan Teluk Semut. Selisih kerapatan tingkat semai dan tingkat individu pra-dewasa maupun dewasa yang sangat besar antara lain memberikan indikasi bahwa tingkat kesintasan semai di kawasan ini rendah. Diijinkannya pengunjung mendatangi kawasan ini dengan tujuan wisata, secara langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak negatif bagi kesesuaian kondisi lingkungan bagi biji untuk bertahan hidup mencapai fase-fase umur berikutnya. Oleh karena itu, kegiatan wisata ataupun kunjungan ke daerah ini perlu dibatasi dan dikelola sedemikian rupa sehingga dampak merugikan bagi kelangsungan populasi M. teijsmannii dapat ditekan. Berkaitan dengan hal ini, pihak pengelola perlu mengkaji kembali tugas pokok dan fungsi cagar alam seperti yang ditetapkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 (Dephut 1990), yaitu bahwa cagar alam tidak diperuntukkan sebagai kawasan wisata.
63 Tabel 17 Kemelimpahan M. teijsmannii dan karakteristik lingkungannya
Faktor fisika tanah
Faktor kimia tanah
Faktor iklim mikro
Faktor topografi
Faktor biologi
Parameter kemelimpahan
Variabel yang diteliti Jumlah total individu Jumlah individu pohon Kerapatan pohon (ind/ha) INP pohon Jumlah individu tiang Kerapatan tiang (ind/ha) INP tiang Jumlah individu sapihan Kerapatan sapihan (ind/ha) INP sapihan Jumlah individu semai Kerapatan semai (ind/ha) INP semai Vegetasi dominan
Telaga Lele
Waruwaru
Lokasi penelitian Telaga Air Tawar Sat
Gua Macan
Teluk Semut
5.00 2.00 1.79 5.42 2.00 7.10 3.34 1.00
59.00 36.00 29.03 48.68 10.00 32.26 18.27 10.00
7.00 4.00 4.17 8.28 3.00 12.50 5.82 0.00
34.00 17.00 17.71 39.07 0.00 0.00 0.00 5.00
28.00 14.00 15.22 29.62 7.00 43.48 19.27 6.00
22.00 9.00 11.25 26.41 5.00 25.00 14.23 4.00
14.29 1.80 0.00 0.00 0.00 Sterc.
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Morac. Macaranga
83.33 6.53 3.00 312.50 6.14 Sterc. Myrist. Garcinia Artocarpus 6
104.35 5.86 1.00 108.70 3.05 Myrist. Sterc. Annon. Maranthes 6
80.00 5.44 4.00 500.00 13.80 Euph. Sterc.
7
129.03 6.10 3.00 250.00 6.19 Myrist. Sterc. Annon. Euph. 7
Agen dispersal
Ada
Ada
Ketinggian lokasi (m dpl)
50-102
15-87
30-65.5
Ada 40.5-85
Ada 41-77
Ada 17-69
56-82
25-81
46-65.5
37-78
38-60
47-69
Kemiringan lokasi (%) Kelembaban tanah (%) Suhu tanah (0C) Kelembaban udara (%) Suhu udara (0C) pH lapangan pH H2O C (% vol) N (% vol) C/N Ca (cmol/kg) Mg (cmol/kg) K (cmol/kg) Na (cmol/kg) KTK (cmol/kg)
0-90 75-86 26-28 70-81 26-29 6.7-7.0
0-43 70-75 26-28 70-79 27-30 6.9-7.0
0-90 55-79 25-28 60-81 25-26 6.0-7.0
0-40 55 24 70-92 22-25 7.0
0-27 45-75 26 65-80 25-26 7.0
0-15; 90 45-70 25-26 53-68 25-28 7.0
6.94 1.32 0.13 10.63 31.11 3.32 0.37 0.52 31.24
6.44 1.36 0.14 10.21 24.33 3.35 0.43 0.44 28.52
6.19 0.73 0.07 11.20 22.54 8.40 0.11 1.65 30.22
6.50 2.08 0.21 9.59 27.88 3.14 0.70 0.37 35.37
6.79 1.88 0.17 11.19 30.53 2.94 0.36 0.38 33.06
6.18 1.65 0.13 12.31 24.30 4.80 0.45 0.44 30.85
Kandungan air (% vol) Air tersedia (% vol) KL (gr/cc) RPT (% vol) Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
46.19 13.78 1.05 60.44 2.06 41.38 56.63
45.68 13.31 1.03 61.11 5.50 42.38 52.13
49.71 10.43 1.07 59.80 2.38 33.38 64.25
47.78 13.83 0.95 64.08 3.75 45.25 51.00
42.85 12.46 1.10 58.44 3.00 43.88 53.13
44.50 11.54 1.11 58.21 3.88 47.38 48.75
Asosiasi (jumlah species)
Kehadiran (m dpl)
Keterangan:
4 tidak teramati
8
INP= indeks nilai penting; KTK=kapasitas tukar kation; KL=kerapatan lindak; RPT=ruang pori total.
64 Kondisi hutan dan populasi M. teijsmannii di kawasan Waru-waru dan Gua Macan adalah yang terbaik. Dengan demikian, pihak pengelola Resort CAPS perlu mempertahankan kondisi ini, minimal menekan dampak pengunjung terhadap habitat di kawasan konservasi in-situ ini. Kawasan Teluk Semut perlu mendapat pengawasan dan pengelolaan yang lebih baik karena ketidakseimbangan populasi
M. teijsmannii sebagai tumbuhan langka Jawa Timur, lokasi ini juga merupakan jalur jelajah lutung sebagai agen dispersal biji, dan merupakan habitat bagi macan dahan seperti yang teramati dalam penelitian, yang juga merupakan hewan yang dilindungi.
5.3.2
Implikasi Karakter dan Preferensi Habitat M. teijsmannii dengan Konservasi Analisis karakter habitat M. teijsmannii di Cagar Alam Pulau Sempu dapat
menjadi data penting bagi program konservasi, antara lain dalam koridor reintroduksi spesies ke habitat alaminya maupun untuk pendugaan kesesuaian habitat di lingkup kawasan yang lebih luas. Pendugaan kesesuaian habitat ini dapat dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik pemetaan digital dalam sistem informasi geografis atau SIG (Garzon et al. 2006; Guisan & Zimmerman 2000). Teknik-teknik aplikasi SIG untuk memperkirakan habitat-habitat yang sesuai bagi suatu spesies akan dapat dilakukan dengan tepat jika data-data mengenai faktorfaktor pendukung atau faktor determinan bagi keberadaan populasinya tersedia. Data seperti ini penting karena program reintroduksi perlu dilakukan dengan memperhatikan karakter-karakter biologis dan ekologis suatu spesies di habitat alaminya sehingga faktor kematian karena ketidaksesuaian habitat baru dapat ditekan serendah mungkin. Berdasarkan analisis karakter habitatnya, M. teijsmannii di Pulau Sempu cenderung berkoloni di kawasan yang memiliki tanah-tanah dengan kandungan pasir lebih tinggi dilihat dari tingginya jumlah individu yang dijumpai di kawasan Waru-waru yang memiliki kandungan pasir paling tinggi dibandingkan dengan lima lokasi penelitian lainnya. Preferensi habitat pada tanah dengan kandungan C dan N yang relatif tinggi pada fase sapihan menunjukkan bahwa seedling
recruitment dan seedling establisment cenderung membutuhkan tanah yang lebih
65 subur dibandingkan fase-fase yang lebih dewasanya. Faktor kimia lain dari variabel edafik yang berkorelasi kuat dengan keberadaan individu M. teijsmannii adalah kandungan basa kalium. Jenis tanah dengan kandungan C, N dan K yang relatif tinggi menjadi salah satu faktor pendukung bagi penilaian kesesuaian habitat spesies langka ini. Berdasarkan peta jenis tanah dan tutupan lahan, masih ada kawasan hutan dataran rendah di daratan Jawa yang masih berada dalam kawasan pesisir Malang selatan, relatif berdekatan dengan P. Sempu. Peta-peta pendukung tersebut menunjukkan jenis tanah dan tutupan hutan yang sama dengan jenis tanah dan hutan di P. Sempu. Oleh karena itu, ada kemungkinan yang cukup besar bahwa
M. teijsmannii dapat ditemukan di kawasan tersebut, sehingga hutan-hutan tersebut perlu mendapat perhatian konservasi atau dijaga agar tidak terjadi perusakan. Dari variabel topografi, faktor arah lereng perlu mendapatkan perhatian sebagai faktor pendukung lain yang menentukan keberhasilan kolonisasi
M. teijsmannii. Lokasi dengan kemiringan datar (0-8%) hingga landai (8-15%) dengan arah lereng utara-barat adalah yang dua faktor lingkungan yang penting bagi
M.
populasinya.
teijsmannii
Penelitian
yang
ini
ditemukan
juga hanya
menyingkap keberadaan individu di
interior
hutan,
yang
dapat
mengindikasikan bahwa spesies ini tidak toleran adanya gap yang bisa terjadi karena fragmentasi hutan. Berdasarkan literatur dan studi herbarium yang telah dilakukan, spesies yang kemungkinan endemik ini juga hanya dijumpai di hutanhutan campuran dataran rendah. de Wilde (1998) dalam IUCN (2006) melaporkan bahwa M. teijsmannii mendapat ancaman dari degradasi habitat akibat konversi lahan. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa M. teijsmannii merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan akibat degradasi habitat dan fragmentasi hutan. Oleh karena itu, populasi yang baik di CAPS perlu dijaga dan dipertahankan antara lain dengan menjaga kawasan tersebut dari gangguan manusia dan peruntukan yang tidak tepat.
5.3.3
Status Kelangkaan Berdasarkan studi populasi melalui metode sampling yang telah dilakukan
di kawasan CAPS, maka di lokasi konservasi tersebut terdapat sedikitnya 6
66 subpopulasi M. teijsmannii. Individu dewasa yang ditemukan di enam lokasi sampling yang mencakup kawasan CAPS seluas 6 ha adalah sebanyak 82 individu pohon dan 36 individu fase tiang sehingga total jumlah individu dewasanya adalah 118 individu. Untuk menentukan total jumlah individu di seluruh kawasan CAPS memerlukan kehati-hatian dan tidak cukup dengan mengkonversikan jumlah individu dalam plot pada luasan tertentu terhadap luas total habitat yang sesuai dengan faktor lingkungan penentu keberadaan populasi yang telah diteliti. Hal ini disebabkan tidak seluruh area di CAPS memiliki kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan ekologis M. teijsmannii. Untuk itu diperlukan teknik khusus untuk mempertajam estimasi penyebaran populasi di seluruh kawasan yang sesuai. Untuk lebih memastikan kriteria yang lainnya perlu diteliti luas daerah sebaran (extent of occurrence) dan luas daerah ditempati (area of occupancy) seperti yang direkomendasikan oleh IUCN (IUCN 2001). Luas daerah sebaran dapat diketahui dengan menerapkan metode minimum convex polygon atau MCP (Woinarski et al. 2006; JNCC 2008a), sedangkan luas daerah ditempati dapat ditentukan dengan teknik SIG melalui proses pembuatan grid pada skala tertentu (JNCC 2008b). MCP perlu dilakukan dengan data kehadiran spesies sedikitnya di 2 lokasi lain yang pernah tercatat. Semakin banyak data kehadiran spesies yang dilibatkan maka MCP yang diperoleh akan semakin baik atau mendekati kondisi sesungguhnya karena metode ini menggunakan konsep interpolasi dari data-data populasi yang diketahui. Oleh karena penelitian ini tidak mencakup analisis spasial dengan teknik SIG, maka penentuan status kelangkaan dalam penelitian ini belum dapat dilakukan. Spesies M. teijsmannii memperlihatkan jumlah individu maupun kerapatan individu yang cukup melimpah di lokasi penelitian CAPS. Hal ini dapat berarti bahwa Pulau Sempu memiliki habitat yang dapat dikatakan memungkinkan bagi spesies yang tergolong langka bahkan kemungkinan endemik Jawa Timur ini untuk tumbuh dan bertahan, di samping faktor gangguan manusia yang relatif kecil terhadap kelestarian hutan di kawasan CAPS. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan MacKinnon dan MacKinnon (1993) yang menyebutkan bahwa pulau kecil yang terisolasi sering menjadi rumah bagi spesies endemik yang langka dan
67 bentuk-bentuk primitif atau kuno. Spesies-spesies seperti itu telah berpencar untuk mengisi relung yang ada dan mampu bertahan hidup disebabkan beberapa alasan. Diantaranya kegagalan spesies yang lebih modern untuk mencapai pulau tersebut, kurangnya persaingan relung dan umumnya di pulau itu tidak terdapat pemangsa; kalaupun ada berukuran kecil. Perbedaan status kelangkaan M. teijsmannii antara yang ditetapkan IUCN dengan PP No. 7 dan No. 8 tahun 1999 dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama, adanya perbedaan kriteria dalam penentuan status kelangkaan. Sampai sejauh ini Indonesia sendiri tidak memiliki kriteria yang baku untuk penentuan status kelangkaan. Kedua, keterbatasan jumlah ilmuwan konservasi yang bekerja pada famili Myristicaceae sehingga keterkinian status populasi dan status kelangkaannya tidak dilakukan untuk dapat memberi masukan pada para penentu kebijakan yang relevan. Ketiga, spesies ini tidak merupakan spesies yang populer dan memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga sedikit sekali perhatian konservasi ditujukan padanya. Alasan yang ketiga ini seharusnya tidak terjadi karena kriteria penentuan prioritas konservasi spesies-spesies terancam tidak hanya berdasarkan pada nilai ekonomi saja, melainkan pada tujuh kategori yang meliputi area geografis, taksonomi, habitat, bentuk kehidupan (life form), populasi, sifat biologi dan hal lain yang relevan seperti kawasan dengan endemisme tinggi serta ada atau tidak adanya pemanenan (Given 1984 dalam Given 1994). 5.3.4
Potensi dan Ancaman Selain mengungkap aspek autekologi M. teijsmannii, pada penelitian ini
juga berhasil diidentifikasi beberapa potensi dan ancaman di kawasan konservasi CAPS di mana spesies langka tersebut ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah. Potensi dan ancaman yang tercatat ini diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu faktor manusia dan faktor lingkungan (Tabel 18). Salah satu aspek yang menguntungkan bagi M. teijsmannii adalah adanya agen dispersal biji dari kelompok primata yaitu lutung dan kera ekor panjang. Kedua spesies tersebut memiliki mobilitas tinggi dengan area jelajah yang cukup luas di kawasan CAPS sehingga diharapkan dapat sangat membantu pemencaran biji M. teijsmannii dalam memperluas area distribusi individunya. Temuan ini memberikan dasar bagi pihak pengelola Resort CAPS untuk memberikan
68 perlindungan bagi kedua spesies primata tersebut karena keberlangsungan populasinya akan turut membantu kelangsungan hidup populasi M. teijsmannii di kawasan ini sehingga mempunyai peran dalam pelestarian tumbuhan langka tersebut. Salah satu kegiatan nelayan di kawasan Air Tawar yang cukup menjadi ancaman bagi kondisi alami hutan dan formasi mangrove yang dimilikinya adalah dijadikannya pantai ini menjadi tempat perbaikan kapal nelayan pada saat pasang surut. Residu cat dan bahan bakar merupakan bahan kimia berbahaya yang dapat merusak mangrove, habitat terumbu karang serta flora-fauna yang bergantung padanya. Diperlukan ketegasan dan keberanian petugas resort dalam menegakkan peraturan dan menindak praktik-praktik serupa agar kelangsungan hidup biotabiota di sekitar pantai ini tetap terjaga. Secara umum, pulau sebagai cagar memiliki keuntungan karena ditentukan dalam batas yang jelas sehingga tidak mudah untuk dilanggar batasnya. Keuntungan ini disebabkan pulau merupakan unit ekologi yang relatif mandiri, selain
itu
pulau
sebagai
cagar
memiliki
kemampuan
mengembangkan
keseimbangan antara luas pulau dengan jumlah spesies di dalamnya (MacKinnon & MacKinnon 1993). Namun dijadikannya CAPS sekaligus sebagai kawasan tujuan wisata lingkungan (ekoturisme) seperti selama ini terjadi, dapat menjadi ancaman akan introduksi spesies asing yang hidup bersama-sama manusia yang dapat mengakibatkan malapetaka bagi flora dan fauna asli pulau. Dilihat dari fungsi dan tugas pokoknya, kawasan cagar alam yang merupakan salah satu bagian dari suaka alam tidak diperuntukkan sebagai kawasan wisata seperti yang dinyatakan dalam UU No. 5 Tahun 1990. Kawasan perlindungan tipe ini selain memiliki fungsi perlindungan karena karakteristik habitat, kekayaan flora dan faunanya yang khas, mempunyai nilai guna untuk penelitian tapi tidak untuk dijadikan kawasan wisata atau ekoturisme. Namun pada kenyataannya, CAPS telah menjadi lokasi tujuan wisata yang potensial bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. Fakta tersebut menjadi dilema bagi konservasi. Di satu sisi, ancaman menjadi semakin besar bagi keaslian habitat dan kelangsungan hidup biota di dalamnya karena kemudahan akses dan legalitas dari pemerintah setempat
69 sehingga dapat mempertaruhkan kehidupan flora dan fauna asli serta langkanya. Namun di sisi lain, potensi keindahan alamnya juga sangat layak untuk diketahui dan dinikmati masyarakat sehingga memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat setempat. Hal ini menjadi tantangan bagi konservasionis dan Departemen Kehutanan pada khususnya untuk mempertimbangkan masalah ini secara proporsional tanpa mengabaikan filosofi konservasi spesies. Tabel 18 Potensi dan ancaman terhadap kawasan konservasi CAPS dan keberadaan Myristica teijsmannii Potensi
Ancaman
- CAPS merupakan kawasan konservasi tak berpenduduk sehingga memudahkan pengelolaan. - Sebagian besar mata pencaharian penduduk di sekitar CAPS adalah nelayan sehingga pencurian kayu jarang terjadi. - Petugas KSDA setempat cukup baik menjalankan tugasnya menjaga kawasan sehingga kegiatan-kegiatan ilegal dapat dicegah dan ditangani dengan baik. - Kesadaran masyarakat setempat akan peranan CAPS sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dilaporkan semakin membaik, terutama setelah menyadari peran P. Sempu sebagai barrier gelombang pasang/tsunami dari Samudera Hindia terhadap pemukiman penduduk.
- Pencurian kayu untuk rangka perahu, terutama kayu Garcinia dan Vitex sp. (laban). Namun kegiatan ini relatif jarang terjadi. - Pantai CAPS kawasan sumber air tawar sering digunakan nelayan untuk memperbaiki dan mengecat kapal/perahu pada saat pasang surut sehingga dikhawatirkan residu bahan kimia akan mencemari terumbu karang. - ’Keterasingan’ Pulau Sempu sempat dijadikan alasan bagi barisan militer untuk menjadikan kawasan konservasi ini sebagai lokasi latihan perang pada tahun 1998. Namun sejak ditetapkan sebagai cagar alam pada tahun 1999, tidak pernah dilaporkan lagi ada kegiatan seperti ini. - Pergeseran fungsi kawasan cagar alam sebagai lokasi tujuan wisata.
Faktor manusia
Faktor lingkungan - Keterisolasian & status pulau sebagai cagar alam membuat keberadaan populasi M. teijsmannii lebih terjamin dibandingkan populasi di daratan pulau Jawa. - Keberadaan agen dispersal biji M. teijsmannii dari kelompok primata - Keragaman spesies bernilai ekonomis tinggi - Keragaman flora dan fauna tinggi; beberapa jenis diantaranya khas dan langka. - Kekayaan potensi pariwisata: telaga, pantai dan laguna dengan pemandangan indah, kekhasan geologis. - Keberadaan sumber air tawar dari hujan dan mata air. - Topografi yang berbukit-bukit karang, terutama di bagian selatan membuat hutan relatif sulit dirambah.
- Kekayaan spesies kayu bernilai ekonomis menjadi ketertarikan saudagar kayu dari luar kawasan untuk menjalankan praktek-praktek ilegal. - Kekayaan potensi pariwisata mendorong Pulau Sempu sebagai cagar alam sekaligus juga dijadikan tempat tujuan wisata, terutama pesisir utara hingga ke Segara Anakan di selatan. - Tipe iklim yang cenderung kering membuat kawasan hutan rawan kebakaran, apalagi dikaitkan dengan banyaknya orang yang mengunjungi kawasan untuk berekreasi.
70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Kesimpulan - kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Keberadaan M. teijsmannii termasuk melimpah dengan nilai kerapatan pohon tertinggi dan struktur populasi yang cukup baik di lokasi penelitian dalam kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Jumlah individu dewasa yang ditemukan di lokasi penelitian adalah 82 individu pohon dengan kerapatan pohon 14 individu/ha dan 36 individu fase tiang dengan kerapatan 25 individu/ha dalam area seluas 6 ha. Jumlah individu dan kerapatan pohon tertinggi pada populasi
M. teijsmannii ditemukan di lokasi Waru-waru. 2. Populasi M. teijsmannii menyebar secara mengelompok di kawasan hutan Cagar Alam Pulau Sempu, meliputi daerah Waru-waru, Gua Macan, Air Tawar, Teluk Semut, Telaga Lele dan Telaga Sat. Struktur populasi yang lengkap dan relatif seimbang ditemukan di kawasan Waru-waru dan Gua Macan. Kawasan dengan kondisi populasi yang perlu lebih mendapat perhatian untuk konservasi spesies ini adalah Teluk Semut, Telaga Sat dan Air Tawar. 3. M. teijsmannii berasosiasi positif dengan 12 spesies pohon dan memiliki agen dispersal biji dari kelompok primata, yaitu lutung (Trachypitecus auratus) dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis). 4. Kandungan pasir memiliki korelasi positif yang paling erat dan signifikan dengan jumlah individu pohon, tiang dan sapihan M. teijsmannii. Dominasi dan nilai penting fase sapihan juga berkorelasi kuat dengan kandungan karbon, nitrogen dan kalium. Jumlah individu seluruh fase lebih banyak dijumpai pada lokasi datar (kemiringan 0-8%) dengan arah lereng utara-barat. 5. Preferensi M. teijsmannii pada kondisi topografi, khususnya arah lereng utarabarat yang memperoleh sinar matahari sebagian dalam sehari memperkuat dugaan bahwa spesies ini tergolong spesies semi toleran naungan. 6. Beberapa faktor ancaman bagi kelangsungan hidup populasi M. teijsmannii telah teridentifikasi antara lain disebabkan oleh faktor gangguan manusia akibat adanya pergeseran fungsi kawasan sebagai lokasi tujuan wisata.
71 6.2
Saran-saran Hal-hal yang perlu ditindaklanjuti adalah:
1. Studi populasi serupa perlu dilakukan di lokasi-lokasi selain Cagar Alam Pulau Sempu yang diketahui merupakan lokasi keberadaan M. teijsmannii berdasarkan catatan herbarium. 2. Penentuan status kelangkaan dengan metode kuantitatif pada skala regional yang lebih besar, meliputi kawasan Jawa Timur dengan menerapkan teknik lain. Teknik tersebut adalah penentuan daerah sebaran (extent of occurrence) dan daerah yang ditempati (area of occupancy) seperti yang direkomendasikan oleh IUCN. 3. Penelitian etnobotani dapat dilakukan untuk mengetahui peran spesies langka ini bagi masyarakat dengan dilengkapi pengujian kandungan bahan kimia aktif dari seluruh bagian tumbuhan atau penelitian biofarmaka yang menginventaris kandungan bahan kimia yang berpotensi obat.
72
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2005. Step By Step Guide to Soil Science. http://ltpwww.gsfc.nasa.gov. [4 Agustus 2005]. [Anonim]. 2008a. Knema laurina (Blume) Warb., Mon. Myrist. (1897). http://www.nationaalherbarium.nl/sungaiwain/Myristicaceae/Knema_laurina.htm. [11 November 2008]. Arrijani. 2005. Biologi dan Konservasi Marga Myristicaceae di Indonesia. Biodiversitas (6)2:147-151. Backer CA, van den Brink RCB. 1963. Flora of Java. Vol 1. Groningen: NVP Noordhoff. [CBD] Convention on Biological Diversity. 2002. Global Strategy for Plant Conservation. Montreal: the Secretariat of the Convention on Biological Diversity, Botanic Gardens Conservation International, United Nations of Environmental Programme. 13 hlm. Cox GW. 2002. General Ecology: Laboratory Manual. Jilid ke-8. Boston: McGraw Hill. hlm 61. Crase B, Cowie ID, Michell CR. 2006. Distribution and Conservation Status of the Rare Plants Melaleuca triumphalis and Stenostegia congesta (Myrtaceae), Victoria River District, Northern Australia. Australian Journal of Botany 54:641-653. Cropper SC. 1993. Management of Endangered Plants. East Melbourne: CSIRO Publications. hlm 32. De Wilde WJJO. 2000. Myristicaceae. Flora Malesiana Series I – Seed Plants 14: 1-631. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1980. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Dephut. Dickinson WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. San Diego: Harcourt Academic Press. Dwidjoseputro D. 1992. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm 44-45. Fritz RS, Gaud WS, Sacchi CF, Price PW. 1987. Patterns of Intra- and Interspecific Association of Gall-Forming Sawflies in Relation to Shoot Size on Their Willow Host Plant. Oecologia 73:159-169. Ganesh T, Davidar P. 2001. Dispersal Mode of Tree Species in the Wet Forest of Southern Western Ghats. Current Science 80(3): 394-399. Garzón MB, Blazek R, Neteler M, de Dios RS, Ollero HS, Furlanello C. 2006. Predicting Habitat Suitability with Machine Learning Models: The Potential Area of Pinus sylvestris L. in the Iberian Peninsula. Ecological Modelling 197: 383-393.
73 Gill AM., Tomlinson PB. 1978. Aerial Roots: An Arrange of Forms and Functions. Di dalam : Torrey JG., Clarkson DT (editor). The Development and Function of Roots. London: Academic Press. hlm 237-260. Given DR. 1994. Principles and Practices of Plant Conservation. Portland: Timber Press, Inc. hlm 41,238. Goni A., Tulabi, Wuryanti S., Santoso, Suparman & Sujitno E. 1997. Eksplorasi Flora di Kawasan Sendangbiru dan Pulau Sempu Kabupaten Malang – Jawa Timur. [Laporan Perjalanan, tidak dipublikasikan] UPT Balai Pengembangan Kebun Raya – LIPI Cabang Balai Kebun Raya Purwodadi Pasuruan, Jawa Timur. Guisan A, Zimmermann NE. 2000. Predictive Habitat Distribution Models in Ecology. Ecological Modelling 135:147-186. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Jakarta: PT Melton Putra. Hegnauer S. 2001. Myristica teijsmannii. http://www.sofa.bfel.de. [27 November 2006]. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid ke-3. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. hlm 777795. Heywood VH. 1993. Flowering Plants of the World. Updated edition. New York: Oxford University Press. hlm 31-32. Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. 210 hlm. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2000. 2000 IUCN Red List of Threatened Species. Hilton-Taylor C. (compiler).Gland: Species Survival Commission. Xviii+61hlm. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2001. IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. Gland: IUCN Species Survival Commission. ii+30 hlm. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2006. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/search/details.php/31998/summ. [3 Maret 2007]. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources Standards and Petitions Working Group. 2008. Guidelines for Using the IUCN Red List Categories and Criteria. Version 7.0. Dipersiapkan oleh Standards and Petitions Working Group IUCN SSC Biodiversity Assessment SubCommittee. Jansen PCM et al., editor. 1993. Basic List of Species and Comodity Grouping. Final Version. PROSEA. [JNCC] Joint Nature Conservation Committee. 2008a. Extent of Occurrence Calculated by JNCC. http://www.jncc.gov.uk/page-3285. [10 November 2008]. [JNCC] Joint Nature Conservation Committee. 2008b. Area of Ocupancy Calculated by JNCC. http://www.jncc.gov.uk/page-3285. [10 November 2008]. Keller R. 1996. Identification of Tropical Woody Plants in the Absence of Flowers and Fruits: a Field Guide. Basel: Birkhäuser Verlag. Hlm 13. Killham K. 1994. Soil Ecology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 24.
74 Krebs CK. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publisher. hlm 239. Krebs CK. 2002. Ecological Methodology. Ed ke-2. New York: Harper & Row Publisher. Kunin WE., Lawton JH. 1996. Evaluating The Case For Conserving Species. Di dalam: Gaston KJ, editor. Biodiversity: A Biology of Numbers and Difference. Oxford: Blackwell Science. hlm 283-308. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. Singapore: John Wiley and Sons. MacKinnon J., K. MacKinnon.1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Managing Protected Areas in the Tropics. Meehan HJ, McConkey KR, Drake DR. 2005. Early Fate of Myristica hypargyraea Seeds Dispersed by Ducula pacifica in Tonga, Western Polynesia. Austral Ecology 30: 374-382. Meyer BS, Anderson DB. 1954. Plant Physiology. Ed ke-2. Toronto: D. Van Nostrand Company, Inc. hlm 206-223. Mogea JP, Gandawidjaja Dj, Wiriadinata H, Nasution RE, Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi, LIPI. hlm 22-23. Ng FSP.1992. Manual of Forest Fruits, Seed and Seedlings. Vol ke-2. Malayan Forest Record No. 34:454-457. Nurdjito M, Maryanto I, editor. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cibinong: The Nature Conservancy. Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-3. Samingan Tj, penerjemah. Jogjakarta: Gadjahmada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology,. 3rd Edition. Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Buku Obor. hlm 151-153. Purwanto A, Imaculata M, Kristiyanto S, Suyitno, Fajar HF. 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi BKSDA Jatim II. Jember: BKSDA Jatim II. Rais S, et al. 2006. Kawasan Konservasi Indonesia 2006. Jakarta: Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, Lestari Hutan Indonesia, Japan International Cooperation Agency. Sanchez PA. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Ed ke-1. Jayadinata JT, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Properties of Soils in the Tropics, 1st edition. Slone DH, Croft BA. 2001. Species Association among Predaceous and Phytophagous Apple Mites (Acari: Eriophydae, Phytoseiidae, Stigmaeidae, Tetranychidae). Experimental and Applied Acarology 25: 109-126. Soil Survey Staff. 1992. Kunci Taksonomi Tanah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Terjemahan dari: Keys to Soil Taxonomy. Takehara MOH. 1970. Standard Soil Color Charts. Edisi revisi. Japan: Research Council for Agriculture, Forestry and Fisheries.
75 Takhtajan A. 1997. Diversity and Classification of Flowering Plants. Columbia: Columbia University Press. Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi. Bandung: Penerbit ITB. hlm 150-151. Widyatmoko D. 2001. Autecology and Conservation Management of A Rare Palm Species: The Case Study of Lipstick Palm Cyrtoctachys renda Blume in Kerumutan Wildlife Sanctuary, Riau [disertasi]. Bogor: Postgraduate Programme, Bogor Agricultural Institute. Widyatmoko D, Irawati. 2007. Kamus Istilah Konservasi. Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor, LIPI. hlm 10. Woinarski JCZ et al. 2006. Distributional Patterns of Plant Species Endemic to the Northern Territory, Australia. Australian Journal of Botany 54:627-640.
76 Lampiran 1 Daftar spesies pada seluruh fase vegetasi yang ditemukan dalam plot pengamatan di Cagar Alam Pulau Sempu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
SPECIES Acmena acuminatissima Acronychia sp. Actinodaphne glomerata Adenanthera pavonina Aglaia elliptica Aglaia lawii Aglaia oppositifolia Aglaia sp. Antidesma bunius Antidesma ghaesembilla Ardisia crispa Ardisia humilis Ardisia sp. Artocarpus elasticus Baccaurea dulcis Barringtonia racemosa Blumeodendron tokbrai Bouea macrophylla Buchanania arborescens Canarium hirsutum Canarium oleosum Canthium glabrum Carallia brachiata Carmona retusa Celastrus sp. Celtis australis Cinnamommum iners Cleistanthus myrianthus Cleistanthus subcordatus Combretum grandiflorum Corypha utan Cryptocarya ferrea Dacryodes rugosa Dehaasia caesia Derris acuminata Derris sp. Diospyros cauliflora Diospyros frutescens Diospyros macrophylla Diospyros malabarica Diospyros maritima Diospyros sp. Diospyros truncata Drypetes ovalis Drypetes sp. Dysoxylum gaudichaudianum Dysoxylum parasiticum Dysoxylum sp. Euphorbiaceae Ficus albipila Ficus benjamina Ficus callophylla Ficus drupacea Ficus hispida Ficus septica Flacourtia innermis Garcinia balica
AUTHOR (Blume) Merr. & L.M.Perry Forst. (Bl.) Nees L. Blume (Wight)Saldanha ex Ramamoorthy
(l.) Spreng. Gaertn. (Thunb.) A.DC. Vahl. Reinw. Ex Blume (Jack)Mull.Arg. (l.) Spreng. (Bl.) Kurtz Griff. (Blume) Blume Willd. (Lam.) Engl. Blume (Lour.) Merr. (Vahl) Masam. L. L. Reinw. Ex Blume (Hassk.)Kurz (J.J.Sab.) Jabl G. Don Lam. Blume (Blume) H.J.Lam Blume Benth. Blume Blume Blume (Desr.) Kostel. Blume Zoll. & Mor. (J.J.Sm.) Pax & Hoffm. (A.Juss.)Miq. (Osbeck) Kosterm.
(Miq.) King L. Blume Thunb. Roxb. ex Wall. Hook.ex Miq. Roxb. Miq.
FAMILI Myrtaceae Rutaceae Lauraceae Mimosaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Moraceae Euphorbiaceae Lecythidaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Burseraceae Burseraceae Rubiaceae Rhizophoraceae Boraginaceae Celastraceae Ulmaceae Lauraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Combretaceae Arecaceae Lauraceae Burseraceae Lauraceae Papilionaceae Papilionaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Euphorbiaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Flacourtiaceae Clusiaceae
77 Lampiran 1 (lanjutan) No.
SPECIES
58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Garcinia celebica Glochidion molle Glochidion obscurum Glycosmis pentaphylla Gonocaryum diospyrosifolium Guioa diplopetala Harpullia arborea Harrisonia pervorata Heritiera javanica Ixora javanica Ixora simalurensis Knema glauca Knema laurina Leea angulata Lepisanthes rubiginosa Litsea glutinosa Lophopetalum javanicum Macaranga sp. Magnolia candollii Mallotus floribundus Mallotus sp. Mallotus moritzianus Malphigia punicifolia Mangifera indica Maranthes corymbosa Memecylon floribundum Microceros tomentosa Mitrephora polypyrena Murraya sp. Myristica teijsmannii Nauclea sp. Orophea enneandra Orophea hexandra Peltophorum pterocarpum Pentace polyantha Phaleria octandra Planchonella sp. Polyalthya lateriflora Polyalthya rumpfii Pouteria sp. Prunus javanicus Psychotria sp. Pterocymbium javanicum Pterospermum diversifolium Pterospermum javanicum Radermachera glandulosa Rauvolfia sumatrana Salacia chinensis Sandoricum koetjape Schefflera elliptica Schoutenia ovata Sindora javanica Spondias pinnata Sterculia coccinea Sterculia macrophylla Streblus asper Streblus spinosus Syzygium javanicum
AUTHOR L. Blume Blume (Retz.) Corrêa. Hayata (Hassk.) Radlk. (Blanco) Radlk. (Blanco) Merr. (Blume) Kosterm. (Blume) DC Brenuk. (Bl.) Warb (Bl.) Warb. Korth. Ex.Miq. (Roxb.)Leenh. (Lour.) C.B.Rob. (Zoll.) Turcz. Plum. ex L. (Blume) H.Keng (Bl.)Mull.Arg. Mull.Arg. Thou. L. Blume Blume Sm. (Bl.) Miq. Miq. Blume Blume (DC.) K.Heyne Hassk. (L.) Baill. Pierre (Bl.) King (Blume ex Hensch.) Merr. (Teijsm.&Binn.)Miq. R.Br. Blume Jungh. (Blume) Miq. Jack. L. (Burm.f.) Merr. Harms Korth. (K. & V.) Backer Kurz. (K. & V.) Backer Vent. Lour. (Blume) Corner Miq.
FAMILI Clusiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Rutaceae Icacinaceae Sapindaceae Sapindaceae Simaroubaceae Sterculiaceae Rubiaceae Rubiaceae Myristicaceae Myristicaceae Leeaceae Sapindaceae Lauraceae Celastraceae Euphorbiaceae Magnoliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Malpighiaceae Anacardiaceae Chrysobalanaceae Melastomataceae Tiliaceae Annonaceae Rutaceae Myristicaceae Rubiaceae Annonaceae Annonaceae Caesalpiniaceae Tiliaceae Thymelaeaceae Sapotaceae Annonaceae Annonaceae Sapotaceae Rosaceae Rubiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Bignoniaceae Apocynaceae Hippocrateaceae Meliaceae Araliaceae Tiliaceae Caesalpiniaceae Anacardiaceae Caesalpiniaceae Sterculiaceae Moraceae Moraceae Myrtaceae
78 Lampiran 1 (lanjutan) No. 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128
SPECIES Syzygium polyanthum Syzygium sp. Syzygium syzygioides Terminalia bellirica Terminalia microcarpa Terminalia subspathulata Tetracera scandens Toona sureni Trifalvaria macrophylla Uvaria purpurea Vitex glabrata Xanthophyllum vitellinum Ziziphus oenoplia
AUTHOR (Wight) Walp (Miq.) Amshoff (Gaertn.) Roxb. Decne King (L.) Merr. (Blume) Merr. (Bl.) Miq. Blume R.Br. (Bl.) Dietr. (L.) Mill.
FAMILI Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Combretaceae Combretaceae Combretaceae Dilleniaceae Meliaceae Annonaceae Annonaceae Verbenaceae Polygalaceae Rhamnaceae
79 Lampiran 2
Morfologi Myristica teijsmannii
Biji M. teijsmannii
Apical bud
Individu yang berhasil disemai dari biji M. teijsmannii dari Cagar Alam P. Sempu, sekarang menjadi koleksi Kebun Raya Bogor yang pertama.
80 Lampiran 3 Gambaran kondisi umum Cagar Alam Pulau Sempu, Jawa Timur
Kawasan Telaga Lele.
Hutan di kawasan Air Tawar (tanda panah menunjukkan gua sumber air tawar).
Hutan di kawasan Telaga Sat saat musim kemarau. Telaga telah dipenuhi oleh semak belukar.
81 Lampiran 3 (lanjutan)
Akar yang menembus batu karang (lokasi: Telaga Sat)
Teluk Semut. Kawasan hutan terdapat di sebelah dalam garis pantai setelah formasi mangrove.
Tipe batuan di kawasan pantai sebelah selatan Cagar Alam Pulau Sempu.
Tipe batu karang yang mendominasi kawasan hutan Cagar Alam Pulau Sempu.
82 Lampiran 3 (lanjutan)
Papan nama CA Pulau Sempu yang tidak terpelihara.
Team Ekspedisi Myristica teijsmannii di depan kantor Resort CA Pulau Sempu, Sendang Biru - Malang Kiri ke kanan: Matrani, Dwinarko (KR Purwodadi), Joko (BKSDA), Rosniati A. Risna, Cecep Suryana (KR Bogor), Setiadi, Soejoto (BKSDA).
83 Lampiran 4
NO
Hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu (diseleksi dari 10 nilai kerapatan individu tertinggi )
SPECIES
POHON 1 Myristica teijsmannii 2 Pterospermum diversifolium 3 Pterospermum javanicum 4 Terminalia bellirica 5 Drypetes ovalis 6 Acmena acuminatissima 7 Aglaia elliptica 8 Artocarpus elasticus 9 Vitex glabrata 10 Garcinia celebica TIANG 1 Mitrephora polypyrena 2 Garcinia celebica 3 Drypetes ovalis 4 Pterospermum diversifolium 5 Aglaia elliptica 6 Myristica teijsmannii 7 Lophopetalum javanicum 8 Diospyros truncata 9 Polyalthya lateriflora 10 Streblus asper SAPLING 1 Mallotus floribundus 2 Mitrephora polypyrena 3 Drypetes ovalis 4 Garcinia celebica 5 Glochidion obscurum 6 Aglaia lawii 7 Orophea hexandra 8 Polyalthya lateriflora 9 Canthium glabrum 10 Diospyros truncata 23 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Mallotus floribundus 2 Drypetes ovalis 3 Garcinia celebica 4 Mitrephora polypyrena 5 Polyalthya lateriflora 6 Diospyros truncata 7 Glochidion obscurum 8 Aglaia lawii 9 Orophea hexandra 10 Diospyros cauliflora 17 Myristica teijsmannii
Jumlah individu
D (m2)
F
82 78 62 28 27 26 26 26 25 24
20.494 21.077 20.049 10.844 4.588 5.824 5.254 13.942 8.434 5.184
0.25 0.33 0.25 0.17 0.11 0.15 0.14 0.17 0.11 0.13
93 84 60 58 53 39 33 25 25 25
1.25 1.18 0.66 0.92 0.75 0.62 0.50 0.37 0.33 0.29
206 198 148 96 96 69 69 67 56 206 26 152 83 48 40 33 30 28 27 27 25 11
K
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
13.67 13.00 10.33 4.67 4.50 4.33 4.33 4.33 4.17 4.00
11.36 10.80 8.59 3.88 3.74 3.60 3.60 3.60 3.46 3.32
6.92 9.11 6.92 4.55 3.10 4.01 3.83 4.55 2.91 3.64
11.36 10.80 8.59 3.88 3.74 3.60 3.60 3.60 3.46 3.32
27.91 29.82 24.93 13.53 8.99 10.35 9.90 14.71 10.34 9.40
0.42 0.39 0.30 0.29 0.20 0.16 0.17 0.12 0.14 0.13
60.78 54.90 39.22 37.91 34.64 25.49 21.57 16.34 16.34 16.34
9.74 9.17 5.13 7.20 5.83 4.81 3.89 2.88 2.53 2.24
8.91 8.22 6.41 6.27 4.32 3.48 3.62 2.51 2.92 2.79
10.10 9.12 6.51 6.30 5.75 4.23 3.58 2.71 2.71 2.71
28.75 26.51 18.05 19.76 15.90 12.52 11.10 8.11 8.17 7.74
4.16 5.64 4.67 2.95 2.92 1.95 1.61 1.56 1.61 1.48 0.94
0.49 0.58 0.48 0.43 0.27 0.37 0.28 0.31 0.31 0.49 0.11
549.33 528.00 394.67 256.00 256.00 184.00 184.00 178.67 149.33 549.33 69.33
8.15 11.04 9.15 5.77 5.71 3.82 3.16 3.06 3.15 8.15 1.85
6.17 7.35 6.09 5.41 3.47 4.73 3.55 3.89 3.97 6.17 1.35
10.70 10.29 7.69 4.99 4.99 3.58 3.58 3.48 2.91 10.70 1.35
25.03 28.68 22.92 16.17 14.16 12.13 10.29 10.43 10.03 25.03 4.55
1.398 0.842 0.483 0.491 0.307 0.35 0.316 0.305 0.233 0.288 0.131
0.49 0.33 0.29 0.15 0.21 0.17 0.13 0.17 0.15 0.17 0.06
2533.33 1383.33 800.00 666.67 550.00 500.00 466.67 450.00 450.00 416.67 183.33
17.26 10.39 5.96 6.06 3.79 4.32 3.91 3.77 2.87 3.55 1.62
11.91 7.99 7.18 3.59 5.06 4.24 3.26 4.08 3.75 4.08 1.47
18.67 10.20 5.90 4.91 4.05 3.69 3.44 3.32 3.32 3.07 1.35
47.84 28.58 19.03 14.56 12.90 12.24 10.61 11.17 9.94 10.70 4.44
(Σ ind/ha)
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
77 Lampiran 5 Hasil analisis vegetasi pada enam lokasi penelitian di CA Pulau Sempu (diseleksi dari 10 nilai kerapatan individu tertinggi) A. Telaga Lele NO
SPECIES
POHON 1 Pterospermum diversifolium 2 Pterospermum javanicum 3 Terminalia bellirica 4 Canarium hirsutum 5 Diospyros truncata 6 Drypetes ovalis 7 Polyalthya rumpfii 8 Acmena acuminatissima 9 Aglaia lawii 10 Artocarpus elasticus 22 Myristica teijsmannii TIANG 1 Mitrephora polypyrena 2 Pterospermum diversifolium 3 Garcinia celebica 4 Drypetes ovalis 5 Polyalthya lateriflora 6 Aglaia lawii 7 Blumeodendron tokbrai 8 Diospyros truncata 9 Macaranga sp. 10 Acmena acuminatissima 28 Myristica teijsmannii SAPLING 1 Mitrephora polypyrena 2 Mallotus floribundus 3 Drypetes sp. 4 Blumeodendron tokbrai 5 Aglaia lawii 6 Dehaasia caesia 7 Drypetes ovalis 8 Canthium glabrum 9 Mallotus javanicus 10 Diospyros cauliflora 33 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Mallotus floribundus 2 Mitrephora polypyrena 3 Drypetes ovalis 4 Diospyros cauliflora 5 Aglaia lawii 6 Canthium glabrum 7 Xanthophyllum vitellinum 8 Buchanania arborescens 9 Orophea enneandra 10 Diospyros truncata
Jumlah individu
D (m2)
F
30 15 6 5 5 5 5 4 4 4 2
0.986 0.424 0.188 0.703 0.350 1.917 0.279 0.353 1.133 0.157 0.738
0.607 0.357 0.214 0.179 0.143 0.143 0.179 0.143 0.143 0.107 0.071
18 16 14 10 8 7 6 6 6 5 2
0.274 0.275 0.161 0.097 0.105 0.083 0.071 0.071 0.082 0.075 0.030
50 39 26 19 18 16 14 13 12 10 1 28 18 22 11 10 7 5 3 6 4
K
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
26.79 13.39 5.36 4.46 4.46 4.46 4.46 3.57 3.57 3.57 1.79
2.63 1.13 0.50 1.87 0.93 5.11 0.74 0.94 3.02 0.42 1.97
16.19 9.52 5.71 4.76 3.81 3.81 4.76 3.81 3.81 2.86 1.90
23.26 11.63 4.65 3.88 3.88 3.88 3.88 3.10 3.10 3.10 1.55
42.07 22.28 10.87 10.51 8.62 12.80 9.38 7.85 9.93 6.38 5.42
0.429 0.500 0.429 0.357 0.286 0.214 0.071 0.143 0.179 0.143 0.036
64.3 57.1 50.0 35.7 28.6 25.0 21.4 21.4 21.4 17.9 7.1
12.18 12.23 7.18 4.33 4.69 3.67 3.16 3.14 3.67 3.33 1.332
8.96 10.45 8.96 7.46 5.97 4.48 1.49 2.99 3.73 2.99 0.746
11.32 10.06 8.81 6.29 5.03 4.40 3.77 3.77 3.77 3.14 1.258
32.45 32.74 24.94 18.08 15.69 12.55 8.43 9.90 11.17 9.46 3.336
1.207 0.770 0.373 0.447 0.385 0.549 0.395 0.307 0.281 0.149 0.063
0.54 0.32 0.43 0.07 0.50 0.18 0.29 0.43 0.11 0.32 0.04
714.29 557.14 371.43 271.43 257.14 228.57 200.00 185.71 171.43 142.86 14.29
17.03 10.87 5.27 6.32 5.43 7.74 5.58 4.34 3.97 2.10 0.88
9.04 5.42 7.23 1.20 8.43 3.01 4.82 7.23 1.81 5.42 0.60
15.87 12.38 8.25 6.03 5.71 5.08 4.44 4.13 3.81 3.17 0.32
41.94 28.68 20.75 13.55 19.58 15.83 14.84 15.69 9.59 10.70 1.80
0.34 0.25 0.24 0.15 0.14 0.09 0.07 0.06 0.06 0.05
0.39 0.21 0.46 0.39 0.36 0.25 0.14 0.07 0.21 0.14
2500.00 1607.14 1964.29 982.14 892.86 625.00 446.43 267.86 535.71 357.14
17.91 13.37 12.57 7.97 7.59 4.80 3.90 3.21 3.21 2.85
10.28 5.61 12.15 10.28 9.35 6.54 3.74 1.87 5.61 3.74
18.54 11.92 14.57 7.28 6.62 4.64 3.31 1.99 3.97 2.65
46.74 30.90 39.28 25.53 23.56 15.98 10.95 7.06 12.79 9.23
(Σ ind/ha)
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
78 Lampiran 5 (lanjutan) B. Waru-waru No.
SPECIES
POHON 1 Myristica teijsmannii 2 Pterospermum diversifolium 3 Polyalthya rumpfii 4 Terminalia bellirica 5 Garcinia celebica 6 Lophopetalum javanicum 7 Aglaia elliptica 8 Cryptocarya ferrea 9 Knema glauca 10 Maranthes corymbosa TIANG 1 Aglaia elliptica 2 Polyalthya rumpfii 3 Garcinia celebica 4 Lophopetalum javanicum 5 Mitrephora polypyrena 6 Myristica teijsmannii 7 Polyalthya lateriflora 8 Pterospermum diversifolium 9 Drypetes ovalis 10 Orophea hexandra SAPLING 1 Mitrephora polypyrena 2 Drypetes ovalis 3 Mallotus floribundus 4 Orophea hexandra 5 Garcinia celebica 6 Polyalthya lateriflora 7 Pentace polyantha 8 Mallotus javanicus 9 Aglaia lawii 10 Prunus javanicus 15 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Garcinia celebica 2 Mallotus floribundus 3 Polyalthya lateriflora 4 Orophea hexandra 5 Drypetes ovalis 6 Diospyros truncata 7 Aglaia lawii 8 Pentace polyantha 9 Acmena acuminatissima 10 Diospyros cauliflora 11 Myristica teijsmannii
Jumlah individu
D (m2)
F
K (Σ ind/ha)
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
36 15 10 10 9 9 8 6 6 6
8.91 4.89 2.18 3.85 1.76 1.63 1.49 1.04 1.28 2.92
0.48 0.32 0.26 0.29 0.23 0.23 0.13 0.13 0.13 0.19
29.03 12.10 8.06 8.06 7.26 7.26 6.45 4.84 4.84 4.84
17.73 9.74 4.35 7.67 3.50 3.24 2.97 2.08 2.56 5.82
11.28 7.52 6.02 6.77 5.26 5.26 3.01 3.01 3.01 4.51
19.67 8.20 5.46 5.46 4.92 4.92 4.37 3.28 3.28 3.28
48.68 25.45 15.83 19.90 13.68 13.42 10.35 8.37 8.84 13.61
15 15 13 12 11 10 10 9 8 7
0.282 0.253 0.190 0.209 0.153 0.180 0.132 0.157 0.139 0.075
0.226 0.290 0.290 0.290 0.194 0.290 0.194 0.226 0.226 0.161
48.39 48.39 41.94 38.71 35.48 32.26 32.26 29.03 25.81 22.58
9.68 8.67 6.53 7.16 5.27 6.19 4.52 5.40 4.78 2.58
5.07 6.52 6.52 6.52 4.35 6.52 4.35 5.07 5.07 3.62
8.33 8.33 7.22 6.67 6.11 5.56 5.56 5.00 4.44 3.89
23.09 23.52 20.27 20.35 15.73 18.27 14.43 15.47 14.30 10.09
51 39 46 36 28 28 16 17 16 18 10
1.51 0.95 0.85 0.80 0.54 0.46 0.38 0.38 0.35 0.34 0.23
0.52 0.68 0.52 0.52 0.65 0.58 0.23 0.16 0.45 0.35 0.16
658.06 503.23 593.55 464.52 361.29 361.29 206.45 219.35 206.45 232.26 129.03
14.56 9.18 8.16 7.67 5.19 4.39 3.68 3.63 3.32 3.29 2.22
5.28 6.93 5.28 5.28 6.60 5.94 2.31 1.65 4.62 3.63 1.65
14.56 9.18 8.16 7.67 5.19 4.39 3.68 3.63 3.32 3.29 2.22
34.41 25.28 21.59 20.62 16.99 14.72 9.67 8.91 11.26 10.22 6.10
19 22 17 10 12 9 7 6 6 5 3
0.181 0.16 0.144 0.098 0.09 0.076 0.069 0.063 0.055 0.049 0.049
0.60 0.50 0.57 0.27 0.33 0.27 0.23 0.20 0.17 0.17 0.07
1583.33 1833.33 1416.67 833.33 1000.00 750.00 583.33 500.00 500.00 416.67 250.00
11.93 10.53 9.47 6.42 5.93 5.02 4.53 4.12 3.62 3.21 3.21
11.46 9.55 10.83 5.10 6.37 5.10 4.46 3.82 3.18 3.18 1.27
10.80 12.50 9.66 5.68 6.82 5.11 3.98 3.41 3.41 2.84 1.70
34.19 32.59 29.95 17.20 19.11 15.23 12.96 11.35 10.22 9.24 6.19
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
79 Lampiran 5 (lanjutan) C. Telaga Sat SPECIES NO. POHON 1 Vitex glabrata 2 Pterospermum diversifolium 3 Macaranga sp. 4 Artocarpus elasticus 5 Mitrephora polypyrena 6 Diospyros truncata 7 Garcinia celebica 8 Myristica teijsmannii 9 Pouteria sp. 10 Sindora javanica TIANG 1 Garcinia celebica 2 Streblus asper 3 Mitrephora polypyrena 4 Drypetes ovalis 5 Diospyros truncata 6 Macaranga sp. 7 Pterospermum diversifolium 8 Lophopetalum javanicum 9 Acmena acuminatissima 10 Euphorbiaceae 17 Myristica teijsmannii SAPLING 1 Streblus asper 2 Mallotus floribundus 3 Macaranga sp. 4 Mitrephora polypyrena 5 Cleistanthus subcordatus 6 Diospyros truncata 7 Garcinia celebica 8 Canthium glabrum 9 Drypetes ovalis 10 Glochidion obscurum SEMAI 1 Mallotus floribundus 2 Drypetes ovalis 3 Mitrephora polypyrena 4 Diospyros truncata 5 Macaranga sp. 6 Cleistanthus subcordatus 7 Streblus asper 8 Garcinia celebica 9 Orophea enneandra 10 Glochidion molle
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
21.88 13.54 6.25 5.21 5.21 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17
20.17 9.80 3.31 9.49 2.48 2.38 2.06 2.10 2.76 4.00
14.63 9.76 2.44 6.10 6.10 3.66 4.88 2.44 3.66 3.66
19.63 12.15 5.61 4.67 4.67 3.74 3.74 3.74 3.74 3.74
54.43 31.70 11.35 20.26 13.25 9.78 10.68 8.28 10.15 11.40
0.583 0.375 0.333 0.375 0.25 0.208 0.208 0.167 0.208 0.083 0.083
87.50 54.17 50.00 41.67 37.50 33.33 33.33 25.00 20.83 20.83 12.50
13.67 7.41 8.04 5.03 6.95 4.26 5.58 3.67 2.95 2.12 2.28
11.48 7.38 6.56 7.38 4.92 4.10 4.10 3.28 4.10 1.64 1.64
13.29 8.23 7.59 6.33 5.70 5.06 5.06 3.80 3.16 3.16 1.90
38.44 23.02 22.20 18.73 17.56 13.42 14.75 10.74 10.21 6.92 5.82
0.75 0.71 0.52 0.52 0.48 0.48 0.42 0.34 0.28 0.24
0.33 0.67 0.25 0.38 0.17 0.42 0.29 0.29 0.33 0.21
350.00 666.67 350.00 350.00 333.33 300.00 200.00 166.67 200.00 150.00
11.06 10.51 7.71 7.62 7.12 7.09 6.11 5.02 4.10 3.53
4.94 9.88 3.70 5.56 2.47 6.17 4.32 4.32 4.94 3.09
7.55 14.39 7.55 7.55 7.19 6.47 4.32 3.60 4.32 3.24
23.55 34.77 18.97 20.73 16.79 19.73 14.75 12.94 13.36 9.86
0.26 0.12 0.11 0.09 0.06 0.05 0.06 0.04 0.05 0.03
0.54 0.33 0.21 0.25 0.17 0.17 0.13 0.21 0.17 0.08
2812.50 1145.83 1041.67 833.33 833.33 729.17 625.00 520.83 520.83 416.67
20.69 9.12 8.67 6.86 4.71 3.63 5.00 3.43 4.22 2.25
14.29 8.79 5.49 6.59 4.40 4.40 3.30 5.49 4.40 2.20
20.77 8.46 7.69 6.15 6.15 5.38 4.62 3.85 3.85 3.08
55.74 26.37 21.85 19.61 15.26 13.41 12.91 12.77 12.46 7.53
Jumlah individu
D (m2)
F
21 13 6 5 5 4 4 4 4 4
7.38 3.59 1.21 3.47 0.91 0.87 0.75 0.77 1.01 1.46
0.50 0.33 0.08 0.21 0.21 0.13 0.17 0.08 0.13 0.13
21 13 12 10 9 8 8 6 5 5 3
0.308 0.167 0.181 0.113 0.157 0.096 0.126 0.083 0.067 0.048 0.051
21 40 21 21 20 18 12 10 12 9 27 11 10 8 8 7 6 5 5 4
K (Σ ind/ha)
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
80 Lampiran 5 (lanjutan) D. Air Tawar SPECIES NO. POHON 1 Pterospermum javanicum 2 Myristica teijsmannii 3 Pterospermum diversifolium 4 Artocarpus elasticus 5 Aglaia elliptica 6 Acmena acuminatissima 7 Buchanania arborescens 8 Terminalia bellirica 9 Maranthes corymbosa 10 Mitrephora polypyrena TIANG 1 Drypetes ovalis 2 Garcinia celebica 3 Pterospermum diversifolium 4 Glochidion obscurum 5 Mitrephora polypyrena 6 Diospyros truncata 7 Canthium glabrum 8 Streblus asper 9 Cleistanthus subcordatus 10 Baccaurea dulcis SAPLING 1 Mallotus floribundus 2 Mitrephora polypyrena 3 Garcinia celebica 4 Aglaia lawii 5 Pentace polyantha 6 Aglaia elliptica 7 Canthium glabrum 8 Cryptocarya ferrea 9 Drypetes ovalis 10 Polyalthya lateriflora 22 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Mallotus floribundus 2 Aglaia elliptica 3 Garcinia celebica 4 Pterospermum diversifolium 5 Ardisia crispa 6 Drypetes ovalis 7 Glochidion obscurum 8 Macaranga sp. 9 Pentace polyantha 10 Psychotria sp. 12 Myristica teijsmannii
Jumlah individu
D (m2)
F
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
22 17 10 7 6 5 5 5 4 4
5.99 4.70 2.56 2.69 1.37 1.33 1.30 1.57 1.45 0.86
0.46 0.38 0.25 0.29 0.25 0.17 0.17 0.17 0.08 0.13
22.92 17.71 10.42 7.29 6.25 5.21 5.21 5.21 4.17 4.17
18.87 14.79 8.06 8.46 4.33 4.18 4.10 4.95 4.55 2.70
12.36 10.11 6.74 7.87 6.74 4.49 4.49 4.49 2.25 3.37
18.33 14.17 8.33 5.83 5.00 4.17 4.17 4.17 3.33 3.33
49.56 39.07 23.14 22.16 16.07 12.84 12.77 13.61 10.13 9.40
23 10 10 9 9 7 4 4 3 2
0.211 0.159 0.156 0.093 0.108 0.080 0.038 0.037 0.034 0.031
0.6 0.3 0.4 0.35 0.4 0.25 0.15 0.15 0.1 0.1
115.00 50.00 50.00 45.00 45.00 35.00 20.00 20.00 15.00 10.00
16.30 12.33 12.06 7.19 8.37 6.21 2.96 2.83 2.66 2.40
15.19 7.59 10.13 8.86 10.13 6.33 3.80 3.80 2.53 2.53
21.10 9.17 9.17 8.26 8.26 6.42 3.67 3.67 2.75 1.83
52.59 29.10 31.36 24.31 26.76 18.96 10.42 10.29 7.95 6.76
38 27 22 16 13 12 12 11 10 10 5
0.825 0.848 0.75 0.53 0.505 0.37 0.393 0.413 0.27 0.328 0.245
0.63 0.79 0.58 0.46 0.25 0.38 0.42 0.42 0.38 0.33 0.21
633.33 450.00 366.67 266.67 216.67 200.00 200.00 183.33 166.67 166.67 83.33
8.87 9.11 8.06 5.70 5.43 3.98 4.22 4.43 2.90 3.52 2.63
6.67 8.44 6.22 4.89 2.67 4.00 4.44 4.44 4.00 3.56 2.22
12.75 9.06 7.38 5.37 4.36 4.03 4.03 3.69 3.36 3.36 1.68
28.29 26.61 21.67 15.95 12.46 12.00 12.69 12.57 10.26 10.43 6.53
43 16 9 5 4 4 4 4 4 4 3
0.32 0.12 0.09 0.03 0.05 0.04 0.04 0.03 0.04 0.02 0.02
0.58 0.50 0.29 0.08 0.17 0.13 0.13 0.08 0.13 0.13 0.08
4479.17 1666.67 937.50 520.83 416.67 416.67 416.67 416.67 416.67 416.67 312.50
26.56 9.90 7.19 2.60 4.48 3.13 3.54 2.71 3.65 1.77 1.88
15.05 12.90 7.53 2.15 4.30 3.23 3.23 2.15 3.23 3.23 2.15
30.28 11.27 6.34 3.52 2.82 2.82 2.82 2.82 2.82 2.82 2.11
71.90 34.07 21.05 8.28 11.60 9.17 9.58 7.68 9.69 7.81 6.14
K (Σ ind/ha)
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
81
Lampiran 5 (lanjutan) E. Gua Macan NO.
SPECIES
POHON 1 Myristica teijsmannii 2 Maranthes corymbosa 3 Pterospermum javanicum 4 Acmena acuminatissima 5 Mitrephora polypyrena 6 Syzygium syzygoides 7 Aglaia elliptica 8 Pterospermum diversifolium 9 Artocarpus elasticus 10 Buchanania arborescens TIANG 1 Mitrephora polypyrena 2 Aglaia elliptica 3 Drypetes ovalis 4 Myristica teijsmannii 5 Garcinia celebica 6 Pterospermum diversifolium 7 Acmena acuminatissima 8 Cryptocarya ferrea 9 Glochidion obscurum 10 Prunus javanicus SAPLING 1 Drypetes ovalis 2 Mitrephora polypyrena 3 Mallotus floribundus 4 Glochidion obscurum 5 Glochidion molle 6 Polyalthya lateriflora 7 Prunus javanicus 8 Cryptocarya ferrea 9 Orophea hexandra 10 Garcinia celebica 17 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Mallotus floribundus 2 Glochidion obscurum 3 Drypetes ovalis 4 Mitrephora polypyrena 5 Polyalthya lateriflora 6 Garcinia celebica 7 Diospyros malabarica 8 Prunus javanicus 9 Aglaia lawii 10 Diospyros cauliflora 23 Myristica teijsmannii
Jumlah individu
D (m2)
F
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
14 7 7 6 5 5 4 4 3 3
3.452 3.974 2.922 1.115 1.508 2.215 0.762 1.013 2.325 0.990
0.261 0.304 0.261 0.174 0.130 0.174 0.174 0.174 0.130 0.130
15.217 7.609 7.609 6.522 5.435 5.435 4.348 4.348 3.261 3.261
7.595 8.861 7.595 5.063 3.797 5.063 5.063 5.063 3.797 3.797
7.595 8.861 7.595 5.063 3.797 5.063 5.063 5.063 3.797 3.797
14.433 7.216 7.216 6.186 5.155 5.155 4.124 4.124 3.093 3.093
29.623 24.938 22.406 16.312 12.750 15.281 14.250 14.250 10.688 10.688
19 13 11 10 9 9 5 5 5 5
0.247 0.172 0.092 0.163 0.142 0.144 0.128 0.047 0.062 0.053
0.565 0.304 0.261 0.174 0.217 0.348 0.217 0.174 0.130 0.217
82.609 56.522 47.826 43.478 39.130 39.130 21.739 21.739 21.739 21.739
12.981 9.057 4.821 8.550 7.483 7.558 6.703 2.460 3.272 2.807
12.264 6.604 5.660 3.774 4.717 7.547 4.717 3.774 2.830 4.717
13.194 9.028 7.639 6.944 6.250 6.250 3.472 3.472 3.472 3.472
38.439 24.689 18.121 19.268 18.450 21.355 14.892 9.706 9.574 10.996
37 31 28 22 14 13 13 11 11 10 6
1.28 0.96 0.66 0.67 0.58 0.32 0.39 0.30 0.28 0.49 0.27
0.57 0.65 0.43 0.35 0.17 0.30 0.35 0.30 0.35 0.35 0.09
643.48 539.13 486.96 382.61 243.48 226.09 226.09 191.30 191.30 173.91 104.35
13.12 9.87 6.75 6.90 5.90 3.27 4.02 3.10 2.85 5.03 2.73
7.34 8.47 5.65 4.52 2.26 3.95 4.52 3.95 4.52 4.52 1.13
12.29 10.30 9.30 7.31 4.65 4.32 4.32 3.65 3.65 3.32 1.99
32.76 28.64 21.70 18.73 12.81 11.55 12.85 10.71 11.02 12.87 5.86
23 11 10 7 7 6 5 5 4 4 1
0.23 0.11 0.10 0.08 0.07 0.06 0.06 0.04 0.05 0.04 0.01
0.52 0.26 0.26 0.30 0.22 0.26 0.22 0.22 0.13 0.17 0.04
2500.00 1195.65 1086.96 760.87 760.87 652.17 543.48 543.48 434.78 434.78 108.70
20.24 9.79 8.92 6.75 6.42 5.44 5.55 3.48 3.92 3.48 1.09
13.33 6.67 6.67 7.78 5.56 6.67 5.56 5.56 3.33 4.44 1.11
19.66 9.40 8.55 5.98 5.98 5.13 4.27 4.27 3.42 3.42 0.85
53.23 25.86 24.14 20.51 17.96 17.24 15.38 13.31 10.67 11.35 3.05
K (Σ ind/ha)
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
82
Lampiran 5 (lanjutan) F. Teluk Semut NO.
SPECIES
POHON 1 Drypetes ovalis 2 Pterospermum javanicum 3 Myristica teijsmannii 4 Acmena acuminatissima 5 Pterospermum diversifolium 6 Aglaia elliptica 7 Garcinia celebica 8 Maranthes corymbosa 9 Artocarpus elasticus 10 Knema laurina TIANG 1 Drypetes ovalis 2 Garcinia celebica 3 Glochidion obscurum 4 Mitrephora polypyrena 5 Aglaia elliptica 6 Myristica teijsmannii 7 Orophea hexandra 8 Cleistanthus subcordatus 9 Diospyros truncata 10 Pterospermum diversifolium SAPLING 1 Glochidion obscurum 2 Drypetes ovalis 3 Mitrephora polypyrena 4 Garcinia celebica 5 Mallotus floribundus 6 Diospyros truncata 7 Pterospermum diversifolium 8 Aglaia lawii 9 Lophopetalum javanicum 10 Cleistanthus myrianthus 16 Myristica teijsmannii SEMAI 1 Drypetes ovalis 2 Glochidion obscurum 3 Mallotus floribundus 4 Diospyros truncata 5 Garcinia celebica 6 Orophea hexandra 7 Cleistanthus myrianthus 8 Diospyros cauliflora 9 Mitrephora polypyrena 10 Myristica teijsmannii
Jumlah individu
D (m2)
F
K (Σ ind/ha)
DR (%)
FR (%)
KR (%)
INP
12 12 9 6 6 5 5 5 3 3
1.932 3.487 2.325 1.068 1.861 0.942 0.982 2.435 2.073 0.675
0.25 0.3 0.2 0.25 0.25 0.2 0.2 0.2 0.15 0.1
15.00 15.00 11.25 7.50 7.50 6.25 6.25 6.25 3.75 3.75
7.805 14.086 9.391 4.315 7.519 3.807 3.966 9.835 8.376 2.728
8.197 9.836 6.557 8.197 8.197 6.557 6.557 6.557 4.918 3.279
13.953 13.953 10.465 6.977 6.977 5.814 5.814 5.814 3.488 3.488
29.955 37.876 26.413 19.488 22.693 16.178 16.337 22.206 16.782 9.495
16 13 10 9 6 5 5 4 4 4
0.157 0.192 0.091 0.099 0.066 0.083 0.068 0.042 0.036 0.061
0.50 0.40 0.45 0.45 0.30 0.15 0.25 0.15 0.15 0.15
80.00 65.00 50.00 45.00 30.00 25.00 25.00 20.00 20.00 20.00
11.79 14.48 6.85 7.48 4.99 6.24 5.11 3.18 2.68 4.60
11.49 9.20 10.34 10.34 6.90 3.45 5.75 3.45 3.45 3.45
14.55 11.82 9.09 8.18 5.45 4.55 4.55 3.64 3.64 3.64
37.83 35.49 26.28 26.00 17.34 14.23 15.40 10.26 9.76 11.68
51 36 18 16 15 11 8 7 6 5 4
1.571 1.493 0.59 0.53 0.348 0.418 0.228 0.198 0.205 0.118 0.138
0.75 0.65 0.65 0.45 0.35 0.40 0.40 0.35 0.25 0.10 0.15
1020 720 360 320 300 220 160 140 120 100 80
20.32 19.32 7.64 6.86 4.50 5.40 2.94 2.56 2.65 1.52 1.78
10.00 8.67 8.67 6.00 4.67 5.33 5.33 4.67 3.33 1.33 2.00
21.16 14.94 7.47 6.64 6.22 4.56 3.32 2.90 2.49 2.07 1.66
51.48 42.92 23.77 19.50 15.39 15.30 11.60 10.13 8.48 4.93 5.44
24 9 9 6 6 6 5 4 4 4
0.260 0.114 0.088 0.090 0.070 0.065 0.030 0.040 0.040 0.048
0.45 0.35 0.4 0.25 0.25 0.3 0.1 0.2 0.2 0.2
3000 1125 1125 750 750 750 625 500 500 500
23.99 10.50 8.07 8.30 6.46 6.00 2.77 3.69 3.69 4.38
12.00 9.33 10.67 6.67 6.67 8.00 2.67 5.33 5.33 5.33
24.49 9.18 9.18 6.12 6.12 6.12 5.10 4.08 4.08 4.08
60.48 29.01 27.92 21.09 19.25 20.12 10.54 13.11 13.11 13.80
D=dominasi; F=frekuensi; K=kerapatan; DR=dominasi relatif; FR=frekuensi relatif; KR=kerapatan relatif; INP=indeks nilai penting; ind=individu.
Lampiran 6 Hasil uji chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan
NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
SPECIES Acmena acuminatissima Aglaia elliptica Aglaia lawii Aglaia oppositifolia Aglaia sp. Antidesma bunius Antidesma ghaesembilla Ardisia crispa Artocarpus elasticus Baccaurea dulcis Barringtonia racemosa Blumeodendron tokbrai Bouea macrophylla Buchanania arborescens Canarium hirsutum Canthium glabrum Carmonara retusa Celastrus lopopetalus Celtis australis Cinnamommum iners Cleistanthus myrianthus Cleistanthus subcordatus Combretum grandiflorum Cryptocarya ferrea Dehaasia caesia Derris sp. Diospyros cauliflora Diospyros frutescens Diospyros macrophylla Diospyros malabarica Diospyros maritima Diospyros sp. Diospyros truncata Drypetes ovalis Drypetes sp. Dysoxylum gaudichaudianum Dysoxylum sp. Euphorbiaceae Ficus benjamina Ficus callophylla Ficus hispida Ficus septica Flacourtia inermis Flacourtia innermis Garcinia balica Garcinia celebica Glochidion molle Glochidion obscurum Glycosmis pentaphylla Gonocaryum diospyrosifolium Guioa diplopetala Harpullia arborea
χ2 0.034 8.308* 0.008 0.029 4.220* 0.029 0.029 0.946 3.857* 0.840 2.723 0.236 0.029 7.255* 1.659 0.286 0.029 0.029 0.029 0.812 0.490 0.122 0.029 13.714* 2.256 0.029 0.011 0.236 0.029 4.714* 0.029 0.029 0.322 5.284* 2.444 0.236 1.054 0.029 0.190 0.029 1.054 0.812 0.559 0.137 1.959 1.164 0.066 0.099 0.029 0.122 3.496 0.029
NO. 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
SPECIES Harrisonia pervorata Heritiera javanica Ixora javanica Ixora smeruensis Knema glauca Knema laurina Leea angulata Lepisanthes rubiginosa Litsea glutinosa Lophopetalum javanicum Macaranga sp. Magnolia candollii Mallotus floribundus Mallotus javanicus Mallotus moritzianus Malphigia punicifolia Maranthes corymbosa Memecylon floribundum Microceros tomentosa Mitrephora polypyrena Murraya koeningii Orophea enneandra Orophea hexandra Peltophorum pterocarpum Pentace polyantha Planchonella sp. Polyalthya lateriflora Polyalthya rumpfii Pouteria sp. Prunus javanicus Psichotria sp. Pterocymbium javanicum Pterospermum diversifolium Pterospermum javanicum Rauvolfia sumatrana Salacia chinensis Sandoricum koetjape Sindora javanica Spondias pinnata Sterculia coccinea Streblus asper Streblus sumatrana Syzygium javanicum Syzygium syzygioides Terminalia bellirica Terminalia microcarpa Terminalia subspathulata Tetracera scandens Uvaria purpurea Vitex glabrata Xanthophyllum vitellinum Ziziphus aenophylla
83
χ2 0.029 0.490 2.256 0.029 3.298 9.714* 1.055 0.122 0.029 0.623 3.231 0.946 0.137 0.090 0.006 0.236 1.714 2.256 0.236 0.082 2.256 1.714 8.511* 0.029 0.754 0.236 5.444* 1.055 0.559 4.220* 0.236 0.029 0.286 12.623* 0.190 0.029 0.236 0.122 0.490 0.006 0.714 0.029 0.029 0.006 1.148 0.090 0.236 0.029 0.029 3.231 1.714 0.029
Catatan: * Signifikan pada taraf nyata α 0.05; df 1 (χ2 tabel 3,84). ** Hanya spesies yang memberikan nilai nyata diuji tingkat asosiasinya dengan Jaccard Index.