Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
ANALISIS KUALITAS DASAR TEPUNG BENGKUANG HASIL PENGERINGAN SISTEM PEMANAS GANDA Erry Ika Rhofita Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya
[email protected]
Abstract Yam (Pachyrrhizus erosus) widely cultivated in many regions in Indonesia, especially in West Java and Central Java. This fruits have many benefits in many sector, such as food industry, drugs indutry, beauty industri and many more sector, so it is so good for consumtion. The high water content of yam between 78 to 94%, which led to a faster damaged after harvest. Therefore we need further processing to extend the shelf life of yam, one of which is flouring. In the process of making flour yam, drying is an important process that need to be considered for determining the quality of the resulting yam flour. This study aims to determine the effect of variations in temperature and the drying time of the basic quality (yield, water content and ash content) yam flour produced. From this research it is known that the higher the drying temperature and longer drying time rendemen and ash generated will be higher, while its water level will decrease. The best treatment resulting from this research is the use of a temperature of 65° C with long drying time 7 hours, resulting in a yield of yam flour is 7.74%, water content of yam flour 4.69%, and the ash content of yam flour is 5.13%. Keywords : quality of yam flour, drying of flour, temperture of drying
1.
keunggulan dapat disimpan lebih lama, praktis dan volumenya lebih kecil. Melalui metode penepungan juga mampu meningkatkan nilai ekonomi bengkuang sebesar 15 sampai 20 kali dari harga jual bengkuang dalam bentuk buah atau tanpa melalui pengolahan.
Pendahuluan
Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai banyak manfaat diberbagai bidang industri, baik kesehatan, kecantikan, mapun pangan. Hasil analisis bengkuang segar sebesar 100 gram mempunyai kandungan air sebesar 78% sampai 94%, pati sebesar 2.1 gram sampai 10.7 gram, protein sebesar 1 gram sampai 2.2 gram, lemak sebesar 0.1 gram sampai 0.8 gram lemak, vitamin C sebesar 14 gram sampai 21 gram serta mampu menghasilkan energi sesbesar 22 kalori sampai 58 kalori, (Sorensen. 1996). Adanya kandungangan air yang tinggi pada bengkuang menyebabkan umur simpan bengkuang menjadi lebih singkat yaitu sekitar 6 hari bila tidak ditangani dengan baik. Menurut Sandranutha (2012), bengkuang bila setelah panen tidak ditangani dengan pengolahan tertentu, akan mengalami perubahan fisiologis, fisika, kimia, parasitik atau mikrobiologis yang menyebabkan bengkuang lebih cepat membusuk. Untuk mempertahankan mutu dan umur simpan bengkuang diperlukan pengolahan pasca panen bengkuang. Ada berbagai teknologi yang dapat diterapkan untuk penanganan pasca panen bengkuang, salah satunya adalah penepungan. Bengkuang dalam bentuk tepung yang memiliki
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuat tepung bergantung pada jenis dan sifat dari umbi. Secara sederhana pembuatan tepung bengkuang diawali dengan mengupas dan mencuci bengkuang, lalu dilakukan pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan bengkuang pada saat dikeringkan. Setelah itu lakukan proses perendaman bengkuang di dalam asam sitrat 0.2% dalam air mendidih selama 5 sampai 10 menit yang dikenal dengan sebutan blanching, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas tepung bengkuang, akibat adanya (1) penurunan aktivitas enzim, (2) mengurangi jumlah gas pada bengkuang yang mampu mengugabh warna, (3) memperbaiki tekstur bengkuang, serta (4) menurunkan jumlah mikroba penyebab kebusukan dan bau. Bengkuang yang telah diblaching kemudian dilakukan proses pengeringan dan penghancuran. Tahapan terpenting dalam pembuatan tepung bengkuang untuk menentukan kualitas tepung adalah
F-11
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang pengeringan. Menurut Riansyah, dkk (2013), pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Energi panas yang diguanakan dalam pengeringan dapat berupa sinar matahari (konvensional) dan mesin pengering. Teknik pengeringan secara konvensional yaitu penjemuran di bawah terik sinar matahari memiliki keuntungan tidak membutuhkan biaya yang mahal dan keahlian khusus serta kapasitas pengeringannya tidak terbatas. Namun, cara ini kurang efektif karena sangat bergantung pada kondisi cuaca dan memerlukan waktu yang cukup lama yakni 2 hari (Sulistyowati. 2004) dan menghasilkan produk yang kurang higienis karena produk terkontaminasi dengan debu atau kontaminan yang ada di udara (Raharjo. 2010). Oleh karena itu dalam produksi tepung bengkuang diperlukan mesin pengering tipe rak untuk membantu mempercepat proses pengeringan. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi pengeringan, yaitu faktor yang berhubungan dengan udara pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan kelembapan udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial bahan, (Winarno. 1997). Suhu udara pengering akan mempengaruhi laju penguapan air bahan dan mutu pengeringan. Semakin tinggi suhu udara dan makin besar perbedaan suhu, maka laju pengeringan makin cepat (Desrosier. 1988). Studi mengenai hubungan suhu udara pengeringan terhadap kualitas produk telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan Koswara (2013), pengeringan dalam pembuatan tepung talas paling optimal dilakukan pada temperatur 60°C selama 22 jam, yang mampu menurunkan kadar air tepung talas menjadi 9.18% dari kadar air awal bahan sebesar 29.1%. Penggunaan temperatur sebesar 65°C selama 5.5 jam dalam pengeringan tepung tepung jamur tiram putih mampu menghasilkan rendemen sebesar 7.34%, kadar air 4.30%, kadar abu 4.75%, kadar protein 19.20%, dan derajat putih 82.17, (Lisa, dkk. 2015). Temperatur pengeringan yang terbaik untuk tepung wortel sebesar 60°C (Moehamed & Hussein 1994), irisan bawang putih 50 sampai 60°C (Marpaung & Sinaga. 1995), dan untuk tepung bawang merah 60°C (Hartuti & Asgar 1995). Proses pengeringan optimal dalam pembuatan tepung tapai ubi kayu dapat dilakukan pada temperatur 70°C sampai 75°C selama 9 jam (Lidiasari, dkk. 2006). Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini menitikberatkan pada hubungan antara temperatur dan waktu pengeringan terhadap kualitas dari tepung bengkuang, dengan beberapa parameter
Volume 8 – ISSN: 2085-2347 rendemen, kadar air, dan kadar abu tepung bengkuang. 2.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen (eksperimental research) yang menitik beratkan pada hubungan antara temperatur dan waktu pengeringan terhadap kualitas tepung bengkuang. Bahan baku utama yang digunakan adalah bengkuang jenis IR 64, yang mempunyai kadar air sebesar 86% dan kandungan pati sebesar 10.2%. Selanjutnya bengkuang yang akan dikeringkan harus diletakkan pada rak-rak (loyang) yang terdapat didalam mesin pengering. Kemudian mesin pengering diatur temperaturnya sesuai dengan variabel yang di gunakan. Dalam pengeringan ini digunakan kapasitas pengeringan sebesar 0.4 gram per cm². Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumar, et al. (2006) dalam pengeringan buah-buahan seperti mangga dan jambu menghasilkan kapasitas pengeringan terbaik sebesar 0.4 gram per cm2. Penggunaan kapasitas pengeringan dalam proses dengan penentuan laju pengeringan dan kualitas produk yang dihasilkan. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 2 tahap yaitu pembuatan tepung bengkuang dan analisis kualitas dasar tepung bengkuang (rendemen, kadar air, dan kadar abu). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah temperatur dan waktu pengeringan. Dimana variabel 1 adalah temperatur (T), yang terdiri dari 4 level, yaitu 50°C, 55°C, 60°C, dan 65°C. Variabel 2 adalah waktu pengeringan, yang terdiri dari 4 level, yaitu 4 jam, 5 jam, 6 jam, dan 7 jam.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Rendemen Pengukuran rendemen tepung bengkuang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses produksi tepung bengkuang. semakin tinggi keberhasilan proses produksi semakin besar rendemen tepung bengkuang yang dihasilkan dan semakin baik kualitas tepung bengkuang yang dihasilkan. Pengukuran rendemen tepung bengkuang dalam penelitian ini diperoleh dengan membandingkan berat tepung yang dihasilkan dengan berat awal bahan (bengkuang) sebelum mengalami proses dengan jumlah sebesar 1000 gram. Interaksi antara temperatur dengan waktu pengeringan tepung bengkuang memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pengeringan yang digunakan,
F-12
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang semakin tinggi rendemen tepung bengkuang yang dihasilkan. Begitu pula dengan penggunaan waktu pengeringan, semakin lama waktu pengeringan semakin tinggi rendemen tepung bengkuang yang dihasilkan. Pada penelitian pembuatan tepung bengkuang rendemen tepung tertinggi diperoleh dengan menggunakan dengan menggunakan temperature pengeringan 65°C dengan lama pengeringan 7 jam. Hal ini diperkuat oleh penelitian Lisa, dkk (2015), rendemen tertinggi dalam pembuatan tepung jamur tiram dengan menggunakan temperatur pengeringan 65°C dengan lama pengeringan 5.5 jam. Tetapi hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Desrosier, (1988), bahwa semakin tinggi temperatur dan semakin lama waktu pengeringan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Dengan demikian maka bobot bahan menjadi berkurang dan menghasilkan rendemen yang rendah.
kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Diperkuat oleh pernyataan dari Hadiwiyoto (1993), menyatakan bahwa air merupakan komponen terbanyak yang terdapat di dalam buah dan sayur. Adanya aktivitas air dalam bahan pangan dapat menunjukkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan tersebut. Besarnya kadar air dalam bahan pangan berubahubah sesuai dengan kondisi lingkungan, dalam hal ini erat kaitannya dengan umur simpan bahan pangan. Hal inilah yang menjadikan dasar utama dalam pengolahan pasca panen. Pada proses pengeringan difusi kontrol perubahan aliran massa dan kecepatan udara akan mempengaruhi kecepatan pengeringan, dan mempercepat pengurangan kadar air pada bahan. Menurut Pelegrina dan Crapiste (2001), kecepatan udara pengering bergantung pada temperatur pengeringan yang akan menurun sepanjang proses pengeringan berlangsung karena adanya transfer panas ke bahan dan akan menurunkan kadar air yang ada pada bahan. Dalam penelitian ini, kadar air yang diperoleh pada pengeringan bengkuang untuk menjadi tepung bengkuang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Rendemen (%)
T=50 T=55 T=60 T=65
4 5,03 5,48 6,39 6,94
5 5,79 6,00 6,73 7,32
6 6,25 6,70 7,07 7,75
Kadar Air (%)
Penggunaan temperatur pengeringan yang rendah mengakibatkan proses pengeringan berjalan lambat, hal ini dikarenakan kadar air pada potongan bengkuang yang dikeringkan belum berkurang secara optimal, sehingga tekstur bengkuang hasil pengeringan menjadi keras dan sulit untuk digiling atau dihaluskan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Herudiyanto dan Agustina (2009), bahwa tingkat tekstur bahan akan mempengaruhi proses penggilingan dimana bahan yang lebih keras akan menghasilkan partikel yang lebih besar sehingga akan menghasilkan rendemen yang lebih sedikit. 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 T=50 T=55 T=60 T=65
4 10,24 9,47 8,46 8,27
5 8,59 7,46 6,84 6,58
6 7,20 6,95 6,17 5,83
7 6,14 5,96 5,04 4,69
Waktu Pengeringan (Jam)
7 6,34 6,93 7,41 7,74
Gambar 2. Grafik hubungan antara temperatur dan waktu pengeringan dengan kadar air tepung bengkuang
Waktu Pengeringan (Jam) Gambar 2 menunjukkan kadar air tertinggi sebesar 10.24% pada perlakuan temperatur pengeringan 50° C dan waktu pengeringan selama 4 jam. Dan nilai kadar air terendah sebesar 4.69% pada perlakuan temperatur pengeringan 65° C dan waktu pengeringan selama 7 jam. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi temperatur dan waktu pengeringan yang digunakan, kadar air yang terkandung dalam bengkuang semakin rendah. Hal ini disebabkan terjadi penguapan air yang sangat besar pada suhu dan lama pengeringan yang tinggi sehingga potongan bengkuang dapat kering dengan
Gambar 1. Grafik hubungan antara temperatur dan waktu pengeringan dengan rendemen tepung bengkuang
3.2 Kadar Air Kadar air merupakan salah satu sifat kimia bahan pangan yang berpengaruh terhadap kualitas dan lama penyimpanan bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability,
F-13
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang
Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan temperatur pengeringan 65°C dan waktu pengeringan 7 jam sebesar 5.13%. Sedangkan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan temperatur pengeringan 50° C dan waktu pengeringan 4 jam sebesar 4.05%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diterapkan pada proses produksi tepung bengkuang berbanding lurus dengan kadar abu yang dihasilkan, yaitu semakin tinggi temperatur dan lama waktu pengeringan yang digunakan maka kadar abu tepung bengkuang juga akan semakin tinggi. Dalam hal ini, temperatur pengeringan merupakan faktor penentu tingginya kadar abu yang terkandung dalam tepung bengkuang. Seperti yang dikemukakan oleh Darmajana (2007), bahwa dengan bertambahnya temperatur pengeringan maka kadar abu akan cenderung meningkat karena kandungan air pada potongan bahan pangan (bengkuang) mengalami penurunan lebih tinggi sehingga bahanbahan yang tertinggal pada bahan pangan (bengkuang) akan meningkat salah satunya adalah mineral. Menurut Sudarmadji, dkk, (1997), bahwa kadar abu tergantung pada jenis bahan, cara pengabuan, waktu dan temperatur yang digunakan saat pengeringan. Jika bahan yang diolah melalu proses pengeringan maka lama waktu dan semakin tinggi temperatur pengeringan akan meningkatkan kadar abu, karena air yang keluar dari dalam bahan semakin besar.
Kadar Abu (%)
sempurna dan kadar air tepung yang dihasilkan menjadi rendah. Seperti yang dikemukaan Lubis (2008), menyatakan bahwa lama pengeringan berpengaruh terhadap kadar air, hal ini dikarenakan pengeringan yang cukup lama menyebabkan jumlah air yang teruapkan lebih banyak sehingga kadar air dalam tepung berkurang. Sedangkan menurut Taib et al. (1997) dalam Fitriani (2008), bahwa kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan dan makin lamanya proses pengeringan, sehingga kadar air yang dihasilkan semakin rendah. Rendahnya kadar air yang dihasilkan pada tepung bengkuang hasil penelitian berkisar antara 10% sampai 5% berdampak pada umur simpan tepung yang semakin lama. Penggunaan temperatur dan waktu pengeringan optimal pada penurunan kadar air tepung bengkuang yaitu dengan menggunakan temperatur pengeringan 60°C dengan waktu pengeringan selama 6 jam mampu menurunkan kadar air menjadi 6%. Menurut Saripudin (2006), kadar air 6% mampu memperpanjang umur simpan tepung selama 8 bulan. Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Winarno (1997), bahwa produk pangan dengan kadar air kurang 14% cukup aman untuk mencegah pertumbuhan kapang, sedangkan kadar air maksimum produk kering seperti tepung dan pati adalah 10%, sehingga akan memperpanjang umur simpannya.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347
3.3 Kadar Abu Sebagian besar bahan pangan mengandung sekitar 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya sejumlah 4% merupakan bahan mineral yang dikenal dengan sebutan bahan anorganik atau abu. Penentuan kadar abu didalam bahan pangan mempunyai tujuan untuk (1) menetukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, (2) mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan (3) mengetahui parameter nilai gizi dari bahan pangan. Menurut Ardiansyah, dkk (2014), semakin rendah kadar abu yang terkandung pada tepung maka mutunya akan semakin baik. Beberapa komponen mineral yang terkandung dalam 100 gram bengkuang antara lain; kalium sebesar 150 miligram, kalsium sebesar 15 miligram, fosfor sebesar 18 mg, magnesium sebesar 12 miligram, mangan sebesar 0.60 miligram, zink sebesar 0.18 miligram, dan zat besi sebesar 0.6 miligra, (Maulana. 2015). Dalam penelitian ini besarnya kadar abu pada tepung bengkuang ditunjukkan oleh Gambar 3.
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 T=50 T=55 T=60 T=65
4 4,05 4,18 4,23 4,28
5 4,17 4,26 4,35 4,66
6 4,33 4,37 4,46 4,97
7 4,47 4,77 5,02 5,13
Waktu Pengeringan (Jam)
Gambar 3. Grafik hubungan antara temperatur dan waktu pengeringan dengan kadar abu tepung bengkuang 4.
Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi temperatur dan lama waktu pengeringan maka rendemen dan kadar abu tepung bengkuang akan semakin meningkat, sedangkan kadar airnya menurun. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tidak terjadi
F-14
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang interaksi antara temperaturpengeringan dan lama waktu pengeringan. Perlakuan terbaik dalam penelitian ini adalah perlakuan dengan suhu 65° C dan lama waktu pengeringan 7 jam yang menghasilkan tepung jamur tiram putih dengan mutu terbaik, dengan menghasilkan rendemen sebesar 7.74%, kadar air sebesar 4.69%, dan kadar abu sebesar 5.13%. Diharapkan nantinya aka ada penelitian lanjutan mengenai pengaruh laju pengeringan terhadap kualitas fisik dan kimia tepung bengkuang dengan menggunakan mesin pengering tipe double blower.
Volume 8 – ISSN: 2085-2347 Heldman, Dennis., (1981): Food Process Engineering, Westport, Connectiour, AVI Publishing Company Inc. Herudiyanto, M dan V.A. Agustina, (2009): Pengaruh Cara Blansing pada Beberapa Bagian Tanaman Katuk (Sauropus anrogynus L.Merr) terhadap Warna dan Beberapa Karakteristik Lain Tepung Katuk, Skripsi, Bandung, Universitas Padjajaran. Indriani, Fajar., Nurhidajah., & Suyanto, Agus., (2013): Karakteristik Fisik, Kimia dan Sifat Organoleptik Tepung Beras MerahBerdasarkan Variasi Lama Pengeringan, Jurnal Pangan dan Gizi Volume 4 No. 8
Daftar Pustaka: Ardiansyah, F. Nurainy, dan S, Astuti. (2014): Pengaruh Perlakuan Awal terhadap Karakteristik Kimia dan Organoleptik Tepung Jamur Tiram (PlaerotusOstreatus), Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Volume 19 No.2, pp: 117-126.
Kartasapoetra, A.G., (1994):Teknologi Penanganan Pasca Panen, Jakarta, Rineka Cipta. Koswara, Sutrisno., (2013): Teknologi Pengolahan Umbi-umbian Bagian I: Pengolahan Umbi Talas, Modul Kuliah, Bogor, SEAFAST Institut Pertanian Bogor.
Asgar, A., Zaini,S., Widyasanti, A., & Wulan A. (2013): Kajian Karakteristik Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus sp.) Menggunakan Mesin Pengering Vakum, J. Hort Volume 23 No. 4, pp. 379-389.
Kumar, P, Sagar, R & Singh, U., (2006): Effect of Tray Load on Vacuum Drying Kinetics of Mango, Guava, and Aonla, Journal Sci. and Industrial Research Volume 65No. 8, pp: 65964.
Brown A., (2000): Understanding Food-Principles and Preparation, New York, Wadsworth Thomson Learning.
Lisa, Maya., Lutfi, Musthofa., & Susilo, Bambang., (2015): Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Jamur Tiram Putih (Plaerotus ostreatus) Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Volume 3 No3. pp: 270-279
Desrosier, N. W., (1988): Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo, UI-Press, Jakarta. Earle, R. L., (1982): Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan, Bogor, Sastra Huday.
Lubis, I.H. (2008): Pengaruh Lama dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung Pandan, Skripsi, Medan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.
Fitriani, S., (2008): Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Beberapa Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Kering, Jurnal Sagu Volume 7 No. 1, pp:3237.
Marpaung, L & Sinaga, RM., (1995): Orientasi Perlakuan Pengeringan dan Kadar Terhadap Mutu Irisan Kering Bawang Putih, Buletin Penelitian Holtikultur, Vol. 27,No. 3, pp: 14352.
Hadiwiyoto, (1993): Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Yogyakarta, Penerbit Liberty.
Moehamed, S & Hessein, R., (1994): Effect of Low Temperature Blanching, Cysteine-HCl, NAcetyl-L-Cysteine, Na-Metabisulphit and Drying Temperature on The Frmness and Nutrient Content of Dried Carrots, J. Food Proc. and Pres Volume 18, pp: 343-48.
Handono, S., (2011): Kerusakan Bahan Pangan, Jakarta, Penebar Swadaya. Hartuti, N & Asgar, A., (1995): Pengaruh Suhu Pengeringan dan Tebal Irisan Terhadap Mutu Tepung Dua Kultivar Bawang Merah, Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran, pp: 617-24.
Muchtadi, T. R., (1997): Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Fakultas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
F-15
Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang Pelegria & Crapiste, (2001): Modelling the Peneumatic Drying of Food Particles, Journal of Food Engineering Volume 93 No. 2, pp:151161
Volume 8 – ISSN: 2085-2347 Pertanian, Yogyakarta, Penerbit Liberty. Sulistyowati, R. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan dengan menggunalan Cabinet Dryer terhadap Kadar Air, Protein dan Lemak pada Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), Skripsi, Malang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah.
Riansyah, Angga., Supriadi, Agus., & Nepianti, Rodiana, (2013): Pengaruh Perbedaan Suhu dan Waktu Pengeringan terhadap Karakteristik Ikan Asin Sepat Siam (Trichogaster pectoradis) dengan Menggunakan Oven, Jurnal Fishtech Volume 2 No. 1, Palembang, Universitas Sriwijaya, pp: 53-68.
Supriyono, (2003): Mengukur Faktor-faktor dalam Proses Pengeringan, Modul Keahlian Agroindustri, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional.
Sandranutha, Denetha., (2012): Pengaruh Waktu dan Suhu pada Pembuatan Kripik Bengkuang dengan Vaccum Frying, Tugas Akhir, Semarang, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Susanto. T. & B. Saneto, (1994): Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Surabaya, Penerbit Bina Ilmu. Taib, G., G. Said & S. Wiraatmadja, (1987): Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian, Jakarta, Mediyatama Sarana Perkasa.
Saripudin, Udin., (2006): Rekayasa Proses Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya, Skripsi, Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F.G., (1997): Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, (1997): Prosedur Analisa untuk Bahan Pangan dan
F-16