Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
ANALISIS PSIKOLOGIS NOVEL BELENGGU KARYA ARMIJN PANE Juanda, Adnan & Siti Hawa Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
[email protected] ABSTRAK Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra, sedangkan jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Subjek penelitian adalah novel Belenggu karya AP, sedangkan objeknya adalah seksualitas, persahabatan, cinta dan percintaan, perkawinan dan keluarga. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik pencatatan. Sementara teknik analisis data mengadaptasi model analisis interaktif Miles & Huberman, yaitu: collect data, reduction data, display data, dan verification. Adapun keabsahan data dilakukan dengan cara mentriangulasi, membuat deskripsi yang kaya dan padat serta menggunakan refleksi diri. Hasil penelitian novel Belenggu karya AP, adalah: (1) seks sebagai kebutuhan mendasar (bacis needs); (2) persahabatan (Rohayah dan Sukartono), (Tini dan Tati), (Hartono, Sukartono, dan Mardani); (3) cinta (Sukartono dan Sumartini/Tini), (Sukartono dan Rohayah). Ada yang didorong oleh tujuan khusus, yaitu hanya untuk kebutuhan seks; (4) perkawinan Sukartono/Tono dan Sumartini/Tini tidak bertujuan. Keluarga ini disebut keluarga prokreasi. Kata kunci: Seksualitas, persahabatan, cinta dan percintaan, perkawinan dan keluarga
Edukasia Edisi 01/Tahun 05/2016
Page 1
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
PENDAHULUAN Karya sastra adalah fenomena sosial-budaya dan juga fenomena psikologis (Atar Semi, 1989: 39; Ratna, 2008: 15). Karya sastra membantu manusia menyikapi rahasia keadaannya. Apa yang terdapat dalam karya sastra sesungguhnya erat dengan aspek-aspek kejiwaan. Belenggu karya Armijn Pane, seperti banyak dinilai oleh kritikus dapat dikategorikan sebagai novel psikologis. Belenggu memang karya yang melampaui masa. Pengarang berani mendobrak pagar tradisi kesastraan di mana hal-hal yang selama ini dianggap tabu dan sakral. Karya tersebut sungguh menarik untuk diteliti kembali, terutama dari aspek psikologis. Ada banyak gejolak kejiwaan para tokoh utama (Sukartono, Sumartini, dan Rohaya/Siti Hayati) dan tokoh-tokoh tambahan (Aminah, Karno, Hartono, Mardani, dll). Isu-isu seputar seksualitas, cinta dan percintaan, perkawinan dan keluarga merupakan aspek kejiwaan yang paling menonjol dalam karya ini (Armijn Pane, 2008). Selain itu, ada juga perilaku temperamen dan modecholic. Segala femonena gejolak kejiwaan yang terjadi dalam Belenggu sungguh menarik peneliti untuk mengkaji secara komprehensif terkait dengan aspek-aspek psikologis karya tersebut. Fenomena-fenomena kejiwaan yang dimaksud, yakni seksualitas, persahabatan, cinta dan percintaan, perkawinan dan keluarga. KAJIAN TEORI Psikologi Sastra Pengkajian karangan sastra yang berfokus pada fenomena-fenomena kejiwaan tokoh disebut psikologi sastra. Sebagai ilmu interdisipliner yang menggabungkan dua ilmu, yaitu psikologi (perilaku manusia nyata) dan sastra (perilaku rekaan), maka psikologi sastra jelas sangat berbeda objek kajiannya dengan psikologi. Kesamaannya terletak pada objek kajian, yaitu menelaah dan meneliti kejiwaan manusia/tokoh dalam karangan. Psikologi mengkaji manusia yang nyata, sedangkan psikologi sastra melakukan studi terhadap perilaku tokoh/manusia rekaan pengarang (Albertine Minderop, 2010). Wellek dan Warren (1976: 81) mengemukakan bahwa psikologi sastra mengkaji empat hal, yaitu: (1) mengkaji pengarang sebagai individu/pengarang; (2) mengkaji proses kreatif pengarang; (3) mengkaji pengaruh karya sastra terhadap pembaca; (4) mengkaji karya sastra itu sendiri. Psikologi sastra lebih karib dengan pendekatan biografis (Ratna, 2007: 62). Psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaaan individu—kesadaran personal (Ratna, 2011: 13). Objek kajian psikologi sastra yakni manusia secara individu dan tingkah laku manusia. Berbicara psikologi kita selalu merujuk pada Sigmund Freud atau Gustav Jung. Term psikologi sastra tidak pernah jelas, entah sejak kapan muncul. Namun, mayoritas berpendapat bahwa Freud (1886-1939) yang menggagas dan mengembangkan konsep ini. Pada masa hidupnya, Freud banyak membaca karya sastra yang imajinatif tersebut, sambil menelitinya. Dia sangat tertarik dengan dunia sastra (Suwardi Endraswara, 2008a: 1). Psikologi Perkembangan Manusia adalah makhluk yang dimanis, selalu mengalami perubahan secara fisik dan mental. Perubahan secara fisik dapat dilihat dengan tanda-tanda organ tubuh yang berubah, misalnya tambah tinggi badan, berat badan, bidang dada, bentuk wajah, intonasi suara sampai perubahan pada tangan dan kaki. Perubahan secara mental dapat diamati dengan bertambahnya hal-hal yang bersifat emosional, misalnya emosi, kecerdasan, spiritual, pengetahuan, dan sebagainya. Timbul pertanyaan, apakah seseorang yang mengalami perubahan secara fisik dan mental dapat dikatakan sudah dewasa? Pada usia berapa seseorang dikatakan dewasa? Apakah dewasa dilihat dari perubahan fisik dan mental? Santrock (2002: 413-462) mengklasifikasi tiga tingkat kedewasaan, yaitu: dewasa awal (early adulthood, usia 20-39 tahun), dewasa pertengahan (middle adulthood, 40-64 tahun), dan dewasa akhir (late adulthood, usia 64 tahun ke atas). Dewasa awal sering ditandai: 1) masa transisi dari remaja ke dewasa; 2) perkembangan fisik (physical development); 3) seks (sexuality); 4) perkembangan pengetahuan (cognitive development); dan 5) karir dan kerja (career and work). Senada dengan itu Zanden (1985: 407) berpendapat bahwa orang dewasa awal ditandai oleh: 1) umur (age); 2) perubahan fisk dan kesehatan (physical changes and health); 3) perkembangan pengetahuan (cognitive development); 4) gaya hidup (life style); and 5) pekerkaan (work).
2
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
Dewasa awal adalah usia yang sangat produktif dan kompleks. Masa ini orang dewasa awal, terutama pascastudi diploma atau sarjana, semangat bekerjanya sangat tinggi. Bahkan cenderung tidak mengenal waktu. Akan tetapi pada usia 20-an sampai 30-an juga sering mengalami kejolak bawaan ketika remaja (adolescence), masih sulit mendapat kerja atau pasangan, sehingga sering terjebak pada jalan hidup yang tidak benar. Selama masa transisi, orang dewasa awal, secara umum masih belum berkecukupan secara ekonomi—masih bersifat temporal. Pada fase peralihan dari remaja ke dewasa memang membutuhkan waktu untuk menghadapi lingkungan sekitar dari sudut padang orang dewasa bukan dari sudut pandang remaja. Transisi dari masa remaja (SMA) ke masa dewasa, masuk perguruan tinggi tidaklah membutuhkan waktu lama. Ini meliputi pergerakan ke arah yang lebih luas, lebih impersonal, menjalin interaksi dengan teman sebaya dari berbagai geografis dan latar etnik yang heterogen, fokus pada prestasi dan penilaian (Santrock, 2002: 415). Dewasa pertengahan (middle adulthood, usia 40-64) ditandai perubahan fisik dan kesehatan, personalitas, dan adaptasi. Perubahan fisik dan kesehatan ditandai oleh penglihatan dan pendengaran yang mulai berkurang, menopause (khusus wanita, sedangkan laki-laki tidak menopouse), kesehatan (biasa serangan jantung, hipertensi). Selain itu, usia ini juga lebih banyak mengedepankan kebijaksanaan, kesosialan, dan kefleksibilitasan, self-concept dan kepuasan hidup (Zanden, 1985: 468-492). Sementara dewasa akhir (later adulthood, usia 64 ke atas), kesehatan yang mulai kronis atau serius (penglihatan minus, kehilangan otot-ototnya) rambut yang memutih, tekstur kulit, kemampuan sensoris juga menurun, dan sebagainya (Santrock, 2002: 534-544; Zanden, 1985: 525544). Jika melihat rank dewasa tersebut, tampaknya usia para tokoh yang terdapat dalam novel Belenggu kira-kira masih pada early adulthood. Dengan kata lain, mereka masih berusia 20-39 tahun atau masa transisi dari remaja menuju dewasa. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karakteristik setiap tokoh, mulai dari profesi, perilaku seksualitas, perkawinan dan keluarga, gaya hidup, emosionalitas, cinta dan percintaan. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra, yaitu mengkaji aspek psikologis karya sastra, baik psikologis pengarang maupun psikologis para tokoh karyanya (Suwardi Endraswara, 2008b: 97; Siswantoro, 2005: 21-23; Albertine Minderop, 2010: 14). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Metode ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang bermakna. Dalam ilmu sastra sumber datanya adalah karya sastra, teks atau naskah, sedangkan objek formal penelitiannya adalah kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2007: 47). Sementara subjek penetian adalah novel Belenggu karya AP, sedangkan objek penelitiannya adalah seksualitas, persahabatan, cinta dan percintaan, perkawinan dan keluarga. Teknik pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik pencatatan. Sementara teknik analisis data menggunakan model analisis Miles & Humberman, yaitu:: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan. Keabsahan data (Cresswell, 2011: 286-288) dapatdilakukan melalui: (1) mentriangulasi (triangulate) sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren; (2) membuat deskripsi yang kaya dan padat; (3) menggunakan refleksi diri terhadap kemungkinan munculnya bias dalam penelitian. PEMBAHASAN Seksualitas Seks merupakan kebutuhan biologis setiap makhluk hidup baik binatang maupun manusia. Dorongan seksual binatang jelas berbeda dengan manusia. Manusia sering diasosiasikan dengan binatang yang berakal, sementara binatang sendiri adalah binatang berinsting. Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan seksual manusia tidak dapat hilangkan. Penghilangan kebutuhan seks manusia sama saja dengan menghilangkan populasi manusia. Dengan kata lain, menghilangkan atau mengmalfungsikan kelamin manusia sama saja dengan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan, atau ekstrimnya bisa bermakna melawan kehendak Tuhan. Seperti dikatakan oleh Santrock (2002:
3
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
424), “Kita tidak membutuhkan seks sebagai cara kelansungan hidup setiap hari seperti layaknya minum dan makan, tetapi kita sangat membutuhkan seks bagi kelangsungan hidup umat manusia.” Rohaya, kadang-kadang juga disebut Yah dan Siti Hayati adalah contoh perempuan yang menempatkan seks sebagai kebutuhan mendasar (bacis needs), yang mendasari hajat hidupnya. Dengan kemolekan tubuh dan good smelling kelamin yang ia miliki diyakini dapat mengubah dan mempertahankan hidupnya, terutama di Kota Bandung. Oleh John Lock, mempertahankan hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat ditunda-tunda apalagi diganggugugatkan oleh orang. Hak tersebut melekat pada siapapun, termasuk Rohaya. Seperti tergambar pada petikan kalimat di bawah ini: Tiada heran Kartono, kalau aku tiada engkau ingat. Sedang aku lupa akan diriku......Kadangkadang lupa aku siapa namaku sebenarnya, karena kerap kali berganti nama. Kalau pindah ke hotel lain, namakupun lain. Meskipun hotel itu telah kutumpangi dahulu, namaku kuganti juga. Sebab kalau nama itu juga didengar orang, kata orang.....barang tua. Nama saja yang ditilik orang, karena namanya baru didengar, barangnyapun baru dalam angan-angannya (AP, 2008: 47). Ekonomi selalu menjadi akar persoalan—Marx pun demikian. Ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang sangat maha penting sampai kehormatan harus digadaikan hanya untuk memenuhi dan mempertahankan hidup. Bagi Rohaya, apalah arti sebuah kehormatan dan kemolekan (bodi aduhai) jika harus mati kelaparan, tidak berumah, dan tentu menjadi sampah masyarakat—dihina dan dicaci orang. Untuk bertahan hidup, dia harus rela menggadai atau menggobral tubuhnya, seperti pakaian atau barang elekronik akhir tahun, berpindah tangan dari laki-laki tua-muda, dari hotel ke hotel dan sebagainya. Semua dilakukan atas dasar sadar dan “keterpaksaan”—dipaksa oleh keadaan eksternal dirinya. Rohayah pun tiada jarang berganti nama, semata-mata untuk menggelabui para pelanggan. Dia pun menjadi “kesetanan,” ketagihan materi, dan sentuhan-sentuhan para lelaki dari beragam etnis dan profesi. Seolah-olah ada rasa bangga tersendiri bila berhasil memikat laki-laki. Bangga bahwa tubuhnya begitu disukai dan dicari-cari—limited edition, meskipun dia harus menahan rasa perih. Perihnya pun berbeda-beda—beda laki-laki, beda pula rasanya. Supaya pelanggan tidak bosan dan tidak disebut barang sudah usang atau rongsokan, namanya pun sering dipertukarbelikan layaknya tubuhnya sendiri. Pelanggan atau konsumen adalah raja—harus dipuaskan dengan pelayalan prima. Pergantian nama bermaksud untuk memberi kesan bahwa Yah adalah nama baru/barang baru. Para pelanggan, bagi Rohayah, pertama-tama tertarik dari nama. Jika namanya sudah tersohor, pasti sudah banyak digunakan jasanya oleh orang dan tentu saja kurang menarik dan memikat hati pelanggan. Dalam pikirannya, jika ingin tetap “dinikmati” oleh para laki-laki, caranya harus sering menggonta-ganti nama seperti resep makanan. Rohayah ialah perempuan materialis, oportunis, dan imoralis. Petualangan seksnya menjadikan dia kurang betah disentuh oleh seorang laki-laki, termasuk Sukartono. Mungkin sudah menjadi kebiasaan, yang lambat-laun berubah menjadi keniscayaan jika tidak mau disebut karakter negatif. Ketidakpuasaan “dimiliki” dan dibelenggu oleh adat istiadat (perkawinan) dan laki-laki tergambar secara eksplisit pada kutipan di bawah ini: Hatiku tiada lama tahan. Cuma tiga tahun saja. Akupun mengembara lagi. Tono, aku benar jahat. Didalam hatiku tertawa sebagai setan, kalau ada laki-laki terpikat olehku. Kalau dia merendahkan diri tidur dengan aku, aku senang, aku gembira karena dia tertarik ke lumpur tempat aku hidup. Sampai terdengar oleh aku, engkau di Betawi sini menjadi dokter.....Terbit ingin hatiku bersua dengan engkau dengan zaman dahulu, zaman aku masih gadis, masih putih bersih....untuk bersua sekejap saja. Aku pura-pura sakit. Ketika engkau memeriksa aku, terbit nafsuku sediakala hendak mencoba engkau, hendak merasa menang, hendakkan engkau takluk, tunduk sebagai laki-laki lain. Engkau menahan, aku merasa kesal akan perbuatanku hendak mencoba mengotorkan ingatanku....kalau engkau sebagai laki-laki lain juga......sinar binatangku, ingatanku ke zaman dahulu berlumpur juga......aku akan runtuh sama sekali, tiada penganganku lagi (AP, 2008: 50-51). Rohayah mungkin agak canggung jika harus kawin dengan laki-laki yang terlalu tua sementara dia sendiri masih sangat muda. Dia pun tidak kerasan bertahan lama-lama dengan lakilaki yang pertama mengawininya. Usia perkawinannya hanya 3 tahun, usia yang sangat singkat.
4
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
Perkawinan, baginya, adalah penjara yang tidak memberikan kebebasan sedikitpun—tidak bebas menentukan hak dan pilihan. Akibatnya, dia kabur dan melarikan diri dari pangkuan suaminya. Setelah melarikan diri, Rohayah hendak pulang kampung melihat kondisi bapak dan ibunya—orang tua yang telah menjodohkannya hingga ia dibawa sampai ke Palembang. Ternyata, rumah kecilnya sudah tidak ada lagi. Begitu pula orang tuanya tidak ditemukan. Dalam keadaan tak menentu, berpisah dengan suami, rumah tidak ada, dan orang tua tidak tahu ada di mana, Rohayah pun harus berjuang seorang diri. Emas perak tak ada dimiliki, harta benda tak ada yang dapat dijual kecuali harta kehormatan. Kehormatan adalah jalan keluar dari berbagai persoalan ini. Cukup 5-15 menit melayani laki-laki, dia sudah dapat uang lumayan banyak, apalagi diajak bermalam di hotel. Tidak apa-apa dilecehkan dan tak dihargai seperti binatang, yang penting terpenuhi kebutuhan hidup. Profesi ini dilakoni sebagaimana perjalanan hidupnya yang penuh likaliku. Rohaya merasa sangat senang jika ada laki-laki yang ingin menidurinya, apalagi bisa sampai berhari-hari. Kehidupannya saat ini adalah kubangan lumpur yang sangat kotor. Jadi, jika ada lakilaki yang suka dengan kubangan, dia pun dengan senang hati melayani nafsunya. Lebih jauh lagi, Rohaya merasa sangat gembira karena mereka pun ikut tercebur ke dalam kubangan lumpur, yaitu sebuah perbuatan imoral yang sangat dibenci oleh masyarakat agama. Derajat dirinya dan para laki-laki penjajahnya sama saja, sama-sama manusia kotor dan penuh dosa. Dari profesi tersebut inilah pintu yang akan mengantarkan pada sebuah hasrat yang terpendam bertahun-tahun, hasrat yang belum sempat diucapkan dan ditunaikan, yaitu ingin berjumpa dengan kawan lama, sekaligus mencoba keberuntugan menawarkan jasa tubuhnya kepada seorang yang bernama Sukartono. Dari kabar, dia memperoleh informasi bahwa Sukartono tinggal di Betawi dan telah menjadi seorang dokter dan mapan pula. Persahabatan Adams (Santrock, 2002: 452) menjelaskan persahabatan (friendship) adalah sebuah bentuk hubungan kedekatan seseorang, meliputi kenikmatan (senang meluangkan waktu dengan teman), keterimaan (menerima apa adanya), kepercayaan dan keterpercayaan diri, saling menghormati, membantu, memahami, dan spontanitas. Tati menilai kehidupan Tini jauh lebih beruntung daripada perempuan-perempuan lain. Suami seorang dokter dan tentu saja mempunyai materi yang berlimpah. Namun, kehidupannya saat ini tidak lebih dari sebuah figura di lorong kos mereka dahulu. Figura yang diletakkan di lorong yang gelap gulita. Hubungan dia dan Sukartono pun demikian, memang materi tercukupi, akan tetapi hubungan mereka adalah hubungan yang dingin, simulakra, hampa, dan tak otentik. Dia tidak mendapatkan penerang. Tidak ada seorang yang dapat dijadikan sandaran hidup, padahal peran ini seharusnya dilakoni oleh Sukartono. Tini tidak mendapatkannya sehingga dia menjadi gamang dan frustasi berat. Masalah rumah tangga merembet kesana-kemari, akhirnya orang-orang yang tidak menyukainya pun ikut mengompori. Berikut adalah kutipan hubungan persabahatan Tini dan Tati: Tini berhenti sejurus. Ditaruhnya ujung pena vulpennya pada kertas surat, warna biru muda. Baiklah kukatakan: Jangan pandang dari luar saja, Dik Ti; pandanglah lebih dalam. Ingatlah lagi pigura di kamar kita dahulu di Bandung? Lorong kecil, sepi lagi gelap? Cuma sebuah kamar saja yang terang lampunya. Ingat lagi dik Ti? Seperti pigura itulah didalam hatiku ini. Tetapi senang juga kalau dibandingkan dengan nasib orang-orang yang kurang beruntung (AP, 2008: 69-70). Seorang istri jangan hanya menuntut hak, itu menurut Sukartono. Apakah dia sudah memenuhi kewajibannya sebagai istri? Begitulah pertanyaan yang sering terlintas dalam otaknya. Sebetulnya Sukartono tidak pernah melarang segala kehendak Tini, bahkan dia boleh berbuat apa saja. Dia kadang-kadang merasa bingung dengan sikap Tini. Apa guna hubungan suami-istri seperti ini? Kehidupan berpisah-pisah dan tak ada yang saling peduli. Jika bertemu atau duduk berhadapan tak seperti sebuah keluarga tetapi mirip seperti singa dan mangsanya. Hartono, Sukartono, dan Mardani, tiga berkawan itu duduk-duduk di ruang tengah. Ketika Sukartono menyambut Hartono tadi, dia terkejut. Melihat Tono demikian, Hartono tersenyum, tersenyum terbuka mulut saja, sebagai anak yang belum pandai bersuara (AP, 2008: 104).
5
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
Sukartono dan Mardani sudah lama berkawan dari sekolah sampai masuk sekolah tinggi yang sama. Satu sama lain pasti sudah saling memahami, termasuk segala kekurangan dan kelebihan. Suka dan duka selama kuliah pernah mereka rasakan. Takdir berkata lain, Sukartono lulus ujian dokter, sedangkan Mardani sudah berkali-kali mencoba, tetapi dia tetap tidak lulus. Akhirnya, Mardani memutuskan untuk melanjutkan kuliah sekolah tinggi hakim, angan-angannya hendak menjadi pengacara terkenal. Ketika Tini di sebuah acara menjadi buah bibir para tamu perempuan, Mardani tidak ikutikutan menyalahi. Dia justru berusaha membela Tini. Ini menunjukkan bahwa dia dan Sukartono adalah sabahat, yang melindungi satu sama lain. Mardani tidak terpengaruh dengan penilaian miring terhadap tingkah Tini yang menurut para tamu perempuan tersebut tidak pantas, apalagi terlalu genit melayani tamu laki-laki. Perempuan yang telah kawin, bagi mereka, tidak pantas berkelakuan demikian. Mardani sendiri tidak pernah menceritakan apa yang dengarnya kepada Sukartono. Cinta dan Percintaan Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suku-menyukai, punya rasa ketertarikan kepada lawan jenis, apalagi lawan jenis itu dapat memikat hati. Namun demikian, cinta yang dimiliki Sukartono dan Sumartini/Tini, serta Sukartono dan Rohayah berbeda-beda. Ada yang cinta disebabkan oleh maksud dan tujuan khusus, yaitu hanya ingin senang-senang dan kebutuhan seksual. Dengan kata lain, cinta yang hanya ingin melampiaskan nafsu syahwat semata. Cinta seperti ini yang dihadapi oleh Sukartono, Tini, dan Rohayah. Selain itu, mereka juga satu sama lain merasa damai, bahagia, dan senang berada di samping pasangannya. Cinta yang didasari oleh kerelaan—menerima kekurangan dan kelebihan pasangan serta tidak mengeluh ketika salah satu pasangan menghadapi persoalan disebut cinta afeksi (Santrock, 2002: 453). Sukartono membungkuk, dipegangnya muka nyonya Eni dengan kedua belah tangannya, direnunginya, katanya: “Air mukamu membuat aku terkenang, terkenang entah akan apa, seolah-olah mendengar lagu lama, bersua kembali dengan pemandangan alam yang dahulu (AP, 2008: 33). Sehabis payah praktik, Kartono biasalah pergi ke rumahnya yang kedua akan melepaskan lelah. Pikirannya tenang kalau disana. Disanalah pula dia membaca majalah dan bukunya yang perlu dibaca, sedang Yah lagi asyik merenda. Mula-mulanya masih merasa berbuat salah dalam hatinya terhadap istrinya. Bukankah berbohong namanya itu? (AP, 2008: 38-39). Saat melihat Rohayah pertama kali, Sukartono seolah-olah teringat dengan seorang perempuan yang begitu dekat dengan dirinya. Namun dia tidak tahu pasti siapa perempuan yang ada dalam pikirannya tersebut. Pikirannya menerka-nerka siapa sebenarnya perempuan yang ada di hadapan. Apakah dia seorang yang selama ini hilang dalam ingatan? Mengapa dia kembali lagi dalam pikiranku? Itulah sekelumit pertanyaan yang sering muncul-tenggelam dalam pikiran Sukartono. Sukartono memegang wajah Nyonya Eni/Rohayah/Yah/Siti Hayati dengan kedua tangannya. Dipandangnya lekat-lekat mata, wajah, bibir perempuan yang sedang beradu asmara dengan dirinya. Semakin dekat, Sukartono seakan terkenang dengan masa dahulu, seorang wanita yang pernah ia cintai. Namun perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya membuat patah hatinya. Terlebih lagi, wanita itu dijodohkan dengan laki-laki yang tidak sebaya atau seusia. Sukartono sesungguhnya sudah jarang pulang ke pangkuan Tini, istri sahnya. Dia masih sering pergi melihat bloc-note di ruang kerja rumah pertama, tetapi dia sudah tak kerasan tinggal lama-lama di sana. Sementara Tini juga demikian, malah kedua-duanya sudah tidak saling peduli—berbuat sekehendak masing-masing dan tidak ikut campuri urusan satu sama lain. Sebaliknya Sukartono semakin lebih sering pulang ke rumah Nyonya Eni. Di sini dia merasa tenang, tanpa beban, bahagia, dihargai, dan bisa bercanda serta tertawa, sementara bersama Tini tidak pernah didapat. Hubungannya dengan Tini begitu kering, tidak bisa diajak bercanda, yang ada hanya bertengkaran dan saling cemooh. Bersama Nyonya Eni, Sukartono lebih banyak mengisi waktu luangnya dengan membaca buku dan majalah. Dia benar-benar diperlakukan sebagai suami terbaik jika tidak ingin disebut raja. Pikirannya damai, penuh suasana romantis, akan tetapi Tono juga sering merasa bersalah kepada istrinya karena perbuatannya tersebut jelas melukai hati Tini. Ketika Tono merasa gunda,
6
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
Nyonya Eni menghibur dan mendengar keluh kesahnya. Nyonya Eni lebih memahami keinginan dan peka terhadap Sukartono. Inilah alasan mengapa Tono sering membandingkan perlakuan Tini dengan Nyonya Eni. Aminah masih merasa kecewa, karena bukan dia yang dipinang Kartono. Barangkali juga lebih baik kalau Aminah yang dipilihnya dahulu. Ah, mengapa pula memikirkannya yang sudah-sudah. Tetapi....., Kartono tersenyum sama sendirinya.....,lagu lama kadang-kadang enak juga didengar. Pikirannya berbelok. Kalau Aminah nanti tahu tentang Yah......kalau dikatakannya kepada Tini? (AP, 2008: 44). Aminah sudah sejak lama jatuh cinta kepada Sukartono, akan tetapi harapannya kandas karena Tono lebih memilih Sumartini/Tini. Cinta yang tak berbalas ini yang membuat hati Aminah tercabik-cabik. Aminah selalu mencari keburukan dan kekurangan Tini. Kemudian dia berusaha menjatuhkan harga diri Tini di hadapan orang. Aminah sosok perempuan pendengki dan penghasut. Jika ada berita miring tentang Tini yang beredar di tengah masyarakat sudah dapat dipastikan bahwa sumbernya dari Tini. Dia begitu benci dan dendam dengan Tini, perempuan yang telah merebut pria impiannya. Tini sendiri sudah terbiasa mendengar hal itu, sehingga dia tidak perlu menggubris lagi. Sukartono sering juga merasa menyesal dan mengungkit-ungkit masa lalu, mengapa dia tidak memilih Aminah. Sekiranya Aminah yang dipinangnya boleh jadi kehidupan rumah tangganya dengan Tini tidak akan terjadi seperti ini. Dalam kesendirian Tono kerap berpikir yang lama-lama dan aneh-aneh yang membuat pikirannya terbebani. Sebagai laki-laki, Tono merasa perlu mendapat kasih sayang dari seorang perempuan, apalah tujuan menikah bila tiada merasa diperlakukan sebagai suami. Bukan karena hal yang sebenarnya kita takut, tetapi karena kita tiada tahu, apa yang akan dikatakan orang. Bagaimana pikiran orang, disebut-sebutnya kesana-sini, tiada kita dengar. Kalau kita bersua dengan orang kita tahu ada dia menaruh pikiran tentang kita, tetapi tiada kita ketahui apa, kitapun merasa rusuh. Bukan karena hal yang sebenarnya kita bingung, tapi karena kita tidak tahu apa kata orang tentang kita (AP, 2008: 45). Perselingkuhan yang dilakukan oleh Sukartono dan Rohaya menimbulkan rasa bersalah dan berdosa terhadap istrinya. Biar bagaimanapun Tini masih tetap istri sahnya. Apa yang akan dirasakan dan dilakukan Tini jika mengetahui suami berselingkuh dengan seorang pasien. Apakah ia tidak sakit hati nanti? Bagaimana jika hubungannya dengan Rohaya diketahui oleh masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengantung dalam pikirannya, Tono pun menjadi tambah gelisah bila bertanya-bertanya dan menyalahkan diri sendiri. Dia selalu merasa tidak enak jika istri dan masyarakat tahu hubungan khusus antara dokter dan pasien. Apa kata orang? Atau mungkin masyarakat sudah tahu, tetapi masih segan atau takut untuk menegur mereka. Boleh jadi juga orang-orang tidak berani bercerita di hadapan mereka, akan tetapi mereka dibicarakan di belakang. Sementara Rohayah tiada peduli dengan kegelisahan yang dihadapi oleh Sukartono. Baginya, untuk apa kita pikir yang berat-berat melulu. Kenapa hidup ini tidak dijalani dengan santai, senang, gembira dan tertawa. Rohayah tak pernah merasa bersalah atas perselingkuhannya. Dia sudah tahu bahwa Sukartono berselingkuh disebabkan oleh ketidakbetahan berada di sisi Tini. Seperti diketahui hubungan Tini dan Tono sudah sulit untuk disatukan, apalagi tinggal serumah. Tono lebih bahagia dan senang bila tinggal bersama Rohayah. Menurut Tono, perkawinan tidak hanya sekedar mengejar materi dan memenuhi kebutuhan seks, tetapi juga bisa saling tukar pikiran dan bercanda mesra. Tini sama sekali berbeda dengan Rohayah. Dia lebih merasa kalau perkawinan adalah sebuah lembaga tuan dan hamba, sedangkan Rohayah selalu dapat meneteramkan dan menyejukkan hati—bila Tono pulang kerja, dia langsung mengambil tasnya, dirusuh duduk, dilepas dasi, baju, celana, dan kaus kakinya. Itu merupakan bentuk kemuliaan istri kepada suami. Hal-hal yang sederhana dilakukan oleh Rohayah, namun sangat membekas di hati Toni. Sebaliknya, Tini tidak pernah melakukan hal serupa, kecuali menyambut suami dengan muka masam, melempar buku, duduk mematung, meninggalkan suami, menutup pintu dengan sangat keras, dan sebagainya. Dia kurang bisa menjadi ikhlas dan sabar menerima telah menjadi istri orang. Atau mungkin saja dia masih teringat dengan seorang laki-laki yang sangat ia cintai dan tak akan pernah terlupakan. Benar suamiku, lagu lama, lakon lama. Dengan suara sungguh-sungguh, bercamur cemooh: Engkah memperingatkan aku ke zaman dahulu, seolah-olah aku teringat kepada masa
7
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
dahulu, waktu hatiku senang.....Ah, suamiku, apakah perlu berpikir? Berpikir itu menyusahkan diri. Kalau sudah banyak berpikir, apa perlunya lagi dipikirkan tentang pikiran orang lain? (AP, 2008: 45). Yah, Yah, engkau sudah berulang-ulang mengucapkan yang demikian, sudah berulang-ulang kukatakan engkau tiada hendak kulepaskan lagi, aku percaya engkau sejahat itu (AP, 2008: 48). Rohayah dan Sukartono tidak hanya kawin tubuh, akan tetapi juga kawin pikiran. Mereka selalu berbicara dari hati ke hati, ngobrol dan bercanda. Mereka sering menceritakan kisah-kisah hidup masing-masing, entah negatif atau positif. Di mata Sukartono, Yah ialah perempuan istimewa—mampu menghangatkan suasana ketiga Tono membutuhkan teman. Ada satu hal yang sangat penting, Yah selalu memanggil Tono dengan “suamiku.” Serasa sangat jauh berbeda dengan perlakukan Tini, dia sama sekali tidak pernah memanggil Tono demikian. Jika Yah mengingat-ingat masa lalunya, dia tak segan-segan mengajak “suaminya” untuk mendengarkan ceritanya. Tono pun dengan senang hati mendengarnya. Tono selalu merasa khawatir dengan hubungan terlarang ini, sementara Yah tidak mau berpikir-pikir yang berat-berat, bahkan dia sampai bertanya “Apa perlunya lagi dipikirkan tentang pikiran orang lain?” Ini menandakan Yah tidak peduli dengan perkataan orang. Tidak usah digubris, yang penting dia dan Tono tetap bahagia bisa bersatu kembali. Dia sebetulnya tak ingin kehilangan orang yang sangat ia cintai terulang kembali. Dia tahu bahwa dia tidak pernah menikah dengan Tono, akan tetapi mereka sudah benar-benar seperti sepangan suami-istri. Menurut Yah, biarlah masa yang menjawab semua kegelisahan ini. Tono pun berpikir yang sama, dia rela mempertaruhkan nasib perkawinannya demi seorang perempuan yang belum ia nikahi. Tono tak akan membiarkan Rohayah pergi dari pangkuannya. Dia akan berusaha keras agar hubungan mereka tetap seperti sekarang. Meskipun demikian, dia juga sering bertanya pada diri sendiri, sampaikan kapan berhubungan layaknya suami-istri ini harus ditutup-tutupi? Dia pun tidak tahu menjawab dan menjelaskannya kepada Tini jika kelak diketahui. Bagi Tono, Rohayah harus tetap bersamanya dan tak akan membiarkannya pergi. Apakah Yah berpikir sama? Perkawinan dan Keluarga Jika pada masa remaja terbiasa hidup tergantung pada orang tua, belum mempunyai kemandirian ekonomi dan cenderung sikapnya berubah-ubah, maka pada masa awal dewasa (early adulthood) terjadi perubahan mendasar pada diri seseorang, mulai cara ia memandang orang lain (bisa pasangan), sudah mulai memikirkan masa depan yang lebih baik, mempunyai kemandirian ekonomi, dan memprioritas karir (Zanden, 1985: 450). Masa ini tidak mudah dilalui karena seseorang sedang mengalami kondisi baru dalam hidupnya, terutama bagi yang sudah kawin, seperti Sukartono/Tono dan Sumartini/Tini. Gejolak sering timbul tenggelam sehingga menbutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi baru ini. Tono dan Tini adalah salah satu contoh, di mana masa awal dewasa kadang bisa berdapat positif, akan tetapi apa yang dialami oleh dua pasangan ini menunjukkan bahwa mereka belum siap berumah tangga, apalagi mengasuh anak. Berikut ini akan ditampilkan kutipan-kutipan yang berhubungan perkawinan dan keluarga antara Sukartono/Tono dan Sumartini/Tini serta Rohayah. Seperti dimaklumi Rohayah bukanlah istri sah Tono, akan tetapi kedekatan dia dan Tono menjadi penting untuk dideskripsikan. Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain dari member hati pada laki-laki? (AP, 2008: 16). Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah istrinya menuju muka pintu. Sukartono memandang halaman bukunya dengan asyiknya. Istrinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan terdengar suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi...ah, bukan, dia membelok hendak menuju ke kamar tidur, tiba-tiba berpaling, lalu
8
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
dibukanya tasnya, kemudian tiba-tiba jatuh terlempar bloc-note keatas meja dihadapan Sukartono (AP, 2008: 19). Tini tidak tahan dengan keadaannya sekarang. Setiap hari dia hanya di rumah, duduk menunggu telepon dan mencatatnya di bloc-note, menunggu suami pulang, dan mengurus rumah, sementara Tono pergi kerja memeriksa, mengobati, dan memberi resep pasien. Pekerjaan yang dikerjakannya di rumah tidak menghasilkan apa-apa, dia hanya melihat tembok, meja, kursi, panci, dan sebagainya, sedangkan Tono bisa menyaksikan dunia luar, dapat kenalan baru, punya teman baru, dan tambah jaringan. Tini sering berpikir apakah istri hanya bekerja di dapur, di sumur, dan di kasur, sedangkan suami bekerja di luar rumah. Apakah perempuan sekarang kembali hidup seperti zaman dahulu. Lalu, di mana diletakkan kebebasan hak perempuan jika hanya dikebiri dan dijinakkan oleh cap telah menikah? Apa orang yang telah bersuami tidak boleh mengurus aktivitas-aktivitas selain yang disebutkan tadi? Terasa tidak adil jika laki-laki boleh keluar kerja, sedangkan istri hanya di rumah. Atau laki-laki punya rasa khawatir takut disaingi secara ekonomi dan sosial. Jika demikian sama saja artinya laki-laki tidak menghendaki kaum perempuan maju dan modern. Sukartono pun tidak memahami dan mengerti benar apa yang sedang dirasakan oleh istrinya meskipun sudah dikatakan berulang-ulang. Dia juga kadang-kadang bertanya-tanya pada diri sendiri, hak mana yang dituntut oleh Tini istrinya. Apakah selama ini ia pernah melanggar hak dan kewajibannya sebagai istri? Menurut Tono, perempuan sekarang terlalu pandai menuntut haknya, akan tetapi melupakan kewajiban dan tugasnya sebagai istri. Tini sendiri pernah menyambut kepulangan Tono, namun dia tidak pernah mengajak suaminya duduk, apalagi melepaskan dasi, baju, dan sepatunya. Dia begitu dingin dan tidak bisa ditebak kemauan. Keluarga yang dibangun oleh Sukartono dan Tini lebih tepat disebut keluarga prokreasi daripada keluarga orientasi. Keluarga prokreasi biasanya hubungan komunikasi suami-istri cenderung dingin, dan umumnya berakhir perceraian. Sebaliknya, keluarga orinetasi mempunyai visi dan misi serta tujuan yang jelas membangun keluarga, mendidik anak, dan seterusnya (Zanden, 1985: 451). SIMPULAN Rohaya, menempatkan seks sebagai kebutuhan mendasar (bacis needs). Apalah arti sebuah kehormatan jika harus mati kelaparan. Selain itu Rohaya juga menjalin persahabatan dengan Sukartono. Tini dan Tati juga sudah bersabahat sejak masa kuliah, begitu pula dengan Hartono, Sukartono, dan Mardani . Cinta Sukartono dan Sumartini/Tini, serta Sukartono dan Rohayah berbeda-beda. Ada yang didorong oleh tujuan khusus, yaitu hanya mengedepankan kebutuhan seksual. Cinta seperti ini yang dihadapi oleh Sukartono, Tini, dan Rohayah. Sementara cinta yang didasari oleh kerelaan kedua belah pihak tidak ada. Masa dewasa awal (early adulthood) terjadi perubahan pada diri seseorang, seperti cara ia memandang orang lain (bisa pasangan), memikirkan masa depan, mempunyai kemandirian ekonomi, dan memprioritas karir. Masa ini tidak mudah dilalui karena seseorang sedang mengalami kondisi baru dalam hidupnya, terutama bagi yang sudah kawin, seperti Sukartono/Tono dan Sumartini/Tini. Sebagai contoh, perkawinan Sukartono dan Tini tidak bertujuan. Keluarga ini disebut keluarga prokreasi. DATRA PUSTAKA Albertine Minderop. (2010). Psikologi sastra: Karya sastra metode, teori, dan contoh kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Atar Semi. (1989). Kritik sastra. Bandung: Angkasa. Cahalan, M. James and Downing, B. David (Ed.). 1991. Practicing Theory in Introductory College Literature Courses. Illinois: NCTE. Cresswell, J. W. (2011). Research design: qualitative, quantitative,& mixed approaches. Los Angles: Sage Publication. Pane, Armijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat. Ratna, N. K. (2007). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra dari strukturalisme hingga postrukturalisme: Perspektif wacana naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
9
Juanda, Adnan, Siti Hawa- Universitas Samawa (Unsa) Sumbawa Besar
……. (2008). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. …… (2011). Paradigm sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santrock, W. J. (2002). Life span development. Boston: Mc Graw Hill. Siswantoro. (2005). Metode penelitian sastra: Analisis psikologis. Surakarta: UMS Press. Suwardi Endraswara. (2008a). Metode penelitian psikologi sastra: Teori, langkah dan penerapannya. Yogyakarta: Medpress. ----------. (2008b). Metodologi penelitian sastra: Epistemologi, model, teori, dan aplikasi. Yogyakarta: Medpress. Wellek, R., & Warren, A. (1976). Theory of literature. New York: A Harvest Book. Zanden, J. W. V. (1985). Human development (5th edition). New York: Alfred A. Knopf.
10