ARTICLE REVIEW ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT PIDIE ACEH) Penulis buku/artikel
: Muhammad Arifin
Reviewer
: Rauzatul Jannah
Penerbit
: Jurnal Ilmiah Islam Futura
Jumlah halaman
: 34 Hlm.
A. Isi buku/artikel Akulturasi adalah proses perubahan sebuah kebudayaan karena kontak langsung dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus dengan kebudayaan lain atau kebudayaan asing yang berbeda. Kebudayaan tadi dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain yang lambat laun dan secara bertahap diterimanya
menjadi
kebudayan
sendiri
tanpa
menghilangkan kepribadian aslinya. Unsur-unsur kebudayaan kebudayaan asing itu diterima secara selektif. Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah Nusantara, terdapat berbagai budaya yang telah wujud. Di Jawa misalnya, proses pembentukan budaya telah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang. Kewujudan budaya tersebut menyebabkan Islam sebagai pendatang baru harus selaras dengan budaya yang telah ada sebelumnya. Akibatnya terjadilah proses saling menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam tradisional, yaitu Islam yang sudah menyesuaikan dengan budaya dan kepercayaan asal. Demikian juga halnya sebelum Islam bertapak di Aceh, kebudayaan Aceh dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dari India yang dibawa oleh para pedagang dari sana melalui jalur laut.1 Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Usul Fikih, bahwa “Adat itu dihukumkan”, atau lebih lengkapnya “Adat adalah syariah yang dihukumkan”. Ini bermakna bahwa adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. Islam mengakui keberadaan adat-kebiasaan masyarakat karena adatkebiasaan merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat tersebut. Islam datang 1
Muhammad Arifin and Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali, “ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT PIDIE ACEH,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 2 (2016): 251–84.
mengakui dan mengakomodir nila-nilai kebudayaan dan adat-kebiasaan suatu masyarakat yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ideologi Islam. Akan tetapi walaupun demikian, Islam menentang sikap tradisionalisme yaitu sikap yang secara a priori memandang bahwa tradisi leluhur pasti lebih baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya transformasi sosial suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam.2 Kontrol sosial merupakan hal penting untuk memelihara kehidupan sosial. Di dalam masyarakat Aceh filsafat berikut ini merupakan alat kendali sosial (control mechanism) yaitu: Adat bak po teu meuruhom, hukom bak syiah kuala (Adat dijaga oleh raja, dan hukum, artinya hukum Islam, dijaga Syiah Kuala, seorang ulama terkenal). Implikasi terbesar dari pernyataan tersebut ialah bahwa yang disebut hukum adalah hukum (syariat) Islam. Setiap perilaku yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan tidak konsisten dengan adat akan mendapat hukuman. Namun, bagaimanapun, hukum Islam yang diberlakukan di Aceh telah disesuaikan dengan adat. Oleh karena itu adat pada hakikatnya mempunyai peran yang lebih besar dari hukum Islam tersebut. Namun demikian, kalau merujuk kepada beberapa perkara yang terjadi dalam kalangan masyarakat Aceh, maka terlihat beberapa perkara yang berlawanan dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, di antaranya seperti: rah ulei, atau mencuci muka di kuburan ulama yang dilanjutkan dengan Salat Hajat dua rakaat yang diyakini bisa menjadi perantaraan dalam menyampaikan sesuatu maksud untuk mencari berkat dalam mengharapkan semua keinginan mereka akan segera tercapai. Hal ini dalam istilah teologis lebih dikenal dengan tawasul. Tawasul adalah suatu isu kontroversial di kalangan umat Islam yang justru amalannya dianggap berdasarkan pada akidah Islam yang berdasarkan alQuran dan al-Sunnah. Isunya adalah berdoa memohon sesuatu hajat dari Allah melalui mereka yang sudah meninggal dunia sebagaimana kepada Nabi kita Muhammad Saw. atau para wali- wali Allah yang salihin yang terdiri dari para ulama yang telah dikenal pasti melalui keilmuan dan kewarakan mereka. Tawasul seringkali muncul secara fenomenal dalam suatu fenomena sosial, termasuk di kalangan umat Islam, dengan mendatangi kuburan yang dipandang mulia dan berwasilah kepadanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, seperti kekayaan, kedudukan, jodoh, dan lain-lain. Disinyalir bahwa telah terjadi kesalahpahaman persepsi tentang ziarah kubur 2
Lihat juga M. Hasbi Amiruddin, “PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN BUDAYA,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12; Jabbar Sabil, “MASALAH ONTOLOGI DALAM KAJIAN KEISLAMAN,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 2084, no. 2004 (2005): 99074.
sehingga berbagai bentuk penyimpangan dilakukan oleh para peziarah kubur. Saat ini kaum muslimin telah melakukan berbagai macam bentuk kemusyrikan di kuburan, seperti mengusap-ngusap kuburan, mencari berkah di kuburan, bertawasul dengan orang-orang yang telah meninggal karena kesalehannya dan beristighasah kepada mereka. Segolongan masyarakat menganggap bahwa adat dan agama di Aceh sudah bersepadu, maksudnya adalah bahwa adat di Aceh tidak bertentangan dengan agama Islam karena adat dibangun berasaskan Islam. Jadi segala adat dan kepercayaan masyarakat Aceh sudah bersesuaian dengan agama Islam. Ini bisa kita dilihat, manakala seluruh adat kepercayaan yang diamalkan di Aceh, maka ianya merupakan dibolehkan bahkan disunatkan dalam agama.3 Contohnya adalah adat rah ulei atau tawasul di kuburan ulama. Salah satu sumber dari artikel ini, yaitu Tgk. Aziz menyatakan bahwa rah ulei atau tawassul merupakan sesuatu perkara yang dianjurkan dalam agama. Dengan bertawassul, maka apaapa yang diminta seseorang dengan perantara ahli kubur yang dekat dengan Allah Swt. karena kewarakannya, maka keinginan kita akan dikabulkan. Manakala kita memohonnya sendiri, boleh jadi tidak makbul karena kualitas ibadat yang jauh di bawah ibadat ulama ahli kubur tersebut. Menurut Tgk. Aziz pula, bahwa roh ulama ahli kubur tempat dilakukan rah ulei tersebut masih hidup dan dapat melihat orang yang bertawassul di kuburannya itu. Roh tersebutlah yang mendoakan kepada Allah Swt. apa-apa yang dimintakan kepadanya. Ulama pemilik kubur tersebut adalah warasatul anbiya, sebagai pewaris para Nabi, maka sepatutnyalah bahwa dia adalah dekat dengan Allah Swt. Jadi, melalui perantaraan dia yang dekat dengan Allah Swt., maka doa dan apa-apa yang dimintakan akan terkabulkan, dan ini bukan dosa dalam agama. Rah Ulei atau mencuci muka di kuburan dengan air yang ditambah dengan jeruk purut, beberapa jenis bunga dan biasanya ditambah juga sebiji batu kecil yang diambil di atas kuburan orang keramat tersebut. Amalan ini dilakukan bagi meminta keberkatan kepada roh orang keramat yang sudah meninggal. Terkait dengan amalan ini, beberapa ulama dan tokoh agama yang dijumpai Muhammad Arifin mengatakan bahwa manakala seseorang memohon doa kepada selain Allah yang dipercayai dapat mendatangkan manfaat dan mudarat, maka amalan tersebut digolongkan kepada amalan yang bertentangan dengan akidah dan tidak selaras dengan ajaran Islam. Hal ini antara lain didapatkan dari wawancara dengan Tgk. Bukhari, Pimpinan Pesantren Bustanul Maarif. Menurut Tgk. 3
- Raihan, “Implementasi Pemikiran Dakwah Mohammad Natsir Di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 67, doi:10.22373/jiif.v15i1.559; Fazzan and Abdul Karim Ali, “Islamic and Positive Law Perspectives of Gratification in Indonesia,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 1, doi:10.22373/jiif.v15i1.549.
Bukhari, dalam melakukan rah ulei, masyarakat sering menganggap bahwa orang yang sudah meninggal dan dianggap keramat itulah yang mampu menyampaikan keinginannya. Orang tersebut merasa bahwa kalau dirinya langsung yang berdoa dan berhajat kepada Allah, maka ia merasa tidak mampu dan lemah, bahkan ia merasa tidak memiliki apa-apa di depan Tuhannya. Lebih lanjut Tgk. Bukhari berpandangan bahwa tawassul dengan berdoa dan memohon bantuan kepada orang yang sudah meninggal, sangat dilarang oleh agama dan bertentangan dengan akidah Ahl Sunnah Wal Jamaah. Dalam penjelasannya, dia mengutip firman Allah Swt. dalam Surat Yunus ayat 106
Amalan ini ada hubungannya dengan praktik memuja roh animisme. Pemujaan terhadap roh-roh tersebut sudah ada sebelum Islam datang ke Aceh. Berdasarkan data yang didapatkan, amalan ini tidak dijumpai dalam agama Islam yang murni, tetapi hasil akulturasi dengan budaya luar. Menurut pakar sejarah dan kebudayaan Aceh, ada tiga cara Islam membangun kebudayaannya, baik di Aceh maupun di wilayah lainnya di seluruh dunia. Ketiga cara tersebut adalah: (1) Mengislamkan kebudayaan yang telah ada (islamisasi kebudayaan yang telah ada); (2) Menghapus sama sekali kebudayaan yang telah ada, yaitu kebudayaan yang bertentangan dengan akidah dan ibadah, dan; (3) Membangun kebudayaan yang baru.55 Dalam analisis penulis artikel ini, sebagai agama yang memberikan rahmat kepada seluruh alam, maka Islam dapat menerima budaya dan adat istiadat lokal. Kedatangan Islam tidak serta merta menghancurkan budaya setempat semula untuk diganti total dengan ajaran Islam. Kedatangan Islam untuk memperbaiki nilai-nilai budaya suatu masyarakat, oleh itu maka tidak semua budaya setempat mesti dihapus manakala Islam bertapak di tempat tersebut sehingga Islam akan melahirkan sebuah budaya baru yang memiliki nilai peradaban yang tinggi dan mulia, serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Namun tidak berarti bahwa Islam dapat menerima begitu saja adat dan budaya lokal. Terhadap permasalahan di atas, Islam memiliki tiga pandangan terhadap budaya lokal yaitu: (1) Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam, maka kebudayaan tersebut dibiarkan tetap hidup di dalam masyarakat. (2) Kebudayaan yang sebagiannya mengandung perkara yang tidak dibolehkan dalam Islam, kemudian diislamkan. (3) Nilai-nilai kebudayaan yang bertentangan dengan
Islam, kemudian dihilangkan dari kehidupan masyarakat.
B. Pembahasan/analisis Artikel ini berbicara tentang adanya adanya budaya masyarakat yang berkembang di masyarakat mengenai ziarah kubur, khususnya kubur ulama yang dianggap sebagai wali Allah dan memiliki sifat keramat. Perlu ditambahkan disini bahwa karamah menurut Ibn Taimiyah adala sesuatu yang khariq li al-adat (apa yan merusak adat kebiasaan), yang tampak pada seorang saleh, selalu konsisten dalam menjalankan ajaran atau syari’at Islam, mengikuti semua petunjuk dan jalan yang telah dikemukakan dan digariskan Allah melalui Rasulullah. Ada dua aspek yang menjadi esensi karamat. Pertama, karamat merupakan otoritas Allah. Allah memeberikan karamat kepada hamba yang senantiasa dekat kepadaNya, karena ketaatan dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Kedua, karamat adalah fenomena yang yang bertentangan dengan adat kebiasaan. Terdapat 3 sikap ulama kalam dan ulama sufi mengenai pengertian karamat.4 Pertama, sebagian mereka (Mu’tazilah, al-Jahmiyah dan sebagian Asy’ariyah) manyatakan bahwa seandainya khawariq li al-adat tersebut muncul pada para wali Allah, maka akan terjadi kesamaan antara nubuwwah dengan walayah. Padahal mukjizat merupakan salah satu pembeda antara kenabian dan kewalian. Kedua sebagian mereka dalam membenarkan karamat para wali terlampau melewati batas keajaran (tajawaz al-hadd), seperti pengangungan mereka terhadap para ahli sufi yang diidentikkan memiliki karamat, juga para penggemar kubur atau makam para wali yang melakukan kunjungan dengan penuh antusias untuk meminta dipenuhi hajat-hajat mereka melalui para penghuni kubur tersebut, dan sebagian lainnya mengidentikkan semua kejadian luar biasa seperti tidak tertembus atau terluka dengan pedang dan tidak terbakar api merupakan salah satu substansi keramat para wali. Dan semua apa yang dikatakan dan diperbuat oleh para wali, mereka ikuti dan taati tanpa terlebih dahulu melihat apakah perbuatan atau ucapan itu sesuai ataukah tidah dengan al-qur’an dan sunnah nabi. Ketiga, sebagian mereka, inilah kelompok yang selamat dan benar dalam memposisiskan keramat para wali, mengatakan bahwa keramat memang benar-benar ada dan syari’at Islam membenarkan adanya keramat para wali, yang berbeda dengan mukjizatnya para Nabi. Mengakui keramat, hendaknya dilihat dari substansi yang dimunculkan, bila bersesuaian dengan al-qur’an dan as-sunnah, qawl sahabat dan juga amaliah para tabi’in, berarti dapat dibenarkan dan diikuti, namun sebaliknya apabila 4
Harapandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Islam, (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta: 2007), hlm. 172
bertentangan berarti tidak benar. Mengenai ziarah kubur dan berdo’a di kuburan para ulama, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa yang betul-betul dilarang adalah membiasakan berdoa di depan kuburan, atau menuju kuburan untuk berdoa di depan atau didekatnya dengan keyakinan doanya pasti dikabulkan jika dilakukan disana. Atau, jika merasakan bahwa berdoa di dekat kuburan lebih mungkin (dan lebih cepat) dikabulkan daripada di tempat lain. Adapun jika seorang muslim sedang berjalan dan kebetulan lewat kuburan lalu berdoa di sana, atau ia menziarahi kuburan lalu mengucapkan salam kepada ahli kubur dan berdoa di tempat itu, maka ia tidak mesti harus menghadap kiblat. Dan ia tidak dianggap sebagai pelaku syirk atau bid’ah. 5 Ziarah kubur dengan tujuan bertawasul kepada ahli kubur menyalahi tuntunan Rasulullah saw yang sebenarnya. Sepanjang hadits-hadits, ziarah kubur dibenarkan dengn tujuan mendoakan kesejahteraan bagi ahli kubur, bukan minta didoakan. Tujuan lain yang dibenarkan syara’ ialah ziarah kubur itu untuk mengingatkan kepada kematian atau akhirat. 6
C. Simpulan Telah menjadi kenyataan, sejumlah orang menziarahi kuburan atau makam orangorang terkemuka yang dipandang keramat dengan cara menyalahi tuntunan syari’at bahkan membahayakan keutuhan aqidah. Mereka datang ke makam untuk bernazar dan bertawasul kepada ahli kubur agar hajatnya dikabulkan. Memohon pertolongan kepada orang tang telah mati (arwah) agar hajatnya diteruskan kepada Tuhan, adanya suatu perbuatan yang menjadikan arwah sebagai perantara (wasilah) dalam do’anya kepada Tuhan. Di antara orang-orang awam ada yang memang tidak mengerti, berpendapat bahwa makam itulah yang dimintai yang nantinya akan memenuhi permintaannya. Ahli kubur yang menjadi tempat meminta orang-orang itu pada hakikatnya tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, apabila sesorang telah mati maka terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara: sadakah jariyah, ilmu yang berguna dan anak soleh yang selalu mendoakannya. Dalam Al-qur’an surat al-maidah ayat 35, ada diisyaratkan mencari jalan (wasilah) yang dapat menyampaikan kepada Allah, tetapi yang dimaksudkan wasilah di situ adalah amal soleh, ibadah dan taqwa kepada Allah swt. Sementara itu, terdapat nash yang membolehkan bertawasul kepada orang lain yang masih hidup, yaitu minta didoakan oleh orang lain agar maksudnya tercapai. Dan hal itu tidak lebih 5
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman; Seputar Alam Barzakh, Ziarah Kubur dan Peringatan Hari-Hari Besar Islam (Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002), hlm. 86 6 Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta) hlm. 61
daripada mengharapkan seseorang yang masih hidup untuk didoakan kepada Allah, tanpa mengkultuskan orang tersebut. Yang jelas dan tegas dalam Al-qur’an adalah sesorang yang berhajat kepada Allah, hendaknya berdoa langsung kepada Allah tanpa perantara, karena dengan itu dapat menyatakan isis hatinya langsung kepada Allah yang Maha Mendengar.
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, M. Hasbi. “PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN BUDAYA.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12. Arifin, Muhammad, and Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali. “ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT PIDIE ACEH.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 2 (2016): 251–84. Fazzan, -, and Abdul Karim Ali. “Islamic and Positive Law Perspectives of Gratification in Indonesia.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 1. doi:10.22373/jiif.v15i1.549. Raihan, -. “Implementasi Pemikiran Dakwah Mohammad Natsir Di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 67. doi:10.22373/jiif.v15i1.559. Sabil, Jabbar. “MASALAH ONTOLOGI DALAM KAJIAN KEISLAMAN.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 2084, no. 2004 (2005): 99074.
Harapandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Islam, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta: 2007 Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman; Seputar Alam Barzakh, Ziarah Kubur dan Peringatan Hari-Hari Besar Islam, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002 Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta