Ashadi
TATA RUANG
KAUMAN
Arsitektur UMJ Press
Ashadi, lahir 25 Pebruari 1966, di Cepu, Jawa Tengah. Pendidikan Tinggi: S1 Arsitektur UNDIP (1991), S2 Antropologi UI (2004), dan S3 Arsitektur UNPAR (2016). Ia aktif sebagai dosen di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FT-UMJ), sejak tahun 1993. Jabatan Struktural yang pernah dan sedang diemban yakni: Kepala Laboratorium Arsitektur FT-UMJ (1996-2000); Ketua Program Studi Arsitektur FT-UMJ (2000-2004 dan 2015-sekarang); Wakil Dekan FT-UMJ (2004-2006); Kepala Pusat Afiliasi, Kajian dan Riset Teknologi FTUMJ (2007-2011); Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis FT-UMJ (2011-2015). Kegiatan ilmiah yang pernah dan sedang dilakukan: Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, publikasi jurnal nasional maupun internasional, dan presentasi ilmiah pada forum-forum seminar skala nasional maupun internasional. Jabatan Fungsional Dosen terakhir: Lektor Kepala. Dalam 5 tahun terakhir, buku yang telah diterbitkan: Peradaban dan Arsitektur Dunia Kuno: SumeriaMesir-India (2016); Peradaban dan Arsitektur Klasik YunaniRomawi (2016); Peradaban dan Arsitektur Zaman Pertengahan: Byzantium, Kekristenan, Arab dan Islam (2016); dan Peradaban dan Arsitektur Modern (2016).
TATA RUANG
KAUMAN Ashadi
Penerbit Arsitektur UMJ Press 2017
TATA RUANG KAUMAN
|arsitekturUMJpress| | Penulis: ASHADI CETAKAN PERTAMA, AGUSTUS 2017 Hak Cipta Pada Penulis Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002 Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Desain Sampul Tata Letak
: Abu Ghozi : Abu Ghozi
Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan (KDT) ASHADI Tata Ruang Kauman Jumlah halaman 328
ISBN 978-602-74968-3-5 Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat 10510 Tetp. 021-4256024, Fax. 021-4256023 E-mail:
[email protected] Gambar Sampul: Kampung Langgar Dalem Kudus (Dokumentasi Penulis, 2016)
Dicetak dan dijilid di Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
ABSTRAK Dalam tata ruang kota tradisional Jawa, kampung Kauman memiliki arti yang sangat penting; ia hampir selalu menempati bagian di pusat kota, di sebelah barat alun-alun, di sekitar masjid jami’ atau masjid agung (besar). Tujuan penelitian ini adalah memahami tata ruang Kauman di kota Kudus, Jawa Tengah, dengan pendekatan antropologi arsitektural. Dalam tahapan analisis menggunakan pendekatan processual symbolic analysis, yaitu mengungkap makna melalui simbol-simbol berdasarkan tiga cara. Pertama, dari hasil interpretasi komunitas Kauman terhadap simbol-simbol yang diciptakan; kedua, dari cara komunitas Kauman menggunakan simbol-simbol dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya; dan ketiga, dari hubungan antar simbol yang diciptakan dan digunakan oleh komunitas Kauman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata ruang arsitektur Kauman telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, yang disertai dengan pergulatanpergulatan, melibatkan seluruh anggota komunitas Muslim, dalam rangka pemenuhan kebutuhan berkehidupan ekonomi, sosio-kultural, sosial kemasyarakatan, dan keagamaan, melalui simbol-simbol yang diciptakan dan digunakan. Kata Kunci: Kauman, Komunitas Muslim, Simbol, Tata Ruang.
KATA PENGANTAR Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya buku berjudul Tata Ruang Kauman bisa dirampungkan. Buku ini sebenarmya merupakan hasil format ulang Laporan Tesis berjudul Tata Ruang Arsitektur Kauman: Sebuah Kajian Antropologi-Arsitektur, yang disusun dalam rangka pengajuan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Magister dalam bidang Ilmu Antropologi, Universitas Indonesia. Selama pelaksanaan penelitian lapangan dan proses penyusunan, penyelesaian dan penyempurnaan tesis, saya telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini, saya dengan setulustulusnya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas), yang telah memberi bantuan dana pendidikan dan penelitian; (02) Perusahaan Rokok Jarum Kudus dan Sukun Kudus, yang telah memberi bantuan dana penelitian; (03) Prof. Drs. Amri Marzali, M.A., Ph.D., selaku Pembimbing tesis yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian lapangan dan penyusunan tesis; (04) Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M. Arch., Ph.D., selaku Penguji Ahli dalam acara
i
ii Sidang Tesis Program Pascasarjana Antropologi, tanggal 3 Pebruari 2004, yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan perbaikan terhadap naskah hasil penelitian tesis yang diujikan, baik berkaitan dengan aspek arsitektur maupun antropologi; (05) Drs. Achmad Fedyani Saifuddin, M.A., Ph.D., dan Dra. Endang Partrijunianti, M.A., selaku Ketua dan Sekretaris Sidang dalam acara Sidang Tesis Program Pascasarjana Antropologi, yang telah memberikan koreksi dan arahan perbaikan terhadap naskah hasil penelitian tesis yang diujikan, terutama berkaitan dengan aspek antropologi dan teknik-teknik penulisan ilmiah; (06) Moch. Nasruddin, selaku Kepala Desa Kauman; (07) Drs. KH. Muhammad Najib Hasan, selaku Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK); (08) Anisa Kuffa, ST., Sag., MT., yang telah meluangkan banyak waktunya untuk berdiskusi tentang tema-tema penelitian, terutama pada tahap-tahap akhir penyusunan Laporan Tesis; (09) dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Untuk menghasilkan penelitian yang optimal, selain observasi lapangan, saya telah melakukan studi kepustakaan selama jangka waktu penyelesaian tesis secara intensif di perpustakaan – perpustakaan: perpustakaan LIPI Pusat jakarta, perpustakaan Nasional Jakarta, perpustakaan Idayu Kwitang Jakarta, perpustakaan Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, perpustakaan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan perpustakaan Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jakarta. Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada pengelola perpustakaanperpustakaan tersebut. Tata ruang arsitektur Kauman, yang menjadi perhatian dalam tesis, mengandung arti sebagai penataan atau pengaturan ruang – kombinasi antara elemen-elemen fisik dan non fisik – mulai dari penataan ruang permukiman, ruang rumah tinggal, fasilitas peribadatan, hingga pengaturan perabot rumah tinggal, yang dilakukan secara terus-menerus oleh komunitas Kauman, melalui pranata-pranata yang ada, dalam rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dalam penelitian ini, subyek kajian adalah komunitas yang bertempat tinggal di sekitar masjid Menara Kudus di kota Kudus lama, propinsi Jawa Tengah. Rumah-rumah dengan tembok tinggi, lorong-lorong sempit, berliku, sesak, padat, pengap, dan tertutup itulah keadaan kampung Kauman Kudus. Namun, di balik tembok tinggi tersebut, beberapa rumah memiliki lahan pekarangan yang agak luas. Keadaan tersebut mendorong orang menganggap bahwa komunitas Kauman kurang memiliki jiwa sosial, mementingkan diri sendiri, dan memisahkan diri dari kelompok masyarakat lainnya; mereka eksklusif. Anggapan ini tentu saja bertolak belakang dengan sikap dan jiwa santri, yang selama ini oleh sebagian orang, selalu dilekatkan pada diri masingmasing individu dalam komunitas Kauman, yaitu yang memiliki kepatuhan pada ajaran agamanya (Islam). Salah satu pertanyaan penelitian ini adalah, apakah sistem nilai yang berlaku dalam agama Islam mempengaruhi seluruh sisi kehidupan komunitas
iii
iv Kauman? Dan kemudian bagaimana mereka memandang dan menyikapi ruang arsitektur mereka berdasarkan sistem nilai yang berlaku? Untuk memahami bagaimana komunitas Kauman Kudus menata dan mengolah ruang arsitektur mereka, kita harus memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang mereka alami secara terintegrasi. Konsep tata ruang arsitektur Kauman dapat diharapkan berkait erat dengan pandangan dunia mereka sendiri. Hal ini akan mengaitkan konsep ruang dan waktu dalam suatu konfigurasi yang khas bagi kultur Kauman, dimana nilainilai Islam ikut terjalin di dalamnya. Dalam upaya mengungkap sistem makna yang kompleks dari kultur Kauman digunakan pendekatan kultural. Kerangka konsep yang digunakan dalam penganalisisan tesis ini mengacu pada kaitan hubungan fungsional konsepkonsep: kultur – ruang arsitektur – simbol. Cara yang ditempuh dalam penelitian tesis ini adalah pendekatan penelitian lapangan melalui pengamatan berperan-serta atau participant observation. Sedangkan cara analisis yang digunakan mengacu kepada model analisis yang dikembangkan oleh Victor Turner ketika menganalisis simbol dalam ritual, yaitu processual symbolic analysis. Dalam penelitian tesis ini, ada dua istilah yang perlu mendapat penjelasan singkat, yaitu pertama, penggunaan istilah kultur dan kedua, penggunaan istilah komunitas. Saya sengaja menggunakan istilah ‘kultur’ dan ‘kultural’, bukan ‘kebudayaan’ dan ‘budaya’. Di sini, kata ‘kultur’ dan ‘kultural’ berasal dari kata dalam bahasa Inggris ‘culture’ dan ‘cultural’. Berdasarkan jenis katanya,
istilah ‘kultur’ yang berasal dari ‘culture’ adalah kata benda, dan istilah ‘kultural’ yang berasal dari ‘cultural’ merupakan kata sifat. Penggunaan istilah ‘kultur’ dan ‘kultural’ sama persis dengan penggunaan istilah ‘arsitektur’ yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris ‘architecture’ dan ‘arsitektural’ dari kata ‘architectural’. Sementara itu, penggunaan istilah ‘kebudayaan’ yang berasal dari kata dasar ‘budaya’, yang berarti hal-hal yang bersangkut-paut dengan akal budi, dalam Tata Bahasa Indonesia, untuk terjemahan kata ‘culture’ dan ‘cultural’ dalam Tata Bahasa Inggris, telah banyak menimbulkan polemik. Ada pihakpihak yang menganggap istilah ‘kebudayaan’ itu dikategorikan sebagai kata sifat, sebab yang menjadi kata bendanya adalah istilah ‘budaya’. Dan sebagian pihak menganggap sebaliknya, bahwa istilah ‘kebudayaan’ merupakan kata benda menurut Tata Bahasa Indonesia, dan ia bisa disamakan artinya dengan istilah ‘culture’ dalam bahasa Inggris. Untuk tidak terjebak dalam polemik itu, saya dalam penelitian tesis ini menggunakan istilah ‘kultur’ dan ‘kultural’. Dalam penelitian tesis, saya menggunakan istilah ‘komunitas’ dan bukan ‘masyarakat’ Kauman, sebab menurut saya, orang-orang Kauman merupakan kelompok masyarakat yang menempati suatu wilayah tertentu. Koentjaraningrat membedakan antara istilah ‘masyarakat’ dan ‘komunitas’. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas
v
vi bersama. Sementara komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi secara kontinyu sesuai dengan suatu sistem adat-istiadat, dan terikat oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat, 1996:122-123). Sebelum merampungkan penelitian tesis, saya sudah dua kali melaksanakan penelitian dengan tematema arsitektur masjid dan rumah tinggal tradisional di wilayah Kudus Kulon. Yang pertama pada tahun 2000, dengan judul Laporan Penelitian: Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah, dengan pendekatan sejarah dan deskriptif; dan kedua pada tahun 2001, dengan judul Laporan Penelitian: Studi Tentang Arsitektur Masjid Tradisional di Pantai Utara Jawa, studi kasus masjid Agung Demak, Menara Kudus, dan Mantingan, melalui pendekatan deskriptif dan komparatif. Yang terakhir ini sudah diformat ulang menjadi buku berjudul: Warisan Walisongo, Telaah Kritis Atas Cinanisasi dalam Proses Islamisasi di Jawa Melalui Penelusuran Sejarah dan Transformasi Arsitektural (2006). Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak sebagai sumbangan informasi dan pemikiran untuk ilmu pengetahuan. Ketidak-sempurnaan buku ini, besar harapan saya, agar bisa disempurnakan oleh penulis-penulis yang lain. Jakarta, Agustus 2017 Penulis
PENGANTAR PENERBIT Alhamdulillah, tulisan Ashadi, berjudul Tata Ruang Kauman dapat kami terbitkan. Buku ini adalah hasil format ulang dari Laporan Tesis berjudul Tata Ruang Arsitektur Kauman: Sebuah Kajian Antropologi-Arsitektur, yang telah diujikan dalam Acara Sidang Tesis Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia pada tanggal 3 Pebruari 2004. Dalam buku ini, penulis berusaha memahami tata ruang komunitas Kauman di kota Kudus, Jawa Tengah, melalui pendekatan antropologi arsitektur. Dengan latar belakang Pendidikan Arsitektur, penulis berusaha meramu fenomena antropologi komunitas Kauman dengan deskriptif arsitektural ruang Kauman. Kekuatan buku ini adalah deskripsi mendalam kultur komunitas Kauman dan deskripsi faktual arsitektural ruang Kauman dalam kerangka kultur Jawa. Kehadiran buku ini menjadi salah satu sumbangan penting bagi khasanah ilmu pengetahuan. Jakarta, Agustus 2017 Penerbit
vii
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR PENGANTAR PENERBIT DAFTAR ISI
HAL. i vii ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tinjauan Kepustakaan 1.3. Masalah Penelitian 1.4. Kerangka Konsep 1.5. Metode Penelitian
1 1 8 14 17 28
BAB II GAMBARAN UMUM JAWA DAN KUDUS 2.1. Jawa dalam Perspektif Sejarah 2.2. Kultur Jawa 2.3. Keadaan Alam dan Sejarah Perkembangan Kota Kudus 2.4. Keadaan Sosio-Kultural Masyarakat Kudus BAB III KAUMAN: KAMPUNG KOMUNITAS MUSLIM 3.1. Identifikasi Tempat dan Keadaan Sekitar
ix
35 35 42 56 66
73 73
x 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6.
Kependudukan Kekerabatan Kehidupan Ekonomi Kehidupan Sosial Kemasyarakatan Kehidupan Keagamaan
78 84 99 118 130
BAB IV TATA RUANG PERMUKIMAN KAUMAN
169
BAB V TATA RUANG RUMAH TINGGAL 5.1. Bentuk dan Konstruksi Bangunan Rumah Tinggal 5.2. Susunan dan Fungsi Ruang 5.3. Elemen Ruang dan Motif Ukiran BAB VI TATA RUANG MASJID DAN MAKAM 6.1. Kompleks Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus 6.2. Bentuk dan Konstruksi Bangunan Masjid 6.3. Bentuk dan Konstruksi Menara Masjid 6.4. Susunan dan Fungsi Ruang Masjid 6.5. Elemen Ruang dan Motif Hiasan Masjid 6.6. Susunan dan Fungsi Ruang Makam 6.7. Elemen Ruang dan Motif Hiasan Makam
189 190 200 222
243 243 246 263 276 287 296 300
BAB VII KESIMPULAN
303
DAFTAR PUSTAKA
313
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehadiran wilayah hunian yang dinamakan Kauman, dalam tata ruang kota tradisional Jawa, memiliki kedudukan yang penting; ia hampir selalu menempati bagian di pusat kota, di sekitar masjid Jami’ (besar). Kauman berasal dari kata Kaum, dan kata ini merujuk kepada sebuah kata dari bahasa Arab, yaitu Qoummuddin, yang maksudnya adalah sekelompok orang yang menegakkan agama (addin). Di kota Yogyakarta, Kauman berasal dari kata Pakauman, di Semarang berasal dari kata Kaum sing aman, di Kudus berasal dari kata nggone wong Kaum. Sekelompok orang yang berdiam di kampung Kauman selama ini dipersepsikan sebagai komunitas yang bercirikan sosial muslim, dengan tradisi ekonomi yang bertumpu pada perdagangan dan industri. Di Mojokuto (Pare), Jawa Timur, seperti diungkapkan oleh Geertz, kampung Kauman atau ‘bagian Islam’ didiami oleh para pedagang atau pengrajin muslim yang saleh. Di sini pola kehidupan serupa dengan yang ada di kampung lainnya hanya saja pola kegiatan selametan lebih lemah dan atomisasi pun kurang karena kuatnya perasaan sesama kelompok dari orang-orang ini (Geertz, 1986:28, cat. kaki). Keberadaan wilayah hunian dan komunitas muslim
1
2 Kauman telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, dan erat kaitannya dengan awal perkembangan agama Islam dan pertumbuhan kota-kota Islam di Jawa. Pada abad ke-XIV, pedagang-pedagang Jawa dari kota-kota pelabuhan dagang seperti Gresik, Tuban dan Demak telah pergi berdagang ke Malaka yang saat itu menjadi pusat aktifitas perdagangan dan kebudayaan Islam. Sebaliknya, pedagang-pedagang asing dari Arab, Persia, India, Cina dan Champa (Vietnam) datang ke kotakota pelabuhan di pantai utara Jawa (Koentjaraningrat, 1984:48-49). Pada masa itu, di pesisir pantai utara Jawa, banyak dijumpai perkampungan yang dihuni oleh pedagang-pedagang muslim. Perkampungan itu sering disebut Pekojan (Khoja=Pedagang dalam bahasa Persia) yang berarti perkampungan kaum muslim yang berasal dari Persia, India dan Arab. Pedagang-pedagang muslim asing itu tidak sedikit yang mengikat tali perkawinan dengan anggota-anggota masyarakat setempat (lihat pula Tjandrasasmita, 2000:28-30). Pada masa perkembangan dan pertumbuhan agama Islam di Jawa, sekitar abad ke-XV – XVIII, muncul kota-kota yang mengambil tempat tidak hanya di wilayah pantai seperti Gresik, Kudus, Jepara, Demak, Banten dan Cirebon, tetapi juga di pedalaman seperti Pajang, Kota Gede, Plered, Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Menurut Tjandrasasmita, kehidupan masyarakat kota-kota pesisir lebih dinamis jika dibandingkan dengan kota-kota pedalaman meskipun tetap merupakan masyarakat tradisional. Lapisan-lapisan penduduknya antara lain terdiri dari golongan budak, golongan pekarya atau tukang, golongan nelayan, golongan pedagang,
3 golongan anggota birokrat, dan golongan bangsawan atau raja-raja. Golongan petani di dalam kota-kota tersebut tidak banyak, tetapi justru mungkin mereka itu berfungsi sebagai pemilik sawah atau ladang, kebun yang letaknya di luar kota. Golongan-golongan masyarakat di dalam kota-kota terutama di pusat-pusat kerajaan biasanya mempunyai perkampungan-perkampungan sendiri-sendiri yang didasarkan atas kedudukan, keagamaan, kebangsaan dan kekaryaan, seperti kampung-kampung Pecinan, Pekojan, Pakauman, Kademangan, Kapatihan, Kasatrian, Pangukiran dan lain-lain (Tjandrasasmita, 2000:41-42). Secara umum, kota-kota tua di Indonesia tidak muncul dan berkembang secara spontan dari kemauan komunal para pedagang dan pekerja ahli. Lokasi, desain, dan ukuran kota-kota itu bergantung pada kemauan penguasa. Situasi yang menguntungkan, baik secara ekonomis maupun strategis, pada persimpangan jalan atau berdekatan dengan pelabuhan alam, dapat mempengaruhi keputusannya. Rencana kota yang asli dapat dikenal dengan mudah dalam tata kota keraton Jawa lama, ada alun-alun di pusat kota dengan bangunanbangunan penting yang diatur di sekelilingnya menurut cara tradisional, menurut empat arah mata angin. Jalan utama melintas satu sama lain dalam sudut lurus (lihat Wertheim, 1999:134). Salah satu dokumentasi penting mengenai struktur fisik kota kabupaten di Jawa sebelum Perang Pasifik adalah Kromoblanda nya H.F. Tillema yang dikerjakan oleh seorang ahli geografi bernama Witkamp.
4 Dengan dibantu oleh dua orang arsitek bernama Kazemier dan Tonkens, Witkamp menyelesaikan proyeknya, yaitu tipologi ibu kota kabupaten di Jawa pada tahun 1918. Dengan dokumentasi ini nampak suatu tata ruang pusat pemerintahan lokal dan kolonial yang terpadu melalui alun-alun. Pada poros utara-selatan di kedua sisi alunalun, saling berhadapan tempat tinggal asisten residen dan bupati yang mewakili administrasi pemerintahan kolonial dan kekuasaan lokal. Di sebelah barat alun-alun ditempatkan sebuah masjid lengkap dengan tempat bersuci di bagian depan dan areal pekuburan di bagian belakang. Di kedua sisi masjid terdapat tempat tinggal penghulu atau pemimpin agama Islam dan barak-barak polisi militer dengan penjaranya. Di sebelah timur alunalun terdapat losmen atau rumah indekos bersama-sama dengan tempat tinggal pengusaha swasta yang dianggap jauh di bawah status pegawai pemerintah (Wiryomartono, 1995:143; Gill dalam Budihardjo, 1997). Perkampungan tempat penghulu atau pemimpin agama Islam bertempat tinggal tersebut, oleh masyarakat Jawa dikenal dengan kampung Kauman. Keadaan lingkungan fisik kampung Kauman di kota-kota, seperti Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Semarang dan kota-kota karesidenan dan kabupaten lainnya di Jawa, pada umumnya tidak jauh berbeda. Lingkungan fisik kampung Kauman Yogyakarta, sebagaimana disaksikan oleh penasehat pemerintah urusan bumiputra pada tahun 1930-an, yang dikutip oleh Surjomihardjo (2000:34):
5 ‘Bagaikan jalan-jalan buntu yang sempit dan menyilaukan mata karena temboknya berkapur putih, maka orang-orang asing akan mengalami kesulitan untuk menemukan jalan yang tepat. Suasananya tenang dan sepi bagi sebuah sisi kota yang ramai dan aman ini, yang membuat orang menduga-duga bahwa penghuninya berada di kamar-kamar bagian dalam yang setengah gelap…’ Lance Castles, yang pernah melakukan penelitian di kota Kudus pada tahun 1960-an, menggambarkan lingkungan kampung-kampung muslim di sekitar masjid tua Menara Kudus (1982:72): ‘Jalan lebih sempit, tembok-tembok lebih tebal dan lebih tinggi, juga pakaian dan arsitektur sedikit banyak mengingatkan Suriah atau Mesir’ Ciri-ciri yang merupakan karakteristik kampung Kauman, menurut Ahmad Adaby Darban, antara lain: sebagai kampung santri di tengah kota; mempunyai ikatan darah yang kuat di antara penduduknya; mempunyai mata pencaharian yang homogen; dan memiliki ikatan keagamaan yang kuat, dan biasanya eksklusif dan mempunyai perbedaan yang menonjol dengan kampung-kampung lainnya. Adanya kontinuitas komunikasi melalui masjid, adanya ikatan keagamaan
6 dan pengabdian, telah mendukung terbentuknya masyarakat Kauman sebagai masyarakat Islam. Corak Islam nampak dalam kehidupan masyarakat Kauman, seperti dalam pergaulan sosial, kaidah moral dan hukum (Darban, 1984:1dan17). Gambaran kondisi fisik lingkungan Kauman di atas mendorong orang lain memberikan anggapan bahwa komunitas Kauman kurang memiliki kepedulian terhadap orang lain, lebih mementingkan diri sendiri dan memisahkan diri dari kelompok masyarakat lainnya. Berkenaan dengan ini, seorang pakar arsitektur, Hindro Tjahjono Sumardjan, mengemukakan bahwa suatu lingkungan binaan hampir selalu, secara disadari ataupun tidak, mencerminkan kultur dari kelompok manusia yang terlibat di dalam proses penciptaannya. Sekurangkurangnya akan tercermin di situ tata nilai yang mereka anut (dalam Budihardjo, 1996:24-25)1. Atas dasar uraian di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang Kauman. Pemilihan topik Pertanyaan tentang pengaruh lingkungan fisik terhadap manusia penghuninya, telah menjadi pusat perhatian dalam penelitian geografi kultural dan perancangan lingkungan. Amos Rapoport telah memberikan tiga pandangan berkaitan dengan hal ini: (a) environmental determinism - lingkungan fisik menentukan sikap dan perilaku manusia; (b) possibilism lingkungan fisik memberikan peluang dan kendala, dimana masyarakat menentukan pilihan berdasarkan kriteria, terutama kriteria kultural; (c) probabilism - lingkungan fisik memang memberikan peluang masyarakat untuk memilih dan tidak menentukan perilaku, tetapi juga bahwa dalam suatu latar fisik tertentu beberapa pilihan lebih memungkinkan daripada yang lain (Rapoport, 1977:2). 1
7 penelitian ini lebih bersifat personal interest; didorong oleh minat pribadi. Studi kasus dalam penelitian ini adalah kampung Kauman di kota Kudus, Jawa Tengah. Di antara banyak kampung Kauman yang terdapat di kota-kota tradisional Jawa, kampung Kauman Kudus menduduki tempat yang istimewa. Keberadaan makam suci Sunan Kudus di dalam kompleks areal masjid kuno, dan kepentingan besar industri rokok kretek telah menyebabkan kota Kudus memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan kota-kota Islam lainnya di Jawa. Kudus pernah menjadi pusat agama Islam yang tersohor di Nusantara, sekitar pertengahan kedua abad ke-XVI hingga perempat pertama abad ke-XVII; santrinya tidak hanya berasal dari sekitar Kudus dan pulau Jawa, tetapi juga dari daerah-daerah di luar pulau Jawa seperti pulau Sumatra dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kedudukan Kudus sebagai pusat keagamaan Islam yang dipimpin oleh tokoh karismatik Ja’far Shadiq atau dikenal Sunan Kudus, tetap mendapat tempat di dalam kancah perpolitikan kerajaan-kerajaan Demak, Pajang dan awal dinasti Mataram. Pada akhir abad ke-XIX hingga pertengahan abad ke-XX, beberapa keluarga yang bertalian di kampung Kauman dan sekitarnya menjadi pengusaha industri rokok kretek, yang ikut melambungkan perekonomian kota Kudus; perwujudan yang jarang terjadi pada masa kekuasaan Kolonial Belanda. Bukti peninggalan arsitektur yang masih bisa dilihat adalah beberapa rumah gedong bergaya villa Eropa dan rumah adat yang interiornya dipenuhi dengan ukiran kayu jati berkualitas tinggi.
8 Peneliting, sekarang ini beberapa rumah gedong dalam keadaan tidak terawat, sebagian di antaranya tidak dihuni, sementara jumlah rumah adat Kudus terus menyusut karena harus dijual. 1.2. Tinjauan Kepustakaan Pembahasan yang menyangkut kehidupan masyarakat muslim di kota-kota di Jawa cukup banyak. Namun, sumber tulisan yang membahas secara khusus tentang Kauman masih dirasa kurang. Koentjaraningrat pernah mengemukakan, dia baru melihat satu studi saja mengenai para wiraswasta Jawa Kauman, yaitu studi yang dilakukan oleh Clifford Geertz, padahal orang Kauman itu merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang cukup penting untuk diteliti (Koentjaraningrat, 1984:233). Clifford Geertz dalam Mojokuto hanya mengulas sedikit tentang para usahawan Muslim Jawa. Dalam sub bab yang membahas tentang Sektor Pasar: Perkembangan Golongan-Golongan Pedagang, Geertz menyinggung kegiatan para pedagang (keliling) yang berasal dari daerah-daerah di luar Mojokuto, seperti Kudus, Gresik, Surabaya, Madura dan Bawean. Usaha mereka di Mojokuto termasuk terpenting dan paling berkembang, mengalahkan perdagangan kain batik yang dilakukan oleh kalangan priyayi. Golongan pedagang keliling inilah, menurut Geertz, bersama orang-orang Cina, yang pertama-tama mengikatkan pasar Mojokuto dengan kuat ke dalam pasar yang melingkupi seluruh Jawa (lihat Geertz, 1986:73-88). Dengan pendekatan sejarah dan arkeologi, Uka Tjandrasasmita dalam buku Pertumbuhan dan
9 Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII Sampai Abad XVIII Masehi (2000) menjelaskan tentang kedatangan dan proses penyebaran Islam hingga tumbuhnya kota-kota muslim di Indonesia. Dalam membahas bagian-bagian kota-kota dan struktur masyarakatnya, Tjandrasasmita menjelaskan keberadaan perkampungan-perkampungan di dalam kota. Meskipun tidak terlalu khusus membahas perkampungan Kauman, namun buku ini telah memberikan wawasan luas tentang fungsi dan peran kampung Kauman beserta bangunan masjidnya sebagai salah satu elemen penting dalam struktur tata ruang kota-kota tradisional Jawa. Penelusuran keberadaan komunitas dan kampung Kauman dalam struktur kota-kota Islam kuno di Jawa dilakukan oleh Inajati Adrisijanti, yang kemudian hasil penelitiannya diterbitkan dengan judul Arkeologi Perkotaan Mataram Islam (2000). Adrisijanti dengan menggunakan pendekatan sejarah dan arkeologi berusaha mengungkap proses kemunculan, kemajuan dan kemunduran kota-kota Islam kuno di Jawa beserta kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan toponim di wilayah bekas pusat kota kerajaan-kerajaan Mataram Islam – Kota Gede, Plered dan Kartasura – Adrisijanti mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok sosial masyarakat terjadi atas dasar kesamaan profesi, ras, suku, tempat asal, dan status sosial. Dalam buku ini, keberadaan komunitas Kauman didasarkan atas kesamaan profesi, yaitu sebagai sub kelompok rohaniwan atau pendidik. Sebagai perbandingan, telaah buku ini akan sangat membantu dalam menelusuri keberadaan
10 kelompok-kelompok sosial di wilayah kota yang menjadi tempat penelitian tesis ini, yaitu dengan memperhatikan toponim yang ada. Kepustakaan yang secara rinci membahas tentang Kauman adalah buku berjudul Sejarah Kauman, menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, karangan Ahmad Adaby Darban (2000). Mustofa W. Hasyim dalam pengantar buku ini menyebutkan bahwa penelitian tentang Kauman, sejauh yang muncul dalam publikasi baru dilakukan oleh Ahmad Adaby Darban. Sebagai seorang sejarawan, Darban, dalam buku ini, dengan upaya yang cukup keras berusaha mencoba melakukan rekonstruksi perubahan sosial yang terjadi di kampung Kauman Yogyakarta dalam rentang waktu 1900 – 1950. Sebelumnya, pada tahun 1984, Ahmad Adaby Darban, juga pernah melakukan penelitian tentang kampung Kauman. Laporan Penelitian yang berjudul Kampung Kauman: Sebuah Tipologi Kampung Santri di Perkotaan Jawa (Studi Perbandingan Sejarah Pertumbuhan Kampung Kauman Kudus dan Yogyakarta), berusaha memperlihatkan persamaan dan perbedaan ciri-ciri karakteristik kampung Kauman di kota Kudus dan di kota Yogyakarta. Dua buah referensi karya Ahmad Adaby Darban ini begitu berarti bagi penelitian tesis ini, terutama dalam pembahasan tentang tipologi Kauman sebagai kampung muslim, mengingat karakteristik kampung Kauman di kota-kota di Jawa hampir sama. Kajian dan penelitian lainnya yang berkaitan dengan Kauman juga dilakukan oleh Wijanarko (2001), Etty Endang Listiati (1997), Ahda Mulyati (1995), Supriyo Priyanto (2000), Wiwik Setyaningsih (2000), dan Rusdiana
11 (2003). Penelitian-penelitian ini lebih menekankan pada aspek arsitektural. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanarko, Listiati, dan Priyanto mengambil setting kampung Kauman Semarang. Wijanarko dalam makalah simposium: Ekspresi Islam dalam Rumah Tinggal Khas Kauman Semarang, berusaha mencari bentuk tipologi bangunan lama di Kauman melalui fasade bangunan untuk dijadikan landasan perancangan arsitektur. Listiati dalam Laporan Tesis: Rumah Tinggal Kampung Kauman Semarang, berusaha mengungkapkan kualitas bangunan rumah tinggal di kampung Kauman sebagai karya arsitektur. Sementara itu, Priyanto dalam Laporan Akhir Penelitian: Konservasi dan Pengembangan Masjid Agung Kauman Semarang untuk Identitas Budaya dan Pariwisata, dengan pendekatan gabungan metode penelitian Sejarah, Antropologi, dan Studi kelayakan Arsitektur dan Arkeologi, mencoba mengkaji kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosio-kultural masjid Agung guna mengidentifikasi perannya sebagai komponen kota. Penelitian arsitektur tentang kampung Kauman Yogyakarta dilakukan oleh Ahda Mulyati dan Rusdiana. Ahda Mulyati dalam Laporan Tesis: Pola Spasial Permukiman Kampung Kauman Yogyakarta mengkaji polapola spasial permukiman kampung Kauman dan pengaruh pembentukannya, yaitu dengan jalan mengelompokkan pola spasial permukiman ke dalam tiga kategori: (a) pola spasial kelompok permukiman; (b) pola spasial lingkungan permukiman; dan (c) pola spasial hubungan kampung Kauman dengan Kraton Yogyakarta. Sedangkan Rusdiana dalam Laporan Skripsi: Perubahan
12 Fungsi Ruang Rumah Tinggal Pengusaha Batik di Kampung Kauman Yogyakarta, dengan pendekatan sejarah, deskriptif dan komparatif menjelaskan tentang perubahan-perubahan fungsi ruang yang terjadi pada rumah tinggal pengusaha batik di kampung Kauman Yogyakarta dalam beberapa kurun waktu serta faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya perubahanperubahan itu. Di bagian akhir laporannya, menurut Rusdiana, salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi ruang adalah naik dan turunnya perekonomian masyarakat di kampung Kauman. Kondisi ini bisa jadi juga terjadi pada tata ruang rumah tinggal di Kauman Kudus. Penelitian arsitektur dengan setting kampung Kauman Surakarta dilakukan oleh Wiwik Setyaningsih. Dalam Laporan Tesis: Sistem Spasial Rumah Ketib di Kauman Surakarta, dengan menggunakan pendekatan deskriptif – analitik, dia mengkaji faktor-faktor pembentuk dan penyebab pengembangan sistem spasial rumah Ketib. Penelitian tentang kehidupan masyarakat kota lama Kudus, yang paling awal, dilakukan oleh Lance Castles pada awal tahun 1960-an. Penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan kasus terkenal yang menimbulkan beberapa pertanyaan menarik tentang usahawan Muslim Indonesia. Hasil penelitian ini kemudian dibubukan dengan judul: Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (1982). Buku ini membahas tentang dinamika kehidupan keagamaan, politik dan ekonomi masyarakat kota Kudus sebagai imbas fluktuasi industri rokok Kudus. Kepustakaan ini menjadi sumber data yang penting dalam
13 pembahasan tentang perubahan sosio-kultural masyarakat Kauman dan sekitarnya. Dengan menggunakan pendekatan antropologi kultural, buku Makna Ruang & Penataannya Dalam Arsitektur Rumah Kudus, karangan Triyanto (2001), secara mendalam dan terinci membahas tentang ruang dan penataannya dalam arsitektur rumah adat Kudus. Buku ini menunjukkan salah satu cara kerja bidang antropologi dalam mengkaji fenomena yang berkaitan dengan artefak. Walaupun subyek kajian tidak mengkhususkan pada Kauman, namun buku ini juga menjadi referensi penting, ia disamping membantu dalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat kampung Kauman dan sekitarnya, juga tentang fungsi dan sifat ruang dalam tata ruang rumah tinggalnya. Dari tinjauan kepustakaan di atas, penelitianpenelitian tentang Kauman yang pernah dilakukan masih secara parsial. Kajian-kajian lebih terfokus pada salah satu bagiannya saja, terpisah satu dengan yang lain, seperti misalnya tema-tema: pola spasial permukiman, keragaman dan tata ruang rumah tinggal, dan arsitektur masjid. Berdasarkan latar belakang dan tinjauan kepustakaan di atas, maka penelitian tesis ini akan memfokuskan diri pada pembahasan tentang Tata Ruang Arsitektur Kauman di kota lama Kudus, Jawa Tengah, dengan menggunakan pendekatan antropologi kultural. Untuk mengungkap makna ruang arsitektur Kauman, tidak bisa tidak harus mengkaji secara terpadu tata ruang Kauman, yaitu meliputi tata ruang yang mewadahi semua
14 aktivitas komunitas Kauman dalam kehidupan seharihari. Kajiannya akan meliputi pola ruang permukiman dan tata ruang rumah tinggal beserta penataan perabot di dalamnya. Penelitian tesis ini sekedar memperkaya kajiankajian dan penelitian-penelitian tentang Kauman sebagai kampung muslim di kota-kota tradisional Jawa yang pernah dilakukan sebelumnya. 1.3. Masalah Penelitian Gambaran lingkungan fisik kampung Kauman, seperti disinggung di bagian latar belakang bab ini, mengingatkan kita pada kondisi di zaman kerajaan dengan bentengbenteng yang menjulang tinggi di sepanjang jalan yang kita lalui. Rumah-rumah yang ada terletak berhimpithimpitan dengan batas halaman berupa pagar masif atau dinding tembok bagian rumah, dengan menyisakan lorong-lorong sempit dan berliku untuk lalu-lalang orang. Tidak jarang lorong-lorong itu buntu atau sulit dilalui karena terlalu sempitnya. Kondisi ini telah menciptakan lingkungan permukiman yang semrawut dan tidak teratur. Jika tidak cermat kita yang baru pertama kali memasuki wilayah kampung Kauman bisa tersesat. Pada hari-hari biasa, meskipun di siang hari, lorong-lorong itu nampak sepi. Rupanya penghuni rumah jarang sekali keluar. Suasana lain dapat dilihat di waktu menjelang shalat lima waktu tiba, terutama waktu shalat Maghrib hingga selesainya shalat Isya’, denyut kehidupan kampung Kauman dan sekitarnya mulai terlihat dengan banyaknya orang berlalu-lalang melewati lorong-lorong itu untuk menunaikan ibadah shalat berjamaah dan mengaji Al-Qur’an di masjid atau mushalla.
15 Sepertinya masjid dan mushalla bagi kehidupan warga kampung Kauman dan sekitarnya sangatlah besar peranannya, selain sebagai tempat aktivitas keagamaan, juga menjadi sarana aktivitas sosial warga. Terbentuknya komunitas Kauman sebagai komunitas Islam, menurut Ahmad Adaby Darban, salah satunya didukung oleh adanya kontinuitas komunikasi melalui masjid (Darban, 1984). Dalam Kebudayaan Jawa, penilaian yang berbeda diberikan oleh Koentjaraningrat. Dia menilai bahwa meskipun memang ada beberapa penduduk daerah Kauman yang bekerja sebagai pegawai masjid, mereka pada umumnya tidak ada sangkut-pautnya dengan masjid kecuali untuk bersembahyang Jum’at (Koentjaraningrat, 1984:233). Memang secara kasat mata, tata ruang permukiman Kauman dibentuk oleh kumpulan rumahrumah tinggal dan bangunan masjid sebagai simbol keberadaaanya, yang keduanya memiliki keterpautan sangat erat. Dengan demikian, apakah dalam kehidupan sehari-hari, warga Kauman juga memiliki keterikatan yang kuat dengan masjid? Ataukah penilaian Koentjaraningrat tentang orang-orang Kauman di atas menjadi benar? Untuk mengkaji dan memfokuskan permasalahan penelitian tesis ini, secara khusus perlu dipertanyakan: a. Mengapa komunitas Kauman dalam hal membangun dan menata ruang rumah tinggal mereka harus membuat batas teritorial yang tegas sehingga telah menciptakan kondisi fisik lingkungan permukiman yang sesak, padat,
16
b.
c.
d.
e. f.
tertutup dan tidak teratur? Bagaimana proses terjadinya kondisi seperti itu? Apakah kondisi lingkungan fisik tersebut mempengaruhi tata nilai yang berlaku di dalam komunitas Kauman? Apakah sistem nilai yang berlaku dalam agama Islam mempengaruhi seluruh aspek kehidupan komunitas Kauman? Bagaimana peran masjid, yang merupakan simbol keberadaan kampung Kauman, dalam mewadahi kegiatan keagamaan dan sosio-kultural komunitas Kauman? Bagaimana komunitas Kauman menata ruang permukimannya? Bagaimana komunitas Kauman menata ruang rumah tinggalnya?
Yang dimaksud dengan tata ruang arsitektur Kauman, sebagaimana yang menjadi perhatian tesis ini, adalah penataan atau pengaturan ruang - kombinasi antara elemen-elemen fisik dan non fisik – mulai dari penataan ruang permukiman, penataan ruang fasilitas peribadatan, hingga pengaturan ruang dan perabot rumah tinggal, yang dilakukan secara terus menerus oleh komunitas Kauman, melalui pranata-pranata yang ada, dalam rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Untuk memahami bagaimana komunitas Kauman menata dan mengolah ruang arsitekturnya, kita harus memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang mereka alami. Beberapa makna terekspresikan
17 secara langsung dalam bahasa, dan banyak pula yang disampaikan secara tidak langsung melalui sikap dan perilaku individu-individu dalam komunitas Kauman. 1.4. Kerangka Konsep Konsep tata ruang arsitektur Kauman dapat diharapkan berkait erat dengan pandangan dunia komunitas Kauman sendiri. Dalam upaya mengungkap sistem makna yang kompleks dari kultur komunitas Kauman, peneliti menggunakan pendekatan kultural; ia dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kultur sebagai kaca matanya. Dalam hal ini, kultur digunakan sebagai alat konseptual, untuk menganalisis berbagai tindakan dan gejala-gejala yang ada di dalam komunitas Kauman. Kerangka konseptual yang digunakan dalam pembahasan penelitian tesis ini mengacu pada hubungan fungsional konsep-konsep: kultur – ruang arsitektur – simbol, sebagaimana diuraikan dibawah ini. Konsep Kultur Konsepsi tentang kultur untuk pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad kesembilan belas. Definisi pertama yang sungguhsungguh jelas dan komprehensif berasal dari ahli antropologi Inggris, Sir Edward Burnett Tylor. Dalam Primitive Culture (1871), seperti dipaparkan Adam Kuper, Tylor mendefinisikan kultur sebagai ‘keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat istiadat, dan banyak kemampuan dan
18 kebiasaan lainnya yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat‘. Konsep kultur Tylor sangat longgar; kajiannya mencakup obyek yang sangat luas dan bervariasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sampai sekitar tahun 1950-an, menurut Kuper, kultur diartikan masih sangat luas, tetapi mulai lebih sistematis. Satu rangkuman definisi kultur yang pernah dirumusklan oleh Kroeber dan Kluckhohn, dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952), berbunyi ‘pola-pola tingkah laku dan pola-pola untuk bertingkah laku, baik yang eksplisit maupun yang implicit, yang diperoleh dan diturunkan melalui symbol, yang membentuk pencapaian yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi‘ (periksa Kuper, 1999:56-58). Semua konsep kultur yang baru cenderung mengadakan perbedaan yang jelas antara perilaku yang nyata di satu pihak dan di pihak lain nilai-nilai dan kepercayaan yang terletak di belakang perilaku. Dalam Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture, secara jelas memperlihatkan sikap Marvin Harris yang memandang kultur sebagai benda. Dia menganggap bahwa kultur sebagai obyek kajian antropologi harus dapat diamati, oleh karena itu, maka kultur sebetulnya adalah kelakuan (Harris, 1979). Dalam pandangan ini, konsep kultur ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat, atau cara hidup masyarakat. Dalam pandangan ini, kultur dianggap sebagai satuan gejala; ia adalah nyata, substansial dan hal yang dapat diobservasi. Sementara itu, dipihak lain,
19 Goodenough sebagaimana dikutip oleh Amri Marzali dalam pengantar buku Metode Etnografi (Spradley, 1997), memandang kultur bukan merupakan suatu fenomena material; dia tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut. Dia adalah satu bentuk hal-ihwal yang dipunyai manusia dalam pikiran (mind), model yang mereka punyai untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan hal-ihwal tersebut. Kultur dalam pengertian ini mencakup sistem gagasan yang dimiliki bersama, sistem konsep, aturan serta makna yang mendasari dan diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia (lihat pula Geertz, 1973 dan Suparlan, 1995). Dalam pandangan ini, kultur dianggap sebagai satuan ide. Konsep kultur yang digunakan sebagai sudut pandang dalam penelitian tesis ini mengacu pada pandangan yang menganggap kultur sebagai satuan ide. Perhatian pada tingkah laku, adat, obyek, atau emosi tidak dihilangkan, tetapi sekedar mengubah penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi penekanan pada makna berbagai fenomena itu. Kultur, seperti dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dia menggunakan istilah kebudayaan) memiliki unsurunsur yang universal, yang pasti bisa ditemukan di semua kultur di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan maupun perkotaan. Unsur-unsur kultur universal tersebut adalah: (1) Sistem religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6) Sistem
20 mata pencaharian hidup; dan (7) Sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2000:2). Menurut Parsudi Suparlan, karena setiap kultur (dia menggunakan istilah kebudayaan) itu merupakan pedoman, patokan, atau disain menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan, maka sebenarnya kultur itu bersifat tradisional, artinya cenderung menjadi tradisi-tradisi yang tidak mudah berubah (dalam Sudjangi, 1991:95). Namun, di dalam kehidupan manusia selalu terdapat gejala-gejala yang paradoks, dimana di satu pihak manusia ingin tetap melestarikan kulturnya yang telah dan sedang berlaku sebagai pedoman bagi kehidupan mereka yang mereka lihat sebagai nilai-nilai kultural yang tradisional. Di lain pihak dan pada waktu yang bersamaan, manusia juga ingin merubah kultur dan nilai-nilai kulturalnya sehingga relevan dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya (lihat Suparlan, 1995) Konsep Ruang Arsitektur Terdapat perbedaan cara berpikir Timur dan Barat tentang ruang. Cara pandang Timur menganggap esensi ruang adalah unsur-unsur yang tidak teraba. Lao Tzu, seorang pertapa Cina yang lahir kira-kira tahun 640 S.M, seperti dikutip oleh Yoshinobu Ashihara dalam Merancang Ruang Luar (1983:2), mengatakan: ‘meskipun tanah liat dapat dibentuk menjadi sebuah jambangan, tetapi arti sesungguhnya dari jambangan tersebut
21 adalah kekosongan yang terkandung di dalam bentuk jambangan itu sendiri‘ Cara pandang Barat justru sebaliknya, yang terpenting dari ruang adalah unsur-unsur yang teraba. Aristoteles, seorang realis Yunani yang lahir kira-kira dua ratus tahun sesudah Lao Tzu, seperti dikutip oleh van de Ven dalam Ruang Dalam Arsitektur (1991:18-19) telah merangkum karakteristik hakiki dari ruang menjadi lima butir, yang kemudian dikenal dengan teori tempat (topos): Tempat melingkungi obyek yang ada padanya Tempat bukan bagian dari yang dilingkunginya Tempat dari suatu obyek tidak lebih besar dan tidak lebih kecil dari obyek tersebut Tempat dapat ditinggalkan oleh obyek serta dapat dipisahkan pula dari obyek itu Tempat selalu mengikuti obyek, meskipun obyek terus berpindah sampai berhenti pada posisinya Setelah Perang Dunia II, Le Corbusier, seorang arsitek Perancis, seperti dikutip oleh van de Ven (1991:226-227), pernah menyebut ruang sebagai elemen pengontrol dari segala seni: ‘Memiliki ruang merupakan gerak isyarat pertama dari makhluk hidup, manusia
22 maupun binatang, tetumbuhan maupun awan gemawan; suatu manifestasi fundamental dari keseimbangan dan durasi. Menduduki suatu ruang merupakan bukti pertama dari keberadaan …Arsitektur, skulptur, dan lukisan secara khusus tergantung pada ruang, terikat pada kepentingan untuk mengontrol ruang, masing-masing dengan caranya sendiri. Hal yang paling hakiki yang akan dikatakan di sini adalah bahwa pelepasan emosi estetik merupakan suatu fungsi istimewa dari ruang’ Setiap kegiatan pemenuhan kebutuhan selalu memerlukan adanya ruang. Ruang tidak sekedar berurusan dengan ruang fisik tiga dimensional, sebab pada waktu dan konteks yang berbeda, seseorang, sebenarnya sedang berurusan dengan macam ruang yang berbeda. Ruang, menurut Amos Rapoport, adalah penjabaran dari dunia sekitar kita dalam tiga dimensi, yaitu penjabaran interval-interval, hubungan-hubungan dan jarak-jarak antara manusia dan manusia, manusia dan benda, benda dan benda. Di sini berarti bahwa sesungguhnya perencanaan dan perancangan pada semua skala, mulai dari daerah yang sangat luas sampai pengaturan perabot rumah, dapat dianggap sebagai pengaturan ruang untuk berbagai kegunaan, menurut ketentuan yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan hasrat-hasrat kelompok atau pribadi yang melakukan pengaturan tersebut. Pengaturan ruang itu
23 sendiri mengekspresikan makna dan mempunyai sifatsifat komunikatif (Rapoport, 1977:9-34; lihat pula dalam Snyder, 1985:16-23). Edward T. Hall, dengan pendekatan proxemic – melihat ruang sebagai media hubungan antar manusia – membagi ruang menjadi tiga macam, yaitu: fixed-feature, semi fixed-feature, dan informal. Ruang fixed-feature adalah ruang yang jelas fungsinya, karena setiap ruang jelas kegunaannya untuk apa dan tindakan-tindakan pelaku berpola sesuai dengan kebutuhan dan tata ruangnya. Ruang semi fixed-feature adalah ruang yang mempunyai fungsi kegunaan lebih dari satu kegiatan pemenuhan kebutuhan. Sedangkan ruang informal, menurut Hall, adalah ruang tempat kegiatan-kegiatan individu dilakukan, yang batas-batasnya bisa tidak dapat dilihat atau diraba, tetapi ada dalam konsep kebudayaannya (Hall, 1966:101-111). Dengan demikian, ruang lebih memiliki peran berarti kepada manusia, sebagai tempat melakukan kewajiban-kewajiban hidup sebagai pernyataan kekuasaan, status atau hal-hal yang bersifat pribadi, menampilkan dan mendukung keyakinan kosmologis, menyampaikan informasi, membantu menetapkan identitas pribadi atau kelompok serta mengkiaskan sistem-sistem nilai melalui proses interaksi antar individu yang terjadi di dalam ruang (lihat Suptandar, 1999:43-44). Dalam pendahuluan Ruang Dalam Arsitektur, Cornelis van de Ven mengaku tertarik melakukan penelitian tentang ruang, salah satunya dipicu oleh gagasan ruang yang dicetuskan oleh Louis Isadore Kahn
24 (1901-1974). Dalam tahun 1957, Louis I. Kahn pernah berkata: ‘Arsitektur berarti menciptakan ruang dengan cara yang benar-benar direncanakan dan dipikirkan. Pembaharuan arsitektur yang berlangsung terus-menerus sebenarnya berakar dari pengubahan konsep-konsep ruang’ (lihat van de Ven, 1991:xiii). Arsitektur, menurut Tjuk Kuswartojo, bukanlah sekedar berupa wujud, tapi ia juga adalah cita (idea), konsep, kaidah, prinsip dan lainnya, yang merupakan hasil pengolahan batin, pikiran dan perasaan. Ruang itu ada dan disebut arsitektur, karena kegiatan batin itu menentukannya begitu. Hasil pengolahan batin itu bisa sama bagi setiap orang, bisa juga berbeda. Karena, ruang yang mana yang bisa disebut arsitektur dan mana yang bukan bisa sangatlah subyektif, sepihak, dan ditetapkan menurut kebutuhan dan tujuan (dalam Budihardjo, 1996:76-80). Sementara itu, menurut Budi A. Sukada, Arsitektur adalah gubahan ruang. Yang dimaksud dengan ruang adalah gabungan antara aspek padat/massif, transparan, dan kosong, yang terus menerus diolah dan dikembangkan (dalam Masinambow, 2001:104). Bagi orang Jawa, ruang, demikian dijelaskan Gunawan Tjahjono, dikonsepsikan sebagai tempat. Kata tempat dalam bahasa Jawa dinamakan nggon. Hal ini menunjukkan posisi seseorang, dari mana dan mau kemana tujuannya. Dengan demikian posisi seseorang di dunia bersifat relatif terhadap orang lain. Dengan menggunakan sistem mancapat, kalender, dan primbon, orang Jawa mengidentifikasi posisi dan tindakannya di dunia ini. Jadi, bagi orang Jawa, tempat dalam pengertian
25 praktis dan operasional dirasakan lebih konkret daripada ruang (Tjahjono, 1989:72-73). Dalam penelitian tesis ini, ruang arsitektur diartikan sebagai suatu tempat atau wadah yang terwujud dari gabungan elemen-elemen fisik dan non fisik yang secara terus menerus diatur dan dikembangkan oleh individu-individu atau kelompok orang yang memiliki kepentingan dan kemampuan, yang didasarkan atas kulturnya, melalui pranata-pranata yang ada, dalam rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup. Wujud elemen-elemen fisik dicerminkan oleh bidang batas ruang yang lebih ketat (dinding-dinding geometris), sementara elemen non fisik dicerminkan oleh hal-hal yang lebih bersifat abstrak, meskipun tidak teraba, ia bisa berfungsi sebagai pembatas dan pembentuk ruang. Sebagai contoh, kadang kala hanya dengan perbedaan lantai atau perbedaan posisi perletakan dan jenis perabot, bisa diciptakan ruang yang baru. Karena semua makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol, maka untuk mengungkap sistem makna kultural yang digunakan oleh komunitas Kauman yang memiliki ciri kehidupan yang agamis (Islam), dalam pembahasan penelitian tesis ini, peneliti juga akan bertolak dari simbol-simbol yang diciptakan dan digunakan oleh komunitas tersebut. Konsepsi tentang Simbol Simbol adalah komponen utama perwujudan kultur karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian
26 simbol-simbol yang dimengerti oleh manusia. Sehingga Clifford Geertz menyatakan bahwa proses kultural yang menyangkut pengadaan makna berakar pada kemampuan manusia untuk senantiasa berpikir simbolik. Simbolsimbol itu merupakan garis penghubung antara pemikiran manusia dengan dunia luar, yang selalu dihadapi atau berhubungan dengan pemikiran. Simbol-simbol dan makna-makna yang dikandungnya itu dibentuk secara historik, didefinisikan secara kultural, dipelihara dan dimiliki bersama oleh masyarakat, dan diterapkan oleh individu (Geertz, 1973:363-364). Tidak mengherankan bila Ernst Cassirer, seperti dikutip oleh Herusatoto, lebih suka menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Ia menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol (Herusatoto, 2001:9). Menurut F.W. Dillistone dalam karyanya yang terkenal The Power of Symbols, sebuah simbol dapat dipandang sebagai: (1) Sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkrit; (2) Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mencorakkan atau menunjukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar kembali atau berkaitan dengan; (3) Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir: sebuah makna,
27 realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan (Dillistone, 2002:20). Secara ringkas, simbol didefinisikan oleh Victor Turner (1967:19) seperti dikutip oleh Amri Marzali, sebagai hal yang dipandang menurut kesepakatan bersama sebagai ‘naturally typifying or representing or recalling something by possession of analogous qualities or by association in fact or thought’ (sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau menggambarkan atau mengingatkan kembali sesuatu dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran) (Marzali, 2000). Turner membedakan simbol (lambang) dari tanda. Simbol mempunyai makna ganda dan implikasi yang luas. Tanda (sign) cenderung univocality (mengacu kepada pengertian tunggal); menghubungkan signifier (sang tanda) dengan signified (pengertiannya) berdasarkan hubungan-hubungan yang arbitrary, sesukanya saja, dan konvensional; diorganisasikan dalam closed systems; dan digunakan atau dilibatkan dalam proses sistem tanda dan informasi. Sementara itu, simbol mempunyai kualitas multivocality atau polysemy (mengacu kepada makna ganda, sebuah simbol memiliki satu spektrum makna), hubungan acuan yang kompleks, ambiguity (serba dua), open-endedness (terbuka bagi berbagai penafsiran), mengutamakan perasaan dan kemauan dari pada pemikiran dalam penafsirannya, dan cenderung untuk terpecah lebih jauh ke dalam subsistem semantik (lihat Marzali, 2000). Sebagai contoh, warna merah traffic light
28 (lampu lalu lintas) bagi pengendara kendaraan di jalan raya memberikan tanda bahwa mereka harus berhenti, tidak ada penafsiran yang lain. Sementara warna merah dalam kehidupan orang-orang etnis Tionghoa merupakan lambang (dia bukan tanda) atau simbol; ia melambangkan keceriaan, kegairahan, kehidupan, kesuburan, banyak rezeki, dan keberhasilan dalam usaha, sehingga tidak mengherankan bila interior klenteng (tempat peribadatan) dan rumah tinggal mereka didominasi warna merah. Dalam penelitian tesis ini, simbol dianggap sebagai obyek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu; ia memiliki makna ganda dan implikasi yang luas dan dibingkai oleh kultur. 1.5. Metode Penelitian Unit observasi dan analisis dalam penelitian tesis ini adalah seluruh komunitas yang berada di kampung Kauman Kudus dan masyarakat di sekitarnya, yaitu mereka yang berdiam di sekitar kompleks masjid kuno Menara dan makam suci Sunan Kudus di wilayah Kudus Kulon. Wilayah kajian meliputi desa Kauman dan desadesa di sekitarnya seperti Damaran, Kerjasan dan Langgar Dalem, yang termasuk dalam wilayah administratif kecamatan Kota, kabupaten Kudus, propinsi Jawa Tengah. Penelitian lapangan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, mulai bulan Juni - Agustus 2002. Selama periode waktu ini, peneliti tinggal di lingkungan komunitas Kauman dan masyarakat di sekitarnya. Dalam upaya verifikasi data dan pengembangan analisis, peneliti beberapa kali datang ke lapangan setelah periode itu.
29 Pembahasan penelitian tesis ini menggunakan pendekatan penelitian lapangan melalui pengamatan berperan-serta atau participant observation. Bogdan (1972) seperti dikutip Moleong, mendefinisikan secara tepat pengamatan berperan-serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan (Moleong, 1999:117). Pada tahap awal, di samping kegiatan studi pustaka, peneliti melakukan studi pendahuluan pada bulan November 2001. Dalam studi pendahuluan ini didapatkan gambaran umum tentang monografi Kauman. Kemudian, pada bulan Desember 2001, peneliti melakukan penjajagan lapangan; maksud dan tujuannya adalah lebih mengenal unsur-unsur lingkungan fisik, sosial, dan keadaan alam. Kirk dan Miller (1986) seperti dirujuk Moleong, merumuskan segi-segi yang berkaitan dengan tahap ini meliputi: (1) pemahaman atas petunjuk dan cara hidup; (2) memahami pandangan hidup; dan (3) penyesuaian diri dengan keadaan lingkungan tempat penelitian (lihat Moleong, 1999:88-89). Pada tahap penelitian di lapangan, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif kepada para informan dan melakukan observasi umum, dan mencatat semua ini dalam catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka
30 pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif (lihat Moleong, 1999:153). Sumber informasi yang paling penting dalam penelitian kualitatif adalah informan. James P. Spradley mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh; (2) keterlibatan langsung; (3) suasana budaya yang tidak dikenal; (4) waktu yang cukup; dan (5) non-analitis (Spradley, 1997:59-70). Berdasarkan kegiatan pendahuluan yang telah dilaksanakan, peneliti menetapkan bapak kepala desa Kauman sebagai satu-satunya informan kunci. Dalam lingkungan permukiman penduduk yang ‘tertutup’ seperti kampung Kauman ini, peneliti melihat bahwa bapak kepala desa adalah orang yang paling tahu tentang kondisi sosio-kultural warganya. Dari informan kunci inilah kemudian peneliti menemukan dan menetapkan informan-informan yang lain. Untuk pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi melalui sumber-sumber lainnya. Hal ini dapat dicapai dengan jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orangorang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan; dan (5) membandingkan
31 hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (lihat Moleong, 1999:178). Untuk mendeskripsikan suatu kultur tidaklah cukup hanya dengan menggunakan catatan lapangan; dia juga membutuhkan kelengkapan dokumentasi suasana kultural yang dipelajari, yang diperoleh melalui alat perekam, gambar, artifak, dan benda lainnya. Menurut Spradley, ada tiga sumber mendasar yang harus diperhatikan, yaitu: (1) berkaitan dengan apa yang dikatakan orang; (2) berkaitan dengan bagaimana orang bertindak; dan (3) berkaitan dengan artifak yang digunakan orang. Sumber pertama menunjuk tentang pengetahuan kultural, sumber kedua menunjuk tentang tingkah laku kultural, sedangkan sumber ketiga menunjuk tentang artifak kultural. Secara bersama-sama sumber-sumber itu dapat membentuk suatu deskripsi kultural secara tepat (Spradley, 1997:10). Data-data kultur yang merupakan konstruksi hasil interaksi peneliti dengan sumber data, kemudian direkonstruksi. Kegiatan ini oleh Guba dinamakan analisis (lihat Muhadjir, 2000:177). Sedangkan Bogdan dan Taylor (1975) seperti dikutip Moleong, mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (kerja) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu (lihat Moleong, 1999:103). Dengan demikian, kegiatan analisis dilakukan tidak harus menunggu hingga seluruh data penelitian
32 lapangan terkumpul, namun ia bisa dilakukan sebelum memulai pengamatan dan wawancara berikutnya. Cara analisis yang digunakan dalam penelitian ini, mengacu kepada model analisis yang dikembangkan oleh Victor Turner, yaitu processual symbolic analysis (lihat Marzali, 2000). Untuk mengungkap makna dari simbolsimbol, dilakukan melalui tiga cara. Pertama, dari interpretasi komunitas Kauman dan masyarakat di sekitarnya terhadap suatu simbol, yang dapat diperoleh melalui informasi oral yang diberikan informan ketika pertanyaan diajukan kepadanya tentang makna suatu simbol. Kedua, dari bagaimana simbol-simbol secara nyata digunakan dan diperlakukan oleh komunitas Kauman dan masyarakat di sekitarnya dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup, melalui kegiatan pengamatan terhadap perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, yang harus diperhatikan adalah proses perilaku yang nyata, struktur sosial para pelaku, dan kualitas perasaan para pelaku kegiatan. Jadi, berarti bahwa simbol merupakan satu construct - kesimpulan yang ditarik peneliti - yang diperoleh melalui gabungan hasil pengamatan terhadap perilaku dan perasaan para pelaku kegiatan dan pengetahuan peneliti mengenai struktur sosial komunitas Kauman dan masyarakat di sekitarnya. Dari kedua cara ini, dapat dipakai untuk menguji, apakah penafsiran yang diberikan oleh informan tentang sesuatu simbol sesuai dengan operasional. Ketiga, dari dimensi posisionalnya, yaitu melalui pembahasan terhadap hubungan antara sebuah simbol dengan simbol-simbol yang lain dalam sebuah totalitas, atau satu rumpun simbol. Di sini, makna simbol diperoleh melalui penarikan
33 kesimpulan (inferensi) setelah mempertimbangkan keseluruhan rumpun simbol, dan menghubungkannya dengan tujuan dan nilai tindakan yang bersangkutan bagi keseluruhan sistem dan praktek kehidupan dalam komunitas Kauman dan masyarakat di sekitarnya. Pada tahap konklusi, peneliti dengan sengaja datang lagi ke lokasi penelitian untuk lebih memantapkan penarikan konklusi. Pada tahap ini, peneliti juga banyak melakukan dialog dan diskusi dengan para informan, terutama informan kunci tentang hasil akhir penelitian ini. Dengan cara demikian, diharapkan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dijawab secara tuntas. (Gambar 01).
34
Individuindividu/kelompok orang yang menjadi subyek
1
2 Simbol-simbol yang dipakai: - Ucapan - Tingkah laku - Artifak
Kultur Kauman
3
Tata Ruang Arsitektur Kauman
5
4 8
6 Peneliti
7 Kultur Peneliti
Keterangan: 1 Subyek dengan pengetahuan kulturalnya 2 menciptakan dan menggunakan symbol-simbol 3 untuk memaknai tata ruang arsitekturnya 4 Peneliti melihat symbol-simbol yang diciptakan dan digunakan subyek 5 untuk memahami makna tata ruang arsitektur subyek 6 kemudian dengan menggunakan makna tata ruang arsitektur subyek 7 dan dengan pengetahuan kulturalnya 8 peneliti mendeskripsikan kultur Kauman
Gambar 01. Alur pikir penelitian
BAB II GAMBARAN UMUM JAWA DAN KUDUS 2.1. Jawa dalam Perspektif Sejarah Perhatian tentang Jawa, untuk pertama kalinya terdapat dalam berita Tionghoa, Fo Kuo Chi, yang ditulis oleh Fahien, seorang pendeta Budha Cina pada abad ke-V. Dalam perjalanan pulang dari India ke Cina, sesampainya di Srilangka Fahien memutuskan meneruskan perjalanan lewat laut. Pada tahun 414, kapal dagang yang ditumpangi Fahien sampai di pesisir pantai Utara Jawa. Setelah lima bulan singgah di Jawa, Fahien melanjutkan perjalanan dengan menumpang kapal dagang yang lain. Menurut cerita Fahien, di Jawa (Ya-va-di) tumbuh subur kelompok orang-orang bid’ah dan kelompok brahmana (Groeneveldt,1960:6-7). Berita lain yang berasal dari seorang pendeta Budha, I-tsing, menceritakan bahwa dalam tahun 664 telah datang seorang pendeta bernama Hwi-ning di Holing, dan ia tinggal di tempat itu selama tiga tahun. Dengan bantuan pendeta Holing bernama Jnabhadra, pendeta Hwi-ning menterjemahkan berbagai kitab suci agama Budha Hinayana (Soekmono, 1973:37). Sayang sekali
35
36 keterangan-keterangan lain yang lebih jelas tentang Holing atau Keling tidak ada. Kerajaan Holing secara teratur mengirimkan utusan disertai pemberian upeti kepada kaisar Cina. Hubungan dagang dan diplomatik antara Jawa dan Cina berlangsung hingga masa-masa terakhir kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-XV atau awal abad ke-XVI. Sebagian penulis sejarah menganggap bahwa hubungan Jawa-Cina tidak lebih dari pengakuan kedaulatan rajaraja Jawa kepada kekaisaran Cina. Satu-satunya raja Jawa yang tidak mau mengakui kedaulatan kaisar Cina adalah Kertanegara, raja Singasari (1268-1292). Akibatnya, kaisar Cina marah dan harus mengirimkan tentaranya untuk menyerang Jawa. Menurut Sejarah Dinasti Yuan, buku 162, Laporan Shih-pi dan Laporan Kau hsing menceritakan saat-saat terjadinya penyerangan tentara Cina terhadap kerajaan Jawa. Diberitakan, ketika Jawa (raja) melukai muka utusan kaisar (Kublai Khan) bernama Meng Ch’i, sang kaisar menunjuk Kau Hsing, bersama dengan Shih-pi dan Ike Mese memimpin pasukan dan pergi untuk menundukkan negeri ini (Jawa). Pada awal tahun 1293 mereka tiba di Jawa. Pada waktu itu Jawa sedang terlibat permusuhan dengan negeri (kerajaan) tetangganya, Kalang, dan raja Jawa yang bernama Hadji Ka-ta-na-ka-la telah dibunuh oleh pangeran orang-orang Kalang yang bernama Hadji Katang. Menantu raja Jawa yang bernama Tuhan Pidjaja telah menyerang Hadji Katang, namun tidak bisa mengalahkannya; untuk itu dia bergerak mundur ke Modjopait. Ketika mendengar Shih-pi dan tentaranya telah tiba (di kota Tuban), dia mengirim utusan dengan
37 sejumlah laporan tentang sungai-sungai, pelabuhan laut, dan peta negeri Kalang. Dia juga menyatakan ketundukannya kepada Shih-pi dan pasukannya. Shih-pi kemudian maju dengan kekuatan seluruh tentaranya, menyerang pasukan Kalang dan mengepungnya, yang kemudian menyebabkan Hadji Katang menyerah. Tuhan Pidjaja yang telah membantunya, minta ijin kepada Shihpi untuk pulang ke Modjopait, dikawal oleh dua orang pegawai Shih-pi dan ditemani 200 orang. Belakangan, Tuhan Pidjaja membunuh semua pengawal-pengawal ini, dan kemudian bahkan memporak-porandakan tentara Cina yang masih dimabuk kemenangan; diperkirakan 3000 tentara Cina terbunuh (Groeneveldt,1960:26-28). Sumber-sumber lokal juga menuturkan peristiwa itu, namun penyebutan nama tokoh-tokohnya agak berbeda, seperti Ka-ta-na-ka-la adalah Kertanegara (raja Singasari), Katang adalah Jayakatwang (raja Kediri), Kalang adalah Kediri, Tuhan Pidjaja adalah Raden Wijaya (raja Majapahit). Sejak tahun 1293, Jawa diperintah oleh Raden Wijaya, raja pertama kerajaan Majapahit. Keberhasilan Raden Wijaya menjadi raja Jawa tidak terlepas dari peran penting tokoh dari Madura bernama Arya Wiraraja, seorang adipati Sumeneb. Arya Wiraraja tidak hanya mengantarkan Raden Wijaya menjadi penguasa tertinggi di tanah Jawa, tetapi juga mengirimkan orang-orangnya termasuk anaknya sendiri yang bernama Rangga Lawe ketika menantu Kertanegara ini membuka daerah hutan Tarik menjadi sebuah pemukiman yang kemudian dikenal dengan Majapahit. Negarakretagama memberitakan
38 bahwa Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana mangkat pada tahun Saka 1231 atau Masehi 1309. Puncak kejayaan kerajaan Majapahit terjadi pada masa raja Hayam Wuruk (1350-1389) bersama patih Mangkubumi Gajah Mada. Seluruh wilayah Nusantara ditambah dengan jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit, sedangkan hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik (Soekmono, 1973:71). Negarakretagama menyebutkan bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnataka datang ke Majapahit. Berkat kunjungan pedagang-pedagang asing itu maka nama Majapahit yang biasa disebut Jawa saja, menjadi mashur di luar negeri. Pelabuhan dagang Majapahit pada abad ke-XIV, adalah Tuban, Gresik dan Surabaya (Slametmuljana, 1979:149). Kesulitan mulai muncul setelah Gajah Mada mangkat pada tahun 1364. Hayam Wuruk dan para pembesar kerajaan mengadakan rapat dan memutuskan bahwa kedudukan Gajah Mada tidak dapat digantikan oleh siapapun (Soekmono, 1973:73). Pararaton memberitakan bahwa jabatan patih Mangkubumi sepeninggal Gajah Mada kosong selama tiga tahun (Slametmuljana, 1979:140). Kemudian, setelah raja Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389 tidak ada seorang pegganti raja yang mampu mempertahankan kesuksesan pendahulunya; kerajaan Majapahit mengalami masa suram dan kemunduran. Perang saudara antara para keluarga raja, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar ibukota Majapahit, dan penyebaran agama
39 Islam yang sejak tahun 1400 berpusat di Malaka dan yang disertai dengan timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit, adalah peristiwaperistiwa yang menandai masa runtuhnya kerajaan yang tadinya mempersatukan seluruh Nusantara (Soekmono, 1973:78). Dalam tahun 1478, kekuasaan Majapahit di daerah delta sungai Brantas diambil-alih oleh raja bawahan Majapahit, yang kemudian memindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Daha. Sementara itu, kota-kota pelabuhan Islam di Jawa bagian Utara seperti Demak, Jepara, Pati, Juwana dan Gresik yang terus berkembang, berkali-kali telah berusaha merongrong kekuasaan Majapahit yang sedang menurun (Koentjaraningrat, 1984:47dan56). Sekitar tahun 1527 sisa-sisa terakhir kerajaan Majapahit dihancurkan oleh kerajaan Demak. Denys Lombard dalam karya termasyhurnya Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, bagian II (1996), yang secara lugas mengupas jaringan perniagaan Asia, menyatakan bahwa selama kira-kira enam puluh tahun, dari tahun 1527 sampai 1588, kekuasaan agraris dari pedalaman yang sampai saat itu unggul di bagian Tengah pulau Jawa, lalu di bagian Timurnya, sama sekali ditundukkan dan disingkirkan oleh kekuasaan niaga dari pesisir (Lombard, II, 1996:52). Kegiatan perekonomian, politik dan keagamaan dikendalikan dari pusat kerajaan Islam Jawa, yaitu Demak yang diperintah oleh Sultan Trenggono (15041546). Pada periode ini, masyarakat-masyarakat dagang kosmopolit pesisir, seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati,
40 Rembang, Tuban dan Surabaya di bagian Tengah dan Timur, kemudian Cirebon dan Banten di bagian Barat mengalami zaman keemasannya. Setelah Sultan Trenggono wafat secara mendadak dalam ekspedisi melawan Pasuruan (Panarukan) di ujung Timur pulau Jawa pada tahun 1546, selama kurang lebih empat puluh tahun keadaan kacau. Di bawah pemerintahan pengganti Sultan Trenggono, yaitu Sunan Prawoto, yang sebentar berkuasa (1546-1549), Demak tidak lagi memegang hegemoni. Arya Penangsang, penguasa Jipang Panolan (sebelah Tenggara Cepu sekarang) yang berhasil membunuh Sunan Prawoto dan mencoba merebut kekuasaan dapat dikalahkan oleh Jaka Tingkir penguasa Pajang (dekat Surakarta sekarang). Ia, yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijoyo, telah mengubah tempat kediamannya menjadi ibu kota suatu kerajaan pedalaman di Jawa (1549-1588), sebelum akhirnya dikalahkan oleh Senopati, anak Ki Pemanahan, penguasa Mataram di Kotagede (dekat Yogyakarta sekarang) pada tahun 1588. Serentetan ekspedisi melawan Surabaya, Madiun, Pasuruan, Tuban dan Pati memungkinkan konsolidasi kewibawaan Mataram yang dalam abad berikutnya menjadi kekuasaan terpenting di Jawa (lihat Graaf, 1985:83-97; Lombard, II, 1996:54-57). Mataram mencapai puncak kejayaannya saat di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1646). Kekuatan-kekuatan dari pedalaman, yang selama kurang lebih enam puluh tahun kacau tatanannya, telah muncul kembali; ia kemudian dapat menghidupkan kembali tatanan Majapahit yang lama, sambil memanfaatkan
41 sebagian dari ideologi Islam yang baru (lihat pula Lombard, II, 1996:52). Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1646, penggantinya Sunan Amangkurat I (1646-1677) telah melakukan tindakan-tindakan keras terhadap lawanlawan politiknya, tidak terkecuali pada keluarga kerajaan sendiri dan pembunuhan secara besar-besaran terhadap para ulama pesisir. Pada periode ini, hubungan Mataram dengan Kompeni Belanda mengalami pasang surut. Kesempatan Kompeni untuk bisa melakukan infiltrasi ke pusat kerajaan mulai terbuka pada masa Sunan Amangkurat II (1677-1703). Pada awal pemerintahannya, Sunan mengadakan perjanjian dengan Kompeni Belanda (VOC) yang salah satu pilihannya adalah VOC dijanjikan memungut hasil dari pajak pelabuhan-pelabuhan daerah pesisir sampai hutang Mataram kepada Kompeni Belanda lunas. Pada masa Pakubuwono I (1704-1719), Mataram memberikan banyak konsesi-konsesi kepada pihak Kompeni Belanda sebagai ganti bantuannya kepada sang Raja menduduki singgasananya. Pada tahun 1705, Mataram membuat perjanjian baru dengan Kompeni Belanda, salah satu opsinya adalah VOC diberikan hak membangun benteng-benteng dimanapun di Jawa. (Ricklefs, 1991:104-131). Menurut Ronald Gill, sampai dengan tahun 1746, daerah pesisir Utara Jawa yang telah menjadi kekuasaan Kompeni Belanda yaitu Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan dan Blambangan (dalam Budihardjo, 1997:63).
42 Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, kerajaan Mataram semakin lemah dan terpecah-pecah. Pada tahun 1755, berdasarkan perjanjian Giyanti, kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dengan raja Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian pada tahun 1757, kerajaan Surakarta pecah menjadi dua, selain Kasunanan Surakarta ada Mangkunegaran dengan penguasa Mas Said yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I. Kerajaan Yogyakarta, pada tahun 1812/1813, dibagi menjadi dua, selain Kasultanan Yogyakarta ada Pakualaman dengan penguasa Natakusuma yang bergelar Pangeran Pakualam I. Salah satu warisan raja-raja Mataram, yang dirintis oleh Sultan Agung, yang kemudian menjadi kekayaan kultur Jawa, adalah unggah-ungguhing basa (bahasa berjenjang) dalam percakapan sehari-hari orangorang Jawa. Bahasa percakapan orang-orang Jawa memiliki tingkatan-tingkatan, dari tingkatan yang paling rendah atau kasar, yaitu ngoko, hingga ke tingkatan yang paling tinggi atau halus, yaitu kromo inggil. Menurut Moedjanto, diberlakukannya unggah-ungguhing basa dalam lingkungan kerajaan Mataram adalah dalam rangka keagung-binataraan (celestial grandeur) raja Mataram (Moedjanto, 1993:153-184). 2.2. Kultur Jawa Orang Jawa adalah orang-orang yang berdiam di bagian Tengah dan Timur pulau Jawa yang bahasa ibunya menggunakan bahasa Jawa. Di bagian Barat pulau Jawa
43 ditempati orang Sunda. Batas daerah Jawa dan Sunda sulit ditentukan secara tepat, namun secara umum daerah yang sekarang menjadi propinsi Jawa Barat dan Banten adalah daerah sunda. Pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa ngoko dan Jawa kromo. Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa kromo dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur atau derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, kemudian ada variasi dari berbagai kombinasi katakata dari bahasa Jawa ngoko dan kromo. Demikian ada misalnya bahasa Jawa madya ngoko, madya antara, madya kromo dan kromo inggil. Ada pula bahasa kedaton, yang khusus dipergunakan di kalangan istana, dan bahasa Jawa kasar, yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999:329330). Dalam wilayah kultur Jawa sendiri dibedakan lagi antara penduduk pesisir utara di mana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan bentuk kultur Jawa yang khas yaitu kultur pesisir, dan penduduk pedalaman yang memiliki pusat kultur dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta menghasilkan bentuk kultur yang disebut
44 kejawen (Suseno, 1993:12). Kejawen, menurut Laksono, adalah daerah yang hingga berakhirnya Perang Diponegoro (1825-1830) masih diperintah secara langsung oleh kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, termasuk Mangkunegaran dan Pakualaman; daerah-daerah itu meliputi Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Bagelen, Madiun dan Kediri (Laksono, 1990:4) Di dalam kenyataan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari keluarga keraton dan keturunan bangsawan, pegawai negeri, dan kaum terpelajar yang dianggap sebagai kelompok masyarakat lapisan atas dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti para petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya yang dianggap sebagai kelompok masyarakat lapisan bawah. Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang abangan. Orang santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Adapun golongan abangan adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu; misalnya ia tidak shalat, tidak puasa, dan tidak bercita-cita untuk melakukan ibadah haji. Pada umumnya orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasekten, arwah atau roh leluhur, dan mahkluk-mahkluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit dan lainnya yang menempati alam
45 sekitar tempat tinggal mereka. Mereka menganggap bahwa mahkluk-mahkluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, bersaji, dan mengadakan slametan (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999:347). Slametan atau disebut kendurenan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok social tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan, seperti kelahiran, pernikahan, kematian, pindah rumah, panen padi, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, dan memulai suatu rapat politik. Pada acara slametan, tuan rumah mengundang pula modin, ahli agama desa yang resmi untuk memimpin doa, tetapi biasanya cukuplah kalau si tuan rumah mengundang seorang teman yang dia tahu telah belajar di pesantren
46 beberapa lamanya dan bisa membacakan doa Arab yang pendek-pendek (Geertz, 1981:13-16). Dalam perjalanan hidup seseorang, mulai dari dalam kandungan ibunya sampai pada waktu ia meninggal dunia, pada saat-saat tertentu orang Jawa akan mengadakan berbagai ritual, seperti tingkeban, kelahiran, selapanan, tedak siten, khitanan, perkawinan, kematian, dan lain-lain. Di dalam ilmu Antropologi ritualritual semacam ini lazim disebut ritus peralihan. Kemudian masih ada ritual-ritual yang berkenaan dengan hari-hari penting Islam, seperti ruwahan, selikuran, lebaran, sawalan, besaran, suran, saparan, muludan, dan lain-lain (Pontjosutirto dalam Koentjaraningrat, 1993:108109). Peristiwa yang terjadi pada sekitar lingkaran hidup manusia, seperti kelahiran, kematian, nasib baik dan buruk, jodoh, dan sebagainya bukanlah peristiwa yang terjadi secara kebetulan tetapi merupakan peristiwa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan peristiwaperistiwa tertentu, seperti khitanan, perkawinan, pindah rumah dan sejenisnya merupakan peristiwa yang direncanakan oleh manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak terjadi sembarangan melainkan oleh orang Jawa telah dipertimbangkan dengan cermat dalam petungan (Radjiman, 2000:35-37). Dasar sistem petungan ini terletak pada konsep metafisis orang Jawa yang fundamental, yaitu cocok. Cocok berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, dan persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (Geertz, 1981:38-39).
47 Sebuah keluarga Jawa pada umumnya berbentuk keluarga inti atau batih yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anaknya. Tetapi kadang-kadang bentuk keluarga inti bertambah anggotanya, yakni orang-orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga tersebut seperti ayah, ibu, kakak, adik, atau keponakan dari kedua atau salah satu pasangan suami istri. Bagi Hildred Geertz, anggota keluarga Jawa yang dianggap terpenting adalah selain suami, istri dan anak-anaknya, juga orang tua ayah dan ibu (Geertz, 1983:6-7). Keluarga inti atau batih yang pada umumnya disebut dengan istilah kulawarga dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala kulawarga disebut kepala somah. Ia bisa seorang laki-laki, tetapi bisa juga seorang perempuan, ialah apabila si suami telah meninggal dunia (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999:340). Selain bentuk keluarga inti tersebut, ada pula suatu bentuk keluarga luas, yaitu apabila dalam satu tempat tinggal terdapat dua, tiga atau lebih keluarga inti. Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendirisendiri dalam anggaran belanja rumah tangganya. Suatu keluarga luas tetap dikepalai oleh satu kepala somah. Untuk menyatakan pertalian hubungan kekerabatan keluarga Jawa, dipergunakan terminologi berdasarkan prinsip bilateral dan generasional, yaitu melihat dirinya sendiri ada di tengah-tengah sebuah tata jajaran : eyang/mbah kakung (kakek), eyang/mbah putri
48 (nenek), bapak (ayah), ibu, mas atau kang (saudara tua atau senior laki-laki), mbak atau mbakyu (saudara tua atau senior perempuan), dik atau adik (saudara muda atau yunior laki-laki dan perempuan), lare atau putra (anak), putu atau wayah (cucu) (Geertz, 1983:19-22 dan Koentjaraningrat, 1984:145-148). Dalam hubungan kekerabatan saudara dekat dalam tata jajaran seperti itu dipergunakan pula istilah-istilah : mbahde - mbah gede (saudara yang lebih tua atau senior dari kakek dan nenek), pakde - bude, berasal dari kata bapak gede dan ibu gede (saudara tua atau senior dari ayah dan ibu), paklik - bulik, berasal dari kata bapak cilik dan ibu cilik (saudara muda atau yunior dari ayah dan ibu)), keponakan atau kemenakan (anak laki-laki dan perempuan dari saudara tua atau muda), putu atau wayah keponakan (cucu saudara tua atau muda). Untuk menyebut hubungan kekerabatan akibat adanya perkawinan dipergunakan istilah-istilah tambahan, yaitu : morotuo atau morosepuh di belakang nama-nama atau kata-kata mbah, bapak dan ibu dari suami atau istri; tambahan kata ipe atau ipar di belakang kata mas, mbakyu, adik dari suami atau istri. Mata rantai dari suatu perkawinan memunculkan pula istilah mantu atau menantu di belakang istilah anak dan cucu, dan istilah besan untuk menunjukkan hubungan antara kedua orang tua pihak suami dan istri. Dalam keluarga Jawa tidak ada aturan khusus mengenai tempat menetap seseorang sesudah ia menikah. Idealnya adalah sepasang pengantin baru mempunyai suatu rumah tangga sendiri yang neolokal (somah), terpisah dari orang tuanya; hal ini terbukti juga dengan
49 adanya istilah omah-omah yang berarti telah berumah tangga. Kenyataannya, tidak semua orang dapat berbuat begitu, sehingga terpaksa harus tinggal bersama orang tua dari salah satu pihak, yaitu secara virilokal (bertempat tinggal bersama pihak keluarga laki-laki) atau uxorilokal (bertempat tinggal bersama pihak keluarga perempuan), selama beberapa waktu sesudah mereka menikah. Lambat-laun mereka akan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun oleh orang tua istri atau suami di halaman rumah orang tuanya itu juga. Apabila halaman rumah terlalu sempit untuk didirikan rumah yang terpisah, maka seringkali terjadi bahwa tempat tinggal untuk keluarga yang baru itu dibangun menempel pada rumah induk, dengan jalan menyambung atapnya (lihat Koentjaraningrat, 1984:136-138). Rumah asli keluarga petani Jawa biasanya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 8 x 10 meter persegi, dengan tiang-tiang kayu untuk kerangkanya.Dindingnya terbuat dari anyaman bamboo (gedhek) yang seringkali tidak mempunyai jendela. Pada kedua sisi panjang dari rumah berbentuk persegi panjang itu terdapat pintu dorong yang terbuat dari bambu dan gedhek. Bagian dalam rumah dibagi-bagi dengan sekatsekat yang terbuat dari anyaman bambu pula, yang dengan mudah dapat digeser, menjadi ruangan-ruangan yang dapat dirubah-rubah. Lantai rumah tidak disemen maupun diberi ubin, melainkan masih berupa tanah yang sudah mengeras (jogan). Dapurnya biasanya terdapat di belakang rumah, berupa suatu bangunan kecil yang menempel pada dinding belakang atau samping rumah; di
50 dapur terdapat sebuah tungku (Koentjaraningrat, 1984:138). Pada umumnya, rumah keluarga petani berbentuk kampung (trojogan atau srotong), dengan penutup atap berupa daun atap yang disusun berlapislapis. Besar dan bentuk rumah merupakan simbol dari kedudukan sosial keluarga yang menempatinya. Bentuk rumah ditentukan oleh bentuk atapnya. Orang desa biasanya memiliki rumah dengan atap kampung. Rumah dengan atap berbentuk limasan hanya boleh ditempati oleh keluarga-keluarga yang merupakan keturunan penduduk desa yang pertama, yang biasanya merupakan elit desa. Rumah kepala desa dan beberapa pegawai pamong desa biasanya juga mempunyai atap berbentuk limasan, dan kadang-kadang bahkan atap joglo, yang pada zaman dahulu hanya boleh digunakan untuk rumah pegawai pamong praja, atau untuk rumah bangsawan di kota-kota pusat kerajaan (periksa Koentjaraningrat, 1984:140). Rumah tempat tinggal tradisional Jawa bagi golongan bangsawan minimal memiliki tiga bagian dalam sebuah kesatuan yang masing-masing bagian mempunyai atap sendiri. Pertama adalah pendopo, letaknya ada di depan rumah bersifat publik, sebuah pavilion terbuka, beratap joglo; bukan untuk aktivitas kehidupan seharihari penghuninya melainkan lebih berfungsi sebagai tempat pelaksanaan upacara atau kegiatan formal yang melibatkan orang banyak, misalnya upacara selametan, pergelaran wayang kulit, dan juga tidak jarang untuk menerima tamu. Bagian ini ditopang oleh empat buah pilar yang dinamakan sokoguru. Kedua adalah pringgitan,
51 bagian yang agak kecil, mempunyai kekhasan tersendiri sebab di bagian ini kadang kala harus bisa ditempatkan sebuah panggung dan sekaligus layar untuk pertunjukan wayang. Untuk sehari-harinya pringgitan berfungsi sebagai jalan terusan, penghubung antara pendopo dan rumah induk, bisa juga berfungsi untuk menerima tamu; sifatnya semi publik. Ketiga adalah rumah induk yang dinamakan ndalem ageng atau omah mburi (rumah belakang). Pada bagian inilah, seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari keluarga penghuni dilakukan; sifatnya privat, tidak sembarang orang yang bukan termasuk famili bisa masuk ke bagian ini. Struktur utamanya didukung oleh empat tiang, sokoguru. Ndalem ageng divisualisasikan oleh ruang utama di bawah atap bentuk joglo, minimal terdapat tiga ruangan yang sangat penting, yaitu sentong tengah, sentong kiwo (kiri) dan sentong tengen (kanan). Sentong tengah atau juga dinamakan krobongan memiliki nilai kesakralan yang sangat tinggi, sebagai ruangan sentral pada rumah tradisional Jawa; tempat menyimpan pusaka, tempat persembahan bagi dewi Sri, dewi kesuburan, dan tempat sesaji untuk upacara-upacara ritual bagi leluhur. Sentong kiri dan sentong kanan untuk ruang tidur. Pengembangan atau penambahan ruangruang tidak jarang terjadi; tergantung pada status sosial penghuninya, namun penambahan yang dilakukan diusahakan tidak mengurangi dominasi ketiga bagian yang telah disebutkan di atas. Apabila memungkinkan dapat ditambahkan ruangan-ruangan seperti gandok di sebelah kiri dan kanan rumah induk berfungsi sebagai ruang keluarga atau serambi sampaing dan bisa juga yang
52 sebelah kiri sebagai ruang tidur bagi anak perempuan, sedangkan gandok di sebelah kanan sebagai ruang tidur anak laki-laki. Di sebelah kanan rumah juga bisa ditambahkan ruang tidur tamu. Di bagian belakang atau samping rumah induk terdapat dapur, kadang-kadang menempel dengan rumah induk (ndalem ageng); di dekatnya, ruang untuk makan (gadri) sering ditempatkan. Kamar mandi, kulah (untuk wudlu) dan sumur terletak di bagian belakang terpisah dengan rumah induk. Pada umumnya, kamar mandi dan sumur terletak di sebelah kiri rumah, sehingga ia disebut pekiwan (kiwo=kiri). Sebuah elemen yang kuat, menciptakan rasa privasi yang tinggi, diwujudkan dalam bentuk pagar tembok yang mengelilingi rumah; pada masa sekarang di rumah-rumah desa pagar tembok banyak yang telah di ganti dengan pagar semak-semak tanaman (Prijotomo,1988:39-43; Ismudiyanto,1987:91-94; Reksodihardjo,1982:185-189). Seperti disinggung di atas bahwa inti dari rumah tradisional Jawa adalah adanya sentong tengah atau krobongan, suatu ruang untuk kegaitan pemujaan kepada roh leluhur, penghormatan kepada dewi kesuburan (Sri), dan penyimpanan beras. Tempat untuk beras biasa dinamakan pedaringan, sebuah gentong kecil. Urusan pedaringan adalah bagian kaum perempuan; orang lelaki tidak boleh masuk ruang dimana pedaringan berada. Pernah suatu kali, peneliti, ketika masa-masa kecil dahulu, mendapat hardikan dari nenek saat berada di dalam ruangan ini ingin mengambil beras dari dalam genthong. “Anak laki-laki tidak boleh dekat-dekat dengan pedaringan” katanya waktu itu. Peneliti masih ingat pula bahwa salah satu saudara kandung yang baru saja lahir,
53 ari-ari atau plasenta bayi dipendam tidak jauh dari pedaringan; di atas gundukan tanah dimana ari-ari dipendam, diletakkan lampu penerang (uplik). Mungkin maksud nenek mendekatkan plasenta bayi dengan pedaringan adalah supaya dewi Sri berkenan kepada si bayi atau anak; dengan harapan si bayi nantinya bisa hidup kecukupan, tidak kekurangan pangan. Ringkasnya, kedudukan sentong tengah sangat dominan dalam aktifitas kehidupan masyarakat Jawa, yaitu menjadi sandaran kehidupan sehari-hari bagi penghuni rumah. Kemakmuran di dunia disandarkannya kepada kebaikan dari dewi Sri, dewi padi, dewi kesuburan; penghuni rumah berusaha agar pedaringan tidak kosong. Keselamatan dan ketentraman di dunia disandarkannya kepada kebaikan dari roh-roh leluhur, berusaha agar leluhur mereka tetap berkenan, tidak marah terhadap mereka; untuk itu pada saat-saat tertentu dilakukan selamatan dan disiapkanlah sesaji, biasanya berupa satu porsi “makanan” lengkap dengan minumannya. “Makanan” ditaruh dalam takir, sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang, dan wadah minumannya berupa sebuah kendi kecil; keduanya diletakkan di dalam ruangan yang dianggap sakral, yaitu sentong tengah. (Gambar 02). Dalam pembagian warisan harta benda peninggalan orang tua, orang Jawa menggunakan dua cara, yaitu cara perdamaian dan cara sepikul segendongan. Pembagian warisan menurut cara perdamaian, adalah sebenarnya suatu permusyawaratan di antara para ahli waris, dimana ditentukan siapakah
54 yang berhak memperoleh bagian lebih dari lain-lainnya ataupun semua mendapat bagian yang sama.
Gambar 02. Tipikal denah rumah tradisional Jawa ( Sumber: Ismudiyanto, 1987:92)
Sedangkan menurut pembagian warisan dengan cara sepikul segendongan, ditetapkan bahwa anak lakilaki mendapat bagian sebanyak 2/3 dan anak perempuan mendapat 1/3 bagian dari seluruh jumlah warisan orang
55 tua. Untuk memperkuat hak dan kewajiban terhadap peninggalan harta benda milik orang tua, masing-masing yang berkepentingan dapat meminta penyaksian kepala desa atau anggota-anggota pamong desa lainnya (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1999:342-343). Desa sebagai tempat kediaman tetap bagi mapenelitirakat Jawa di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah yang paling rendah. Secara administrative desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap dukuh dipimpin oleh seorang kepala dukuh, dan desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Seorang kepala desa yang sudah dipilih dan diangkat akan tetap menduduki jabatannya selama ia masih didukung oleh rakyatnya, dan kedudukan itu pada umumnya berlangsung seumur hidup. Menurut Koentjaraningrat, desa-desa dengan penduduk lebih dari 3.000 orang, biasanya ada seorang wakil kepala desa (congkok), seorang penulis desa (carik), satu atau dua orang bendahara (kamisepuh), satu atau dua orang pegawai keagamaan (modin), beberapa orang ‘polisi’ (jagabaya), dan beberapa orang penyiar pengumuman (kebayan). Selanjutnya, Koentjaraningrat menuturkan, seorang kepala desa dan pegawainya tidak menerima gaji dari pemerintah, tetapi sebagian penghasilan mereka diperoleh dari hak mereka untuk menggunakan tanah (bengkok) yang diberikan kepada mereka selama mereka menjabat, dan sebagian lagi dari pajak serta jasa yang mereka terima dari penduduk desa,
56 yang berdasarkan 1984:203-205).
adat
(periksa
Koentjaraningrat,
2.3. Keadaan Alam dan Sejarah Perkembangan Kudus Secara geografis, Kudus terletak di antara 11036’ dan 11059’ Bujur Timur dan di antara 651’ dan 716’ Lintang Selatan. Ketinggian tanahnya rata-rata 55 meter dari permukaan air laut dengan iklim tropis dan bertemperatur sedang. Luas wilayah Kudus 425, 16 km2; bagian selatan berupa dataran rendah untuk pertanian, sedangkan bagian utara berupa lereng gunung Muria. Curah hujan relatif rendah yaitu rata-rata di bawah 300 mm per tahun dan lama waktu hujan rata-rata 150 hari per tahun. Suhu udara maksimum jatuh pada bulan September 29,4 C, sedangkan suhu terendah jatuh pada bulan Juli 17,6 C. Secara administratif, Kudus menyandang status kabupaten, atau disebut dengan istilah sekarang daerah swatantra tingkat II, termasuk dalam karesidenan Pati. Kabupaten Kudus terbagi menjadi tiga wilayah pembantu bupati (kawedanan), yaitu: (1) wilayah pembantu bupati Kota yang terdiri atas kecamatan Kota dengan 25 desa, kecamatan Jati dengan 14 desa, dan kecamatan Undaan dengan 14 desa; (2) wilayah pembantu bupati Cendono yang terdiri atas kecamatan Bae dengan 10 desa, kecamatan Gebog dengan 11 desa, dan kecamatan Kaliwungu dengan 15 desa; dan (3) wilayah pembantu bupati Tenggeles yang terdiri atas kecamatan Jekulo dengan 12 desa, kecamatan Mejobo dengan 11 desa, dan kecamatan Dawe dengan 18 desa. Wilayah kabupaten Kudus berbatasan disebelah timur dengan kabupaten Pati, disebelah selatan dengan kabupaten Grobogan dan
57 Demak, dan di sebelah barat dengan kabupaten Jepara. Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Tengah, luas wilayah kabupaten Kudus paling kecil. (Gambar 03).
Gambar 03. Peta wilayah Kudus dan sekitarnya
Wilayah yang sekarang disebut Kudus, pada jaman dahulu sekitar abad ke-VIII dan IX, pada masa pemerintahan raja-raja Syailendra masih berupa selat yang memisahkan ‘pulau’ Muria dengan pulau Jawa. Selat itu agaknya cukup lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Akan tetapi di kemudian hari selat itu tertutup oleh pengukuban lumpur yang berasal daerah yang kemudian
58 bernama Demak menuju ke daerah Rembang melalui Kudus dan Pati. Dan sejak abad ke-XVII jalan pintas itu tidak dapat lagi dilayari (lihat Budiman, 1978:tanpa halaman; Graaf,1985:37). (Gambar 04; Gambar 05).
Gambar 04. Peta wilayah Kecamatan Kudus (Sumber: Pemda Kudus, 2002)
59
Gambar 05. Peta wilayah Kudus Kulon (Sumber: Hasil Rekaman, 2002)
60 Ternyata tanah di dataran selatan gunung Muria ini cocok untuk persawahan dan sejak itu daerah ini mulai ramai dihuni penduduk: dengan begitu berdirilah kota-kota Demak, Pati, Juwana, dan kemudian Kudus. Ini terjadi pada periode jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit di Jawa Timur (Husken,1998:63). Kudus dibangun pertama kali oleh salah seorang Walisongo yang bernama Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus pada tahun Hijriyah 956 atau Masehi 1549. Hal ini berdasarkan pada sebuah inskripsi yang terdapat di atas mihrab atau pengimaman masjid Menara. Kudus berasal dari bahasa Arab Al-Quds yang berarti suci. Inskripsi yang berbahasa Arab dengan susunan hurufnya yang sudah tidak jelas (sekarang diberi bingkai berukuran 46 x 30 cm2) bunyinya sebagai berikut: ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim. Aqaama binaal masjid al Aqsha wal balad al Quds khaliifatu haadzad dahr habru (aali) Muhammad, yasytari (?) izzan fii jannah alkhuldi ……qurban min arrahman bibalad al Quds (?) ansya-a haadzal masjid al Manar (?) almusammaa bil aqsha khaliifatullahi fil ardli ……al-‘ulyaa wal mujtahid as-sayyid al ‘arif al Kamil al Fadlil al Maqsus bi-‘ inaayati ……al Qaadlii Ja’far ash-Shadiq ……sanah sittin wa khomsiina wa tis’im mi’atin minal hijrah annabawiyyah wa sallallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ashhaabihii ajma’iin’
61 yang artinya kurang lebih: ‘Dengan nama Allaah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Telah mendirikan masjid Al Aqsha dan negeri Al Quds ini Khalifah pada jaman ulama dari keturunan Muhammad untuk membeli kemuliaan sorga yang kekal ……untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Pengasih di negeri Al Quds (?) membina masjid Al Manar (?) yang dinamakan Al Aqsha khalifah Allaah di bumi ini …… yang agung dan mujtahid tuan yang arif sempurna utama khusus dengan pemeliharaan …… penghulu Ja’far ash-Shadiq …… pada sembilan ratus limapuluh enam dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya semua’ Ja’far Shadiq, selain sebagai mubaligh juga menjadi senopati kerajaan Demak; direbutnya ibukota kerajaan Majapahit pada tahun 1527 oleh kerajaan Demak tidak terlepas dari perannya. Setelah selesai dengan tugas-tugas ketentaraannya, Ja’far Shadiq mengamalkan ilmunya di Demak sebagai penghulu masjid Agung Demak. Namun, tidak lama kemudian dia meminta kepada Sultan Trenggono, Raja Demak, agar diijinkan pindah ke daerah di sebelah Timur Laut Demak untuk membuka ladang dakwah yang baru.
62 Untuk hidup menetap di Kudus, mula-mula Ja’far Shadiq memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya yang diolah oleh para pengikutnya dari barisan santri yang telah ikut berperang melawan pasukan ‘kafir’ Majapahit dan para kawula. Boleh jadi dia sebagai panglima perang kerajaan Demak memiliki kawula-kawula yang semula milik para penguasa ‘kafir’ di daerah Majapahit yang telah ditaklukkannya (Graaf, 1985:116-117). Menurut cerita setempat, yang mula-mula menggarap tanah yang kemudian bernama Kudus adalah Kyai Telingsing, seorang Cina muslim. Rupanya dia selain mubaligh Islam juga seorang pemahat dan seniman yang terkenal. Nama Telingsing diartikan sebagai nama Cina dari kata The Ling Sing (Salam, 1977:41). Berarti, Ja’far Shadiq adalah generasi kedua setelah Telingsing dalam menggarap tanah Kudus? Hampir dapat dipastikan bahwa pusat kota Kudus kuno adalah wilayah yang sekarang terdapat kompleks masjid kuno Menara dan makam keramat Sunan Kudus. Di sekitar kompleks inilah terdapat permukiman kampung Kauman. Di wilayah ini diduga Ja’far Shadiq pernah membuka ladang bersama-sama muridnya dan mulai membangun masyarakat Islam pada dasawarsa keempat abad ke-XVI M. Nama yang lebih tua untuk Kudus adalah Tajug (Graaf, 1985:115). Kata tajug berarti bangunan yang memiliki denah bujur sangkar bertiang empat buah dan atapnya terdiri dari empat bidang datar yang saling bertemu meruncing ke atas. Bangunan ini pada umumnya dijumpai pada bentuk makam (cungkup) dan masjid atau
63 langgar. Namun ada yang menghubungkan nama tajug dengan hal-hal yang dianggap keramat. Di tempat itu mungkin sebelumnya telah ada orang-orang bermukim yang beragama Animisme, dan mungkin pula telah ada persinggungan dengan orang-orang yang berada di hutanhutan gunung Muria. Apabila kita memperhatikan kondisi geologi di sekitar Kudus dengan adanya aliran sungai di bagian Selatan yaitu sungai Juwana yang bermuara ke laut Jawa lewat kota Juwana dan sungai Serang yang bermuara juga di laut Jawa di antara Demak dan Jepara yang mengalir dari arah Selatan, dari pegunungan Kendeng, Jawa Tengah; maka kota Demak, Pati dan Juwana dalam proses pembentukannya dapat diduga berasal dari daratan Jawa. Di kota Kudus sendiri terdapat aliran sungai yaitu sungai Gelis yang membagi kota menjadi dua bagian, kota lama dan kota baru, dimana aliran air dari arah Utara ke Selatan, berasal dari dataran tinggi Muria menuju pertemuannya dengan sungai Serang di bagian Selatan Kudus; hal ini menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa pada proses pembentukannya, Kudus berasal dari daratan Muria. Dan mungkin ‘tanah’ Kudus menjadi daratan yang lebih akhir keberadaanya, tetapi lebih awal dalam proses penyatuan antara pulau Jawa dengan ‘pulau’ Muria. Jika hal ini dianggap benar maka Kudus tidak pernah menjadi kota bandar atau kota pelabuhan sebagaimana kota-kota di pesisir pantai Utara Jawa lainnya 1. Lebih jauh, Kudus Berdasarkan data sejarah dan arkeologi, tidak ditemukan tanda-tanda bahwa di sebelah timur kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus pernah ada alun-alun. Hal ini 1
64 bisa jadi merupakan lahan baru bagi orang-orang dari ‘pulau’ Muria. Sehingga adalah suatu keharusan bagi Ja’far Shadiq untuk ‘mensucikan’ daerah yang menjadi tempat kehidupannya yang baru. Pertumbuhan dan perkembangan kota Kudus secara signifikan, sebagaimana kota-kota Jawa lainnya, adalah imbas dari dibangunnya jalan panjang AnyerPanarukan oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808-1811. Terbangunnya jalan raya sepanjang tidak kurang dari 1000 kilometer ini merupakan salah satu infrastruktur penting bagi perkembangan kota-kota modern di tanah Jawa, tidak terkecuali Kudus. Kota Kudus modern dibangun pada abad ke-XIX di lokasi baru, kurang lebih satu kilometer ke arah Timur pusat kota lama, menyeberangi sungai Gelis. Tata ruang kota Kudus yang baru berorientasi pada sebuah alun-alun. Pada awal abad ke-XIX, wilayah Kudus langsung di bawah kekuasaan Belanda. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda telah dibentuk Regentschap (kabupaten) Kudus dalam tahun 1819, dan telah diangkat sebagai regent (bupati) Kudus yang pertama adalah Kyai Raden Adipati Tumenggung Panji Padmonegoro pada tahun 1820 (Salam,1994:17). Dan sejak itu, Kudus memiliki administrasi kota yang teratur. Hampir bersamaan dengan berkembangnya pusat kota Kudus modern, di wilayah pusat kota Kudus kuno juga sedang dalam pertumbuhan dan perkembangan di menunjukkan bahwa tata ruang kota Kudus kuno tidak berorientasi pada alun-alun seperti kota-kota pusat kerajaan, karesidenan, dan kabupaten di Jawa (lihat Ashadi, 2000:27-39 dan 2003).
65 sektor ekonomi, terutama sejak munculnya beberapa industri rokok kretek. Kudus sangat strategis letaknya, karena merupakan simpul perlintasan yang menghubungkan kota-kota sekitarnya, yaitu di bagian Timur, seperti Pati, Juana, Tayu, Rembang, Blora dan Cepu, dan kota-kota di bagian Utara seperti Mayong, Jepara, dan Bangsri, dengan kota Semarang sebagai ibukota propinsi, yang jaraknya dari Kudus sekitar 51 kilometer. Hingga akhir tahun 1960-an, alun-alun kota Kudus menjadi pusat persimpangan, bagi setiap angkutan kota dari Semarang ke kota-kota tersebut atau sebaliknya pasti melewati alun-alun. Sebelum mengalami perpindahan dua kali, terminal bis dan angkutan kota Kudus memang terletak tepat di sebelah Selatan alun-alun ini, yang sekarang berdiri Mal Kudus. Kudus, selain secara harfiah berarti suci, dikenal pula sebagai kota wali dan kota kretek. Di Kudus terdapat dua makam wali dari sembilan wali (Walisongo) yang ada, yaitu makam Sunan Kudus yang dikaitkan dengan masjid kuno Menara dan makam Sunan Muria yang dikaitkan dengan gunung keramat Muria. Kedua tempat ini oleh pemerintah daerah Kudus dijadikan andalan wisata religius Kudus. Masjid kuno Menara dan dua makam suci – Sunan Kudus dan Sunan Muria – hingga sekarang menjadi salah satu tempat ziarah di Jawa yang setiap harinya tidak sepi oleh pengunjung. Peziarah tidak hanya berasal dari sekitar kota Kudus, tetapi juga dari berbagai pelosok tanah Jawa, baik perorangan maupun kelompokkelompok pengajian yang terkoordinir. Dahulu, kegiatan
66 ziarah ke makam Sunan Kudus sepi, rata-rata hanya 1015 orang tiap harinya. Baru sejak sekitar tahun 1980-an, jumlah peziarah tiap harinya membludak. Pada musim liburan sekolah yang baru lalu (2002), peneliti mencoba menghitung jumlah bis yang diparkir di sepanjang jalan Sunan Kudus dan Kyai Telingsing, setiap jamnya rata-rata 15 bis; apabila dianggap satu bis memuat 50 penumpang, dan jam buka makam 04.00 – 24.00 pada hari-hari biasa (24 jam untuk hari Kamis – Jumat), berarti bisa dikirakira jumlah peziarah tiap harinya, yaitu sekitar 15 ribu (50x15x20) orang. Disebut sebagai kota kretek sebab di Kudus terdapat beberapa perusahaan rokok kretek terkenal, seperti Jarum, Norojono, Sukun, Jambu Bol, Langsep dan Kelampok, yang seolah-olah melanjutkan kejayaan perusahaan-perusahaan rokok kretek sebelumnya pada awal abad ke-XX, seperti Bola Tiga (milik M. Nitisemito), Delima (milik HM. Ashadie), dan Tebu Cengkeh (milik HM. Muslich). Perkembangan dan kejayaan industri rokok Kudus dapat dilihat di Museum Kretek yang terletak di Jalan Getas Pejaten, Kudus. Sejak industri rokok lahir di Kudus, tahun 1890-an, Kabupaten Kudus menjadi barometer perkembangan industri rokok di Indonesia disamping Kediri dan Malang di Jawa Timur. 2.4. Keadaan Sosio-Kultural Masyarakat Kudus Orang-orang Kudus sangat menyadari bahwa kota mereka dibelah oleh aliran sungai Gelis menjadi dua bagian, yaitu Kudus Kulon (Barat), disebut kota tua dan tempat masjid kuno beserta makam wali, dan Kudus Wetan (Timur), tempat kediaman bupati dan kantor pemerintahan,
67 sekarang menjadi kota yang lebih besar dan sibuk. Lance Castles menggambarkan bahwa, di Kudus Kulon, penduduknya yang mayoritas Islam santri dianggap jauh lebih saleh, lebih kaya dan jumlah kejahatan lebih sedikit karena mereka dapat menjaga rumahnya dengan aman, dibanding dengan wilayah Kudus Wetan. Tali perkawinan dan kekeluargaan nampak lebih kuat di antara orangorang Kudus Kulon; unsur-unsur Islam lebih dominan menyisihkan tradisi Jawa (Castles, 1967:78-81). Di Kudus hingga tahun enam puluhan masih terlihat adanya tiga golongan masyarakat 2. Golongan pertama adalah pegawai dan mereka yang meniru cara hidup pegawai (guru, dokter, mantri kesehatan, ahli hukum dan sebagainya). Mereka ini disebut golongan priyayi karena pada masa Kolonial, mereka bekerja sebagai pejabat dan pegawai pemerintah (pegawai negeri) 3. Menurut D.H. Burger, struktur masyarakat Jawa lama adalah sebagai berikut: pertama para raja, kedua para kepala propinsi (kira-kira sama dengan bupati sekarang), ketiga kepala desa, dan keempat orang banyak yang terdiri dari penduduk desa (Burger, 1977:20). 2
Menurut Clifford Geertz, golongan priyayi adalah elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton HinduJawa sebelum masa Kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks, dan mistisisme Hindu (Geertz, 1981:305-471). Karena kelompok sosial priyayi ini pada waktu sebelum Perang Dunia II menjadi pemegang kekuasaan, maka pola kulturnya pernah menjadi pola umum. Tingkah laku dan pandangan hidupnya menjadi ukuran umum bagi tingkah laku dan pandangan hidup yang baik dan yang ideal (Kartodirdjo, 1987:9). Pada waktu sebelum Perang Dunia II dibedakan antara priyayi pangreh praja (sekarang 3
68 Mereka banyak bertempat tinggal di wilayah sekitar kota baru (Kudus Wetan). Golongan kedua adalah pedagang atau pengusaha (wong dagang), di antaranya yang lebih berhasil adalah santri. Kebanyakan mereka bertempat tinggal di kota lama (Kudus Kulon). Golongan ketiga adalah orang rendahan (wong cilik), termasuk kaum buruh, pelayan rumah tangga, petani, dan orang yang menganggur. Mereka tersebar di daerah-daerah pertanian di sekitar kota Kudus. Sebagian terbesar dari mereka adalah buruh pabrik rokok. Orang Cina merupakan satu golongan yang berbeda, meskipun mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan pedagang, tetapi secara kultural perbedaannya sangat menyolok. Golongan pegawai walaupun jumlahnya lebih sedikit tetapi banyak memegang peranan penting di kota dan menjadi golongan terhormat dibandingkan dengan golongan pedagang yang jumlahnya lebih banyak dan lebih kaya raya. Pada masa Kolonial golongan pedagang kurang mendapat penghormatan yang layak (lihat pula Castles, 1967:88-89). Di antara pengusaha pribumi Kudus, tiga golongan dapat dilihat dengan jelas. Pertama-tama adalah golongan keluarga yang saling bertalian di Kudus Kulon yang telah terjadi dalam industri rokok kretek sejak permulaan diganti pamong praja) dan priyayi bukan pangreh praja. Golongan pertama adalah para pejabat Pemerintah Daerah, yaitu orang-orang yang terpenting dan yang paling tinggi gengsinya di antara para priyayi lainnya, yang disebabkan oleh sifat kebangsawanan mereka. Golongan kedua adalah golongan orang-orang terpelajar, yang berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyang alit (wong cilik) di kota yang berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan (Koentjaraningrat, 1984:234).
69 terbentuknya industri itu sekitar akhir abad ke-XIX. Sekarang ini kepentingan mereka dalam industri relatif lebih kecil daripada periode Kolonial. Banyak orang yang berbicara tentang orang-orang Kudus Kulon menghubungkannya dengan keluarga ini. Sebagian terbesar mereka tinggal di rumah-rumah besar dan sering sudah kuno dekat pusat kota tua itu. Dalam generasi terdahulu, ketika mereka membangun kekayaan mereka, mereka sederhana, bekerja keras, usahawan yang lihai dan santri yang saleh. Dalam periode puncak kemakmuran mereka (dua dasawarsa terakhir zaman Kolonial) mereka cenderung berkembang menjadi bangsawan borjuis yang sadar akan dirinya bertentangan dengan pegawai (priyayi) dan golongan elit Islam (kyai) di kota itu. Sejak revolusi, sebagian terbesar dari keluarga ini dalam bidang ekonomi mundur; rumah-rumah mereka yang besar rusak dan tidak terpelihara, pabrik mereka ditutup. Mereka terdesak oleh pengusaha-pengusaha Cina. Dalam beberapa hal perselisihan keluarga atas harta warisan telah mengurangi kekayaan mereka. Golongan kedua adalah pengusaha pabrik kretek pribumi terdiri dari orang-orang baru yang berhasil sejak Perang Dunia II. Mereka adalah penduduk kampung yang tinggal beberapa mil dari kota; ada di antaranya yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan golongan utama keluarga pengusaha Kudus Kulon melalui perkawinan. Golongan ketiga adalah pengusaha pabrik kretek pribumi yang terdiri dari 150 atau lebih yang tidak pernah mencapai keberhasilan. Mereka terpencar di seluruh kota Kudus dan dekat kampung-kampung. Beberapa dari mereka tidak
70 mempunyai karyawan di luar keluarga mereka sendiri (Castles, 1982:94-98). Satu aspek sosio-kultural masyarakat Kudus yang penting pula adalah peranan dan posisi petugas-petugas agama Islam. Di Kudus ada kyai-kyai yang memimpin pesantren, mubaligh-mubaligh yang menyebarkan atau menjelaskan agama Islam, penjaga-penjaga masjid tua Menara dan makam keramat Sunan Kudus, dan pegawaipegawai Departemen Agama. Orang-orang ini dihormati oleh komunitas santri. Haji-haji ikut ambil bagian dalam prestise ini, dan beberapa guru pada sekolah-sekolah Islam tipe modern dan guru-guru agama pada sekolah negeri mungkin juga dihormati karena pengetahuan mereka tentang agama Islam (Castles, 1982:99). Orientasi keagamaan umat Islam di Kudus pada umumnya adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, suatu faham Islam tradisional. Secara umum perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah diartikan sebagai pengikut tradisi Nabi Muhammad dan Ijma’ Ulama. Namun kemudian pengertian tersebut, setidak-tidaknya oleh para kyai di Jawa, dipersempit menjadi faham yang membedakan dirinya dengan kelompok Islam modern. Faham ini sangat kuat menganut madzhab Syafi’i. Itulah salah satu sebabnya, maka ketika kaum Islam modern menganjurkan pembaruan, antara lain agar umat Islam tidak terlalu mengikatkan diri pada madzhab empat (Hambali, Hanafi, Maliki, Syafii), para kyai menentang gerakan tersebut dengan membentuk suatu organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama, disingkat menjadi NU. Sejak saat itu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia sering diidentikkan dengan NU. Sementara itu, kelompok
71 Islam modern mengambil tempat dalam wadah organisasi Muhammadiyah. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, Muhammadiyah di Kudus mampu mempertahankan eksistensinya; bahkan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajian-pengajian yang dikelola oleh organisasi ini akhir-akhir ini mengalami kemajuan pesat. Penganut kedua faham yang terwadahi dalam organisasi NU dan Muhammadiyah ini masing-masing mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap beberapa hal tentang ajaran agama Islam (Anwar, 1987:30-34).
72
BAB III KAUMAN: KAMPUNG KOMUNITAS MUSLIM 3.1. Identifikasi Tempat dan Keadaan Sekitar Salah satu nama jalan dari simpang tujuh alun-alun kota Kudus adalah jalan Sunan Kudus yang menuju ke arah Barat, yaitu jurusan ke Jepara. Apabila kita menyusuri jalan ini, di kanan dan kiri jalan segera terlihat deretan pertokoan milik orang-orang keturunan Arab (Pekojan), kemudian setelah melewati jembatan kali Gelis, kita akan mendapati deretan pertokoan orang-orang keturunan Cina1. Kurang lebih empat ratus meter dari jembatan kali Gelis, di sisi kanan jalan terdapat jalan yang agak sempit menuju ke arah Utara, yang dikenal dengan nama jalan Menara. Mungkin kita tidak mengira bahwa jalan kecil tersebut akan mengarahkan kita kepada sebuah pusat peradaban Kudus kuno yang diperkirakan telah terbangun sejak abad ke-XVI. Tidak jauh, hanya berjarak sekitar tujuh puluh meter dari posisi kita mulai memasuki jalan Menara, tepat di sisi sebelah kiri atau di sebelah Barat jalan terdapat Toko-toko milik orang-orang Cina di sepanjang jalan raya Sunan Kudus pernah menjadi korban kerusuhan anti Cina pada tahun 1918. 1
73
74 kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Kompleks ini dikelilingi dan disekat-sekat oleh dinding penyengker dari susunan bata merah yang tidak diplester; untuk sirkulasi dari bagian satu ke bagian yang lain di dalam kompleks terdapat pintu-pintu berupa gapura kori dan gapura bentar, yang mengingatkan kita kepada seni tata bangunan sebuah pura. Di sekitar kompleks ini bermukim penduduk Kauman yang menjadi subyek kajian dalam penelitian tesis ini. Secara administratif, Kauman adalah salah satu desa dari 25 desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan Kota. Desa-desa itu, sebagian berada di wilayah Kudus Kulon dan sebagian lagi di Kudus Wetan. Selain Kauman, desa-desa seperti Damaran, Kerjasan, Langgar Dalem, Janggalan, Demangan, Sunggingan, Purwosari, Kajeksan, Krandon, dan Singocandi terletak di wilayah Kudus Kulon, sedangkan desa Panjunan, Wergukulon, Werguwetan, Mlatikidul, Mlatilor, Mlatinorowito, Nganguk, Kramat, Demaan, Barongan, Glantengan, Kaliputu, Burikan, dan Rendeng terletak di wilayah Kudus Wetan. Batas wilayah desa Kauman, di sebelah Barat adalah desa Damaran, di sebelah Utara desa Kerjasan, di sebelah Timur desa Langgar Dalem dan desa Kerjasan, dan di sebelah Selatan desa Janggalan. Di antara desa-desa lainnya, Kauman adalah desa yang terkecil wilayahnya. Berdasarkan Data Statis Desa tahun 2001, luas wilayah Kauman adalah 2,909 HA. Untuk perbandingan, desa-desa di sekitarnya seperti Damaran memiliki luas wilayah 17,864 HA, Kerjasan 10,364 HA, dan Langgar Dalem 19,370 HA. Di sini terlihat
75 bahwa wilayah Kauman dapat disebut sangat kecil. Apalagi tidak seluruh wilayah Kauman itu menjadi areal hunian, kurang lebih 7.505 m2 merupakan areal kompleks masjid Menara dan makam keramat Sunan Kudus. Desa Kauman hanya terdiri dari sebuah kampung atau dukuh, yaitu kampung Kauman itu sendiri. Sementara desa-desa tetangganya memiliki beberapa kampung atau dukuh, yang masing-masing dukuh pada umumnya mempunyai sebuah mushalla atau langgar. Di desa Kauman tidak didapati mushala, melainkan masjid kuno Menara yang menjadi pusat orientasi keagamaan orang-orang di wilayah Kudus Kulon. Dukuh-dukuh di sekitar kampung Kauman antara lain di desa Kerjasan: dukuh Kerjasan, Pringinan, Madureksan, Kenepan, Sayangan, Betekan, Bendan, Pasucen; di desa Langgar Dalem: dukuh Jagalan, Krajan, Kalinyamatan, Puspitan, Nanggungan Lor, Nanggungan Kidul, Kaujon, Baletengahan; dan di desa Kajeksan: dukuh Kajeksan, Kaligunting, Bejen, Wanaran, Pagongan. Dari nama-nama kampung atau dukuh dan desa di daerah kota lama Kudus terlihat adanya penamaan yang didasarkan atas kelompok sosial yang memiliki persamaan profesi dan yang didasarkan atas nama seseorang yang dianggap berjasa. Yang berdasarkan persamaan profesi misalnya: Sayangan (membuat barang tembaga), Jagalan (menghasilkan daging), Sunggingan (membuat ukiran), dan Kauman (berperan dalam pendidikan dan pelayanan agama). Sedangkan yang berhubungan dengan nama seseorang misalnya: Damaran (Pangeran Pedamaran),
76 Janggalan (mbah Jenggolo), Kajeksan (mbah Jekso), Kalinyamatan (Ratu Kalinyamat), Wanaran (mbah Wanar), dan Bejen (Pangeran Kabeji). Tempat atau daerah yang penamaannya didasarkan atas persamaan ras tidak dijumpai di wilayah kota Kudus Kulon, seperti misalnya Pecinan dan Pekojan; keduanya terletak di wilayah Kudus Wetan. (Gambar 06).
Gambar 06. Peta wilayah Desa Kauman (Sumber: Hasil Rekaman, 2002)
77 Di wilayah Kudus Kulon terdapat banyak tempattempat atau situs-situs yang dianggap keramat oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya. Sebagai pusat keramat adalah kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus di Kauman. Tempat atau situs keramat lainnya tersebar di beberapa desa, seperti makam Mbah Dipo di desa Damaran; Langgar Bubrah, dan makam Mbah Janolo di desa Demangan; makam Mbah Daulat, makam Kyai Telingsing, dan makam Mbah Kyai Poncol di desa Sunggingan; makam Mbah Jenggolo di desa Janggalan; Sumur Puter, Belik Kalinyamat, dan makam Mbah Panggung di desa Langgar Dalem; makam Mbah Jekso, makam Mbah Rondo, makam Pangeran Kabeji, makam Mbah Wanar, dan makam Mbah Suto di desa Kajeksan. Ada sebuah tempat atau benda yang juga dianggap keramat oleh sebagian warga setempat yaitu pohon beringin yang terletak di depan langgar Madureksan di dukuh Pringinan (berasal dari kata bringin). Apabila diperhatikan, nama-nama itu jelas menunjukkan identitas Jawa; tidak satupun terdapat nama asing kecuali Ja’far Shadiq (Islam-Arab) dan Telingsing (Cina). Pada umumnya makam yang dianggap keramat adalah makam pendiri atau seseorang yang dulunya paling berpengaruh di dusun atau desa itu. Setiap bulan Suro (bulan Jawa) atau Muharram (bulan Islam), sebagian warga setempat melakukan tradisi khaul untuk orangorang yang makamnya dianggap keramat itu. Melihat banyaknya makam keramat yang terdapat di Kudus Kulon, peneliti menduga bahwa di wilayah itu pernah terjadi akulturasi, antara kultur animisme yang dimiliki
78 masyarakat Jawa dengan kultur Islam yang dibawa Ja’far Shadiq. Atau dugaan yang paling ekstrim adalah bahwa yang selama ini diakui sebagai makam Ja’far Shadiq Sunan Kudus bisa jadi adalah makam salah satu tokoh setempat (orang Jawa) yang dulunya dianggap sebagai pendiri atau orang berpengaruh di dusun atau desa itu. Sebab hingga kini tidak ada bukti yang bisa memberikan justifikasi pembenaran atas keberadaan makam Sunan Kudus itu. Pola perkampungan di desa Kauman dan sekitarnya bersifat mengelompok. Batas antara rumah satu dengan rumah lainnya sangat berdekatan. Batas rumah pada umumnya dari pagar tembok tinggi; tidak jarang sekalian ia berfungsi sebagai dinding rumah. Pagar tinggi yang membagi-bagi dan mengelilingi perkampungan-perkampungan di Kudus Kulon yang berasal dari tembok masif terkenal dengan sebutan kilungan. Dalam satu lingkungan pagar tinggi atau kilungan itu terdapat tidak hanya satu rumah saja tetapi ada yang terdiri dari dua atau tiga rumah (lihat pula Anisa, 2003). 3.2. Kependudukan Berdasarkan Data Statis dan Dinamis Desa tahun 2001, jumlah penduduk Kauman 480 jiwa, yang terdiri dari 237 laki-laki dan 243 perempuan. Jumlah ini adalah yang paling sedikit dibandingkan dengan desa-desa tetangganya. Desa Damaran memiliki penduduk 1352 jiwa; Kerjasan berpenduduk 1092 jiwa; dan Langgar Dalem berpenduduk 2566 jiwa. Desa Kauman memiliki satu Rukun Warga (RW) dan tiga Rukun Tetangga (RT).
79 Sementara jumlah Kepala Keluarga di desa Kauman 108 KK. (Tabel 01). Tabel 01. Jumlah penduduk dan luas wilayah desa Kauman dan sekitarnya
Sumber: Data Statis dan Dinamis Desa tahun 2001
Berdasarkan komposisi agama yang dianut, seluruh penduduk Kauman beragama Islam. Dan Kauman adalah satu-satunya desa di wilayah Kudus Kulon yang seratus persen penduduknya muslim. Jumlah dan prosentasi penduduk yang beragama Islam di desa-desa tetangga Kauman seperti desa Damaran adalah 1320 orang (97,6 %); desa Kerjasan 1066 orang (97,6 %); dan Langgar Dalem 2528 orang (98,5 %) (sumber: Data Dinamis Desa 2001). Melihat komposisi agama yang dianut penduduk di desa-desa tersebut, maka tidak mengherankan jika Kudus Kulon mendapat sebutan sebagai daerah kaum santri dengan desa Kauman sebagai pusatnya. Informan peneliti, bapak Chamdan, usia 68 tahun, yang juga ketua RW desa Kauman mengemukakan bahwa Orang-orang yang menjadi warga kampung Kauman, harus
80 benar-benar mematuhi ‘pakem’ Kauman yang segala tindak-tanduknya harus berlandaskan ajaran agama Islam. Dahulu pernah terjadi salah seorang warga yang sedang memiliki hajat, menyelenggarakan hiburan wayang kulit, kemudian oleh warga Kauman lainnya orang itu dikeluarkan dari anggota warga kampung Kauman. Demikian pula orang-orang keturunan Cina yang berada di kampung Madureksan tidak bisa menjadi warga Kauman, apalagi trauma peristiwa kerusuhan anti Cina delapan puluh tahun yang lalu (1918) masih belum benar-benar hilang dalam ingatan orang-orang tua Kauman. Desa Langgar Dalem juga tidak mau menerima mereka sebagai warga desanya. Akhirnya desa Kerjasan bersedia menerima mereka dan memasukkan kampung Madureksan ke dalam wilayah desanya. Sementara itu, keluarga dari orang-orang yang dahulu pernah berjasa di dalam memakmurkan (menjadi pengurus) masjid Menara dimasukkan ke dalam warga Kauman. Sehingga batas-batas wilayah desa Kauman tidak begitu jelas dan tidak teratur bentuknya. Sebagai contoh, ketidakteraturan ini diperlihatkan oleh keberadaan sebuah rumah yang secara administratif diakui oleh ketiga desa (Kauman, Kerjasan
81 dan Langgar Dalem), padahal letak rumah itu berada di wilayah Kauman. Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan, warga Kauman yang tamat Akademi atau Perguruan Tinggi sebanyak 44 orang; tamat SLTA (Aliyyah) 155 orang; tamat SLTP (Tsanawiyyah) 79 orang; tamat SD (Ibtidayyah) 87 orang; tidak tamat SD 61 orang; belum tamat SD 51 orang; dan tidak sekolah 3 orang (sumber: Data Dinamis Desa 2001). Pada umumnya, mereka sekolah di madrasah-madrasah yang terdapat di wilayah Kudus Kulon, seperti madrasah Qudsiyyah di desa Damaran (dan sebagian di desa Kauman), madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) di desa Kajeksan dan madrasah Bannat (khusus wanita) di desa Kerjasan. Di Kauman sendiri hanya ada satu madrasah Ibtidayyah Qudsiyyah (setingkat SD) yang bangunannya (dinaikkan satu tingkat) terletak persis di sebelah Selatan masjid Menara (bagian bawah untuk fasilitas wudlu laki-laki). Bagi mereka yang belajar di sekolah umum, terutama tingkat SD dan SLTP, sebagian besar dari mereka akan belajar ilmu-ilmu agama di sekolah-sekolah Diniyyah atau madrasah-madrasah yang mulai belajar setelah shalat ‘asar sampai menjelang shalat magrib, sekitar jam 15.30 –17.30 WIB. Dengan berbagai pertimbangan, rupanya pendidikan sistem pondok pesantren bukan merupakan pilihan utama bagi pendidikan anak-anak keluarga Kauman. Dari komposisi tingkat pendidikan di atas terlihat bahwa sebagian besar warga Kauman (227 orang = 47 %) tidak tamat SLTA. Dengan bekal pendidikan umum yang
82 pas-pasan, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali berusaha di bidang-bidang yang kurang membutuhkan skill. Hal ini bisa dilihat dari komposisi mata pencaharian penduduk Kauman. (Tabel 02). Tabel 02. Jumlah penduduk desa Kauman berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber: Data Dinamis Desa tahun 2001
Berdasarkan Data Dinamis desa tahun 2001, jumlah tenaga kerja seluruhnya adalah 134 orang, yang bekerja sebagai pedagang 75 orang (56 %); buruh industri 35 orang (26 %); dan sisanya, yang bekerja sebagai pegawai negeri, pensiunan, jasa pengangkutan, pengusaha dan lain-lain, termasuk pengurus masjid kuno Menara dan makam keramat Sunan Kudus, berjumlah 24 orang (18 %). Jadi sebagian besar (82 %) penduduk Kauman bekerja sebagai pedagang dan buruh industri, yang memang kedua bidang usaha itu lebih sedikit memerlukan skill. Biasanya, mereka menggunakan salah satu bagian rumahnya untuk kegiatan bisnis konveksi pakaian jadi dan bordiran. Para pekerja (buruh) di bidang ini yang semuanya wanita, hampir seluruhnya berasal dari desa-desa pinggiran dan di sekitar wilayah Kudus
83 Kulon, seperti desa Prambatan Kidul, Singocandi, Krandon dan Bakalan Krapyak. Rasa malu, sungkan dan minder menghalangi para wanita kerabat dan tetangga dekat untuk ikut menjadi pekerja pada salah satu home industry konveksi dan bordiran yang ada di wilayahnya sendiri. Mereka lebih suka menjadi pramuniaga di salah satu pusat perbelanjaan di Kudus Wetan. (Tabel 03). Tabel 03. Jumlah penduduk desa Kauman berdasarkan Mata Pencaharian
Sumber: Data Dinamis Desa tahun 2001
Kegiatan perdagangan orang-orang Kudus pada umumnya, yang menjual hasil-hasil dari kegiatan home industry, terutama konveksi pakaian jadi dan bordiran, seperti kemeja, rok, celana, kerudung, dan lain-lain ke luar kota telah dijalankan sejak dahulu; kegiatan mereka sempat mendapat perhatian dari Clifford Geertz di kota Mojokuto (Pare), Jawa Timur pada tahun 1950-an (lihat Geertz, 1986:73-86).
84 3.3. Kekerabatan Pada mula terbentuknya komunitas Kauman dan sekitarnya, terjalin hubungan pertalian darah antar keluarga muslim; mereka memiliki semacam norma perkawinan endogami. Di kalangan orang-orang yang berharta, umumnya mereka, mengawinkan anaknya dengan famili mereka sendiri yang sama-sama kaya dengan maksud agar harta bendanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Berkaitan dengan hal ini, ada ungkapan sindiran oleh orang-orang Kudus Wetan terhadap saudaranya yang ada di Kudus Kulon: ‘bondo ora keliyo’ (harta tidak jatuh ke tangan orang lain). Setelah terjadi pergaulan perdagangan dengan luar daerah, sejak sekitar tahun 1950-an, maka mulailah terjadi perkawinan exogami, yang kemudian menciptakan sistem kekerabatan luas dan longgar. Hal ini adalah konsekuensi dari sebuah perkawinan, sebagaimana yang dinyatakan Herskovits (dalam Ihromi, 1999:90), bahwa dalam tiap-tiap masyarakat, dengan struktur keluarga apapun, perkawinan memerlukan penyesuaian yang menyangkut banyak hal; perkawinan bukan saja menimbulkan sejumlah tanggung jawab baru, tetapi hubungan baru dan akrab dengan orang lain harus pula dijalin. Di lingkungan Kauman dan sekitarnya menganut sistem kekerabatan yang juga dianut orang Jawa pada umumnya; demikian pula istilah-istilah kekerabatan yang digunakan. Anggota kelompok kekerabatan diperhitungkan berdasarkan prinsip generasional dan bilateral. Artinya bahwa perhitungan itu didasarkan pada garis generasi (keturunan) laki-laki maupun perempuan.
85 Dalam kultur Jawa dikenal istilah kekerabatan yang diklasifikasikan berdasarkan generasi (keturunan) hinggga 10 generasi ke atas dan 10 generasi ke bawah: Generasi ke atas
Generasi ke bawah
1. Wong tuwo
1. Anak
2. Embah
2. Putu
3. Buyut
3. Buyut
4. Canggah
4. Canggah
5. Wareng
5. Wareng
6. Udheg-udheg
6. Udheg-udheg
7. Gantung siwur
7. Gantung siwur
8. Gropak sente
8. Gropak sente
9. Debok bosok
9. Debok bosok
10. Galih asem
10. Galih asem
Mengingat panjang dan lamanya jarak waktu antara seseorang dengan garis keturunan dalam kekerabatan, maka biasanya orang hanya mengenal batas kekerabatan hanya sampai pada generasi ke 3 atau 4 baik ke atas maupun ke bawah2.
Peneliti mendapatkan daftar silsilah seorang Kyai besar di Kudus Kulon (telah wafat) yang begitu lengkap hingga silsilahnya bertemu dengan nama Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Daftar silsilah itu memuat susunan nama-nama sampai pada generasi ke-16. Keturunan dan murid-murid kyai besar ini oleh komunitas muslim di Kudus Kulon sangat dihormati. 2
86 Sebuah keluarga dalam komunitas Kauman sebagian besar berbentuk keluarga inti atau batih (nuclear family) yang terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya yang menempati satu rumah tinggal; beberapa diantaranya ditambah dengan orang-orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan, antara lain ayah, ibu dan saudara (kakak atau adik). Keluarga inti sering pula dikenal dengan istilah kulowarga. Berdasarkan pengamatan, peneliti tidak menemukan keponakan dari kedua atau salah satu pasangan suami istri yang ikut bergabung dalam keluarga inti. Rupanya anggota keluarga Kauman Kudus yang terpenting yaitu suami, istri dan anak-anaknya, ditambah orang tua (ibu dan bapak) dan saudara (bandingkan dengan Geertz, 1985). Dan pada umumnya saudara yang ikut tinggal dalam satu keluarga inti di Kauman memiliki status belum menikah. Kemungkinan besar kondisi dimana posisi saudara dalam keluarga Kauman berkaitan dengan status rumah yang ditempati bisa dianggap penting. Satu keluarga inti dikepalai oleh satu kepala somah (kepala rumah); ia bisa laki-laki atau perempuan (suami atau istri), tergantung pihak siapa yang memiliki rumah itu (beberapa rumah di Kauman statusnya sebagai harta warisan). Saudara yang ikut tinggal dalam satu keluarga inti, meskipun memiliki hak waris terhadap rumah itu, biasanya dia tidak menjadi kepala somah. Namun, apabila kepala somah yang masih memiliki hubungan saudara meninggal, maka yang menggantikan posisi sebagai kepala somah bukan istri atau anaknya, melainkan saudaranya yang memiliki hak waris rumah itu, laki-laki atau perempuan. Dalam posisi seperti ini, biasanya istri (dan anak-anaknya) yang telah
87 ditinggal mati suaminya itu akan pindah ke rumah orang tuanya. Satu hal yang menarik, bahwa di Kauman Kudus dan sekitarnya tidak sedikit orang-orang yang masih membujang dalam usia lanjut baik laki-laki maupun perempuan (ada yang usianya lebih dari 50 tahun). Di Kauman peneliti menjumpai beberapa rumah, yang masing-masing oleh desa (secara administratif) dianggap memiliki satu kepala keluarga (kk), ditinggali oleh orangorang bersaudara (kakak-adik) yang belum nikah. Dalam kasus ini yang lebih tua usianya menjadi kepala somah. Di kampung Kauman, dalam satu rumah tinggal sebagian besar ditinggali oleh satu keluarga inti. Sedangkan keluarga luas dalam arti dua atau tiga keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah jumlahnya tidak banyak. Di Kauman peneliti hanya menemukan dua keluarga luas. Dalam keluarga luas ini masing-masing keluarga mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Satu keluarga luas dikepalai oleh satu kepala somah, tetapi masing-masing keluarga itu tetap dikepalai oleh satu kepala keluarga (kk). Jadi dalam satu keluarga luas bisa jadi terdapat dua atau tiga kepala keluarga (kk), tergantung jumlah keluarga yang tinggal dalam satu rumah itu. Pada umumnya seorang anak dalam keluarga di Kauman dan sekitarnya apabila telah mengadakan hubungan perkawinan atau telah berkeluarga, maka dia akan segera mewujudkan hak warisnya, bisa membangun rumah di atas sebidang tanah pekarangan atau langsung menempati atau merenovasi bagian dari rumah yang ditempati keluarga itu yang menjadi hak warisnya. Hal ini
88 bisa dilakukan karena dalam soal pewarisan, tidak jarang terjadi anak-anak menerima hak waris dari orang tuanya selagi keduanya atau salah satunya masih hidup. Kemudian mereka menempati rumah baru yang masih berada dalam lingkungan rumah tinggal orang tuanya (dalam kilungan). Dalam kasus ini keluarga inti yang baru, bisa dari anak perempuan yang menetap secara uxorilokal, atau bisa juga dari anak laki-laki, yang menetap secara virilokal. Menurut Koentjaraningrat, kelompok kekerabatan yang terdiri dari keluarga-keluarga inti seperti ini, yang tempat tinggalnya saling berdekatan, tergolong keluarga luas. Keluarga luas ini dikepalai oleh seorang kepala somah yang merupakan anggota pria tertua (Koentjaraningrat, 1998:105-115). Namun yang terjadi di kampung Kauman dan sekitarnya dalam keluarga luas semacam itu, masing-masing keluarga inti tetap dikepalai oleh seorang kepala somah. Seolah berlaku kaidah umum bahwa sebuah keluarga inti yang sudah mampu menempati rumah tinggal sendiri dikepalai oleh seorang kepala somah. Di Kauman dapat dijumpai beberapa keluarga inti atau keluarga luas yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang disatukan dalam sebuah kilungan. Beberapa keluarga itu hidup bersama-sama di dalam satu kilungan dengan rumah tinggalnya masing-masing. Sehingga dalam satu kilungan tidak hanya terdapat satu rumah tinggal, tetapi terkadang dua atau tiga rumah tinggal. Mereka memiliki dapur dan kamar mandi sendirisendiri. Namun dalam satu kilungan pada umumnya hanya memiliki sebuah sumur dan sebuah latar yang dimanfaatkan secara bersama-sama.
89 Selain bentuk keluarga inti dan keluarga luas, di kampung Kauman dan sekitarnya dijumpai pula bentuk kelompok kekerabatan yang disebut sanak sadherek atau sanak sadulur (nak dulur). Bentuk kelompok kekerabatan ini, dalam ilmu antropologi disebut kindred. Sanak sadulur ini merupakan suatu kesatuan kaum kerabat yang terdiri dari saudara kandung, saudara sepupu dari pihak ayah maupun ibu, paman-paman dan bibi-bibi dari pihak ayah maupun ibu, serta saudara-saudara dari pihak istri. Mereka yang menjadi anggota kelompok kekerabatan ini biasanya bertempat tinggal tidak saling berjauhan, masih dalam wilayah kabupaten Kudus, yang dalam satu hari mereka bisa langsung pulang ke rumah apabila ada pertemuan. Di lingkungan kampung Kauman dan sekitarnya, anggota kelompok kekerabatan sanak sadulur berkumpul pada waktu-waktu tertentu, yaitu: (1) dalam acara ta’ziyah (melawat) ketika salah satu anggota keluarga meninggal dunia; (2) dalam acara perkawinan yang diselenggarakan oleh salah satu anggota; (3) dalam acara syawalan – halal bi halal yang biasanya diselenggarakan pada awal bulan Syawal tahun Hijriyah; dan (4) dalam acara hajatan besar salah seorang anggotanya, misalnya seperti yang peneliti temukan, yaitu dalam rangka pemilihan kepala desa dimana salah satu anggota kekerabatan ini mencalonkan diri menjadi kepala desa. Pada umumnya dalam acaraacara seperti ini, hampir seluruh anggota kelompok kekerabatan hadir dan berkumpul. Dalam acara yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran dan khitanan juga dihadiri oleh sebagian kecil anggota kelompok
90 kekerabatan ini. Di Kauman hanya sebagian kecil keluarga yang menjadi anggota atau bersama-sama membentuk kelompok kekerabatan sanak sadulur. Dalam hubungan sosial, tingkatan usia dan status seseorang dalam sistem kekerabatannya menjadi acuan tatakrama bagi semua anggota keluarga di lingkungan masyarakat Kudus pada umunya dan komunitas Kauman dan sekitarnya pada khususnya. Pergaulan sosial mereka berlangsung dalam suasana saling ngajeni atau menghormati. Orang atau anggota keluarga yang lebih tua atau dituakan mendapat posisi utama untuk lebih dihormati dari orang atau anggota keluarga yang lebih muda. Suasana saling ngajeni tampak melalui penggunaan bahasa dalam pergaulan sehari-hari (lihat pula Triyanto, 2001:109). Dalam keluarga inti, orangorang yang disapa dengan istilah mas (dari kata kakangmas) dan mbak (dari kata mbakyu) memang lebih tua umurnya, dan mereka yang disapa dengan istilah dhik (dari kata adhik) memang sesungguhnya lebih muda umurnya daripada Ego3. Namun di luar lingkungan keluarga inti, seseorang yang disapa dengan istilah mas dan mbak adalah antara lain anak laki-laki dan perempuan dari kakak kandung orang tua Ego, meskipun pada kenyataannya usianya lebih muda daripada Ego. Demikian juga sebaliknya, panggilan dhik digunakan untuk menyapa anak laki-laki ataupun perempuan dari Dalam menganalisis istilah-istilah kekerabatan, seseorang menjumpai adanya hubungan-hubungan antara pihak-pihak yang menempati posisi yang berlawanan. Pihak yang menggunakan istilah tertentu, di dalam analisis disebut Ego (Koentjaraningrat, 1984:448, cat. Kaki). 3
91 adik kandung orang tua Ego, meskipun kadang kala usianya lebih tua daripada Ego (lihat pula Koentjaraningrat, 1984:269-270). Penggunaan bahasa Jawa ngoko, menyebut nama langsung (njangkar) lazim dipakai bapak kepada anak dan kakak kepada adik kandung4. Dalam pergaulan suami istri, bagi yang belum mempunyai anak, seorang istri akan memanggil suaminya dengan mas dan seorang suami akan memanggil dhik kepada istrinya, meskipun usia istri mungkin lebih tua. Bagi mereka yang sudah punya anak, biasanya apabila sedang bersama anaknya, seorang istri akan memanggil pak (bapak) kepada suaminya dan seorang suami akan memanggil bu (ibu) kepada istrinya. Panggilan ini sebenarnya adalah membahasakan anak kepada orang tuanya. Panggilan pak dan bu dalam pergaulan suami istri ini sering berlanjut seiring dengan tambahnya usia, baik keduanya sedang bersama anak maupun tidak. Penggunaan istilah-istilah kekerabatan di lingkungan Kauman dan sekitarnya tidak hanya berlaku bagi semua kerabat yang sesungguhnya, tetapi seringkali juga bagi orang lain yang bukan kerabatnya. Setiap orang yang dianggap berasal dari generasi yang sama disapa dengan istilah singkatan untuk saudara kandung yang lebih tua, yaitu mas dan mbak (mbakyu). Teman dekat dapat dipanggil dengan namanya saja (njangkar). Sedangkan untuk orang yang kira-kira seumur dengan Untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti seorang Khatib Jum’at atau seorang Kyai yang memberikan ceramah atau pengajian dihadapan orang banyak, akan menggunakan bahasa Jawa kromo yang sesekali diselingi dengan bahasa Jawa ngoko. 4
92 orang tua Ego disapa dengan istilah-istilah singkatan untuk orang tua, yakni pak (bapak) atau bu (ibu), sebaliknya orang-orang yang umurnya kurang lebih sama dengan anak Ego disapa dengan istilah nak. Seperti misalnya bapak kos dimana peneliti tinggal sementara di Kudus Kulon, yang memiliki anak seusia dengan peneliti, menyapa peneliti dengan tambahan istilah nak di depan nama peneliti. Sementara itu anak-anak kecil di lingkungan Kauman dan sekitarnya biasanya disapa dengan istilah nok (dari kata dhenok) untuk anak perempuan dan nang (dari kata dhanang) untuk anak laki-laki, terkadang tanpa menyebut nama di belakangnya. Penggunaan bahasa jawa yang berjenjang, dari tingkatan ngoko hingga kromo, secara jelas memperlihatkan kefeodalan masyarakat Jawa yang diwariskan oleh dinasti Mataram Islam, terutama oleh raja Sultan Agung dalam upaya memantapkan posisinya sebagai raja diraja di tanah Jawa. Feodalisme tak lain ialah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan. Dalam hal ini bahasa Jawa berbuat sangat terperinci. Perbendaharaan kata orang lebih tua dalam usia berbeda dengan perbendaharaan kata orang lebih muda dalam usia. Perbedaan dalam perbendaharaan kata ini terdapat pula karena adanya perbedaan dalam tingkat kebangsawanan dan juga karena adanya perbedaan dalam kedudukan sebagai priyayi. Bahasa yang digunakan oleh seorang pangeran bila ia berbicara dengan orang biasa berbeda dengan bahasa yang dipakai orang biasa bila ia berbicara
93 dengan seorang pangeran. Si pangeran akan menggunakan bahasa ngoko dan si orang biasa akan menggunakan bahasa kromo (periksa pula Hardjowirogo, 1989:11-12). Dalam keluarga di lingkungan komunitas Kauman dan sekitarnya, figur ibu, memegang peranan penting dalam pengasuhan atau proses sosialisasi anak. Apabila keluarga itu memiliki usaha home industry, si ibu memiliki tugas ganda, selain mengasuh anaknya, dia juga harus mengawasi dan mengontrol pekerjaan buruh-buruh wanitanya. Seperti peneliti saksikan dalam sebuah keluarga di kampung Kauman, seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih kecil (sementara anakanaknya yang lain bermain di pelataran rumah), melihatlihat hasil pekerjaan konveksi para buruhnya, sementara suaminya saat itu tidak ada di rumah karena harus pergi ke luar kota untuk berdagang. Namun segala keputusan yang berkaitan dengan perkembangan dan pembentukan kepribadian si anak, misalnya kemana anak harus disekolahkan, tetap di bawah kendali si bapak, meskipun dia banyak melakukan kegiatan di luar rumah. Hal ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Triyanto bahwa figur ibu merupakan tokoh sentral yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian anak (lihat Triyanto, 2001:113-117). Peneliti melihat, bahwa faktor siapa yang menjadi figur sentral, apakah ibu atau bapak, dalam pembentukan kepribadian anak tergantung kepada siapa di dalam keluarga itu yang memiliki saham terbesar dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam kasus di atas,
94 pihak laki-laki atau suamilah yang memiliki saham terbesar dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Rumah yang ditempati dan usaha yang digeluti sekarang ini adalah warisan dari orang tua pihak laki-laki atau suami. Dalam kasus yang sebaliknya, peneliti jumpai di sebuah keluarga di desa Langgar Dalem, pihak istri yang bekerja keras di luar rumah, pergi ke luar kota berdagang kain bordir, untuk menghidupi keluarganya, sementara sang suami tidak bekerja. Rumah yang ditempati dan usaha kain bordir yang sekarang ini digeluti adalah warisan dari orang tua pihak perempuan atau istri. Dalam kasus ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga itu, termasuk kepentingan anak-anaknya, berada di bawah kendali pihak perempuan. Hingga tahun 1960-an, di Kauman dan sekitarnya, anak-anak perempuan yang telah menginjak usia remaja masih dipingit. Mereka dilarang keluar rumah kecuali ditemani dengan muhrimnya (anggota keluarga sendiri). Larangan ini dimaksudkan agar anak-anak perempuan terhindar dari pergaulan dengan pemuda-pemuda yang bukan muhrimnya. Orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam memilihkan jodoh bagi anak-anaknya. Para gadis itu sambil menunggu jodoh yang dicarikan oleh orang tuanya, sejauh mungkin harus banyak diam di dalam rumah. Menurut Suharso (1992) seperti dikutip Triyanto, berlaku anggapan bahwa kesediaan anak gadis dan pemuda untuk dijodohkan dalam pernikahannya adalah suatu tanda bukti balas budi dan manifestasi sikap taat pada orang tua (Triyanto, 2001:120-121). Sebagai akibat dari pola perkawinan tersebut, hingga
95 sekarang masih banyak kaum perempuan usia di atas empat puluhan tahun yang belum juga memiliki suami. Dalam persoalan pembagian warisan di keluargakeluarga Kauman dan sekitarnya berlaku dua cara. Cara pertama: satu bagian untuk anak perempuan dan dua bagian untuk anak laki-laki. Cara pembagian ini merujuk kepada dua sumber, yakni merujuk kepada syari’at Islam dan tradisi Jawa yang terkenal dengan istilah sepikul sagendhongan. Syari’at Islam itu bersumber dari firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an yang berbunyi (terjemahan): ‘Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang lakilaki seumpama bagian dua orang perempuan… (inilah) suatu keperluan (ketetapan) dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui dan lagi Mahabijaksana‘ (Q.S. An Nisa’:11). Sedangkan sepikul sagendhongan artinya anak laki-laki memperoleh warisan sebesar dua kalinya bagian yang diperoleh anak perempuan, atau anak laki-laki mendapat dua per tiga bagian dan anak perempuan mendapat sepertiga bagian. Hal ini didasarkan atas kebiasaan di desa yang orang laki-lakinya kalau membawa barang selalu dipikul, barang-barang ditempatkan pada dua tomblok kemudian digantungkan dengan tali yang dikaitkan dengan pikulan. Sedangkan orang perempuan
96 kalau membawa barang selalu digendhong, barang ditempatkan dalam sebuah bakul kemudian digendhong dengan menggunakan kain selendang di punggungnya. Kebiasaan ini sampai sekarang masih diperlihatkan oleh ibu-ibu penjual jamu gendhongan. Cara kedua adalah dengan asas bahwa semua anak, baik perempuan maupun laki-laki, mendapat warisan yang sama besarnya. Cara ini terlaksana melalui musyawarah antar pemegang hak waris. Pembagian warisan di keluarga-keluarga Kauman dan sekitarnya, pada kenyataannya terlalu rumit dilaksanakan, sehingga tidak jarang terjadi perselisihan di antara keluarga pemegang hak waris. Hal ini disebabkan oleh kondisi harta warisan yang sudah tua umurnya, yang pada umumnya berupa peninggalan rumah adat beserta tanah pekarangannya yang sudah berumur dua atau tiga generasi, sementara jumlah pihak-pihak yang merasa memiliki dan berkepentingan terhadap hak waris semakin banyak jumlahnya. Abdullah (nama samaran), seorang warga desa Langgar Dalem menceritakan kepada peneliti tentang pembagian warisan yang diterima istrinya. Istrinya adalah salah satu keturunan dari pihak pemegang hak waris dari pihak perempuan atas sebuah rumah adat beserta pekarangannya bersama-sama pemegang hak waris lainnya yang sebagian adalah dari pihak pemegang hak waris dari pihak laki-laki. Dalam musyawarah keluarga, istri Abdullah mengusulkan agar
97 pembagian harta warisan menganut asas bagi rata, baik perempuan maupun laki-laki menerima bagian yang sama besarnya. Namun, dengan menggunakan alasan perintah agama Islam bahwa perempuan mendapat setengah dari bagian laki-laki, maka pemegang hak waris dari pihak lakilaki menolak permintaan istri Abdullah itu. Setelah melalui perhitungan-perhitungan yang jlimet, salah satunya didasarkan atas besarnya harga jual rumah dan tanah pekarangannya pada saat itu, maka rumah adat jatuh ke tangan pihak pemegang hak waris dari pihak laki-laki, dan istri Abdullah menerima bagian tanah pekarangan. Setelah sah menjadi hak miliknya, rumah adat itu oleh pemiliknya yang baru dikilung, dilindungi dengan bangunan pagar tinggi, sehingga memisahkan dengan tanah pekarangan yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari rumah adat itu. Hingga sekarang Abdullah masih merawat tanah pekarangan itu dengan menanaminya pohon pisang dan ubi-ubian. Sementara itu Abdullah dan keluarganya menempati sebuah rumah adat peninggalan orang tuanya yang letaknya tidak jauh dari kebonnya itu.
98 Di desa Langgar Dalem, peneliti juga menjumpai, tidak hanya suasana perselisihan tetapi telah menjurus kepada permusuhan di antara anggota keluarga berkenaan dengan harta warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya. Ada salah seorang pemegang hak waris atas sebuah rumah adat – bagian pawonnya, sementara bagian rumah gedong atau induk dan tanah pekarangan sudah menjadi hak milik keluarga lain, yang dijual kepada pihak lain tanpa memberitahukan kepada pemegang hak waris lainnya. Atas kejadian itu, hingga sekarang hubungan antara keluarga itu dan keluarga pemegang hak waris yang lain renggang bahkan pernah lama tidak bertegur sapa. Satu hal yang menarik, bahwa semua yang dialami oleh keluarga-keluarga di Kudus Kulon berkaitan dengan harta warisan tidak banyak melibatkan pihak luar, kecuali terkadang sekedar menjadi saksi setelah urusannya selesai. Untuk menghindari hal-hal yang bisa menciptakan perselisihan dan bahkan permusuhan di antara anggota keluarga, maka beberapa keluarga pemilik yang sah atas rumah adat dan tanah pekarangan di Kudus Kulon memberikan bagian harta yang dimiliki kepada anakanaknya ketika mereka, orang tua pemilik waris masih hidup. Seperti peneliti jumpai di desa Langgar Dalem,
99 sebuah keluarga, suami istri beserta keempat anaknya, dua perempuan dan dua laki-laki, memiliki dua rumah adat beserta tanah pekarangannya. Oleh orang tuanya, masing-masing anak perempuannya diberi bagian rumah adat, sedangkan bagian tanah pekarangan diberikan kepada kedua anaknya yang laki-laki. Menjelang peneliti selesai melakukan observasi lapangan, salah satu rumah itu sudah dalam proses dijual kepada pihak lain. 3.4. Kehidupan Ekonomi Dalam perspektif lokal, masyarakat Kudus dipersepsikan sebagai komunitas yang bercirikan kehidupan sosial santri-muslim dengan tradisi ekonomi yang bertumpu pada perdagangan dan industri. Peningkatan kemakmuran masyarakat Kudus secara signifikan dimulai pada abad ke-XVIII ketika Kudus muncul sebagai pusat perdagangan beras dan tekstil. Orang-orang Kudus kuno banyak yang berusaha berdagang konveksi pakaian jadi ke luar kota; dan sebagian kecil lainnya melakukan penimbunan beras di masa panen untuk kemudian dijual di masa paceklik. Kegiatan perdagangan, yang memperdagangkan hasil-hasil dari home industri seperti kaos, pakaian, jubah, kerudung, dll, ke luar kota masih dijalankan oleh sebagian masyarakat Kauman hingga sekarang. Informan peneliti, bapak Heru Hyaeet (Heru Zaid), usia 69 tahun, bercerita tentang kegiatan ekonomi eyangnya dan sebuah rumah adat milik keluarganya (peneliti
100 sempat melihat kondisi rumah adat itu): Kakek saya, dari garis ibu, bernama H. Ngali. Pekerjaan mbah Ngali adalah memperdagangkan konveksi pakaian jadi seperti kaos, kemeja, celana, rok, selendang, dll, ke luar kota, sedangkan sawah warisan orang tuanya digarapkan kepada orang lain. Bapaknya mbah Ngali, yang berarti buyut saya adalah termasuk orang kaya; dia pemilik berhektar-hektar tanah persawahan di luar kota Kudus, di sekitar Gebog sekarang. Kekayaannya semakin bertambah ketika panen padinya berhasil. Padi-padi hasil panenan disimpan di salah satu bagian rumahnya, yaitu di pawon yang letaknya bersebelahan dengan rumah induk. Di bagian salah satu pojok pawon, lantainya dilobangi, ukurannya kurang lebih 3 X 3 m2 dengan kedalaman sekitar 2 meter. Lobang itu kemudian ditutup pada tahun 1950-an, ditimbun dengan tanah, di atasnya diperuntukkan sebagai kamar. Rumah adat itu, dibangun oleh bapaknya mbah Ngali pada tahun 1828 Masehi. Dalam pembagian warisan, bagian pawon diberikan kepada ibu saya yang bernama Rusmi Fatma, dan rumah induk atau inti diberikan kepada bulik (adik ibu) saya yang bernama Masrumi. Sekarang ini, rumah adat (bangunan induk) tersebut
101 ditempati oleh salah satu putra Masrumi yang bernama Mas’an. Seorang penjual es kelapa muda yang mangkal di Jalan KH. Asnawi, tepat di depan halaman rumah kuno ‘rumah kapal’ pada satu kesempatan menceritakan kepada peneliti tentang pemilik rumah yang kini sudah rusak berat itu. Orang Kudus Kulon menyebutnya ‘rumah kapal’ karena bentuknya menyerupai sebuah kapal. Peneliti menemui kondisi rumah itu tinggal kerangkanya saja yang terbuat dari baja. Pemilik ‘rumah kapal’, yaitu H. Abdullah, yang mendapat warisan dari bapaknya yang bernama H. Mujahid. Menurut cerita, orang yang meminta dibuatkan rumah yang berbentuk sebuah kapal adalah nenek Abdullah. H. Mujahid, dahulu adalah seorang tuan tanah. Tanah yang luasnya dari prapatan Jember hingga pertigaan Polytron (sekarang masuk wilayah desa Damaran), dahulu miliknya. Rumah ini dibangun bersamaan dengan perguruan Muhammadiyah yang berada di dekatnya, yaitu pada tahun 1923. Fungsi ‘rumah kapal’ tidak seperti rumah tinggal lainnya, ia berfungsi sebagai rumah peristirahatan. ‘Rumah kapal’ dilengkapi taman dan perbukitan buatan di sebelah utaranya. Sementara rumah H. Mujahid sendiri
102 terletak di dekat perempatan Jember. Pada tahun 1970-an, kondisi ‘rumah kapal’ masih bagus; istri saya (penjual es) ketika kecil sering main di rumah itu yang di sekitarnya masih banyak terdapat mainan. Kekayaan orang-orang Kudus Kulon tidak hanya didapat dari perdagangan konveksi pakaian jadi, perdagangan padi, maupun menjadi tuan tanah, tetapi juga dari hasil jual beli perhiasan (emas dan perak). Bapak Raechan, usia 71 tahun, seorang carik (juru tulis) desa Damaran menceritakan kepada peneliti: Orang-orang Kauman dan sekitarnya, sebelum meledaknya usaha rokok kretek, sudah terbiasa berdagang, terutama bagi mereka yang kaya biasanya mereka berdagang emas dan perak. Pernah suatu kali, saya (Raechan) ketika kecil disuruh oleh bapak Soleh Abdullah, warga Kauman, untuk menggadaikan emasnya kepada seorang keturunan Cina pedagang emas. Kemakmuran orang-orang Kudus Kulon tidak berhenti di situ, pada awal abad ke-XX, di samping kegiatan perdagangan konveksi pakaian jadi, jual beli emas dan perak, dan perdagangan beras yang sudah lama digeluti, mereka juga mulai berusaha dan berdagang rokok kretek. Ternyata, usaha yang belakangan ini telah melambungkan mereka ke puncak kejayaan; perusahaanperusahaan yang mereka miliki semakin menjadi besar.
103 Pada saat itu, satu keluarga bisa memiliki empat atau lima perusahaan. Pertumbuhan industri rokok kretek yang cepat di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II memungkinkan munculnya sejumlah merk Indonesia yang pemiliknya dikenal sebagai raja kretek Indonesia, seperti M. Nitisemito, HM. Moeslich, HM. Ashadie, dan M. Atmowijoyo. Rumah-rumah bergaya villa (rumah gedong) dibangun di antara rumah-rumah adat, atau sekedar merenovasi rumah adat mereka dengan mengkombinasikan unsur-unsur tradisional Jawa dengan unsur-unsur Eropa. Unsur tradisional rumah tinggal mereka akan nampak pada bentuk atapnya yang masih joglo pencu, dan unsur Eropa diperlihatkan pada model pintu dan jendela tinggi dengan dinding tembok. Kemakmuran ini juga diwujudkan dengan semakin banyaknya kaum muslim yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah dan membangun masjid-masjid di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Menurut Castles, kondisi yang melemahkan industri rokok kretek Kudus terjadi semasa pendudukan kembali Belanda di Indonesia pada tahun 1945-1949. Salah satu faktor penyebab mundurnya usaha mereka adalah bahwa mereka gagal untuk tetap menguasai saham industri dalam persaingan dengan golongan Cina. Dalam beberapa hal perselisihan keluarga atas warisan mengurangi kekayaan mereka (Castles, 1982). Bapak Heru Hyaeet, yang juga adalah cucu menantu M. Nitisemito dan HM. Muslich,
104 menceritakan saat-saat akhir perusahaan milik mereka. Hubungan keluarga yang terjadi adalah istrinya pak Heru, yang bernama Asriwati adalah putri dari pasangan Hasinah putri HM. Muslich dan Sumadji putra M. Nitisemito. Rumah yang ditempati Heru Hyaeet sekarang adalah milik almarhum istrinya (meninggal tahun 2001) yang merupakan warisan dari HM. Muslich. Menurut cerita bapak Heru, banyak perusahaan rokok terkenal masa lalu seperti cap Bola Tiga milik M. Nitisemito, cap Delima milik HM. Ashadie, dan cap Tebu Cengkeh milik HM. Muslich, mengalami kemunduran disebabkan oleh salah urus atau mis-manajemen dan oleh ketidak-beruntungan. Sebagai contoh, perusahaan rokok cap Delima, salah seorang anggota keluarga yang menggantikan HM. Ashadie telah melakukan salah perhitungan ketika memutuskan untuk membeli berpuluhpuluh truk tembakau, karena pada saat mau dipakai ternyata tembakau-tembakau itu tidak bisa digunakan; perusahaan mengalami kerugian sangat besar. Yang menjual tembakau-tembakau itu masih termasuk familinya sendiri yang memang kurang paham tentang tembakau; jadi
105 kesalahan terbesar terletak pada pihak pembeli yang kurang profesional. Kejadian yang hampir sama menimpa perusahaan rokok cap tebu cengkeh milik HM. Muslich. Pada suatu kesempatan perusahaan ini mendapatkan pesanan beribu-ribu bas rokok kretek (1 bas berisi 200 dus, dan 1 dus berisi sekian pak rokok kretek) dari seorang pedagang Cina di Surabaya. Tetapi, dengan berbagai alasan, dalam pembayarannya tidak lancar, tersendatsendat, sehingga lama-kelamaan berpengaruh terhadap biaya operasional perusahaan. Kekuatan ekonomi yang merubah pola hidup masyarakat Kudus Kulon, menurut hemat peneliti bukanlah bukti adanya energy capturing sebagaimana diungkapkan oleh Leslie A. White dalam teori Evolusinya. Menurut White, kultur berkembang bila kadar energi yang tersedia untuk setiap orang (per kapita) dalam setiap tahun bertambah atau bila efesiensi dari cara-cara penggunaan energi meningkat (Ember & Ember dalam Ihromi, 1999:64). Teori evolusi White jelas menolak kemungkinan dari pengaruh sekitar atau sejarah terhadap evolusi kultural. Perkembangan masyarakat Kudus kulon lebih disebabkan oleh faktor lingkungan sosial dan lingkungan fisik di sekitarnya. Tapi ini tidak berarti bahwa semua itu hanya menunjukkan penyesuaian diri terhadap lingkungan; lebih tepat dikatakan bahwa bentuk kultur
106 masyarakat Kudus Kulon pada saat itu (masa kejayaan) merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik dalam menghadapi berbagai faktor luar (lihat Barth, 1988:13). Di bawah ini peneliti mencoba menjelaskan tentang perubahan kultur yang pernah dialami oleh masyarakat Kudus Kulon. Rumah adat Kudus yang tersebar hampir merata di wilayah Kudus Kulon5, bukanlah sekedar wujud benda mati yang berdiri tegak di atas tanah, tetapi keberadaannya lebih dipenuhi oleh simbol-simbol yang memang sengaja diciptakan oleh pemiliknya – builder (yang sekaligus sebagai owner). Menurut penuturan informan peneliti, bentuk atap rumah adat yang dinamakan joglo pencu, oleh karena ia menjulang tinggi ke angkasa, bisa dianggap sebagai salah satu indikasi kemakmuran pemiliknya; semakin tinggi pencu nya berarti pemilik rumah tersebut tergolong kaya. Simbol kedigdayaan dan keunggulan ini dianggap sudah pantas untuk menandingi simbol-simbol keagungan dan kekuasaan yang diperlihatkan oleh rumah-rumah joglo milik generasi awal para aristokrat Kudus di Kudus Wetan, yang memang secara tingkatan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan para pedagang pribumi di Kudus Kulon. Tidak hanya itu, simbol kemenangan dan kebanggaan juga diperlihatkan dalam bentuk harta kekayaan, di samping dalam bentuk ukiran yang Menurut data yang dikeluarkan oleh Pemda setempat pada tahun 1983, jumlah rumah adat 203 buah terdiri dari 62 kaya ukiran dan 141 miskin ukiran. Pada tahun 1984 jumlahnya berkurang menjadi 169 buah terdiri dari 54 rumah kaya ukiran dan 115 rumah miskin ukiran. 5
107 menghiasi gebyok rumahnya, juga berupa emas dan berlian yang dimiliki oleh keluarga-keluarga pedagang di Kudus Kulon. Harta perhiasan emas dan berlian tidak untuk dijual, melainkan untuk prestise keluarga dan diwariskan kepada keturunannya. Jenis perhiasan yang langka, karena diwariskan secara turun-temurun setidaktidaknya tiga generasi, tentunya nilainya sangat mahal dan akan menimbulkan kebanggaan selain bagi pemakainya juga bagi keluarganya. Sehingga terjadi saling berlomba untuk mendapatkan harta perhiasan sebanyakbanyaknya di antara keluarga-keluarga di Kudus Kulon. Meskipun kemudian, persaingan antar keluarga pedagang di Kudus Kulon menjadi jauh lebih menonjol. Jelas bahwa kultur masyarakat Kudus Kulon terbentuk karena adanya dorongan-dorongan dari dalam diri anggota kelompok etnik ini untuk menghadapi rangsangan-rangsangan dari luar, yang ditimbulkan oleh perilaku para aristokrat Kudus yang memandang rendah kepada mereka. Seiring dengan berputarnya waktu, makin lama kekayaan yang dimiliki para pedagang Kudus Kulon semakin menyusut, dan kehidupan ekonomi sebagian dari mereka mengalami kemerosotan sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Di desa Kauman sendiri tidak sedikit warganya yang tergolong miskin. Kita akan merasa sulit menilai apakah dia termasuk orang kaya, sedang atau miskin bila hanya melihat dinding tembok luar bangunan rumahnya tanpa mengetahui bagian dalamnya. Pada umumnya orang Kauman tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya miskin, termasuk tetangganya sendiri. Mungkin orang yang sedikit banyak tahu tentang
108 keadaan tiap-tiap keluarga di Kauman adalah kepala desa, bapak Moch. Nasruddin, yang juga adalah informan kunci dalam penelitian tesis ini; dia dalam menilai dan menentukan kondisi miskin warganya, memiliki standar dan metode sendiri. Pada satu kesempatan, kepala desa menceritakan kepada peneliti perihal bantuan pemerintah kepada warga Kauman: Selama tiga tahun ini, desa Kauman mendapat bantuan dari pemerintah, berupa beras dan uang. Bantuan beras dolog tidak secara cumacuma diberikan, tetapi harus dibeli. Program ini dikenal dengan Raskin - beras untuk orang miskin. Pada tahun 1999, beras dijual dengan harga Rp. 800 per kg, sedangkan harga beras di pasaran Rp. 1.200 per kg. Dengan uang yang ada, desa membeli beras dolog ini dari kecamatan sebanyak 500 kg. Namun, warga yang membeli sangat sedikit; terpaksa desa menjual kepada santri dan orang-orang di luar Kauman. Karena harganya terpaut sedikit, orang-orang lebih memilih beras di pasar yang memang rasanya lebih enak. Dan sejak tahun 2001, desa Kauman mendapat lagi bantuan beras dari pemerintah sebanyak 1 ton (juga dengan membeli). Program ini dikenal dengan Program Operasi Pasar Beras Khusus.
109 Dilihat dari jenis dan harganya, beras ini tergolong sangat murah; berasnya enak. Oleh desa beras ini dijual dengan harga Rp. 1000 per kg, padahal di pasaran harga beras jenis ini harganya Rp. 2.000 - 2.500 per kg. Untuk program kedua ini, desa menerapkan sistem kupon. Dengan kriteriakriteria seperti pekerjaannya apa, sebagai apa, berapa anaknya, berapa keluarga selain anak yang ikut dengannya, dan hubungannya dengan siapa, maka desa menentukan orang-orang yang tergolong miskin dan berhak diberi kupon; yaitu sebanyak 55 kepala keluarga, yang masingmasing diberi jatah beras 20 kg. Bagi orangorang yang tidak bekerja atau sebagai guru ngaji yang tidak dibayar diberi jatah 40 kg. Setiap pembelian harus tunai; jika tidak mampu membeli sebanyak jatah yang diberikan, juga tidak apa-apa. Untuk bantuan pemerintah yang berupa uang, sifatnya benar-benar pemberian dana bergulir dari pemerintah kepada desa, yaitu diberikan pada tahun 1999 sebesar Rp 12.000.000,- Uang itu dipinjamkan tanpa bunga kepada orang-orang yang tidak mampu atau miskin, bukan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan untuk usaha. Pada mulanya, sedikit sekali orang yang memanfaatkan program yang dikenal
110 dengan Proyek Penanggulangan Dampak Krisis Ekonomi ini. Namun sekarang hampir 100 kepala keluarga memanfaatkan fasilitas uang pinjaman tersebut. Besar kecilnya pinjaman dilihat dari jenis usaha dan kemampuan membayar. Misalnya orang yang jualan (bakulan) maksimal Rp. 500.000 dibayar 10 kali. Untuk usaha konveksi dan bordiran maksimal 1.000.000 dibayar 10 kali. Ternyata ada sebagian kecil yang menggunakan uang tersebut untuk keperluan sehari-hari, untuk dikonsumsi, sehingga pembayarannya tersendat-sendat. Pada akhir cicilan, bagi mereka yang usahanya berhasil dianjurkan untuk memberi uang kepada kas desa, tapi bila tidak memberi juga tidak apa-apa. Uang kas dari pemberian tersebut nantinya akan diberikan kepada warga yang benar-benar tidak mampu, semacam zakat, di saat menjelang Idul Fitri. Teknik operasional bantuan pemerintah ini ditangani oleh LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), yang hingga sekarang di Kauman masih dipertahankan keberadaannya. Sampai di sini bapak kepala desa mengakhiri ceritanya. Kini, jumlah rumah adat di kampung Kauman tinggal sedikit. Masalah hak waris merupakan penyebab utama rumah adat harus dijual. Rupanya masyarakat
111 Kudus Kulon gagal mengulang atau setidak-tidaknya mempertahankan dan melanjutkan kesuksesan yang telah dicapai pendahulunya. Pelimpahan warisan yang berupa rumah adat adalah sekedar pemberian atau hibah nyata sosok bangunan yang sudah ada dari orang tua sebagai builder atau owner kepada anak keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan karya rumah adat yang baru; dengan kata lain bahwa rumah adat dibangun oleh satu atau dua generasi dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya. Nanti akan kita lihat bahwa faktor kepemilikan rumah tinggal dan faktor pemenuhan kebutuhan hidup menjadi pendorong berubahnya pola ruang permukiman Kauman, dari pola terbuka menjadi tertutup. Kondisi perekonomian komunitas Kauman saat ini bisa dilihat pada komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar penduduk bekerja sebagai pegadang (dan pengusaha kecil-kecilan) dan buruh Industri. Sepengetahuan peneliti, penduduk Kauman yang menjadi buruh sebagian besar tidak bekerja di wilayahnya sendiri, Kudus Kulon, melainkan di Kudus Wetan. Sekarang ini, di Kauman terdapat 15 buah industri konveksi rumah tangga, dan masing-masing memperkerjakan rata-rata 8 sampai10 buruh. Tenaga buruh konveksi ini hampir seluruhnya berasal dari daerah-daerah pinggiran Kudus Kulon. Mereka datang ke tempat kerja dengan mengendarai sepeda, mulai bekerja jam 08.00 wib. dan berakhir jam 17.00 wib. Apabila pekerjaan (biasanya bersifat borongan) belum selesai
112 sementara pesanan harus segera dipenuhi, beberapa buruh membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Pendapatan bersih mereka rata-rata antara Rp. 50.000 – 100.000 per minggu, tergantung jumlah borongan yang selesai dikerjakan. Pada saat istirahat, sekitar jam 12.00 – 13.00 wib, para buruh melaksanakan sholat di rumah tempat mereka bekerja dan makan makanan (bekal) yang dibawa dari rumah. Pemilik industri konveksi biasanya tidak menyediakan makan untuk para buruhnya. Orang yang bertindak sebagai pengawas dalam kegiatan industri konveksi industri rumah tangga yang berada di Kauman adalah istri dari pemilik usaha ini. Untuk memasarkan produk konveksi, pada umumnya dilakukan oleh para suami atau laki-laki yang masih ada hubungan kekerabatan dekat. Pemasaran tidak hanya dilakukan di wilayah kabupaten Kudus, tetapi juga di kota-kota seperti Magelang, Wonosobo, Solo, Yogyakarta, Ngawi, Bojonegoro, Surabaya, Indramayu, Bumiayu, Cirebon, Kerawang dan Jakarta. Informan peneliti yang bernama Rohman, usia 26 tahun, seorang pedagang baju muslim, selalu aktif memasarkan produk konveksi milik kakaknya; dia mengisi kios-kios di pasar Kliwon Kudus, dan juga lewat temanteman santrinya memasarkan dagangan di tempat-tempat asal para santri tersebut, seperti Demak, Jepara, Pekalongan dan Gresik. Sementara itu, kakak Rohman selaku pemilik usaha konveksi memasarkan dagangan di kota Wonosobo. Setiap hari pasaran Kliwon dia berangkat ke Wonosobo. Praktis dalam satu minggu dia tiga hari berada di Wonosobo dan dua hari di rumah. Di Wonosobo dia bersama tiga temannya yang semuanya juga dari
113 Kudus mengontrak sebuah rumah. Masing-masing pemilik konveksi dari Kudus ini memiliki tempat pemasaran sendiri-sendiri di wilayah Wonosobo dan sekitarnya. Apabila salah seorang pemilik konveksi telah mengisi atau menaruh dagangan pada pihak-pihak penjual setempat, maka pemilik konveksi yang lain tidak akan menaruh produk dagangannya pada pihak-pihak yang sudah menjadi langganan temannya. Demikianlah cara dagang mereka. Di antara pemilik konveksi tidak kentara dalam melakukan persaingan dagang ketimbang ketatnya persaingan antara produk konveksi Kudus dengan produk konveksi Pekalongan yang juga merambah daerah-daerah yang menjadi basis perdagangan orang-orang Kudus. Produk Pekalongan cenderung merendahkan harga, sedangkan produk Kudus mengutamakan kualitas bordirannya. Peneliti melihat bahwa produktifitas usaha rumah tangga konveksi pakaian jadi dan bordiran di Kauman dan sekitarnya diusahakan ajeg atau tetap, mereka tidak mau memanfaatkan dan menangkap peluang dengan menambah atau meningkatkan produksinya, tetapi lebih suka kepada menjaga rutinitas. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kesempatan yang peneliti perhatikan bisa dijadikan momen untuk meningkatkan produksinya, seperti yang tiap tahun terjadi yaitu perayaan dhandangan dan waktu-waktu tertentu ketika jumlah peziarah makam Sunan Kudus mengalami puncaknya, biasanya pada musim liburan sekolah. Dalam perayaan dhandangan yang diselenggarakan selama dua minggu menjelang tanggal 1 Ramadlan, bulan Puasa, di sepanjang jalan
114 Sunan Kudus, dari perempatan Jember hingga jembatan kali Gelis – jalan Menara, dari perempatan jalan Menara hingga depan masjid Menara – jalan Kyai Telingsing – dan jalan Maduraksan, dari depan masjid Menara hingga areal parkir di depan masjid Maduraksan, dipenuhi oleh para pedagang kecil dan menengah yang mremo, menggelar dagangannya, yang berupa barang-barang kerajinan, asesoris, pakaian, mainan dan aneka makanan. Para pedagang itu sebagian besar datang dari daerah-daerah di luar Kudus, seperti Semarang, Tegal, Pekalongan, Cirebon, Solo, Yogyakarta, Gresik dan Surabaya. Ketika peneliti tanyakan kepada bapak kepala desa Kauman, ternyata tidak ada pedagang pakaian jadi yang berasal dari Kauman dan sekitarnya. Mengapa demikian, jawabannya peneliti peroleh dari salah seorang pedagang konveksi warga asli Langgar Dalem, pada umumnya para pemilik usaha rumah tangga konveksi dan bordiran di Kauman dan sekitarnya hanya memproduksi sesuai dengan target yang sehari-harinya telah ditentukan, mereka tidak mau menambah tenaga buruh hanya untuk menambah produksinya dalam kondisi yang belum pasti. Sebab mereka sudah mempunyai langganan tetap, sehingga dengan memenuhi permintaan pelanggan secara rutin sudah dirasa cukup. Asal mulanya kegiatan konveksi orang-orang Kudus berangkat dari adanya adat pingitan bagi gadisgadis di Kudus Kulon. Menurut penuturan bapak Chamdan, di Kudus Kulon, dahulu para wanita dipingit; mereka tidak diperbolehkan keluar rumah oleh orang tuanya, kecuali pada dua peristiwa, yaitu tanggal 10 Muharram tahun Hijriyah yang bertepatan dengan
115 upacara buka luwur makam Sunan Kudus dan pada acara dhandangan, keramaian yang dilangsungkan selama satu atau dua minggu sebelum bulan Ramadlan (bulan puasa) tahun Hijriyah tiba. Para wanita yang dipingit itu kemudian untuk menghilangkan kejenuhan, mengembangkan bakat kewanitaannya dengan kegiatan sulaman dan bordiran, yang makin lama semakin trampil untuk membuat baju, kerudung, dan lain-lain. Para wanita ini dengan mengenakan pakaian yang dibuatnya sendiri ketika keluar rumah pada kedua peristiwa di atas selalu menjadi perhatian banyak orang oleh karena pakaiannya. Dan kemudian beberapa ibu-ibu mulai memesan pakaian buatan wanita-wanita pingitan itu. Pada waktu itu penjual kain untuk bahan pakaian adalah para pengusaha Cina dan Arab yang toko-tokonya terletak di sekitar alun-alun Kudus Wetan. Semula gadis-gadis yang dipingit ditemani oleh ibu atau bapaknya pergi belanja kain di Kudus Wetan. Tetapi lama kelamaan karena kesibukan orang tua, para gadis itu mulai berani keluar rumah sendirian untuk membeli kain. Hingga sekarang gadis-gadis Kudus Kulon sudah tidak dipingit lagi. Kesulitan ekonomi yang dialami oleh sebagian warga Kauman dapat dilihat dan dirasakan melalui katakata yang diucapkan ketika berbicara dengan orang lain yang secara tidak langsung terkait dengan dirinya. Pada suatu pagi peneliti sempat mengobrol dengan salah seorang warga Kauman (usia sekitar 70 tahun) di sebuah Warung makan persis di depan masjid Menara. Kebetulan hari itu adalah hari yang dirayakan oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai hari Kemerdekaan. Percakapan peneliti
116 (sebagai peneliti) dengan salah satu warga Kauman itu kurang lebih sebagai berikut: Peneliti: ketingalipun griyo-griyo wonten Kauman mboten pun pasang bendero? Warga: nggo opo? opo nek masang bendero, leh golek pangan dadi gampang po? Peneliti: nopo mboten wonten teguran saking bapak kepala desa? Warga: nek omah-omah arep dipasangi bendero, yo ben pak lurahe dewe. Saiki kuwi mikire awake dewe, piye carane iso nyukupi kebutuhan sekolah bocah-bocah. Jamane aku cilik, sing jenenge sekolah iku opo-opo dinehi,sabak, buku, pensil. Bukubuku pelajaran iso nganggo sing lawas, luruhane kangane. Saiki sekolah wis mbayare larang, buku-buku pelajaran tiap cawu (catur wulan) ganti wernane, sing lawas wis ora keno dienggo. Contohe wis aku iki, ndisik aku jenenge ngutang iku ora pernah, tapi saiki mangan wae ngebon ndisik. Peneliti: mboten wonten perayaan utawi lomba-lomba? Warga: nek lomba-lomba, paling-paling kanggo bocah-bocah. Perayaan-perayaan Iku, lha terus duwite soko ngendi? Peneliti: dananipun nggih saking warga to mbah?
117 Warga: sopo sing gelem njaluk-njaluk? nek enek wong sing gelem njaluk-njaluk, aku arep ngenehi. Wong njaluk-njaluk iku sing pantese yo ning Tajug. Artinya kurang lebih: Peneliti: kelihatannya rumah-rumah di Kauman tidak memasang bendera? Warga: untuk apa? apa kalau sudah memasang bendera, akan lebih Gampang mencari makan? Peneliti: apa tidak ada teguran dari bapak kepala desa? Warga: kalau rumah-rumah akan dipasangi bendera, ya biar bapak lurah saja yang mengerjakan. Sekarang ini lebih baik memikirkan diri sendiri, bagaimana caranya bisa mencukupi kebutuhan sekolah anakanak. Semasa peneliti kecil, yang namanya sekolah itu segala sesuatunya diberi, seperti sabak, buku, pensil. Buku-buku bias menggunakan yang lama bekas kakaknya. Sekarang sekolah-sekolah sudah mahal bayarannya, buku-buku pelajaran tiap cawu (catur wulan) ganti modelnya. Yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Contohnya peneliti, dulu yang namanya utang itu tidak pernah,
118 sekarang makan saja harus ngebon dulu (ngutang). Peneliti: tidak ada perayaan atau lombalomba? Warga: kalau lomba-lomba, ya paling-paling untuk anak-anak. Lha kalua untuk perayaan, uangnya dari mana? Peneliti: dananya ya dari warga to mbah? Warga: siapa orangnya yang mau mintaminta (sumbangan uang). Kalau ada orang yang mau minta-minta, peneliti akan memberi (sepertinya mbah kita ini menyindir). Orang minta-minta itu pantasnya ya di Tajug (maksudnya orangorang yang meminta-minta kepada para peziarah makam Sunan Kudus – para pengemis). 3.5. Kehidupan Sosial Kemasyarakatan Komunitas Kauman dipimpin oleh seorang kepala desa, yang secara langsung dipilih oleh warga Kauman sendiri. Sekarang ini kepala desa Kauman dijabat oleh bapak Mochammad Nasruddin, yang baru saja terpilih untuk jabatan yang kedua (tahun 2001). Dia dibantu oleh seorang perangkat desa. Keadaan pemerintahan desa Kauman Kudus, dilihat dari struktur organisasinya yang hanya terdiri dari dua personil, jelas memperlihatkan bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan desa dimata warganya tidak dianggap penting. Dan hal ini tidak hanya di desa Kauman saja, melainkan juga di desa-desa di wilayah Kudus Kulon seperti Damaran, Kajeksan,
119 Langgar Dalem, Kerjasan, demangan dan Janggalan, bahwa tenaga pemerintahan sangat minim jumlahnya, paling banter seorang kepala desa dibantu oleh dua atau tiga orang perangkat desa. Setahu peneliti, memang hanya desa Kauman yang perangkat desanya cuma satu orang, selain kepala desa. Kegiatan-kegiatan desa yang melibatkan banyak warga, operasionalnya diserahkan kepada LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang hingga kini masih dipertahankan keberadaannya oleh bapak kepala desa Kauman. Perkara-perkara yang menyangkut komunitas Kauman sebagian besar ditangani sendiri oleh bapak kepala desa. Periode jabatan kepala desa Kauman dan desadesa di wilayah Kudus adalah empat tahun, namun belakangan ada usaha-usaha untuk menjadikan periode itu menjadi depalan tahun. Perubahan masa jabatan kepala desa ini kemungkinan berkenaan dengan naiknya jumlah honor yang diterimanya setiap bulan 6. Pada masamasa sebelumnya, tidak ada orang yang mau menjadi Pada pemilihan kepala desa di wilayah Kudus Kulon yang baru lalu (tahun 2001/2002) beberapa orang telah berani mencalonkan diri sebagai bakal calon kepala desa. Di desa-desa yang peneliti perhatikan, di Kauman ada dua orang bakal calon, di desa Langgar Dalem ada dua orang bakal calon, dan di desa Janggalan ada empat orang bakal calon. Semaraknya pemilihan kepala desa itu salah satunya bisa jadi disebabkan oleh naiknya honor yang diterima oleh seorang kepala desa, di tengah-tengah kondisi ekonomi yang sulit sekarang ini. Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh, seorang kepala desa pada tahun 19921996 menerima honor sebesar Rp. 45.000 per bulan; tahun 1996-2000 menerima Rp. 60.000; tahun 2000-2001 menerima Rp. 200.000; dan tahun 2001-2002 menerima Rp. 400.000. 6
120 kepala desa. Bahkan desa Kauman sendiri pernah bergabung dengan desa lainnya. Dahulu, desa Kauman pernah tidak memiliki seorang kepala desa; ia pernah bergabung dengan desa Langgar Dalem, kemudian lepas dan bergabung dengan desa Kerjasan, dan kembali lagi ke desa Langgar Dalem, dan lagi-lagi kembali bergabung dengan desa Kerjasan, hingga akhirnya pada awal tahun 1980-an pindah bergabung dengan desa Damaran. Dan pada pertengahan tahun 1980-an kembali lagi ke Kauman. Salah satu faktor utama, mengapa jabatan kepala desa Kauman beberapa kali dikosongkan adalah bahwa karakter orang-orang Kauman yang tidak mau diatur oleh pihak lain dalam hal ini pemerintah. Pada tahun 1950-an, kepala desa Kauman dijabat oleh bapak Abdurrahman; ia berkantor di rumahnya sendiri, di sebuah gandok semi permanen yang sengaja dibuat di dekat bangunan rumahnya. Setiap malam, seorang perangkat desa tidur dan menunggui gandok itu. Pada tahun 1960-an dia diganti oleh bapak Rudi. Karena tidak mau masuk partai Golkar, partai penguasa, maka bapak Rudi diturunkan oleh pemerintah, dan sempat diganti oleh orang luar desa (dari kalangan ABRI-tentara) sebelum akhirnya desa Kauman beberapa kali kosong tanpa ada kepala desanya, hingga pada tahun 1985. Pada tahun ini, bapak Abdul Azis menjadi kepala desa Kauman. Hingga sekarang warga Kauman kurang antusias bila berurusan dengan pihak pemerintah. Sikap tidak mau diatur oleh pihak lain masih dimiliki sebagian warga Kauman. Sehingga tidak mengherankan apabila kedudukan seorang kepala desa (sebagai wakil pemerintah) di Kauman tidak secara otomatis memberikan
121 kekuasaan, kebanggaan dan kehormatan bagi dirinya, yang segala titahnya harus dituruti oleh warganya, bahkan yang terjadi mungkin sebaliknya; beberapa kasus telah memperlihatkan hal itu. Informan peneliti, bapak Mashuri Ridwan, mantan perangkat desa Kauman (19851993) yang juga memiliki kemampuan dan kecakapan dalam hal pengurusan sertifikat tanah, menceritakan kepada peneliti: Ketika warga Kauman harus menentukan, apakah tanah mbah Sunan dikelola pemerintah atau dikelola sendiri, jelas warga memilih yang kedua. Itulah yang mengharuskan sebuah yayasan didirikan. Hingga tahun 1986, lahan yang ditemati masjid Menara Kudus dan makam Sunan Kudus tidak jelas statusnya, tidak ada data-data yang menguatkan, apakah tanah tersebut tanah wakaf atau bukan, kalau tanah wakaf siapa yang mewakafkannya. Sebagai jalan keluarnya diadakan istifathogh, yaitu dengan keyakinan penuh, seluruh warga Kauman menyatakan bahwa mereka semua yang mewakafkan tanah mbah Sunan. Sehingga dibutuhkan tanda tangan dari seluruh warga tanpa terkecuali yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf. Semula ada satu orang yang tidak bersedia tanda tangan, tetapi setelah
122 diberi penjelasan, orang itu bisa menerima dan kemudian melengkapi tanda tangan seluruh warga Kauman. Masalah lain muncul lagi, sebab tidak ada seorangpun yang mau menjadi nadir, yaitu pengurus masjid yang melaporkan segala sesuatunya kepada pemerintah daerah; ini berbeda dengan yayasan yang ada meskipun kepengurusannya sebagian adalah orangorang yang sama. Padahal ini merupakan salah satu persyaratan untuk dikeluarkannya status tanah wakaf. Mereka pada hakekatnya tidak mau berurusan dengan pemerintah daerah; alasannya, perkara itu adalah urusan duniawi biar diurus pemerintah saja (desa). Namun setelah dijelaskan panjang lebar dan juga berkat ikut campurnya KH. Turaechan, akhirnya terbentuklah nadir masjid Menara dan Sunan Kudus, dengan Muhammad Najib Hasan sebagai ketua dan beberapa orang anggota: Wahyul Huda, Mashuri, KH. Arifin Fanani, Yasin Jalil, H. Maksum, dan H. Nafi’an. Kasus lain adalah tentang penarikan pajak bumi dan bangunan (dulu IPEDA). Dari zaman Belanda, tanah Kauman adalah tanah perdikan, tanah bebas pajak, namun sebagai gantinya desadesa disekitarnya dikenakan pajak yang lebih tinggi dari yang seharusnya guna menutupi kekurangan pembayaran pajak
123 negara oleh sebab tanah perdikan Kauman. Baru sekitar tahun 1986, pemda ingin menerapkan pembayaran pajak terhadap Kauman. Meskipun besarnya pajak tidak seberapa, tetapi pada waktu itu gaung tanah perdikan masih tetap dimunculkan oleh sebagian warga. Sehingga pada awalnya, penarikan PBB agak seret karena sebagian warga tidak mau membayarnya. Untuk keperluan PBB ini, setiap persil tanah yang dimiliki warga harus diukur ulang dan disertifikatkan. Namun hingga kini, ada satu dua orang yang persil tanahnya belum mau disertifikatkan. Dua kepentingan, antara urusan agama dan pemerintah atau urusan akhirat dan dunia, di kalangan orang-orang Kauman masih terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Jelas, kondisi ini kurang menguntungkan bagi orang-orang Kauman sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, dan menghambat pembangunan kampung atau desanya, sebab setiap program pembangunan desa pasti datangnya dari pemerintah. Sehingga tidak mengherankan jika di Kauman sulit untuk diadakan ronda malam atau kerja bakti membersihkan lingkungannya, sebab mereka menyerahkan semua urusan itu kepada desa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah agama Islam sendiri membedakan keduanya? Apakah yang satu lebih utama dari yang lain? Dalam sebuah kesempatan peneliti
124 menanyakan perihal ini kepada bapak Abdul Azis, mantan kepala desa Kauman (menjabat 1985-1993). Pada suatu malam, peneliti berkunjung ke rumah bapak Abdul Azis yang sekarang berdomisili di desa Demangan. Dengan diselingi dua orang tamu yang datang, bapak Abdul Azis bercerita tentang komunitas Kauman: Di masa lalu, warga Kauman, dalam setiap kegiatan kehidupan sehari-hari berlandaskan ajaran agama Islam, namun sejalan dengan perkembangan zaman, sebagian warga sudah kurang memahami ajaran-ajaran Islam. Generasi sekarang menganggap bahwa kegiatan agama terpisah dengan kegiatan pemerintahan. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan desa dianggap bukan kegiatan agama, dan mereka tidak mau ikut campur. Sebagai kepala desa, saya sering menggunakan atau menghubungkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh desa. Sebagai contoh, ketika pada tahun 1986 di adakan pemutihan akta kelahiran, sebagian warga bertanya akta kelahiran itu urusan agama atau tidak? Tidak ada jalan lain kecuali harus dikaitkan dengan agama, jika tidak, warga akan menolaknya. Setelah dijelaskan tentang pentingnya catatan sah dari pemerintah
125 tentang nasab keturunan yang di dalam agama Islam merupakan hal yang penting, baru mereka bersedia mengikuti pemutihan. Komunitas Kauman yang dinilai agamis, pada kenyataannya kurang didukung oleh pemahaman yang benar tentang Islam secara kaffah (menyeluruh). Warga Kauman sekarang ini tenggelam dalam nama besar Sunan Kudus. Kurangnya simpatik warga terhadap pemerintah telah ada sejak jaman Belanda. Di mata warga, pemerintahan di jaman Belanda tidak jujur dan tidak adil. Bapak Mashuri Ridwan menggambarkan sikap orang-orang Kauman dalam pergaulan sehari-hari: Mereka, orang-orang Kauman tidak mau menilai atau mengomentari tingkah polah orang lain, baik atau buruk, apalagi mencampuri urusan orang lain. Semuanya diserahkan kepada Allah baik buruknya perilaku seseorang. Apabila ada orang Kauman yang jelas-jelas melakukan perbuatan buruk, seperti mabuk-mabukan, akan dibiarkan saja, dia tidak ditegur atau diperingatkan. Itu semua urusan Allah; Dia yang akan menilai dan membalasnya. Bahkan seorang Kyai atau guru agama pun tidak akan menegur langsung orang yang
126 berbuat salah tersebut. Demikian pula tentang kontrol terhadap jabatan seseorang akan diserahkan semuanya kepada Allah. Mereka tidak akan melakukan pengawasan dan penilaian terhadap orang-orang yang memegang jabatan baik yang berurusan dengan pemerintahan (desa) maupun dengan aktifitas masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Berkaitan dengan ketidak-acuhan warga terhadap lingkungan kampungnya juga dituturkan oleh bapak kepala desa: Di kampung Kauman ada dua orang kakak beradik yang dianggap sebagai ‘pengotor’ lingkungan Kauman, yaitu dengan perbuatannya yang selalu menarik perhatian orang, mencari sensasi, sambil minum minuman keras hingga mabuk. Pernah suatu malam di bulan Ramadlan, ketika banyak orang sedang berdoa di makam Sunan Kudus, salah satu orang itu berteriak-teriak sendirian, hingga mengganggu kekhusukan berdoa mereka. Tidak satupun warga yang peduli, mungkin juga karena takut; mereka juga tidak melaporkannya kepada desa. Sehingga saya (bapak kepala desa) sendiri yang berhadapan langsung. Untungnya sejak tahun 2002 keduanya telah pergi, salah
127 satunya meninggal dunia akibat kecelakaan lalu-lintas. Sementara itu menurut penuturan bapak Abdul Azis, orang-orang Kauman memiliki dan masih memegang teguh prinsip: ‘tidak mau berhutang jasa kepada orang lain’. Misalnya, seseorang atau keluarga yang sedang mengalami kesusahan tidak akan memperlihatkan keadaan itu kepada orang lain. Dan apabila orang lain tahu dan menawarkan bantuannya, hampir pasti ditolaknya. Orang yang berkesusahan itu khawatir nanti tidak bisa membalas kebaikan orang-orang yang telah memberikan bantuan. Setiap orang Kauman akan selalu menghindari balas jasa dari orang lain. Dalam kondisi apapun, orang-orang Kauman pada umumnya berpenampilan ceria; mereka akan malu memperlihatkan kekurangan atau kesusahan yang ada pada dirinya kepada orang lain. Kita tidak bisa mengetahui keadaan seseorang secara langsung, melainkan dari cerita-cerita orang lain yang kenal baik dengannya, atau orang yang masih ada hubungan kekerabatan. Dan bapak kepala desa adalah termasuk orang yang tahu banyak tentang kondisi sosial dan ekonomi warganya. Di desa Kauman, kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan antar warga, bagi bapak-bapak salah satunya diwadahi dalam acara manakiban7 yang Pembacaan manakib adalah pembacaan sebuah hagiografi syeh Abdul Qadir Jailani, seorang yang dianggap wali meninggal di Baghdad, Irak tahun 1166 M (561 H); dibacakan untuk tujuan menolak bala, memohon perlindungan, atau mengusir setan, 7
128 diselenggarakan setiap tanggal 11 bulan Islam (Qomariyah); kegiatan ini sudah berjalan dua tahun. Dalam kegiatan yang merupakan inisiatif warga dan bersifat suka rela ini tidak banyak diikuti oleh warga, hanya 17 orang. Biaya suguhan ditanggung oleh orang yang menjadi tuan rumah. Kegiatan ini dipelopori oleh bapak Chamdan, ketua RW desa Kauman, anggotanya sementara dibatasi, hal ini disebabkan oleh keterbatasan biaya yang harus ditanggung oleh penyelenggara acara. Meskipun telah ada himbauan supaya kue-kue yang dihidangkan oleh tuan rumah yang kebetulan ketempatan cukup dua macam atau rupa namun tuan rumah tidak jarang memaksakan diri dengan beraneka rupa kue-kue sebagai suguhan. Kelompok kegiatan ini, pada bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) yang lalu (2001), juga telah menyelenggarakan kegiatan berzanjen8 tiap malam selama sebulan penuh. atau semata-mata sebagai tindakan pemujaan dan ibadah. Peringatan hari kematian sang wali, pada tanggal 11 Rabi’ul Akhir, telah dan masih diperingati di banyak tempat dengan acara pembacaan manakib nya; di tempat-tempat tertentu acara tersebut bahkan dilakukan pada setiap tanggal 11 bulan Qamariyah. Lebih daripada semua wali lain, syeh Abdul Qadir Jailani dikagumi dan dicintai oleh rakyat, di mana-mana orang tua menceritakan riwayat tentang keramat-keramatnya kepada anak-anak mereka, dan hampir setiap upacara keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan al-fatihah kepadanya (lihat pula van Bruinesses, 1999). Pembacaan berzanji adalah pembacaan sebuah riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan mi’raj nya ke langit. Kitab berzanji, buku maulid karya Ja’far Al-Barzinji, mungkin merupakan teks yang paling disukai di Indonesia setelah AlQur’an. Penggunaan utama kitab berzanji untuk tujuan 8
129 Untuk kegiatan sosial di kalangan ibu-ibu salah satunya diwadahi dalam acara arisan selapanan (setiap 35 hari sekali) yang bertempat di salah satu rumah warga secara bergantian. Dalam setiap kegiatan itu selalu disertai dengan acara pengajian, kegiatan dakwah agama Islam. Kegiatan remaja Kauman diwadahi dalam organisasi IPNU (Ikatan Pemuda Nahdlatul ‘Ulama) dan IPPNU (Ikatan Putra Putri Nahdlatul ‘Ulama). Hampir semua kegiatan yang melibatkan, baik bapak-bapak, ibuibu, maupun remaja bersifat keagamaan. Organisasi pemuda dari kalangan Muhammadiyah tidak peneliti jumpai di Kauman, hal ini bisa dimengerti karena jumlah anggota dan simpatisan Muhammadiyah di daerah ini tidak banyak. Di Kauman, peneliti menemukan sebuah keluarga yang menjadi simpatisan organisasi Muhammadiyah. Informan peneliti, Abdurahman, 28 tahun, menuturkan tentang kegiatan remaja di Kauman: Jumlah remaja yang tergabung dalam IPNU dan IPPNU ranting Kauman pemujaan dan ibadah; kitab ini bisa dibaca secara pribadi sebagai suatu amal baik, atau, biasanya dibaca secara berjama’ah, atau paling tidak dibaca di hadapan orang banyak, tidak hanya di sekitar tanggal 12 Rabi’ul Awwal, hari kelahiran Nabi, tetapi juga pada berbagai kesempatan dan acara: pada berbagai ritual yang mengikuti daur kehidupan manusia seperti pemotongan rambut seorang bayi untuk pertama kalinya (aqiqah), dalam situasi krisis, atau sebagai bagian untuk mengusir setan (lihat pula van Bruinessen, 1999)
130 sekitar 35 orang, yang asalnya tidak semua dari warga Kauman, tetapi juga Damaran, Kerjasan dan Langgar Dalem. Organisasi ini memiliki sekretariat di Kauman, yaitu di rumah bapak Rofiqul Hidayat. Organisasi IPNU membentuk Jamiyah Nahdlatul Aftal (NA), khusus putra, keanggotaannya tidak membatasi hanya dari kalangan NU. Bagi warga Kauman dan sekitarnya yang memiliki hajat misalnya aqiqah bayi, khitan dan pernikahan akan memanggil kelompok NA ini untuk pembacaaan shalawat Nabi Muhammad SAW atau lebih dikenal dengan rasulan, yang biasanya dilaksanakan pada malam hari sebelum hari H (hajatan berlangsung). 3.6. Kehidupan Keagamaan Triyanto mengemukakan bahwa wilayah Kudus Kulon, oleh karena sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka tidak mengherankan jika mendapat sebutan sebagai suatu kawasan kaum santri dengan desa Kauman sebagai pusatnya (Triyanto, 2001:50). Pendapat Triyanto tersebut tidaklah berlebihan, di samping seratus persen penduduk desa Kauman beragama Islam, juga di desa itu terdapat pusat kegiatan keagamaan masyarakat Kudus, yaitu kompleks masjid Menara dan makam suci Sunan Kudus. Para santri dari berbagai pondok pesantren yang ada di wilayah Kudus Kulon menjadikan kompleks itu sebagai pondok keduanya.
131 Istilah santri9 dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menunjuk pada murid-murid yang menuntut ilmu pendidikan agama terutama di pondok pesantren. Di Kudus Kulon selain terdapat banyak pondok pesantren juga ada madrasah-madrasah10. Bagi keluarga-keluarga di Kauman dan sekitarnya pada umumnya menyekolahkan putra putrinya di madrasah-madrasah yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Madrasah-madrasah ini memberikan pengajaran agama dan pengetahuan umum yang prosentasenya berbeda antara madrasah satu dengan lainnya. Sebagai contoh, di madrasah Qudsiyah, perbandingannya yakni 60 % untuk pelajaran agama dan Istilah santri adalah salah satu dari tiga varian kultur Jawa yang diberikan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang terkenal The Religion of Java (1960) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981). Menurut Geertz, istilah santri digunakan untuk mereka yang beragama Islam dan taat dalam peribadatan pokok, terutama sembahyang lima waktu dan puasa Ramadlan (1981:289-304). Koentjaraningrat menambahkan, bagi seorang santri yang mampu (minimal dalam hal biaya), melaksanakan ibadah haji ke Mekah adalah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi (periksa Koentjaraningrat, 1984:392-293). 9
Di wilayah Kudus Kulon, ada lebih dari seratus pondok pesantren dan madrasah besar dan kecil. Di antaranya yang tertua dan terkenal, ialah: (1) madrasah ‘Aliyatus-Saniyah Mu’awanatul Muslimin di dusun Kenepan desa Kerjasan, didirikan oleh perkumpulan Serikat Islam (SI) tahun 1915; (2) madrasah Qudsiyah di dusun Kauman, didirikan oleh K.H.R. Asnawi tahun 1919; (3) dan madrasah Tasywiqut-Tullab Salafiyah di dusun Bale Tengahan, desa Langgar Dalem, didirikan oleh K.H.A. Khaliq tahun 1928 (lihat Yunus, 1985:253254). 10
132 40 % untuk pengetahuan umum. Murid-murid madrasah di wilayah Kudus Kulon juga banyak yang berasal dari daerah-daerah di sekitar Kudus, seperti Demak, Jepara dan Pati. Kebanyakan mereka ini, bersama temantemannya berdua atau bertiga menyewa kamar (indekos) di rumah-rumah penduduk setempat. Jam pelajaran madrasah dimulai pukul tujuh pagi dan selesai pukul satu siang. Pada sore hari, setelah shalat ‘asar hingga menjelang shalat magrib, beberapa madrasah membuka pengajaran khusus agama bagi anak-anak keluarga setempat yang pada pagi harinya menuntut ilmu di sekolah-sekolah umum. Bagi mereka yang sekolah di madrasah, terutama yang berasal dari luar daerah, waktu sore hari digunakan untuk memperdalam ilmu agamanya di pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Kudus Kulon. Pada umumnya pondok-pondok pesantren tersebut milik perorangan, yakni milik seorang kyai masyhur atau keluarganya, yang santri-santrinya hampir semuanya berasal dari luar daerah. Selain dari daerah sekitar Kudus, santri-santri itu juga berasal dari daerah-daerah seperti Bogor, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Solo, Tuban dan Gresik. Sekedar contoh, di sini bisa disebutkan pondok pesantren milik Kyai Ma’ruf Irsyad, di desa Langgar Dalem, santrinya sekitar 350 orang (putra dan putri), pondok pesantren milik Kyai Hisyam di desa Janggalan, santrinya sekitar 150 orang (semuanya putra) dan pondok Huffadh Yanbu’ul Qur’an milik Kyai Arwani Amin di desa Kajeksan, santrinya berjumlah sekitar 300 orang (putra dan putri). Pondok-pondok pesantren di Kudus Kulon terkenal dengan ngaji Qur’an nya (hapalan Qur’an).
133 Setiap pondok pesantren menyediakan keperluan tempat tidur dan makan bagi santri-santrinya. Para santri yang menetap atau tinggal di pondok pesantren dinamakan santri mukim. Namun tidak sedikit dari mereka yang memilih makan dan tidur di luar pondok, yaitu dengan cara indekos atau kontrak kamar di rumahrumah milik penduduk di sekitar pondok pesantren; mereka ini dikenal dengan santri ‘kalong’ artinya tidak mukim di dalam pondok pesantren. Alasan mereka cukup sederhana, mereka ingin bebas tidak terikat dengan aturan-aturan pondok. Hampir semua santri ‘kalong’ adalah santri putra. Mereka inilah yang sering mondarmandir di gang-gang sempit di Kudus Kulon menjelang shalat lima waktu tiba. Dan dalam kehidupan keagamaan di Kauman dan sekitarnya, para santri yang bebas ini, yang jumlahnya ratusan orang, sangat kentara sekali. Hampir sepanjang hari mereka menghapalkan kitab AlQur’an yang kemana-mana selaku dibawanya (ukuran kecil). Pada umumnya mereka lebih memilih tempat di mushalla-mushalla yang banyak tersebar di wilayah Kudus Kulon dan di serambi masjid Menara untuk kegiatan menghapal kitab Al-Qur’an. Terkadang sebagian dari mereka melakukannya di cungkup makam Sunan Kudus. Mereka diwajibkan menyetor hapalan Qur’an nya kepada kyai pengasuh pondok pesantren pada waktuwaktu yang telah ditentukan, yakni waktu setelah shalat ‘asar, magrib dan subuh. Kegiatan kehidupan keagamaan sehari-hari di lingkungan Kauman dan sekitarnya tidak bisa dilepaskan dari aktifitas para santri yang ada di wilayah itu. Bahkan
134 sebenarnya, merekalah yang memberikan andil besar dalam pembentukan citra Kudus sebagai kota santri. Mereka ini, dalam setiap kegiatan sholat lima waktu – ‘isya, subuh, dhuhur, ‘asar dan magrib – lebih banyak membanjiri musholla-musholla dan masjid Menara ketimbang warga setempat. Berkaitan dengan keaktifan warga kampung Kauman dalam menghadiri kegiatan sholat lima waktu berjama’ah di masjid Menara, salah seorang jama’ah dari desa Damaran mengemukakan: Sebutan Kauman bagi orang-orang yang tinggal di sekitar masjid Menara hanya nostalgia lama. Sebab sekarang ini kehidupan sehari-hari mereka tidak berbeda dengan masyarakat lainnya yang bukan kaum. Orang-orang Kauman yang setiap harinya pergi dan sholat lima waktu berjama’ah di masjid Menara bisa dihitung dengan jari. Sekarang ini, terlalu berat beban yang dipikul oleh orang-orang Kauman dengan sebutan atau anggapan sebagai kaum, golongan orang-orang yang menegakkan agama Islam, padahal kualitas sumber daya manusia yang ada sekarang sudah tidak lagi atau belum memenuhi kriteria masyarakat kaum, yang selama ini mereka dinilai taat beribadah di masjid dan ulet dalam berdagang. Orang-orang luar (selain Kauman) yang menempatkan Sunan Kudus, yang digambarkan sebagai seorang ulama yang faqih dan sekaligus seorang pedagang yang ulet,
135 menjadi suatu rujukan dalam berperilaku dan berusaha bagi orang-orang Kauman, secara tidak langsung telah ‘menina-bobokan’ orang-orang Kauman. Sekarang ini, oleh sebab orang lain, orang-orang Kauman berada di bawah bayang-bayang mbah Sunan, yang riwayat hidupnya tabu diceritakan kepada khalayak ramai. Tidak terlalu salah, apa yang pernah dikatakan Koentjaraningrat (1984) bahwa walaupun memang ada beberapa penduduk kampung Kauman yang bekerja sebagai pegawai masjid, mereka pada umumnya tidak ada sangkut pautnya dengan masjid kecuali untuk bersembahyang Jum’at. Di bulan Ramadlan, bulan yang menurut agama Islam merupakan bulan yang penuh dengan barokah, bulan dimana orang-orang mukmin diwajibkan berpuasa satu bulan penuh, warga Kauman mengisinya dengan berpuasa di siang hari dan melaksankan shalat terawih berjam’ah di masjid Menara. Sebagaimana di tempattempat lain, pada beberapa hari pertama bulan Ramadlan, ruang masjid penuh sesak oleh jama’ah shalat lima waktu dan terawih. Mulai pertengahan hingga akhir bulan, jumlah jama’ah semakin berkurang, tinggal beberapa orang Kauman yang masih aktif shalat jama’ah di masjid Menara terutama untuk shalat Magrib, Isya’ dan Subuh, yang lainnya lebih suka memilih shalat di rumahnya masing-masing. Di dalam kompleks masjid Menara Kudus, shalat terawih dilaksanakan di dua tempat, yakni di masjid Menara itu sendiri dan di tajug, sebuah tempat yang sehari-harinya digunakan untuk menerima para peziarah makam Sunan Kudus. Pelaksanaan shalat terawih di
136 masjid Menara (kapasitas sekitar 1.750 jama’ah), jumlah raka’atnya 23, di setiap raka’atnya setelah pembacaan surat Al-Fatihah dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an hingga selesai (katam) tiga puluh juz dalam tiga puluh hari, sehingga pelaksanaan shalatnya agak lama. Dalam pelaksanaan shalat terawih yang lalu (2002), shalat diimami oleh ulama asli Arab bernama KH. Abdul Qodir. Jama’ah shalat terawih di masjid Menara sebagian besar terdiri dari para santri dan orang-orang yang berasal dari daerah-daerah di sekitar wilayah Kudus Kulon. Sementara itu shalat terawih di tajug (kapasitas sekitar 50 jama’ah), jumlah raka’atnya sama 23, namun ayat-ayat yang dibaca di setiap raka’at setelah pembacaan surat AlFatihah adalah surat-surat pendek, sehingga pelaksanaan shalatnya pun agak cepat. Shalat terawih (2002) diimami oleh pemuka agama asli Kauman yaitu ustadz Noor Izza. Jama’ah shalat terawih di tajug sebagian besar adalah warga Kauman dan sekitarnya. Peneliti sendiri, pada bulan Ramadlan yang lalu lebih suka shalat terawih di tajug. Jumlah raka’at shalat terawih yang diselenggarakan di musholla-musholla dan masjid-masjid di lingkungan Kudus Kulon pada umumnya 23 raka’at. Ada sebuah masjid (masjid Krapyak) yang letaknya di sebelah utara masjid Menara yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyah menyelenggarakan shalat terawih dengan 11 raka’at. Rupanya perbedaan jumlah raka’at dalam penyelenggaraan shalat terawih ini, di kalangan orangorang Kauman dan sekitarnya sudah bisa diterima sebagai hal yang wajar. Hal ini juga terjadi pada waktu penentuan awal dan berakhirnya bulan suci Ramadlan (yang berarti
137 hari raya fitri). Pada tahun 2002 yang lalu, antara orangorang Muhammadiyah dan orang-orang kebanyakan di wilayah Kudus Kulon yang didominasi warga Nahdlatul Ulama mendapati perbedaan dalam menentukan hari raya fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah. Warga dan simpatisan Muhammadiyah merayakan hari raya Fitri sehari sebelum saudaranya dari kalangan warga dan simpatisan Nahdlatul Ulama. Mereka menyelenggarakan shalat Idul Fitri di sebuah lapangan sekitar satu kilometer di sebelah barat masjid Menara, sementara sebagian besar warga Kauman dan sekitarnya masih menjalani puasa Ramadlan. Baru sehari kemudian, sebagian besar warga Kudus Kulon menyelenggarakan shalat Idul Fitri di masjid Menara. Penentuan waktu awal bulan Ramadlan dan bulan Syawal, warga Kauman dan sekitarnya berpegang pada tanggal yang telah ditetapkan oleh KH. Turaekhan, seorang kyai yang ahli dalam bidang ilmu falak, apapun keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka yang diikuti adalah hasil hitungan KH. Turaikhan (meninggal tahun 1999). Ilmu falaknya, sekarang ini diwariskan kepada salah satu putranya. Bagi para pengusaha home industry konveksi dan bordiran, pada malam hari, setelah shalat ‘isya, pada hari terakhir puasa, dengan ketaatan kepada agamanya, mereka mengeluarkan (membayar) zakat 11, di samping zakat fitrah berupa beras 3,5 liter per orang, juga zakat Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima (Rukun Islam : Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, Haji), fardlu ‘ain atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya. 11
138 mal (harta) yang berupa uang sebesar 2,5 % dari hartanya yang telah memenuhi nisab nya (batas minimal jumlah harta yang harus dibayarkan zakatnya) kepada orangorang yang berhak menerimanya. Anjuran berzakat bagi setiap mukmin terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 77: ‘dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat‘ Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 277: ‘ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk pembersihan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka‘ Pada umumnya para pengusaha itu telah mempunyai ‘langganan’ orang-orang yang akan diberikan zakat mal. Mereka penerima zakat harta ini kebanyakan para buruh dan orang-orang yang selama ini membantu usahanya. Sedangkan zakat fitrah yang berupa beras oleh orang-orang Kauman dan sekitarnya diberikan kepada para santri yang indekos di sekitar rumah mereka dan pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Kudus Kulon. Tidak seperti di tempat-tempat lain yang mana urusan zakat dikelola oleh Bazis (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh) yang dibentuk oleh masjid-masjid, di Kauman pembayaran zakat dari orang-orang wajib berzakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat pada umumnya dilaksanakan secara langsung orang per orang tidak melalui Bazis. Aktifitas pembayaran dan penerimaan zakat ini berlangsung tidak kentara. Peneliti
139 hampir-hampir tidak menyaksikannya, karena waktunya malam hari. Setelah melaksanakan shalat Idul Fitri, warga Kauman dan sekitarnya melakukan salam-salaman, yang lebih muda mengunjungi rumah tetangganya yang lebih tua, dengan mengucapkan minal a’idzin wal fa’idzin mohon maaf lahir dan batin. Di hari yang bahagia ini, setiap tamu akan disajikan kue-kue dan minuman. Karena terlalu banyaknya sajian dan minuman yang harus dicicipi dari rumah ke rumah, maka khusus di hari raya itu minuman disajikan dalam gelas yang ukurannya kecil-kecil. Maksudnya agar tidak mubazir, membuang minuman sisa, sebab kebanyakan para tamu tidak menghabiskan minuman yang disajikan dalam gelas-gelas ukuran standar. Bagi para santri, sebelum mengunjungi tetangga terdekat dimana dia indekos, terlebih dahulu menemui guru-gurunya di kompleks pondok pesantren tempat dia mondok. Pada kesempatan itu peneliti diajak oleh para santri untuk berkunjung ke pondok pesantrenya dan bersilahturahmi dengan para pengasuh pondok pesantren. Adalah merupakan penghormatan kepada kyai apabila santri menghabiskan makanan yang disajikan, terutama makanan nasi dan minumannya. Mereka mengunjungi satu persatu keluarga kyai yang merupakan keturunana kyai pendiri pondok pesantren. Rupanya yang datang tidak hanya para santri yang masih aktif, tetapi juga mereka yang sudah menjadi alumni pondok pesantren itu. Satu hal yang tidak dilewatkan oleh para santri adalah sebelum meninggalkan rumah kyai, mereka minta didoakan oleh kyai yang dikunjungi itu.
140 Setiap bulan Rabi’ul Awwal atau dikenal dengan bulan Maulud Nabi atau bulan kelahiran Nabi karena di bulan ini Nabi Muhammad SAW lahir, disamping pengajian-pengajian agama, juga diselenggarakan kegiatan sunatan masal oleh Yayasan masjid Menara dan makam Sunan Kudus (YM3KS) yang banyak melibatkan remaja Kauman dan sekitarnya. Kebanyakan anak-anak yang disunat berasal dari daerah-daerah pinggiran Kudus Kulon. Prosesi sunatan masal seperti yang peneliti saksikan adalah sebagai berikut: Pada malam hari sebelum pelaksanaan sunatan masal, di serambi masjid Menara diadakan shalawatan dengan diiringi musik yang dimainkan oleh kelompok remaja yang menamakan dirinya terbangan papat. Mereka menggunakan empat buah terbangan (semacam rebana) dan sebuah drum (jedor). Beberapa warga Kauman dan sekitarnya datang dan duduk mengelilingi para pemain terbangan; mereka bersamasama bershalawat, yang dimulai pada waktu sehabis shalat isya’ hingga tengah malam. Pada hagi harinya, anak-anak yang akan disunat, mulai berdatangan pukul 07.00 wib di gedung sekretariat yayasan, di jalan Sunan Kudus. Sekitar pukul 09.00 wib, anak-anak tersebut yang telah berganti pakaian seragam yang disediakan oleh panitia, diarak menuju masjid Menara
141 melewati gang-gang sempit di lingkungan kampung Kauman. Di serambi masjid, mereka berfoto bersama diiringi dengan shalawatan. Sepuluh menit kemudian, mereka diarak menuju kembali ke gedung sekretariat yayasan melewati jalan Menara dan jalan Sunan Kudus. Selama perjalanan, mereka terus bershalawat sambil diiringi terbangan yang berjalan paling depan. Sampai di tempat, kelompok terbangan menempatkan diri di teras bagian luar sebelah kanan dan terus bershalawat, sementara para pengiring keluarga menempatkan diri di teras bagian kanan. Anak-anak yang akan disunat langsung masuk ke dalam untuk satu persatu disunat. Sebelum disunat, mereka diberi makan nasi soto. Di dalam sudah siap enam tenaga medis, sehingga dalam satu gelombang bisa enam anak sekaligus yang disunat. Dalam setiap acara yang berkaitan dengan kegiatan sunatan masal tersebut tidak ada sambutan-sambutan, baik dari pihak panitia maupun yayasan. Kehidupan keagamaan di wilayah Kudus Kulon lebih terasa terutama oleh adanya kegiatan pengajianpengajian agama yang banyak diselenggarakan. Ada dua macam kegiatan pengajian agama yang diselenggarakan oleh masjid-masjid dan mushalla-mushalla di wilayah
142 Kudus Kulon, yang pertama pengajian umum dan kedua pengajian kitab. Pengajian umum biasanya diselenggarakan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, seperti Maulud Nabi, Isro’ Mi’roj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain. Sementara itu pengajian kitab diselenggarakan pada hari-hari tertentu dan tetap dalam sepekan dan diasuh oleh kyai-kyai ternama. KH. Sya’roni Ahmadi mengasuh pengajian kitab Tafsir Jalalain pada Senin pagi, ba’da shalat subuh di masjid Mu’ammar desa Janggalan; Rabu, ba’da shalat magrib di mushalla milik KH. Nurkholis desa Janggalan; dan Jum’at, ba’da shalat subuh di masjid Menara desa Kauman. Ulama lain, KH. Ma’aruf Irsyad mengasuh pengajian kitab Tafsir Irsyadul ‘Ibad pada Kamis, ba’da shalat magrib di mushalla milik bapak Mudrik desa Janggalan; dan Senin, ba’da shalat magrib di masjid Menara desa Kauman. Sementara itu, KH. Khoiru Zyad mengasuh pengajian kitab Tafsir Rihadushalihin pada Selasa dan Sabtu ba’da shalat magrib di masjid Langgar Dalem desa Desa Langgar Dalem. Ada satu kegiatan pengajian kitab yang selalu dihadiri oleh jama’ah melimpah, yaitu pengajian kitab yang diasuh oleh KH. Sya’roni Ahmadi setiap Jum’at ba’da shalat subuh di masjid Menara. Jumlah orang-orang yang hadir dalam kegiatan pengajian kitab ini lebih banyak dibanding dengan kegiatan-kegiatan ibadah agama Islam lainnya yang diselenggarakan di masjid Menara seperti shalat Jum’at, shalat Idul fitri dan Idul Adha, dan pengajian-pengajian umum.
143 Seperti yang peneliti saksikan, acara pengajian kitab dihadiri oleh tidak kurang dari 2.500 orang yang datang dari berbagai daerah di sekitar Kudus. Sebagian besar dari mereka sudah datang sejak hari Kamis sore hingga fajar hari Jum’at, baik dengan berjalan kaki, dengan sepeda maupun dengan sepeda motor; mereka sekalian melakukan ziarah ke makam Sunan Kudus. Jama’ah yang tidak tertampung di masjid, terutama yang datangnya pada saat acara dimulai, terpaksa berdiri atau duduk di atas kendaraannya yang diparkir di jalan Menara dan jalan Madureksan, di depan kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Ada seorang yang berasal dari Mayong, Jepara, sudah datang sejak hari Rabu sore, dengan mengendarai sepeda (sekitar 10 km). Selama dua hari dia melakukan kegiatan-kegiatan ziarah dan membaca Al-Qur’an, untuk kemudian mendengarkan pengajian pada Jum’at subuh; dan kegiatan seperti ini telah dilakukannya sejak dia masih kecil. Tujuan utamanya adalah memperoleh ketenangan hati, dan dia sudah merasa mendapatkannya selama ini. Kegiatan pengajian Jum’at subuh sudah dimulai sejak masa KHR. Asnawi. Salah satu kegiatan KHR.
144 Asnawi semasa hidupya, setelah keluar dari penjara (ia adalah salah satu orang yang ditangkap Belanda dalam peristiwa kerusuhan anti Cina tahun 1918), ialah memberikan pengajian kitab Hadits Bukhari Muslim, dilaksanakan setiap Jum’at fajar dan setiap sesudah shalat subuh selama bulan Ramadlan bertempat di masjid Menara Kudus. Setelah KHR. Asnawi wafat (akhir 1959) pengajian ini kemudian dilanjutkan oleh KH. Arwani. Namun oleh karena kesibukannya, kemudian KH. Arwani mengundurkan diri dan digantikan oleh kyai Afdhoni. Setelah kyai Afdhoni wafat lalu diteruskan oleh KH. Sya’roni Ahmadi sampai sekarang. Berbeda dengan pengajian kitab, dalam kegiatan pengajian umum dalam rangka memperingati hari-hari besar Islam, meskipun yang berbicara adalah kyai-kyai yang selama ini memberikan pengajian kitab, seperti KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Khoiru Zyad, dan KH. Ma’ruf Irsyad, namun orang-orang yang hadir sangat sedikit; mereka pada umumnya adalah para santri dan beberapa warga setempat. Misalnya, pada pelaksanaan kegiatan pengajian umum dalam rangka peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang baru lalu (2002), dihadiri tidak lebih dari 400 orang. Orang-orang Kauman tidak banyak yang hadir dalam kegiatan ini. Peneliti melihat di deretan depan, terpisah dari para pembicara, duduk seorang diri, bapak kepala desa Kauman. Dan pada umumya dalam kegiatankegiatan pengajian, baik pengajian kitab maupun pengajian umum, dan kegiatan shalat hari raya (Fitri dan Adha) yang dilaksanakan di daerah Kauman dan sekitarnya tidak ada sambutan-sambutan, termasuk dari pihak desa maupun pihak kecamatan. Satu-satunya
145 kegiatan yang ada sambutan dari pihak pemerintah (kabupaten) adalah upacara tradisi buka luwur makam Sunan Kudus. Peneliti sempat bertanya kepada salah seorang santri yang hadir, mengapa jumlah yang hadir pada pengajian umum tidak sebanyak pengajian kitab; dia menjawab bahwa pengajian kitab membahas perkaraperkara secara berturutan - berseri, sedangkan pengajian umum membahas perkara-perkara yang terputus, hanya sebagian, tidak ada kelanjutannya. Jadi bagi mereka yang tidak hadir pada pengajian kitab akan merasa ketinggalan materi, sementara bila tidak hadir pada pengajian umum tidak ada konsekuensi apa-apa. Dari semua perayaan keagamaan yang diadakan oleh orang-orang Kudus Kulon tidak ada yang menandingi perayaan khaul Sunan Kudus atau tradisi buka luwur makam Sunan Kudus, dalam hal jumlah orang yang terlibat, jumlah biaya yang dikeluarkan, areal atau tempat yang digunakan dan suasana yang ditimbulkan. Ritual khaul bagi orang-orang yang dihormati yang telah meninggal dunia, seperti para wali, ulama, dan tokoh yang dihormati dan dianggap berjasa, seperti pendiri kampung, dukuh, atau desa, di kalangan orangorang Islam Jawa sudah menjadi kegiatan rutin yang setiap tahun harus diselenggarkan. Ritual khaul sebagai tradisi keagamaan biasanya diselenggarakan untuk mengenang peranan seorang tokoh guna mengambil ibrah atau pelajaran dari cerita ketokohannya di masa lalu untuk sebuah kehidupan pada masa sekarang dan yang akan datang.
146 Di kalangan masyarakat Kudus Kulon, seperti sudah diatur oleh para ulama dan sesepuh masyarakat, bahwa pelaksanaan ritual khaul Sunan Kudus atau biasa dipanggil dengan mbah Sunan adalah yang paling awal, untuk kemudian diikuti oleh ritual-ritual khaul yang lain. Kegiatan ritual tradisi khaul mbah Sunan dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram tahun Hijriyah. Penetapan tanggal 10 Muharram sebagai hari meninggalnya Sunan Kudus, mengingatkan kita kepada kaum Syi’ah di seluruh dunia yang tiap-tiap tanggal 10 Muharram memperingati wafatnya Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, yang syahid di padang Karbala, Irak. Puncak acara tradisi khaul adalah upacara penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk menutup makam Sunan kudus. Acara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram itu sebenarnya adalah acara pemasangan luwur yang baru. Meskipun acara ini dinamai dengan tradisi buka luwur makam Sunan Kudus, namun acara membuka (buka) luwur makam Sunan Kudus dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Tanggal 1 maupun 10 Muharram bukanlah tanggal wafatnya Sunan Kudus, sebab hingga sekarang kapan lahir dan meninggalnya tokoh karismatik itu tidak diketahui. Penentuan bulan Muharram sebagai bulan diselenggarakannya khaul, bukannya tanpa alasan. Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang mana bulan ini sama dengan bulan Suro dalam kalender Jawa yang juga merupakan bulan pertama; artinya bahwa tahun baru Islam adalah tanggal 1 Muharram dan tahun baru Jawa adalah tanggal 1 Suro. Penentuan bulan penyelenggaraan khaul berkaitan dengan pandangan mistis orang Jawa
147 yang menganggap bahwa bulan pertama dalam kalender Jawa ini sarat dengan keutamaan-keutamaan. Bagi orang Jawa bulan Suro dianggap sebagai bulan dimana wahyu turun, dan diyakini sebagai bulan yang di dalamnya banyak kesempatan untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Itulah sebabnya, di bulan Suro atau Muharram banyak ditemukan ritual-ritual seperti ziarah ke tempattempat yang dianggap keramat dan suci. Para peziarah memberikan sesajen dan meminta berkah dari para leluhur yang dimakamkan di tempat itu. Di Kudus Kulon, selain tradisi khaul mbah Sunan, juga dilaksanakan acara khaul para leluhur yang sudah meninggal dunia, yang dianggap berjasa dan keramat, yaitu, seperti: khaul mbah Dipo di Pedamaran tanggal 15 Suro; mbah Jekso di Kajeksan tanggal 29 Suro; mbah Rondo di Kajeksan tanggal 26 Suro; mbah Wanar di Kajeksan (dukuh Wanaran) tanggal 23 Suro; mbah Suto di Kajeksan (dukuh Pagongan) tanggal 24 Suro; dan Pangeran Kabeji di Kajeksan (dukuh Bejen) tanggal 11 Suro. Dan makam keramat Rah Tawu, di bagian atas gunung Muria, ramai dikunjungi orang pada tanggal 1 - 5 Suro. Menurut penuturan bapak KH. Muhammad Najib Hasan, ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), orang-orang yang terlibat (panitia dan rewang) dalam kegiatan ritual buka luwur Sunan Kudus, berjumlah tidak kurang dari 1.000 orang. Hampir seluruh warga Kauman terlibat di dalam kepanitiaan peringatan khaul Sunan Kudus, ditambah dengan orang-orang dari desa Langgar Dalem, Kerjasan, Damaran, Janggalan,
148 Demangan dan Sunggingan. Sedangkan orang-orang yang menikmati makanan berkat berjumlah sekitar 20.000 orang. Hampir semua materi dalam kegiatan ritual buka luwur Sunan kudus merupakan sumbangan dari masyarakat, seperti dalam pelaksanaan acara ritual khaul yang lalu : kain mori sumbangan masyarakat untuk luwur yang baru 478 meter dan 10 pis, dan kelambu sepanjang 20 meter; sumbangan berupa uang sebesar Rp. 4.498.500,00; beras sebanyak 6.978,5 kg; gula sebanyak 159 kg; kerbau sebanyak 6 ekor; dan kambing sebanyak 61 ekor. Sejak sore hari, sebelum hari pembagian nasi ‘berkat’, lorong-lorong di kampung Kauman yang menjadi rute pembagian ‘berkat’ telah dipenuhi oleh mereka yang antri untuk mendapatkan sebungkus nasi ‘berkat’. Salah seorang panitia penyelenggara ritual khaul mbah Sunan yang lalu, yaitu bapak Rofiqul Hidayat, yang juga sebagai ketua RT 01 desa Kauman, menceritakan pelaksanaan tradisi khaul mbah Sunan (tahun 2001): Acara tradisi buka luwur makam mbah Sunan dimulai pada tanggal 1 Muharram. Pada pagi hari sekitar jam 07.00 wib, dipimpin oleh kyai Khoiru Zyad, beberapa orang anggota panitia yang sudah menunggu di bangunan Tajug, bersamasama menuju cungkup makam mbah Sunan. Kyai Khoiru Zyad didampingi beberapa orang membaca tahlil dan doa di dalam krobongan, sebuah ruangan tempat nisan mbah Sunan berada yang sehari-
149 harinya tertutup, sedangkan lainnya di luar (masih di dalam bangunan cungkup). Kemudian Kyai dan orang-orang yang di dalam melepas kain luwur di bagian dalam krobongan dan diikuti oleh yang berada diluar melepas kain luwur bagian luar. Kain luwur ini nantinya dipotong kecil-kecil, seukuran kira-kira 1 m2, untuk dibagibagikan kepada para undangan saat ritual tanggal 10 Muharram dan kepada warga Kauman. Mulai tanggal 1 – 9 Muharram, bertempat di bangunan Tajug, dilakukan kegiatan pengumpulan sumbangan dari masyarakat. Pada tanggal 7 – 9 Muharram dilakukan pemasangan luwur yang baru, yang sudah selesai dijahit, pada bagian luar dan dinding bagian dalam krobongan, yang disisakan adalah kelambu dan kain yang menutupi nisan mbah Sunan. Pada tanggal 8 Muharram, ba’da shalat isya’ diadakan terbang papat dan doa rosul. Pada tanggal 9 Muharram, pagi hari, di halaman parkir kompleks makam dilakukan penyembelihan hewan, kerbau dan kambing; di pawestren masjid, para ibu membuat bubur Syuro dan langsung dibagikan kepada warga Kauman dan sekitarnya; di tempat bangunan serbaguna milik Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, kegiatan masak memasak sudah dimulai; pada malam hari,
150 ba’da shalat isya’, di bangunan Tajug diadakan berzanji khusus laki-laki, sedangkan berzanji khusus perempuan di pawestren masjid. Setelah kegiatan berzanji selesai, dilanjutkan dengan kegiatan pengajian umum yang bertempat di serambi masjid. Lepas tengah malam, orang-orang dari berbagai daerah di sekitar Kudus, yang sudah dating sejak siang hari mulai mengambil posisi antrean untuk pengambilan makanan berkat. Pada tanggal 10 Muharram, pagi hari, ada dua kegiatan yang bersamaan waktunya, yaitu jam 06.00 wib, pembagian makanan berkat sudah dimulai, dimana pembagiannya didasarkan pada urutan antrean. Rute antrean panjang, sekitar 20.000 orang, dimulai dari perempatan jalan – Menara – Sunan Kudus – Kyai Te Ling Sing – menuju areal kompleks masjid Menara dan makam Sunan kudus, melalui gang-gang sempit di kampung Kauman terus menuju ujung gang yang bertemu dengan jalan raya Sunan Kudus; antara sirkulasi kaum perempuan dan laki-laki dipisah. Sedangkan, bertempat di bangunan Tajug, pada jam 07.00 wib, dimulai ritual pemasangan luwur, yaitu kelambu dan kain pelindung nisan mbah Sunan. Acara ini dihadiri oleh para undangan, yang terdiri atas para pejabat pemerintah (pemda),
151 sesepuh masyarakat, ulama, dan warga Kauman yang tidak terlibat dalam kepanitiaan; kurang lebih jumlah undangan 250 orang. Prosesi ritual dimulai dengan pembukaan oleh panitia, dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, sambutan Bupati, pembacaan tahlil yang diakhiri dengan doa, kemudian dipimpin oleh kyai Khoiru Zyad, beberapa orang yang hadir ikut menuju cungkup mbah Sunan. Tidak semua yang hadir ikut bersama robongan Kyai, terutama para pejabat pemda, sebab hingga sekarang terdapat anggapan bahwa seseorang yang memiliki jabatan, jika dia masuk ke bangunan cungkup Sunan Kudus, maka tidak lama dia akan kehilangan jabatannya. Setelah membaca tahlil dan doa, kyai dan orang-orang yang menyertainya masuk ke dalam krobongan memasang kelambu dan kain penutup nisan mbah Sunan. Selesai sudah seluruh kegiatan ritual khaul mbah Sunan. Setelah itu, makam yang sejak jam 02.00 wib ditutup, sekarang dibuka kembali. Perlu diingat bahwa meskipun ada kegiatan ritual khaul, setiap harinya, makam tetap terbuka untuk umum. Sebagaimana keluarga Jawa lainnya, pada umumnya keluarga-keluarga di desa Kauman juga
152 menyelenggarakan ritual yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa peralihan yang dialami oleh manusia (life cycle), yaitu pada masa bayi (kekahan), anak-anak remaja (sunatan), orang dewasa (pernikahan) dan saat kematiannya. Menurut van Gennep, tahap-tahap pertumbuhan manusia sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosiokulturalnya, yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi lingkungan sosialnya yang baru, manusia juga memerlukan ‘regenerasi’ semangat kehidupan social tersebut (lihat van Gennep, 1960:1-26; Koentjaraningrat, 1993:31-32). Pada umumnya keluarga Jawa akan mengadakan ritual tingkeban atau mitoni ketika bayi yang masih dalam kandungan berumur tujuh bulan. Setelah selesai acara slametan atau kendurenan yang dihadiri kaum laki-laki, kaum perempuan berkumpul menjadi satu di salah satu bagian rumah untuk melakukan ritual siraman terhadap wanita yang hamil dipimpin oleh seorang dukun. Ini hanya dilakukan bagi wanita yang baru pertama kali hamil. Setelah bayi lahir dan berumur 35 hari (selapan) diadakan ritual selapanan, dimana untuk pertama kalinya rambut si bayi dicukur. Ketika bayi lahir, ari-ari nya (plasenta) ditanam di bagian halaman depan rumah yang dekat teras; gundukan tanah yang di dalamnya terdapat ari-ari diusahakan terlindungi dan tiap malam diberi lentera atau lampu penerang (uplik = lampu berbahan bakar minyak
153 tanah). Bagi keluarga Kauman, ritual yang diadakan berkaitan dengan kelahiran yaitu kekahan atau aqiqah; mereka tidak mengadakan ritual tingkeban atau mitoni. Aqiqah adalah tuntunan agama Islam, yaitu memotong dua ekor kambing jantan untuk bayi laki-laki dan seekor kambing jantan untuk bayi perempuan ketika usia bayi menginjak tujuh hari, disertai dengan pemotongan rambut si bayi. Itupun bagi mereka yang mampu, bagi yang tidak mampu tidak ada kewajiban ini. Daging kambing yang telah dimasak, selain untuk dimakan sendiri juga disedekahkan kepada tetangga dekat dan orang-orang miskin. Pada umumnya keluarga-keluarga Kauman dan sekitarnya menyelenggarakan kekahan tidak pada hari ketujuh setelah kelahiran si bayi, tetapi ketika bayi berumur 35 hari (selapan). Pada malam hari sebelum pelaksanaan kekahan, keluarga yang mempunayi hajat (keperluan) mengundang remaja-remaja Kauman dan sekitarnya yang tergabung dalam kelompok Jamiyah Nahdlatul Athfal (NA) untuk mengadakan berzanjen. Pada waktu pembacaan shalawat Nabi Muhammad SAW diiringi dengan terbangan, kemudian diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh remaja yang paling tua atau yang dituakan. Dalam satu rangkaian ritual kekahan, diadakan rasulan (ngrasulke) pada malam hari dengan mengundang kerabat, tetangga dekat dan beberapa orang santri. Dipimpin oleh seorang kyai atau salah satu santri, setelah sambutan tuan rumah yang intinya memberitahukan maksud dan keinginannya, mereka secara bersama-sama membaca surat-surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat Al-
154 Fatihah, Al-Falaq, An-Nas dan berzanjen. Semua yang hadir dalam posisi duduk lesehan beralaskan tikar di ruang jagasatru. Ketika pembacaan berzanjen, sampai pada shalawat Nabi Muhammad SAW, yang dikenal dengan srokolan, semua yang hadir berdiri. Bersamaan dengan itu, si bayi dalam pangkuan bapaknya ditemani seseorang yang membawa sebuah gunting dan nampan berisi air kembang, didekatkan kepada semua yang hadir untuk dipotong sebagian rambutnya. Ritual pemotongan rambut yang dibarengi dengan srokolan membutuhkan waktu sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Potongan rambut si bayi dimasukkan ke dalam nampan berisi air kembang. Setelah itu, acara ditutup dengan doa berbahasa Arab. Dan kemudian para hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang disediakan. Ada kalanya, makanan sudah diwadahi kerdus sehingga setelah acara doa selesai mereka langsung pulang dengan masing-masing membawa kerdus. Tidak ada ketentuan baku tentang materi yang harus dibaca dalam acara ngrasulke, yang penting pada bagian akhir harus ada doa. Bacaan-bacaan dalam acara ngrasulke tergantung situasi dan kondisi, bisa panjang bisa pula pendek; bisa hanya pembacaan surat Al-Fatihah, Al-Ihklas, Al-Falaq, An-Nas dan sholawat Nabi Muhammad SAW saja, atau ditambah dengan berzanjen. Acara ngrasulke bisa juga didahului dengan khataman Al-Qur’an yang dibaca secara bersama-sama oleh banyak orang. Misalnya peserta khataman ada 10 orang maka tiap-tiap peserta membaca surat-surat dalam Al-Qur’an sebanyak 3 juz (Al-Qur’an terdiri atas 30 juz); setiap peserta tidak sama bacaan suratnya, tetapi membacanya bersama-
155 sama. Dalam rangkaian ritual yang berkaitan dengan kematian seseorang, dalam acara ngrasulke dibaca pula surat Yasin dan bacaan tahlil. Dalam acara ngrasulke, seperti dalam acara slametan di Jawa, hanya dihadiri oleh kaum laki-laki. Ritual lain yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia Jawa adalah sunatan atau khitanan, yaitu pemotongan ujung kulit luar (kulup) kelamin anak lakilaki yang pada umumnya dilaksanakan ketika anak lakilaki berumur 9-12 tahun, yang merupakan saat peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja. Bagi penganut agama Islam, sunat adalah merupakan pertanda bahwa seorang anak itu telah menjadi penganut agama Islam, oleh karenanya ritual ini disebut juga ngislamake. Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit. Seperti halnya ritual pernikahan, ritual sunatan bagi orang-orang Jawa yang mampu, kadang-kadang dirayakan secara besar-besaran dengan pertujukan wayang kulit semalam suntuk. Bagi orang-orang Kauman dan sekitarnya, ritual sunatan dibuat lebih sederhana, tanpa dengan pertunjukan wayang kulit. Keluarga-keluarga Kauman dan sekitarnya, pada malam hari sebelum pelaksanaan sunat atau khitan, mengadakan rasulan yang tata caranya hampir sama dengan rasulan dalam ritual kekahan, hanya saja pada umumnya tidak dibacakan berzanjen. Keesokan harinya, anak yang akan disunat, dengan mengenakan pakaian santri (mengenakan baju koko, bersarung dan berpeci), dibawa ke dokter atau mantri sunat atau sebaliknya tenaga medis itu dipanggil ke rumah. Dahulu, pekerjaan
156 menyunat dikerjakan oleh seorang dukun sunat (bong supit). Setelah anak disunat, Orang yang punya hajat mengadakan walimahan di rumahnya, dengan mengundang sanak kerabat dan tetangga dekat. Anak yang disunat duduk di suatu tempat di jagasatru, dan para undangan memberikan selamat kepada si anak dan kedua orang tuanya sambil memberikan uang sumbangan ke dalam kotak atau wadah yang telah disediakan, biasanya wadah itu ditempatkan tidak jauh dari tempat si anak duduk. Dalam acara walimahan ini, tempat duduk kaum laki-laki terpisah dengan kaum perempuan. Pada tahap ritual berikutnya adalah saat seorang perempuan yang sudah baligh (dewasa) dinikahi oleh seorang laki-laki yang juga sudah baligh (dewasa). Tidak seperti yang dipaparkan oleh van Gennep dalam bukunya yang terkenal The Rites of Passage (1960), yang mana pada fase balighnya seseorang, terutama bagi kaum perempuan, diadakan ritual yang memperlihatkan bahwa seseorang telah menginjak dewasa. Menurut ajaran Islam balighnya seorang perempuan, salah satunya ditandai dengan keluarnya darah kotor dari alat kelaminnya; Islam memberikan istilah haid. Istilah umumnya adalah ‘datang bulan’ atau ada pula yang menyebut ‘menstruasi’. Sedangkan balighnya seorang laki-laki, salah satunya ditandai dengan keluarnya mani dari alat kelaminnya, baik disengaja maupun karena akibat mimpi. Pada usia berapa seseorang mengalami proses menuju baligh? Antara satu orang dengan lainnya tidak sama, berkisar antara usia 9–15 tahun. van Gennep menggambarkan keadaan seorang perempuan di beberapa wilayah kajiannya, saat menapak ke jenjang baligh (dia menyebut
157 dengan istilah social puberty) ia harus melakukan upacara inisiasi (initiation rites). Karena dianggap kotor, perempuan yang sedang menapak dewasa dipisahkan dari kelompok masyarakatnya, dia ‘dibuang’ di suatu tempat yang terpencil atau sepi hingga berakhirnya masa ‘datang bulan’ nya (periksa van Gennep, 1960:65-115). Peneliti melihat keluarga Jawa maupun Kauman, saat peristiwa balighnya seseorang baik bagi perempuan maupun lakilaki tidak dilakukan upacara-upacara, atau diperlakukan istimewa oleh keluarga atau kelompok masyarakatnya. Dalam ajaran Islam, seorang perempuan yang sedang ‘datang bulan’ diberlakukan pantangan-pantangan kepadanya. Dia tidak diperkenankan melaksanakan ibadah shalat, puasa dan berhaji; dan juga tidak diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Islam menilai bahwa seorang perempuan yang sedang ‘datang bulan’ adalah dalam keadaan kotor, tidak suci, oleh karena itu, bagi seorang istri yang sedang ‘datang bulan’ tidak diperbolehkan bersetubuh dengan suaminya. Di dalam kehidupan masyarakat, mereka yang sedang ‘datang bulan, tetap diterima, tidak ada pemisahan atau pembuangan. Ritual yang dianggap paling penting oleh masyarakat Jawa adalah pernikahan, yang merupakan saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga. Biasanya ritual pernikahan ini menjadi ritual yang terbesar dan paling meriah dibandingkan dengan ritualritual yang lain. Bagi keluarga Jawa yang kaya kadangkadang harus mengadakan pertunjukkan wayang kulit. Inti dari ritual pernikahan, baik keluarga Jawa lainnya
158 maupun keluarga Kauman dan sekitarnya adalah pembacaan ijab kabul oleh mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan dipimpin oleh penghulu atau seorang petugas KUA (Kantor Urusan Agama) setempat dan disaksikan oleh beberapa orang saksi dari kedua belah pihak. Sementara rangkaian ritual yang lain yang mengikuti ritual pembacaan ijab kabul ini adalah berupa temon, sungkeman dan walimahan. Keluarga Kauman dan sekitarnya, pada malam hari sebelum pelaksanaan ritual pernikahan, mengadakan rasulan seperti pada peristiwa kelahiran (kekahan) dan sunatan; baru keesokan harinya dilaksanakan ritual pernikahan, yang meliputi acara akad nikah, temon, sungkeman dan walimahan. Semua prosesi dalam ritual pernikahan itu berlangsung di rumah pengantin perempuan. Apabila rumahnya dirasa tidak cukup besar, sehingga dikhawatirkan tidak mencukupi untuk menerima dan menampung para undangan, khususnya dalam acara walimahan, pihak pengantin perempuan bisa menyewa dan memindahkan acara walimahan di gedung pertemuan. Di dalam peristiwa pernikahan keluarga Jawa termasuk keluarga Kauman, orang tua memegang peranan penting, terutama mereka yang berasal dari golongan priyayi dan yang tinggal di pedesaan. Sebelum abad ke-XX Masehi, para pemuda dan pemudi untuk mencari jodoh orang tualah yang menentukan dan yang memutuskan. Akan tetapi berbarengan dengan berkembangnya kultur, sekarang ini para pemuda dan pemudinya telah bebas untuk memilih calon jodohnya (lihat pula Depdikbud, 1976:187).
159 Generasi awal keluarga Kauman dan sekitarnya dalam menentukan calon jodoh bagi putra dan putrinya (calon menantu) didasarkan pada kriteria-kriteria yang berhubungan dengan status sosial dan ketaatan dalam beragama. Jaman dulu, menjadi seorang pedagang atau pengusaha status sosialnya lebih tinggi dari seorang pegawai pemerintahan (golongan priyayi). Sehingga jika harus memilih menantu antara seorang bupati dan seorang penjual pakaian, maka orang tua akan memilih yang kedua. Kata-kata yang biasa terucap: ‘luwih apik dadi ndase semut ketimbang buntut gajah’, yang artinya ‘lebih baik menjadi kepala semut dari pada menjadi ekor atau buntut gajah’. Bahkan menjadi olok-olok keluarga Kudus Kulon, untuk seorang anak perempuan yang nakal, tidak menurut kepada kemauan orang tua, diancam kelak akan dijodohkan dengan seorang priyayi. Di kalangan keluarga yang berharta, umumnya mereka menikahkan anaknya dengan kerabat mereka sendiri yang sama-sama kaya, dengan maksud agar supaya harta bendanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tolok ukur yang lain dalam menentukan calon menantu dalam keluarga Kauman dan sekitarnya, yang tidak kalah penting adalah bahwa orang itu harus bisa ‘ngaji’, maksudnya bisa membaca kitab suci Al-Qur’an. Tolok ukur yang kedua ini hingga sekarang masih dipegang oleh sebagian keluarga Kauman. Pada waktu-waktu lampau, seperti dilukiskan oleh Salam, pernikahan (akad nikah) dilangsungkan di masjid. Pengantin laki-laki hadir sendiri beserta pengiring,
160 sedang pengantin perempuan ada yang datang sediri, tetapi ada pula yang diwakili oleh walinya. Sebelum itu pihak penghulu juga telah mengiring seorang ketib dan modin untuk datang mengunjungi pengantin perempuan guna menanyakan apakah ia memang sudah setuju dan suka untuk dinikahkan dengan si fulan, bakal suaminya. Dalam upacara di masjid pengantin laki-laki menyerahkan uang maskawin sebesar Rp. 5,- rata-rata baik kaya maupun miskin. Sesudah itu barulah dilakukan upacara mempertemukan kedua pengantin, yang disebut temon. Pada saat pengantin laki-laki berhadapan dengan pengantin perempuan, maka pengantin laki-laki langsung menjabat tangan pengantin perempuan sambil menyerahkan uang yang dibungkus dalam sapu tangan atau kertas lainnya. Pemberian uang semacam itu dinamakan pekusut. Apabila seketika itu juga pengantin perempuan dibawa ke rumah pengantin laki-laki, maka hal itu disebut pundut-jun. Akan tetapi sebaliknya, jikalau pengantin lelaki tidak langsung membawa pengantin perempuan waktu itu juga, dinamakan unggahunggahan. Dalam saat temon, ataupun sewaktu mengiringi pengantin, sering pula diiringi dengan rebana yang lazim di Kudus disebut terbangan. Adapun pengantin laki-
161 laki pada masa dahulu mengenakan pakaian ala Arab, yang terkenal dengan igelan. Sedangkan pengantin perempuan mengenakan pakaian rok dengan penutup muka yang lazim disebut waringan. Mengenai saat merukunkan kedua pengantin, kalau menurut adat lama, dilangsungkan beberapa hari kemudian di rumah pengantin perempuan (Salam, 1977:7-10). Berkaitan dengan ritual pernikahan, bapak Kornen, usia 79 tahun, yang sejak tahun 1970-an menjadi modin di Kudus Kulon, pada suatu malam menceritakan pengalamannya kepada peneliti. Dalam kehidupan sehari-hari, ritual-ritual yang bernafaskan ‘kepercayaan lama’ masih banyak dilakukan oleh masyarakat Kudus Kulon, seperti penggunaan ‘petungan’ dalam hal pendirian dan pembongkaran bangunan rumah, pernikahan, dan lain-lain. Namun, hal-hal yang berbau ‘kepercayaan lama’ itu sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dahulu, pernah terjadi peristiwa yang menimpa keluarga saya (bapak Kornen), karena berdasarkan ‘petungan’, dari data pihak calon pengantin laki-laki dan perempuan terdapat ketidak-cocokan, maka hampir saja pernikahan yang di ambang
162 pintu itu dibatalkan. Kemudian saya meminta nasehat kepada KH. Arwani. Oleh kyai disarankan untuk tidak menggunakan ‘petungan’ Jawa, sebab hal demikian bisa menjauhkan kita dari Allah. Menurut kyai, setiap bulan hijriyah ada tiga tanggal yang baik, yaitu tanggal 7,17,dan27. Penggunaan hari pasaran Jawa dalam hal menentukan tanggal pernikahan misalnya, akan banyak menimbulkan masalah. Akhirnya keluarga saya bisa mengikuti saran kyai Arwani, dan pernikahanpun tetap dilangsungkan. Rangkaian ritual terakhir yang berkaitan dengan ritual sepanjang lingkaran hidup adalah ritual kematian. Apabila ada seorang warga kauman dan sekitarnya meninggal dunia, segera diumumkan lewat pengeras suara masjid terdekat. Isi berita pada umumnya mengenai nama orang yang meninggal dunia, usia, alamat rumah, waktu meninggal, waktu dan tempat pemakamannya. Khusus warga Kauman, dahulu berita meninggal dunia diumumkan melalui radio Manggala di jalan Sunan Kudus, setelah stasiun radio tersebut pindah tempat, berita diumumkan melalui pengeras suara masjid terdekat, yaitu masjid Damaran. Meskipun di Kauman sendiri terdapat masjid besar, yaitu masjid Menara, namun untuk urusan orang meninggal dunia hanya mengkhususkan bagi orang-orang tertentu, misalnya meninggalnya seorang kyai besar Kudus Kulon, seperti beberapa tahun lalu saat meninggalnya seorang kyai besar bernama KH. Turaechan. Pengumuman meninggalnya
163 seseorang, yang sering peneliti dengar, adalah sehabis shalat subuh di pagi hari, apabila waktu meninggalnya di waktu sore atau malam hari. Apabila meninggalnya di waktu pagi hari, pengumuman dilakukan setelah shalat dzuhur. Tidak lupa, pengumuman tertulis, berupa papan pengumuman, di letakkan di depan pintu dadah (pintu pagar halaman-di Jawa dikenal dengan pintu regol). Jenasah setelah dimandikan dan dikafani dibaringkan di jagasatru atau di pawon. Tempat memandikan jenasah adalah latar yang dekat dengan km/wc. Pada umumnya jenasah dimakamkan pada pukul 14.00 wib. Sebelum dikuburkan, saat jenasah masih disemayamkan di rumah ataupun setelah disemayamkan di masjid beberapa saat sebelum berangkat ke areal pekuburan, jenasah dishalatkan oleh kerabat, handai taulan dan tetangga yang hadir. Desa kauman tidak memiliki seorang modin, yang biasa mengurusi jenasah. Orang yang biasa mengurusi jenasah di wilayah Kudus Kulon adalah bapak Kornen. Dalam mengurusi jenasah, bapak Kornen biasa dibantu oleh Fathurohman, usia 55 tahun, yang juga warga desa Langgar Dalem. Dalam satu kesempatan, bapak Kornen memaparkan kepada peneliti bagaimana dia mengurusi jenasah. Saat jenasah (mayit) dimandikan, pertama kali jenasah ‘diwudlui’ terlebih dahulu sebelum kemudian disiram air, tidak harus air yang berbunga, yang penting dalam penggunaan air seirit mungkin. Kotoran-
164 kotoran si mayit sebisa mungkin dikeluarkan. Pada tahap akhir siraman, digunakan air yang dicampur dengan kapur barus, dengan maksud agar bakteri-bakteri yang masih melekat di tubuh mayit bias hilang. Setelah itu mayit ‘diwudlui’ lagi. Setelah memandikan mayit, orang-orang yang memegang dan memangku si mayit saat dimandikan, harus juga disiram air bercampur kapur barus, terutama tangannya. Setelah dimandikan, si mayit dikafani dengan tiga lapis kain mori berwarna putih untuk penutup tubuh si mayit. Kemudian si mayit dishalati, posisi bagi mayit perempuan, kepalanya berada di sebelah Utara, sedangkan bagi mayit lakilaki, kepalanya berada di sebelah Selatan. Saat dikuburkan, pipi kanan si mayit harus menyentuh tanah. Apabila liang lahat dalam keadaan basah oleh air tanah atau air hujan, maka pada liang lahat, baik di bagian bawah atau dasar maupun keempat dindingnya diberi penahan dari papan kayu. Supaya pipi si mayit tidak terkena rembesan air dari bawah, maka tepat di sekitar pipi dilapik dengan plastik dan di atasnya diberi sedikit tanah sebagai syarat bahwa tubuh si mayit terbaring di atas tanah. Agar pipi bisa menyentuh tanah, ikatan kain kafan di bagian kepala dibuka. Posisi di liang lahat, baik mayit laki-laki
165 maupun perempuan sama, yaitu kepalanya berada di sebelah Utara. Pada malam hari, setelah jenasah dikuburkan, keluarganya mengadakan tahlilan. Tata caranya hampir sama dengan kegiatan rasulan dalam ritual-ritual yang lain, hanya dalam peristiwa kematian seseorang, tidak dibacakan berzanjen, tetapi orang-orang yang diundang membaca surat-surat dalam Al-Qur’an seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, sebagian ayat-ayat dari surat Al-Baqarah, dan bacaan tahlil (la ila ha illaah), dan kadang-kadang didahului dengan pembacaan surat Yasin, kemudian diakhir dengan doa. Pembacaan kalimat la ila ha illah di lakukan secara berulang-ulang sambil kepala masing-masing yang hadir dipalingkan ke kanan dan ke kiri mengikuti irama bacaan. Kegiatan ini dilaksanakan hingga ketiga hari meninggalnya seseorang. Untuk kegiatan tahlilan selanjutnya, yaitu pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun, dua tahun, tiga tahun dan keseribu setelah meninggalnya seseorang, ada dua keadaan yang terlihat di lingkungan Kudus Kulon, yaitu keadaan pertama, oleh orang-orang NU tetap dilaksanakan, dan keadaan kedua, oleh orang-orang Muhammadiyah, tidak dilaksanakan. Sebagian besar warga Kauman melaksanakannya. Anisa, usia 26 tahun, asal desa Demangan, berkenaan dengan acara-acara peringatan meninggalnya seseorang setelah peringatan hari ketiga di wilayah Kudus Kulon,
166 menceritakan kepada peneliti: Pada awalnya, pihak keluarga dari orang yang meninggal dunia, mengundang tetangga terdekat untuk acara tahlilal, baik mereka yang menganut faham Nu maupun Muhammadiyah. Biasanya, orang-orang NU menempatkan diri di ruang dalam rumah (ruang tamu – jagasatru), sedangkan orangorang Muhammadiyah di ruang luar rumah (teras depan); kelompok yang kedua ini pada kenyataannya tidak ikut membaca tahlil sebagaimana dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok NU yang berada di dalam rumah. Pihak tuan rumah sudah paham tentang hal ini. Menurut kelompok Muhammadiayah, kegiatan semacam ini dapat digolongkan kepada perbuatan bid’ah, yaitu perbuatan ibadah yang tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Karena fahamnya yang tidak memperbolehkan memperingati kematian seseorang setelah tiga hari meninggalnya, orang-orang Muhammadiyah yang diundang dan datang pada acara tahlilal, rupanya sesampainya di rumah, bahkan ada juga yang tidak mau memakan makanan dalam ‘bungkusan’ yang diberikan oleh tuan rumah, mereka memberikannya kepada orang lain atau malahan membuangnya. Lama-kelamaan,
167 orang-orang dari kelompok NU, dengan alasan mubazir atau sia-sia, maka belakangan ini, dalam acara tahlilan, orangorang dari kelompok NU tidak lagi mengundang tetangganya yang menganut faham Muhammadiyah. Namun demikian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari kedua kelompok tersebut tetap bisa hidup bersama, dan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
168
BAB IV TATA RUANG PERMUKIMAN KAUMAN Permukiman, menurut Vincent (1983) seperti dikutip Mulyati, merupakan sekelompok rumah yang terorganisasi dalam suatu sistem sosio-kultural (dia menyebut sosialbudaya) dan religius yang tercermin pada fisik lingkungannya. Organisasi ruang yang terbentuk akan memperlihatkan hirarki ruang dari faktor teritorial yang diinginkan (Mulyati, 1995:46). Wilayah Kauman dan sekitarnya merupakan permukiman bersejarah, tempat cikal bakal kota Kudus yang mempunyai akar keagamaan yang masih hidup dengan masjid kuno Menara dan makam keramat Sunan Kudus, serta kehidupan santrinya. Untuk menganalisa ruang permukiman Kauman bisa menyandarkan kepada teorinya Roger Trancik, yaitu Three Theories of Urban Spatial Design, yang diambil dari buku berjudul Finding The Lost Space, a New Theory of Urban Design (Trancik, 1986). Menurut Trancik, dalam suatu perancangan kota atau lingkungan, titik tolak konseptual merupakan rangkaian dari figure-ground, linkage dan place theory (Trancik, 1986:97-124). Figureground theory, yaitu suatu integrasi yang kukuh antar
169
170 massa bangunan dan ruang sehingga membentuk kesatuan antara solid dan void. Di sini yang sangat dominan adalah peranan ruang luar atau void yang terbentuk oleh bangunan-bangunan sebagai dinding ruang luar tersebut. Dan kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figur bangunan-bangunan tersebut, yang mana tampak-tampak bangunan merupakan dinding ruang luar. Komunikasi antar private dan public domain tercipta langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata orang, sekitar 15-30 derajat). Void berupa ruang luar berskala interior, yang mana ruang tersebut seperti di dalam bangunan. Sehingga ruang-ruang luar yang enclosure tersebut terasa seperti ruang dalam (interior), dan oleh karena itu keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public domain menyatu. Linkage theory, yaitu suatu kesatuan arsitektur kota yang terbentuk oleh komposisi antar bangunan yang berderet dalam line atau garis linier. Hubungan antar bangunan membentuk kombinasi yang harmonis. Kekuatan landmark pada simpul dan akhir jalur merupakan klimaks dalam linkage system. Place theory, yaitu suatu kesatuan kota yang tidak hanya berlandaskan pada konfigurasi fisik morfologi, namun kesatuan antara aspek fisik morfologi ruang dan masyarakat atau manusia, karena pada hakekatnya urban design adalah bertujuan memberi wadah kehidupan secara baik bagi pengguna ruang kota baik private maupun public. Oleh karena itu, suatu space baru akan menjadi place setelah ia menjadi bagian kehidupan
171 masyarakat atau manusia yang menggunakannya (periksa pula Pemda Tingkat I Jawa Tengah, 1997:IV-1). Kondisi fisik lingkungan permukiman Kauman, secara kasat mata nampak padat, sesak, tidak teratur, banyak lorong-lorong sempit yang tidak jelas ujung pangkalnya, sehingga orang yang baru pertama kali memasuki kampung ini pasti akan kebingungan untuk mencari alamat yang dituju; di sana-sini pandangan mata terhalang oleh dinding tembok tinggi. Permukiman Kauman memiliki kepadatan penduduk maupun bangunan yang cukup tinggi. Struktur lingkungan ini didominasi oleh lorong-lorong sempit yang terbentuk oleh sistem perletakan bangunan tradisional yang membentuk sistem tata ruang yang khas dalam suatu blok besar lingkungan permukiman. Selain kumpulan rumah-rumah dan kompleks masjid makam Sunan Kudus, di kampung atau desa Kauman, tidak ada fasilitas lainnya, kecuali bale desa yang secara hukum sebenarnya kepemilikannya atas nama Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) dan sekolah Ibtidaiyyah (setingkat Sekolah Dasar) yang letaknya menjadi satu dengan bangunan masjid Menara. Namun rumah-rumah adat yang letaknya saling berdekatan di jalan Sunan Kudus yang sudah dibeli oleh YM3SK, kemudian dijadikan ruang serba guna untuk menampung kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan warga Kauman dan sekitarnya. Penggunaan bangunan serba guna ini harus seijin pihak YM3SK.
172 Sulit kita menemukan ruang-ruang terbuka bersama di wilayah Kauman, sehingga hal ini mengakibatkan juga aktifitas sosial kemasyarakatan warga sangat kurang. Keberadaan bangunan serba guna milik YM3SK rupanya tidak dimanfaatkan secara optimal khususnya oleh warga Kauman; salah satu penyebabnya adalah soal perijinan menjadi hal yang dianggap merepotkan, mereka tidak biasa diatur. Peneliti semula menduga bahwa masjid adalah satu-satunya tempat untuk kegiatan sosial warga Kauman, namun belakangan peneliti ragu tentang hal itu. Kehidupan bersama dalam keluarga-keluarga Kauman hanya tercipta di antara anggota keluarga yang berada dalam satu rumah atau dalam satu kilungan. Tolong menolong antar tetangga juga sangat jarang ditemui. Bukan berarti bahwa orang-orang Kauman tidak memiliki kepedulian terhadap tetangganya yang terkena musibah, melainkan orang yang terkena musibah tersebut biasanya tidak mau menerima bantuan itu. Prinsip yang dipegang oleh orang-orang Kauman adalah ‘tidak mau berhutang jasa kepada orang lain’. Mereka berpendapat bahwa hutang harus dibayar. Jadi seseorang yang berhutang jasa, akan merasa berdosa bila suatu saat dia tidak bisa memberikan bantuan kepada orang yang pernah memberikan bantuan kepadanya. Inilah yang dihindari. Keluarga-keluarga Kauman lebih menikmati hidup sendiri-sendiri dalam rumahnya masingmasing. Sehingga tidak mengherankan bila lingkungan permukiman Kauman, meskipun di siang hari, kelihatan sepi tidak ada aktifitas yang terlihat, kecuali suara-suara mesin obras dari dalam beberapa rumah, dan dua atau tiga orang santri yang lalu lalang lewat gang-gang sempit.
173 Permukiman di wilayah Kudus Kulon dapat dibedakan: permukiman terbuka dan permukiman tertutup. Permukiman terbuka tercipta oleh kumpulan rumah-rumah tinggal, baik rumah tunggal (berdiri sendirisendiri) maupun rumah berkelompok atau deret (masih dalam satu kekerabatan), yang antara rumah satu dan lainnya tidak ada pembatas yang tegas, melainkan berupa pagar hidup (tanaman). Tata ruang permukiman yang terbuka ini memungkinkan penghuninya lebih leluasa bergerak dari sudut ruang satu ke sudut ruang lainnya, sebab selain pandangannya tidak terhalang juga masih banyak dijumpai ruang-ruang terbuka. Ruang-ruang terbuka ini sebenarnya adalah latar dan kebonan rumah penduduk yang bisa dimanfaatkan oleh warga sebagai jalan ‘petolongan’. Permukiman terbuka di wilayah Kudus Kulon masih bisa dijumpai di desa-desa Kerjasan bagian utara, Damaran bagian barat, Langgar Dalem bagian timur laut, Sunggingan bagian tenggara dan Kajeksan bagian utara. Dan menurut hemat peneliti, pada awalnya permukiman-permukiman di wilayah Kudus Kulon bersifat terbuka seperti yang ada di daerah-daerah lain di Jawa. Sementara itu, permukiman terutup adalah permukiman yang dibentuk oleh kumpulan rumah-rumah yang telah dikilung, yaitu diberi pembatas tembok tinggi yang mengelilingi rumah, baik rumah tunggal (berdiri sendirisendiri) maupun rumah berkelompok atau deret. Dalam permukiman tertutup ini, pergerakan manusia terbatas, sebab pandangannya terhalang dan tiadanya ruang-ruang terbuka yang bisa bersifat publik. Jalan ‘petolongan’ yang selama ini merupakan ruang terbuka dan menjadi jalan
174 publik menjadi hilang karena ia telah dikilung; ia telah menjadi ruang privat. Tipe permukiman tertutup ini bisa dijumpai di desa-desa Kauman, Kerjasan bagian selatan, Damaran bagian timur, Langgar Dalem bagian selatan dan barat, Janggalan, Demangan bagian utara dan Sunggingan bagian barat laut. Permukiman di wilayah desa Kauman secara keseluruhan dapat dikategorikan ke dalam tipe permukiman tertutup. Tata ruang permukiman Kauman terbentuk oleh dinding-dinding tembok tinggi yang menjadi batas lahan dan bangunan, yaitu: kilungan-kilungan dari rumah tinggal berpola kelompok atau deret tertutup, rumah tinggal berpola tunggal dan kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Terciptanyanya tata ruang permukiman Kauman bisa ditelusuri dari awal keberadaan dan transformasi rumah-rumah adat yang tersebar di wilayah Kudus Kulon, yang beberapa diantaranya sudah ada sejak tiga dasa warsa abad ke-XIX Masehi. Pembuatan kilungan-kilungan yang berupa temboktembok tinggi pada sebagian rumah-rumah adat Kudus diperkirakan sudah ada sejak masa keemasan di bidang ekonomi keluarga-keluarga pengusaha muslim Kudus Kulon; dan ia dimaksudkan oleh penghuninya sebagai usaha mengamankan harta benda, keluarga serta kerahasiaan perusahaan yang dimilikinya dari tindakan kejahatan yang tidak diinginkan. Faktor keamanan menjadi mutlak diperlukan, terutama sejak peristiwa kerusuhan anti Cina di Kudus pada tahun 1918 yang mengakibatkan beberapa rumah, tidak hanya milik orangorang keturunan Cina tapi juga milik sebagian pengusaha
175 muslim di Kudus Kulon, yang hangus dibakar dan harta bendanya dijarah1. Ditambah lagi bahwa rumah sering Awal mula peristiwa kerusuhan anti Cina di Kudus pada tahun 1918, seperti diceritakan oleh bapak Chamdan, ketua RW desa Kauman, adalah sebagai berikut: Di tengah-tengah umat Islam (sebagian besar santri) mengadakan gotong royong untuk membangun masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, orang-orang keturunan Cina mengadakan pawai. Material bangunan diambilkan dari sungai Gelis, rutenya melewati jalan Sunan Kudus, kemudian belok ke kanan ke jalan Menara. Ketika anak-anak santri yang sedang membawa material dari sungai Gelis tiba di jalan Sunan Kudus, berpapasan (bertemu) dengan rombongan orang-orang keturunan Cina yang sedang berpawai. Dalam pawai itu, pemimpinnya membawa tongkat dan mengenakan kupluk atau peci (yang biasa dipakai santri), memperagakan orang yang sedang minum dan memperlihatkan tingkah polah seperti orang yang sedang mabuk sambil memeluk seorang wanita. Melihat kejadian ini, para santri yang sedang membawa material menjadi sangat marah, mereka menganggap orang-orang keturunan Cina itu telah melakukan penghinaan terhadap para santri dan kyai. Akhirnya, bentrokan antara kedua kelompok tidak terhindarkan, yang kemudian diikuti dengan pembakaran rumah-rumah milik orang-orang keturunan Cina di sepanjang jalan Sunan Kudus. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang melakukan penjarahan tidak hanya terhadap milik orang-orang keturunan Cina tetapi juga milik sebagian pengusaha muslim pribumi. Salah satu korban pribumi dalam peristiwa kerusuhan itu adalah rumah orang tua salah seorang kyai besar, yaitu KH. Arwani Amin, yang terletak di perempatan jalan Menara. 1
Menurut Rosehan Anwar, peristiwa kerusuhan anti Cina di Kudus tahun 1918, tidaklah berdiri sendiri, tapi ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi di beberapa tempat di Jawa, seperti di Surabaya, Tuban, Rembang,, Solo, Semarang dan Bandung. Perlakuan Belanda yang menganakemaskan orang-orang keturunan Cina telah menambah kebencian orang-rang pribumi. Seperti diketahui, pada
176 ditinggal oleh pemiliknya untuk pergi berdagang ke luar kota berhari-hari dan bahkan ada yang bermingguminggu. Dalam kasus ini, sebagian besar kilungankilungan itu di dalamnya terdapat beberapa rumah yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Kilungan-kilungan seperti ini, yang sekarang masih bisa dilihat, adalah milik keluargakeluarga yang pernah sukses di bidang usaha rokok kretek pada dasa warsa ketiga abad ke-XX Masehi. Di dalam kilungan, selain ada satu atau beberapa rumah tinggal, juga terdapat gudang penyimpanan tembakau dan bangunan tempat pengolahan bahan baku menjadi rokok. Dalam satu kesempatan, peneliti bertanya kepada seorang bapak warga desa Janggalan, usia sekitar 65 tahun, berkaitan dengan banyaknya rumah di wilayah Kudus Kulon yang dipagari dengan tembok tinggi. Dia menceritakan keadaan rumah berpagar tembok tinggi di dekat tempat tinggalnya, di permulaan abad ke-XX M, orang-orang keturunan Cina telah berhasil memperoleh konsesi penting dari pemerintah Kolonial Belanda seperti penghapusan ‘Surat Pas’ (surat larangan) bagi orang-orang keturunan Cina yang akan bepergian ke luar daerah. Konsesi lainnya adalah pendirian sekolah Cina-Belanda (HCS) oleh pemerintah Kolonial pada tahun 1908 dan pengakuan yang sama bagi orang keturunanCina dalam kedudukan hukum dengan golongan orang Eropa dalam hukum perdata dan hukum dagang. Bahkan kelahiran Serikat Islam (SI) antara lain dilatarbelakangi oleh persaingan dagang antara pengusahapengusaha pribumi dengan golongan pengusaha keturunan Cina. Dan sebagian besar anggota SI Kudus adalah para pengusaha muslim di Kudus Kulon (Anwar, 1987:71).
177 desa Janggalan. Menurut bapak ini, keberadaan rumah berpagar tembok tinggi menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang kaya. Di desa Janggalan ada seorang pengusaha konveksi, ketika masih permulaan, rumahnya biasa saja dan masih kelihatan dari luar pagar (karena pagarnya rendah). Setelah usahanya maju, pemilik rumah itu mampu membeli rumah di sebelahnya, maka kemudian pagar pembatas antara rumahnya dengan rumah yang baru saja dibeli dibongkar, di sekeliling lahan yang sekarang dibangun pagar bumi (tembok tinggi). Setiap kali menambah rumah baru di sebelahnya, maka pagar tembok tinggi dibuat menyambung, sedangkan pagar pembatas yang tadinya memisahkan rumahnya dengan rumah yang baru dibeli dibongkar, begitu seterusnya. Jadi di dalam pagar tembok itu terdapat beberapa buah rumah tinggal. Keberadaan kilungan, pada awalnya juga merupakan simbol persaingan antar keluarga-keluarga pengusaha muslim di Kudus Kulon. Sehingga kerahasiaan perusahaan menjadi hal yang penting, hal ini bisa terwujud salah satunya dengan cara menutup lingkungan rumahnya atau membuat kilungan, agar aktivitas yang terjadi di dalamnya tidak terlihat oleh pesaingnya. Di
178 antara mereka terjadi saling berlomba untuk mendapatkan harta benda (emas dan perhiasan lainnya) sebanyak-banyaknya. Tata ruang permukiman Kauman yang dibentuk oleh kilungan dari rumah-rumah tinggal berpola tunggal ditandai dengan keberadaan rumah yang berdiri sendiri di atas tanah dengan batas lahan (pekarangan) dan bangunan yang jelas berupa dinding tembok. Pola permukiman ini merupakan perkembangan dari pola permukiman terbuka dengan rumah-rumah tinggal tunggal dan berkelompok atau deret terbuka (tanpa pembatas jelas). Perubahan pola permukiman, dari terbuka menjadi tertutup, selain karena faktor keamanan dan kerahasiaan, ia juga disebabkan oleh faktor kemunduran di bidang ekonomi keluarga-keluarga Kauman. Adanya batas-batas kepemilikan secara tegas telah menciptakan lingkungan permukiman yang terkesan semrawut dan tidak teratur; hal ini mudah dimengerti sebab setiap orang memiliki lahan yang tidak sama bentuk dan luasannya. Perubahan pola permukiman Kauman dapat ditelusuri seperti penjelasan di bawah ini. Salah satu ciri yang membedakan rumah adat Kudus dengan rumah tradisional Jawa lainnya adalah keberadaan km/wc. Pada umumnya rumah tradisional Jawa memiliki km/wc di bagian belakang pada sisi kiri rumah, sehingga orang Jawa biasa menyebut pekiwan (kiwo=kiri). Sedangkan km/wc pada rumah adat Kudus menempati posisi di bagian depan, segaris dengan pawon atau dapur utama yang terletak di sebelah kiri atau kanan rumah induk. Karena hampir semua rumah adat
179 menghadap ke arah selatan, maka km/wc berada di sebelah selatan. Pada umumnya di sebelah km/wc terdapat pula gudang dan sisir (bangunan atau ruang untuk usaha). Jarak antara rumah dan km/wc berkisar antara 4-8 meter. Antara rumah satu dengan rumah lainnya dalam satu deret terdapat lorong sempit selebar 0,8-1 meter. Lorong ini sebenarnya adalah tritisan masingmasing rumah; kemudian ia berfungsi sebagai ‘jalan tikus’. Masing-masing ruang luar pada kelompok rumah deret itu saling berhubungan dan terbuka, tidak ada dinding pembatas. Ruang luar antara bangunan rumah dan km/wc, yang memanjang sesuai dengan deretan rumah inilah yang berfungsi sebagai jalan umum. Dan keluarga-keluarga yang menempati masing-masing rumah itu tidak merasa keberatan. Orang-orang Kauman menyebut jalan ini sebagai jalan ‘petolongan’. Dalam konteks hubungan antara solid dan void, di kawasan permukiman Kauman mempunyai karakter yang tidak sepenuhnya sama dengan figure-ground theory nya Trancik yang lebih melihat kota-kota Eropa sebagai wilayah kajiannya. Namun, di wilayah Kauman dan sekitarnya (Kudus Kulon), void yang terbentuk oleh massamassa bangunan lebih merupakan ruang privat yang berada di dalam batas tembok pagar pekarangan sehingga merupakan internal private void. Suatu void besar di depan kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus adalah satu-satunya void yang berkarakter tradisional di wilayah Kauman, yang dibentuk oleh tampak dinding luar bagian depan kompleks, tampak bangunan Menara dan
180 masjid, dan beberapa rumah tradisional yang terletak di depan kompleks. Sebenarnya, jalan ‘petolongan’ yang ada di kawasan permukiman Kauman adalah merupakan internal private void, suatu ruang privat yang berada di dalam batas lahan rumah tinggal. Lingkungan permukiman Kauman sebenarnya tidak memiliki public void, atau ruang publik, melainkan yang ada adalah lorong-lorong sempit yang terbentuk oleh tembok tinggi pembatas rumah. Internal private void itu yang juga sebagai latar menjadi pusat orientasi rumah-rumah deret dan bangunan-bangunan penunjang lainnya yang ada di depannya seperti km/wc, gudang, dan sisir. Antara rumah satu dengan lainnya, yang penghuninya masih memiliki hubungan kekerabatan, hanya dibatasi oleh pagar tanaman. Seiring dengan mundurnya perekonomian orang-orang Kauman di satu pihak dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup keluarga di pihak lain, maka mulailah dibangun rumah-rumah yang dikelilingi dengan tembok masif yang tinggi. Tembok masif ini bisa merupakan pagar halaman atau menjadi satu bagian dengan bangunan rumah tinggal. Sebagai generasi yang mendapat rumah secara ‘gratis’ dari orang tuanya, kemudian mereka mempunyai anak, cucu, bahkan cicit, dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, jelas memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan utama atau primer. Tidak akan selamanya satu rumah bisa ditempati oleh dua atau tiga keluarga; tidak ada jalan lain kecuali menjual rumah peninggalan nenek moyang mereka. Sehingga tidak heran apabila rumah adat Kudus ‘terbang’
181 ke kota-kota lain termasuk Jakarta, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Pembeli pada umumnya hanya menghendaki rumahnya saja. Di atas lahan rumah adat yang telah terjual, kemudian didirikan bangunan rumah baru oleh salah satu ahli waris yang mendapatkan bagian lahan itu dalam kesepakatan pembagian warisan dengan ahli waris lainnya. Batas-batas rumah kemudian dibuat jelas dan tegas. Dinding rumah dibuat dari tembok dan atau batas tapak dibuatkan pagar tembok tinggi. Ruang luar atau lahan di antara bangunan rumah adat dan km/wc yang dulunya berfungsi sebagai jalan umum, sekarang tidak lagi. Pada umumnya, lahan ini menjadi bagian warisan yang diberikan kepada ahli waris lainnya. Ruang di antara bangunan rumah adat dan km/wc dijadikan ruang-ruang fungsional berdasarkan kebutuhan-kebutuhan keluarga tersebut. Bahkan di atas lahan, yang semula menjadi jalan umum itu, ada yang didirikan dua buah rumah baru, oleh karena ahli warisnya banyak. Kalaupun ada lahan kosong, baik itu berupa latar maupun kebonan (setelah proses pewarisan) yang belum dimanfaatkan, maka lahan kosong itu segera dikilung oleh pemiliknya yang baru; seolah-olah dia ingin memastikan bahwa lahan miliknya tidak bisa diserobot oleh orang lain yang sebenarnya masih kerabatnya sendiri. Desakan ekonomi telah menghilangkan tenggang rasa sesama tetangga bahkan sesama kerabat sendiri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sesak dan padatnya ruang permukiman Kauman sekarang ini. Bagi keluarga yang tidak memiliki masalah krusial dengan hak waris, mereka masih menjaga kondisi rumah
182 adat peninggalan nenek moyangnya, hanya saja sekarang batas tapak dibuatkan pagar tembok tinggi. Ruang di antara bangunan rumah dan km/wc difungsikan sebagai latar untuk menerima tamu, bermain anak, dan bercengkerama antar anggota keluarga. Dengan adanya tembok masif tersebut, orang luar tidak bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Bagi orang-orang Kudus Kulon, keberadaan kilungan dalam tata ruang rumah tinggalnya juga merupakan simbol privacy penghuninya. Sarwono dalam Psikologi Lingkungan, mendefinisikan privacy sebagai keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya (Sarwono, 1992:71). Berkaitan dengan privacy ini, terutama untuk keadaan orang-orang Kauman, sepertinya cocok dengan beberapa kriteria yang dilontarkan oleh Holahan (1982) seperti dikutip Sarwono, bahwa ada enam jenis privacy yang terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama, adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yang diwujudkan melalui: keinginan untuk menyendiri; keinginan untuk menjauh dari gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu-lintas; dan keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja (misalnya keluarganya). Golongan kedua, adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri, yang diwujudkan melalui: keinginan untuk merahasiakan jati diri; keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain; dan keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (Sarwono, 1992:71-72).
183 Secara kebetulan peneliti menyaksikan suatu peristiwa yang boleh jadi ia menegaskan kembali simbol privasi yang melekat pada kilungan bagi keluargakeluarga Kauman dan sekitarnya. Dalam kehidupan domestik, mereka menggunakan latar dalam kilungan untuk aktivitasaktivitas servis dan sekaligus privat, seperti menjemur pakaian, bermain anak-anak dan bercengkrama antar anggota keluarga. Tidak jarang mereka hanya mengenakan celana pendek dan kaos, dan tidak merasa khawatir terlihat oleh orang lain. Sebab Aktivitas mereka terlindung oleh dinding tembok tinggi (sekitar 3 meter) yang mengelilingi rumahnya. Apabila seseorang membangun rumah yang lebih tinggi (bertingkat), dan memfungsikan ruangruang di lantai atas untuk aktivitas seharihari, maka aktivitas-aktivitas yang terjadi di latar rumah tetangganya akan terlihat dari lantai dua. Dan hal ini (membangun rumah bertingkat) hingga sekarang menjadi semacam tabu di kalangan masyarakat Kudus Kulon. Dengan demikian, privasi penghuni rumah itu akan menjadi hilang atau berkurang. Jadi faktor privasi menjadi hal yang penting bagi kehidupan masyarakat Kudus Kulon.
184 Selama penelitian lapangan, peneliti indekos di sebuah rumah, milik cucu salah seorang pengusaha rokok yang sukses pada tahun 1930-an, di desa Langgar Dalem. Rumah ini, dahulunya adalah tempat pengolahan dan penyimpanan tembakau dan berada di dalam kompleks pabrik rokok yang dikelilingi tembok tinggi. Di sebelah Selatan, di depan rumah, terdapat masjid tua bersejarah Langgar Dalem; di sebelah Tenggara, tepat di depan masjid, terdapat rumah adat yang difungsikan untuk pondokan khusus putri (lebih kemudian dari pondokan putra yang peneliti tempati); dan di sebelah Barat terdapat pula rumah adat; di sebelah Timur dan Utara adalah bangunan-bangunan yang masih menjadi bagian dalam kompleks. Peneliti menempati salah satu kamar di lantai dua, yang dahulunya adalah gudang tembakau. Di lantai dua terdapat beberapa kamar yang ditempati oleh para santri kalong. Bagian paling Selatan dari bangunan di lantai dua adalah teras terbuka yang sehari-harinya digunakan untuk bersantai dan dudukduduk. Dari sini pula kami dapat melihat bagian dalam kilungan rumah-rumah yang berada di sebelahnya dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan di latar. Karena kami yang berada di atas, maka hampir setiap hari melihat aktivitas anak-anak perempuan
185 yang indekos di rumah kuno itu, terutama ketika mereka menjemur pakaian di latar mburi yang dikelilingi tembok tinggi. Mereka merasa terganggu dan melaporkan kepada pemilik pondokan, dan kemudian bapak pemilik pondokan putri itu menambahkan elemen penghalang di atas tembok yang sudah tinggi. Tetapi tetap saja hal ini menjadi kasus yang hampir saja menyebabkan pertikaian antara bapak pemilik rumah yang peneliti tempati dengan bapak pemilik pondokan putri. Dengan bijaksana akhirnya, bapak pemilik pondokan putra, tempat kami indekos, memutuskan untuk memberikan batas waktu kepada kami agar segera pindah sebab kamar-kamar di lantai dua tidak akan difungsikan lagi sebagai pondokan. Erat hubungannya dengan privacy adalah teritotialitas, yang keduanya merupakan perwujudan ego yang tidak ingin diganggu. Teritorialitas bagi orang-orang Kauman menjadi hal yang penting. Menurut Holahan (1982), seperti dikutip Sarwono, teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laki ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar (Sarwono, 1992:73). Konflikkonflik teritorialitas bisa terjadi karena memang manusia
186 cenderung bertingkah laku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atau haknya atas teritori tertentu, yang kadang kala ia tidak memperhatikan atau bahkan melanggar kepemilikan atau hak orang lain. Jalan ‘petolongan’ yang semula berfungsi untuk sirkulasi publik menjadi hilang, yang ada hanyalah lorong-lorong sempit yang dulunya merupakan ‘jalan tikus’. Di sebelah utara masjid Menara Kudus, masih bisa dilihat satu ruas jalan ‘petolongan’ yang tersisa. Di desadesa lain seperti Damaran, Kerjasan, dan Langgar Dalem masih banyak ruas-ruas jalan ‘petolongan’ yang difungsikan sebagai jalan publik. Pembentuk tata ruang permukiman Kauman yang lain adalah dinding tembok keliling kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus yang luasnya hampir setengah dari luas seluruh wilayah desa Kauman. Di bagian selatan dan utara, bahkan sebagian dinding pembatas kompleks menjadi satu dengan dinding rumah warga Kauman. Pola figure-ground solid dan void yang membentuk konfigurasi dan struktur kota lama Kudus (Kudus Kulon) menjadi satu bagian dengan kehidupan sosio-kultural masyarakatnya yang bercirikan islami, dengan pusatnya yaitu masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, komunitas Kauman dengan menggunakan pengetahuan kulturalnya yang diperoleh dari pengalaman dan proses belajar, telah merubah tata ruang permukimannya. Yang semula mereka memiliki ruang terbuka dengan pola rumah tinggal deretnya, kemudian merubah menjadi ruang yang berkesan tertutup dengan dinding tembok
187 tinggi di sana-sini. (Gambar 07). Berkaitan dengan ini, Rapoport mengemukakan bahwa lingkungan fisik yang diatur merupakan sebagian dari lingkungan semesta yang telah diubah oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; ia mencakup segala ruang, bangunan, prasarana dan bentang alam beserta unsur-unsurnya (Rapoport dalam Snyder, 1985:14-15).
Gambar 07. Perubahan pola permukiman: terbuka-tertutup (Sumber: Hasil analisis)
188
BAB V TATA RUANG RUMAH TINGGAL Pada waktu sebuah ruang ditata untuk suatu kegiatan tertentu dan berguna dengan baik bagi para pelakunya serta berfungsi dalam kaitannya dengan sistem tata ruang yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut, maka model tata ruang tersebut menjadi baku dan digunakan secara meluas oleh para warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian tata ruang tersebut telah menjadi tradisi atau bercorak tradisional dalam masyarakat tersebut. Menurut Parsudi Suparlan (1995), di antara berbagai sistem tata ruang yang cenderung untuk tidak mudah berubah adalah sistem tata ruang rumah tinggal. Ini disebabkab karena adanya perubahanperubahan dalam sistem tata ruang rumah tinggal berarti juga adanya perubahan-perubahan dalam model-model pengetahuan mengenai hakekat keluarga, struktur keluarga, kekerabatan, kehidupan ekonomi, pengasuhan anak, dan lain-lain. Di kampung Kauman masih terdapat beberapa rumah tradisional atau lebih dikenal dengan rumah adat Kudus, di samping jenis rumah gedhong dan rumah kontemporer. Rumah gedhong dan kontemporer yang dibangun kemudian sebagian merupakan pengembangan dari rumah adat Kudus. Pada umumnya rumah-rumah itu
189
190 dikilung (dikelilingi oleh dinding tembok). Rumah adat Kudus mempunyai ciri khas yang segera dikenali orang yang pertama kali melihatnya, yaitu atapnya menjulang tinggi menembus awan, dan terlihat melengkung sebab patahan pada setiap tingkat tidak kentara. Oleh orangorang Kudus atap rumah adat ini dikenal dengan joglo pencu. 5.1. Bentuk dan Konstruksi Bangunan Rumah Tinggal Atap joglo rumah adat Kudus yang dikenal dengan joglo pencu (menjulang tinggi) mempunyai bentuk yang sedikit berbeda dengan atap joglo rumah tinggal tradisional Jawa lainnya. Atap joglo pencu terdiri atas tiga atau empat tingkat kemiringan yang makin ke atas sudut kemiringannya semakin besar sehingga tampak menjulang tinggi. Yang membedakan antara atap joglo pencu dan atap joglo rumah tradisional Jawa, yaitu pertemuanpertemuan sudut kemiringan pada joglo pencu tidak terlalu patah sehingga dari tampak depan terlihat melengkung ke atas. Kemiringan atap yang terlihat melengkung itu pada dasarnya dibentuk oleh posisi dudur (kasau) dan blandar (balok). Kemiringan atap paling bawah dibentuk oleh dudur yang menumpu di atas blandar yang terletak di atas dinding jagasatru bagian luar dan blandar besar yang menggantung di sepanjang jagasatru. Blandar besar ini ditopang oleh satu atau dua tiyang. Oleh karenanya, semua rumah adat Kudus, di bagian ruang jagasatru terdapat satu atau dua tiang yang dikenal dengan sanggah. Tingkat kedua dibentuk oleh dudur yang menumpu di atas blandar besar dan blandar yang terletak di atas dinding njero ngomah bagian depan,
191 sementara di bagian kanan, kiri dan belakang, blandar ini ditopang oleh konstruksi ‘kaki pincang’. Tingkat ketiga dibentuk oleh dudur yang menumpu di atas blandar dinding njero ngomah bagian depan dan yang ditopang oleh konstruksi ‘kaki pincang’ serta tutup kepuh di bagian atas (di atas susunan tumpang sari). Tingkat keempat berupa brunjung dengan sudut kemiringan yang sangat terjal. (Gambar 08).
Gambar 08. Rumah adat Kudus di museum Kretek, Kudus (Sumber: Dokumentasi penulis)
Konstruksi utama rumah adat Kudus adalah 4 buah tiang atau yang dikenal dengan sokoguru yang terletak di bagian tengah njero ngomah yang menopang brunjung di atasnya. Pemidangan di bawah brunjung sebagai ‘kompartemen’ yang membentuk tumpang piramida atau uleng memiliki bentuk empat
192 persegipanjang dimana di keempat pojoknya terdapat sokoguru. Konstruksi atap joglo pencu menyerupai atap joglo kepuhan limolasan pada rumah tinggal tradisional Jawa dengan penambahan emperan di bagian depan yang dikenal dengan ruang jagasatru. Konstruksi pada bagian jagasatru terlihat unik dan menimbulkan banyak penafsiran karena adanya sanggah di bagian tengah. Pada bentuk atap joglo pencu, selain 4 buah sokoguru terdapat pula 14 buah saka pengarak atau pengikut. Tiang atau saka pengarak memiliki jarak yang tidak sama terhadap bidang pemidangan; deretan tiang pengarak pada bagian depan lebih dekat dengan bidang pemidangan. Penempatan saka pengarak lebih berdasarkan pada bidang dindingnya sebab tiang-tiang ini menyatu dengan dinding atau gebyok. Keberadaan lobang pintu utama (tengah) sangat berpengaruh terhadap penempatan saka pengarak di bagian depan (gebyok tengah). Rupanya kusen pintu tengah, ambang kanan dan kirinya, sekaligus berperan sebagai tiang atau saka struktural. Pada kedua tiang ini pulalah dipasangkan konsol penyangga blandar panjang di jagasatru, disamping adanya sanggah; oleh karenanya keberadaan sanggah di jagasatru sangat mutlak karena tidak mungkin kedua konsol tersebut mampu menahan berat dan momen blandar. Sedangkan bidang dinding atau gebyok di sebelah kanan dan kiri pintu tengah, masing-masing ditempatkan 3 tiang penguat gebyok. Hal ini adalah wajar, mengingat gebyok tersebut dipenuhi ukiran dan terbuat dari kayu jati; meskipun sebagai pengisi ruangan, tetapi beban gebyoknya sendiri sangat berat sehingga perlu penguat-penguat. Tiang-tiang ini tidak struktural. Jarak
193 antar tiang adalah hasil bagi dari panjang gebyok, kurang lebih 2-3 m. Saka pengarak pada bagian belakang, samping kanan dan kiri konstruksi atap joglo pencu penempatannya juga berdasarkan pembagian yang sama terhadap panjang gebyok. Jarak antar saka kurang lebih hampir sama yaitu 2-3 m. Khusus untuk gebyok lengkung (dalam kasus beberapa rumah) diantara saka pengarak ditambahkan tiang-tiang penguat gebyok yang masingmasing tiang berjarak kurang lebih 50 cm. Tiang-tiang ini tidak struktural, hanya sebagai penguat bidang lengkung. Jadi, jumlah dan penempatan saka pengarak sangat bergantung pada letak dan panjang gebyok, disamping keberadaan keempat sokoguru. Pada atap joglo kepuhan limolasan pada rumah tradisional Jawa, tiang-tiang pengarak jumlahnya 12 buah, keempat deretan tiang pengarak, bagian depan, belakang, samping kanan, dan kiri memiliki jarak yang sama terhadap bidang pemidangan. Jarak antar tiang pada satu bagian (atau bidang) tidak sama satu sama lain, tergantung ukuran pemidangan yang mana di keempat sudutnya terdapat sokoguru; tidak berdasarkan hasil bagi yang sama terhadap panjang bidang yang dibentuk oleh deretan tiang, sebagaimana pada atap joglo rumah adat Kudus. Semua saka pengarak yang berjumlah 12 buah berfungsi struktural; tidak lazim menambah tiang-tiang penguat dinding atau gebyok mengingat beban dinding relatif ringan dan memang bertujuan memudahkan pembongkaran dinding bila diperlukan ruangan yang lebih luas. Dan tidak selalu deretan tiang-tiang pengarak menjadi satu dengan gebyok.
194 Bidang pemidangan pada konstruksi atap joglo pencu dibentuk oleh balok-balok horisontal yang saling menghubungkan dan memperkuat posisi sokoguru. Dua buah balok memanjang yang paling atas (di bawah tumpang sari) disebut tutup kepuh (seperti blandar pada atap bentuk limasan) dan dua buah balok melintang yang menghubungkan dua tutup kepuh dinamakan pengerat. Kedua jenis balok ini, tutup kepuh dan pengerat disambungkan dengan sistim catokan pada bagian ujung atas sokoguru; balok-balok dipasang dengan posisi tidur. Kurang lebih 20-30 cm di bawahnya dipasang balok-balok ‘stabilisator’ lagi, yaitu balok memanjang di bawah tutup kepuh dinamakan sunduk dan balok melintang di bawah pengerat dinamakan kili-kili. Pertemuan antara sokoguru terhadap sunduk dan kili-kili menggunakan sistim sambungan purus, dengan posisi balok-balok berdiri; sangat dimungkinkan menggunakan balok-balok dengan penampang bujursangkar. Untuk menghindari momen pada tutup kepuh dan pengerat yang disebabkan oleh selain posisi balok yang lemah (tidur) juga adanya kendala bentangan, maka ditengah-tengah antara tutup kepuh dan pengerat di satu pihak dengan sunduk dan kili-kili di pihak lain di beri ganjel atau sesanten. Kadang-kadang di bagian tengah pemidangan ditambahkan satu balok melintang seperti pengerat yang dinamakan dada peksi. Balok ini tidak ditumpu oleh tiang; berfungsi sebagai penopang ander dan sebagai pajangan di tengah ruangan sehingga banyak yang diukir indah; tidak jarang juga sebagai tempat menggantungkan lampu. Dan dada peksi berfungsi juga sebagai balok pembagi pemidangan untuk menciptakan dua buah uleng.
195 Pada konstruksi tumpang bagian paling atas terdapat penanggap, balok pada kedua sisi memanjang; fungsinya seperti blandar pada rumah bentuk atap limasan dan pada kedua sisi pendeknya (melintang) terdapat penangkur yang fungsinya menyerupai pengerat pada rumah bentuk atap limasan. Keempat balok saling berhubungan menggunakan sistim sambungan catokan. Karena konstruksi tumpang menciptakan bentuk piramida terbalik pada struktur atap joglo, maka bidang empat persegipanjang yang dibentuk oleh penanggap dan penangkur luasannya tentu saja lebih besar daripada bidang pemidangan. Tepat di atas penanggap dan penangkur terdapat balok keliling yang disebut takir dimana lebar dimensi baloknya lebih kecil dibanding dengan balok-balok di bawahnya. Pada prinsipnya ketiganya secara bersama-sama menjadi tumpuan : usuk (kasau) atap brunjung (bidang atap yang memanjang) bagian bawah, usuk atap kejen atau cocor (bidang atap yang pendek) bagian bawah, usuk atap penanggap (bidang atap yang memanjang) bagian atas, dan usuk atap penangkur (bidang atap yang pendek) bagian atas. Di atas tiang-tiang pengarak terdapat blandar pengarak pada dua sisi memanjang (bagian depan dan belakang) dan pengerat pengarak pada dua sisi yang pendek (bagian samping kanan dan kiri). Kurang lebih 20 cm di bawahnya terdapat sunduk (balok memanjang) dan kili-kili (balok melintang). Keistimewaan konstruksi rumah adat Kudus dibandingkan dengan apa yang terdapat di daerah Pati dan Demak, dan bahkan dengan kebanyakan konstruksi atap joglo rumah tinggal tradisional Jawa
196 lainnya, yaitu pada konstruksi atap joglo pencu rumah tinggal tradisional Kudus, deretan 4 buah tiang pengarak bagian depan ditempatkan lebih ke dalam, mendekati sokoguru; bergeser kurang lebih 1 m dari tempat yang semestinya. Sulit menelusuri latar belakang mengapa para ‘creator’ melakukan hal yang demikian. Sebagai konsekuensinya, untuk menopang usuk atap penanggap bagian bawah dan usuk atap emperan (jagasatru) bagian atas perlu ditempatkan blandar besar yang didukung oleh dua buah tiang di ujung-ujungnya. Pada sebagian rumah, sepertinya di bawah blandar juga dipasang sunduk yang keduanya menjadi “satu” oleh elemen ukiran. Karena bentangannya terlalu besar, kurang lebih 8-10 meter (sesuai ukuran sisi panjang rumah inti) maka mutlak diberi tiang penyangga tambahan di tengahnya. Tiang inilah yang dikenal dengan sanggah. Letaknya tidak tepat di tengah-tengah blandar atau sunduk mengingat keberadaan pintu tengah yang menuju ke gedhongan juga tepat di tengah. Sebenarnya blandar atau sunduk juga ditopang oleh dua buah konsol yang menumpu pada tiang-tiang (sebenarnya kusen pintu) di samping kiri dan kanan pintu tengah. Tetapi menurut perkiraan peneliti, keduanya tidak akan mampu menahan beban blandar dan sunduk, kecuali ada tambahan pendukung lain. Pada bagian paling depan, terdapat deretan 6 buah tiang emperan (jagasatru). Tiang-tiang ini ukuran besarnya tidak sama; 2 buah tiang yang berada di sudut kanan dan kiri dimensinya lebih kecil dibanding 4 tiang yang berada di antara kedua tiang tersebut. Hal ini disebabkan keempat tiang membentuk tiga lobang pintu masuk yang masing-masing memiliki pintu sorong. Tiang-tiang ini
197 sekaligus menjadi kusen pintu masuk (ambang vertikal). Lobang pintu yang ditengah dilengkapi dengan pintu berdaun dua pada sisi dalam. Lobang pintu di sebelah kanan dan kirinya dilengkapi dengan pintu panil sorong pada sisi dalam dan pintu sorong kere pada sisi luar. Pada bagian atas tiang-tiang emperan (jagasatru) terdapat blandar dan pada sebagian rumah juga ada sunduk di bawahnya. Blandar emperan (jagasatru) berfungsi sebagai tumpuan usuk atap emperan (jagasatru) bagian bawah. Konstruksi atap pawon yang letaknya berhimpit, di sebelah kanan dan atau kiri dengan rumah inti menggunakan konstruksi atap kampung. Pada bagian depan, ditambahkan konstruksi atap konsol untuk menaungi teras yang sempit, memanjang menyatu dengan teras rumah inti. Sehingga muncullah bentuk atap yang dikenal dengan atap kampung gajah ngombe (gajah minum). Konstruksi rumah adat Kudus sepertinya dirancang dengan sistim bagian per bagian yang memungkinkan terjadinya bongkar pasang rumah, atau lebih dikenal dengan sistim knock down. Menurut beberapa hasil penelitian, sistim ini diterapkan untuk mengantisipasi apabila pemilik rumah mengadakan hajatan misalnya pernikahan, bagian-bagian tertentu rumah seperti gebyok bisa dibongkar untuk mendapatkan ruang yang lebih luas. Namun berdasarkan latar belakang keberadaan rumah adat Kudus, peneliti lebih cenderung mengkaitkan sistim tersebut dengan kemudahan pemasangan bagian-bagian atau elemen-elemen rumah
198 yang masing-masing bagian atau elemen harus diperindah dengan ukiran. (Gambar 09; Gambar 10).
Gambar 09. Struktur dan konstruksi rumah adat Kudus (Sumber: Sardjono, 1996:153)
199
Gambar 10. Struktur dan konstruksi rumah tradisional Jawa tipe joglo (Sumber: Hamzuri, tt:95 dan 119)
200 5.2. Susunan dan Fungsi Ruang Inti dari bangunan rumah adat Kudus adalah ruang jagasatru, njero ngomah dan pawon. Sedangkan km/wc dan bangunan penunjang lainnya, seperti gudang, sisir (tempat usaha) dan gothakan (semacam dapur, tempat untuk memasak sehari-hari) berada terpisah dengan bangunan rumah. Di antara bangunan inti dan fasilitas bangunan penunjangnya terdapat ruang terbuka yang disebut latar. Jagasatru dan njero ngomah dinaungi oleh atap berbentuk joglo, dan pawon yang berada di sebelah kanan dan atau kiri bangunan joglo itu dinaungi oleh atap berbentuk kampung. (Gambar 11; Gambar 12). Latar Dalam tata ruang rumah tinggal di wilayah Kudus Kulon, latar adalah halaman rumah tinggal. Halaman yang berada di depan rumah tinggal dinamakan latar ngarep dan yang berada di belakang rumah tinggal dinamakan latar mburi. Dalam kehidupan sehari-hari, latar difungsikan sebagai tempat bermain, mengasuh anak, bercengkerama dan menjemur pakaian. Ada beberapa rumah tinggal menggunakan latarnya untuk beternak ayam atau itik. Dan kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang banyak hampir pasti memanfaatkan latar sebagai ruang tamu, seperti hajatan (keperluan) kelahiran (kekah), khitanan, perkawinan dan kematian. Sebagai konsekuensi dari perubahan fungsi dari latar, satu hal yang merepotkan adalah kegiatan mencuci dan menjemur pakaian harus ditangguhkan beberapa hari menjelang dan saat pelaksaan hajatan-hajatan tersebut.
201
Gambar 11. Rumah adat dengan dua pawon milik bapak Muhid (Sumber: Sketsa penulis)
202
Gambar 12. Rumah adat dengan satu pawon milik bapak Syafei (sejak 2002 telah terjual) (Sumber: Sketsa penulis)
203 Di kampung Kauman, di sebelah Utara masjid Menara, terdapat ruas jalan kampung – jalan ‘petolongan’ – yang sebenarnya jalan itu adalah latar-latar ngarep yang sambung menyambung dari jejeran rumah adat (kini beberapa rumah adat sudah diganti dengan rumah kontemporer). Apabila salah satu keluarga penghuni rumah adat tersebut memiliki hajat, maka jalan petolongan itu ditutup sementara; ia difungsikan sebagai ruang tamu. Pada waktu kegiatan hajatan dilaksanakan, orang-orang yang diperbolehkan masuk ke dalam rumah (ruang jagasatru) adalah pihak keluarga dan tetangga dekat. Sedangkan bagi para tamu dari saudara dan tetangga jauh akan menempatkan diri di latar dengan prioritas saudara dan tetangga yang lebih dekat hubungannya dengan keluarga yang punya hajat akan berada di latar yang paling dekat dengan jagasatru. Untuk melindungi para tamu dari hujan dan panas matahari, biasanya di latar didirikan tarub atau tenda, yaitu bangunan tambahan nonpermanen. Dahulu tarub terbuat dari bambu, gedeg dan atap rumbia atau anyaman daun kelapa, namun sekarang berupa kerangka besi yang dibagian atasnya diberi terpal sebagai penutup/pelindung. Ada semacam hirarki ruang, semakin dekat latar dengan jagasatru maka latar tersebut menjadi bagian yang lebih penting. Sebab hampir setiap kegiatan hajatan yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, seperti acara kelahiran (kekah), khitanan, perkawinan dan kematian diselenggarakan di jagasatru, sehingga kedekatan kedudukan seseorang dengan ruang ini menjadi penting. Seseorang akan lebih khidmat mengikuti suatu ritual
204 apabila dia berada lebih dekat dengan pusat kegiatan ritual itu. Dan bagi orang-orang yang memiliki hajat, keikut-sertaan anggota keluarga dekat dalam kegiatan ritual yang diselenggarakan sangat diharapkan. Oleh karena itu, bagi keluarga dekat dan tetangga dekat, yang tidak tertampung di jagasatru, akan menempatkan diri di latar yang berdekatan dengan jagasatru agar mereka masih bisa mengikuti acara ritual dengan khidmat. Salah satu rangkaian ritual yang berkaitan dengan peristiwa kematian seseorang, yaitu pemandian jenasah juga diadakan di latar dekat dengan km/wc. Dengan kain yang dibentangkan menutupi areal pemandian, seorang modin memimpin ritual pemadian jenasah. Biasanya orang-orang yang terlibat dalam memandikan jenasah adalah anggota keluarga atau kerabat dekatnya, untuk jenasah laki-laki akan dimandikan oleh kaum laki-laki, sementara jenasah perempuan oleh kaum perempuan. Latar adalah ruang terbuka yang dapat langsung dilihat ketika seseorang memasuki sebuah kilungan. Sehingga begitu ada seseorang yang membuka pintu pagar tembok halaman maka yang terlihat pertama kali adalah latar. Pintu pagar halaman atau sering disebut pintu dadah (orang Jawa menyebut pintu regol) biasanya ditempatkan pada pagar tembok halaman yang langsung menghadap ke jalan karena ia sebagai jalan masuk utama dari luar menuju ke dalam bangunan atau sebaliknya. Dengan demikian, pintu dadah ini bisa menghadap ke arah selatan, barat, utara maupun timur tergantung dari posisi jalan, meskipun rumah adat Kudus hampir semuanya menghadap ke arah selatan. Sebuah rumah terkadang memiliki tidak hanya satu tapi dua atau tiga
205 buah pintu dadah. Berkenaan dengan orientasi rumah adat Kudus, menurut beberapa pemilik rumah adat, arah hadap rumah adat Kudus ke selatan lebih didasarkan kepada pergerakan sinar matahari dan angin. Di beberapa rumah tinggal, di bagian halaman depan rumah tinggal (latar ngarep) ditanami dengan pepohonan produktif, seperti pohon sawo kecik, blimbing, tanjung, jambu, mangga dan pisang. Tanaman-tanaman tersebut selain berfungsi sebagai perindang dan memiliki manfaat untuk dimakan dan obat, juga memiliki makna. Menurut informan peneliti, pada zaman dulu rumah-rumah adat Kudus di halaman depannya (latar ngarep) pada umumnya ditanami dengan pohon sawo kecik dan blimbing wuluh. Bagi sebagian orang Kudus Kulon, pohon sawo kecik dianggap merupakan simbol kemakmuran. Dengan menanam pohon sawo kecik diharapkan orang yang menanamnya menjadi bertambah banyak rejeki dan kehidupannya menjadi bertambah makmur. Pohon blimbing wuluh, daunnya dapat dipakai untuk membuat pilis yang biasa digunakan oleh wanita sehabis melahirkan. Sekarang ini di halaman rumah juga banyak dijumpai pohon jambu, mangga dan pisang. Pohon mangga mempunyai bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu; ini melambangkan bercampurnya benih
206 manusia yang berasal dari laki-laki dan perempuan. Sementara itu, pohon pisang (pisang raja) lengkap dengan daun dan buahnya, melambangkan kesuburan bagi suami istri yang baru saja melangsungkan pernikahan. Orang yang menanam pohon mangga dan pisang berharap agar cepat memiliki keturunan dan bisa menciptakan keluarga yang sakinah. Jagasatru Jagasatru berarti menjaga dari (serangan atau perbuatan jahat) lawan. Fungsi sehari-hari jagasatru adalah sebagai ruang tamu. Oleh karena itu, ruang ini disebut pula dengan istilah jogan, dari kata jujugan yang berarti tempat yang dituju, karena terletak persis sesudah pintu masuk. Pada waktu-waktu tertentu, jagasatru selain sebagai tempat prosesi penting dalam acara kelahiran (kekah), khitanan, pernikahan dan kematian, ia juga sebagai tempat yang mewadahi kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan seperti arisan selapanan ibu-ibu, pengajian bapak-bapak dan pembacaan manakiban dan berzanjen remaja. Dan beberapa rumah tinggal memfungsikan jagasatru untuk tempat usaha home industri konveksi pakaian jadi dan bordiran. Seseorang yang ingin bertamu di keluarga-keluarga Kauman, dia terlebih dahulu harus ‘memencet’ bel yang letaknya di bagian luar pintu dadah. Karena jarak antara pintu dadah dan rumah agak jauh maka dia harus bersabar menunggu hingga pemilik rumah membukakan pintu dadah yang selalu dalam keadaan terkunci dari
207 dalam. Kadang kala, apabila si tamu belum memberitahukan (membuat janji) terlebih dahulu, pemilik rumah enggan menerima tamu itu. Setelah masuk ke dalam kilungan, dia akan langsung melihat latar ngarep rumah itu. Melewati latar ngarep, dia menuju teras yang sempit (lantainya bertrap/berundak) dan melepas alas kaki untuk kemudian diterima pemilik rumah di jagasatru. Jika tamunya perempuan, dia sudah dikenal baik, bisa langsung ke pawon lewat pintu tersendiri, tidak masuk ke jagasatru. Pada awalnya, menurut cerita setempat, tamu yang datang biasanya membasuh kaki terlebih dahulu di sumur/kamar mandi sebelum masuk jagasatru. Ruang tamu atau jagasatru dibagi menjadi dua ruang penerima tamu, bagian yang dekat dengan pawon untuk tamu perempuan dan si tamu akan ditemani oleh ibu pemilik rumah, sedangkan tamu laki-laki ditemani oleh bapak pemilik rumah di bagian lain di jagasatru, masih dalam satu ruangan, tidak ada pembatas ruang antara keduanya. Pemberian suguhan atau minuman dilayani lewat pintu samping yang menghubungkan jagasatru dengan pawon. Dalam pelaksanaan kegiatan ritual sepanjang tahun dalam kehidupan manusia: kelahiran (kekah), khitanan, pernikahan dan kematian, orang-orang yang diperbolehkan masuk ke dalam jagasatru adalah mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan tuan rumah dan tetangga-tetangga dekat. Tamu-tamu yang lain menempatkan diri di latar ngarep (halaman rumah). Seperti dalam acara hajatan pernikahan salah
208 satu keluarga Kauman, prosesi pernikahan dimulai dengan acara akad nikah, yaitu pembacaan ijab kabul1 yang dipimpin oleh seorang petugas KUA (Kantor Urusan Agama) yang dihadiri oleh mempelai laki-laki, wali mempelai perempuan, saksi-saksi serta kerabat dekat dari kedua belah pihak, yang semuanya adalah kaum laki-laki. Acara ijab kabul ini berlangsung di jagasatru. Sementara itu mempelai perempuan selama proses ijab kabul berlangsung berada di ruang dalam (njero ngomah) ditemani ibu dan kerabat dekatnnya yang semuanya kaum perempuan. Para undangan yang tidak mendapat tempat di jagasatru dapat mengambil tempat di latar ngarep yang dekat dengan jagasatru, agar pada saat pembacaan akad nikah mereka dapat mengikuti upacara secara khidmat. Saat itu semua yang ada di jagasatru duduk lesehan dan para undangan lainnya yang ada di latar duduk di kursi. Seusai upacara ijab kabul diadakan temon (mempertemukan kedua pengantin) dan sungkeman, dan diikuti terbatas pada keluarga dekat dari kedua pengantin, terutama pengantin perempuan. Acara ini diadakan di ruang dalam (njero ngomah), tetapi pada kasus-kasus yang lain ada yang diadakan di jagasatru. Setelah itu baru diadakan upacara walimahan (resepsi pernikahan), yang dihadiri sanak famili dan handai Ijab kabul adalah salah satu dari lima rukun pernikahan menurut Islam. Keempat rukun lainnya yaitu adanya pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali dan dua orang saksi. Ijab kabul pada prinsipnya berupa ucapan-ucapan dari pihak pengantin laki-laki, yang meminta, dan dari pihak pengantin perempuan (bapaknya, atau bisa diwakilkan kepada penghulu atau sekarang pegawai KUA), yang menerima. 1
209 taulan, baik kaum laki-laki maupun perempuan. Dalam upacara ini, kedua pengantin disandingkan di depan pintu tengah (yang menghubungkan jagasatru dengan njero ngomah) jagasatru, sementara tamu duduk di latar ngarep; tempat duduk tamu laki-laki dipisah dengan tamu perempuan. Kedua mempelai memakai pakaian pengantin, mempelai perempuan mengenakan gaun putih menerus, sementara mempelai laki-laki mengenakan setelan jas dan berpeci. Setelah acara makan-makan, upacara diakhiri dengan ucapan selamat para tamu kepada kedua pengantin, tamu laki-laki bersalaman dengan pengantin laki-laki dan tamu perempuan bersalaman dengan pengantin perempuan. Di beberapa kasus, seperti terlihat dalam sketsa Sardjono, pawon digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara walimahan dalam ritual pernikahan (lihat Sardjono, 1996:163). (Gambar 13). Kegiatan lain yang diadakan di jagasatru yang dapat diamati yaitu upacara kematian seperti yang peneliti saksikan di desa Kerjasan. Jenasah sebelum diberangkatkan untuk dishalatkan di masjid terdekat dan kemudian dikuburkan, terlebih dahulu disemayamkan di jagasatru pada sisi paling Barat. Dalam kasus-kasus lainnya, terkadang jenasah disemayamkan di ruang tengah (njero ngomah) atau di pawon. Posisi jenasah membujur arah Selatan-Utara dengan posisi kepala di sebelah Utara. Hal ini dimaksudkan agar para pelayat mudah untuk ikut menshalati jenasah. Orang-orang yang sedang menshalati jenasah berada di samping (sebelah Timur) jenasah dan berdiri rapat bershaf-shaf menghadap ke arah Barat. Tidak seperti shalat-shalat yang lain, shalat
210 jenasah dilaksanakan hanya dalam posisi berdiri, tidak ada gerakan ruku’, sujud dan duduk tasyahud. Keluarga dekat menempatkan diri di jagasatru, sedangkan para pelayat yang lain berada di latar ngarep.
Gambar 13. Setting upacara pernikahan di Kauman (Sumber: Sardjono, 1996:163)
Beberapa rumah tinggal di Kauman memfungsikan jagasatru untuk kegiatan usaha konveksi pakaian jadi dan
211 bordiran, salah satunya adalah rumah milik bapak Hilman. Rumah yang ditempati keluarga bapak Hilman sekarang ini adalah warisan dari orang tuannya. Rupanya rumah ini adalah kombinasi antara bangunan rumah tradisional dan bangunan bergaya Eropa; dinding rumahnya dari tembok tebal, dan pintu dan jendelanya berukuran besar dan tinggi, sedangkan tata ruangnya sama persis dengan tata ruang rumah adat Kudus lainnya. Tetapi kemudian, sejak tahun 1990-an, bapak Hilman telah melakukan perubahan-perubahan. Di samping sebagai pedagang konveksi pakaian jadi ke luar kota, bapak Hilman juga membuka usaha bordiran di rumahnya. Sebagai tempat kerja, yang mempekerjakan 12 tenaga buruh wanita, digunakanlah jagasatru. Bila ada tamu, dengan melewati orang-orang yang bekerja, tuan rumah akan menerimanya di ndalem, yang termasuk ruang privat dalam tata ruang rumah adat Kudus. Kondisi ini jelas meyebabkan perasaan kurang enak bagi orang yang bertamu dan juga bagi tuan rumah. Setelah membangun rumah baru tahun 1990 di atas lahan halaman belakang (latar mburi) rumah lama,
212 keberadaan pawon dan rumah induk jagasatru dan sebagian ndalem – rumah lama praktis dijadikan ruang kerja. Untuk kehidupan sehari-hari sebagai sebuah rumah tangga, keluarga bapak Hilman lebih banyak menggunakan rumah baru. Bagi orang-orang yang oleh karena kondisi ekonomi atau oleh masalah hak waris sehingga menghalanginya untuk merenovasi atau merubah bentuk bangunan rumah tinggalnya, pada umumnya mereka memanfaatkan jagasatru dan atau pawon untuk mewadahi kegiatan-kegiatan seperti bisnis konveksi pakaian jadi dan bordiran, sebagaimana peneliti melihatnya di Kauman, Damaran dan Langgar Dalem. Jagasatru dalam tata ruang rumah tinggal di Kauman juga dipakai untuk kegiatan-kegiatan sosial, seperti kegiatan rutin yang dilakukan oleh kaum bapakbapak, ibu-ibu dan remaja Kauman, yaitu berupa kegiatan arisan, pembacaan berzanjen dan manakiban, dan pengajian-pengajian agama. Njero Ngomah Untuk pengistilahan ruang tengah dalam tata ruang rumah adat Kudus, antara penghuni rumah satu dengan lainnya tidak ada keseragaman, sebagian menyebut dengan istilah gedhongan, sebagian lagi sentong, dan yang lain menyebut ndalem ( ndalem ageng atau omah gede). Dalam penelitian ini, untuk menunjuk ruang tengah dalam tata ruang rumah adat Kudus digunakan istilah njero ngomah. Istilah ini peneliti
213 dapatkan dari seorang ibu, usia sekitar 70 tahun, istri pemilik salah satu rumah adat di desa Langgar Dalem. Sebenarnya istilah gedhongan, menurut sebagian penghuni menunjuk sebuah kamar kecil (ukuran sekitar 3x3 m) yang terletak di tengah bagian belakang ruang tengah rumah adat. Dalam tata ruang rumah tradisional Jawa ruang ini biasa dikenal dengan sentong tengah, sementara ruang tengah diistilahkan dengan ndalem ageng, griyo ageng atau omah njero. Dalam penelitian ini digunakan istilah njero ngomah untuk menunjuk ruang tengah dan gedhongan untuk ruang kecil yang dalam tata ruang rumah tradisional Jawa disebut sentong tengah, pada tata ruang rumah adat Kudus2. Njero ngomah dalam kehidupan sehari-hari berfungsi sebagai ruang keluarga dan ruang tidur. Di dalam njero ngomah, di samping kanan dan atau kiri gedhongan dibuatkan kamar-kamar tidur. Kamar-kamar ini tidak ada yang berada tepat di bawah brunjung. Dalam tata ruang rumah tinggal tradisional Jawa, ketiga ruang atau kamar itu disebut sentong kiwo – tengah – tengen. Dan sentong tengah dianggap sebagai bagian dari rumah tinggal yang paling sakral. Kekurangan kamar tidur bagi keluarga besar dapat ditambahkan lagi yaitu dengan membuat kamar tidur di njero ngomah bagian kanan atau kiri yang tidak berhubungan langsung dengan pawon. Dalam Laporan Penelitian: Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah (2000), peneliti menggunakan istilah senthong untuk ruang tengah dan gedhongan untuk ruang kecil di dalam senthong dalam tata ruang rumah adat Kudus. 2
214 Jadi praktis, njero ngomah yang masih tersisa adalah ruangan di bagian tengah, tepat di bawah brunjung. Karena posisinya di tengah-tengah ruangan yang lain, yaitu di belakang dibatasi oleh gedhongan dan kamar tidur, di kanan atau kiri oleh kamar tidur dan pawon, dan di depan oleh jagasatru, maka tidak mengherankan apabila keadaan ruang tengah (njero ngomah) menjadi gelap, tidak ada cahaya matahari yang masuk, kecuali sedikit yang masuk lewat genteng kaca di atasnya. Sehingga sebagian besar keluarga Kauman memfungsikan pawon sebagai ruang keluarga, di samping sebagai ruang makan, penerima tamu dan dapur, yang memang kondisinya lebih terang dibanding dengan njero ngomah. Dan sekarang, ruang tengah yang persis berada di bawah brunjung menjadi bagian dari kamar-kamar tidur yang mengelilinginya. Dengan semakin bertambahnya ruangruang tidur pada ruang tengah ini, berarti meningkatkan sifat privat ruang njero ngomah, sehingga pintu tengah yang menghubungkan njero ngomah dengan jagasatru, dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak pernah dibuka atau difungsikan. Sirkulasi kegiatan anggota keluarga dari jagasatru ke njero ngomah atau sebaliknya biasanya lewat perantara pawon. Menurut Informan peneliti, bagian yang paling sakral pada rumah adat Kudus adalah ruang di antara keempat sokoguru, di bawah brunjung atap joglo pencu. Makhluk halus sebangsa jin yang menunggu beberapa rumah adat yang tidak ditempati, ditengarai bersemayam di salah
215 satu bagian konstruksi atap joglo pencu. Hingga sekarang sebagian orang Kauman dan sekitarnya tidak berani tidur tepat di bawah brunjung. Pada beberapa rumah, di ruang ini ditempatkan seperangkat meja dan kursi keluarga, sebagian rumah yang lain lebih suka membiarkannya kosong. Ada kasus menarik berkaitan dengan bagian sakral dari rumah adat Kudus seperti yang peneliti saksikan di desa Langgar Dalem. Ada sebuah rumah adat di desa Langgar Dalem yang ingin dijual, tapi selalu gagal dalam proses akhir jual beli meskipun uang muka sudah diberikan. Pemilik rumah kemudian mendatangi orang ‘pinter’ mengadukan masalahnya. Oleh orang ‘pinter’ diberitahukan bahwa jin penunggu rumah tidak mau pergi, oleh karenanya disarankan keempat sokoguru dan brunjung nya jangan ikut dijual. Tidak lama kemudian, setelah pemiliknya mengikuti saran orang ‘pinter’ itu, rumah itupun laku terjual. Ruang di bawah brunjung dengan atap jolgo pencu nya menjadi orientasi, baik bagi penghuni maupun bagi obyek-obyek lainnya; ia telah menjadi pusat, dianggap memiliki kualitas lebih dibanding dengan ruang-ruang lainnya. Pada kerangka ini, seperti dikutip Revianto Budi
216 Santosa dalam Omah, Charles Moore, Keith Bloomer dan Robert Yudell (1977) menganggap bahwa pusat bukanlah semata-mata konsep geometri. Lebih dari itu, pusat bagi mereka merupakan sesuatu yang memiliki daya untuk menarik, mengorientasikan dan memberi rasa ‘berada di dalam’ (Santosa, 2000). Sementara itu Gunawan Tjahjono menghubungkan pusat dengan kualitas dwirangkap yang saling bertentangan dan melengkapi seperti kanan-kiri, atas-bawah, suci (sakral)-kotor (profan), dalam-luar. Orang-orang Jawa Tengah bagian selatan masih menyisakan tradisi arsitektural yang kuat, berdasarkan pada praktek ide-ide pusat dan dualitas (Tjahjono, 1989). Pada awalnya di dalam njero ngomah hanya terdapat gedhongan, tempat menyimpan harta benda. Mungkin timbul pertanyaan, dimana anggota keluarga tidur? Bagi keluarga yang tidak mampu membuat kamar di kanan dan atau kiri gedhongan, orang tua tidur mengambil tempat di salah satu bagian njero ngomah yang pembatas ruangnya berupa sketsel-sketsel atau aling-aling atau dengan tirai kain. Hal inipun berlaku bagi anak ga2dis yang sudah dewasa. Bagi anak laki-laki, secara bersama-sama tidur di atas sebuah amben atau bale-bale yang lebar yang ada di salah satu bagian njero ngomah. Fasilitas tidur tidak akan menggunakan ruang di antara keempat sokoguru, tepat di bawah brunjung atap joglo pencu, sebab ruangan ini oleh sebagian penghuni dianggap sakral. Pada siang hari, pembatas-pembatas itu disingkirkan. Fungsi ruang ini sesuai dengan konsep semifixed feature nya Hall (1966), dimana suatu ruang tidak hanya diperuntukan mewadahi kegiatan tertentu saja.
217 Dalam upacara hajatan pernikahan, di njero ngomah bagian tengah, di depan gedhongan, beberapa keluarga Kauman memfungsikannya untuk acara sungkeman kedua pengantin kepada orang tua dan mertua nya. Gedhongan adalah sebuah ruangan atau bilik di njero ngomah yang berukuran kurang lebih 3m x 3m atau 3m x 4m, letaknya di bagian tengah dan agak mundur ke belakang. Pada awalnya ruang ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga, seperti emas dan berlian. Dalam beberapa kasus, gedhongan memiliki ruang rahasia lagi yang ukurannya lebih kecil, berpintu sorong (geser), terletak di bagian belakang. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam gedhongan. Beberapa keluarga Kauman, dalam perhelatan ritual pernikahan, mempergunakan gedhongan untuk pelaminan, bersandingnya pasangan pengantin dan sebagai tempat tidur keduanya di malam pertama. Malam itu merupakan malam pembuktian apakah pengantin putri benar-benar seorang perawan/masih suci. Sekarang ini, gedhongan difungsikan untuk ruang shalat keluarga (mushalla kecil) atau ada juga yang memfungsikannya sebagai kamar tidur orang tua. Berbeda dengan gedhongan dalam tata ruang rumah adat Kudus yang berfungsi untuk tempat menyimpan harta benda, yang kemudian beralih fungsi untuk tempat shalat atau tempat tidur, sentong tengah dalam tata ruang rumah tinggal tradisional Jawa, lebih bersifat sakral. Sentong tengah bukan sebagai tempat atau ruangan untuk tidur tetapi untuk menempatkan sesaji
218 bagi Dewi Sri, Dewi Padi. Kalau ada hajat pernikahan, biasanya kedua mempelai didudukkan di muka sentong tengah ini. Sentong tengah disebut juga petanen atau krobongan. Pawon Pawon artinya dapur, tempat memasak. Dalam bahasa Jawa, kata atau istilah pawon berasal dari akar kata awu yang berarti abu. Pawon berarti tempat abu, sebab jaman dulu orang-orang memasak di atas tungku dengan bahan bakar kayu, setelah pembakaran, kayukayu itu menyisakan timbunan abu di bawah tungku. Letak pawon dalam tata ruang rumah adat Kudus bisa di kanan dan atau kiri, berhimpit bangunan rumah inti dengan struktur dan konstruksi atap yang berbeda; pada umumnya berbentuk atap kampung atau ada yang mengatakan bentuk kampung gajah ngombe. Selain adanya pintu yang menghubungkan dengan jagasatru dan njero ngomah, di bagian depan pawon juga terdapat sebuah pintu yang fungsinya untuk aktifitas keluar masuk. Pawon memiliki akses langsung ke dan dari km/wc dan sumur. Jadi pawon memiliki tiga buah pintu, pertama menghubungkannya dengan njero ngomah, kedua dengan jagasatru, dan ketiga dengan latar (terus ke km/wc). Rumah adat Kudus pada umumnya memiliki pawon berukuran besar; sehingga dapat dibagi menjadi dua, yaitu pawon alit (kecil) dan pawon ageng (besar); antara keduanya tidak ada pembatas dinding. Pawon dalam kehidupan sehari-hari keluarga Kauman, tidak hanya berarti tempat untuk memasak atau dapur, tapi
219 juga sebagai ruang tamu, ruang belajar (anak-anak), menonton TV, ruang makan dan ruang keluarga. Bagi sebagian penghuni rumah tinggal di Kauman, pawon difungsikan pula sebagai tempat usaha rumah tangga (home industry) konveksi pakaian jadi dan atau bordiran. Dan sekarang ini, praktis kegiatan masak-memasak dibuatkan tempat khusus untuk itu, didekat kamar mandi, yang oleh orang-orang Kudus Kulon, dinamakan gothakan. Pawon dalam pengertian fungsi yang pertama (untuk memasak) biasanya disebut dengan istilah pawon alit, sementara dalam pengertian yang kedua biasanya disebut dengan istilah pawon ageng. Intesitas kegiatan domestik yang melibatkan interaksi antar anggota penghuni rumah rupanya lebih banyak berlangsung di pawon; ia menjadi tempat bagi semua anggota keluarga melakukan hampir seluruh aktivitas kehidupannya. Dalam beberapa kasus, anggota keluarga yang meninggal dunia juga disemayamkan di pawon. Jadi pawon menjadi bagian dari rumah adat Kudus yang paling sering berganti fungsi. Bandingkan dengan gandhok dalam tata ruang rumah tradisional Jawa. Sepertinya keduanya dapat disejajarkan. Pawon alit adalah tempat untuk masak-memasak yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. Seperti lazimnya yang berlaku dalam aktivitas sehari-hari dalam rumah tinggal Jawa lainnya, bahwa ruang ini merupakan domain perempuan. Anggota keluarga laki-laki tidak diperbolehkan ikut nimbrung, terlibat kegiatan di pawon alit. Peneliti menemukan satu keluarga di Kauman yang
220 masih memfungsikan pawon alit untuk kegiatan masakmemasak hingga sekarang. Bagi tamu perempuan dari kerabat dan tetangga dekat biasanya oleh ibu tuan rumah akan diterima di pawon ageng, begitu pula dengan penjual bakul keliling kampung yang menjajakan barang belanjaan kebutuhan sehari-hari akan diterima di ruang ini. Aktivitas pembelajaran oleh orang tua kepada anak-anaknya, yang biasanya dilakukan di malam hari, setelah shalat Isya’ dan sehabis makan malam, baik pelajaran yang berkaitan dengan bahan ajar di sekolah maupun pelajaran agama, diadakan pula di pawon ageng. Bagi keluarga Kauman yang memfungsikan pawon ageng sebagai tempat usaha home industry konveksi pakaian jadi dan atau bordiran terpaksa aktivitas sehari-hari anggota keluarga lebih banyak menggunakan ruang jagasatru. Dalam beberapa kasus, karena usahanya tidak terlalu besar, penghuni masih bisa menyekat dan membagi pawon ageng menjadi dua ruangan, di samping pawon alit yang sudah ada. Dan rumah adat yang memiliki dua pawon (di kanan dan kiri rumah inti), pada umumnya pawon yang tidak aktif disekat-sekat menjadi kamar-kamar tidur atau untuk ruang usaha. Pada umumnya kamar mandi dan wc (water closet) dalam tata ruang rumah adat Kudus menyatu dengan keberadaan sumur dan letaknya terpisah dengan bangunan rumah; ia tepat berada di depan pawon. Apabila pawon nya ada dua buah, di kiri dan kanan rumah inti, maka letak kamar mandi dan sumur adalah di depan pawon yang aktif, yang berfungsi sehari-hari. Dahulu, kamar mandi hanya dibatasi oleh dinding-dinding
221 setinggi sedikit di atas orang dewasa, dengan sebuah pintu di sebelah timur, tanpa penutup atap. Jika ada orang yang mempergunakan kamar mandi, maka dia menaruh kain nya di atas tembok sebagai ‘pemberitahuan’ bahwa kamar mandi sedang dipergunakan. Kamar mandi, walaupun letaknya terpisah dengan rumah inti dan pawon, namun privasi pemilik rumah yang melakukan kegiatan rutin masih tetap ada, tidak perlu mengkhawatirkan keberadaan orang lain, sebab adanya dinding tembok keliling halaman yang relatif tinggi. Namun bagi penghuni beberapa rumah deret di sebelah utara masjid Menara, privasi ini hilang lantaran latar nya difungsikan sebagai jalan ‘petolongan’ yang demikian menjadikannya sebagai ruang umum (public space). Keberadaan kamar mandi, baik pada tata ruang rumah adat Kudus maupun rumah-rumah tradisional Jawa lainnya, selalu terpisah dengan rumah induk. Sebagaimana Rapoport (dalam Snyder, 1985:18) kemukakan bahwa lingkungan buatan (built environment) – yang mengkiaskan cita-cita – harus mengkiaskan yang suci, maka rumah Jawa sebagai tempat tinggal manusia haruslah dapat dianggap suci. Dan hal ini ditunjukkan oleh masyarakat Jawa ketika mendirikan rumah, yaitu dengan diiringi upacara-upacara yang rumit, dari persiapan hingga setelah akhir pembangunan. Sementara kegiatan manusia yang berhubungan dengan kotoran, misalnya buang air besar, dianggap kotor, oleh karenanya keberadaan kamar mandi yang mewadai kegiatan itu harus terpisah dengan bangunan rumah yang dianggap suci.
222 5.3. Elemen Ruang dan Motif Ukiran Sebelum memasuki jagasatru, terdapat teras depan rumah yang relatif sangat sempit selebar panjang konsol kurang lebih 1 meter dan memanjang sepanjang muka rumah inti ditambah pawon. Teras ini lantainya bertrap, dan pada umumnya terdiri dari tiga trap, yang menurut penuturan salah seorang penghuni rumah melambangkan tiga tingkatan yang dialami oleh seorang muslim dalam berkehidupan keagamaan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Konsol-konsol yang menyangga tritisan teras terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif daun dan bunga; bentuknya ada yang seperti belalai gajah. Binatang gajah melambangkan keagungan; ia pada jaman dulu dipakai kendaraan sang raja, baik untuk berperang maupun berpergian. Dalam masyarakat Jawa, bentuk gajah juga dijumpai pada bentuk hulu keris. (Gambar 14).
Gambar 14. Konsol teras berbentuk belalai gajah (Sumber: Sketsa penulis)
Lobang pintu masuk ke jagasatru ada tiga buah yang masing-masing mempunyai lebar kurang lebih 1-
223 1,75 meter; letaknya berjejer. Lobang pintu yang di tengah berdaun pintu dua dilengkapi dengan kunci gembok di bagian dalam; pintu ini jarang dibuka, disebut pula pintu inep. Daun pintunya tidak banyak ukiran. Tetapi di depan bagian atas pintu (bukan bagian dari daun pintu) terdapat ornamen ukiran bermotif daun dan bunga. Elemen ini seolah-olah sebagai kepalanya lobang pintu. Kondisi seperti ini mengingatkan kita kepada bentuk ornamen kala di atas lobang masuk candi. Kala melambangkan penolak bala atau keamanan. Lobang pintu di sebelah kanan dan kiri pintu inep ditutup dan dibuka dengan perantaraan pintu sorong. Ada dua pintu sorong, yaitu di sebelah luar yang biasa disebut pintu kere dan di sebelah dalam berupa pintu berpanil. Berarti ada 4 buah pintu sorong di rumah inti (induk). Pintu kere mempunyai panjang kurang lebih 1,5-2 meter dan tinggi 2,25 meter, namun separo bagian atasnya berlobang, hanya rangkanya saja; rangka paling atas juga berfungsi sebagai ‘penggeser’ pintu, sebab pada bagian bawah pintu sepertinya tidak terdapat rel, sehingga sifatnya menggantung. Separo bagian pintu bagian bawah dibagi menjadi dua bidang oleh adanya tiga ambang yaitu atas, tengah, dan bawah. Dua bidang diisi dengan jeruji kayu yang disusun berdiri. Pada ambang atas terdapat hiasan ukir dengan motif daun dan bunga; ambang tengah terdapat hiasan ukir dengan motif burung phoenix; dan pada ambang bagian bawah terdapat hiasan ukir dengan motif swastika, dan di sebagian rumah bermotif arabesk. (Gambar 15).
224
Gambar 15. Tampak dan detail ornamen pintu sorong (Sumber: Sketsa penulis)
225 Bapak Kufa, usia sekitar 60-an, asal desa Demangan, menceritakan kepada peneliti tentang ukiran rumah adat Kudus. Tidak diragukan lagi bahwa motif ukiran rumah adat Kudus sangat dipengaruhi oleh seni Cina. Motif naga pada ancik-ancik, motif burung hong atau phoenix dan motif seperti bentuk obat nyamuk (maksudnya bentuk meander) pada pintu sorong kere adalah sangat jelas berasal dari seni Cina. Motif burung phoenix menurut cerita setempat adalah pengaruh dari seni Cina. Motif ukiran burung phoenix dimasukkan dari negeri Tiongkok ke sini, dan oleh karena itu hanya terdapat di tempat-tempat yang mendapat pengaruh-pengaruh kuat dari negeri Cina. Bisa jadi motif ini dibawa ke Kudus oleh generasi Kyai Telingsing, sekitar abad ke-XVI Masehi. Burung phoenix dapat dikenali dari ekornya yang panjang dan bergelombang. Dalam kultur Jawa, binatang burung melambangkan dunia atas. Motif swastika atau banji adalah melambangkan alam semesta; ia lambang dari peredaran bintang-bintang. Bentuk swastika, oleh orang-orang Jawa pada umumnya dianggap sebagai tanda pembawa tuah. Selain itu, swastika merupakan lambang dinamika dunia, yang mana kehidupan selalu berlangsung dan menciptakan keseimbangan jagad – manunggaling kawula lan gusti – antara makrokosmos dan mikrokosmos. Motif swastika pada rumah adat Kudus pada umumnya dipakai untuk
226 pengisi bidang, yang terdiri dari gambar-gambar bergaris lurus. Mungkin ragam hias swastika juga berasal dari negeri Cina. Sementara itu, motif arabesk, sesuai dengan namanya, berasal dari Timur Tengah, dari tradisi Islam. Motif ini berupa gambar garis lurus yang saling berpotongan membentuk pola tertentu, tanpa pangkal dan ujung. Motif arabesk melambangkan bahwa Allah itu tidak berawal dan tidak berakhir. Pintu sorong pada bagian dalam berupa pintu berpanil dengan ornamen geometri bentuk segiempat dikombinasikan dengan bentuk mendekati setengah lingkaran di atasnya; seperti bentuk pintu atau jendela masjid, sehingga ada yang mengatakan motif masjid. Kondisi ini seperti pada gebyok bagian depan, di kanan dan kiri lobang pintu, yaitu terdapat hiasan dengan motif masjid polos, tanpa ukiran. Motif masjid diduga kuat berasal dari pengaruh Islam terutama pada bangunan masjidnya itu sendiri. Ketinggian peil lantai jagasatru dari tanah halaman (latar) sekitar 60 cm; untuk naik dari halaman dibuatkan trap pada teras depan. Di dalam ruang jagasatru terdapat satu atau dua tiang yang disebut sanggah, letaknya di depan sebelah kanan dan atau kiri pintu utama (masuk ke njero ngomah). Letak posisi tiang, menurut Informan peneliti, menjelaskan tentang status pemilikan rumah. Apabila letaknya di sebelah kanan (dilihat dari arah njero ngomah ke jagasatru) menunjukkan bahwa yang membangun rumah adalah pihak laki-laki, sedangkan bila letaknya di sebelah kiri berarti dibangun oleh pihak perempuan; dan jika tiangnya ada dua, di sebelah kanan dan kiri berarti rumah dibangun bersama suami istri.
227 Ketentuan letak sanggah di sebelah kiri atau kanan memang masih rancu tetapi keberadaannya bisa diterima akal, yaitu dalam rangka mengantisipasi masalahmasalah yang akan timbul berkaitan dengan pembagian hak waris. Tiang sanggah yang berada di jagasatru, ada yang dibiarkan polos tanpa ukiran, namun dalam beberapa kasus, meskipun secara sederhana ia tidak luput dari ukiran, yaitu dengan motif tumpal pada bagian paling bawah dan atas tiang. Motif ini juga dijumpai pada dinding menara kuno Kudus. Dalam seni bangunan Hindu Jawa, yaitu di dinding-dinding candi, banyak dijumpai motif tumpal; biasanya ia diisi dengan ragam hias tumbuh-tumbuhan (tumpal berhias). Motif tumpal pada rumah adat Kudus ada dua macam, yaitu tumpal polos dan tumpal berhias atau orang Kudus menyebutnya dengan motif pedang-pedangan. Motif tumpal digambarkan pula sebagai tunas pohon bambu (rebung) yang memiliki daya tumbuh yang sangat cepat; ia melambangkan kesuburan. Antara jagasatru dengan njero ngomah dan pawon dibatasi oleh gebyok, dinding panel kayu yang dipenuhi dengan ukiran. Karena gebyog yang diukir meliputi tiga bidang - kanan, kiri dan belakang - maka ia disebut sebagai leter U. Jika seseorang akan membeli rumah adat, salah satu pertanyaan yang diajukan: ‘leter U ne apik opo orak?’ yang artinya ‘leter U nya baik apa tidak?’. Maksudnya adalah kondisi ukiran pada tiga bidang di jagasatru itu komplit dan tingkat kerumitannya tinggi atau tidak. Bagian jagasatru dalam rumah adat Kudus
228 merupakan patokan nilai sebuah bangunan rumah adat jika rumah itu akan dijual. (Gambar 16).
Gambar 16. Sanggah di ruang jagasatru (Sumber: Sketsa penulis)
229 Pada umumnya, wujud ukiran pada gebyok rumah adat Kudus meliputi tiga jenis pahatan kayu dengan teknik tinggi, yaitu: (a) berupa pahatan yang bisa dilepas dari dasarnya; (b) berupa pahatan yang menembus bidang dasarnya/krawang; dan (c) berupa pahatan yang bentuknya masih melekat pada bidang dasar dan timbul dari bidang dasar. Sebagian besar bidang permukaan ketiga gebyok jagasatru (leter U) dipenuhi dengan ragam hias ukiran berteknik tinggi, yang sebagian besar berupa jenis ukiran krawang. Pada umumnya motif-motif yang diukir adalah bentuk tanaman, daun, dan bunga yang berwujud sulursuluran; salah satu diantaranya yang sering muncul adalah pohon dan bunga teratai. Pada gebyok tengah, di kanan dan kiri pintu tengah, terdapat susunan bentuk ragam hias dengan motif masjid yang bidang dalamnya dipenuhi ukiran bermotif tanaman berwujud sulur-suluran yang keluar dari sebuah jambangan (pot). Dalam beberapa kasus, pada ukiran bermotif tanaman, terdapat ukiran berbentuk burung Nuri sedang bertengger di atas dahan. Pada salah satu panil gebyok, bidang dengan motif masjid dirancang menjadi sebuah jendela kecil (berjeruji kayu dengan posisi berdiri) yang bisa dibuka dan ditutup; ia dinamakan juga jendela intip. Pada bagian-bagian tertentu pada dinding gebyok jagasatru, dibuat ukiran-ukiran tembus yang kemudian di sisi baliknya (bagian belakang) ditambahkan background berupa kertas berwarna kuning emas, sehingga terlihat lebih menonjol ukirannya. Pada setiap permukaan bidang tiang-tiang yang terlihat, penuh dengan ukiran dari bagian
230 bawah hingga atas. Motif ukirannya berupa sulur-suluran tanaman dan daun beserta bunga melati, dan pada bagian atas terdapat hiasan ukir geometri berupa pertalian garis yang tidak berpangkal dan tidak berujung dalam sebuah bidang segienam panjang (motif arabesk). Di bagian paling atas tiang terdapat ragam hias dengan motif kelopak daun yang bentuknya seperti jari-jari manusia; jumlah kelopaknya ganjil, tiga, lima, ataupun tujuh. Tetapi kebanyakan yang dijumpai, jumlah kelopaknya lima buah. Pada bagian tengah tiang terdapat hiasan kombinasi bentuk bujur sangkar dan belah ketupat yang bidang dalamnya dipenuhi ukiran. Motif ukiran yang terdapat pada gebyok jagasatru, disamping menampilkan keindahan bagi yang melihatnya, ia juga mengandung beragam makna. Untuk bisa menangkap makna, kita harus menelusuri latar belakang keberadaan motif-motif ukiran itu. Seperti yang paling umum dijumpai yaitu motif tanaman berbentuk sulursuluran, ia tumbuh subur dan berkembang dalam tradisi Hindu Jawa. Motif tanaman yang sedang keluar dari jambangan banyak dijumpai pada motif relief candi-candi di Jawa; ia melambangkan kesuburan. Motif bunga teratai, dalam adat istiadat Jawa mengandung makna kekuasaan, oleh karena itu, jaman dulu kain batik yang menggunakan motif bunga teratai hanya dipakai oleh raja. Dan motif pohon dan bunga teratai yang berwujud sulursuluran, ia mengandung makna kesuburan. Sebenarnya sulur teratai adalah akar tinggalnya, melilit menyerupai tali yang bergelombang, pada jarak-jarak yang teratur ada buku-buku (ruas-ruas) dan dari sinilah selalu keluar tangkai daun, yang bentuknya seperti pilin; pilin-pilin ini
231 mengikal sekali ke kanan, sekali ke kiri berganti-ganti. Sementara itu, motif sulur melati yang juga banyak dijumpai dalam ukiran gebyok rumah adat Kudus, melambangkan kesucian. Dalam tradisi Islam Jawa, bunga melati melambangkan kehadiran agama yang suci. Motif sulur melati dikenal pula dengan istilah sekar rinonce atau rangkaian bunga melati. Dalam ritual pernikahan di keluarga Jawa, pada umumnya, sekar rinonce digunakan sebagai hiasan di atas kepala pengantin perempuan. Sementara itu ragam hias berbentuk ilmu ukur geometri, seperti bujur sangkar, belah ketupat dan segitiga (termasuk tumpal) sudah ada sejah zaman prasejarah. Dalam zaman batu telah ditemukan ragam hias ilmu ukur, yaitu terdapat pada pecahan barangbarang yang terbuat dari tanah, seperti gerabah. Berkaitan dengan bentuk ragam hias ilmu ukur, tradisi Jawa mengenal istilah saton dan wajikan. Dinamakan saton karena hiasan ini mirip kue satu (kue yang dibuat dengan cetakan), berbentuk bujur sangkar dengan hiasan daun-daunan atau bunga-bungaan. Hiasan saton ini dibuat oleh ahli-ahli ukir berpengalaman untuk tiangtiang rumah bangsawan Jawa. Sedangkan istilah wajikan berasal dari kata wajik, yaitu nama sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan dan gula kelapa. Bentuk wajik ini sebenarnya adalah varian bentuk belah ketupat. Dalam ukiran rumah adat Kudus juga ditemukan motif burung. Secara umum motif burung, menurut kepercayaan orang Jawa, selain melambangkan dunia atas, ia menjadi lambang roh orang yang telah meninggal
232 yang sedang naik ke sorga. Sementara itu motif burung Nuri yang sedang bertengger di atas dahan tanaman, dalam kultur Hindu Jawa, melambangkan alam dewa; ia dianggap sebagai burung dari dewa asmara, Kamadewa. Pada salah satu bagian gebyok Jagasatru bagian belakang, yang menjadi pembatas antara jagasatru dan njero ngomah terdapat jendela kecil berjeruji kayu yang dikenal dengan jendela intip; dahulu berfungsi untuk melihat bagi perempuan kepada calon suaminya yang sedang berada di jagasatru. (Gambar 17). Berkaitan dengan keberadaan jendela intip ini, Informan peneliti, bapak Chamdan, menuturkan: Setiap rumah di Kudus pasti ada jendela kecil berjeruji kayu di jagasatru. Dari luar orang tidak bisa melihat ke dalam, tapi dari dalam orang bisa melihat ke luar. Dan juga setiap rumah pasti letak km/wc nya berada di luar, di depan rumah, tepatnya di depan pawon. Hal ini bukan tidak ada maksudnya. Jika seorang laki-laki yang ingin melihat calon istrinya, setelah mendapat restu dari orang tua pihak perempuan, akan bisa melihatnya saat calon istrinya itu menuju ke km/wc dari pintu pawon. Sedangkan pihak perempuan bila ingin melihat calon suaminya bisa dari jendela kecil itu, saat calon suaminya bercakap-cakap dengan orang tuanya di jagasatru.
233
Gambar 17. Jendela intip, dilihat dari njero ngomah (Sumber: Dokumentasi penulis)
Perabot yang ada di dalam jagasatru meliputi dua perangkat meja kursi tamu; satu dengan model pendek untuk tamu wanita, terletak di sebelah kiri atau kanan yang dekat dengan pintu yang menghubungkan ke pawon, dan seperangkat yang lain dengan model agak sedang terletak di seberangnya, untuk tamu laki-laki. Di tempat laki-laki ini pula acara akad nikah (pembacaan ijab kabul) suatu pernikahan berlangsung. Dengan adanya model perabot yang berbeda sudah menunjukkan bahwa di jagasatru, meskipun tanpa elemen pembatas secara fisik, terbagi menjadi dua ruang yaitu ruang laki-laki dan ruang perempuan. Pembatas non-fisik ini mengambil bentuknya dalam suatu regulasi, baik yang mempersilahkan ataupun melarang orang memasuki wilayah atau ruang tersebut. Di tengah-tengah, di jagasatru, antara domain tamu laki-laki
234 dan perempuan, digantungkan sebuah lampu yang bentuk dan modelnya jelas menunjukkan bahwa perlengkapan penerangan ini berasal dari Eropa. (Gambar 18).
Gambar 18. Tata letak perabot di ruang jagasatru (Sumber: Sketsa penulis)
Berkaitan dengan hal di atas, Waterson berpendapat bahwa pembentukan makna di dalam rumah dapat terwujud, tidak hanya melalui tubuh manusia itu sendiri, baik penempatannya dalam ruang, pergerakannya melalui ruang, dan dalam interaksi spasial antar pengguna, tetapi juga melalui pemosisian dan manipulasi obyek-obyek di dalam ruang (Waterson, 1997).
235 Tepat di depan pintu utama (tengah) terdapat ancik-ancik atau pijakan kaki yang terbuat dari kayu berukir, sebab terdapat perbedaan tinggi antara peil lantai jagasatru dan njero ngomah, yaitu sekitar 70 cm. Pada ancik-ancik dijumpai ragam hias ukiran dengan motif tanaman, di bagian tengah muncul motif mahkota dan di bagian kedua pinggirnya muncul motif ular naga. Motif mahkota, menurut penuturan sebagian pemilik rumah, berasal dari kultur Eropa. Namun, menurut peneliti, dalam kultur Hindu Jawa, mahkota yang dalam tradisi Hindu Jawa dikenal dengan makuto sejak jaman dulu sudah menjadi unsur kehidupan yang penting, bahkan hingga periode Islam Jawa. Hal ini diperlihatkan dengan hampir semua bangunan masjid tradisional Jawa di puncak atapnya terdapat makuto atau mustoko. Di pulau Bali, di daerah Gianyar, di sepanjang jalan Celuk, banyak dijumpai bangunan yang di bagian atas atapnya terdapat ornamen mahkota. Jadi, menurut peneliti, motif mahkota dalam ukiran rumah adat Kudus lebih mendapat pengaruh dari kultur Hindu Jawa. Dalam kultur Hindu Jawa, binatang ular bermahkota (naga) melambangkan dunia bawah dan masuk ke dalam golongan jenis perempuan. Selain itu, ular naga juga melambangkan sebagai penjaga dan pelindung. Dalam seni Cina, ular naga melambangkan kekuatan. Dengan memperhatikan letak ancik-ancik, yaitu berada di bawah dan ia digunakan untuk pijakan kaki, maka menurut peneliti, motif ukiran ular naga pada ancik-ancik rumah adat Kudus adalah berasal dari kultur Hindu Jawa. (Gambar 19).
236
Gambar 19. Motif ukiran naga pada ancik-ancik (Sumber: Dokumentasi penulis)
Pintu tengah yang menghubungkan jagasatru dengan njero ngomah berupa pintu berdaun dua tanpa ukiran yang berarti. Pada bagian luar ambang atas kusen pintu terdapat elemen ruang yang penuh dengan ukiran bermotif tanaman; tepat dibagian tengah berbentuk seperti kepala, seakan-akan sebagai kepalanya pintu; seperti keberadaan kala pada candi. Pada ambang kanan dan kiri kusen terdapat konsol; konstruksi bentuk segitiga penguatnya dipenuhi ukiran motif sulur gelung bunga melati. Di antara dua konsol, menyatu dengan blandar atau sunduk, terdapat juga elemen ruang yang diukir dengan sangat indah dengan motif tanaman dimana tepat pada bagian tengahnya muncul ukiran berbentuk buah nanas atau ada yang menyebutnya sarang lebah dengan wujudnya yang mendekati naturalis, sangat mengagumkan. Filosofi bentuk nanas atau sarang lebah, menurut bapak Bukhari, seorang seniman ukir asal desa
237 Janggalan Kudus Kulon, adalah perlambang banyaknya rizki bagi pemilik rumah dan diharapkan rumah bisa menyimpan rizki dengan baik. (Gambar 20).
Gambar 20. Motif ukiran bentuk sarang lebah (Sumber: Sketsa penulis)
Di tengah-tengah njero ngomah terdapat empat buah sokoguru yang menjadi pendukung utama struktur dan konstruksi atap. Lantai terbuat dari susunan papan kayu jati atau disebut dengan gladag, dengan peil lantai kurang lebih 130 cm dari peil halaman. Pada bagian tengah hingga ke belakang njero ngomah, kadang-kadang terdapat peninggian peil lantai lagi kurang lebih 10 - 20 cm, lebih menyerupai amben yang luas tanpa kaki. Perabot yang terdapat di njero ngomah antara lain dua buah kotak kecil atau botekan di sebelah kanan dan kiri depan gedhongan berfungsi untuk menyimpan alatalat kecantikan, dan sebuah lagi untuk menyimpan obat-
238 obatan dan jamu. Di depannya terdapat satu atau dua buah meja marmer yang dilengkapi kursi, sebagai meja berhias anak-anak gadis. Menempel gebyok di samping kanan dan atau kiri terdapat almari untuk menyimpan pakaian dan yang lain untuk menyimpan barang pecah belah. Di sebagian rumah adat, gebyok njero ngomah bagian belakang dan atau samping yang tidak berbatasan dengan pawon dibuat melengkung keluar, tidak berdiri lurus sebagaimana layaknya sebuah bangunan. Menurut bapak Bukhari, hal ini dimaksudkan agar pemilik rumah banyak rezekinya. (Gambar 21).
Gambar 21. Gebyok melengkung pada rumah adat Kudus (Sumber: Sketsa penulis)
239 Di sebelah kiri dan atau kanan njero ngomah terdapat pintu yang menghubungkan ke pawon. Pintu berukuran agak besar dan pada separo bagian atas didisain seperti jendela, sehingga orang di njero ngomah dan pawon bisa saling berkomunikasi tanpa harus membuka pintunya, tetapi cukup membuka daun jendela di bagian atas pintu. Tiang-tiang utama atau sokoguru sengaja dibiarkan polos, begitu pula umpaknya; hal yang juga membedakan dengan rumah joglo di Jawa Tengah bagian selatan. Menurut cerita setempat, pada salah satu tiang telah diberi rajah untuk menghindari kejahatan orang yang ingin masuk ke dalam njero ngomah dan gedhongan. Wujud rajah tidak kelihatan, karena berupa unsur-unsur non fisik. Kapitel keempat tiang diberi ornamen berupa susunan lapisan bentuk bintang delapan atau dikenal dengan ragamaya yaitu di antara balok-balok tutup kepuh dan pengerat di satu pihak dan sunduk dan kili-kili di pihak lain. Di tengah-tengah, di antara dua tiang sokoguru yang memanjang ditempatkan sesanten yang penuh ukiran; posisinya segaris dengan kapitil. Pada ujung-ujung kedelapan balok horisontal terdapat hiasan dengan motif tumpal. Uleng pada pemidangan (ruang yang terbentuk oleh keempat tiyang sokoguru) disusun lapis demi lapis ke atas semakin mengecil; setiap lapis atau tumpang mempunyai nama sendiri-sendiri dan ornamen yang berlainan. Susunan seperti ini biasanya dikenal dengan tumpang sari. Jumlah lapisan menunjukkan tingkat derajat dan kemampuan ekonomi, biasanya ganjil dan paling banyak 9
240 buah. Menurut Bukhari, urut-urutan dan nama-nama lapisan atau tumpang pada uleng adalah sbb: Lapisan Lapisan Lapisan Lapisan Lapisan Lapisan Lapisan Lapisan
pertama kedua ketiga keempat kelima keenam ketujuh kedelapan
Lapisan kesembilan
: : : : : : : :
Lowo gemandul Buto mesem Blarak sineret Walang gumpung Sinom widodo Pandan waringin Sinom waringin Mlati putih atau Bang binthulu : Sinom panutup
Ragam hias berupa ukiran juga dapat dijumpai pada gebyok bagian depan gedhongan. Sebagaimana gebyok-gebyok tengah dan depan, gebyok pada gedhongan pada prinsipnya berupa panil-panil dengan susunan hiasan motif masjid yang sebagian bidang dalamnya dihias dengan ukiran. Elemen ruang yang berupa ragam hias ukiran ditambahkan di depan bagian atas dan sebagian samping kanan dan kiri pintu masuk ke dalam gedhongan. Motif-motif yang bisa dilihat adalah motif sulur-suluran tanaman yang keluar dari pot, daun dan bunga melati, dan munculnya sebuah bentuk piala di bagian tengah. Motif piala, kemungkinan besar berasal dari pengaruh Eropa. Di sebagian rumah juga muncul motif binatang yaitu kijang, yang melambangkan kelincahan dan kecakapan dalam berusaha. Ada kalanya di dalam gedhongan terdapat sebuah kamar rahasia yang ukurannya relatif kecil dan dilengkapi
241 dengan pintu sorong atau geser yang ukurannya juga sangat kecil. Letak pintu ini, ada yang di bagian belakang dan ada juga yang justru di bagian bawah atau lantai gedhongan. Seorang Informan menceritakan bahwa salah satu faktor yang mendorong para pemilik rumah tinggal adat Kudus menggunakan gladag di njero ngomah dan atau di gedhongan adalah dalam rangka memudahkan pengamanan harta benda miliknya. Gedhongan ini mudah diangkat dan dipindahkan. Banyak rumah adat dikatakan tidak lengkap lagi karena tanpa adanya gedhongan yang sudah dijual. Bagian rumah adat Kudus yang praktis tidak ada ragam hias ukirannya adalah pawon. Hal ini bisa dipahami karena konsep awal pawon adalah tempat abu, yang apabila terdapat ukiran kayu di dalamnya maka akan selalu dalam keadaan kotor dan berdebu, dan sepertinya akan membuat sia-sia tenaga para pengukir yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengerjakannya. Belum lagi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk setiap pembersihannya. Menurut penuturan Informan peneliti, waktu yang dibutuhkan untuk mengukir satu rumah adat, dengan tenaga berjumlah enam orang dan menginap, kurang lebih 10 tahun. Semua tenaga pengukir didatangkan dari Jepara. Mereka pulang ke Jepara setiap bulan sekali. Sementara itu, rumah adat Kudus memerlukan perawatan serius, yaitu setiap dua tahun sekali harus
242 dibersihkan dengan menggunakan air merang dan air rendaman gedebok (batang pohon pisang). Sebelum ukiran digosokgosok , disiram dulu dengan air merang dan air rendaman gedebok. Kemudian secara pelan-pelan dan hati-hati, ukiran digosokgosok dengan sikat ijuk yang sudah dicelupkan ke dalam air merang dan air rendaman tadi. Biasanya pekerjaan pembersihan ini dilakukan oleh dua atau tiga orang dan membutuhkan waktu dua atau tiga bulan. Sekarang ini, ongkos ratarata per orang per hari sekitar Rp. 20.000 – 40.000. Perabot yang terdapat di ruang pawon meliputi seperangkat meja kursi makan, dan beberapa perabot yang lain seperti lemari tempat menyimpan barang pecah belah, meja dan kursi belajar, lemari dan rak kecil untuk menyimpan barang-barang keperluan dapur. Dalam beberapa kasus, di bagian ruangan pawon ditempatkan pula sebuah amben untuk duduk-duduk dan tiduran.
BAB VI TATA RUANG MASJID DAN MAKAM 6.1. Kompleks Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Masjid Menara Kudus, seperti halnya masjid Agung Demak, masjid Kadilangu (Demak) dan masjid Mantingan (Jepara), dapat digolongkan sebagai masjid makam, karena keberadaannya menjadi satu kompleks dengan makam-makam tokoh yang dihormati dan dikeramatkan. Tradisi Islam Jawa mengakomodir usaha-usaha untuk memuliakan tokoh-tokoh panutan yang sudah meninggal; lalu di atas kuburnya dibangun sebuah cungkup yang megah. Makamnya yang tidak lebih dari sebuah kijing atau jirat dikeramatkan; arwahnya dimintai kekuatan untuk mengabulkan apa yang dikehendaki oleh para peziarah. Dengan demikian, masjid makam merupakan suatu bentuk sinkretisme. Kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus, yang dahulunya diduga sebagai pusat kota Kudus Kuno, terletak di wilayah Kudus Kulon (Barat), menempati areal kurang lebih 0,75 hektar. Areal seluas ini diperuntukan bagi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan masjid, menempati areal seluas kurang lebih 2.500 m2 dan kegiatan yang berhubungan
243
244 dengan makam, menempati areal seluas kurang lebih 5.000 m2. Kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus bisa dibagi menjadi 11 zoning, dengan pembagian: 1 zoning untuk kegiatan masjid, 9 zoning untuk kegiatan makam dan 1 zoning untuk kegiatan penunjang makam. Pada zoning I terdapat bangunan masjid (dan tempat wudlu), madarasah, menara, dan dua buah kori agung yang sekarang berada di dalam masjid (akibat dari perluasan masjid). Di depan masjid terdapat sebuah candi bentar yang merupakan gerbang utama untuk kegiatan masjid. Zoning II berada di sebelah Selatan zoning I, berupa pelataran. Bagi seseorang yang akan melakukan ziarah ke makam harus masuk ke dalam zoning ini melewati sebuah kori agung1, yang terletak di bagian depan. Jadi kegiatan masjid dan makam memiliki pintu masuk yang berbeda. Dari zoning I bisa masuk ke zoning II lewat sebuah kori agung di bagian samping. Di dalam zoning II, biasa orang-orang menjajakan barang-barang asesoris dan buku. Di sebelah Barat zoning II terdapat zoning III yang berfungsi sebagai areal parkir untuk kendaraan roda dua (motor dan sepeda). Di sebelah Barat zoning III terdapat zoning IV yang di dalamnya terdapat dua buah bale-bale (sementara ini sebagai tempat penitipan barang-barang bawaan pengunjung seperti tas, payung, sepatu, dsb), dan sebuah bangunan beratap tajug Kori agung, gerbang utama untuk prosesi makam, oleh sebagian masyarakat setempat dianggap keramat. Ada kepercayaan apabila ada pejabat atau pimpinan daerah atau bahkan nasional memasuki gerbang ini maka kedudukannya akan jatuh atau hilang. 1
245 yang berfungsi sebagai ‘pusat informasi’. Oleh orang-orang Kauman dan sekitarnya, kedua bale itu dinamakan bale babut. Tidak seperti pada bangunan yang lain, bale babut disangga oleh dua tiang, di bagian atas menggunakan konstruksi kuda-kuda kayu yang diukir sangat bagus, dan diujung tiang dipahatkan kelopak bunga. Di sebelah pojok Barat Laut terdapat tempat wudlu berupa sebuah sumur tua. Zoning V - X yang terletak di sebelah Utara zoning IV dan di sebelah Barat zoning I adalah merupakan zoningzoning pekuburan. Mulai memasuki zoning ke V hingga ke X, pengunjung tidak diperbolehkan mengenakan alas kaki, dan dianjurkan untuk bersuci (berwudlu) terlebih dahulu. Pada kegiatan makam yang prosesnya dilaksanakan secara berurutan, dari zoning II hingga X, para pengunjung harus melewati kori agung di tiap-tiap memasuki zoning berikutnya, kecuali dari zoning V ke VI (melewati candi bentar) dan dari zoning IX ke X (sebenarnya areal keduanya menjadi satu, sebagian terbuka dan sebagian lagi beratap). Dari zoning VII, pengunjung bisa masuk ke zoning VIII, dimana cungkup milik Sunan Kudus berada, atau langsung ke zoning IX. Sementara itu zoning XI difungsikan sebagai areal penunjang kegiatan makam. Dahulu zoning XI ini adalah areal pemakaman umum; ia sekarang difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang keperluan makam, dan sisanya berupa lahan kosong. Pintu masuk dan keluar zoning XI terpisah dengan zoning-zoning lainnya, yaitu terdapat di sebelah Selatan, dari arah perkampungan Kauman. (Gambar 22).
246
Gambar 22. Zoning kompleks masjid Menara Kudus (Sumber: Sketsa penulis)
6.2. Bentuk dan Konstruksi Bangunan Masjid Berkaitan dengan keberadaan awal masjid Menara, salah seorang sesepuh Kauman bernama bapak Fathi Hidayat, usia sekitar 70-an tahun, mengatakan: Pada umumnya para sesepuh Kauman tidak berani atau tidak suka apabila bangunan masjid, menara dan tokoh Sunan Kudus dikorekkorek ceritanya. Mereka takut tidak bisa memberi keterangan yang benar, sebab
247 datanya memang tidak ada, kecuali hanya satu peninggalan sejarah yaitu inskripsi yang ada di atas pengimaman masjid yang hingga kini masih bisa dilihat. Sehingga ketika terjadi polemik tentang sejarah bangunan menara di media masa pada tahun 1970-an, pihak Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) dan para sesepuh di Kauman sendiri tidak memberikan tanggapan atau komentar; hal ini sempat membuat kesal pihak-pihak yang berpolemik. Selanjutnya, dengan setengah hati bapak Fathi Hidayat menceritakan awal mula masjid Menara: Pada awalnya masjid menampung 200 jamaah. Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1918-1919. Bangunan masjid dibangun hingga bangunan serambi dalam. Dan juga bangunan untuk madrasah di sebelah Selatan masjid, serta bangunan untuk kegiatan-kegiatan peringatan hari besar Islam, terutama peringatan maulud Nabi Muhammad SAW, yang terletak di sebelah muka – Timur Laut – bangunan masjid, berlantai dua. Bangunan yang terakhir ini, bagian bawah sebagian terbuka tanpa dinding dan sebagian lagi tertutup yang difungsikan untuk acara pernikahan
248 warga Kauman dan sekitarnya, sedangkan bagian yang terbuka, pada peringatan maulud Nabi, untuk tempat jajan pasar yang berasal dari sumbangan warga. Pada bagian atas, lantainya terbuat dari papan kayu dan tanpa dinding; di sini ditempatkan sebuah bedug. Peneliting, pada tahun 1960-an, bangunan ini roboh diterjang angin. Berdasarkan data sejarah, wujud bangunan masjid Menara Kudus mulai terlihat setelah dilaksanakan pembangunan pada tahun 1919 Masehi. Pada saat itu, luas bangunan masjid mencakup gapura kori pertama (sekarang berada di dalam ruang utama masjid) dengan atap tajug. Di samping kirinya juga sudah selesai dibangun sebuah madarasah (madrasah Qudsiyah). Pada tahun 1925 M, bangunan masjid diperluas lagi, ditambahkan serambi, sampai ke pintu gapura kori kedua (sekarang berada di ruang serambi masjid). Dan pada tahun 1933 M, bangunan masjid ditambah serambi lagi sampai halaman paling depan dengan pelindung atap berbentuk kubah. Di sekeliling atap kubah bagian dalam tertera nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW dengan tulisan Arab, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar Ash-shiddiq, Umarbin Khatab, Utsman bin Afan, Ali Karamallaahu Wajhah, Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan nama-nama imam yang empat yaitu Syafe’ie, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
249 Arsitektur masjid Menara Kudus menampilkan sesuatu yang lebih modern dan bergaya Timur Tengah. Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama yang baru saja datang dari bermukim di Mekah dan Madinah dalam rangka menuntut ilmu-ilmu agama pada abad ke XVIII dan XIX M. Mereka telah membawa aliran generasi kedua dalam arsitektur masjid ke pulau Jawa; dari generasi arsitektur masjid wali ke generasi arsitektur masjid kubah. Pada tahun 1960 M, dilakukan perbaikan lagi, yaitu pada bangunan utama masjid, yang semula tingginya 13,25 meter dinaikkan menjadi 17,45 meter. Ruang utama masjid ditutup dengan atap tumpang tiga dengan beberapa konstruksi jendela kaca di sela-sela atap tumpangnya. Pada tahun 2001 yang lalu, tempat wudlu di bagian Selatan yang bersebelahan dengan madrasah direnovasi sekalian dengan pembangunan madrasah menjadi dua lantai; di bagian bawah sebagian untuk fasilitas wudlu dan sebagian lagi untuk areal shalat, dan di bagian atas untuk madrasah. Berdasarkan sebuah foto kuno yang diperkirakan diambil paling awal tahun 1925 M dan sebelum tahun 1933 M, memperlihatkan sebuah bangunan menara besar dengan latar belakang bangunan masjid yang terlihat agak kecil dengan sebuah serambi di depannya. Terlihat, walaupun kurang jelas, bahwa bangunan masjid memiliki atap tumpang dua, bukan tumpang tiga, pada bagian puncaknya terdapat mustoko; sedangkan serambi beratap limasan. Bangunan masjid dengan atap tumpang dua muncul kemungkinan besar sejak tahun 1919 M. Luas
250 bangunan masjid yang dinaungi atap tumpang dua diperkirakan mencapai 390 m2, yang bisa menampung kurang lebih 650 jamaah (luas per orang: 0,60 m2). Lalu, bagaimana bentuk bangunan masjid sebelumnya? Tentang keadaan masjid selama kurun waktu lebih dari tiga setengah abad, sejak berdirinya pada tahun 1549 M hingga tahun 1919 M, tidak banyak diketahui. Secara visual, bentuk masjid Menara Kudus mencerminkan sebuah produk arsitektur tanpa perencanaan yang matang, perbaikan-perbaikan yang dilakukan terhadapnya terkesan asal mathuk sehingga keharmonisan antar elemen-elemen bangunan tidak terlihat. Arsitektur masjid Menara Kudus, selain didominasi oleh keberadaan batu besar Menara, juga oleh atap kubah yang menaungi atap serambi paling timur dan atap tajug tumpang tiga yang menaungi ruang utama shalat dibagian paling Barat bangunan masjid. Mengapa ruang utama masjid Menara beratapkan tajug tumpang tiga? Seperti halnya masjid-masjid tradisional di Jawa bahkan di banyak wilayah Nusantara, jumlah tumpang pada konstruksi atap tajugnya selalu ganjil, biasanya 3 dan ada kalanya 5. Ternyata angkaangka itu merupakan sandaran dari sistem klasifikasi simbolik orang Jawa. Menurut Koentjaraningrat, sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan pada 2, 3, 5 dan 9 katagori. Sistem yang didasarkan dengan dua katagori dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya berlawanan, seperti kanan-kiri, atas-bawah, tinggi-rendah, dsb. Sistem dengan tiga katagori adalah dengan menambah satu unsur pada dua katagori sebagai penengah (Koentjaraningrat, 1984:428-431). Di antara ke
251 empat katagori itu, sistem yang berdasarkan 5 katagori dinilai lebih penting; sebuah konsepsi yang berdasarkan empat arah mata angin (Barat-Timur-Utara-Selatan) dengan satu unsur (pusat) ditengahnya. Van Ossenbruggen, menganggapnya sebagai pembagian lima empat. Pembagian dalam empat bagian dengan tambahan unsur kelima sebagai pusat rupa-rupanya amat penting dalam alam pikiran orang Jawa zaman dahulu, bahkan hingga sekarang. Sebagai contoh misalnya : pembagian hasil tanah dalam lima bagian, susunan pimpinan desa yang terdiri dari lima orang, hari pasaran yang berulang tiap-tiap lima hari, dan kedudukan angka lima dalam perdukunan (van Ossenbrugen, 1975). Sistem klasifikasi simbolik dengan sembilan katagori mengkonsepsikan kedelapan arah mata angin dengan satu unsur di tengahnya. Salah satu contoh pentingnya makna sembilan dalam pikiran simbolik orang Jawa dinyatakan dalam konsep Walisongo (wali yang jumlanya sembilan orang). Ternyata angka 3 dalam sistem klasifikasi simbolik orang Jawa tidak termasuk porsi penting dalam pikiran orang Jawa. Dalam tradisi Hindu, sistem klasifikasi simbolik dengan 2 katagori bisa diwujudkan dengan adanya konsep bhuwana agung yang meliputi alam semesta, dan bhuwana alit yang meliputi manusia itu sendiri. Sistem simbolik yang paling banyak diterapkan pada produk tradisi Hindu yang dinamakan arsitektur adalah sistem dengan tiga katagori. Dalam tradisi Hindu telah akrab di telinga kita adalah istilah-istilah trimurti (Brahma-SyiwaWisnu), trikona (Lahir-Hidup-Mati), tribhuwana (dunia atas-tengah-bawah), triloka (alam bhuta-manusia-dewa),
252 triangga (kaki-badan-kepala) dan trisamaya (masa lampau-sekarang-akan datang), yang kesemuanya menunjukkan adanya tiga unsur. Dengan demikian, apakah memang jumlah lapis atap tumpang masjid Menara Kudus lebih dipengaruhi oleh tradisi Hindu? Menurut Mangunwijaya, atap susun tiga menunjukkan predikat keramat bagi bangunan, dan masih mengandung makna tribuwana dalam filsafat Hindu-Jawa (1988:106). Kita bisa melihat struktur bangunan candi; dia pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan dan kepala dengan suatu perbandingan tertentu. Bagian kepala itu sendiri tersusun atas tingkatan-tingkatan semakin ke atas semakin kecil; pada umunya jumlah tingkatan atau lapis atapnya adalah 3 yang kadangkadang ditambahkan satu bentuk yang khas seperti genta di puncaknya. Kita bisa membandingkannya dengan struktur masjid menara Kudus; secara utuh masjid bisa di bagi kedalam tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Bagian kepala terdiri dari 3 lapis dan sebuah mustaka di puncaknya; bagian badan adalah dinding-dinding dan tiang-tiang bangunan masjid; dan bagian kaki masjid berupa peninggian peil lantai masjid sekitar 1 meter dari peil halaman masjid (periksa pula Ashadi, 2001:132-133). Sementara itu, bangunan dengan atap tajug seperti yang terjadi pada masjid-masjid tradisional Jawa mengingatkan kita kepada bangunan-bangunan keramat. Menurut tradisi Jawa, sesuatu yang tinggi dianggap keramat karena ia merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang yang telah meninggal; biasanya dia digambarkan di atas dunia ini, juga di atas gunung. Dalam prosesi pemujaan terhadap roh nenek moyang,
253 seseorang harus melakukannya di tempat yang dianggap tinggi. Guna menunjukkan letak yang di atas itu, sering didirikan sebuah menhir, yaitu tugu atau tiang batu, di atas sebuah bangunan yang berundak-undak yang melambangkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui guna mencapai tempat yang tertinggi. Pada jaman HinduBudha diperkenalkan istilah dewa-dewa. Bukan berarti tradisi Hindu-Budha bisa menggantikan tradisi Jawa sebelumnya, melainkan sekedar mensinkretikkan diri dengannya; yang kemudian muncul istilah tradisi Hindu Jawa, yaitu tradisi Hindu (dan Budha) yang bersinkretik dengan tradisi Jawa yang bersandar kepada agama Animisme. Menurut Koentjaraningrat, orang jawa pada umumnya dapat menyebutkan bermacam-macam nama dewa, lengkap dengan sifat-sifat dan rupanya masingmasing. Dewa-dewa itu dikenal dari cerita-cerita wayang. Raja para dewa adalah Bathara Guru; dia disebut pula Bathara Girinata, yaitu raja gunung; yang dimaksud adalah Gunung Meru, tempat lokasi kerajaan para dewa dalam mitologi Hindu (Koentjaraningrat, 1984:334). Produk dari kegiatan keagamaan Hindu-Budha berupa sebuah candi. Candi adalah bangunan untuk memuliakan para raja atau orang-orang terkemuka yang telah wafat. Menurut Soekmono, candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan pula bangunan tiruan dari tempat yang sebenarnya yaitu gunung Mahameru. Maka candi itu dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan, yang terdiri atas pola-pola yang disesuaikan dengan alam gunung tersebut: bunga-bunga teratai, binatang-binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa dewi dsb
254 (Soekmono, 1973:84). Jadi wujud candi adalah tiruan bentuk gunung; tinggi menjulang dan semakin ke atas semakin mengecil. Gunung selaku citra dasar dalam sekian banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai tanah yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas. Menurut Mangunwijaya, setiap karya bangunan merupakan upaya penghadiran Semesta atau Kahyangan Raya. Citra gunung dan pohon dirasakan sebentuk dasar yang keduanya melambangkan Semesta. Sehingga tidak mengherankan jika pohon beringin, yang tinggi besar rindang, yang berbentuk onggokan atau gunung langsung dihubungkan dengan bentuk meru kahyangan. Citra dasar gunung bisa kita lihat kembali pada bangunanbangunan wantilan (tempat bersabung ayam) dan pintu gerbang bentar di Bali, serta masjid-masjid. Bentuk pohon tidak jauh dari bentuk stupa atau pagoda. Di atas pagoda sering ada bentuk payung. Payung di negara-negara Timur adalah pohon, adalah gunung, adalah atribut surgawi dan kekuasaan raja-raja sebagai pengungkapan kekuasaan kosmis (Mangunwijaya, 1988:98-103). Tradisi Jawa sebelum Islam telah mengenal puncak gunung sebagai tempat keramat; disana bisa ditemui bangunan-bangunan keramat. Tempat-tempat keramat Islam di Jawa seperti Gunung Jati, Prawata, Muria, Giri, Tembayat, dan Penanggungan dalam peradaban sebelum zaman Islam sudah merupakan tempat-tempat yang dihormati orang. Menurut Legenda Jawa, bahwa Sunan Kalijogo terpaksa bekerja dengan tergesa-gesa, yaitu hanya dengan mengumpulkan potongan-potongan kayu untuk sebuah dari empat tiang utama masjid Demak yang telah dibebankan kepadanya,
255 karena datangnya di Demak sudah dekat dengan fajar menyingsing, sementara para Wali lainnya sudah bersiapsiap menegakkan tiang-tiang, sumbangan mereka masingmasing. Dia terlambat datang karena sebelumnya pergi bertirakat ke Pemantingan, dan agaknya kurang awal berangkat dari situ. Pemantingan adalah satu tempat di lereng gunung Muria sebelah selatan; dan dia adalah salah satu dari delapan tempat kediaman yang terpenting bagi roh (lelembut) di Jawa. Menurut cerita Tutur Jawa, gunung keramat Penanggungan yang sebelumnya menjadi pusat keagamaan kelompok-kelompok Hindu Jawa atau mandala-mandala, pada tahun 1543 telah diduduki oleh laskar Islam Sultan Demak. Para Ajar dan pengikutpengikutnya telah memberikan perlawanan bersenjata yang luar biasa ketika orang-orang alim Islam datang untuk menjadikan gunung keramat itu menjadi daerah Islam. Wali Islam Jawa yang pertama mendirikan sebuah tempat berkholwat dan tempat berkubur di atas bukit atau gunung adalah Sunan Giri atau Prabu Sasmata. Tanah yang tinggi sebagai penjelmaan sebuah gunung juga telah mengilhami Sultan Agung, raja Mataram, membangun Istana baru nya dengan tambahan Sitinggil. Salah satu bentuk bangunan tradisional Jawa yang dianggap memiliki nuansa keramat adalah tajug; sebuah bangunan berdenah bujur sangkar, bertiang empat dan memiliki empat bidang atap yang bertemu di satu titik puncak. Bentuk tajug juga lebih mirip sebuah gunung. Bangunan ini pada umumnya dijumpai pada bentuk cungkup makam tokoh-tokoh agama yang dihormati.
256 Bentuk gunung menjadi citra dasar dari bentuk bangunan-bangunan yang dinilai sakral dan keramat. Hal ini tercermin dari kebudayaan yang dihasilkan oleh sejarah panjang manusia Jawa, seperti menhir dan punden berundak, candi, meru dan belakangan tampil pula masjid. Ketiga bangunan yang lebih awal bersifat “non fungsional” dalam arti bahwa ruang dalam bangunan tidak diperuntukkan kegiatan komunal (jama’ah), melainkan di areal terbuka di luarnya. Berlainan dengan masjid; bangunan ini justru memfungsikan ruang dalamnya sebagai tempat kegiatan komunal utama; sedangkan kebutuhan areal terbuka yang biasanya terletak di bagian depan (sebelah Timur) bangunan lebih bersifat perluasan kegiatan keagamaan. Dengan bentuk atap tajug yang menutupi ruangan begitu besar, bangunan memerlukan konstruksi penyangga atap yang sangat kuat. Semakin besar luasan ruangan yang dinaungi atap, akan semakin tinggi. Hal ini pulalah yang mungkin menyebabkan konstruksi atap bangunan dibuat berlapis (periksa pula Ashadi, 2001:129-131). Penampilan bangunan masjid Menara Kudus secara keseluruhan hampir tidak kelihatan. Hal ini disebabkan oleh jarak pandang manusia terhadapnya tidak cukup optimal disamping adanya bangunan menara di bagian depan masjid yang banyak menyita pandangan. Dari arah mana saja kita datang, pertama kali yang kelihatan secara monumental adalah bangunan Menara batu besar. Masih untung, dari arah depan tepatnya dari arah areal parkir di dekat pohon beringin Maduraksan, bangunan masjid dengan atap tumpang tiganya terlihat walaupun kurang kuat, sebagai background bangunan
257 Menara. Dari dekat, dari depan masjid, kita akan menemui pintu masuk berupa kori-kori kecil dan candi bentar dalam kompleks yang dikelilingi tembok penyengker dari batu bata merah. Terlihat pula dua buah kolom bulat yang agak besar di bagian paling depan masjid, berdiameter 1 meter di bagian bawah, agak mengecil ke atas. Setelah peneliti cermati, ternyata kedua kolom ini tidak struktural, di bagian paling atasnya dibentuk menyerupai kubah kecil. Mungkin penggagasnya ingin memberikan kesan adanya dua buah menara langsing tepat didepan bangunan masjid yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk; hal ini diperkuat dengan adanya anak tangga atau trap untuk naik ke lantai masjid di antara kedua kolom. (Gambar 23).
Gambar 23. Masjid Menara Kudus (Sumber: Dokumentasi penulis)
258 Serambi masjid paling depan, sebelum kori agung pertama, memiliki jejeran kolom beton (bertulang) berbentuk bulat namun diameternya lebih kecil dibanding kedua kolom di bagian depan, berjumlah 18 buah; rupanya kolom-kolom ini untuk mendukung konstruksi atap di atasnya yang berupa dak beton dimana di bagian tengahnya di tempatkan sebuah kubah dari bahan logam alumunium berwarna putih, bentuknya bukan merupakan setengah bulatan melainkan agak meruncing ke atas, konstruksi kubah menggunakan rangka baja. Sejarah arsitektur Islam telah memperlihatkan perkembangan atap kubah pada bangunan masjid, yang sebenarnya masih mempertahankan unsur-unsur lokal dimana bangunan masjid itu didirikan, sehingga bisa memunculkan corak yang khas antara masjid satu dengan lainnya. Sebagai contoh, Pada tahun Masehi 691 di Palestina didirikan bangunan masjid yang agung dan megah setelah wilayah tersebut direbut oleh pasukan Islam dari penguasa sebelumnya, yaitu bangsa Romawi yang telah tujuh abad lamanya menduduki wilayah Palestina. Arsitek dan para pekerja diambil dari orangorang Romawi yang memang ahli dalam seni bangunan. Sehingga mudah ditebak, gaya bangunan masjid merupakan persenyawaan antara wujud cipta Byzantium dan Arab. Masjid tersebut terkenal dengan nama Dome of The rock atau Kubah Batu. Bahkan di beberapa wilayah taklukkan, bangunan yang semula adalah gereja-gereja Romawi dengan menara loncengnya diubah fungsinya sebagai masjid-masjid dengan menara adzannya; Islam tidak perlu membuang kebudayaan lama dan menggantinya dengan yang baru. Sebelumnya,
259 kebudayaan Islam (Arab) tidak mengenal kubah. Struktur bangunan dengan atap kubah adalah produk asli kebudayaan Romawi. Dengan mengoptimalkan material dasar berupa bebatuan, bangsa Romawi telah berhasil menjadi pioneer dalam teknologi rancang bangun; dia menciptakan struktur bentang lebar untuk menghindari banyaknya kolom-kolom penyangga. Sehingga tidak mengherankan jika bangunan masjid di negara-negara yang dahulunya termasuk dalam imperium Romawi memiliki atap berbentuk kubah, seperti corak masjid Turki-Yugoslavia, Persia-India, Maroko-Andalusia, ArabSyiria, dan Mesir, yang kesemuanya berkubah (periksa pula Ashadi, 2001:128-129). Menyambung serambi pertama (beratap kubah) adalah serambi kedua dimana kedua ruangan menyatu. Serambi ini beratap bentuk pelana atau kampung tumpang dua, memanjang dari Barat ke Timur; konstruksinya didukung oleh 8 kolom kayu berbentuk segi empat berdimensi 20 cm x 20 cm. Bahan atap pelana dari logam; atap tumpang bagian atas dari bahan logam alumunium berwarna putih, sedangkan atap tumpang bagian bawah dari bahan logam seng berwarna kecoklatan yang mungkin menandakan telah mulai berkarat. Di bagian Timur, konstruksi atap pelana tumpang bagian atas bertemu dengan konstruksi atap kubah, sedangkan atap pelana tumpang bagian bawah berhenti pada tembok yang mengelilingi serambi pertama bagian atas yang juga berfungsi sebagai lisplank serambi pertama. Ke arah Barat, atap pelana tumpang bagian bawah akan menyatu dengan atap tumpang bagian bawah ruangan utama
260 masjid dan serambi ketiga. Untuk dua bagian yang disebut terakhir, atap tumpang ini lebih seperti bentuk sor-soran atau tambahan dari atap ruang utama, bertumpang tiga, dan atap serambi, berbentuk limasan. Di samping kanan dan kiri atap pelana tumpang yang menutupi ruangan serambi kedua di tambahkan konstruksi atap auwning dari logam alumunium. Di sebelah Barat serambi kedua adalah serambi ketiga dimana terdapat pembatas ruang. Atap serambi berbentuk limasan melintang dari arah Utara ke Selatan dengan penutup atap dari genteng. Pada bagian bawah atap terdapat sor-soran yang menyatu dengan atap tumpang bagian bawah serambi kedua dan menyatu dengan sor-soran atap utama yang berbentuk atap tumpang tiga. Konstruksi atap limasan yang menaungi serambi ketiga ini didukung oleh jajaran kolom yang jumlahnya 16 buah. Bagian utama masjid, terletak di sebelah Barat serambi ketiga, dinaungi oleh atap berbentuk tajuk tumpang tiga yang menggunakan konstruksi kayu dengan struktur utamanya berupa empat tiang sokoguru. Diantara tumpang satu dengan lainnya ditempatkan konstruksi jendela kaca; di satu sisi keberadaan jendela kaca di bagian atas ruangan ini bisa memasukkan cahaya sinar matahari ke dalam ruangan, namun di sisi lain tidak menciptakan cross ventilation oleh karena jendela-jendela ini sulit untuk dioperasikan dalam arti dapat dibuka dan ditutup kembali. Kendala ini disebabkan oleh tidak adanya sarana (tangga misalnya) untuk menuju ke atas ke bagian adanya jendela-jendela tersebut yang selama ini dalam posisi tertutup. Sepertinya untuk maintenance
261 dilakukan dari luar, lewat di atas atap. Bahan penutup atap dari genteng; di puncak atap terdapat mustoko dari logam. Di bawah atap tumpang bagian bawah (pertama) ditambahkan sor-soran dari bahan logam seng keliling ketiga sisi dan di sisi kanan dan kiri bertemu dengan sorsoran milik atap serambi di depannya. Pada konstruksi atap tumpang pertama, bagian bawah, di sisi Timur bertemu dengan atap serambi ketiga yang berbentuk limasan; pada sepanjang pertemuan ini dibuatkan talang air. (Gambar 24; Gambar 25).
Gambar 24. Denah kompleks masjid Menara Kudus (Sumber: Sketsa penulis)
262
Gambar 25. Tampak Depan masjid Menara Kudus (Sumber: Sketsa penulis)
Konstruksi atap tumpang tiga pada bangunan masjid Menara Kudus sangat menarik; hubungan elemenelemen konstruksi memakai sistem menggantung pada tiang yang pada ujung lainnya ditumpu oleh tiang yang berbeda atau oleh dinding, jadi semacam kombinasi antara bentuk tajug semar tinandu dan teplok, hanya saja keberadaan sokoguru tidak sampai ke puncak bangunan tetapi disambung dengan tiang-tiang yang makin kecil ukurannya sesuai dengan susunan atap dan perhitungan beban gaya yang diterima. Adanya balok-balok horisontal pada konstruksi atap berfungsi sebagai pengaku sistem ‘kuda-kuda’. Seluruh konstruksi atap selain dipikul oleh ke 8 tiang juga oleh dinding atau tembok yang keduanya berfungsi sebagai penyalur beban atap ke pondasi. Tembok keliling ruangan (minus sebelah Timur) merupakan topangan konstruksi atap bagian paling bawah (paningrat). Sokoguru tidak sampai ke puncak atap, hanya sampai pada bagian susunan atap yang paling bawah (tumpang pertama) dan mendukung balok-balok horisontal (blandar-pengeret) dan balok-balok vertikal yang
263 termasuk dalam sistem ‘kuda-kuda’. Hal ini berbeda dengan bentuk atap tajug pada umumnya dimana lambang teplok pada sokoguru langsung ke atas menyangga atap bagian paling atas (brunjung) dan memakai sebuah ander sampai dada peksi (dada burung) pada susunan atap tingkat kedua (penanggep). Tiang-tiang utama penopang susunan atap berbentuk segi delapan; pada bagian atas dibuatkan ornamen, sedangkan bagian bawah rupanya mengalami pembesaran sehingga seolah-olah sebagai umpak dari tiang-tiang tersebut. 6.3. Bentuk dan Konstruksi Menara Masjid Bangunan Menara Kudus dengan keanggunan dan keindahannya telah menjadi obyek perdebatan di kalangan ilmuwan terutama berkaitan dengan kedudukannya sebagai bangunan peribadatan; apakah pada awalnya merupakan bangunan peribadatan orangorang sebelum Islam (Hindu) ataukah sejak berdirinya sudah menjadi simbol peribadatan Islam. Bagi mereka yang lebih condong pada pendapat pertama, sebagian besar menganggap bahwa bangunan Menara Kudus semula sebuah candi yang kemudian berubah fungsi. Hal ini bisa dibandingkan dengan bangunan candi di Jawa Timur. Bentuk bangunan Menara Kudus sekilas memang mirip candi Jago di Jawa Timur. Apabila dikaitkan dengan fungsinya sebagai tempat untuk memanggil dan mengumpulkan orang, bangunan ini bisa dibandingkan dengan bale Kul Kul di Bali. Pendapat kedua didasarkan pada kenyataan sementara ini bahwa orientasi bangunan
264 Menara Kudus sama persis dengan orientasi bangunan masjid. Dan beberapa perbedaan mendasar antara Menara Kudus dan bangunan candi terlihat jelas (lihat Ashadi, 2000:82-84). Tetapi apakah benar bangunan batu besar itu didirikan oleh komunitas Islam pertama di Kudus? Pada mulanya, peneliti begitu yakin bahwa Sunan Kudus adalah arsitek bangunan Menara Kudus, namun belakangan peneliti mulai ragu. Peneliti memiliki analisa sendiri yang menyimpulkan bahwa Menara Kudus pada mulanya adalah bangunan semacam tetenger yang dibangun oleh komunitas budo (bukan agama Budha yang diajarkan oleh Sidharta Gautama) yang berasal dari daerah sekitar gunung Muria yang baru saja menemukan tanah kediaman yang baru, yaitu wilayah yang sekarang dinamakan Kudus. Sangat menarik apa yang pernah diceritakan oleh bapak Kornen, seorang modin di Kudus Kulon, yang usianya sudah tergolong tua (79 tahun) kepada peneliti. Menurut cerita orang-orang tua, dahulu di sekitar masjid yang kemudian dikenal dengan masjid Langgar Dalem (di sebelah Utara masjid Menara Kudus) dihuni komunitas budo (berkali-kali bapak Kornen menyebut nama budo). Dan di sebelah barat bangunan Menara Kudus, yang sekarang merupakan tempat wudlu lakilaki, dahulu banyak terdapat nisan orangorang Tionghoa; tidak jauh dari situ didapati pula sebuah pohon besar, dan
265 ketika pembangunan tempat wudlu dilaksanakan, ada orang yang menjadi korban (meninggal dunia). Semula, dengan memperbandingkannya dengan arsitektur candi, peneliti menduga bahwa bangunan menara kuno di kota Kudus adalah murni bangunan Islam (Ashadi, 2000); tetapi sepertinya ia lebih sebagai sebuah bangunan tetenger bagi masyarakat yang baru saja membentuk suatu permukiman baru, ia bukan candi peradaban Hindu atau Budha, dan bukan pula sebuah bangunan menara yang memang dibangun untuk mengumandangkan adzan bagi umat Islam. Dan sangat kecil kemungkinannya bahwa dahulu, sebelum Islam masuk dan menyebar merata di Kudus Kulon, telah ada masyarakat Hindu di sana. Bangunan menara itu selain sebagai tetenger juga sebagai simbol persatuan jama’ah masyarakat Kudus kuno. Ia adalah axis mundi, sebuah pilar kosmik, yang menghubungkan bumi tempat berpijak manusia sekarang dengan surga sebagai tempatnya setelah meninggal dunia; ia dipahami sebagai tangga menuju surga. Pilar sakral itu, tentulah dahulunya terletak di tengah-tengah hunian penduduk; ia sebagai Pusat Dunia. Hingga sekarang masjid yang dibangun didekatnya menjadi pusat aktifitas shalat Jum’at masyarakat Kudus Kulon. Meskipun di wilayah ini banyak sekali berdiri masjid, tetapi pada hari Jum’at hampir seluruh warga melakukan shalat Jum’at di masjid Menara Kudus. Bangunan menara bagi masyarakat Kudus kuno dianggap sebagai pengganti gunung Muria yang sakral,
266 yang mungkin dulunya menjadi tempat tinggal dan pemujaan bagi sebagian dari mereka. Sehingga, bangunan menara pun, di samping sebagai tetenger juga merupakan pusat peribadatan masyarakat Kudus kuno. Oleh karenanya, ruang di sekitar kaki bangunan menara memiliki perbedaan nilai kualitas dengan ruang-ruang di luarnya; itulah ruang sakral, yang kehadirannya membuat dirinya terpisah dari lingkungan kosmik yang melingkupinya dan membuatnya berbeda secara kualitatif. Kondisi lingkungan yang padat di sekitar masjid Menara sekarang ini bisa menunjukkan bahwa tempat itu, dari dulu hingga sekarang, menjadi Pusat Dunia. Hal ini juga menjadi pembenaran kesimpulan brilian Mircea Eliade (2002), yang menyatakan bahwa manusia religius berusaha hidup sedekat mungkin dengan Pusat Dunia. Sejarah Jawa kuno yang disusun berdasarkan penemuan-penemuan ahli purbakala, berupa piagampiagam dan monumen-monumen dan candi-candi peninggalan raja-raja yang berkuasa di Jawa memperkuat bahwa, sejarah Jawa kuno yang diketahui hanyalah sejarah raja-raja Jawa (Herusatoto, 2001). Adapun keadaan masyarakat pada dewasa ini, tidak dapat diketahui kecuali yang berada di lingkungan keraton. Pengaruhnya kebudayaan Hindu sama sekali belum meresap sampai ke desa-desa sehingga belum ada perubahan terhadap kehidupan dan pikiran rakyat, seperti yang kita kenal di kelak kemudian hari. Perbedaan antara keraton dan desa pasti banyak sekali, dan
267 kebahagiaan sebagai akibat kebudayaan Hindu untuk sementara waktu hanyalah dikenyam oleh raja-raja (Herusatoto, 2001, dikutip dari Prijohutomo, 1953). Sementara itu, di wilayah Jepara sekarang, yang diduga pernah ada sebuah kerajaan pada abad ke-VII Masehi, apabila hal itu untuk memperkuat anggapan bahwa bahwa masyarakat Hindu sudah ada di sekitar gunung Muria, ternyata masih banyak menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah Slametmuljana yang menganggap bahwa letak kerajaan Kalingga atau Keling atau Holing yang pernah ada pada abad ke-VII Masehi adalah di daerah sekitar lembah sungai Berantas sekarang, di bagian Timur pulau Jawa (Slametmuljana, 1983). Apabila kita menggunakan masyarakat Hindu Bali sebagai rujukan, dimana mereka adalah masyarakat Hindu Majapahit yang terdesak ke arah Timur oleh pasukan Islam baik pada zaman Demak maupun zaman mataram Islam, maka kita setidak-tidaknya dapat menemukan sekelompok masyarakat, walaupun sedikit jumlahnya, yang tidak menerima agama Islam dan memilih untuk menyingkir di sekitar wilayah Kudus. Tetapi setelah menyusuri wilayah di sekitar Kudus, seperti di bagian Selatan-Tenggara, di sekitar pegunungan Prawoto, dan di bagian Utara, di sekitar makam keramat Sunan Muria, peneliti tidak menemukan komunitas Hindu.
268 Di desa Mandaan, tepat di sebelah Selatan makam Sunan Muria, di daerah Colo, terdapat kelompok masyarakat beragama Budha aliran Teravada. Menurut informasi dari bapak Sarijo Sariputra, pemimpin jama’ah, bahwa keberadaan agama Budha Teravada ini secara resmi di daerah Mandaan dan Colo baru pada tahun 1960-an, setelah ada himbauan dari pemerintah kepada segenap warga negara agar memeluk salah satu agama resmi. Seorang ibu tua berusia sekitar 60 tahun, yang peneliti temui, menceritakan bahwa dia dan keluarganya menganut agama Budha itu secara resmi sejak tahun 1960-an. Sebelumnya, sekitar tahun 1940-an, orangorang di sekitar sini banyak yang mengaku beragama Budo; dan agama ini dianggap oleh mereka sebagai agama nenek moyang. Dahulu, mereka juga melakukan kegiatankegiatan agama Islam, seperti riyoyo, perayaan hari raya Fitri umat Islam, tetapi mereka tidak mengaku beragama Islam. Istilah agama Budo kemungkinan menunjuk kepada agama Asli masyarakat setempat, yaitu Animisme, yang pada waktu kemudian sedikit banyak telah bersinggungan dengan agama Islam. Agama Budo yang tidak ada kaitannya dengan Budhisme karena ia tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figure utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya, ternyata ditemui pula oleh Clifford Geertz di Mojokuto (1981). Dan peneliti juga menjumpai agama ini dalam sistem keyakinan orang-orang Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut kepercayaan ini disebut sebagai Sasak Boda.
269 Agama Hindu yang dihadirkan di wilayah Kudus, kemungkinan besar berkaitan dengan penokohan Ja’far Shadiq sebagai Sunan Kudus. Dan sejak kapan usahausaha untuk menempatkan Ja’far Shadiq sebagai tokoh panutan yang harus dihormati dan diikuti jejaknya oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya? Hal ini bisa ditelusuri dari angka-angka tahun yang tertera di bagian-bagian bangunan kompleks masjid Menara dan makam keramat Sunan Kudus, selain angka tahun 1549 Masehi yang sudah dijelaskan di bagian muka. Pada salah satu tiyang atap (dari kayu) menara terdapat candra sengkala berbunyi Gapura Rusak Ewahing Jagat yang menunjuk angka tahun Jawa 1609 atau 1685 M; di salah satu anak tangga (kayu) menara tertera angka tahun 1313 H atau 1895 M; pada gapura kori, sebelah timur bangunan tajug tertera angka tahun 1216 H atau 1801 M; pada gapura kori, sebelah utara bangunan tajug tertera angka tahun 1210 H atau 1795 M; di atas tiang atap bangunan tajug tetera angka tahun 1145 H atau 1732 M; di bagian depan pintu masuk makam Sunan Kudus tertera angka tahun Jawa1895 atau 1296 H atau 1878 M; di bagian muka dan belakang gapura kori di serambi masjid tertera angka tahun Jawa 1727 (di sebelah barat) dan 1215 H (di sebelah timur) yang keduanya menunjuk angka tahun 1800 M. Berdasarkan angka-angka tahun di atas, patut diduga bahwa usaha-usaha para sesepuh masyarakat Kudus kuno dalam rangka penokohan Ja’far Shadiq sebagai Sunan Kudus telah dimulai sekitar abad ke-XVIII Masehi, yaitu dengan menciptakan dan menjadikan kegiatan makam (ziarah) sebagai salah satu kegiatan
270 penting. Pada masa permulaan ini, jelas bangunan masjid tidak atau belum diketahui keberadaannya. Bahkan, menurut penelusuran peneliti, pada masa menjelang tahun 1918 M pun, tidak ada keterangan baik tertulis maupun lesan yang menggambarkan keberadaan masjid Menara Kudus. Sejak kapan cungkup makam Sunan Kudus mulai ada, sulit untuk dijawab karena tidak ada data-data yang bisa digunakan rujukan. Yang jelas kesadaran akan penghormatan terhadap wali yang telah meninggal dunia mulai muncul2. Adanya tabu di kalangan masyarakat Kudus Kulon, untuk tidak boleh menyembelih binatang sapi, ada kemungkinan, pada masa dahulu, komunitas sapi memang lebih sedikit ketimbang kerbau; kehidupan binatang yang disebut terakhir bisa jadi lebih cocok dengan kondisi geografis daerah Kudus dan sekitarnya. Sehingga sejak masa lalu pun, masyarakat Kudus sudah jarang menyembelih dan atau makan daging sapi. Sebagai perbandingan, di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, di daerah sebelah selatan gunung Rinjani, kita akan sulit menemukan binatang sapi. Binatang yang banyak digunakan di sawah atau dipelihara oleh para petani Rupanya pada abad ke-XVIII M, telah berkembang suatu konsep dualisme dalam tata urut sosial dan tata urut kosmologi orang Jawa, sehingga para wali dianggap sebagai pangkal dari satu garis silsilah para raja Jawa, yaitu silsilah kanan (alur panengen), sedangkan dewa-dewa sebagai pangkal dari satu garis silsilah kiri (alur pangiwa). Untuk menyatukan kedua alur, para raja Jawa pada abad ke-XIX M, menyuruh para Pujangganya untuk menulis riwayat hidup para wali. Demikian Pujangga R. Ng. Ranggawarsita telah menulis buku berjudul Serat Wali Sanga pada awal abad ke-XIX M (Koentjaraningrat, 1984:326) 2
271 adalah kerbau; dengan kulitnya yang tebal ia bisa lebih tahan dalam kondisi lingkungan alam yang udaranya relatif kering. Dalam cerita surat RA.Kartini kepada sahabatnya Stella, disebutkan bahwa gembalaan anakanak desa di kabupaten Jepara, wilayah di sebelah barat gunung Muria, pada waktu itu adalah binatang kerbau. Dan seorang ahli Antropologi Sosial dan Budaya di Universitas Nijmegen, Nederland bernama Frans Husken pernah melakukan penelitian di desa Gondosari, kawedanan Tayu, kabupaten Pati, wilayah di sebelah timur gunung Muria, yang penjajagannya dimulai pada awal tahun 1970an. Hasil penelitiannya kemudian dibukukan dengan judul Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Deferensiasi Sosial di jawa 1830 - 1980. Pada bagian pertama diberikan judul sub bahasan: Kebo Gedhe Menang Berike (Kerbau Besar Selalu Menang Bertarung), yang menggambarkan para majikan (petani makmur dan kaya raya), walaupun minoritas, tetapi sangat berpengaruh. Ungkapan di atas menggunakan nama binatang kerbau; sesuatu hal yang lumrah karena setiap hari binatang ini menemani para petani atau buruh tani dalam menggarap sawah. Dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa di desa-desa di wilayah bagian barat dan timur gunung Muria, lebih banyak populasi binatang kerbau dibanding binatang ternak lainnya (terutama lembu atau sapi). Sehingga daging kerbau menjadi tambahan menu makanan yang sudah selayaknya bagi masyarakat setempat. Bagaimana dengan Kudus dan daerah sekitarnya, wilayah di sebelah selatan gunung Muria? Pada halaman 117, Frans Husken
272 dalam pembahasannya tentang pembagian tanah komunal di karesidenan Jepara pada tahun 1848 atau 1849 M, menulis: ‘di Kudus dan Cendono, setiap keluarga mendapat pembagian tanah berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki…’. Pembatasan dalam tabu di atas, meskipun berlawanan dengan pembatasan dalam agama Islam, tetapi ia diterima sebagai suatu kewajaran oleh orangorang yang menganutnya, yaitu orang-orang Islam sendiri, karena mereka sangat hormat dan ta’zim kepada Sunan Kudus yang dianggap sebagai pihak yang memberikan larangan itu. Menurut Sigmund Freud, larangan tabu sama sekali tidak memiliki pembenaran dan asalmuasalnya tidak diketahui. Wundt, sebagaimana dikutip oleh Freud, menyatakan bahwa gagasan tabu mencakup semua adat-istiadat yang mengekspresikan ketakutan terhadap benda-benda tertentu yang terkait dengan gagasan-gagasan tentang system pemujaan atau terkait dengan tindakan-tindakan yang merujuk padanya (Freud, 2001:32 dan 39). Bangunan Menara kudus bisa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu kaki, badan, dan kepala. Secara keseluruhan, bentuk bangunan dari tampak ketiga sisi: Timur, Selatan, dan Utara, terlihat sama. Di sisi Barat dari bangunan, terdapat trap-trap anak tangga menuju ke dasar bilik Menara yang terletak lebih kurang pada pertengahan badan Menara. Di bagian atas pintu masuk bilik terdapat suatu ornamen yang menonjol. Hal ini mengingatkan kepada kita pada sebuah kala di atas pintu masuk candi. Letak anak tangga yang memanjang kearah Barat mengisyaratkan adanya satu keterkaitan antara
273 aktifitas menara dan masjid dimana letak bangunan masjid pada awalnya relatif di sebelah Barat bangunan Menara. Di bagian depan anak tangga sekarang diberi pintu besi; tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam badan atau ke puncak Menara. Lebar tangga kurang lebih 1,75 m, dengan panjang 12 m. Berdasarkan gambar kuno, di ujung tangga, di sebelah kanan dan kiri masing-masing terdapat candi sudut yang berjumlah 3 buah. Sehingga bagi orang yang ingin naik ke atas bangunan Menara, mula-mula harus melewati keenam candi sudut tersebut (sekarang semuanya sudah tidak ada). Bagian dasar dari kaki bangunan Menara (Sub Basement) memiliki denah bujur sangkar dengan ukuran 10,5 x 10,5 m2, tingginya 1,25 m. Dari Sub Basement hingga bagian atas kaki bangunan, bentuk denahnya menjadi lebih kecil, dengan ukuran 9,5 x 9,5 m2. Ketinggian bagian kaki bangunan Menara kurang lebih 4,50 m. Pada bagian badan bangunan Menara mengalami dua kali pengecilan bentuk, yaitu dari bagian dasar badan bangunan bentuk denah berukuran 6,25 x 6,25 m2 hingga bagian pertengahan badan bangunan pada ketinggian kurang lebih 7 m. Sampai pada ketinggian ini, sruktur bangunan menggunakan sistim masif. Di ketinggian ini pula terdapat bilik berpintu kayu. Dari sini, badan bangunan mengecil lagi hingga bagian atas badan bangunan Menara, kurang lebih pada ketinggian 12 m, dengan ukuran denah 5 x 5 m2. Pada bagian paling atas terdapat penambahan lebar pada masing-masing keempat sisinya kurang lebih 0,575 m. Dari ketinggian 7 m hingga 12 m terdapat lobang di bagian tengah badan bangunan
274 sebagai sarana untuk mencapai puncak Menara. Pada bagian kepala bangunan Menara tersusun atas struktur dan konstruksi yang berbeda dengan bagian kaki dan badan bangunan, yaitu menggunakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, yang sekaligus berfungsi sebagai atap bangunan Menara. Konstruksi bagian kepala bangunan terdiri dari 4 buah tiang di tengah dan 12 buah di keempat sisinya (denah 5 x 5 m.) dengan ketinggian kurang lebih 2,5 m; kemudian di atasnya ditempatkan konstruksi atap tumpang dua, dengan ketinggian kurang lebih 2,5 m. Bahan penutup atapnya adalah sirap. Pada bagian puncak diberi mustaka dari bahan logam alumunium yang tingginya 1 m. Secara keseluruhan bangunan Menara Kudus memiliki ketinggian kurang lebih 18 m. (Gambar 26; Gambar 27; Gambar 28).
Gambar 26. Menara masjid (Sumber: Dokumentasi penulis)
275
Gambar 27. Tampak Depan menara masjid (Sumber: Sketsa penulis)
Gambar 28. Potongan menara masjid (Sumber: Sketsa penulis)
276 6.4. Susunan dan Fungsi Ruang Masjid Keberadaan tembok penyengker pada areal masjid, sebuah candi bentar di bagian paling depan, dan dua buah kori agung yang posisi letaknya segaris dengan candi bentar, telah membantu menguatkan dugaan bahwa areal yang sekarang berdiri bangunan masjid, pada awalnya adalah sebuah halaman yang luas dengan tembok-tembok penyengkernya. Halaman ini terbagi menjadi tiga bagian 3, yaitu bagian depan, yang terbentuk di antara candi bentar dan kori agung pertama (dari arah masuk), bagian tengah, yang terbentuk di antara kori agung pertama dan kedua, dan bagian dalam, yang terbentuk di antara kori agung kedua dan tembok penyengker bagian belakang. Di samping kanan dan kiri dari kedua kori agung yang sekarang terlihat berdiri sendirian di dalam bangunan masjid, dahulunya kemungkinan besar terdapat penyengker-penyengker sebagai pembatas ruang atau bagian satu dengan bagian lainnya. Tidak menutup kemungkinan pula di samping kanan dan kiri kedua kori agung terdapat kori-kori yang lebih kecil ukurannya. Hal ini didasarkan pada kelaziman bangunan adat di Bali, dimana kori agung berfungsi sebagai pintu masuk utama untuk kegiatan-kegiatan formal sedangkan kori-kori kecil di kedua sisinya bisa dimanfaatkan untuk kegiatankegiatan non formal atau sehari-hari. Bisa diduga Pada halaman candi Hindu dibagi menjadi tiga bagian yaitu halaman luar, bersifat profan, halaman tengah, bersifat semi suci atau sakral, dan halaman dalam, bersifat suci atau sakral. Filosofi dasar tapak pada arsitektur Hindu Bali juga memberikan tiga pembagian atau penzoningan yang disebut Konsep Triangga yaitu Nista (profan), Madya (netral), dan Utama (suci) (Ashadi,1998:6). 3
277 bangunan masjid pada mulanya berada di bagian dalam, dekat pengimaman sekarang. Kemungkinan bangunan berdenah bujur sangkar berukuran relatif kecil dan beratap tajug dari bahan sirap, dengan mustoko di puncak atapnya, sebagaimana bangunan-bangunan peribadatan pada masa itu. Pada dinding penyengker kompleks masjid Menara Kudus dan makam Sunan Kudus terdapat 6 buah lobang untuk masuk ke dalam kompleks, yaitu terdiri dari 2 buah candi bentar dan 4 buah kori. Candi bentar, satu sebagai main entrance terletak persis di depan bangunan masjid dan satu lagi berada agak kesamping dari bangunan masjid, menghadap ke arah Selatan-Utara. Dua buah kori berada di depan samping kanan dan kiri bangunan Menara Kudus, dengan tanpa daun pintu. Dua lagi, adalah kori sebagai pintu masuk bagi para peziarah makam Sunan Kudus, letaknya di bagian Selatan. Kori utama untuk sirkulasi makam diberi atap berbentuk limasan. Agak sulit menentukan sirkulasi utama kegiatan baik pada prosesi masjid maupun prosesi makam, sebab pengunjung tidak mungkin bisa diarahkan ke satu pintu masuk. Pengunjung bebas lewat pintu masuk yang mana saja ke dalam kompleks. Dari pintu masuk hingga lantai masjid yang dinaikkan bisa dikatagorikan sebagai zoning profan atau kotor, semua orang bisa masuk ke dalam zoning ini. Dari zoning ini mereka bisa masuk ke dalam areal prosesi makam lewat sebuah kori yang berada di sebelah Selatan. Atau mereka akan melakukan shalat atau akan istirahat menghilangkan lelah. Ketika mereka
278 sudah menuju lantai masjid maka dianjurkan melakukan wudlu terlebih dahulu; untuk pria tempatnya di sebelah kiri (Selatan) dan untuk wanita berada di sebelah kanan (Utara) bangunan masjid. Tempat wudlu dan shalat khusus wanita biasa dinamakan pawestren. Namun banyak orang yang tidak melakukannya (berwudlu) dengan alasan mereka tidak sedang mengerjakan shalat melainkan sekedar istirahat menghilangkan lelah di lantai serambi. Dengan demikian lantai serambi pertama hingga ke tiga bisa dikatagorikan sebagai zoning transisi dari keadaan kotor menuju keadaan suci. Bagi orang-orang yang ingin mengerjakan shalat pada umumnya melakukannya di dalam ruang utama masjid. Mereka diharuskan berwudlu terlebih dahulu. Ruang utama ini bisa dikatagorikan sebagai zoning suci atau sakral. Antara tempat pengambilan air wudlu dengan ruang utama shalat terdapat ruang transisi yaitu berupa serambi, khususnya yang berada di sebelah kiri ruang utama. Dan sebenarnya areal dan bagian dari bangunan masjid sebelah kiri merupakan areal dan bagian yang aktif, sedangkan di bagian kanan tidak aktif sebab terlalu sempit arealnya (berbatasan langsung dengan dinding rumah tinggal penduduk). Jalan setapak di sepanjang sisi luar lantai masjid bagian kanan (Utara) menjadi lalu lalang penduduk kauman yang memang menjadi jalan masuk dan keluar bagi mereka dari dan ke kampungnya. Fungsi serambi masjid-masjid tradisonal Jawa pada masa Kolonial Belanda telah diceritakan oleh Snouck Hurgronje. Di pulau Jawa, serambi masjid menjadi ruang pengadilan bagi sengketa-sengketa, yang peradilannya telah dapat dikuasai hukum agama, seperti urusan-
279 urusan mengenai hukum perkawinan, hukum kekeluargaan dan hukum waris. Di serambi, penghulu, biasanya tiap hari Senin atau hari Kamis dengan didampingi oleh beberapa ahli di antara pegawaipegawainya, mengadakan sidang untuk memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan dengan segera perkaraperkara yang kadang-kadang beberapa waktu sebelumnya sudah diberitahukan kepada juru tulis atau pembantupembantu yang lain. Kebanyakan perkara yang diadili di serambi masjid diajukan oleh kaum wanita, yang dalam beberapa hal merasa dirugikan oleh suaminya (Hurgronje, 1983:17). Sebagaimana diceritakan oleh bapak Fathi Hidayat di atas, pada masa dahulu, untuk mewadahi urusan pernikahan warga Kudus Kulon disediakan sebuah bangunan semi permanen yang terdapat di sebelah Timur Laut bangunan masjid Menara. Dia tidak menceritakan fungsi-fungsi yang lain seperti dinyatakan oleh Hurgronje. Menurut tingkatan nilai ruang dalam tata ruang masjid, posisi serambi telah dapat menjembatani dua nilai ruang yang bertolak belakang yaitu profan (kotor) dan sakral (suci). Ruang yang dianggap profan adalah areal di sekitar (lingkungan) masjid, sedangkan ruang yang dianggap sakral adalah ruang utama (tengah) yang dinaungi atap tumpang, berfungsi sebagai ruang shalat. Urusan-urusan agama yang melibatkan pemeluknya tidak harus diselesaikan di dalam masjid (ruang utama), mengingat adanya ‘halangan’ bagi orang-orang dalam kondisi tertentu, seperti misalnya wanita yang sedang haid; di samping itu kegiatan-kegiatan di luar ibadah shalat yang melibatkan orang banyak akan mengganggu
280 orang-orang yang sedang melakukan shalat. Sehingga untuk menghilangkan ‘halangan’ itu, fasilitas tambahan yang berupa serambi, sebuah ruang semi terbuka, adalah solusi yang bijaksana (periksa Ashadi, 2001:148-149). Serambi masjid dan pawestren juga digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual khaul Sunan Kudus, yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram tahun Hijriyah. Dalam rangkaian ritual khaul Sunan Kudus, pada tanggal 8 Muharram, ba’da shalat Isya’ diadakan terbang papat dan doa rasul di serambi masjid. Tanggal 9 Muharram, pagi hari, di pawestren, para ibu-ibu Kauman membuat bubur suro dan langsung dibagikan kepada warga Kauman dan sekitarnya. Pada malam harinya, ba’da shalat Isya’ diadakan berzanjen, untuk kaum lakilaki di bangunan tajug dan kaum perempuan di pawestren. Setelah kegiatan berzanjen selesai, diadakan pengajian umum di serambi masjid. Serambi depan dan tengah masjid Menara yang terbuka hampir setiap hari, siang maupun malam, tidak pernah sepi, sebab selain para peziarah dan beberapa ‘pengembara’ yaitu orang-orang yang dengan berjalan kaki mengunjungi tempat-tempat orang suci, menggunakannya sebagai tempat istirahat (paling lama selama sehari semalam), juga beberapa santri memfungsikan serambi masjid sebagai tempat tadarusan (menghafal Al-Qur’an). Di serambi ini terdapat gapura kori yang merupakan pembatas serambi depan dan tengah, lengkap dengan konstruksi pintu kayunya yang sudah kuno; orang-orang Kudus Kulon menyebutnya lawang kembar, sebab di dalam ruang utama masjid juga terdapat pintu kuno yang
281 bentuk dan ukurannya hampir sama, dan sekarang keduanya tidak difungsikan lagi, kecuali pada hari Juma’t pagi, pintu kuno di serambi dibuka. Di salah satu sudut pintu yang tertutup, satu atau dua orang menempatkan kemenyan, dan akan semakin banyak orang yang berdoa di depan pintu tersebut pada setiap malam Jum’at, hingga waktu subuh saat pintu itu harus dibuka. Saat shalat lima waktu tiba, mereka juga melaksanakan shalat secara berjamaah di ruang utama masjid. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji; bahwa dalam satu ruang (serambi masjid) beberapa kegiatan yang mungkin memiliki derajat kesakralan berbeda dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana kita menilai kualitas kesakralan sebuah ruang bila dalam ruang itu, misalnya serambi masjid, beberapa kegiatan yang memiliki nilai sakral dan profan dilaksanakan secara bersamaan, meskipun oleh individu-individu yang berbeda. Di depan pintu gapura kori, para pengembara berdoa dengan kepulan asap kemenyan, di dekatnya, beberapa peziarah dari luar kota sedang melahap makanan yang dibawa dari rumah, di bagian lain, dua atau tiga orang sedang mengerjakan shalat, yang lainnya sedang mengaji, dan di pelataran, anak-anak sekolah dasar (madrasah Ibtidaiyyah) berlarian ke ke sana-kemari yang kadang-kadang naik ke serambi masjid. Kegiatan-kegiatan itu sudah biasa dilakukan sehari-hari; apakah dengan begitu, ruang serambi masjid menjadi profan ? Sungguh sulit kita menentukan apakah ruang itu memiliki derajat kesakralan atau tidak, sebab seperti yang dikatakan oleh Max Weber, bahwa batas
282 antara keduanya sangat tidak jelas (dalam Robertson, 1993:21-22). Di sini juga memperlihatkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Mircea Eliade (2002) tidak akan bisa menjawab pertanyaan di atas; dia secara mantap memberikan tesis bahwa agama harus selalu dijelaskan dengan ‘tema-tema’ agama itu sendiri. Bagaimana mungkin kegiatan keagamaan dipisahkan dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia yang lain? Terlepas dari anggapan bahwa tanpa masyarakat agama tidak ada, peneliti lebih sependapat dengan Durkheim, yang menerapkan pandangan fungsional yang sangat luas terhadap agama. Kita harus mencoba menjelaskan bagaimana keimanan seseorang ‘bekerja’, bagaimana berfungsi dan bagaimana bias melebihi tingkat intelektual dalam usaha manusia memenuhi kebutuhannya pada setiap kondisi (lihat Durkheim dalam Pals, 2001). Apabila kegiatan-kegiatan yang tidak semuanya berurusan dengan keagamaan, yang dilakukan oleh individu-individu atau oleh kelompok-kelompok kecil yang mana mereka semua tidak dalam kesatuan jama’ah, seperti yang terjadi di serambi masjid Menara Kudus, dianggap menurunkan derajat kualitas kesakralan bahkan merubah ruang sakral menjadi profan, berarti bahwa segelintir atau kelompok yang melakukan shalat atau mengaji Al-Qur’an di ruang itu akan sia-sia, sebab perbuatan mereka tidak dinilai sebagai tindakan agama. Baik Eliade maupun Durkheim menganggap agamalah yang berkaitan dengan kesakralan, dan sebaliknya, sementara yang berkaitan dengan yang profan bukanlah agama; dengan kata lain, kegiatan-kegiatan beserta ruang-
283 ruang sebagai wadahnya, yang tidak sakral berarti bukan perkara agama, atau sebaliknya. Padahal dalam kehidupan nyata, kita akan menemui kesulitan untuk menentukan apakah ruang itu sakral atau profan bila hanya didasarkan criteria kegiatan komunal; sementara yang banyak terjadi adalah dalam satu ruang dilakukan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok kecil yang tidak semuanya berkaitan dengan yang sakral. Jika kita menggunakan istilah Hall, ruang serambi masjid dapat digolongkan ruang semi fixed-feature; jadi bila dihubungkan dengan konsep ruang sakral dan profan nya Eliade, kita bias mengajukan satu sisipan jenis ruang di antara keduanya, yaitu ruang semi-sakral atau ruang campuran sakralprofan, untuk menampung beberapa kegiatan yang tidak benar-benar sakral dan di lain pihak kegiatan-kegiatan ibadah seperti shalat dan mengaji Al-Qur’an yang terjadi di ruang tersebut bisa diakui sebagai tindakan keagamaan. Pada bagian paling Barat dari bangunan masjid terdapat ruang utama untuk shalat. Ruangan ini tertutup oleh pembatas ruangan berupa dinding transparan dari kaca, memisahkan dari bagian serambi. Untuk memasuki ruangan ini harus melewati pintu-pintu kaca di bagian depan. Dibanding sifat ruang serambi yang bersifat semisakral, ruangan yang tertutup ini lebih bersifat suci atau sakral. Secara tipologis, ruang tengah terlihat lebih utama dibanding serambi. Dengan denah yang berbentuk bujur sangkar mengharuskan dia memiliki tipe penutup atap yang keempat bidang pembentuknya bertemu di satu titik
284 puncak, seperti bentuk piramida. Kondisi ini, di satu sisi, eksterior bangunan memberikan kesan masif, di sisi lain struktur atap yang menerapkan sistem rangka, jelas menciptakan keruangan di bawah atau di dalam bentuk piramida tersebut. Di samping kanan, kiri dan depan ruang utama terdapat serambi yang masing-masing dibatasi oleh adanya dinding; biasanya serambi samping berupa lotrong, semi tertutup, mendekati sakral dan serambi depan, di sebelah Timur ruang utama berupa ruang semi terbuka, mendekati profan. Dengan demikian, ruang utama yang dikelilingi serambi tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup sehingga terkesan gelap, sepi dan tertutup. Orientasi ruang utama memusat, praktis tertuju ke arah mihrab, sebuah ceruk di dinding ruang utama sebelah Barat. Serambi samping kanan dan kiri berorientasi ke dalam, ke ruang utama, sedangkan serambi depan lebih berorientasi menyebar, ke arah luar yang lebih bersifat semi publik. Pada kasus masjid Menara Kudus, di antara ketiga lapis atapnya diberi jendela kaca untuk pencahayaan ruang utama, sehingga kesan gelap menjadi berkurang. Hal ini memperlihatkan adanya perkembangan pemikiran ke arah modern yang salah satu unsur utamanya adalah aspek fungsional. Peran unsur cahaya sebagai pembentuk suasana di dalam ruang utama masjid mulai berkurang. Hampir seluruh ruang-ruang dihadiri oleh berkas sinar matahari yang boleh dikata sama kualitas dan jumlahnya4. Babak-babak perubahan arsitektur masjid Menara Kudus terjadi begitu cepat terutama didukung oleh kelompok Islam modernis yang kaya raya yang berdiam di Kudus Kulon; mereka 4
285 Di sebelah Selatan ruang utama masjid terdapat ruang perluasan untuk jama’ah, dan di sebelah Selatannya lagi terdapat tempat berwudlu bagi mereka yang akan melaksanakan ibadah shalat; khusus laki-laki. Di bagian atas (lantai dua) bangunan ini adalah madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar). Sedangkan tempat untuk mengambil air wudlu dan shalat khusus wanita (pawestren) berada di sebelah Utara ruang utama masjid; tempat ini agak tersembunyi, tidak sedikit pengunjung atau jamaah yang tidak mengetahui keberadaannya. Sebab pada umumnya jamaah datang ke masjid dari arah Selatan, dari berziarah ke makam Sunan Kudus. Dalam aktivitas keagamaan sehari-hari, terutama kegiatan shalat lima waktu, ketika tiba waktu shalat, seorang muadzin mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Sebelumnya, seseorang memukul bedug yang berada di puncak menara. Mungkin yang membedakan dengan masjid-masjid yang lain, ketika shalat Jum’at, adzan dukumandangkan oleh enam orang (2 orang muadzin + 4 orang karyawan) secara bersamasama. Pada shalat Isya’ malam Jum’at, dikumandangkan adzan oleh empat orang (1 orang muadzin + 3 orang karyawan). Orang-orang Kudus Kulon menyebut adzan shalat Isya’ di malam Jum’at dengan adzan dowo (adzan panjang) karena memang suara adzan dibuat panjang. Berkaitan dengan kegiatan shalat lima waktu, baik orang yang mengumandangkan adzan (muadzin) maupun orang yang memimpin shalat berjamaah (imam) berlainan untuk baru datang dari menimba ilmu di tanah suci Mekah dan Madinah pada abad ke-XIX dan awal abad ke-XX.
286 tiap-tiap shalat, dengan alasan kesibukan; mereka termasuk ‘orang-orang’ yang dikaryakan, sebab setiap bulannya mendapat gaji dari Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK). KH. Rafiq, asal Langgar Dalem, menjadi imam shalat Maghrib dan Isya’; Ustadz Faruq, asal Kauman, menjadi imam shalat Asar; dan Ustadz Nur Izza, asal Kauman, menjadi imam shalat Subuh dan Dzuhur. Sementara untuk muadzin, H. Sukron, asal Kauman, untuk shalat Maghrib dan Isya’; bapak Nasta’in, asal Mayong, Jepara, untuk shalat Dzuhur dan Asar; dan Abdurrahman, asal Langgar Dalem (pernah berdiam di Kauman), untuk shalat Subuh. Pihak yang berwenang menentukan imam dan muadzin masjid Menara adalah bapak H. Maksum, selaku ketua seksi Kemasjidan dalam kepengurusan YM3SK. Informan peneliti memaparkan, karyawan Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), terdiri atas: a. Penjaga makam keramat Sunan Kudus, tenaga keamanan dan kebersihan masjid Menara: bapak Sukron, asal Mayong, Jepara; bapak Bakri, asal Purwosari; bapak Arief, asal Kaliwungu; bapak Abdul Ghafur, asal Undaan; bapak Iskak, asal Mayong; dan bapak Noor Efendi, asal Ngledak. Mereka bertugas dengan cara bergantian posisi, hari ini seseorang bertugas sebagai penjaga makam, lain hari dia juga bertugas membersihkan masjid atau menjaga keamanan masjid.
287 b. Juru kunci makam keramat Sunan Kudus: bapak HM. Harun, asal Kauman. c. Imam masjid Menara: KH. Rafiq, asal Langgar Dalem; Ustadz Faruq, asal Kauman; dan Ustadz Nur Izza, asal Kauman. d. Muadzin masjid Menara: H. Sukron, asal Kauman; bapak Nasta’in, asal Mayong; dan Abdurrahman, asal Langgar Dalem. e. Tenaga yang mengurusi sound system masjid Menara: M. Mafaza, asal Kauman; dan M. Sajad, asal Kauman. f. Petugas parkir makam keramat Sunan Kudus harian: bapak Ahmad Turmudzi, asal Kauman; bapak Taufik, asal Damaran; dan bapak Rohim, asal Damaran. 6.5. Elemen Ruang dan Motif Hiasan Masjid Di bagian dalam serambi pertama, tepatnya disekeliling ring atap kubah juga terdapat tulisan-tulisan Arab yang menyebutkan nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW dan nama-nama Imam yang empat yang dibuat pada kaca berwarna, atau sering disebut glass in looth. Di sebelah Barat serambi pertama berdiri bangunan gapura kori agung dari susunan batu bata merah dengan sepasang pintu kayu kuno di bagian tengahnya. Menurut cerita sesepuh Kauman, pintu tersebut tampaknya memang belum pernah diganti. Ambang atas pintu (latiyu) terdiri atas enam tingkatan
288 yang masing-masing berbeda bentuknya. Latiyu-latiyu yang bertingkat itu berhiaskan motif-motif geometris. Pada salah satu latiyu, dari sisi sebelah Timur ditemukan tulisan berbahasa Arab, sebagai berikut (Salam, 1967:19): Hijratun Nabi Musthofa salallahu alaihi wassalam alfu wamisataani wakhamsa ngasyaru sanatan 1215 fi yaumil itsnaini fi syahril khajji fi sanati dal fi alfin minal qadhi khaaji. Artinya dalam bahasa Indonesia : Tahun Hijriyah seribu dua ratus lima belas pada hari Senin bulan Haji tahun Dal pada zaman Penghulu Tambak Haji. Pada latiyu yang menghadap ke arah Barat, terdapat tulisan berbahasa Jawa : Kala binangun djenengipun Kandjeng Rahaden Tumenggung Pandji Harjo Panegaran sinengkalan Pandhito Karno wulanganning djalma 1727. Pada gapura kori agung yang ada di dalam masjid menampilkan ornamen-ornamen yang sarat dengan nilai estetika, yaitu terutama yang berada di ruang utama shalat, selain bentuknya tidak banyak mengalami perubahan, juga beragamnya ornamen yang ada. Pada
289 dasarnya sebuah kori agung terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan kepala. Namun kaki kori agung sudah tidak nampak, karena terurug tanah untuk peninggian peil lantai masjid. Pada badannya, di tengah-tengah terdapat pintu (tidak berfungsi lagi) yang daun pintunya dihias dengan ukiran-ukiran (tidak tembus) dengan dominasi motif geometri, berupa bentuk tumpal di ujung atas dan bawah, dan belah ketupat di tengah-tengahnya dari masing-masing daun pintu. Di samping kanan dan kiri pintu, pada dinding kori agung terdapat ornamen berupa pahatan batu yang bermotifkan bunga dan daun tanaman dalam sebuah bingkai empat persegi mendekati bentuk segi enam panjang dengan posisi berdiri. Di bagian pinggir kanan dan kiri terdapat tiang-tiang penguat. Sepertinya konstruksi tiang-tiang ini dahulu sebagai ‘pemegang’ antara kori agung dengan dinding penyengkernya. Pada bagian kepala tersusun atas tiga tingkatan, dan bagian paling atas berbentuk seperti sebuah mahkota. Di bagian pinggir masing-masing tingkatan terdapat gegodeg, yaitu berupa ornamenornamen yang bentuknya mencuat ke atas. Hiasan gegodeg ini juga terdapat pada bagian kepala gapura kori yang terdapat di serambi depan. Tidak seperti lawang kembar yang berada di serambi, di sekitar lawang kembar yang berada di ruang utama shalat, tidak didapati kemenyan, sebab sehari-hari ruangan ini selalu dalam keadaan tertutup, kecuali pada waktu-waktu shalat lima waktu tiba, maka ruangan ini dibuka. (Gambar 29).
290
Gambar 29. Tampak Depan kori agung di dalam masjid (Sumber: Sketsa penulis)
Di ruang utama shalat banyak terdapat ornamen berupa tulisan-tulisan Arab pada dinding ruangan, salah satunya adalah berupa inskripsi bersejarah yang terdapat di atas ceruk pengimaman. Di dalam ruangan ini pula terdapat empat buah tiang sokoguru yang berbentuk segi delapan. Pada bagian atas tiang-tiang tersebut dibuatkan ornamen-ornamen yang memperlihatkan bentuk sebuah kapitel atau kepala, dilengkapi dengan motif-motif tumpal pada ujung bagian atas, di bawah kapitel di tiap-tiap kedelapan sisi pada masing-masing tiang. Di dekat pengimaman, terdapat sebuah jam bandul kuno, yang menurut cerita orang-orang setempat, jam itu adalah
291 hadiah dari orang yang pernah mendapat julukan raja kretek Indonesia, yaitu M. Nitisemito. Satu hal yang tidak biasa dijumpai pada masjid-masjid besar, bahwa di dalam ruang utama masjid Menara tidak dijumpai mimbar dari kayu, kecuali dua buah ceruk di sebelah kanan dan kiri pengimaman (mihrab) yang berfungsi sebagai mimbar. Menurut cerita sesepuh Kauman, sejak dahulu masjid Menara memang tidak memiliki mimbar. Di sebelah Utara mimbar (sebelah Utara mihrab) terdapat dua buah bendera berwarna hijau kehitaman yang bagian tepinya berhiaskan sulur berwarna kuning emas; ia dalam kondisi setengah tergulung. Menurut cerita sesepuh Kauman, bendera ini milik Sunan Kudus sehingga pengurus masjid maupun masyarakat umum tidak berani memegangnya, apalagi membuka gulungannya. Pada bagian eksterior bangunan masjid yang menonjol adalah adanya mustaka di puncak atap tumpang tiga. Sepertinya terbuat dari logam. Elemen ini ternyata sudah menyatu dengan bangunan masjid tradisional di Jawa sejak lama, dan hingga kini masih dipertahankan. Bentuk mustaka seperti bentala, dikelilingi oleh ornamenornamen dengan bentuknya yang mencuat ke atas. Apabila kita melihat gambar kuno masjid Menara Kudus, disamping keberadaan mustaka di puncak atap tumpangnya (tumpang dua) juga pada keempat pertemuan bidang atap tumpang yang paling atas terdapat jejeran ornamen yang bentuknya mencuat ke atas. Di sepanjang bagian atas atap limasan (atap serambi) di depan atap tumpang terlihat juga jejeran ornamen yang bentuknya seperti cengger ayam jantan (jago), posisinya berdiri
292 namun tidak mencuat. Tetapi ornamen-ornamen yang disebutkan di atas kini sudah tidak ada (kecuali mustaka) seiring dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan. Hiasan berbentuk cengger ayam jantan dengan posisi berjejer juga dijumpai pada atap-atap rumah adat Kudus yang berada di sekelingi kompleks masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Dan ternyata hiasan ini banyak pula ditemui pada atap rumah-rumah di daerah Demak, Kudus, Jepara dan Rembang. Dalam tradisi Jawa, ayam melambangkan kekuatan dan keberanian. Selain masjid, bangunan Menara juga sarat dengan hiasan-hiasan. Bidang-bidang di sisi Utara, Timur, dan Selatan, bangunan Menara; pada bagian sub basement didominasi oleh ragam hias dengan motif geometri, dengan bentuk-bentuk persegi panjang yang tiap-tiap sisinya berjumlah 4 buah. Pada bagian kaki Menara terdapat pengulangan ragam hias berujud bentuk persegi panjang yang ukurannya lebih kecil dibanding dengan yang ada pada bagian sub basement bangunan, jumlahnya di tiaptiap sisi juga sama, namun di bagian tengah ditempatkan ornamen berbentuk belah ketupat, dan di kedua ujungnya terdapat tumpal. Karena material dekorasi dari susunan batu bata, maka garis yang membentuk belah ketupat dan tumpal berupa garis tangga. Pada bagian bawah dari badan bangunan memiliki hiasan dekorasi dengan motif persis sama dengan bagian kaki, hanya saja ukurannya relatif lebih kecil. Masing-masing ketiga sisi Menara memiliki empat buah ornamen dengan motif persegi panjang, sedangkan bidang sisi sebelah Barat memiliki dua buah. Karena ukurannya yang relatif kecil, dan tersusun atas batu bata,
293 maka bentuk belah ketupat tersebut lebih mirip dengan bentuk tanda tambah (plus). Tepat di atasnya, pada keempat sisinya, terdapat deretan susunan porselin berbentuk piring atau mangkok berwarna putih di dalam bidang berbentuk belah ketupat (ada beberapa di dalam bidang berbentuk lingkaran). Bentuk-bentuk ini terdapat dalam relung berbentuk bujur sangkar. Masing-masing sisi memiliki 9 buah, 5 diantaranya terdapat hiasan dengan motif flora berwarna biru pada permukaannya, dan pada sisi Barat memiliki 2 buah juga dengan hiasan motif flora berwarna biru. Sehingga jumlah porselin piring secara keseluruhan adalah 29 buah, dimana yang memiliki bentuk dan ragam hias seragam berjumlah 17 buah, yaitu 5 buah di masing-masing sisi Utara, Timur, dan Selatan, ditambah 2 buah pada sisi Barat. Sedangkan ornamen porselin piring yang lain, berwarna putih polos atau dengan hiasan motif yang tidak sama dengan yang disebut di atas, sepertinya ditambahkan kemudian. Tambahan ornamen porselin ini kebanyakan berada dalam bingkai berbentuk lingkaran, bukan belah ketupat. Ada dugaan bahwa pada awalnya, bidang-bidang di antara deretan porselin piring yang berjumlah 17 buah, berupa ornamen berbentuk belah ketupat (tidak ada porselin piringnya) dalam relung bujursangkar. Pada bagian tengah badan bangunan,pada ketiga sisi terdapat relung-relung kosong5, sedangkan pada sisi sebelah Barat terdapat pintu Pada bangunan candi, relung-relung yang terdapat pada sisisisi luar ruang utama, biasanya ditempatkan patung-patung. Dalam relung sisi selatan ditempatkan patung atau arca Guru, disebelah utara ditempatkan arca Durga, dan di sebelah 5
294 bilik. Di sisi kanan dan kiri relung-relung maupun pintu bilik terdapat bentuk-bentuk seperti pilar. Di bagian atasnya terdapat bentuk-bentuk yang menonjol keluar, seperti bentuk kepala. Pada bagian atas badan bangunan, tidak ada ornamen yang berarti kecuali bentuk kepala di atas masing-masing relung dan bilik, hanya bentuk pelipit yang bersusun, yang mengelilingi tubuh Menara semakin ke atas semakin melebar, seperti susunan piramida terbalik. Pada bagian kepala bangunan Menara, ornamenornamen yang ada sangat berbeda dengan yang terdapat pada kaki dan badan bangunan. Hal ini bisa dimengerti mengingat struktur dan konstruksi yang diterapkan berbeda satu sama lain. Sepertinya bagian kepala merupakan bagian tersendiri, berupa bangunan yang memiliki denah bujursangkar dengan atap tajug bertumpang dua. Di atas dasar puncak bangunan ditempatkan lantai kayu berupa susunan papan dari bahan jati. Di sekelilingnya diberi papan yang agak tebal, kurang lebih 5 cm, dengan lebar kurang lebih 20 cm, yang dipasang berdiri; sebagai batas luasan bangunan kepala. Di keempat sisinya ditempatkan 4 buah tiang, ditambah 4 buah dibagian tengah; sehingga jumlah tiang semuanya belakang (Barat atau Timur, tergantung orientasi bangunan) ditempatkan arca Ganesa. Pada bagian atas relung atau pintu masuk terdapat ornamen yang dinamakan Kala, yaitu hiasan berupa kepala makhluk ajaib, banaspati (raja hutan). Dan di bawahnya, di kanan dan kiri, terdapat hiasan yang dinamakan Makara, berbentuk ikan panjang yang posisi ekor di atas dan kepala yang bentuknya mirip kepala gajah dengan belalainya berada di bawah. Kedua unsur ini merupakan satu kesatuan. Sehingga muncul istilah Kala Makara.
295 adalah 16 buah. Masing-masing tiang berukuran kurang lebih 10 x 10 cm, tetapi mengecil pada bagian tengah dan berbentuk segi delapan; tampaknya hal ini disengaja demi keinginan menampilkan ornamen-ornamen pada tiangtiang tersebut. Pada bagian atas tiang-tiang dipasang balok horisontal rangkap, yang fungsinya jelas memperkokoh dan memperkaku konstruksi tiang. Balok horisontal bagian atas dinamakan blandar, dan balok penyilangnya dinamakan pengerat; sedangkan balok bagian bawah dinamakan sunduk, dan balok penyilangnya dinamakan kili-kili. Ukuran dan bentuk keempat balok tersebut tidak berbeda dengan tiang-tiangnya. Hiasan dengan motif tumpal terdapat pada keempat sisi balok tiang-tiangnya, yaitu pada bagian bawah, kurang lebih 50 cm dari dasar, dan pada bagian atas, kurang lebih 25 cm di bawah sunduk dan kili-kili. Dan pada bagian keempat sudut balok tiang dibuat rata; sehingga bentuk balok tiang-tiang pada bagian tengah, diantara tumpal bawah dan atas menyerupai segidelapan, sedangkan pada ujung bawah dan atas tetap berbentuk segiempat. Demikian pula bentuk balok-balok horisontal, hampir sama dengan tiang-tiangnya; bagian ujung-ujungnya terdapat hiasan tumpal dan bagian tengahnya berbentuk segidelapan. Diantara balok-balok blandar dan pengeret di satu pihak dan sunduk dan kili-kili di pihak lain, di atas tiang-tiang pada keempat sisinya (berjumlah 12 buah) terdapat ornamen berupa ragam hias berbentuk kombinasi bintang yang melambangkan delapan arah mata angin, disamping memiliki makna terhadap bentuk geometris bintang bersudut delapan yang ditemukan pada motif-motif dari
296 Timur Tengah. Ragam hias tersebut dinamakan ragamaya. Bagian ini bisa dikatakan sebagai kapitil tiang dan lebih mirip sesanten pada konstruksi rumah tinggal tradisional Jawa. Di bagian puncak atap terdapat ornamen yang menjadi trade mark bagi bagunan-bagunan sakral yang ada di daerah Kudus, yaitu adanya sebuah mustaka. Bentuknya seperti genta yang dikelilingi ornamen dengan bentuk sirip mencuat ke atas. Di sepanjang pertemuan empat bidang atap, baik atap tumpang bawah maupun atas terdapat jejeran ornamen dengan posisi berdiri seperti bentuk sirip. Pada salah satu pengeret terdapat sebuah prasasti dengan huruf dan bahasa Jawa: Gahpoera sak ngaroengoe.
owah
ing
djagat
wong
Candrasengkala di atas menunjukkan tahun Jawa 1609 atau bertepatan dengan tahun Masehi 1685. Sementara di kayu tangga bagian dalam terdapat tulisan angka tahun 1313 H atau 1895 M. 6.6. Susunan dan Fungsi Ruang Makam Sirkulasi yang terjadi dalam prosesi makam lebih terarah dan runtut dibanding dengan prosesi masjid. Melewati pintu masuk yang berupa gapura kori (berpintu) yang berada di sebelah Timur, di sebelah Selatan gapura bentar utama (main entrance), pengunjung berarti sudah mulai melakukan prosesi makam. Areal prosesi makam yang paling depan adalah zoning II. Bagi komunitas Kauman, zoning ini masih dianggap public space sebab gang-gang
297 (ada 2 buah) yang menuju ke perkampungan mereka yang ujungnya berada di zoning ini, bisa dilewati kapan saja. Hal ini sama seperti yang terjadi pada bagian Utara bangunan masjid. Pengunjung makam dari zoning II bisa langsung menuju bangunan tajug (zoning IV) dengan melewati gapura bentar dan kori. Bagi mereka yang mengendarai sepeda atau sepeda motor diberi tempat untuk memarkir kendaraannya di areal antara zoning II dan IV (zoning III). Di depan bangunan tajug terdapat dua buah bale kecil di kanan dan kiri gapura kori (bale babut), sebagai tempat penitipan barang-barang bawaan. Di bagunan tajug, para pengunjung (rombongan) terlebih dahulu di beri penjelasan oleh petugas tentang riwayat kompleks masjid Menara Kudus dan tokoh pendirinya, Sunan Kudus beserta keturunannya. Dan juga mereka diberi wejangan sebagai bekal untuk berziarah ke cungkup makam Sunan Kudus. Dari zone IV ini setiap pengunjung dianjurkan untuk bersuci (berwudlu) di sebuah perigi di sebelah Barat Laut bangunan tajug, di dekat pintu masuk ke areal pekuburan. Pintu masuk ke areal pekuburan (zoning Vdan VI) berupa gapura kori (berpintu) berada di sebelah Utara bangunan tajug. Di depan gapura kori ini terdapat dinding atau tembok aling-aling (kelir), sehingga bagian dalam areal pekuburan tidak terlihat dari luar (zoning IV). Memasuki areal pekuburan, pengunjung dengan tanpa alas kaki melalui jalan setapak (lebar 0,8 m) yang di kanan dan kirinya banyak nisan-nisan; sebagian ada yang dinaungi dengan bangunan-bangunan beratap limasan, menuju ke zoning VII, sebagai areal “penerima” sebelum masuk ke areal cungkup makam Sunan. Dari
298 zoning V ke VI, pengunjung melewati sebuah gapura candi bentar. Di sebelah Barat zoning VI terdapat gapura kori sebagai pintu masuk ke zoning VII. Dari sini pengunjung berbelok ke arah Utara, dengan melewati gapura bentar, sampailah mereka di areal cungkup makam Sunan (zoning VIII). Di depan gapura bentar terdapat juga tembok alingaling. Gradasi sifat kesakralan dari masing-masing zoning jelas terasa pada prosesi makam6. Letak cungkup makam Sunan yang di pojok sebelah Barat Laut kompleks masjid, memungkinkan terjadinya sirkulasi yang panjang. Dimulai dari pintu masuk makam, pengunjung harus berjalan ke arah Barat sejauh kurang lebih 65 m untuk sampai di bangunan tajug. Dari sini, pengunjung berjalan lagi ke arah Utara sejauh kurang lebih 35 m hingga pintu masuk ke areal cungkup makam (belok ke arah Barat). Untuk mencapai cungkup makam Sunan, pengunjung masih harus berjalan ke arah Utara lagi sekitar 10 m. Jadi jarak yang di jalani oleh pengunjung makam dari pintu masuk hingga bangunan cungkup makam Sunan kurang lebih 110 m. Letak makam Sunan Kudus yang di sebelah Barat Laut bangunan masjid, memunculkan anggapananggapan bahwa letak cungkup terhadap masjid memang disengaja mengarah ke Kiblat. Hal ini juga terjadi pada
Di zoning IX, di antara nisan-nisan yang dinaungi bangunan, peneliti sempat menjumpai dua orang santri yang sedang belajar, menghafal isi sebuah kitab. Suara hafalannya saling bebarengan dengan suara-suara dzikir para pengunjung cungkup makam. Rupanya mereka menganggap tempat-tempat itu dapat memberikan berkah kepandaian. 6
299 makam Sultan Trenggana, raja kesultanan Demak yang terletak di sebelah Barat Laut masjid Agung Demak. Sirkulasi pada prosesi makam hanya berupa satu jalur, sehingga terjadinya cross antara pengunjung yang menuju ke arah bangunan cungkup dan yang telah selesai berziarah dari cungkup makam, tidak dapat dihindarkan. Sehingga, apabila pengunjung makam jumlahnya terlalu banyak, pintu butulan di sebelah Barat cungkup makam Sunan Kudus dibuka, sehingga para peziarah yang pulang bisa melalui pintu kecil ini, melewati gang-gang sempit kampung Kauman menuju serambi masjid atau areal parkir. Ketika para peziarah memasuki zoning IV, seorang petugas penjaga makam yang duduk di bale babut, menyeru kepada para peziarah agar memasukkan uang amal ke dalam kotak kayu sambil memukul-mukul kotak tersebut dengan sebatang kayu; kelihatan sekali dia begitu bersemangat. Peneliti mendengar dari beberapa orang Kauman, bahwa dari hasil uang amal para peziarah makam Sunan Kudus, pihak Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) bisa membeli beberapa rumah adat yang ada di kampung Kauman, salah satunya difungsikan sebagai sekretariat yayasan dan gedung serba guna. Sehingga di kalangan orang-orang Kauman ada istilah ‘orang mati memberi makan kepada orang hidup’, artinya Sunan Kudus yang sudah mati, makamnya mampu mendatangkan banyak peziarah yang tentunya juga uang amal, sehingga tidak sedikit orang-orang Kauman dan sekitarnya yang bisa dihidupi dengan uang amal tersebut. Kotak amal tersebut dibuka dua minggu
300 sekali pada hari Jum’at, berbarengan dengan kotak amal yang ditempatkan di dalam masjid Menara. Menurut informasi dari salah seorang sesepuh Kauman, pada masa-masa puncak, biasanya pada masa liburan sekolah, dari kedua kotak amal tersebut bisa terkumpul uang sebanyak tidak kurang dari 10 juta rupiah. Dan kenyataannya, hingga sekarang, empat rumah adat di sekitar masjid Menara telah menjadi hak milik yayasan. 6.7. Elemen Ruang dan Motif Hiasan Makam Pada bangunan tajug, diantara konstruksi dua balok horisontal rangkap yang terletak di bagian atas tiang-tiang (sebagai terusan dari tiang-tiang bangunan), terdapat ornamen dengan ukiran-ukiran motif bintang bersudut delapan yang disusun secara bertingkat; ragam hiasnya dinamakan ragamaya. Apabila diteliti secara cermat, ragam hias ragamaya adalah merupakan elemen tempelan, bukan bersifat konstruksional. Balok-balok tiang berdimensi kurang lebih 12 x 12 cm; blandar dan pengeret, serta sunduk dan kili-kili berukuran 8 x 12 cm. Balok blandar dan pengeret dipasang secara tidur, sedangkan sunduk dan kili-kili dipasang dengan posisi berdiri. Baik balok-balok tiang maupun balok-balok horisontal, masing-masing di bagian ujung-ujungnya dihiasi motif mirong. Motif mirong muncul pada zaman Mataram Islam. Hiasan dengan motif ini banyak dijumpai pada tiang maupun blandar bangunan-bangunan dalam keraton Mataram Islam. Bentuk motif mirong secara sekilas menyerupai sosok perempuan yang sedang bersembunyi di belakang tiang, oleh karenanya motif ini dikenal pula
301 dengan putri mirong. Menurut tradisi Jawa, mengapa motif mirong sering menghiasi tiang, sebab jaman dulu ketika ada pertunjukan tari di keraton, datanglah Kanjeng Ratu Kidul untuk menyaksikan pertunjukan itu, namun dia tidak menampakkan dirinya melainkan bersembunyi dibalik tiang bangunan. Ornamen di bagian atap bangunan tajug berupa sebuah mustaka di puncaknya, dan deretan ornamen yang bentuknya tegak di sepanjang pertemuan keempat bidang atap. Ornamen-ornamen ini juga menghiasi atap bangunan cungkup makam Sunan Kudus. Ornamen dengan bentuknya yang tegak, yang disusun dengan berjejer juga terdapat di atas atap bangunan berbentuk limasan yang menaungi sebagian nisan-nisan kuburan yang ada dalam kompleks makam. Lantai bangunan tajug yang berupa baturan, di keempat sisinya masih terlihat hiasan berwujud motif padma yang distilir seperti jantung, berderet mengelilingi baturan tersebut. Pada dinding perigi yang terbuat dari batu bata merah, sebagai tempat berwudlu sebelum memasuki zone pekuburan (zoning V), terdapat ornamen berupa hiasan dengan motif bunga tanaman, yang ditampilkan secara timbul, berbentuk menyerupai daun waru (atau daun padma) yang disusun terbalik ke bawah. Ternyata ornamen dengan motif ini juga terdapat pada kursi untuk seorang khatib di masjid Agung Demak. Bentuknya sekilas mirip mata panah atau tombak. Di atas perigi juga dijumpai porselin-porselin piring atau mangkuk.
302 Pada gapura kori, sebagai entrance ke cungkup makam Sunan Kudus, terdapat ragam hias ukiran yang sangat menarik pada pintunya. Konstruksi pintu semua dari bahan kayu jati. Hiasan pada kusen di kanan dan kiri pintu berupa ukiran bermotif sulur-sulur daun dan bunga. Di bagian tengah kusen tersebut terdapat hiasan dengan motif rozet dalam bidang belah ketupat, sedangkan pada bagian atasnya terdapat hiasan berbentuk daun padma yang seolah-olah menopang kusen atas. Pada bagian tepi daun pintu dihiasi dengan motif rozet dalam bingkai segiempat. Di bagian tengah daun pintu terdapat hiasan motif rozet dalam bingkai lingkaran. Lobang angin di atas pintu berbentuk setengah lingkaran, yang penuh dengan hiasan relief tembus bermotif sulursulur daun dan bunga. Hiasan rozet sudah ada sejak jaman Hindu Jawa. Pada sebuah patung raja Majapahit, yaitu Kertaradjasa, terlihat motif rozet pada pakaian yang dikenakannya. Raja itu mengenakan kain, dihiasi dengan ragam hias kawung. Bidang-bidang serupa bintang yang terdapat di antara kawung-kawung itu diisi dengan hiasan rozet.
BAB VII KESIMPULAN Secara umum, dari pembahasan Bab II hingga Bab VI, berdasarkan kaitan fungsional antara kultur, ruang arsitektur dan simbol-simbol yang digunakan oleh komunitas muslim Kauman, peneliti dapat menyimpulkan bahwa tata ruang arsitektur Kauman Kudus, telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, yang dibarengi dengan pergulatan-pergulatan, untuk mewadahi kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari komunitas muslim dari dulu hingga sekarang. Pergulatanpergulatan yang menyertai proses pembentukan tata ruang Kauman melibatkan seluruh anggota komunitas muslim dalam berkehidupan ekonomi, sosial kemasyarakatan, keagamaan, dan simbol-simbol yang diciptakan dan digunakan. Dalam tata ruang arsitektur Kauman telah terjadi proses saling ‘membentuk’ antara ruang-ruang arsitektur sebagai wadah kegiatan dan orang-orang Kauman itu sendiri sebagai pelaku atau subyek. Generasi sebelumnya telah menciptakan dan membentuk ruang-ruang arsitektur Kauman, dengan dinding-dinding pembatas ruang dibuat secara tegas dan jelas. Sedangkan generasi sekarang, sikap dan perilakunya dibentuk oleh ruangruang arsitektur tersebut. Apabila generasi sekarang telah
303
304 mampu ekonominya, tidak menutup kemungkinan akan menghilangkan dinding tembok tinggi yang mengelilingi rumahnya. Hal ini bisa terjadi karena di antara ruangruang arsitektur dan orang-orang yang berkegiatan di dalamnya senantiasa terdapat suatu hubungan timbal balik yang setara. Implikasi utama dari konsep kultur adalah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu kultur senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaanya tergantung dari kegiatan nyata para pelakunya yang mempunyai kepentingan tertentu dalam konteks sosial, ekonomi dan politik. Sifatnya yang cair, dinamis dan sementara akan mempertemukan kita kepada pendekatan yang dilakukan oleh Victor Turner: Processual Symbolic Analysis. Ini adalah salah satu pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang popular dalam dunia antropologi sampai dasawarsa tahun 1970an, yang memiliki ciri-ciri statis. Masyarakat, oleh Turner dilihat sebagai proses yang berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya dalam proses dialektis. Dalam hal ini, dialektis diartikan sebagai suatu proses. Kondisi lingkungan permukiman Kauman yang terkesan sesak, pengap, tertutup dan tidak teratur, di samping kondisi ini merupakan peninggalan pendahulunya di masa kejayaannya, juga disebabkan oleh pemenuhan akan ruang-ruang sebagai wadah kegiatankegiatan domestik mereka yang semakin banyak seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan-kebutuhan hidup. Faktor kepemilikan rumah tinggal bagi individuindividu dalam komunitas Kauman menjadi begitu penting sehingga masing-masing dari mereka harus memberikan
305 batas-batas teritorial yang tegas dan jelas, tidak menyisakan lahan miliknya untuk dapat diwakafkan demi kepentingan umum. Apabila komunitas Kauman sekarang ini dianggap memiliki sikap menutup diri, egois, sulit diatur dan memisahkan diri dari kelompok masyarakat lain, maka hal itu sangat mungkin benar. Mereka telah dibentuk oleh lingkungan yang tertutup, tanpa ruang sosial sedikitpun, yang diwariskan oleh pendahulunya. Sebagian besar rumah tinggal di Kauman yang ditempati oleh warga adalah berstatus hak waris, artinya orang atau keluarga yang menempati rumah itu belum tentu sebagai pemiliknya. Sebagian yang lain, karena kemampuan ekonomi yang pas-pasan tidak memungkinkan untuk merenovasi rumah tinggal yang sudah menjadi hak miliknya. Artinya orang-orang Kauman memiliki sifat-sifat seperti di atas karena dibentuk oleh ruang-ruang arsitektur, yang diciptakan oleh pendahulu mereka, yang setiap hari menjadi wadah kegiatan mereka. Sebagian besar kegiatan keluarga Kauman dilakukan di dalam rumah yang dikelilingi dinding tembok tinggi; orang lain tidak akan tahu kegiatan mereka kecuali masuk ke dalam kilungan. Mereka melakukan kegiatan domestik tanpa keterlibatan orang lain termasuk tetangga dekat. Sikap orang-orang Kauman yang tidak mau minta pertolongan dan tidak mau mengganggu orang lain, menjadikan lingkungan Kauman tidak seramai desa-desa di sekitarnya, sebab jarang terjadi hubungan sosial antar warga. Tidak ada take and give. Bagi orang-orang yang tergolong miskin, meskipun mungkin sangat menyakitkan,
306 mereka tetap menampilkan sikap dan perilaku seperti orang-orang yang tidak mempunyai masalah dengan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Ditambah dengan jiwa kebebasan yang dimiliki oleh hampir sebagian besar warga Kauman, yang tidak mau diatur oleh orang atau pihak lain, semakin menempatkan orang-orang Kauman yang lemah ekonominya di tempat yang sangat tidak menguntungkan. Rupanya anjuran agama Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya oleh seluruh warga Kauman, untuk saling tolong-menolong sesama muslim dalam hal kebaikan, belum dilaksanakan sepenuhnya. Namun usaha-usaha untuk melakukan kegiatan bersama antar warga, akhir-akhir ini sudah dan sedang berlangsung. Sekelompok orang Kauman sudah bisa dan mampu mengendalikan dirinya yang selama ini terpaksa harus ‘dibentuk’ oleh tata ruang arsitekturnya. Mereka ‘menyulap’ ruang jagasatru rumah tinggalnya, yang selama ini berfungsi sebagai ruang penerima tamu yang pasif, menjadi ruang sosial yang aktif dengan kegiatan keagamaan seperti kegiatan arisan, pembacaan berzanji dan manakib, pengajian agama. Dari kegiatan ini diharapkan tercipta solidaritas sosial di kalangan warga Kauman, di samping tradisi buka luwur, wadah aktivitas sosial yang paling banyak melibatkan orang. Dan solidaritas sosial dan keagamaan warga Kauman mulai dan sedang terbina lebih banyak melalui wadah rumah tinggal ketimbang wadah masjid. Komunitas Kauman menggunakan kultur, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, norma-norma, dan keyakinan-keyakinan, untuk memahami gejala-gejala yang
307 ada yang terus berubah dalam lingkungannya, kemudian memilah-milahnya atau mengelompokkan dalam kategorikategori baik dan buruk untuk merencanakan langkahlangkah dan memilih sikap atau tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana mereka menyikapi tata ruang rumah tinggalnya. Perubahan terus menerus cara pandang komunitas Kauman terhadap tata ruang rumah tinggalnya tidak semata-mata karena faktor dari dalam komunitas itu sendiri seperti bertambahnya penghuni rumah, bertambahnya wawasan dan ilmu dari sebagian penghuni rumah, melainkan juga oleh faktor dari luar, terutama dari lingkungan hidup perkotaan; sebab sekarang ini orang-orang Kauman (Kudus Kulon) yang dianggap sebagai masih tradisional tidak sedikit yang bekerja di kota Kudus Wetan yang dianggap lebih modern, dan sebagian yang lain berdagang dan berusaha di luar kota, di samping juga telah banyak terjadi pernikahan antara orang-orang Kauman dengan orang-orang kota. Kultur komunitas Kauman telah berubah. Hal ini sesuai dengan hakekat kultur itu sendiri yang tidak statis, melainkan dinamis, berubah dan berkembang secara akumulatif, dan semakin lama bertambah kompleks. Terdapat dua gambaran kondisi kehidupan komunitas Kauman berkenaan dengan tata ruang arsitekturnya, yaitu di satu pihak mereka melakukan perubahan-perubahan karena tuntutan kebutuhan hidup, sementara di pihak lain mempertahankan kondisi yang ada lebih karena pertimbangan-pertimbangan tertentu
308 yang pada umumnya dipengaruhi oleh pengalaman religiusnya. Beberapa keluarga Kauman memberikan fungsi kepada ruang-ruang rumah tinggalnya menuruti kemampuan dan kebutuhan seluruh anggota keluarganya dalam berkehidupan sehari-hari, sehingga perubahan fungsi ruang baik yang bersifat tetap maupun sementara harus dilakukan. Misalnya, fungsi ruang-ruang inti rumah tinggal keluarga Kauman – jagasatru – njero ngomah – pawon, yang sejatinya merupakan fasilitas ruang untuk mewadahi kegiatan domestik anggota keluarga, tidak jarang digunakan pula untuk kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan ekonomi, tanpa lagi melihat derajat nilai kesakralan ruang-ruang itu. Sementara itu, sebagian yang lain enggan melakukan perubahan-perubahan baik bentuk maupun fungsi ruang karena masih memperhatikan nilai kesakralan suatu ruang. Sebagai contoh, oleh sebagian orang, ruang di bawah brunjung dan bagian-bagian dari konstruksi sokoguru yang menyangga atap joglo pencu, dianggap memiliki derajat kesakralan tertinggi dibanding ruang dan bagian-bagian lainnya, hingga ia harus dibiarkan tetap kosong – sebagai ruang pasif. Di sini terdapat pergulatan atau pertentangan yang tak kunjung henti antara tradisi dan inovasi dalam seluruh bidang kehidupan kultural. Meskipun kita menganggap bahwa pada dasarnya kultur itu tidak statis, namun yang namanya tradisi, yaitu kebiasaan yang turun-temurun dalam suatu masyarakat, akan membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan berubah. Orang yang hidup dalam tradisi, berarti dia cenderung mempertahankan keadaan yang telah
309 diwariskan para pendahulunya. Sementara inovasi, yaitu penciptaan baru baik berupa benda maupun pengetahuan yang dilakukan dengan melalui proses penciptaan dan yang didasarkan atas pengkombinasian dari pengetahuanpengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala, adalah salah satu faktor yang mempercepat terjadinya perubahan kultur. Pergulatan antara tradisi dan inovasi akan terus berlangsung hingga tidak ada yang muncul sebagai pemenang tetap, yang muncul adalah pergulatan itu bagaikan sebuah bandul jam dinding, sekali waktu ia bergerak ke arah kecenderungan mempertahankan praktek-praktek lama dan pada waktu yang lain ia akan bergerak ke arah kecenderungan menghasilkan bentukbentuk baru. Menurut peneliti, dua kecenderungan itu sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat dan kepentingan politik para elit yang terlibat. Pergulatan antara tradisi dan inovasi komunitas Kauman sudah terjadi sejak dulu: (a) dimulai dari periode ketika mereka menjadi bagian dari komunitas pedesaan yang masih miskin (empat generasi ke belakang), Kudus Kulon, ditunjukkan oleh keberadaan rumah-rumah yang miskin ukiran, antara rumah satu dan lainnya tanpa adanya pagar masif, kecuali tanaman, yang kesemuanya ikut menciptakan lingkungan permukiman terbuka seperti keadaan lingkungan permukiman di pedesaan Jawa pada umumnya, di sana solidaritas sosial masih kuat; (b) kemudian menjadi bagian dari komunitas pedesaanperkotaan yang makmur (dua atau tiga generasi yang lalu), Kudus Kulon- Kudus Wetan, ditunjukkan oleh
310 keberadaan rumah-rumah yang kaya ukiran, rumah gedhong ala rumah Eropa, dengan alasan keamanan harta bendanya maka rumah-rumah itu perlu dikilung, yang kesemuanya telah memunculkan lingkungan permukiman tertutup, ia sedikit demi sedikit telah memperlemah bahkan menghilangkan solidaritas sosial yang selama ini dibina oleh pedahulunya; dan (c) sekarang mereka menjadi bagian dari komunitas perkotaan yang mengalami kemerosotan ekonomi (satu generasi yang lalu dan generasi sekarang) di tengah-tengah lajunya pembangunan kota Kudus modern – Kudus Wetan, ditunjukkan oleh semakin hilangnya ruang-ruang kosong dan semakin berjejalnya diding-dinding pembatas rumah, dan semakin bertambahnya fungsi ruang-ruang rumah tinggal, sebagian menjadi multi fungsi, solidaritas sosial mulai dibangun lagi. Simbol-simbol pergulatan acap kali justru terlihat dari goresan-goresan, pahatan-pahatan dan olahanolahan artifak yang dihasilkan dan dipergunakan, seperti ukiran gebyok dan ragam hias lainnya yang terdapat pada elemen-elemen ruang rumah tinggal, masjid dan makam. Pergulatan yang terjadi melibatkan unsur-unsur dari kultur-kultur lama dan baru, yaitu tradisi Jawa (Animisme), Hindu, Islam, Cina dan Eropa. Melihat periode kemunculannya, pergulatan ini dialami oleh komunitas Kauman ketika mereka menjadi bagian dari komunitas pedesaan-perkotaan, Kudus Kulon – Kudus Wetan, pada masa dimana kemakmuran menyelimuti mereka. Jadi, pada dasarnya tata ruang arsitektur Kauman berangkat dari tradisi Jawa. Karena merupakan hasil dari sebuah proses transformasi kultural, terlalu dini bila
311 mengatakan bahwa tata ruang arsitektur Kauman adalah merupakan manifestasi atau cerminan kehidupan suatu komunitas yang dinilai taat dalam menjalankan kehidupan keagamaannya (ada yang menyebut golongan Islam Santri). Justru yang terjadi dan terlihat di lapangan adalah proses itu menghasilkan bentuk sinkretisme dalam sebagian sisi kehidupannya. Mungkin secara tingkah laku, orang-orang Kauman bisa dinilai taat menjalankan perintah-perintah agama Islam yang dianut (saleh), seperti dalam hal shalat, zakat, puasa dan haji, meskipun mereka lebih suka menjalankan shalat lima waktu, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai tolok ukur kesalehan seseorang, tidak secara kolektif (ibadah komunal – jama’ah) di masjid, tetapi dari cara mereka menanggapi dan menyikapi tradisi, dan dari artifak yang diciptakan dan dipergunakan, menunjukkan bahwa mereka hidup dalam lingkungan kehidupan yang sinkretik, mereka belum benar-benar mampu menarik batas yang tegas antara tradisi Islam (murni – dari sumbernya: Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan tradisi Jawa, yang sebenarnya dalam banyak kasus, tradisi Jawa bertentangan dengan tradisi Islam itu sendiri. Sungguh sulit kita menentukan apakah seseorang itu memiliki derajat kesalehan (ketaatan kepada agamanya) atau tidak, sebab batas antara keduanya sangat tidak jelas.
312
DAFTAR PUSTAKA Adrisijanti, Inajati 2000 Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta: Jendela. Anisa 2003 ‘Rumah di dalam Kilungan di Kota Lama Kudus‘, Laporan Tesis, Program Studi Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Anwar, Rosehan 1987 ‘Biografi K.H.M. Arwani Amin’, Laporan Penelitian, Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama RI. Ashadi 1998 ‘The Great Mosque of Demak’, Jurnal FTUP, Edisi Pebruari, Th. XI. 2000
‘Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus Jawa Tengah‘, Laporan Penelitian, Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jakarta.
2001
‘Studi tentang Arsitektur Masjid Tradisional di Pantai Utara Jawa’, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
313
314 2002
‘Alun-Alun: Menelusuri Konsep Kota dalam Tata Ruang Kota Laporan Penelitian, Lembaga Pengembangan Universitas Jakarta.
Ruang Terbuka Kuno di Jawa‘, Penelitian dan Muhammadiyah
Ashihara, Yoshinobu 1983 Merancang Ruang Luar, Dian Surya. Barth, Fredrik 1988 Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI-Press.
Terjemahan,
Budihardjo, Eko (Ed) 1996 Jati Diri Arsitektur Indonesia, Cet. III, Bandung: Alumni. Menuju Arsitektur Indonesia, Bandung: Alumni. 1997
Preservation dan Conservation of Cultural Heritage in Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Jati Diri Arsitektur Indonesia, Bandung: Alumni.
Budiman, Amen 1978 Semarang Riwayatmu Dulu, Semarang: Tanjung sari. Burger, D.H. 1977 Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhratara. Castles, Lance 1982 Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta: Sinar Harapan.
315 Darban, Ahmad Adaby 1984 ‘Kampung Kauman: Sebuah Tipologi Kampung Santri di Perkotaan’ (Studi Perbandingan Sejarah Pertumbuhan Kampung Kauman Kudus dan Yogyakarta), Laporan Penelitian, Universitas Gadjah Mada. 2000
Sejarah Kauman, Menguak Identitas Muhammadiyah, Yogyakarta: Tarawang.
Kampung
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1976 Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Dillistone, F.W. 2002 The Power of Symbol, Terjemahan, Yogyakarta: Kanisius. Durkheim, Emile 1993 ‘Dasar-Dasar Sosial Agama‘, dalam Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001
‘Kesakralan Masyarakat‘, dalam Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: IRCiSoD.
Eliade, Mircea 2001 ‘Hakekat Yang Sakral‘, dalam Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: IRCiSoD.
316 2002
Sakral dan Profan, Yogayakarta: Fajar Pustaka Baru. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Ember, Carol R. dan Melvin Ember 1999 ‘Konsep Kebudayaan‘ dalam Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Freud, Sigmund 2001 Totem dan Tabu, Yogyakarta: Jendela. Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books, Inc. 1981
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masayarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
1986
Mojokuto, Jakarta: Pustaka Grafitipers.
1992
Kebudayaan & Agama, Yogyakarta: Kanisius. Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Hildred 1983 Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Pers. Gill, Ronald 1997 ‘The Morphology of Indonesia Cities’ dalam Budihardjo (Ed), Preservation dan Conservation of Cultural Heritage in Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
317 Graaf, H.J. de dan Th.G.Th. Pigeaud 1985 Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta: Pustaka Utama. Groeneveldt, W.P. 1960 Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Jakarta: Bhratara. Hall, Edward T. 1966 The Hidden Dimension, Garden City, New York: Doubleday. Hamzuri ‘Rumah Tradisional Jawa’, Laporan Akhir, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hardjowirogo, Marbangun 1989 Manusia Jawa, Jakarta: Haji Masagung. Harris, Marvin 1979 Cultural Materialism : The Struggle for a Science of Culture, New York: Random House. 1984
Kemunculan Teori Antropologi 1&2, Terjemahan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malasia.
Herlingga, Mochammad Choesni Asas Linggaisme Falsafah Nenek Moyang Kita. Herskovits, Melville J. 1999 ‘Organisasi Sosial: Struktur Masyarakat’ dalam Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
318 Herusatoto, Budiono 2001 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Cet.ke-4,
Hurgronje, Snouck 1983 Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Husken, Frans 1998 Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi di Jawa 1830 – 1980, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Ihromi, T.O. 1999 Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ismudiyanto dan Parmono Atmadi 1987 ‘Demak, Kudus, Jepara Mosque: A Study of Architectural Syncretism’, A Research Report, Department of Architecture, Faculty of Egineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Ismunandar, R. 1990 Joglo, Arsitektur Rumah Semarang: Dahara Prize
Tradisional
Jawa,
Kartodirdjo, Sartono; A. Sudewo; Suhardjo Hatmosuprobo 1987 Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Keesing, Elisabeth 1999 Betapapun Besar Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini, Jakarta: Djambatan. Keesing, Roger M. 1999 Antropologi Budaya Jilid I, Jakarta: Erlangga.
319 Kluckhohn, Clyde 1984 ‘Cermin bagi Manusia‘ dalam Parsudi Suparlan, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Jakarta: Rajawali. Kodiran 1999 ‘Kebudayaan Jawa’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. Ke-18, Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat 1984 Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka. 1993
Ritus Peralihan Pustaka.
di
Indonesia,
1996
Pengantar Antropologi II, Jakarta: Rineka Cipta.
1999
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet.ke-18, Jakarta: Djambatan.
2000
Kebudayaan Mentalitas Jakarta: Gramedia.
dan
Jakarta:
Balai
Pembangunan,
Kuper, Adam 1999 Culture, London: Harvard University Press. Kuswartojo, Tjuk 1996 ‘Mencari Wawasan Arsitektur‘, dalam Budihardjo, Jati Diri Arsitektur Indonesia, Cet. III, Bandung: Alumni. Laksono, P.M. 1990 Tradition in Javanese Social Structure Kingdom and Countryside, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
320 Lessa, William A. and Evon Z. Vogt 1979 Reader in Comparative Religion, New York: Harper & Row. Lincoln, Yvonna S. dan Egon G. Guba 1985 Naturalistic Inquiry, Beverly Publications.
Hills:
Sage
Listiati, Etty Endang 1997 ‘Rumah Tinggal Kampung kauman Semarang’, Laporan Tesis, Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Lombard, Denys 1996 Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu, Bag. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mangunwijaya, Y.B. 1988 Wastu Citra, Jakarta: Gramedia. Malinowski, Bronislaw 1979 ‘The Role of Magic and Religion’ dalam Lessa, Reader in Comparative Religion, New York: Harper & Row. Masinambow, E.K.M. dan Rahayu S. Hidayat (Ed) 2001 Semiotik, Mengkaji Tanda dalam Artifak, Jakarta: Balai Pustaka. Marzali, Amri 2000 ‘Konsep Budaya dan Teori Tentang Budaya‘, Kumpulan Makalah, Program Studi Pasca Sarjana Antropologi, Universitas Indonesia.
321 Moedjanto, G. 1993 The Concept of Power in Javanese Culture, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moleong, Lexy J. 1999 Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Muchtarom, Zaini 1988 Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS. Muhadjir, Noeng 2000 Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulyati, Ahda 1995 ‘Pola Spasial Permukiman Kampung Kauman Yogyakarta’, Laporan Tesis, Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Pals, Daniel L. 2001 Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Yogyakarta: IRCiSoD. Pemda Tingkat I Jawa Tengah 1997 ‘Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Menara Kudus‘, Laporan Akhir, Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya. Pontjosutirto, Sulardjo 1993 ‘Upacara Ruwat di Jawa‘, dalam Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
322 Prijotomo, Josef 1988 Ideas and Forms of Javanese Arcitecture, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pritchard, E.E. Evans 1984 Teori-Teori Tentang Agama Primitif, Yogyakarta: PLP2M. Priyanto, Supriyo 2000 ‘Konservasi dan Pengembangan Masjid Agung Kauman Semarang untuk Identitas Budaya dan Pariwisata’, Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Departemen Pendidikan Nasional Universitas Diponegoro. Radjiman 2000 Konsep Petangan Pustaka Cakra.
Jawa,
Surakarta:
Yayasan
Rapoport, Amos 1977 Human Aspects of Urban Form, Oxford, Toronto: Pergamon Press. 1985
‘Asal Mula Budaya Arsitektur‘ dalam James C. Snyder dan Anthony J Catanese, Pengantar Arsitektur. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Reksodihardjo 1982 ‘Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah‘, Laporan Akhir, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah. Ricklefs, M.C. 1991 Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
323 Robertson, Roland (Ed) 1993 Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rochym, Abdul 1983 Sejarah Arsitektur Bandung: Angkasa.
Islam
Sebuah
Tinjauan,
Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung: Angkasa. Romli, Mohammad 1981 ‘Masjid Menara Kudus Studi Tentang Seni Hias Seni Bangunan dan Kaitannya dengan Pola Kota‘, Laporan Skripsi. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Rusdiana 2003 ‘Perubahan Fungsi Ruang Rumah Tinggal Pengusaha Batik di Kampung Kauman Yogyakarta’, Laporan Skripsi. Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta Salam, Solichin 1967 Dja’far Shadiq Sunan Kudus, Kudus: Menara. 1977
Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam, Kudus: Menara.
1994
Kudus Selayang pandang, Kudus: Menara.
Santosa, Revianto Budi 2000 Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
324 Sardjono, Agung Budi 1996 ‘Rumah-Rumah di Kota Lama Kudus‘, Laporan Tesis. Program Studi Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sarwono, Sarlito Wirawan 1992 Psikologi Lingkungan, Widiasarana Indonesia.
Jakarta:
Gramedia
Setyaningsih, Wiwik 2000 ‘Sistem Spasial Rumah Ketib di Kauman Surakarta’, Laporan Tesis. Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada. Slametmuljana 1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1983
Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Jakarta: Inti Idayu Press.
Smith, Huston 1999 Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Snyder, James C. dan Anthony J. Catanese 1985 Pengantar Arsitektur, Terjemahan, Erlangga.
Jakarta:
Soekmono 1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1-3, Yogyakarta: Kanisius. Spradley, James P. 1997 Metode Etnografi, Terjemahan, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
325 Sudjangi 1991 Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta: Dep. Agama RI Badan Penelitian dan Pengembangan Agama. Sukada, Budi A. 2001 ‘Utak-atik Semiotik Tektonik‘, dalam Masinambow, Semiotik, Mengkaji Tanda dalam Artifak, Jakarta: Balai Pustaka. Sumardjan, Hindro Tjahjono 1996 ‘Arsitektur dan Kebudayaan’ dalam Budihardjo (Ed), Jati Diri Arsitektur Indonesia, Bandung: Alumni. Suparlan, Parsudi 1984 Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Jakarta: Rajawali. 1991
‘Kebudayaan dan Pembangunan‘ dalam Sudjangi, Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta: Dep. Agama RI Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.
1995
‘Antropologi dalam Pembangunan‘, Universitas Indonesia.
Makalah,
‘Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya‘ dalam Jurnal Studi Amerika, UI, Vol. 2 No.1. Suptandar, J. Pamudji 1999 Disain Interior, Jakarta: Djambatan.
326 Surjomihardjo, Abdurrachman 2000 Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880 – 1930, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Suseno, Franz Magnis 1993 Etika Jawa, Sebuah Analisa Filsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Swanson, G.E. 1993 ‘Pengalaman Supernatural’ dalam Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tanudjaja, F. Christian J. Sinar 1992 Wujud Arsitektur sebagai Ungkapan Makna Sosial Budaya Manusia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tjahjono, Gunawan 1989 ‘Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings’, Laporan Disertasi, University of California, Berkeley. Tjandrasasmita, Uka 2000 Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus. Trancyk, Roger 1986 Finding The Lost Space, A New Theory of Urban Design, New York: van Nostrand Reinhold Company.
327 Triyanto 2001 Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus, Semarang: Kelompok Studi Mekar. van Bruinessen, Martin 1999 Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: TradisiTradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. van de Ven, Cornelis 1991 Ruang dalam Arsitektur, Pustaka Utama.
Jakarta:
Gramedia
van Gennep, Arnold 1960 The Rites of Passage, London: Routledge and Kegan Paul Ltd. van Ossenbruggen, F.D.E. 1975 Asal-Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat Dalam Hubungannya Dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif, Jakarta: Bhratara. Waterson, Roxana 1997 The Living House, An Anthropology of Architecture in South – East Asia, Thames and Hudson. Weber, Max 1993 ‘ Beberapa Pokok Mengenai Agama Dunia’, dalam Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wertheim, W.F. 1999 Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Yogyakarta: Tiara Wacana.
328 Wijanarka 2001 ‘Ekspresi Islam dalam Rumah Tinggal Khas Kauman Semarang’ dalam Tectonic Dimension in Islamic Architectural Tradition in Indonesia, Proceeding of The Third International Symposium on Islamic Expression In Indonesian Architecture, Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia. Wikantari, Ria Rosalia 1994 ‘Safeguarding A Living Heritage. A model for the Architectural Conservation of an Historic Islamic District of Kudus, Indonesia‘, Laporan Tesis. University of Tasmania. Winangun, Wartaya Y.W. 1990 Masyarakat Bebas Komunitas Menurut Kanisius.
Struktur, Liminalitas dan Victor Turner, Yogyakarta:
Wiryomartono, A. Bagoes Poerwono 1995 Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wolf, Eric 1979 ‘The Virgin of Guadalupe: A Mexican National Symbol’ dalam Lessa, Reader in Comparative Religion, New York: Harper & Row. Yunus, Mahmud 1985 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung.