ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG :STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK NURJANNAH YUSUF. Analisis Ekonomi Sektor Informal di Kota Tangerang : Strategi Bertahan Hidup dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran. Dibimbing oleh ISANG GONARSYAH, dan ERNAN RUSTIADI. Penelitian ini mengungkapkan bahwa luasnya lapangan kerja di sektor informal merupakan faktor penting dalam proses migrasi di kota. Mengkaji tingkat kesejahteraan migran di sektor informal dengan menelaah perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota. Tahap awal merupakan periode paling kritis. Strategi yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Selanjutnya adalah strategi peningkatan pendapatan. Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempe ngaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal, dan uji Duncan digunakan untuk mengkaji hubungan antara status pekerjaan dengan pendapatan. Responden pelaku ekonomi sektor informal adalah pemulung, lapak, pedagang kakilima makanan dan pedagang kakilima pakaian. Jika dibandingkan upah nominal rata -rata per bulan buruh di Jabotabek tahun 2002 yaitu sebesar Rp. 983.600,00, maka pendapatan rata -rata migran sektor informal lebih baik yaitu sebesar Rp. 1.631.176,00 per bulan. Jika mengacu pada rata-rata biaya hidup di Jabotabek (Republika, 2003) adalah Rp. 400.000,00 per bulan, maka profesi pemulung yang paling rendah rata -rata pendapatannya, yaitu Rp. 444.000,00 per bulan masih tergolong mampu hidup di kota. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi sektor informal tidak dapat diabaikan dalam perekonomian perkotaaan.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP dan FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 5 Agustus 2005
NURJANNAH YUSUF Nrp. P 15500026
ANALISIS EKONOMI SEKTOR INFORMAL DI KOTA TANGERANG : STRATEGI BERTAHAN HIDUP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN MIGRAN
NURJANNAH YUSUF
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis Dilahirkan di Makassar pada tanggal 22 Juli 1967 dari ayah Muh. Yusuf, BA dan Aisyah Saleh. Penulis merupakan anak ke lima dari delapan bersaudara. Tahun 1986 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Muslim Indonesia Makassar dari tahun 1992 sampai tahun 1995. Penulis menikah tahun 1995, pindah ke Tangerang mengikuti suami, dan bekerja sebagai wiraswasta sampai sekarang.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2002 ini adalah sektor informal, dengan judul Analisis Strategi Bertahan Hidup dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Migran Sektor Informal. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D dan Bapak DR.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing, yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis selama penyusunan tesis ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Siti Nurhayati Yusuf, atas bantuan dan dorongan moral dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Ungkapan terimah kasih juga disampaikan kepada sahabatku Fatimah Zami, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangan. Dengan segala keterbatasan yang ada, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2006
Nurjannah Yusuf
DAFTAR ISI
I.
II.
DAFTAR TABEL ................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
vi
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................
5
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................
9
1.3.1.
Tujuan Penelitian....................................................... ...
1.3.2.
Kegunaan Penelitian......................................................
TINJAUAN PUSTAKA
III. METODOLOGI PENELITIAN
9
10 14
3.1. Kerangka Pemikiran....................................................................
14
3.2. Metode Penelitian........................................................................
19
3.2.1.
Wilayah Penelitian.........................................................
19
3.2.2.
Model Analisis ...............................................................
20
3.2.3.
Pengumpulan Data .........................................................
25
3.2.4.
Pengujian Hipotesis........................................................
26
3.2.5.
Jenis Peubah dan Pengukuran ........................................
27
IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG
29
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang.....................................
29
4.2. Penduduk Angkatan Kerja ...........................................................
29
4.3. Struktur Perekonomian.................................................................
36
4.4. Struktur Ketenagakerjaan.............................................................
37
4.5. Hubungan Antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan...........................................................................
38
4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang.............................................................
46
4.7. Kesempatan Kerja di Sektor Informal ........................................
50
4.8. Ekonomi Sektor Informal ...........................................................
52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
55
5.1. Karakteristik Responden ............................................................
55
5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang..............................
58
5.3. Pedagang Kaki Lima...................................................................
63
5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran di sektor Informal...................
70
5.4.1.
Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar...........................
73
5.4.2.
Strategi Bergabung dalam Paguyuban...........................
74
5.4.3.
Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas Vertikal..........................................................
76
5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran di Sektor Informal ................
79
5.5.1.
Peningkatan Status Pekerjaan........................................
79
5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan Pekerjaan dengan Pendapatan........................................ VI. KESIMPULAN DAN SARAN
80 91
6.1. Kesimpulan..................................................................................
91
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran....................................................
93
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................
94 97
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
2. 3.
4. 5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
Halaman Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995-2002.....................................................
29
Tingkat Kepadatan Penduduk dan Jumlah Usia Produktif per Kecamatan Kota Tangerang Tahun 2002 ...........................
31
Struktur Ketenagakerjaan Menurut Lapangan Usaha di Kota Tangerang tahun 2002................................................. .....
32
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1995-2002.......................................................
36
Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi Antara Tahun 1995-2002 dalam Persentase..............................
38
Nilai- nilai Komponen Shift-Share Pola Perkembangan Aktifitas Penduduk Kota Tangerang Periode 1995-2002 .........................................
41
10 Besar Investasi Disetujui (PMDN), Tahun 1995-2000 di Botabek .................................................................................
47
10 Besar Investasi Disetujui (PMA), Tahun 1995-2000 di Botabek ................................................................................
48
Kesempatan Kerja di Kota Tangerang Menurut Sektor Tahun 1995 dan 2002.....................................
52
Karakteristik Responden Migran sektor Informal di Kota Tangerang ...................................................................
55
Modal Sosial Migran Sektor Informal di Kota Tangerang....................................................................
58
Perubahan Status Pekerjaan Migran Yang Bekerja di Sektor Informal di Kota Tangerang .....................................
80
Status dan Pendapatan Rata -Rata Migran Sektor Informal .......................................................................
81
Hasil Analisis Regresi Berganda Hubungan Karakteristik Perilaku Migran dengan Tingkat Pendapatan di Sektor Informal...................................
83
15.
Pendapatan Pedagang Makan Informal di Jakarta Tahun 2004..............................................................
89
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx. ........................
15
2.
Bagan Mobilitas Sosial Ekonomi Informal.......................... ......
17
3.
Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal..............................................................
22
4.
Peta Administrasi Kota Tangerang....................................... .....
31
5.
Hubungan antara “Land Value” Dengan Jarak Pusat Kota .........................................................................
33
Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan antar Sektor ................................
40
6.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Data Responden Migran Sektor Informal di Kota Tangerang.......................................................
97
2.
Hasil Analisis Korelasi Pearson....................................... ..........
101
3.
Hasil Analisis Regresi Berganda Tingkat Pendapatan Dengan Karakteristik Migran Sektor Informal............... ...........
102
Hasil Analisis Uji Duncan Multiple Range Rata-rata Pendapatan Status Pekerjaan Migran sektor Informal .............................................................
104
Analisis Shift-Share Pertumbuhan Lapangan Kerja di KotaTangerang .............................................................
105
Analisis Shift-Share Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang..............................................................
106
7.
Karakteristik Umum Migran Responden...................................
107
8.
Hasil Analisis Empiris Karakteristik Migran sektor Informal di Kota Tangerang.......................................................
110
4.
5. 6.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Di masa lalu migrasi dari desa ke kota dipandang sebagai sesuatu yang positif. Migrasi dianggap sebagai proses alami di mana surplus tenaga kerja sedikit demi sedikit ditarik dari sektor perdesaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perkembangan industri di daerah perkotaan. Proses tersebut dianggap menguntungkan secara sosial karena sumberdaya manusia berpindah dari tempat yang produk marjinal sosial (social marginal product)nya rendah ke tempat yang produk marjinal sosialnya tinggi, dan bertumbuh secara cepat akibat adanya akumulasi kapital dan kemajuan teknologi (Todaro, 1998). Kenyataan yang terjadi di negara berkembang kini bertolak belakang dengan pandangan tersebut. Todaro (1998), mengungkapkan bahwa tingkat migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, selalu lebih besar daripada tingkat penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan. Relatif rendahnya kemampuan kota untuk menyerap pertambahan angkatan kerja di sektor formal, karena pengusaha sektor formal, dalam upayanya meraih keuntungan sebesarbesarnya, cenderung menginvestasikan kembali keuntungan yang diperolehnya untuk membeli alat-alat produksi atau mesin -mesin canggih (padat modal), yang sangat hemat tenaga kerja, untuk meningkatkan produktivitas usahanya. Dalam studi tentang mobilitas, khususnya migrasi desa-kota, McGee (1977) mengamati fenomena migrasi yang berfokus pada sudut pandang regional Asia Selatan dan Tenggara. Kawasan ini memiliki masalah serupa seperti yang dihadapi negara berkembang pada umumnya dengan timbulnya “urban involution”; kota secara terus menerus mengalami peningkatan dalam menyerap
tenaga kerja dar i desa sekalipun hasil akhirnya sering berupa pemerataan produktivitas yang rendah dan pemerataan kemiskinan (shared poverty ). Walaupun
sesampainya di kota kebanyakan dari migran ini hidup dengan
produktivitas yang rendah, namun proses mobilitas desa-kota tetap terus berlangsung. Dalam penelitiannya tentang migran di Wonosobo dan Cilacap, Sutomo (1995), mendapatkan kondisi kehidupan awal migran yang datang ke kota sangat miskin, namun lambat laun keadaan sosial ekonomi mereka semakin berkembang. Di kota-kota negara berkembang setidaknya ada tiga sektor ekonomi yang terlihat jelas dengan makin derasnya arus migrasi, yaitu sektor “tradisional”, yang mencakup bentuk-bentuk kegiatan ekonomi pra-industri, sektor “moderen”, yang meliputi sebagian besar bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan fungsi ekonomi abad XX yang umumnya diimpor dari negara maju, dan sektor “peralihan” atau “informal”, yang menjadi jembatan antara sektor moderen dan sektor tradisional (Hauser dan Gardner, 1982). Oleh karena itulah Widarti (1984), menemukan bahwa di daerah perkotaan yang kemudian berkembang bukan sektor sekunder, melainkan sektor tersier yang mengelompok dalam subsektor perdagangan dan jasa pelayanan. Kedua subsektor ini mencapai 86,9% dari keseluruhan sektor tersier. Hampir separuh (46,1%) dari kesempatan kerja sektor tersier di perkotaan tertampung dalam berbagai jenis usaha sektor informal. Karena itu migrasi yang terjadi di negara berkembang dicirikan oleh mengalirnya tenaga kerja dari perdesaan yang menunjukkan tingkat produktivitas marjinal yang rendah ke sektor informal-perkotaan yang memiliki
produktivitas yang rendah pula. Sehingga dengan demikian migrasi adalah proses pemerataan produktivitas rendah desa -kota. Sektor informal di daerah perkotaan memperlihatkan dinamika ekonomi yang sangat tinggi, baik dalam bentuk dan sifat usahanya, dalam memberikan kesempatan kerja bagi para migran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami bahwa proses migrasi dari desa ke kota akan terus berlangsung meskipun kesempatan kerja di sektor formal terbatas, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang sektor informal dan migran yang bekerja di dalamnya. Sektor informal1 menjadi salah satu alternatif dalam mencari lapangan kerja, karena sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, bahwasanya aktivitas ekonomi lebih didasarkan pada dorongan untuk menciptakan kesempatan kerja bagi diri sendiri daripada memperoleh kesempatan investasi (penanaman modal) dalam peningkatan pendapatan. Sebagaimana dipostulatkan oleh Todaro dan Harris, bahwa motivasi migran desa-kota adalah bukan hanya karena perbedaan besarnya upah, tetapi juga pada luasnya kesempatan memasuki berbagai macam segmen ekonomi yang memberikan harapan yang besar untuk dapat mengubah taraf hidup mereka (Koyano, 1996). Sektor informal umumnya terpusat di wilayah kota, dimana merupakan tempat singgah pertama kaum migran baru di kota. Jadi sektor informal yang sering kali dianggap sebagai golongan “rendah” dalam kehidupan ekonomi dan sosial itu, sebenarnya merupakan sektor peralihan baik dalam tata ekonomi maupun tata sosial. Oleh sebab itu sektor peralihan ini dapat dipandang sebagai bidang yang mengandung kesempatan untuk membangun ekonomi dan 1
Sethuraman .Sektor informal adalah semua jenis usaha yang tidak mencantumkan labanya dan struktur pengendalian dan organisasinya tidak formal, tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Bulletin of Concerned Asian Scholars. Vol. IV., 1985.
melakukan perubahan sosial menuju kehidupan modern (Hauser dan Gardner, 1982). Sektor informa l kawasan perkotaan dapat juga dilihat sebagai suatu bagian dari mekanisme ekonomi modern, sebagai tempat terciptanya kegiatan ekonomi “baru”, yang sebelumnya terlewatkan. Seperti sampah plastik dan kertas bekas tempat makanan dan minuman serta barang rongsokan, dapat dijadikan komoditas ekonomi. Hal ini terjadi karena adanya permintaan ketersediaan pada kebutuhan bahan baku industri daur ulang dengan biaya yang rendah, dalam pengelolaannya membutuhkan tenaga kerja. Tersedianya layanan jasa (service) yang semakin komplit mulai dari jasa menjinjing barang belanjaan sampai jasa pemindahan perabot rumah tangga dan kantor, yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri, sekarang merupakan kegiatan yang bernilai ekonomi. Penawaran jasa ini lahir karena kehidupan kota yang modern membutuhkan pelayanan serba praktis, sehingga oleh sebagian orang terutama orang yang membutuhkan penghasilan untuk hidup, penawaran pelayanan adalah pekerjaan pantas. Menurut Koyano (1996), orang-orang yang beralih ke sektor informal tidak banyak yang mengalami pengangguran, karena kesempatan memperoleh pekerjaan di sektor informal sangat banyak, umumnya didasarkan pada hubungan sosial di antara migran. Hubungan sosial memegang peranan penting dalam mengatasi
penghidupan
di
kota,
yang
mencipt akan
kemudahan
dalam
mendapatkan pekerjaan. Hal ini menjadikan sektor informal berkembang sangat cepat di kota, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Karena kesempatan berusaha untuk memperoleh penghasilan tidak terbatas oleh jumlah jenis pekerjaan.
1.2. Perumusan Masalah Ciri demografi Indonesia seperti jumlah penduduk yang besar, tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, struktur penduduk yang cenderung berusia muda, dan distribusi penduduk yang tidak merata dipandang masih merupakan
faktor
penghambat
dalam
usaha
memecahkan
masalah
ketenagakerjaan dewasa ini. Pesatnya pertumbuhan ekonomi kota besar yang jauh melebihi kota -kota kecil, merupakan faktor penarik utama terjadinya aliran tenaga kerja. Terutama kota yang basis ekonominya adalah sektor industri. Berdasarkan PDRB periode tahun 1996 – 2001, didapatkan bahwa sektor industri sangat menonjol perkembangannya di Kota Tangerang. Kota Tangerang karena lokasinya yang berbatasan dan berdekatan dengan DKI Jakarta, merupakan daerah belaka ng (hinterland ) dari DKI Jakarta, sesuai dengan teori Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Akibat pesatnya perkembangan pembangunan DKI Jakarta, maka terjadi pergeseran penduduk ke daerah belakang (Kota Tangerang), karena DKI Jakarta mengalami keterbatasan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan. Kota Tangerang mendapat tambahan jumlah penduduk dari limpahan penduduk DKI Jakarta, yang sebagian di antaranya bekerja di Jakarta, atau sedang mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan demikian dapat dikatakan, besarnya arus migrasi ke Jakarta, akan mempengaruhi tingginya perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah sekitarnya, termasuk Kota Tangerang. Selain itu sebagai kota “seribu industri” yang sedang berkembang, potensi Kota Tangerang, merupakan daya tarik tersendiri bagi para migran untuk mencari
kerja. Akibatnya tiap tahun jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat pesat. Pada tahun 2002 laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat tinggi (sebesar 4,62%) dengan kepadatan penduduk yang tinggi (8.611 jiwa/km2 ), khususnya di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Ini mengindikasikan tingginya tingkat migrasi ke kota ini. Rustiadi dan Panuju (1999), menemukan bahwa jumlah migran di Kota Tangerang sekitar 10 persen dari jumlah penduduknya, dimana le bih dari separuhnya (5.3 persen) merupakan limpahan dari DKI Jakarta. Karena aktivitas penduduk Kota Tangerang paling banyak di sektor industri, menyusul sektor jasa informal, maka keadaan ini menunjukkan bahwa, sebagian dari migran ini (terutama yang baru masuk) menciptakan pekerjaan sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil yang dimiliki keluarga. Orang-orang yang bekerja ini mencari ikhtiarnya sendiri dalam berbagai kegiatan mulai dari penjaja, pedagang kaki lima, penulis surat, pengasah pisau, dan pengumpul barang-barang bekas sampai pada penjual petasan, penjual obat, dan permainan ular, sebagian lainnya menemukan pekerjaan mekanik, tukang cat, pengrajin kecil, tukang cukur, dan pembantu rumah tangga. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah pencari kerja mengalami lonjakan. Pada tahun 1998-1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 38 persen. Bahkan pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, jumlah pencari kerja melonjak hingga mencapai 68 persen. Tinggin ya pencari kerja itu belum dapat diimbangi dengan jumlah kesempatan kerja yang ada. Sepanjang tahun 2002, misalnya jumlah lowongan kerja yang terdaftar mencapai 12.182 orang, dan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja
adalah sektor industri. Saat ini, rasio lowongan pekerjaan dan pencari kerja di wilayah Kota Tangerang mencapai 1: 3 (Republika, 2004). Selama kurun waktu 1995 – 2002 proporsi tenaga kerja di sektor formal menurun dari 23,55% menjadi 19,83%, sementara di sektor industri meningkat perlahan dari 29,43% menjadi 33,78%. Di sektor informal pun tenaga kerja yang terserap melonjak dari 23,55% menjadi 28,18%. Hal ini menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang memasuki sektor pekerjaan informal di kota Tangerang. Hal ini terlihat dari pangsa (share ) tenaga kerja di sektor informal 28,18% per tahun dengan peningkatan sebesar 0,58% per tahun, sedangkan sektor industri adalah 0,54% per tahun, dan sektor jasa formal memperlihatkan penurunan (-3,21% per tahun). Sektor informal di kota Tangerang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduknya. Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah para migran baru dari desa yang tidak mendapatkan tempat di sektor formal. Motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa “hidup” (survive) dan bukan untuk mendapatkan keuntungan
(Todaro, 1988). Akan tetapi jika hanya
dipandang sebagai tempat mendapatkan penghasilan untuk sekedar bertahan hidup di kota, mengapa jumlah pelaku ekonomi informal semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya ekonomi suatu wilayah perkotaan. Relatif masih tingginya pangsa (share) dan pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja di sektor informal di Kota Tangerang, dengan tingkat produktivitas yang rendah, serta persaingan usaha yang tinggi, maka dipandang perlu untuk melakukan pengkajian
bagaimana strategi
migran dalam mempertahankan
keberadannya di kota, baik pada tahap awal yang merupakan periode paling kritis bagi mereka untuk berjuang mempertahankan hidup (survival), maupun tahap pengembangan yang merupakan periode setelah saat kritis tersebut dilampaui, untuk dapat meningkatkan status sosial ekonomi migran. Meskipun kebanyakan migran yang memasuki sektor informal di perkotaan pa da awalnya mendapati dirinya hidup dalam produktivitas yang rendah, namun kemudian keadaan sosial ekonomi mereka menunjukkan perkembangan. Artinya ekonomi informal menawarkan kesempatan yang luas pada pelakunya untuk memperoleh
penghasilan yang lebih baik daripada
sebelumnya. Namun dari pengamatan di lapangan tingkat pendapatan pada setiap pelaku ekonomi informal berbeda, meskipun jenis usahanya sama dan berada pada lokasi yang sama. Untuk itu maka perlu penelahaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran pelaku ekonomi informal. Untuk mengetahui itu semua, maka hal-hal yang harus diteliti adalah sebagai berikut : 1. Apa yang menarik bagi migran untuk datang ke Kota Tangerang, dan bagaimana strategi untuk mempertahankan kehidupannya di kota. 2. Bagaimana tingkat kesejahteraan (pendapatan) 2 migran, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal.
2
Tingkat kesejahteraan yang diukur dalam tingkat pendapatan; Rata -rata penerimaan hasil usaha di sektor informal setelah dikurangi dengan biaya operasional dan modal, yang dihitung dalam per orang per bulan, dengan menjumlahkan hasil perolehan dalam sebulan.
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menelaah faktor utama yang menarik migran dan strategi migran sektor informal dalam mempertahankan keberadaaannya di kota. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran sektor informal.
1.3.2. Kegunaan Penelitian Dengan memahami perilaku pelaku ekonomi sektor informal, diharapkan dapat mengembangkan kekuatan ekonomi masyarakat kaum marginal, dimana aktivitas ekonomi informal ini memperlihatkan perilaku ekonomi yang sama terjadi pada sektor formal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang dilakukan oleh Ponto (1987), menunjukkan bahwa migrasi ke kota ditentukan oleh peluang mendapatkan pekerjaan di kota, selisih tingkat pendapatan di desa dan kota, serta jarak antara desa dan kota. Karena migrasi merupakan proses yang didasari oleh faktor ekonomi, yang secara selektif mempengaruhi setiap individu, maka yang paling banyak melakukan migrasi ke kota Manado adalah penduduk pada daerah kurang produktif, yaitu Gorontalo. Penelitian Ibrahim (1989) dan Mandang (1991), menemukan bahwa faktor utama dari migrasi ke kota Manado adalah dorongan ekonomi. Lahan pertanian yang semakin sempit dan upah petani penggarap yang relatif rendah di daerah perdesaan wilayah Sulawesi Utara mendorong banya k penduduk perdesaan bermigrasi ke kota Manado. Winoto (1999) dalam penelitiannya mengenai proses urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar jalur pantai utara Jawa menemukan bahwa urbanisasi yang terjadi terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya ketidakamanan untuk tinggal di perdesaan (rural insecurity ) daripada ditentukan oleh tingginya peluang pengembangan ekonomi keluarga di perkotaan. Penelitian Achmad (2003), tentang pola migrasi di Kabupaten Bekasi, menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi keputusan migran untuk melakukan migrasi ke Kabupaten Bekasi. Penelitian Desiar (2003), tentang migrasi ke DKI Jakarta, mengungkapkan tingkat pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang tinggi, di atas 9 persen per tahun merupakan daya tarik utama berdatangannya migran dari daerah-daerah lain.
Selain faktor ekonomi, faktor jarak juga merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan migran untuk bermigrasi. Seperti yang ditemukan oleh Harry dan Cummings dalam Mantra (1995), bahwa di dalam memilih daerah tujuan migran, migran cenderung memilih daerah yang terdekat dengan daerah asal. Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991) dan Sutomo (1995), mengungkapkan kelancaran sistem transportasi dan komunikasi sebagai hasil dari pembangunan
merupakan
faktor
penyebab
tingginya
migrasi
desa-kota.
Sedangkan menurut Rustiadi et al. (1999) dalam studi urbanisasi di Jakarta dan Desiar (2003), dalam penelitiannya tentang migrasi di Jakarta, mengungkapkan bahwa fenomena migrasi di Jakarta erat kaitannya dengan daerah sekitarnya (Jabotabek). Artinya faktor jarak
merupakan salah satu variabel penentu
fenomena migrasi. Migrasi akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja di perkotaan. Penelitian Ibrahim (2003) dan Desiar (2003) menemukan adanya hubungan positif antara migrasi dengan jumlah angkatan kerja di kota tujuan, yaitu tingginya pertumbuhan jumlah penduduk akibat migrasi merupakan peningkatan jumlah angkatan kerja di kota. Selanjutnya dikemukakan dalam penelitian tersebut, bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja akibat migrasi akan mempengaruhi pertumbuhan sektor informal, dimana antara keduanya memperlihatkan hubungan yang positif. Tentang berkembangnya sektor informal di perkotaan, sebagai salah satu sektor ekonomi yang cenderung meningkat sejalan dengan tingginya arus migrasi ke kota, telah banyak menarik perhatian para peneliti. Seperti yang telah dilakukan oleh Ponto (1987), yang dalam penelitiannya menemukan bahwa
migran yang bekerja di sektor informal kehidupan ekonominya tidak lebih buruk dibandingkan dengan yang bekerja di sektor formal. Penelitian yang dilakukan Rahmawati (1991), menemukan bahwa ada tiga jenis lapangan usaha yang termasuk ke dalam sektor informal yang memberikan kesempatan berusaha bagi migran yaitu: perdagangan, buruh dan jasa angkutan. Sedangkan Sutomo (1995), menemukan bahwa pendapatan migran yang bekerja di sektor informal berada di atas Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), Upah Minimum Regional, Upah Minimum Sektoral, apalagi pendapatan per kapita setempat. Namun pendapatan migran masih berada di bawah Kebutuhan Hidup Minimum untuk Pekerja (KHMP). Tingkat pendapatan migran ditentukan oleh beberapa faktor: umur, lama bekerja di perkotaan, status kawin, mobilitas horisontal, dan mobilitas vertikal. Pekerja di sektor informal memungkinkan menggeser usaha ekonominya ke sektor formal, dengan perkembangan modal dan pemasaran sejalan dengan peningkatan usahanya. Hasil penelitian Hastuti (1998) menunjukkan bahwa kebanyakan penduduk perkotaan basis ekonomi rumah tangganya adalah sektor informal pedagang kaki lima. Atika (1999), mengungkapkan bahwa pola adaptasi rumah tangga warung tegal dan warung padang sangat efektif dalam menghadapi krisis. Hasil penelitian Murdianto (1998) tentang dampak industrialisasi terhadap perubahan mata pencaharian migran di Kabupaten Bekasi, mengungkapkan bahwa migran yang tidak terserap di sektor industri, akhirnya memilih sektor informal (perdagangan dan jasa) sebagai lapangan usaha, untuk tetap mempertahankan keberadaanya di kota tujuan.
Dari uraian di atas tampak bahwa studi-studi terdahulu lebih banyak menitikberatkan pada faktor penyebab mengapa penduduk desa melakukan migrasi ke kota. Umumnya ditemukan bahwa kota-kota tujuan migran adalah kota-kota industri, atau kota -kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam penelitian ini yang menjadi perhatian utama adalah kenyataan bahwa meskipun lapangan pekerjaan di sektor jasa formal dan industri di kota tujuan migrasi sangat terbatas, tetapi arus migrasi ke kota cenderung meningkat. Singkat kata studi ini tidak hanya mengkaji tingkat ekonomi migran di sektor informal secara umum, tetapi lebih jauh lagi mengkaji bagaimana strategi migran mendapatkan dan mengembangkan pekerjaan/usahanya sejak awal kedatangannya di kota sampai taraf pengembangan sekarang ini, dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Menurut teori Lewis (Todaro, 1988), tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi kapital sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi kapital, semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor moderen dan semakin cepat penciptaan lapangan kerja baru di kota. Akan tetapi kenyataan itu tidak terjadi karena keuntungan para kapitalis cenderung diinvestasikan kembali pada barang-barang modal yang lebih canggih dan lebih hemat tenaga kerja. Sehingga meskipun jumlah output telah meningkat sangat tinggi, upah secara keseluruhan dan kesempatan kerja tetap tidak berubah, semua output tambahan diterima oleh pengusaha dalam bentuk kelebihan keuntungan. Marx dalam Hayami (2001) mengasumsikan bahwa pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri lebih lambat daripada kecepatan akumulasi kapital, bahkan adanya penggunaan teknologi modern pada industri-industri menyebabkan terjadinya penekanan penggunaan jumlah tenaga kerja dan tingkat upah buruh. Kenyataan ini mengakibatkan pertumbuhan industri-industri di kota-kota tidak diikuti oleh pertumbuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor industri. Model pembangunan ekonomi kapitalis Marx menjelaskan sebagai berikut : Sebagaimana tampak pada Gambar 1 pada periode awal (0) kurva permintaan tenaga kerja pada sektor kapitalis modern terletak pada garis D0D0 yang sama dengan kapital (K0 ). Keseimbangan awal terjadi pada titik A dengan tenaga kerja OL0 pada upah rata -rata OW. Menurut asumsi Marx, jumlah pekerja yang mencari pekerjaan dalam sektor industri modern sama dengan WR 0 yang
lebih lebar dari OL0. Dari gambar tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang dapat diperkerjakan di sektor industri moderen hanya sebesar WA, sehingga masih tersisa sejumlah tenaga kerja yang mencari pekerjaan di sektor industri sebesar AR 0. Tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor industri modern ini (AR0), akan mempertahankan keberadaannya atau dapat menjaga subsistennya pada aktivitas informal di kota.
(W) D1
u p a h
S1
S0 D0 A
B
R0
R1
W D0 (K0) D1(K1) 0
L0 L1
(L)
Sumber : Hayami, Y. 2001 Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx
Karena para pemilik modal (kapitalis) cenderung menginvestasikan keuntungan yang diperolehnya dalam teknologi, yang mengakibatkan peningkatan permintaan jumlah tenaga kerja menjadi lebih lambat (dari OL 0 ke OL1 ), sedangkan pertumbuhan output meningkat tajam dari daerah AD0 OL0 ke BD1 OL 1, yang menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja BR1. Kelebihan permintaan tenaga kerja di sektor industri moderen tidak akan pernah
terjadi, karena kurva upah horizontal pada industri model kapitalis, yang menyebabkan peningkatan jumlah pencari kerja di sektor industri yang tidak mendapatkan pekerjaan akan memasuki sektor informal yang lebih bersifat subsisten. Jadi tenaga kerja di sektor informal ini merupakan ”industrial reserve army” sebagaimana dikemukakan Marx. Pengamatan data statistik menunjukkan bahwa jumlah migran selalu memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun migran tidak atau belum mendapatkan pekerjaan tetap di kota keputusan migran untuk pulang kembali ke daerah asal tampaknya jarang terjadi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dilakukan dalam mempertahankan hidup di kota. Bagaimana perilaku migran sejak awal kedatangannya di kota dan bagaimana strategi yang ditempuh untuk bertahan hidup (survive) di kota. Menarik untuk dikaji sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2. pada dasarnya ada dua tahapan yang dilalui pelaku sektor informal dalam mempertahankan keberadaannya di kota, yaitu; 1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar; bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota. 2. Strategi peningkatan kesejahteraan; tahap pengembangan usaha untuk meningkatkan perolehan penghasilan.
pendapatan
formal
informal waktu Gambar 2. Bagan mobilitas sosial ekonomi informal
Asumsi yang mendasari tahapan mobilitas sosial ekonomi sektor informal adalah : (1) bahwa tidak ada migran yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan sesaat setelah tiba di kota, artinya bagaimanapun caranya
migran yang
bersangkutan akan mendapatkan penghasilan dari sektor informal,
sambil
mencari pekerjaan yang lebih ”sesuai” di sektor lainnya. (2) bahwa semakin lama migran berada di kota akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi mereka lebih baik sehingga penghasilan yang diperoleh akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang baru datang ke kota, meskipun dengan tingkat keterampilan yang sama. Ekonomi di sektor informal umumnya berkisar pada produk-produk yang kecil, mudah dipindahkan, dan disimpan, serta penawaran jasa yang sangat mudah diakses oleh setiap orang. Oleh karenanya pola pasar barang atau jasa di sektor informal membentuk rantai jalur pasar yang panjang, melewati sejumlah pedagang, mengakibatkan sistem pemasaran yang terbentuk memberikan keuntungan yang tipis atau kecil. Hal inilah yang menyebabkan produktivitas di
sektor informal sangat rendah, tetapi memberikan peluang yang sangat besar dalam kesempatan kerja, karena banyak celah kegiatan ekonomi yang terbentuk sepanjang jalur produksi. Sebagai sumber penghidupan, ekonomi informal merupakan pilihan pantas dan rasional bagi migran di kota. Ekonomi ini dapat memberikan tingkat penghasilan yang setara dengan lapisan bawah ekonomi formal, dan menawarkan secara terbuka untuk memperoleh tingkat penghasilan maksimal bagi semua pelakunya. Pada sektor formal, tingkat pendapatan berbeda-beda untuk tiap golongan dan jenis pekerjaan, yang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti pendidikan, dan lama mengabdi. Demikian juga pada sektor informal, ditemukan hal yang sama. Namun demikian, pada sektor informal tidak berlaku ukuran baku, bahwa tingkatan tertentu dalam suatu jenis usaha akan menunjukkan tingkat pendapatan yang sama. Bahkan meskipun jenis barang dan jasa yang di pasarkan sama, lokasi, lama bekerja dan statusnya sama, perolehan penghasilan bisa berbeda. Sehingga menarik untuk dikaji faktor-faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi tingkat pendapatan migran informal. Berdasarkan teori, tinjauan pustaka, dan pengamatan lapang, diduga kuat bahwa umur, pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, daerah asal, dan jenis usaha merupakan faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran sektor informal.
3.2. Metode Penelitian Dengan bertitik tolak pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan terlebih dahulu, maksud utama sub bab ini membahas antara lain, cara penentuan wilayah survei, model analisis yang digunakan untuk menganalisa permasalahan, menguji hipotesis yang telah diutarakan dan cara penguraian terhadap variabel yang dipilih.
3.2.1. Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002 di Kota Tangerang. Dipilihnya Kota Tangerang secara sengaja didasarkan pada tingkat perkembangan ekonomi wilayah, dimana sebelumnya Kota Tangerang yang merupakan bagian administratif dari Provinsi Jawa Barat, yang berkontribusi pada 1/3 dari PDRB Jawa Barat. Saat ini Kota Tangerang merupakan bagian dari Provinsi Banten, adalah kota yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Letak wilayahnya yang berbatasan dengan Jakarta, menjadikan Kota Tangerang berfungsi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta. Indikator yang digunakan adalah pesatnya perkembangan Kota Tangerang, ini dapat terlihat jelas dari jumlah prasarana dan sarana penduduk yang semakin banyak dan berskala besar, tingginya PDRB, dan meningkatnya arus tenaga kerja dari desa ke kota (migrasi), yang tergambar dari peningkatan jumlah penduduk usia kerja yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk keseluruhan, yang dapat menggambarkan secara jelas kaitan migrasi dengan sektor informal, ekonomi migran yang bekerja di sektor informal, serta bentuk strategi yang dilakukan dalam mempertahankan keberadaannya di kota.
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan,
yaitu Kecamatan Ciledug,
Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Tangerang, Karawaci, Jatiuwung, Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, dan Kecamatan Benda. Penelitian ini dilakukan di lima kecamatan, yang mewakili tipe kecamatan padat penduduk dan kecamatan padat industri, yaitu; Kecamatan Tangerang (padat penduduk), Kematan Cibodas (padat industri), Kecamatan Karawaci (padat penduduk dan industri), Kecamatan Cipondoh (padat penduduk dan industri), dan Kecamatan Ciledug (padat penduduk dan industri).
3.2.2. Model Analisis Pertanyaan mendasar dari analisa ini adalah untuk menelaah mengapa pekerja sektor informal ini masih terus berkembang walaupun mereka hanya sekedar dapat bertahan hidup (survival). Perkembangan sektor informal ini bahkan memperlihatkan potensi yang tidak kalah dengan sektor lainnya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pangsa (share) tenaga kerja di sektor informal yang laju pertumbuhannya lebih besar daripada sektor industri. Tidak semua migran segera memperoleh pekerjaan di sektor informal. Dengan menggunakan analisa deskriptif dari acuan hasil data primer (150 responden), akan dikaji hubungan antara karakteristik migran dengan tingkat ekonomi. Fokus kajian penelitian pada empat kelompok pelaku ekonomi informal (pemulung, lapa k, pedagang kakilima makanan, dan pedagang kakilima pakaian), diharapkan dapat mengungkapkan strategi yang digunakan migran dalam aktivitas ekonomi informal di Kota Tangerang dan pola ekonomi yang terbentuk di antara mereka.
Dihipotesiskan bahwa tingkat pe ndapatan migran di perkotaan dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah. Dengan alasan semakin tinggi tingkat umur, tingkat pendidikan, dan lama bekerja di kota, maka kemampuan dan pengalaman juga akan tinggi, sehingga diharapkan tingkat pendapatan yang diperoleh juga akan tinggi. Dengan status menikah, berarti harus menanggung beban hidup istri dan anak, pada kondisi ini, maka seseorang harus mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan tingkat penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan mobilitas horizontal; yaitu memindahkan lokasi pasar barang atau jasa atau mobilitas vertikal; yaitu mengganti barang atau jasa, maka diharapkan perolehan tingkat pendapatan juga akan meningkat. Demikian juga status pekerjaan, untuk tiap kelompok status pekerjaan yang berbeda akan memberikan tingkat pendapatan yang berbeda. Variabel jenis pekerjaan dipertimbangkan karena untuk adanya range keuntungan yang berbeda dari jenis barang atau jasa yang di pasarkan, demikian juga asal daerah yang berkaitan dengan jenis usaha. Model struktur tersebut tersusun sebagai
berikut: mobilitas horizontal
yang disertai perubaha n status pekerjaan dan perubahan jenis penis pekerjaan serta perubahan modal usaha (mobilitas vertikal) menyebabkan besarnya pendapatan yang diperoleh di kota. Pendapatan migran sektor informal diduga bukan hanya dipengaruhi oleh faktor -faktor tersebut, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjalin dalam pola yang membentuk suatu model struktural dengan berbagai ubahan
antara (seperti; manajemen, informasi pasar dan keberuntungan). Model struktural tersebut tersusun sebagai berikut;
X3
X5
X4
X2
Keterangan: X1 = Mobilitas horizontal
X2
X2 = Status pekerjaaan X3 = jenis pekerjaan X4 = Mobilitas vertikal X5 = Pendapatan di kota
Gambar 3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal
Untuk melihat faktor yang paling dominan memberi sumbangan efektif dalam meningkatkan pendapatan migran di perkotaan digunakan analisis regresi ganda, dengan model regresi sebagai berikut; YMIG = bo + b1UMIG + b2PEND + b3 STAT + b4LAMB + b5MOBH + b6 MOBV + b7 STKJ 1 + b8STKJ 2 + b9JNPK 1 + b10 JNPK2 + b11ASDA
dimana ; YMIG = Pendapatan migran sektor informal (Rp/bulan) UMIG = umur (dalam tahun) PEND = tingkat pendidikan (0=SD, 1=SMP, 2=SMA, 3=Sarjana) STAT = status perkawinan (1 = menikah, 0 = tidak menikah) LAMB = lama bekerja di kota (dalam tahun) MOBH = mobilitas horizontal (frekuensi perpindahan lokasi kerja) MOBV = mobilitas vertikal (frekuensi perpindahan jenis usaha) STKJ 1 = Status pekerjaan (1 = majikan, 0 = lainnya) STKJ 2 = Status pekerjaan (1 = usaha sendiri, 0 = lainnya) JNPK 1 = Jenis pekerjaan (1= pakaian, 0 = lainnya) JNPK 2 = Jenis pekerjaan (1= makanan, 0 = lainnya) ASDA = Asal daerah ( 1= Jawa Barat, 0 = lainnya) Untuk menguji kelayakan model di atas dilakukan analisa korelasi Pearson, jika tidak ada kolinearitas atas variabel-variabel independen tersebut, maka model tersebut pantas untuk digunakan dalam menggambarkan hubungan antara variabel penjelas dengan variabel yang dijelaskan. Dalam ekonomi informal penin gkatan pendapatan berkaitan erat dengan peningkatan status kerja (tingkat sosial ekonomi). Untuk melihat hubungan status pekerjaan dengan pendapatan dilakukan pengujian dengan uji Duncan Multiple Range (DMRT), yaitu uji beda nilai tengah rata-rata pendapa tan untuk status pekerjaan. Pergeseran tingkat sosial migran dalam masyarakat tersebut dapat terjadi secara revolusioner dan evolusioner. Pergeseran tingkat sosial secara revolusioner dimaksudkan apabila migran di sektor informal kemudian “meloncat” terser ap
oleh sektor formal. Hal ini dapat terjadi terutama bagi mereka yang berpendidikan relatif tinggi dengan umur yang masih muda. Sambil bekerja di kota mereka mengamati terus pembangunan industri dan sektor modern lainnya yang membuka peluang kerja di sega la jenjang pekerjaan dari pekerja kasar hingga pekerja profesional. Terbukanya peluang tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi kaum migran, sehingga kerja sektor informal yang dilakukan selama itu hanya sebagai batu loncatan. Pergeseran tingkat sos ial secara evolusioner dimaksudkan bila pekerjaan migran di sektor informal berangsur-angsur berkembang hingga mampu menerobos masuk ke kategori usaha legal (sektor formal). Hasil kajian kualitatif di lapangan terhadap riwayat perkembangan pekerjaan kaum migran yang pekerjaannya berkembang ke ambang sektor formal, menunjukkan terjadinya pergeseran sektoral secara evolusioner melalui “model penyatuan rekonstruksi pekerjaan sektor informal”. Ekonomi informal mempunyai karakteristik yang menggambarkan hubunga n antara bentuk-bentuk ekonomi seperti produksi subsisten yang berbasis utama pada hubungan sosial lokal, seperti keluarga, tetangga, dan teman-teman, dengan kegiatan sektor informalnya, yang membangun hubungan ekonomi berdasarkan kultural di antara mereka (Evers dan Korff, 2002). Hubungan sosial diantara migran di kota, merupakan penentu untuk memasuki pasar tenaga kerja di sektor informal, sebagai persyaratan yang harus dimiliki migran dalam mempermudah mendapatkan pekerjaan. Hubungan sosial yang didasari atas kesamaan daerah asal, lebih banyak menentukan keterkaitan di
antara sesama migran, bukan hanya dalam hal mendapatkan informasi lowongan kerja, juga dalam hubungan antara produsen dan konsumen. 3.2.3. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data primer migran yang bekerja di sektor informal, untuk mengungkapkan bagaimana pola ekonomi yang terbentuk, serta bentuk strategi yang dilakukan dalam aktivitas ekonomi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah migran yang bekerja di sektor informal, pada industri daur ulang (lapak dan pemulung), dan pedagang kaki lima (pakaian dan makanan), dengan jumlah responden sebanyak 150 orang. Responden pada industri daur ulang sebanyak 30 orang (lapak 7 orang, dan pemulung 23 orang), pedagang kakilima makanan 60 orang, dan pedagang kakilima pakaian sebanyak 60 orang. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling), dengan pertimbangan agar mudah mendapatkan informasi data yang dibutuhkan. Data sekunder jumlah penduduk dan tenaga kerja antar sektor, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, khususnya di sektor informal. Cara pengumpulan data adalah : a. Pengumpulan data primer dilakukan terutama dengan cara melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk menelaah ekonomi migran di sektor informal, yang dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002. b. Pengumpulan data sekunder, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, publikasi tahun 1998 – 2002, meliputi data statistik, dokumentasi dan publikasi dari instansi pemerintah, seperti Biro Pusat
Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Badan Pemerintah Daerah Kota Tangerang.
3.2.4. Pengujian Hipotesis Analisa deskriptif digunakan dengan mengacu pada teori Marx dalam Hayami (2001), bahwa sektor industri formal memiliki kemampuan terbatas untuk menciptakan output dan kesempatan kerja. Oleh karena industri-industri besar dapat menekan tingkat upah dan jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan output yang tinggi dengan menggunakan teknologi modern. Akibatnya kesempatan kerja di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan kenaikan output, maka penambahan penawaran tenaga kerja baik karena migrasi atau dari penduduk kota itu sendiri, akan memasuki sektor informal, yang memiliki kesempatan kerja yang lebih luas. Untuk menguji hipotesis pertama, dilakukan telaah perilaku pelaku sektor informal pada industri daur ulang dalam hal ini pemulung dan lapak, serta pedagang kakilima, yaitu pedagang makanan dan pedagang pakaian. Bagaimana saat awal keberadaannya di kota, dan periode selanjutnya dalam mempertahankan keberadaannya di kota Tangerang. Dengan analisis deskriptif dapat terungkap strategi-strategi para migran informal dalam mempertahankan kehidupannya, maupun da lam mengembangkan potensi ekonominya. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan migran sektor informal dilakukan telaah pada status pekerjaan dengan menggunakan analisis uji Duncan, dan untuk menelaah faktor-faktor yang sangat berperan dalam peningkatan pendapatan dilakukan analisis regresi berganda dari data primer 150 responden yang meliputi;
umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama kerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah.
3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran a. Struktur perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan Digunakan data sekunder dari PDRB atas dasar harga berlaku dalam periode 1996- 2001, dan data sekunder jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor pekerjaan, dalam periode 1996-2001.
b. Migrasi Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migrasi tetap, yaitu migrasi dari perdesaan ke kota Tangerang dan menetap. Peubah-peubah yang diukur adalah jumlah penduduk yang melakukan migrasi dari tiap daerah ke Kota Tangerang dalam satuan jiwa, pada kurun waktu tertentu. Dan jumlah pekerja sektor informal adalah jumlah penduduk yang bekerja di setiap jenis kegiatan sektor informal.
c. Status Pekerjaan Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha . Status pekerjaan dibedakan menjadi: (i)
Buruh, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi dengan menerima upah baik berupa barang maupun uang.
(ii)
Berusaha sendiri, adalah mereka yang bekerja orang lain.
sendiri tanpa
bantuan
(iii) Berusaha dengan dibantu orang lain, adalah seseorang yang melakukan usahanya dibantu oleh anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap (iv) Majikan dengan buruh lepas, adalah seseorang yang melakukan usahanya dengan memperkerjakan buruh tidak tetap. (v)
Majikan dengan buruh tetap, adalah seseorang yang melakukan usahanya dengan memperkerjakan buruh tetap.
d. Perubahan Status Pekerjaan (i)
Pekerjaan Menurun, adalah kondisi seseorang yang mengalami penurunan status, misalnya dari majikan menjadi buruh.
(ii)
Pekerjaan stabil/ tidak berkembang, adalah kondisi seseorang yang selama di kota tidak mengalami perubahan keadaan pekerjaan.
(iii) Pekerjaan berkembang, adalah kondisi seseorang yang melakukan usahanya mengalami peningkatan skala usaha (usaha berkembang).
e. Definisi Ekonomi Informal Di dalam penelitian ini penulis membatasi definisi sektor informal sebagai kegiatan perdagangan barang dan atau jasa yang dapat memberikan penghasilan bagi pelakunya (minimal sebagai usaha untuk bertahan hidup), dilakukan oleh siapa saja tanpa spesifikasi tertentu yang mengikat.
dan
dapat
IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang Dalam kurun waktu 1995 – 2002 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat pesat, yaitu sebesar 4,62 % per tahun, sehingga jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2002 sebesar 1.416.842 jiwa. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995/2002 Tahun Penduduk Usia Produktif Jumlah Persen Jumlah Persen 1990
805.161
615.885
1995
1.096.916
17,00
722.966
24,00
1996
1.138.584
27,00
783.918
29,00
1997
1.180.930
38,00
847.858
33,00
1998
1.223.922
54,00
945.423
38,00
1999
1.267.547
57,00
966.201
43,00
2000
1.311.746
45,00
891.514
48,00
2001
1.354.236
54,00
948.346
53,00
2002
1.416.842
61,00
992.201
60,00
Sumber; Diolah dari BPS Kota Tangerang Tahun 1998 – 2002 Tabel tersebut menggambarkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia produktif. Artinya pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Tangerang disebabkan adanya pertambahan jumlah penduduk angkatan kerja.
4.2. Penduduk Angkatan Kerja Aliran tenaga kerja yang terjadi erat kaitannya dengan le tak geografis Kota Tangerang yang berdekatan dengan DKI Jakarta, menjadikan Kota Tangerang berfungsi sebagai kota penyangga bagi DKI Jakarta. Migran yang tidak
mendapatkan kesempatan kerja di DKI Jakarta akan berpindah ke wilayah pinggiran Jakarta (JABOTABEK). Disamping itu, penduduk Jakarta yang mencari tempat murah dengan kondisi lingkungan yang aman, Kota Tangerang merupakan salah satu pilihan, terutama daerah-daerah yang terletak di perbatasan Barat Jakarta. Ada banyak faktor yang menjadi alasan perpindahan ke wilayah pinggiran kota Jakarta. Salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah yang tinggi, menyebabkan Kota Tangerang sebagai alternatif pilihan kota tujuan bagi migran. Sektor industri adalah basis pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang, merupakan daya tarik bagi migran untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor tersebut. Selain dari itu adanya kemajuan dalam transportasi di kawasan Jabotabek, memudahkan migran yang tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta, Bogor, dan Bekasi untuk memasuki Kota Tangerang mencari pekerjaan. Dengan melihat Tabel 2 penduduk per kecamatan Kota Tangerang, memperkuat argumen yang dikemukakan. Kecamatan Larangan yang paling dekat dengan DKI Jakarta merupakan kecamatan terpadat, dihuni oleh 13.413 jiwa tiap kilometer perseginya. Selanjutnya Kecamatan Cibodas, Karawaci, dan Periuk, merupakan lokasi padat industri (industri kimia). Menyusul Kecamatan Ciledug, Benda dan Karang Tengah, selain letaknya berbatasan dengan DKI Jakarta, juga merupakan kecamatan yang memiliki sejumlah industri kimia dan tekstil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4.
Tabel 2. Tingkat Kepadatan Penduduk dan Jumlah Usia Produktif per Kecamatan Kota Tangerang Tahun 2002. Kecamatan Ciledug
Jumlah Penduduk 99.010
Usia Produktif Jumlah Persen 68.314 68
Kepadatan Penduduk/km2 11.291
Larangan
126.039
90.249
71
13.413
Karang Tengah
88.208
61.670
69
8.422
Cipondoh
133.921
89.011
66
7.477
Pinang
111.451
75.507
67
5.162
Tangerang
117.960
83.703
70
7.473
Karawaci
155.959
112.847
72
11.574
Cibodas
126.328
95.339
75
13.144
Jatiuwung
126.237
81.934
64
8.763
Periuk
107.818
81.911
75
11.298
Neglasari
85.775
55.021
64
5.335
Batuceper
75.308
47.404
63
6.502
Benda
62.828
49.291
78
10.615
Sumber; BPS Kota Tangerang Publikasi Tahun 1998 -2002
Keterangan : Wilayah penelitian pada wilayah nomer 1, 4, 6, 7, dan 8 Gambar 4. Peta Administrasi Kota Tangerang 2002
Berdasarkan lapangan usaha komposisi penduduk Kota Tangerang (lihat Tabel 3) didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor industri (188.924 orang) dan penduduk yang bekerja di sektor jasa informal (107.756 orang). Hal ini mencirikan terjadinya aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, karena adanya penyerapan tenaga kerja yang tinggi di sektor industri dan jasa informal. Seperti yang terungkap dalam penelitian Rustiadi dan Panuju (1999), bahwa Kota Tangerang merupakan daerah pengembangan manufacturing di Jabotabek, dengan kepadatan penduduk 10.056 per km2 (tergolong kategori paling tinggi), mengindikasikan terjadinya migrasi di kota tersebut. Tabel 3. Struktur Ketenagakerjaan Menurut Lapangan Usaha Di Kota Tangerang Tahun 2002 Kecamatan
Pertanian
Industri
Jasa Informal 11.177
Lainnya
2.065
Jasa Formal 5.497
Ciledug
490
Larangan
540
3.187
8.115
13.733
6.047
KarangTengah
1.133
1.762
5.084
8.036
5.731
Cipondoh
1.451
7.299
8.088
11.009
4.810
Pinang
1.493
5.944
6.753
8.601
5.641
Tangerang
495
8.919
7.461
8.231
5.958
Karawaci
1.736
16.161
7.322
9.905
7.568
Cibodas
412
13.975
6.294
10.942
2.930
Jatiuwung
375
33.175
3.444
5.759
2.968
Periuk
742
15.005
5.020
6.180
3.173
Neglasari
645
5.381
4.159
4.961
3.455
Batuceper
329
10.948
4.819
4.940
3.107
Benda
658
5.346
3.761
4.282
2.464
10.499
188.924
75.817
107.756
59.163
Kota Tangerang
Sumber; BPS Kota Tangerang dalam Angka 2002
5.311
Namun demikian di Kota Tangerang kepadatan penduduk justru paling tinggi pada kecamatan yang bukan merupakan basis industri, seperti Kecamatan Larangan, Ciledug dan Benda, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, fenomena ini mengidentifikasikan bahwa pada kecamatan ini, kepadatan penduduk disebabkan oleh adanya pergeseran penduduk DKI Jakarta ke wilayah Kota Tangerang. Argumen
ini ditunjang oleh pengetahuan tentang letak wilayah
Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug, dan Kecamatan Benda yang merupakan batas wilayah DKI Jakarta dengan Kota Tangerang. Gambaran pergeseran pemukiman ke belakang kota (hinterland ) yang terjadi di Kecamatan tersebut sesuai dengan teori penggunaan lahan Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Bahwa lokasi pemukiman akan bergeser ke pinggiran kota, memasuki wilayah pertanian, dalam perkembangan suatu perkotaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam Gambar 5.
retailing Location rent industri residential
0
Jarak Dari Pusat
Gambar 5. Hubungan antara “Land Value” dengan Jarak Pusat Kota
Komposisi penyebaran sektor lapangan kerja di setiap kecamatan memberikan gambaran proses yang terjadi pada kecamatan tersebut. Kecamatan Larangan (berdasarkan Tabel 3), merupakan kecamatan yang tertinggi jumlah penduduknya yang bekerja pada sektor jasa formal (8.115) dan jasa informal (13.733). Sedangkan untuk sektor industri tertinggi terdapat pada Kecamatan Jatiuwung (33.175). Penduduk yang bekerja di sektor pertanian tertinggi terdapat pada Kecamatan Karawaci (1.736). Dari data ini dapat diprediksi bahwa Kecamatan Larangan yang mayoritas penduduknya bergerak dalam sektor jasa informal (13.733), adalah daerah transisi kaum pendatang untuk memasuki sektor formal maupun sektor industri. Artinya, pada kecamatan ini telah terjadi aliran tenaga kerja yang sangat tajam. Jika dibandingkan dengan luas wilayahnya (9,397 km2 ), maka pada tiap km2 nya terdapat 1.461 penduduk, yang bergerak pada sektor jasa informal ( 53,43 %). Penduduk yang bekerja pada sektor formal di Kecamatan Larangan ini jumlahnya paling tinggi di Kota Tangerang (8.115), dibandingkan dengan Kecamatan Tangerang yang merupakan pusat administrasi Kota Tangerang. Jumlah di Kecamatan Larangan masih lebih tinggi, yaitu 25,66 %, sedangkan di Kecamatan Tangerang 7.461 (24,02 %). Artinya, pada Kecamatan Larangan ini juga telah mengalami proses perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah belakang kota (Larangan). Alasan itu dapat dijelaskan dengan mengacu pada tingkat kepuasan konsumen, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka pemilihan barang konsumsi untuk mencapai kepuasan juga akan sema kin luas. Dalam hal ini untuk kelompok yang berpenghasilan tinggi, keputusan untuk bermukim di pinggiran
kota masih menyisakan biaya untuk aktifitas menglaju (commuting), sehingga tingkat kesejahteraan yang diperoleh akan masih lebih baik daripada kelompok pendapatan yang lebih rendah. Berkembangnya Kota Tangerang tidak terlepas dari pengaruh pengelolaan DKI Jakarta, dimana pengaruh jangkauannya sukar dibatasi, sehingga bagian wilayah Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta seakan merupakan bagian dari DKI Jakarta. Apalagi didukung oleh adanya sarana transportasi yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kota Tangerang sangat lancar. Menurut Muth (1977), transportasi merupakan aspek yang menjadi salah satu penentu terjadinya proses pergeseran penduduk pusat kota ke belakang kota, karena faktor jarak dan waktu dapat dieliminer. Akibatnya belakang kota (hinterland) akan berkembang menjadi daerah sub urban, dimana fenomena yang nampak adalah terjadinya perubahan daerah pertanian menjadi daerah perkotaan. Kesemuanya ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang melingkupi aktivitas perkotaan seperti, derajat aksessibilitas, jumlah fasilitas umum, aglomerasi ekonomi, dan jarak dari pusat kota. Rustiadi dan Panuju (1999), mengemukakan bahwa pada umumnya pembangunan wilayah penyanggah DKI Jakarta (JABODETABEK), merupakan hasil dari migrasi Jakarta ke luar kota. Pada awalnya, pembangunan ini merupakan hasil dari ekspansi perumahan perkampungan di wilayah sekitar Jakarta, dan selanjutnya diikuti dengan pembangunan rumah tipe real-estate dan industri di daerah yang lebih jauh. Oleh karena terjadinya perusakan sistematik kampung di Jakarta selama beberapa saat lamanya, khususnya di bagian pusat kota, mendorong sebagian besar penduduk lama berpindah ke wilayah lain.
4.3. Struktur Perekonomian Pada dasarnya modernisasi adalah upaya yang menekankan pada pembangunan ekonomi sebagai titik awal untuk melakukan pergeseran aspekaspek kehidupan yang lain (Winoto, 1999). Oleh karena itu pembangunan ekonomi dan pembangunan aspek-aspek kehidupan lainnya harus diarahkan untuk menunjang pergeseran yang terjadi di bidang ekonomi. Artinya bidang ketenagakerjaan harus diarahkan dan dibangun sejalan dengan pergeseran atau perubahan ekonomi yang terjadi. Struktur perekonomian kota Tangerang dalam periode 1995 –2002, mencirikan suatu struktur perekonomian yang seimbang, yaitu terjadinya transformasi perekonomian yang ditandai oleh semakin meningkatnya pangsa relatif sektor industri dan jasa (formal dan informal) dan makin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1995 – 2002 Thn
Pertanian
Industri
Jasa Formal
Jasa Informal
Rp.juta
Persen
Rp.juta
Persen
Rp juta
Persen
RP Juta
Persen
1996
36.422
0,492
3.558.016
48,109
3.612.614
48,847
188.707 2,551
1997
32.422
0,364
4.474.907
50,256
4.182.546
46,973
214.159 2,405
1998
34.178
0,254
7.814.405
58,206
5.329.433
39,692
248.779 1,853
1999
36.925
0,251
8.525.515
57,895
5.883.423
39,953
279.981 1,901
2000
37.218
0,230
9.472.471
58,450
6.357.838
39,231
338.476 2,088
2001
37.906
0,216
10.712.522
58,241
7.243.372
39,380
399.565 2,172
Sumber BPS publikasi tahun1999- 2002 Tabel 4 menunjukkan pada tahun 1996 pangsa relatif pertanian terhadap PDRB adalah 0,492 persen, menurun menjadi 0,216 persen pada tahun 2001. Laju
penurunan pangsa relatif sektor pertanian adalah cukup besar, yaitu - 0,046 persen dengan pangsa absolut yang senantiasa meningkat dari waktu ke waktu. Sektor industri, di pihak lain telah meningkat pangsa relatifnya terhadap PDRB dari 48,109 persen pada tahun 1996 menjadi 58,241 persen pada tahun 2001, laju kenaikan pangsa relatif sektor sekunder dalam periode tersebut adalah sebesar 1,689 persen pe r tahun. Sedangkan, pangsa relatif sektor jasa formal PDRB juga mengalami penurunan dari 48,847 persen pada tahun 1996 menjadi 39,380 persen pada tahun 2001, suatu penurunan dengan laju sebesar –1,578 persen per tahun. Pada sektor jasa informal mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 0,35 persen Dalam kenyataannya transformasi perekonomian wilayah Kota Tangerang di atas menunjukkan bahwa struktur perekonomian wilayah pada tahun 2001 telah relatif seimbang dalam arti bahwa sumberdaya wilayah telah di alokasikan pada sektor-sektor ekonomi yang mempunyai value added yang tinggi.
4.4. Struktur Ketenagakerjaan Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang
tersebut telah didukung oleh struktur ketenagakerjaan yang
kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesempatan kerja yang relatif merata sedemikian rupa. Gambaran mengenai transformasi struktur ketenagakerjaan disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5.
Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara Tahun 1995 – 2002 dalam Persentase
Tahun
Sektor Ekonomi (persen) Pertanian Pertambangan Industri
Jasa
Jasa
Formal
Informal
Lainnya
1995
2,295
0,36
29,435
36,088
23,548
8,308
1996
1,723
0,268
25,258
36,486
26,782
9,482
1997
3,822
-
36,708
39,103
20,111
0,256
1998
2,139
0,223
30,503
47,075
20,061
-
1999
2,046
0,208
32,505
45,629
19,609
-
2000
2,015
0,205
32,749
45,490
19,541
-
2001
2,749
-
33,964
19,762
28,099
15,427
2002
2,746
-
33,778
19,826
28,179
15,471
Sumber : Diolah dari data BPS publikasi 1998 – 2002 Data yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase tenaga kerja di sektor pertanian relatif sangat rendah. Sektor industri terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, persentase tenaga kerja di sektor formal mengalami peningkatan pada tahun 1995 – 2000, namun kemudian mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Sedangkan tenaga kerja di sektor jasa informal sejak tahun 2001 kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
4.5. Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan Bila dihubungkan dengan struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, dinamika struktur ketenagakerjaan nampak tidak sejalan dengan dinamika struktur perekonomian wilayah. Artinya, struktur perekonomian wilayah tersebut tidak didukung oleh struktur ketenagakerjaan. Terdapat ketimpangan distribusi tenaga kerja antar sektor perekonomian.
Sebagai contoh, data tahun 1996 (lihat Tabel 5) menunjukkan bahwa persentase tenaga kerja yang berada di sektor pertanian, industri, jasa formal, dan jasa informal masing-masing adalah sebesar 1,7 persen, 25,5 persen, 36,5 persen, dan 26,8 persen. Sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, indus tri, jasa formal dan jasa informal dalam PDRB masing-masing adalah sebesar 0,5 persen, 48,1 persen, 48,8 persen, dan 2,5 persen (lihat Tabel 4). Secara agregat kenyataan ini menunjukkan bahwa transformasi PDRB sektor perekonomian yang terjadi tidak diimbangi dengan transformasi tenaga kerja antar sektor. Kondisi ideal yang diharapkan adalah terjadinya keselarasan struktur perekonomian wilayah dengan struktur ketenagakerjaan antar sektor. Secara khusus kenyataan ini dapat diinpretasikan bahwa laju penurunan pangsa relatif sektor pertanian dalam PDRB tidak diimbangi dengan laju penurunan yang relatif sama dari tenaga kerja yang ada di sektor ini, dan laju peningkatan pangsa relatif sektor industri tidak diimbangi oleh peningkatan pangsa relatif tenaga kerja sektor industri. Dan untuk laju penurunan pangsa relatif sektor jasa formal tidak diimbangi oleh penurunan pangsa relatif
tenaga kerja sektor jasa formal,
demikian pula pada sektor jasa informal terjadi peningkatan pangsa relatif dalam PDRB, tetapi persenta se relatif tenaga kerja di sektor ini tidak seimbang dengan nilai relatif PDRB pada sektor ini. Untuk lebih mudahnya memahami ketimpangan struktural antar sektor perekonomian wilayah kota Tangerang dan ketenagakerjaan antar sektor, disajikan dalam Gambar 6, yang menunjukkan bagaimana model hubungan antara struktur perekonomian yang didukung oleh struktur perekonomian menciptakan keseimbangan atau keselarasan antara input dan output untuk mengukur
kemampuan kota Tangerang berada pada sektor yang mana dan kekurangannya ada dimana agar diperoleh suatu keadaan penggunaan input yang optimal.
Persen thd PDRB/TK
70 60 50 40 30 20 10 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Gambar 6.
PRDB Pertanian
PDRB Industri
PDRB Jasa Formal
PDRB Jasa Informal
TK- Pertanian
TK-Industri
TK-Jasa Formal
TK-Jasa Informal
Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan antar Sektor
Produktivitas antar sektor ekonomi dapat dihitung dengan membandingkan PDRB antar sektor dengan jumlah tenaga kerja antar sektor ekonomi, yaitu; untuk tahun 2001 sektor pertanian memperlihatkan produktivitas sebesar 0,08 persen, nilai produktivitas sektor industri sebesar 1,72 persen, jasa formal sebesar 1,98 persen, dan sektor informal memiliki produktivitas yang sama dengan sektor pertanian yaitu sebesar 0,08 persen. Untuk lebih obyektif dalam mengidentifikasi pola -pola perkembangan aktifitas tersebut, maka dilakukan analisis shift share pada pe riode 1996 – 2001. Disamping itu supaya hasil yang diperoleh lebih meyakinkan maka akan dilakukan analisis berdasarkan dua sumber data, yaitu data penduduk berdasarkan
lapangan usaha, dan data PDRB berdasarkan harga berlaku antar sektor lapangan usaha. Hasil analisis shift share yang diperoleh disajikan dalam Tabel 6 yang diolah dari struktur persentase tenaga kerja dan dari struktur persentase PDRB. Tabel
6. Nilai- nilai Komponen Shift-Share Kota Tangerang Periode Tahun 1995 – 2002
Sektor
Komponen Aktifitas Penduduk
PDRB
Proportional shift 1,195
Differential shift 0,001
Proportional shift -0,184
Differential shift 0.001
Industri
13,879
0,008
19,532
29,978
Jasa Formal
-4,457
0,002
-5,487
0,001
Pertanian
Jasa 12,261 0,019 5,674 -0,014 Informal Data diolah dari aktifitas ekonomi penduduk dan PDRB tahun 1996 -2001 Secara umum struktur ketenagakerjaan tumbuh di seluruh sektor perekonomian, hal ini merupakan indikasi adanya aliran tenaga kerja yang cukup besar menuju ke Kota Tangerang, terutama pada sektor jasa informal dan industri. Memahami perkembangan aktivitas sebaiknya tidak hanya ditinjau dari satu sisi, yaitu sisi input tenaga kerja tetapi dari sisi output yang salah satunya dapat direpresentasikan oleh nilai PDRB. Berdasarkan nilai PDRB terse but dapat dilihat adanya perbedaan struktur aktivitas, dari sudut pandang yang berbeda. Data ini memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan sektor yang paling unggul perkembangannya di Kota Tangerang. Sedangkan untuk sektor jasa formal memberikan mengalami penurunan daya saing. Bila dihubungkan antara hasil analisis berdasarkan data penduduk dengan PDRB, terlihat ketidaksinkronan atau ketimpangan antara pertumbuhan jumlah
tenaga kerja dengan PDRB. Yang paling menonjol terlihat pada sektor pertanian dan sektor jasa informal. Peningkatan atau pertambahan jumlah tenaga kerja di kedua sektor ini tidak seimbang dengan nilai PDRB yang disumbangkan oleh kedua sektor ini bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Artinya di kedua sektor ini, terutama pada sektor jasa informal yang paling banyak menyerap tenaga kerja, kualitas tenaga kerjanya memiliki produktivitas marginal yang rendah, suatu hal yang sangat disayangkan, karena seharusnya dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja akan memberikan nilai output yang tinggi pula bagi pertumbuhan ekonomi (economics of scale). Dari fenomena umum yang tergambar dari hasil analisis di atas, yaitu selama kurun waktu 1995 – 2002, telah terjadi aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, ini terbukti dari nilai Diffrential Shift yang positif dari semua sektor lapangan usaha. Tetapi memiliki produktivitas marginal yang rendah dari sektor pertanian dan sektor jasa informal, terlihat dari nilai negatif analisis berdasarkan PDRB. Laju pergeseran sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB menunjukkan bahwa struktur prekonomian yang terjadi selama kurun waktu 1995 –2002 telah sejalan dengan pola transformasi struktur perekonomin sebagaimana yang diharapkan oleh model Clark – Fisher
dalam Winoto (1999), bahwa
pembangunan ekonomi harus di arahkan untuk bisa mendistribusikan tenaga kerja kedalam sektor -sektor perekonomian sesuai dengan pangsa relatifnya terhadap perekonomian wilayah, atau sesuai dengan pangsa relatifnya terhadap PDRB, sehingga ketimpangan pendapatan antar sektor dapat dikurangi, artinya sektor
industri diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian dan sektor jasa informal yang memiliki produktivitas marginal yang rendah. Sebab melihat kenyataan yang ada bahwa sektor industri yang terus berkembang dan pangsa relatifnya terhadap PDRB yang terus meningkat ternyata masih didukung oleh tenaga kerja dengan porsi yang lebih rendah dari yang seharusnya. Sedangkan sebaliknya terjadi pada sektor jasa informal yang pangsa relatifnya terhadap PDRB yang kurang mengalami pergeseran ternyata juga didukung oleh tenaga kerja yang selalu meningkat, artinya bahwa tenaga kerja pada sektor ini memiliki produktivitas marginal yang rendah (diminished return). Rendahnya produktivitas marginal tenaga kerja di sektor jasa informal terutama
dise babkan
oleh
ciri
dan
sifat
yang
mengikat
(Embedded
Characteristics) pada sektor ini. Sifat-sifat umum dari sektor informal (Winoto 1996) ini adalah : 1. Self management 2. Tidak membutuhkan spesialisasi kerja 3. Tidak membutuhkan keahlian khusus atau keahlian tinggi 4. Barang /jasa yang diperlukan tidak membutuhkan standar khusus 5. Permintaan tenaga kerja sangat elastik oleh karena tidak adanya spesialisasi dan keahlian khusus 6. Perputaran uang sangat tinggi tetapi dengan margin keuntungan yang sangat kecil 7. Terdapat meka nisme yang menjamin adanya social insurance diantara pelaku ekonomi dalam sektor ini tetapi didalam bentuknya yang paling subsistence.
8. Dihipotesiskan sebagai mekanisme yang paling efektif untuk mendistribusikan kemiskinan. Dengan alasan tersebut, wajar bila diharapkan bahwa sektor industri dan jasa formal mampu menyerap tenaga kerja pertanian yang berlebih dan tenaga kerja sektor jasa informal yang sangat rendah produktivitas marginalnya. Secara konsepsional, ketidakseimbangan struktur perekonomian dan struktur tenaga kerja adalah; 1. Transisi proses pergeseran dari struktur tradisional ke struktur modern yang berkepanjangan yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja tidak produktif. 2. Terjadinya peningkatan pergeseran tenaga ke rja tidak produktif ke sektor jasa informal. 3. Migrasi yang terjadi tidak sejalan dengan spatial economic transformation sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis moderen. Ketiga hal ini dapat terjadi sebagai suatu fenomena berantai yang saling berkaitan dengan dampak negatif pada pembangunan wilayah jangka panjang. Secara umum, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pergeseran struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang belum diiringi oleh pergeseran struktur ketenagakerjaan antar sektor lapangan usaha . Kenyataan ketimpangan struktur antara pertumbuhan sektor- sektor perekonomian dan tenaga kerja yang ada juga terjadi dalam konteks spasial. Industri pengolahan merupakan mesin pertumbuhan ekonomi wilayah di KotaTangerang, dan migrasi merupakan proses ala miah yang tidak dapat terhindarkan sebagai hasil proses industrialisasi dan modernisasi yang terjadi
dalam perekonomian wilayah. Oleh karena sektor industri mampu memberikan tingkat upah yang lebih tinggi daripada pertanian atau lapangan usaha lainnya, maka proses migrasi karena adanya harapan memperoleh penghasilan yang tinggi dapat terjadi. Tetapi yang terjadi pada wilayah Kota Tangerang, aliran tenaga kerja pada periode tahun 2001 sampai sekarang itu lebih banyak bergerak pada sektor jasa informal, meskipun persentasenya masih di bawah daripada sektor industri, tetapi memperlihatkan pergeseran yang meningkat, sebaliknya pada sektor industri justru bergerak ke bawah. Dengan melihat sumbangan sektor lapangan usaha terhadap PDRB, sektor jasa informal ini memberikan nilai yang negatif (analisis Shift Share). Artinya tenaga kerja di sektor jasa informal ini memiliki nilai produktifitas marginal yang rendah. Ketidakmampuan sektor industri menampung aliran tenaga kerja yang setiap saat meningkat tiap tahun, menyebabkan tenaga kerja yang tidak tertampung masuk ke sektor jasa informal yang hampir sama polanya dengan sektor pertanian yang lebih bersifat subsisten. Dalam hal ini peningkatan jumlah tenaga kerja tidak dapat mendorong peningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor formal harus mampu menciptakan kesempatan kerja pada tingkat yang sangat tinggi. Dari data Tabel 6 sektor industri memperkerjakan sekitar 30 persen dari seluruh tenaga kerja. Untuk menyerap kenaikan angkatan kerja yang meningkat 4,5 persen per tahun (Tabel 6), maka sektor industri tersebut harus menyediakan ketersediaan lapangan kerja sebesar 16 persen ( 0,3 x 0,16 = 0,45). Hal ini berarti output harus meningkat lebih cepat lagi (di atas 16 persen) karena kesempatan kerja di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan
kenaikan output. Pertumbuhan seperti yang diharapkan ini agak mustahil terjadi. Sehingga penciptaan lapangan kerja di sektor informal untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja akan terus meningkat.
4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang Salah satu proses perkembangan ekonomi yang menonjol di Kota Tangerang adalah semakin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian dan meningkatnya pangsa relatif sektor industri. Pola ini umumnya terjadi pada suatu daerah berkembang sesudah tahap awal pembangunan. Perkembangan ekonomi wilayah tidak dapat dipisahkan dari investasi Makin tinggi investasi yang ditanam di suatu daerah semakin menarik bagi investor. Lihat Tabel 7 dan Tabel 8, yang menggambarkan investasi yang di setujui di Botabek dari tahun 1996 -2000, untuk PMDN dan PMA. Dari Tabel tersebut terlihat dengan jelas untuk Botabek, Bekasi adalah daerah yang paling menarik bagi investor domestik (PMDN), disusul Tangerang kemudian Bogor.
Tabel 7. 10 Besar Investasi Disetujui (PMDN), Tahun 1995 – 2000 Sektor Tangerang (no. urut ) Bekasi (no. urut ) Bogor (no. urut ) 1
1.368,0
1
839,6
4
347,8
3
2
734,3
2
862,3
5
436,8
1
3
638,6
3
653,3
7
105,7
10
4
619,4
4
921,8
2
342,9
4
5
580,0
5
903,9
1
150,3
9
6
537,2
6
1.170,7
1
394,4
2
7
282,0
7
-
337,9
5
8
195,5
8
-
-
9
191,6
9
-
-
10
143,8
10
727,9
6
-
11
-
359,0
8
12
-
355,1
9
222,7
7
13
-
10
180,6
8
14
-
-
311,0
6
Total
5.598,0
7.763,7
226,1
Sumber : BKMD Jawa Barat, Tahun 2001 Keterangan sektor 1. industri makanan 2. industri farmasi 3. industri kayu 4. industri real estate 5. industri logam 6. industri kimia 7. industri tekstil
8. industri barang logam 9. industri pertambangan 10. industri mineral non-logam 11. industri lainnya 12. industri jasa lainnya 13. industri pertambangan 14. industri perhotelan
3.041,9
Tabel 8. 10 Besar Investasi Disetujui (PMA), Tahun 1995 – 2000 (US $) Sektor
Tangerang (no.urut ) Bekasi
(no.urut ) Bogor
(no.urut )
1
238.813
1
1.229.967
1
120.090
2
2
199.208
2
262.747
4
31.000
7
3
146.181
3
283.921
2
28.736
8
4
77.543
4
31.014
10
5
58.343
5
41.315
8
281.500
1
6
39.140
6
270.266
3
36.996
6
7
36.292
7
258.815
5
114.397
3
8
36.000
8
163.800
6
39.100
5
9
34.150
9
-
-
10
10.930
10
-
86.000
4 9
3.250
10
11
-
51.886
7
12.000
12
-
34.870
9
-
Total
912.770
2.690.493
754.538
Sumber : BKMD Jawa Barat, Tahun 2001 Keterangan Sektor 1. industri barang logam 2. industri kimia 3. industri tekstil 4. industri kayu 5. industri jasa lain 6. industri logam dasar
7. industri lainnya 8. industri real estate 9. industri perhotelan 10. industri mineral non-logam 11. industri makanan 12. industri pengangkutan
Implikasi dari perkembangan industri di Kota Tangerang, adalah mengalirnya angkatan kerja dari luar untuk memenuhi kebutuhan tenaga di sektor industri tersebut. Menurut teori pembangunan ekonomi wilayah (Tarigan, 2004), agar pertumbuhan ekonomi jangka panjang tinggi, dengan modal kecil dapat meningkatkan output yang sama besarnya, maka investasi harus tinggi. Ekspor dan capital output ratio (COR) = hubungan antara jumlah kenaikan output
(pendapatan)
Y yang disebabkan oleh kenaikan tertentu pada stok modal
K/ Y
harus kecil. Dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Si + mi – (Ómij Yj) / Yi gi =
...............................(1) (Tarigan, 2004) Vi
dimana; g = nilai pertumbuhan suatu wilayah Si = tingkat tabungan mi = impor Y = total pendapatan Vi = capital output ratio (COR) Pertumbuhan yang mantap tergantung pada arus modal dan tenaga kerja yang bersifat menyeimbangkan atau tidak. Pa da model ini arus modal dan tenaga kerja searah karena pertumbuhan membutuhkan keduanya secara seimbang. Daerah yang pertumbuhan ekonominya maju akan menarik modal tenaga kerja dari daerah lain yang pertumbuhannya rendah. Industri yang paling berkembang di Kota Tangerang adalah industri barang logam, industri kimia, dan industri tekstil. Ketiga jenis industri ini bersifat skala besar dengan tingkat akumulasi modal yang besar. Pada jenis industri skala besar pola peningkatan output dengan penggunaan teknologi yang lebih maju dengan intensif upah pekerja yang lebih tinggi. Sehingga jumlah tenaga kerja tetap dengan upah yang lebih tinggi untuk tingkat produksi yang lebih tinggi. Pola pertumbuhan sektor industri di Kota Tangerang seperti di gambarkan dalam Gambar 6, memperlihatkan peningkatan output tidak diimbangi peningkatan jumlah tenaga kerja pendukungnya. Karena pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Tangerang termasuk tinggi, maka aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang merupakan hal yang wajar. Arus migrasi yang terjadi di Indonesia tampaknya lebih banyak disebabkan daya
dorong daripada daya tarik. Penggunaan teknologi, dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi wilayah, melahirkan tata industri yang bersifat padat modal dan bukan yang bersifat padat kar ya. Di bidang pertanian kebijaksanaan ini cenderung mendorong buruh tani ke perkotaan, dan di bidang industri, mengakibatkan terbatasnya kemampuan kota menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, mungkin saja arus penduduk dari desa ke kota tetap berjalan terus dan semakin cepat, sementara kesempatan kerja di sektor informal tetap terbatas. Dari analisa data sekunder sebelumnya, menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah tenaga kerja sangat signifikan dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di Kota Tangerang adalah sektor industri dan sektor informal, dimana sektor informal memperlihatkan pertumbuhan yang melebihi sektor industri. Meskipun dapat dikatakan bahwa antara sektor industri dan sektor informal dalam menyerap jumlah tenaga kerja yang menuju ke Kota Tangerang sama, karena perbedaaan nya sangat kecil, yaitu 0,04 %, hal ini menunjukkkan bahwa sektor informal memperlihatkan kecenderungan yang meningkat, sedangkan sektor industri akan mengalami masa stagnan dalam menyerap tenaga kerja. Maka menarik untuk mengkaji mengapa sektor jasa informal cenderung berkembang sejalan dengan perkembangan ekonomi Kota Tangerang.
4.7. Kesempatan Kerja di sektor Informal Pertambahan jumlah tenaga kerja karena proses migrasi ke kota ataupun dari penduduk kota itu sendiri, tida k dapat sepenuhnya ditampung di sektor industri. Jika pertambahan jumlah tenaga kerja di kota tidak dapat terserap seluruhnya di sektor formal dan industri, ke sektor mana mereka tertampung?.
Tabel
5
memperlihatkan
bahwa
di
Kota
Tangerang
yang
mengalami
perkembangan jumlah tenaga kerja adalah sektor jasa informal. Berapa besar kemungkinan seorang migran memperoleh pekerjaan di sektor jasa informal sangat ditentukan oleh peluang dan waktu yang dapat di gambarkan dalam persamaan p (x) = ð (1) + Ó ð (t) Ð [ 1 – ð (s) ]…………………(2) (Todaro,1998)
Komponen Ó ð (t) Ð [ 1 – ð (s) ] menunjukkan lama waktu migran berada di kota (Y). Jika Y tinggi, maka semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan (p). Hal ini memungkinkan penyesuaian dengan kenyataan bahwa semakin lama migran berada di kota biasanya akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi mereka lebih baik, sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan tingkat penghasilan yang di harapkan juga akan semakin besar. Persamaan di atas memberikan gambaran bahwa migran akan mendapati dirinya tidak bekerja dalam beberapa waktu. Hal itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka yang mempersiapkan diri dalam masa menunggu. Mereka yang tidak mempersiapkan diri, akan mencari jalan mengatasi keberadaannya di kota, di dapati bahwa kapital sosial lebih berperan dalam membendung terjadinya migran pulang kampung. Jika memperhatikan struktur ketenagakerjaan, penduduk yang bekerja di sektor informal cukup besar (lihat Tabel 9), dari analisis data sekunder jumlah tenaga kerja di sektor informal hampir seimbang dengan tenaga kerja di sektor industri. Tetapi jika dihubungkan dengan struktur perekonomian, sektor informal
sangat sedikit atau kurang nyata berperan dalam peningkatan PDRB Kota Tangerang, hanya sekitar 2%.
Tabel 9. Kesempatan Kerja di Kota Tangerang Menurut Sektor 1995 dan 2002 Sektor
1995
2002
Tingkat Pertumbuhan (persen per tahun)
Primer
11
123
127,27
6.220
7667
2,91
-
66
0,08
6.218
7.514
2,61
-Listrik,gas,dan air
-
34
0,04
-Bangunan
2
53
0,07
Tersier
2.043
4.392
14,37
-Perdagangan
1.643
1.340
-2,30
-Angkutan
33
1.246
459,47
-Keuangan
223
1.725
84,19
-Jasa
144
81
-5,47
Semua sektor
8274
12.182
5,90
Sekunder - Pertambangan dan penggalian -Industri Pengolahan
Sumber Diolah dari BPS 1999- 2002 Di Wilayah Kota Tangerang, dalam kurun lima tahun terakhir jumlah pencari kerja mengalami lonjakan. Pada tahun 1998 – 1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 37 persen. Bahkan, pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, jumlah pencari kerja itu melonjak sampai 58 persen.
4.8. Ekonomi Sektor Informal Dari banyak penelitian sejarah sektor informal (Chandrakirana. K, I.Sadoko, 1995), kemunculan sektor informal sejalan dengan lahirnya tenaga kerja bebas, yaitu tenaga kerja yang bekerja untuk mendapatkan upah dan memiliki mobilitas tinggi yang merupakan bagian dari perluasan sistem ekonomi kapitalisme dan bagian integral dari perkembangan sistem sosial ekonomi yang terjadi di Jawa sejak abad ke-19. Ekonomi sektor informal berkembang secara bersamaan dengan usaha -usaha skala besar yang tumbuh di bawah kepentingan dan perlindungan negara. Ada tiga fenomena yang melatarbelakangi berkembangnya ekonomi sektor informal, yaitu: 1. Surplus tenaga kerja Besarnya penawaran tenaga kerja murah, yang pada gilirannya menjamin biaya produksi atau operasional yang rendah. Selama tenaga kerja bertahan murah, ekonomi informal akan tetap ada dan berkembang. 2. Rendahnya daya beli rakyat Rendahnya daya beli ma yoritas penduduk berarti tingginya tingkat permintaan terhadap barang dan jasa murah yang diproduksi oleh kegiatan informal. 3. Faktor budaya Budaya membeli dari pedagang keliling telah ada selama ratusan tahun. Dimana barang atau jasa yang ditawarkan kadangkala jenisnya sama yang dapat ditemukan pada toko-toko formal (misalnya; pakaian), dan jasa yang disediakan
sulit digantikan oleh badan usaha formal (misalnya; pembantu rumah tangga, pemulung). Untuk dapat mengetahui faktor apakah yang dapat menjelaska n daya serap ekonomi informal sedemikian besar. Hal ini dapat dijelaskan dengan menelaah bagaimana tingkat penghasilan pelaku ekonomi informal, akses masuk, jaringan sosial dan pertumbuhan ekonomi informal. Ekonomi informal mampu menawarkan alternatif penghidupan yang cukup baik. Tingkat penghasilan yang dicapai dalam kegiatan-kegiatan ekonomi informal dapat setara dengan upah yang ditawarkan lapisan ekonomi formal. Kesempatan kerja dalam ekonomi ini mudah dijangkau oleh angkatan kerja dengan sumberdaya terbatas. Dalam ekonomi sektor informal, jaringan sosial hampir sama pentingnya dengan sumberdaya yang berbentuk dana. Jaringan sosial merupakan sumberdaya tersendiri karena berfungsi sebagai sarana rekrutmen dan dapat menjadi sumber perlindungan bagi tenaga kerja informal. Walaupun modal usaha calon pekerja informal umumnya terbatas, sumberdaya kedua ini relatif mudah diperoleh. Kesempatan kerja pada ekonomi sektor informal semakin bermakna dalam konteks dimana altenatif penghidupan yang ditawarkan oleh ekonomi formal sangat terbatas. Peluang akumulasi pada ekonomi informal dapat terjadi, karena memberikan kesempatan sangat besar untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, dan perluasan skala usaha seperti pada sektor formal.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden Dari jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 150 orang, berdasarkan komposisi menurut daerah asalnya di dominasi migran asal Jawa Barat; 47 orang (31,3 persen), menyusul dari Sumatera Utara; 21 orang (14 persen), dan Jawa Tengah; 20 orang (13,3 persen). Kenyataan ini dikarenakan Kota Tangerang yang merupakan bagian dari Provinsi Banten sebelumnya adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat, letaknya paling Barat dari Jawa Barat. Kebanyakan responden adalah laki-laki; 132 orang (88 persen), dan perempuan sebanyak 18 orang (12 persen). Hal ini disebabkan laki-laki lebih mudah melakukan mobilitas dibandingkan perempuan. Perempuan menikah akan terikat dengan keluarganya, sehingga tidak mudah melakukan mobilitas. Status pernikahan laki-laki cenderung
tidak menjadi faktor penghambat dalam
melakukan mobilitas. Dari analisa empiris migran sektor informal yang berumur 31 – 40 tahun (41,3 persen), merupakan responden paling dominan. Terbanyak kedua adalah responden berumur 21 – 30 tahun (35,3 persen), dan menyusul yang berumur 41 – 50 tahun (16,7 persen). Dengan demikian, berdasarkan komposisi umur responden, dapat disimpulkan bahwa migran pelaku ekonomi informal rata -rata adalah laki-laki yang berumur 21 – 40 tahun (umur produktif) dan menikah (109 orang = 72,7 persen). Tingkat pendidikan responden adalah SD sebanyak 18 orang (11,3 persen), SMP sebanyak 50 orang (32,7 persen), SMA sebanyak 67 orang (44 persen), dan
Sarjana sebanyak 15 orang (12
persen). Pendapatan rata -rata per bulan
berdasarkan tingkat pendidikan di dapatkan untuk SD sebesar Rp.672.222,00, migran yang berpendidikan SMP mempunyai pendapatan rata-rata sebesar Rp. 675.000,00, yang berpendidikan SMA memperoleh pendapatan rata -rata Rp. 894.545,00. sedangkan pada tingkat Sarjana memperlihatkan pendapatan rata -rata lebih tinggi yaitu Rp. 2.865.625,00. Hasil analisa empiris ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan SD dan SMP memperoleh rata-rata tingkat pendapatan yang relatif sama, sedangkan untuk tingkat pendidikan SMA dan Sarjana memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dalam perolehan tingkat pendapatan rata -rata. Akan tetapi jika memperhatikan jenis usaha yang dijalankan dengan tingkat pendidikan, responden berpendidikan Sarjana memperlihatkan perolehan pendapatan rata -rata lebih tinggi pada jenis usaha makanan, pakaian, dan lapak. Lihat Tabel 10 yang merupakan hasil olahan dari data Lampiran 1 dan Lampiran 7. Tabel 10. Karakteristik Responden Migran Sektor Informal di Kota Tangerang Karakteristik Lama menganggur 0-1 bulan 1-6 bulan 6-12 bulan > 12 bulan Pendapatan rata-rata Makanan Pakaian Pemulung Lapak
SD
SMP
SMA
Sarjana
1 5 1 8
5 11 11 14
8 24 6 15
1 4 1 7
438.235,00 1.228.947,00 325.000,00 1.100.000,00
1.050.000,00 863.929,00 250.000,00 2.875.000,00
3.714.286,00 1.835.714,00 5000.000,00
913.636,00 287.500,00 216.667,00 -
Tabel 10 menggambarkan bahwa responden yang berpendidikan SD akan mendapatkan pekerjaan dalam waktu 1- 6 bulan atau dalam waktu lebih dari setahun. Mereka lebih banyak berperan sebagai pedagang kakilima makanan, dengan pendapatan rata-rata per bulan Rp.913.636,00, lebih tinggi
daripada
pendapatan rata-rata responden yang berpendidikan SMP yaitu Rp. 438.235,00 per bulan. Namun demikian responden yang berpendidikan SMP tampak menonjol pada jenis usaha pakaian, lapak, dan pemulung dalam perolehan pendapatan rata-rata per bulan. Secara relatif, migran yang memasuki sektor informal akan mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu 1-6 bulan dan atau setahun. Hal ini menggambarkan responden relatif akan mengalami masa menganggur setibanya mereka di kota. Berdasarkan data Lampiran 7 (hal.107) bahwa meskipun mereka menganggur, masalah kebutuhan pokok dapat teratasi dengan ditampungnya mereka di rumah kerabat atau teman. Lihat Tabel 11 (hasil olahan data Lampiran 7). Respondenpun datang ke kota karena diajak oleh ke luarga atau teman yang telah bekerja di kota, sehingga untuk mendapatkan pekerjaan sangat mudah. Hal ini dapat dibuktikan dari jawaban responden yang lebih banyak menjawab datang ke kota untuk kerja dan karena ada kerabat atau keluarga. Untuk lebih memahami bagaimana mereka dapat tetap eksis di kota dengan memasuki sektor informal, maka dilakukan telaah mengenai pola ekonomi informal yang dijalani, dengan membatasi telaahan pada segmen ekonomi industri daur ulang; yaitu pemulung dan lapak, serta pedagang kakilima makanan dan pakaian
Tabel 11. Modal Sosial Migran Sektor Informal di Kota Tangerang Tingkat Pendidikan Modal Sosial SD SMP SMA Sarjana Informasi Kerja -teman sekampung 3 6 6 -keluarga 3 6 8 2 -teman di kota 4 18 21 5 -sekolah 1 3 4 4 -koran 2 8 12 2 Alasan Memilih Kota Tangerang -untuk kerja 8 34 24 7 -ada pekerjaan yang baik 4 6 1 -ada kerabat 5 6 23 3 -dipanggil oleh teman 1 5 2 Rumah Tinggal -rumah kerabat 10 20 9 -tempat kerja 8 9 12 2 -rumah teman 2 12 14 1 -terminal 2 1 -kontrakan 1 2 1
5.2. Pelaku Ekonomi dalam Industri Daur Ulang Pengumpulan barang-barang bekas dilakukan oleh pemulung dan tukang loak. Peranan perantara dijalankan oleh berbagai tingkatan pengusaha dengan modal yang cukup besar; peranan pembeli mencakup industri rumah tangga sampai pabrik-pabrik besar. Pembahasan difokuskan pada dua pelaku dalam industri daur ulang, yakni pemulung dan lapak, menyangkut cara kerja dan hubungan antara keduanya. Pemulung mengumpulkan barang-barang buangan, seperti kertas, kardus, plastik, kaleng, besi, dan beling dari tempat-tempat sampah di kota untuk dijual sebagai barang pulungan kepada lapak. Lapak adalah perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan bahan-bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi. Dalam menjalankan fungsi ini, pemulung harus mengenali jenis-jenis sampah yang mempunyai nilai ekonomis, serta mengetahui harganya.
Karena harga barang-barang pulungan berfluktuasi, maka pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya tentang barang yang paling banyak dibutuhkan dan berharga tinggi. Sebagian besar pemulung berkeliling mendatangi tempat-tempat sampah di daerah permukiman dan perkantoran atau pertokoan. Mereka beroperasi dalam rute perjalanan yang relatif tetap. Pembatasan daerah operasi pada prinsipnya tidak ada, walaupun berlaku semacam kesepakatan untuk tidak saling melanggar teritorial masing-masing. Di daerah-daerah permukiman yang padat penduduk, pemulung dapat menjelajahi areal dalam radius 1 kilometer dari lokasi lapak, tempat mereka dapat menjual barang-barang pulungannya. Ada pula pemulung-pemulung yang mengumpulkan barang-barang buangan di lokasi penumpukan sampah kota, tempat pembuangan akhir (TPA). Di TPA, truk-truk secara rutin membuang sampah kota dalam volume besar. Kualitas sampah di TPA umumnya
lebih rendah dibandingkan dengan yang
langsung dikumpulkan di daerah permukiman di tengah kota. Para pemulung dibedakan berdasarkan ciri hubungan mereka dengan pembeli barang-barang pulungannya (lapak). Ada pemulung yang terikat dengan lapak, dalam arti mereka hanya menjual kepada satu lapak secara eksklusif. Pemulung jenis ini biasanya mendapatkan sejumlah fasilitas dari lapaknya, seperti tempat tinggal serta kais dan gerobak; mereka juga mendapatkan pinjaman uang untuk kebutuhan darurat dan pengobatan jika sakit. Untuk ini semua, pemulung diwajibkan menjual seluruh hasil pulungannya kepada lapak yang bersangkutan, walaupun harga beli yang ditawarkan dapat lebih rendah daripada lapak lain.
Pemulung dalam kelompok ini adalah migran yang datang ke kota karena diajak oleh teman atau kerabatnya yang telah bekerja sebagai pemulung di kota, merekapun hanya mengikuti jenis pekerjaan pendahulunya. Sehingga pada suatu wilayah tertentu
didapatkan jenis pekerjaan tertentu yang didominasi oleh
kelompok pekerja asal daerah tertentu. Seperti untuk kelompok besi-besi tua dikuasai oleh orang Batak. Pemulung jenis lain adalah pemulung yang tidak terikat pada lapak tertentu. Pada prinsipnya, mereka
dapat menjual barang pulungannya kepada
lapak mana saja yang menawarkan harga beli terbaik, walaupun tanpa mendapat fasilitas apapun dari lapak. Migran yang termasuk kelompok ini adalah migran yang tanpa sengaja memasuki pekerjaan pemulung. Kebanyakan dari mereka tidak mempersoalkan masalah tempat tinggal, sebab mereka dapat menginap dimana saja, atau menempati sebuah kontrakan di dekat tempat beroperasi mengumpulkan limbah, dan jenis pekerjaan yang dilakoni tidak hanya sebagai pemulung. Ada yang sebagai tukang ojek sewaan, atau tukang sampah di lingkungan tertentu. Penyediaan fasilitas merupakan faktor penting dalam hubungan antara lapak dan pemulung. Di antara pemulung dalam sampel, 40% menyatakan tinggal di tempat yang disediakan lapak, 43% diberi pinjaman gerobak untuk memulung, 39% diberi bantuan pengobatan atau pinjaman uang untuk kebutuhan darurat. Sedangkan data survei terhadap 15 lapak yang diteliti menunjukkan bahwa hanya 6% yang tidak memberikan fasilitas apapun kepada pemulung, dan 15% yang hanya memberi pinjaman gerobak saja.
Pada prinsipnya, pekerjaan pemulung dapat dijalankan tanpa modal apapun. Barang pulungan, yang merupakan buangan penduduk diperoleh secara gratis; demikian pula, bagi pemulung yang terikat pada lapak tertentu, alat-alat kerjanya. Dalam situasi dimana pemulung menemukan barang buangan dalam kuantitas besar yang hanya dapat diperoleh melalui transaksi beli, sebagian pemulung bisa me minjam uang dari lapak untuk membeli barang-barang tersebut. Lapak. Kegiatan lapak adalah menyalurkan bahan-bahan daur ulang dalam keadaan bersih, terpilah-pilah dan dalam kuantitas besar ke tingkatan perantara berikutnya. Sebagian besar dari lapak
(93%
dari sampel)
mengandalkan pemulung sebagai sumber utama pasokan bahan-bahan daur ulangnya. Dalam konteks ini, penyediaan berbagai fasilitas kepada pemulung adalah untuk menjamin keteraturan serta meningkatkan volume pasokan bahan daur ulang. Dalam hal lokasi usaha, lapak dapat ditemukan di berbagai pelosok kota. Karena jarak tempuh pemulung dalam mencari barang-barang pulungan relatif terbatas, lapak berusaha sedapat mungkin untuk beroperasi dekat dengan sumber limbah. Karena kebutuhan ini, maka lokasi-lokasi lapak banyak ditemui di tengah kota, baik di tanah-tanah kosong milik perorangan yang belum dibangun maupun di tempat-tempat umum, seperti rel kereta api, atau di bantaran sungai. Industri daur ulang di Kota Tangerang terbentuk oleh suatu jaringan hubungan kerja yang kompleks. Sebagai pengumpul dan penyalur tingkat pertama dari limbah masyarakat, pemulung dan lapak merupakan ujung tombak dari jaringan ini. Gambaran empiris menunjukkan kompleksnya industri ini, bahkan di
tingkat pemulung dan lapak sekalipun terdapat adanya diferensiasi di antara mereka sendiri. Perbedaan penghasilan di antara para pemulung tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kemampuan perorangan dalam mengumpulkan barang-barang buangan, tetapi lebih dipengaruhi oleh perbedaan masing-masing dalam hubungan kerja dengan lapak dan pilihan strategi pengumpulan (berkeliling atau di TPA). Pendapatan rata-rata responden pemulung adalah sebesar Rp. 14.800,00 per hari. Responden yang berpendidikan SMP lebih banyak berperan pada usaha pemulung, dengan kisaran umur antara 20-36 tahun. Pada usaha lapak, ditemukan responden pelakunya paling banyak adalah yang berpendidikan SMA, dengan usia antara 33-53 tahun. Di antara para lapak, juga terdapat perbedaan terutama dalam hal kekuatan modal, rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh lapak adalah sebesar Rp. 154.000,00 per hari. Jika memperhatikan kisaran umur pelaku pemulung dan lapak, dapat disimpulkan bahwa pelaku pemulung adalah migran yang mengandalkan kekuatan pada tenaga. Sedangkan pelaku lapak adalah migran yang lebih banyak bertumpu pada kekuatan modal. Mereka menekuni usaha lapak karena telah mengetahui dengan jelas pasar bahan baku olahan industri, dan biasanya telah terjalin hubungan kontrak yang tidak tertulis dengan pihak industri. Hubungan
antara
lapak
dan
pemulung
didasarkan
pada
ikatan
ketergantungan yang diwarnai oleh hubungan bapak dan anak buah. Manisfestasi dari ikatan ini berbentuk penyediaan berbagai fasilitas, terutama tempat tinggal dan bantuan keuangan bagi pemulung untuk menjamin keteraturan pasokan mereka.
Terdapat keterkaitan secara psikologis antara lapak dan pemulung, dimana kebutuhan hidup pemulung dapat ditanggung oleh lapak baik berupa pinjaman atau pemberian cuma-cuma. Keterkaitan ini menjadikan aset utama bagi lapak dalam kelangsungan usahanya. Bagi pemulung itu sendiri hubungan psikologis ini merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup di kota.
5.3. Pedagang Kakilima Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen akhir, jaringan usaha pedagang kakilima te rpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Mereka mendapatkan pasokan dari berbagai sumber; langsung dari produsen, pemasok, toko pengecer, maupun dari pedagang kakilima lainnya. Pedagang kakilima umumnya sebagai pengusaha mandiri, mempunyai kebebasan untuk menentukan sumber pasokannya atas dasar pertimbanganpertimbangan ekonomis. Meskipun sebagai pedagang kakilima mempunyai kebebasan menentukan sumber pasokan barang-barangnya, terdapat pula pedagang (khususnya pedagang makanan) yang beroperasi dala m hubungan kerja yang lebih mengikat. Sejumlah pedagang kakilima yang menjual makanan mendapatkan bahan-bahan mentahnya dari seorang pengusaha yang disebut taoke. Taoke menyediakan berbagai fasilitas tempat tinggal, gerobak, alat-alat masak, dan kadang ua ng makan. Sebagai gantinya, pedagang kakilima berkewajiban membeli bahan-bahan makanan yang ditentukan oleh taoke. Dari wawancara ditemukan bahwa terdapat dua macam taoke, yaitu taoke produsen dan taoke penyalur. Taoke produsen adalah pengusaha yang memproduksi sendiri jenis makanan tertentu dan memakai tenaga pedagang
kakilima sebagai salah satu strategi pemasarannya. Seperti halnya pada hubungan antara lapak dan pemulung, keterkaitan di antara mereka berdasarkan balas jasa atas kemudahan yang diberikan oleh pihak taoke. Ada banyak kemudahan yang ditawarkan oleh pihak taoke, seperti pemberian pinjaman kebutuhan hidup atau modal usaha, yang pembayarannya sangat manusiawi. Sebenarnya pemberian pinjaman ini justru merupakan alat untuk mengikat secara emosional pihak pedagang kakilima ke dalam struktur usaha taoke sehingga dapat memperluas jaringan pemasaran produk. Taoke penyalur adalah pengusaha yang mencari keuntungan dengan berperan sebagai perantara antara produsen atau pemasok bahan makanan tertentu dan pedagang kakilima. Mustari, misalnya, memiliki lima buah gerobak yang disewakan kepada pedagang kakilima. Setiap hari Mustari membeli mie dari pabrik milik saudaranya, ayam cincang dari sebuah industri rumahan, dan saus tomat, vetsin, dan tepung dari pasar. Kemudian menjual bahan-bahan ini kepada pedagang kakilima yang menyewa gerobaknya. Paling banyak model ini adalah
menitipkan makanan
pada warung-
warung kecil, yang pembayarannya tergantung pada jumlah barang yang terjual. Hubungan macam ini sangat me nguntungkan kedua belah pihak. Pihak penyalur dapat menjangkau daerah pemasaran yang sangat luas, sedangkan pihak pedagang kakilima tidak mengeluarkan biaya produksi. Kerjasama ini berdasarkan atas rasa saling percaya. Responden yang berprofesi sebagai pe dagang makanan dan pakaian didominasi oleh migran yang berpendidikan SMP dan SMA. Pedagang makanan yang berpendidikan SMP berusia antara 22-45 tahun, dan sebagai pedagang
pakaian berusia antara 23-48 tahun. Pedagang yang berpendidikan SMA memperlihatkan range umur yang sama, pedagang makanan berusia antara 20-50 tahun, dan pedagang pakaian berusia 22-48 tahun. Melihat komposisi umur pedagang makanan dan pakaian menggambarkan bahwa umur pelaku kedua jenis usaha ini adalah sama yaitu berkisar antara umur 22-48 tahun (usia produktif). Pedagang kakilima berjualan dengan berbagai sarana berupa kios, tenda, atau secara gelar.
Pedagang gelar menghamparkan barang-barangnya di atas
trotoar/lantai dengan suatu alas, atau menjajakannya di atas
peti-peti yang
ditumpuk hingga berfungsi sebagai meja. Walaupun pada waktu berjualan mereka mangkal di tempat tertentu, para pedagang gelar bersifat mobil dalam arti mudah memindahkan dagangannya ke lokasi lain. Mereka dapat menyesuaikan lokasi dan waktu berjualannya dengan kondisi keramaian suatu tempat, tetapi sering pula menghadapi penggusuran oleh aparat ketertiban atau petugas pasar karena menempati lokasi yang tidak semestinya (misalnya trotoar). Pedagang yang berjualan dengan tenda, menggunakan meja ataupun rak dengan waktu berjualan yang dibatasi oleh petugas lokal, seperti aparat pemerintah kota, pengelola pasar, pengelola terminal bis, dan sebagainya. Di luar waktu berjualan yang diizinkan, tenda digulung dan lokasi mereka dipakai untuk kegiatan lain (seperti parkir mobil) ataupun dibebaskan untuk lalu-lintas pejalan kaki. Sementara itu, pedagang kios menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding semi permanen. Dinding kios umumnya terbuat dari papan kayu, tripleks, atau setengah tembok. Pedagang-pedagang ini relatif lebih bebas
menentukan waktu berjualannya karena tidak menduduki tempat-tempat dengan peruntukan lain, sehingga tidak mengenal pembatasan waktu usaha. Pedagang kakilima dapat ditemukan beroperasi di berbagai jenis lokasi, termasuk di halaman (tetapi di luar gedung) pasar; di sepanjang sisi luar pagar pasar; di lokasi-lokasi resmi kakilima; dan di tempat-tempat non-pasar seperti terminal bis, pemukiman ataupun perkantoran. Pedagang yang memakai sarana kios kebanyakan ditemukan di lokasi-lokasi yang telah diizinkan pemerintah kota dan di lokasi non-pasar. Pedagang yang menggunakan tenda umumnya berada di sekitar pasar, lokasi resmi dan non-pasar, sedangkan pedagang gelaran kebanyakan ditemukan di lokasi pasar, baik di halaman maupun di sekitarnya. Besar an modal ternyata mendasari beberapa perbedaan di antara pedagang kakilima. Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen sarana usahanya. Baik pedagang makanan maupun pakaian yang bermodal kecil cenderung untuk menjual dagangannya secara gelar. Proporsi yang menggunakan tenda semakin besar dengan meningkatkan besaran modal usaha. Di antara pedagang bermodal besar, proporsi yang berjualan menggunakan kiospun besar, khususnya untuk pedagang pakaian. Kisaran nilai sebuah kios adalah antara Rp. 175.000,00 - Rp. 5.000.000,00, sedangkan tenda antara Rp. 30.000,00 hingga Rp. 2,5 juta. Pendapatan rata-rata pedagang makanan adalah sebesar Rp. 47.000,00 per hari, sedangkan pedagang pakaian dapat memperoleh pendapatan sebesar Rp. 76.000,00 per hari. Sebagian besar dari pedagang kakilima bekerja sendiri, tanpa bantuan tenaga kerja lain. Jika dibedakan berdasarkan komoditi yang dijual, ternyata lebih banyak pedagang pakaian yang bekerja sendiri (70%) daripada pedagang makanan
(54%). Jumlah karyawan yang dipekerja kan oleh pedagang pakaian rata-rata satu orang, sedangkan pedagang makanan adalah dua orang. Di antara pedagang makanan, tampak bahwa semakin besar modal usaha, semakin besar pula jumlah karyawan yang dipekerjakan. Berdasarkan deskripsi kedua kegiatan di atas, dapatlah dibuat satu generalisasi, yakni menyangkut tingginya heterogenitas dan diferensiasi internal dalam ekonomi informal. Heterogenitas ini tidak hanya terbatas pada keragaman bidang usaha, tetapi juga dalam struktur hubungan kerja yang berlaku. Misalnya, pedagang kakilima yang membeli bahan-bahan mentah hanya dari taoke tertentu, pemulung yang menjual barang pulungannya hanya kepada lapak tertentu, berada dalam struktur hubungan kerja yang serupa, yaitu sebagai pekerja yang bergantung pada seorang “patron”. Patron inilah yang menjamin sebagian kebutuhan hidup mereka, baik kebutuhan pokok maupun kelangsungan pekerjaan mereka. Akan tetapi mereka tidak atau kurang dapat mengembangkan potensi ekonominya jika tetap mengikuti patron saja, sehingga sebagian akan melepaskan diri, dan berusaha sendiri dengan jenis usaha yang sama atau usaha yang berbeda. Hal itu terjadi jika pengalaman mereka dalam menggeluti pekerjaannya dapat diamalkan. Di pihak lain, pedagang kakilima yang memiliki sendiri sarana usahanya dan membeli bahan mentah atau pasokan barang dagangannya di pasaran bebas, pemulung yang relatif bebas untuk menentukan pembeli barang-barang daur ulangnya. Karena kekuatan keuangannya dan karena memiliki sendiri sarana usahanya, pelaku-pelaku ekonomi informal ini berada dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan optimalisasi keuntungan. Meskipun kurang pengalaman,
jika didukung oleh kecerdasan ekonomi, maka akan mudah mengembangkan potensi ekonominya, sehingga pelaku ekonomi informal yang mencapai suks es adalah kelompok yang memiliki pengalaman yang banyak serta mempunyai kecerdasan ekonomi yang tinggi. Kecerdasan ekonomi adalah kemampuan mengelola potensi yang dimiliki untuk dapat menghasilkan uang. Kecerdasan ekonomi inilah yang sesungguhnya berperan pada seorang migran
dalam
mempertahankan
keberadaannya
di
kota.
Pada
awalnya
menumpang di rumah kerabat atau teman, kemudian dapat mandiri, mempunyai pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, selanjutnya kebutuhan lainnya. Seterusnya dapat memperkerja kan orang lain dan memperluas pasaran. Diferensiasi internal dalam ekonomi sektor informal mempunyai berbagai bentuk. Dalam masing-masing bidang usaha informal, terdapat perbedaanperbedaan atas dasar strategi kerja dan tingkat penghasilan. Hal ini terlihat dari perbedaan-perbedaan yang berlaku antar sesama pemulung, lapak, dan pedagang kakilima. Bila diletakkan dalam konteks sistem perekonomian yang lebih luas, kenyataan heterogenitas dan diferensiasi internal dalam ekonomi sektor informal ini tidak berbeda dengan ekonomi sektor formal. Pelaku ekonomi sektor informal di dalam melakukan usahanya memperlihatkan suatu bentuk struktur – perilakukinerja yang berlaku pada ekonomi sektor formal, namun berbeda berdasarkan skala usaha dan pasar konsumennya. Sistem ekonomi sektor informal juga memperlihatkan adanya struktur persaingan sempurna, tidak pernah membentuk struktur pasar monopoli, seperti pada usaha sektor formal, karena alasan-alasan berikut:
•
Setiap orang yang berkeinginan untuk melakukan usaha tidak ada larangan atau rintangan untuk entry (masuk) dan juga tidak ada rintangan untuk exit (keluar).
•
Tujuan usaha adalah untuk memperoleh laba maksimum
•
Hampir tidak dibatasi oleh adanya regulasi pemerintah. Dilapangan, cenderung berada dalam suasana hampir tidak ada larangan dan tidak ada surat izin, jika beroperasi dan menjual ke pasar, maka tindakan itu dilakukan tanpa surat-surat izin. Tidak ada hambatan tarif, subsidi, dan kuota.
•
Barang dan atau jasa yang ditawarkan adalah homogen. Meskipun begitu pasar te naga kerja yang berlaku tidak sama, dimana pada
ekonomi informal, terutama pada industri daur ulang memperlihatkan perekrutan pekerja tidak terbatas, bahkan semakin banyak orang yang bekerja pada satu lapak justru akan mempertinggi penghasilan yang akan diperoleh oleh lapak. Dalam penentuan kesepakatan tingkat upah, majikan tidak dapat menekan pekerja. Artinya, bila tidak sesuai maka pekerja dapat mencari atau pindah kerja. Sedangkan buruh pada sektor formal, tidak dapat memprotes tingkat upah yang diperoleh, konsekuensinya mereka akan dipecat jika tidak menerima ketentuan pemilik atau pemegang kebijakan usaha. Dalam jaringan kerja yang terbentuk, terdapat keterkaitan sistem produksi antara usaha -usaha penyediaan bahan dasar atau bahan mentah dengan usaha produksi selanjutnya, seperti pada hubungan antara pemulung dengan lapak, selanjutnya hubungan lapak dengan industri pengolahan limbah. Demikian juga pada pedagang makanan dan pakaian, terdapat kaitan kerja yang sangat
mendukung kelancaran usaha, yaitu antara pemasok dengan penjual atau pengecer. Hubungan dalam kerjasama di antara pelaku ekonomi tersebut dalam sektor formal dapat berubah menjadi suatu gabungan yang disebut integrasi, jika saja ada pengusaha yang mempunyai kekuatan modal, dapat menggabungkan semua sistem produksi tersebut dalam suatu jaringan tunggal, untuk meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, efesiensi, dan juga untuk mengurangi ketidakpastian usaha. Selanjutnya bagaimana perilaku migran ekonomi informal ini pada awal kedatangannya di kota dalam mengatasi kelangsungan hidupnya. Untuk itu telaah dilanjutkan
pada
bentuk-bentuk
strategi
yang
mereka
lakukan
dalam
mempertahankan keberadaannya di kota
5.4. Strategi Bertahan Hidup Migran Sektor Informal Migran yang tidak diterima di sektor formal, hampir dikatakan tidak ada yang langsung kembali ke kampung (daerahnya) karena tidak mendapatkan pekerjaan di kota. Disamping adanya pendapatan yang diharapkan, secara psikologis, kaum migran umumnya tidak mudah menyerah pada nasib yang kurang beruntung. Sekali mereka menginjakkan kaki di kota tujuan, pantang pulang sebelum dapat menunjukkan hasil pada keluarga di kampung (berhasil). Terutama etnis tertentu seperti dari Sumatera, yang terkenal sebagai perantau. Kebanyakan migran sesampainya di kota, yang tidak terserap di sektor industri atau sektor jasa formal, rata-rata adalah angkatan kerja yang mempunyai pendidikan minim, dahulu yang paling banyak adalah tamatan SD dan SMP, tetapi sekarang yang berpendidikan Sarjanapun sudah banyak yang memasuki sektor ini
(dari hasil empiris responden sekitar 12,7 %). Paling
banyak adalah tamatan
SMA (44 %). Sehingga walaupun mereka dapat diperkerjakan di sektor informal status pekerjaan mereka hanya sebagai buruh denga n pendapatan yang sangat kecil untuk ukuran hidup di kota, akibatnya mereka hidup dalam produktivitas yang rendah. Pada kenyataannya, hal ini tidak mempengaruhi minat calon migran untuk mengadu nasib ke kota, terbukti pada wilayah penelitian jumlah penduduk usia produktif memperlihatkan kecenderungan yang meningkat tajam. Dari hasil wawancara responden diperoleh gambaran mengapa mereka tetap berada di kota, meskipun mereka tidak berhasil memasuki sektor jasa formal atau industri, 57 % responden menjawab bahwa suatu saat nanti mereka dapat memasuki sektor formal, dan 38 % responden menjawab bahwa mereka dapat mengubah keadaan usahanya atau status pekerjaannya, menjadi lebih baik, dan 5 % responden menjawab tidak punya lagi harta di kampung. Dari jawaban yang diberikan oleh responden, mengisyaratkan bahwa ratarata migran akan selalu menyimpan harapan yang lebih baik dari keadaan sekarang yang dijalaninya serta menjadikan sektor informal sebagai pekerjaan utama dan sumber penghasilan di kota. Dengan demikian mereka harus mempersiapkan keadaan mereka sebaik mungkin untuk dapat mempertahankan keberadaan di kota. Migran di kota secara sosiologis dapat mempertahankan kelangsungan kehidupannya di kota, meskipun tanpa harus mempunyai pekerjaan tetap terlebih dahulu. Karena sebuah strata sosial ekonomi dalam masyarakat yang basis kelangsungan hidupnya paling kritis, akan selalu berusaha bertahan hidup dan mempertahankan sistem reproduksinya dengan memanfaatkan semua segmen
ekonomi yang memungkinkan, dengan mobilitas tinggi dalam mencari kerja, memanfaatkan beberapa sumber pendapatan dan reproduksi (Elwert, Evers, dan Wilkens, 1983). Inilah yang menyebabkan meluasnya sektor informal ketika di masa-masa kritis tingkat pengangguran di sektor formal meningkat. Sejumlah studi mengenai sektor informal menunjukkan bahwa masuk ke sektor ini tidaklah sukar selama yang bersangkutan mempunyai akses kerja. Hampir semua kegiatan sektor informal terorganisasi dengan baik dan ada beberapa aturan yang harus diikuti begitu seseorang diterima dalam kegiatan tersebut, sebagai contoh pemulung dan lapak (tempat pemulung tinggal serta mengumpulkan barang-barangnya sebelum dijual). Rekomendasi dari seseorang yang dihormati di lapak dibutuhkan untuk bisa diterima sebagai pemulung. Begitu diterima, pemulung yang bersangkutan harus mematuhi peraturan yang berlaku di lapak. Misalnya, seseorang tidak boleh beroperasi di luar daerah yang bukan diperuntukkan bagi lapak yang bersangkutan, atau menjual barang-barang bekas yang dikumpulkan kepada lapa k lain, atau bekerja ekstra tanpa seizin kepala lapak. Pola yang sama ditemukan pada bidang kegiatan yang bentuknya mengelompok dalam satu produksi tertentu. Seperti penjual makanan dan minuman, memperlihatkan suatu jaringan teratur diantara mereka. Ada pembagian kerja yang rapi dan disetujui bersama. Upah ditentukan atas dasar kesepakatan majikan dengan pekerja. Bekerja di sektor ini mudah dijalani, dan kesempatan selalu ada, hanya membutuhkan kemauan untuk bekerja. Saat awal kedatangan di kota merupakan tahapan adaptasi yang paling kritis bagi migran, dalam perjuangan untuk dapat bertahan hidup. Kota yang tidak
ramah kepada migran yang baru datang, memerlukan beberapa cara untuk mengatasi keadaan tersebut. Dari hasil pengamatan terungkap beberapa bentuk strategi yang digunakan migran untuk mempertahankan keberadannya di kota, yaitu :
5.4.1. Strategi Pemenuhan Kebutuhan Dasar Suatu masalah yang harus segera dipecahkan oleh migran saat awal di kota
adalah pemenuhan kebutuhan dasar berupa perolehan pekerjaan dan
permukiman. Keberadaan migran yang terdahulu ternyata sangat berperan dalam mengatasi hal itu. Mereka membantu sepenuhnya bukan saja mengenai informasi pekerjaan atau permukiman sementara, tetapi juga mengajarkan pekerjaan dan meminjamkan modal. Hanya dengan keberadaan migran terdahulu itulah yang dapat menekan sekecil-kecilnya kaum migran kembali (return migration) yang disebabkan kegagalan kota. Hubungan darah dan hubungan bertetangga penting bagi para migran. Waktu pertama kali berangkat, kebanyakan mig ran dibantu atau ditemani oleh famili atau tetangga yang sudah mengetahui dan punya pengalaman kerja di perkotaan. Karena mereka yang baru merantau sangat bergantung pada kerabat dan tetangganya, maka pilihan pekerjaan juga tergantung pada kerabat dan tetangga yang bersangkutan. Implikasi dari ketergantungan akan pekerjaan ini menyebabkan migrasi tidak lagi merupakan “upaya yang berisiko tinggi” seperti diketengahkan oleh Todaro (1998), akan tetapi merupakan usaha yang berisiko rendah, karena sejak awal para perantau sudah tahu bidang pekerjaan yang akan dijalaninya.
Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh gambaran sebagai berikut; 16,7 % menjawab tinggal di rumah teman, 36,7 % tinggal di rumah kerabat waktu baru pindah ke kota Tangerang. Selebihnya menjawab tinggal di rumah kakak atau adik adalah 38,7 %, tidak menjawab 8 %. Tentang pertanyaan “dengan siapa datang ke Kota Tangerang”,
kira-kira separuhnya menjawab
“datang sendiri” (Lampiran Hal. 114). Keberhasilan migran sebelumnya berpengaruh la ngsung pada penduduk di daerah asalnya. Dorongan agar dapat seperti yang terdahulu, membuat mereka melakukan hal yang sama, dan pendahulunya merupakan pelindung bagi mereka di kota. Dengan demikian, mereka tergantung pada kerabat dan teman-teman. Pola jaringan kerja yang terbentuk berdasarkan pada patron migran pendahulu, menyebabkan terdiferensiasinya jenis usaha berdasarkan daerah asal secara umum, seperti pedagang makanan siap saji didominasi oleh orang Sumatera Barat. Pedagang makanan “Warung Tenda” di pinggir jalan didominasi oleh orang Jawa Timur.
5.4.2. Strategi Bergabung dalam Paguyuban Saat awal kedatangan di kota, kaum migran dihadapkan dengan pola kehidupan yang jauh berbeda dengan pola kehidupan daerah asal. Untuk menanggulangi sifat masyarakat kota yang, menurut kaum migran, “tidak ramah” kemudian dibentuk paguyuban. Dengan paguyuban atau penggabungan diantara sesamanya, menjadikan mereka yang “minoritas” dapat menciptakan kemudahan untuk bertahan hidup di lingkungan baru. Bergabungnya migran ke dalam
paguyuban saat awal di kota merupakan strategi untuk menanggulangi periode paling kritis dalam memperjuangan hidup. Kegiatan dan pengelolaan paguyuban tersebut bervariasi dari yang sangat tradisional sampai yang sudah terorganisasi dengan rapi. Misalkan paguyuban yang dilakukan oleh migran dari Padang. Mereka mengadakan pertemuan bulanan secara teratur dan bergantian di tempat masing-masing anggota. Pada hari-hari tertentu, pertemuan diisi dengan ceramah dan pengajian agama. Disamping kegiatan arisan, masing-masing anggota diwajibkan membayar sejumlah tertentu uang secara sukarela. Uang yang terkumpul di antaranya dipakai sebagai modal biasanya dalam wujud barang bagi orang Padang yang baru tiba dan ingin bekerja di kota tersebut. Dari kegiatan yang demikian, jelas paguyuban sangat berperan dalam proses bertahan hidup migran di kota, bukan hanya memberi modal bagi pendatang baru, tetapi juga sering memberi pengarahan bagi migran yang dipandang gagal, atau memberikan pekerjaan, misalnya sebagai pembantu di tempat kerjanya. Migran yang bekerja sebagai pembantu di tempat kerja migran lainnya akan mendapatkan pengetahuan, seperti membuat makanan, tempat membeli barang pasokan atau bahan mentah, dan pemasaran. Cara ini memberi peluang bagi migran tersebut untuk dapat membuka usaha sendiri dengan modal sendiri atau pinjaman. Ada banyak jenis paguyuban yang terbentuk di kota, yang bergerak di sektor informal. Seperti kelompok orang Jawa yang berusaha di bidang penjualan makanan, baik yang punya tenda atau gerobak keliling. Misalnya penjual bakso, pecel lele, mie ayam, es podeng dan sebagainya. Umumnya memiliki citarasa
khas tersendiri, yang membedakannya dari yang lain, sehingga terjadi diferensiasi produk makanan berdasar kan cita rasa. Adanya
diferensiasi
ini
menyebabkan
terbukanya
peluang
untuk
menciptakan jenis usaha yang sama tetapi dengan ciri khas tersendiri, yang sekiranya dapat menarik konsumen. Hal ini menimbulkan struktur pasar persaingan sempurna, dimana satu ata u beberapa pelaku ekonomi akan menguasai pasar konsumen golongan tertentu, karena pada sektor ini selain kualitas, harga juga merupakan faktor penentu dalam menarik konsumen. Sehingga tidak ada satu usaha yang dapat mematikan usaha lainnya yang sama. Setiap pelaku ekonomi informal akan mendapatkan penghasilan tersendiri. Meskipun letak lokasi berjualan sama atau berdekatan, dengan jenis usaha yang sama, tidak berarti perolehan penghasilan akan sama. Inilah variabel yang tidak dapat diprediksi oleh pelaku ekonomi informal, sehingga tidak pernah ada.
5.4.3. Strategi Mobilitas Horizontal dan Mobilitas vertikal Memperoleh pekerjaan saat awal di kota relatif mudah karena dapat meniru migran yang terdahulu. Masalah yang kemudian timbul apabila sudah terlalu banyak orang yang meniru pekerjaan yang sama. Kota mengalami kejenuhan atas jenis pekerjaan tersebut, sehingga mengakibatkan persaingan yang ketat di antara mereka sendiri. Agar tetap dapat bertahan hidup di kota, kaum migran melakukan strategi mobilitas ke tempat lain (mobilitas horizontal). Melakukan mobilitas horizontal berarti memindahkan pasar barang dan jasa ke tempat lain yang dipandang belum jenuh, sehingga akan memungkinkan mereka mengembangkan pekerjaan atau setidak-tidaknya dapat bertahan di kota
(se kalipun di kota lain). Mobilitas demikian ternyata mempunyai tingkat yang tinggi. Lebih dari separuh (63,5 %) migran di kota pernah melakukan mobilitas horizontas minimal sekali, tetapi ada pula diantara mereka yang melakukan sebanyak 7 kali. Tingginya frekuensi mobilitas horizontal ini erat kaitannya dengan kemajuan pembangunan, terutama dalam bidang transportasi. Pengertian di sini dapat mencakup perpindahan tempat usaha dalam kota dan atau kota lainnya (di luar kota), dengan tujuan mendapatkan letak strategi
yang lebih
menguntungkan. Perilaku demikian adalah termasuk strategi mendapatkan pasar yang dapat memberikan nilai penjualan optimum. Dengan semakin seringnya melakukan perpindahan tempat usaha, maka akan menambah pengetahuan tentang pasar barang ata u jasa yang paling banyak konsumennya. Menambah wawasan cara menampilkan atau menyajikan dagangannya, sehingga dengan cara tersebut akan menarik lebih banyak konsumen. Di samping itu, strategi lain dari migran agar tetap dapat bertahan hidup di kota adalah melakukan mobilitas vertikal. Dengan melakukan mobilitas vertikal berarti mengganti barang atau jasa yang dipandang belum jenuh di kota sehingga memungkinkan dapat mengembangkan pekerjaan atau setidak-tidaknya dapat bertahan bekerja di kota. Mobilitas ini juga mempunyai tingkat yang tinggi. Lebih dari separuh
(70,5%) migran di kota pernah melakukan mobilitas vertikal
minimal sekali, tetapi ada pula yang melakukan sebanyak 7 kali. Tingginya frekuensi mobilitas vertikal ini sangat berkaitan erat dengan motivasi konservatif dan motivasi inovatif.
Motivasi mobilitas pekerjaan yang konservatif merupakan reaksi spontan terhadap faktor -faktor situasional, seperti proyek selesai, pailit, kalah kompetisi, eksploitasi pekerjaan, diberhentikan oleh majikan, iseng (coba -coba), dan sebagainya. Jika salah satu dari faktor tersebut dialami oleh migran, maka migran tersebut harus mencari dan mendapatkan pekerjaan lainnya, untuk dapat menutupi kebutuhan hidupnya. Jadi penggantian pekerjaan yang dilakukan bukan karena direncanakan. Sebaliknya dengan motivasi mobilitas vertikal yang inovatif, yaitu suatu tindakan yang dilakukan terencana dengan sistematis, merupakan mobilitas yang didasarkan pada peningkatan aspirasi, demi mengejar status sosial lebih tinggi setelah mengenyam kehidupan di kota. Ini sangat ditentukan oleh tingkat endowment seorang migran, dalam menyikapi kehidupan perkotaan. Peningkatan kesejahteran dalam ekonomi informal adalah kegiatan yang menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memperbesar skala usaha, mengganti jenis usaha, atau berubah status pekerjaan. Dari kajian tentang kaitan mobilitas vertikal dengan mobilitas horizontal, terungkap adanya hubungan yang sangat signifikan. Semakin sering migran melakukan mobilitas horizontal ketika bekerja di kota, semakin tinggi pula mobilitas vertikal yang dilakukan. Meskipun mobilitas horizontal dan mobilitas vertikal merupakan strategi migran untuk bertahan hidup dikota, tetapi ada di antara mereka yang bersifat pasif atau “nrimo”. Mereka menekan kebutuhan atau aspirasinya yang disesuaikan dengan kemampuannya.
5.5. Pengembangan Pekerjaan Migran Sektor Informal Perlu diungkapkan berbagai hal yang dapat menggambarkan secara menyeluruh pengembangan pekerjaan migran. Hal-hal tersebut di antaranya, peningkatan status pekerjaan, hubungan pengembangan pekerjaan dengan pendapatan. Akhirnya akan tampak alur pengembangan pekerjaan dan peranan dalam peningkatan status sosial, serta tahapan mobilitas pekerjaan.
5.5.1. Peningkatan Status Pekerjaan Informasi tentang pengembangan pekerjaan migran berupapeningkatan status pekerjaan diperoleh dari penelusuran riwayat status pekerjaan masingmasing responden sejak bekerja di kota. Berdasarkan inventarisasi jenis-jenis pekerjaan yang ada, dapat disusun enam kelompok pekerjaan yang masing-masing diberi rank (orde) menurut statusnya. Dengan menghubungkan rank antara pekerjaan awal dan pekerjaan akhir diperoleh perubahan satus pekerjaan yang dapat dikategorikan menjadi pekerjaan meningkat, pekerjaan stabil (tidak berkembang), dan pekerjaan menurun. Tabel 12 memperlihatkan tidak ada status pekerjaan migran yang menurun, bahkan kecenderungannya menunjukkan proses pengembangan. Status pekerjaan migran di kota Tangerang berkembang mencapai 13,3 %. Migran di kota Tangerang yang dapat mengembangkan status pekerjaannya hingga menjadi majikan dengan dibantu oleh buruh tetap sebesar 4,0 %, dengan rata -rata pendapatan adalah Rp. 5.250.000,00. Majikan yang dibantu oleh buruh lepas sebesar 4,7 %, dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp.2.357.143,00.
Tabel 12. Perubahan Status Pekerjaan Migran Sektor Informal di Kota Tangerang Kota Tangerang Perubahan Status Pekerjaan
Jumla
Persen
h Pekerjaan menurun Pekerjaan stabil/tidak berkembang
Rata-rata Pendapatan
-
-
130
86,7
Rp.
6
4,0
Rp. 5.250.000,00
7
4,7
Rp. 2.357.143,00
2
1,3
Rp. 1.750.000,00
5
3,3
Rp. 1.450.000,00
150
100,0
707.615,00
Pekerjaan berkembang : -buruh jadi majikan dengan bantuan buruh tetap -buruh jadi majikan dengan bantuan buruh lepas -buruh jadi usaha sendiri dengan anggota keluarga -buruh jadi usaha sendiri tanpa bantuan orang lain Jumlah Sumber: Hasil pencatatan data primer, 2004 5.5.2. Hubungan Pengembangan Pekerjaan dengan Pendapatan Penelusuran riwayat keberadaan migran di Kota Tangerang menunjukkan bahwa mereka adalah para drop-out dari budaya masyarakat agraris yang secara bergelombang datang ke kota tanpa suatu persiapan apapun. Mereka mau bekerja seadanya di kota, kebanyakan menjadi buruh. Sebagian dari upah yang diterima kemudian ditabung untuk modal alih pekerjaan menjadi usaha sendiri. Mereka menyadari, jika berusaha di kota, modal merupakan faktor untuk memulai suatu usaha baru, dengan harapan dapat mengatur sendiri strategi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Meskipun kenyataannya tidak selalu bahwa dengan bekerja pada diri sendiri, perolehan penghasilan lebih tinggi dibandingkan jika bekerja pada orang lain.
Untuk mendapatkan modal yang lebih besar mereka lalu membentuk kelompok usaha bersama. Dalam perkembangannya, usaha bersama ini sering membutuhkan tenaga kerja tambahan. Selanjutnya, banyak usaha bersama yang sudah berkembang ini kemudian saling melepaskan diri dan masing-masing menjadi majikan. Pada sektor informal nampaknya kedudukan memiliki usaha sendiri merupakan target jangka panjang bagi pelakunya. Fenomena tersebut sejalan dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh di kota menurut status pekerjaan. Hasil analisis uji Duncan menunjukkan bahwa rata-rata penda patan kategori pekerja terdapat perbedaan yang sangat signifikan (Pr > F = 0,000) antara kategori status pekerjaan tersebut dengan rata -rata pendapatan; yaitu rata-rata pendapatan buruh lebih rendah daripada rata -rata pendapatan usaha sendiri yang tanpa bantuan orang lain. Paling tinggi adalah ratarata pendapatan majikan. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan pekerjaan kaum migran berkaitan erat dengan pengembangan pendapatannya di kota.
Tabel 13. Status dan Pendapatan Rata-Rata Migran Sektor Informal Status
Rata-Rata Pendapatan (Rp/bulan)
Majikan
2.624.821
Usaha Sendiri
864.444 b
Buruh
354.286 b
a
Dari hasil analisis uji Duncan ini didapatkan bahwa tingkat kesignifikanan perbedaan antara status majikan, usaha sendiri, dan buruh terhadap rata -rata pendapatan tidak sama. Pendapatan migran yang berstatus majikan berbeda sangat
nyata dengan status usaha sendiri dan buruh, sedangkan usaha sendiri dan buruh tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sektor informal ada dua golongan utama (diferensiasi ekonomi) yang memiliki rata-rata tingkat pendapatan yang berbeda, yaitu golongan majikan dan golongan buruh. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa usaha sendiri adalah termasuk golongan buruh yang bekerja pada dan untuk diri sendiri, yaitu mengupah diri sendiri. Sedangkan golongan buruh itu sendiri adalah buruh yang bekerja pada orang lain, yang disebut dengan majikan, yaitu orang yang memberinya upah atas penggunaan tenaganya. Hasil analisis regresi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran disajikan pada Tabel 14. Secara statistik model regresi cukup baik menggambarkan karakteristik perilaku ekonomi migran terhadap tingkat pendapatan di sektor informal. Semua peubah dapat menjelaskan 73,6 persen ragam tingkat pendapatan migran, nyata (significant) pada taraf 5% dan tidak ditemukan adanya multikolinearitas. Dari keseluruhan peubah bebas didapatkan ada 7, yaitu; status kawin (STAT), lama bekerja di kota (LAMB), mobilitas horizontal (MOBH), mobilitas vertikal (MOBV), status kerja majikan (STKJ1), pedagang pakaian (JNPK1), pedagang makanan (JNPK2), dan asal daerah (ASDA) berpengaruh nyata pada tingkat pendapatan migran.
Tabel
14. Hasil Analisis Regresi Berganda Hubungan Karakteristik Perilaku Migran dengan Tingkat Pendapatan di Sektor Informal
Variabel Konstanta Umur Migran Pendidikan Migran Status Kawin Lama Bekerja di kota Mobilitas Horizontal Mobilitas Vertikal Status Kerja Majikan Status Kerja Usaha sendiri Pedagang Pakaian Pedagang Makana n Asal Daerah
Koefisien
T
P
VIF
2248124 -13632 -27434 -16528 34892 214709 311781 2791679 1696742 21526 185572 -106742
3.21 -0.88 -0.15 -1.96 2.44 2.91 -4.72 -2.83 0.81 -5.21 -6.00 -1.99
0.002 0.381 0.880 0.052 0.016 0.004 0.000 0.005 0.420 0.000 0.000 0.049
2.7 1.2 2.0 2.9 3.5 3.5 1.5 1.1 2.6 2.0 1.3
Lama bekerja di kota (LAMB). Semakin lama seorang migran bekerja di kota, maka akan dapat meningkatkan pendapatan, dimana untuk setiap tahun bertambahnya masa kerja di kota akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 34.892,00 per bulan. Lama bekerja di kota menggambarkan bertambahnya informasi dan pengalaman kerja, hal ini merupakan faktor pendukung dalam meningkatkan penghasilan. Semakin banya k memahami informasi peluang kerja, maka migran lebih berpeluang untuk memasuki usaha yang memberikan tingkat pendapatan yang lebih baik. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki, maka kualitas kerja migran akan meningkat. Dengan kualitas yang tinggi akan menghasilkan hasil kerja yang lebih baik. Pada usaha barang daur ulang, seorang pemulung atau lapak akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang lebih baik (jumlah dan
kualitasnya), dan lebih gampang menemukan industri penadah barang daur ulang dengan harga yang lebih baik. Dengan pengalaman, migran pada usaha makanan dapat menghasilkan rasa dan penampilan makanan yang dapat terjual dengan harga lebih tinggi. Begitu juga dengan semakin baiknya informasi, migran dapat menemukan dengan mudah tempat us aha yang lebih banyak konsumennya. Sama halnya pada usaha pakaian, migran dengan mudah mendapatkan pasar yang banyak pembelinya. Mobilitas horizontal (MOBH). Yaitu strategi memindahkan lokasi pasar barang atau jasa ke tempat lain, atau pindah usaha dengan status kerja yang sama. Dari hasil regresi didapatkan bahwa setiap pertambahan frekuensi pemindahan lokasi pasar barang atau jasa, atau usaha, dapat meningkatkan pendapatan migran sebesar Rp. 214.709,00 per bulan. lokasi pasar menurut teori lokasi Dicken dan Lloyd (1990) memiliki: (1) range of good , yaitu; daerah yang berada dalam lingkaran dengan radius tertentu dari titik produksi, merupakan daerah pasar ideal untuk memproduksi barang atau jasa. (2) treshold, yaitu; level terendah permintaan barang atau jasa untuk menjamin kelangsungan usaha. Dengan adanya kedua hal tersebut, maka migran yang ingin meningkatkan pendapatannya, harus memasuki lokasi pasar yang dapat memberikan keuntungan yang lebih. Umumnya merekapun harus membayar sewa lebih tinggi untuk lokasi strategis tersebut. Atau tetap berada pada wilayah yang masih dapat memberikan keuntungan untuk dapat tetap berproduksi. Memasuki wilayah pasar dengan permintaan yang tinggi merupakan strategi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Artinya, untuk mendapatkan konsumen dengan frekuensi kunjungan yang sangat pendek, mereka
harus memindahkan barang dan atau jasa usahanya ke tempat tersebut, atau mengikuti mengikuti kecenderungan pasar, dengan mengganti usaha. Biasanya setiap lokasi tertentu mence rminkan pasar komoditi barang atau jasa yang unggul. Hal itu ditentukan oleh seleksi konsumen terhadap barang atau jasa yang di pasarkan. Sehingga suatu lokasi dengan barang atau jasa yang dominan atau paling laku mencerminkan keadaan selera konsumennya (tingkat ekonomi sosial konsumen). Mobilitas vertikal (MOBV). Dalam model persamaan regresi ekonomi informal menggambarkan variabel MOBV (mobilitas vertikal) lebih dominan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan. Setiap kali melakukan penggantian skala usaha atau pengembangan pekerjaan, ternyata lebih dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 311.781,00 per bulan. Mobilitas vertikal menggambarkan kekuatan modal usaha, karena untuk melakukan perubahan strategi pemasaran (seperti; mengganti jenis barang/jasa, atau skala usaha) membutuhkan modal yang lebih besar. Umumnya migran akan memperbesar skala usaha dengan menyatukan beberapa potongan pekerjaan menjadi suatu rantai usaha yang utuh. Karena karakteristik kaum migran yang pendidikan dan keterampilannya rendah, serta permodalan yang kecil, maka pekerjaan sektor informal yang dilakukan hanya dapat berkembang dengan jalan mengait sedikit demi sedikit “potongan” pekerjaan yang berada di dekatnya. Contoh “potongan” pekerjaan sektor informal dengan modal kecil adalah penjual atau pengecer pakaian di pasar. “ Potongan-potongan” pekerjaan lain yang ada didekatnya, misalnya, buruh menjahit, usaha mandiri menjadi penjahit (mesin
jahit milik sendiri), pemasok pakaian (beli dari pengusaha konveksi dijual kepada pengecer) , dan pengusaha konveksi. Sebagai gambaran, “ model penyatuan pekerjaan sektor informal” tersebut dapat dijelaskan dengan kohor (life history) seorang migran di kota Tangerang yang pekerjaannya berkembang ke arah sektor formal sebagai berikut : Bahran (nama samaran) umur 45 tahun, seorang migran di kota Tangerang, berasal dari Samarinda. Pekerjaan pertama yang dilakukan semenjak 1960 menjadi buruh jahit pakaian di daerah asalnya. Barang-barang jahitan kemudian dijual majikannya ke kota Makassar. Dengan tujuan mengejar peningkatan pendapatan sekaligus melakukan mobilitas pekerjaan sebagai buruh penjual pakaian, Bahran menjadi migran di kota Makassar pada 1963. Akibat mengenyam kehidupan perkotaan, cakrawala pandangan Bahran mulai berkembang. Setelah 18 bulan menjadi migran di Makassar, dia kemudian pindah ke Jakarta yang semula dibanggakannya dapat menghantar kemajuan usaha, Jakarta ternyata telah penuh dengan persaingan yang ketat, sehingga dia hanya mampu bertahan selama 18 bulan. Usahanya menuju kehancuran. Bahran pindah ke daerah Tangerang dengan menyimpan berbagai pengalaman usaha yang dialami sendiri maupun yang dipelajari dari orang lain. Di daerah Tangerang dia memulai usaha kembali dari dasar sebagai buruh jahit. Pada 1974 dia melakukan mobilitas peker jaan menjadi penjual pakaian dengan kota Tangerang sebagai tempat sirkulasinya. Di kota Tangerang, pada mulanya dia menjadi pengecer pakaian di pasar, tetapi berkembang kemudian menjadi pemasok barang dagangan untuk para pengecer penduduk asli kota maupun orang dari daerah lain (hinterland) yang mengambil barang dagangan di pasar kota
Tangerang (perkembangan pertama). Langkah selanjutnya dia membagi waktu tidak saja di kota Tangerang, tetapi juga mendatangi daerah lain (Jakarta) menjadi pengecer
dan
pemasok
barang
dagangan
kepada
pengecer
setempat
(perkembangan kedua). Dengan semakin luasnya daerah pemasaran di kota (Tangerang dan Jakarta), persiapan barang dagangan juga mengalami perkembangan. Jika semula barang dagangan tersebut hanya dibeli dari para pengusaha konveksi di Tangerang, maka sejak 1984 dia mencoba mandiri menjadi pengusaha konveksi (perkembangan ketiga) dengan membeli sebuah mesin jahit sebagai modal tetap. Dalam operasionalisasinya, dia dibantu oleh anggota keluarga sebagai tukang jahit. Perkembangan selanjutnya cukup dramatis,. Pada akhir Desember 1993 dia telah memiliki empat buah mesin jahit senilai 600 ribu rupiah. Mesin jahit tersebut dititipkan kepada empat tetangganya yang diangkat menjadi buruh tetap (agar dapat menghindari pajak) untuk menjahit barang-barang yang akan dipasarkan. Meskipun demikian dia masih sering mengambil barang dagangan dari pengusaha konveksi lainnya untuk dapat memenuhi target barang . Pola perkembangan pekerjaan sejak berkembang pertama, perkembangan kedua, dan perkembangan ketiga menunjukkan suatu proses penjalaran horizontal dari “potongan” pekerjaan di dekatnya yang biasa dilakukan oleh orang lain. Penjalaran tersebut mencerminkan berlangsungnya mobilitas vertikal karena terjadi peningkatan alat-alat produksi (modal usaha) peningkatan status pekerjaan, yang kemudian akan terus memacu peningkatan pendapatan sehingga ketiga ubahan tersebut (peningkatan status pekerjaan, modal usaha, dan pendapatan) dipandang sebagai unsur mobilitas vertikal.
Status kerja majikan (STKJ1 ). Dalam penelitian ini ada tiga kategori status kerja yaitu; buruh, usaha sendiri, dan majikan. Dalam suatu organisasi apapun ketetapan ini berlaku umum, jadi setiap strata atau tingkatan menunjukkan tingkat pendapatan yang berbeda dari lainnya. Sehingga kenyataan ini mendorong setiap orang untuk berusaha sedapat mungkin mencapai tingkatan paling tinggi dalam suatu sistem. Dari persamaan regresi yang diperoleh menggambarkan bahwa hanya migran yang berstatus kerja majikan yang berpengaruh nyata terha dap tingkat pendapatan, dengan pendapatan sebesar Rp. 2.791.679,00 per bulan. Hal ini dikarenakan pendapatan migran untuk selain migran tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, dimana pendapatan rata-rata untuk status kerja buruh pada usaha barang daur ulang, makanan dan pakaian hampir sama yaitu berkisar Rp. 200.000,00 – Rp. 450.000,00 per bulan. Untuk status kerja usaha sendiri pendapatan rata-rata berkisar antara Rp. 500.000,00 – Rp. 2.000.000,00 per bulan. Jenis pekerjaan (JNPK). Meskipun ada empat jenis pekerjaan dalam penelitian ini, namun hanya dua yang dimasukkan dalam persamaan, yaitu pedagang makanan dan pedagang pakaian. Karena sampel untuk kedua jenis pekerjaan tersebut cukup banyak. Dari hasil regresi didapatkan bahwa untuk jenis pekerjaan sebagai pedagang pakaian, migran memperoleh pendapatan sebesar Rp. 21.526,00 per bulan, sedangkan migran yang berprofesi sebagai pedagang makanan memperoleh pendapatan lebih baik, yaitu Rp. 185.572,00 per bulan. Hasil regresi ini memberikan gambaran bahwa migran yang berprofesi sebagai pedagang makanan tingkat pendapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang
berprofesi sebagai pedagang pakaian. Hal ini disebabkan produk makanan tidak tahan lama, harus habis terjual saat itu, dan sangat dibutuhkan oleh sia papun dan dari golongan sosial manapun, sehingga perputaran uang pada usaha produk makanan lebih cepat dibandingkan dengan pedagang pakaian, disamping barangnya bersifat tahan lama, juga yang mengkonsumsi adalah dari golongan sosial tertentu. Jenis barang atau jasa yang dijual sangat menentukan besarnya tingkat penghasilan migran di sektor informal. Sebagai bahan perbandingan , diambil dari hasil wawancara mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Soekarsono dalam Saksi (November, 2004) , seperti disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15. Pendapatan Pedagang Makanan Informal di Jakarta Bidang Usaha Modal Awal Modal Omzet/bulan Net Profit Kerja/Hari Pedagang Gorengan Pedagang Kacang Rebus Pedagang Ketoprak Pedagang Mie Ayam Gado-gado & Ketupat Sayur Pedagang Nasi Uduk Pedagang Kedai Bakso Es Podeng
225.000,00 269.000,00 300.000,00 862.000,00 700.000,00
85.000 53.700 150.000 123.000 80.000
1.500.000 2.100.000 1.500.000 2.500.000 3000.000
600.000,00 489.000,00 750.000,00 1000.000,00 1.250.000,00
1000.000,00 15.000.000,00 1.500.000,00
60.000 300.000 300.000
840.000 12.000.000 15.000.000
420.000,00 3000.000,00 6000.000,00
Sumber : Majalah SAKSI . No. 4 Tahun VII, Novemver 2004 Asal Daerah (ASDA). Setiap jenis usaha tertentu mencerminkan asal daerah pelakunya. Hal ini nampak jelas pada usaha makanan, karena ragam masakan menunjukkan asal daerah pelakunya. Misalnya; pelaku usaha ”rumah makan padang” adalah orang Padang atau Sumatera, pelaku usaha ”warung makan pecel lele”, atau ”bakso” kebanyakan berasal dari Jawa. Sedangkan pelaku usaha pakaian kebanyakan berasal dari Sumatera
Utara dan Jawa Barat. Dari hasil
regresi didapatkan
bahwa migran yang berasal dari Jawa Barat memperoleh
selisih pendapatan
sebesar Rp. 106.742,00 per bulan dari migran lainnya.
Kenyataan ini dikarenakan pelaku ekonomi informal di kenyakan berasal dari Jawa Barat.
Kota Tangerang
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka kesimpulan yang dapat dipe roleh adalah sebagai berikut: 1
.Luasnya kesempatan kerja di sektor informal di kota merupakan faktor utama daya tarik
migran ke kota. Banyaknya segmen ekonomi yang dapat
memberikan peluang untuk tetap eksis hidup di perkotaan, merupakan faktor dominan yang mempengaruhi sikap migran untuk tetap bertahan di kota. Sebagai contoh, tidak ada sampah yang terbuang di kota kecuali barang yang membusuk, semuanya dapat berubah menjadi sandaran hidup bagi sebagian orang, dan hampir semua kegiatan hidup orang di kota dapat terkonversi dengan uang, sehingga semuanya berjalan dengan hitungan nilai tukar ekonomi. 2. Penelitian ini mengungkapkan perilaku migran pelaku ekonomi informal dalam mengupayakan kehidupannya di kota, baik pada tahap awal maupun pada tahap pengembangannya. Ada beberapa bentuk strategi yang mereka lakukan dalam mengatasi masalah yang ditemui di kota yaitu; a). Tahap awal, adalah periode paling kritis. Pada periode ini migran akan melakukakan strategi bagaimana memenuhi kebutuhan dasar, seperti; makan dan tempat tinggal sementara. Mereka dapat memperolehnya dari teman sekampung, atau keluarga di kota. Selanjutnya adalah bagaimana mendapatkan pekerjaan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masalah mendapatkan
pekerjaan
dapat
teratasi
dengan
bergabung
dalam
paguyuban. Adanya ikatan sosial di antara migran yang didasarkan pada
asal daerah atau kesukuan, merupakan modal penting dalam mengatasi masalah mereka di kota, dan menyebabkan segmen ekonomi sektor informal yang terdapat di masyarakat perkotaan terdiferensiasi, dimana suatu jenis usaha akan didominasi oleh suku tertentu. b. Tahap pengembangan, apabila mereka tidak dapat eksis di suatu tempat mereka dapat pindah lokasi usaha (mobilitas horizontal) atau dengan mengganti jenis barang/jasa usahanya, memperluas skala usaha, yang meliputi peningkatan jumlah penawaran, menyatukan beberapa bagian kegiatan ekonomi, dan atau memperluas pasar (mobilitas vertikal). 3. Pendapatan rata-rata migran responden adalah Rp. 1.6311.176,- per bulan, lebih tinggi daripada tingkat upah per bulan buruh di bawah mandor di Jabotabek yaitu; Rp. 983.600,- per bulan (BPS, 2002). Dari hasil analisa empiris rata -rata pendapatan migran, pemulung merupakan profesi yang paling rendah pendapatannya, tetapi mereka masih tergolong mampu untuk hidup di kota dengan biaya hidup rata-rata Rp. 400.000,- per bulan (Rata -rata kebutuhan hidup minimal per orang di Jabotabek tahun 2003), karena pemulung dapat memperoleh penghasilan sebulan Rp. 444.000,4. Dari gambaran strategi yang dilakukan migran pelaku ekonomi informal, didapatkan bahwa pada ekonomi informal terjadi proses pengembangan pekerjaan, untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang tinggi. Tingkat pendapatan migran dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu seperti; umur, tingkat pendidikan, lama bekerja di kota, strategi usaha yaitu; mobilitas horizontal dan vertikal, status pekerjaan, jenis usaha, dan asal daerah. Dari hasil regresi didapatkan bahwa status kawin (STAT), lama bekerja di kota
(LAMB), mobilitas horizontal (MOBH) dan mobilitas vertikal (MOBV), status kerja majikan (STKJ 1), pedagang pakaian (JNPK1), pedagang makanan (JNPK2), dan asal daerah (ASDA) berpengaruh nyata pada tingkat pendapatan migran.
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran 1. Mengingat terbatasnya kemampuan sektor industri dan jasa formal menyediakan lapangan pekerjaan, maka pemerintah
harus merumuskan
kebijakan pembangunan ekonomi di sektor informal, seperti penyediaan fasilitas latihan dalam bidang-bidang yang bermanfaat bagi perekonomian kota. Sehingga sektor informal akan terdiri dari kegiatan-kegiatan produksi dan jasa yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. 2. Kekurangan modal adalah kendala utama di sektor informal. Dengan pemberian
kredit
yang
ringan
memungkinkan
usaha-usaha
informal
berkembang (mobilitas vertikal), dan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, yang selanjutnya dapat menciptakan lapangan kerja yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA Atika, D. 1999. Analisis Ekonomi dan Keputusan Migrasi Kembali Rumahtangga Migran Sektor Informal (Tesis).Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Achmad, Z. 2003. Analisis Keterkaitan Pola Migrasi Risen, Struktur Ketenagakerjaan dan Tingkat Perkembangan Wilayah: Studi Kasus Kabupaten Bekasi (Tesis). Program Studi PWD. Institut Pertanian Bogor. BPS. 2000. Kota Tangerang dalam Angka. Badan Pusat Statistik, kota Tangerang. ______. 1998. Angkatan Kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.. ______. 2002. Angkatan Kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BAPEDA. 2002. Review Rencana Tata Ruang 1994- 2010. Badan Pemerintah Daerah, Kota Tangerang. Chandrakirana, K.,I Sadoko. 1995. Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta. Yayasan Obor Indonesia Dicken, P., P.E Lloyd. 1990. Location in Space. Theoretical Perspectives in Economic Geography. New York: J Wiley & Sons. Desiar. 2003. Dampak Migrasi Terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta (Tesis). Program Studi PWD. Institut Pertanian Bogor. Elwert, G., Evers, H. –D dan W. Wikens. 1983. Combination Produktionsformen in informer Sector. Evers, H.D.,R Korff. 2002. Urbanisme di asia Tenggara. Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial. Mestika Zed. Yayasan Obor Indonesia. Hauser, P.M., Gardner R.W. 1982. Population and the Urban Future. New York. United National Fund for Populaton Activies. Hastuti. 1998. kajian Tentang Sektor Informal dalam Rangka Penataan dan Pembinaan Usaha Kakilima di Jakarta (Tesis). Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hayami, Y. 2001. Development Economics. From the Poverty to the wealth of Nations. Second Edition. Hans, D.E., Rudiger K. 2002. Urbanisme di asia Tenggara. Penerjemah; Mestika Zed, editor. Jakarta: Yayasan obor Indonesia; Terjemahan dari; Southeast Asia urbanism: The meaning and power of social space.
Ibrahim, A. 1989. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tentang Migrasi Dari Gorontalo ke Kotamadya Manado (Tesis). Program Studi PWD. Institut Pertanian Bogor. (IPB) Institut Pertanian Bogor, Lembaga Penelitian. 2000. Laporan Akhir Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. Koyano, S. 1996. Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara. Terjemahan Naoko Nakagawa. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press. Muth, R F. 1977. Urban Economic Problems. Harper dan Row. New York. Mandang, J.H. 1991. Karakteristik dan Tingkat Kesejahteraan Migran di Sektor Informal di Kotamadia Manado (Tesis). Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Murdianto. 1998. Dampak Industrialisasi terhadap Perubahan Mata pencaharian Migrasi di Daerah Tujuan: Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten Bekasi (Tesis). Program Studi PWD. Institut Pertanian Bogor. Ponto, M. 1987. Urbanisasi dan Sektor Informal; Studi Kasus Kotamadya Manado. Propinsi Sulawesi Utara (Tesis). Program Studi PWD. Institut Pertanian Bogor. Rahmawati. 1991. Mengukur Status Sosial Ekonomi Migran Berdasarkan Pemilikan Lahan Pertanian (Tesis). Program Studi Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rustiadi, E.,D.R. Panuju. 1999 Suburbanisasi Kota Jakarta. Makalah. Rustiadi, E., K. Mizuno dan S. Kobayashi. 1999. A Study of Pattern of Suburbanisazation Process, A Case Study in Jakarta Suburb. Republika. 25 Ribu Pencari Kerja Serbu Tangerang. Hal. 3 (kolom1-4). 19 Juli 2004. Sutomo, H. 1995. Studi Tentang Perilaku Migran Sirkuler Sektor Informal di Kota Wonosobo dan Cilacap serta Dampaknya Terhadap Intensitas Migrasi Desa-Kota (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Fakultas Ilmu Geografi. Sukarsono, T.U. dalam ”Bisakah Saya Jadi Pengusaha”. SAKSI. 24 November 2004. No 4 tahun VII. T.G. McGee. 1977. Rural – Urban Mobility in South and Southeast Asia. Different Formulations. Dalam Abu –Lughod and Richard Hay Jr (eds) Third World Urbanization
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ke tiga. Terjemahan B. Abdullah. Ed. Ke-7. Erlangga. Jakarta. Tarigan, R.MRP. 2004. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. P.T. Bumi Aksara. Jakarta. Widarti, D. 1984. Hubungan antara Sektor S dan Sektor Informal di Kota. Pusat Penelitian dan Studi kependudukan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Winoto, J. 1999. Transformasi Struktur Perekonomian Ketenagakerjaan Nasional: dalam Bahan Kuliah Ekonomi Pembangunan. PWD Angkatan Tahun 1999. Jilid 2A. Hal 1334 – 1445.
lampiran 7. Karakteristik Umum Migran Responden
Lampiran 5. Analisis Shift-Share Pertumbuhan Lapangan Kerja di Kota Tangerang Analisis Pergeseran Lapangan Kerja Kota Tangerang Dengan Metode Shift-Share Sektor Pertanian Pertambangan Industri Jasa Formal Jasa Informal Lainnya Jumlah
Jawa Bara t 1995 2002 925.42 1.504.500 9.964 8.973 458,981 748.611 1.560.991 1.827.364 433.857 448.928 136.341 140.156 3.315.750 4.678.532
Kota Tangerang 1995 2002 5.391 10.499 7.676 0 69.139 129.167 84.769 75.817 55.31 107.756 19.514 59.163 241.799 382.402
Perhitungan National Share Sektor a Pertanian 5.391 Pertambangan 7.676 Industri 69.139 Jasa Formal 84.769 Jasa Informal 55.31 Lainnya 19.514 Jumlah 241.799
b 1,411 1,411 1,411 1,411 1,411 1,411
axb 7.606,701 10.830,836 97.555,129 119.609,059 78.042,410 27.534,254
ab -a 2.215,701 3.154,8 28.416,1 34.840,059 22.732,4 8.020,2 99.377,50
Perhitungan Proportional Sektor Pertanian Pertambangan Industri Jasa Formal Jasa Informal Lainnya Jumlah
c 1,429 0,9 1,53 1,034 1,655 1,460
b 1,411 1,411 1,411 1,411 1,411 1,411
c-b 0,018 -511 0,22 -289 0,24 0,05
ax(c-b ) 97,04 -3.1548 15.210,58 -24.498241 13.274,4 975,5 1.904,52
c 1,429 0,9 1,53 1,034 1,655 1,46
a 5.391 7.676 69.139 84.769 55.31 19.514
cxa 7.703,739 6.908,4 105.782,68 87.651 91.538,05 28.490,44
e- (cxa) 2.795 -6.9084 16.401 -18.6669 16.217,95 30.672,56 39.323,22
Share a 5.391 7.676 69.139 84.769 55.31 19.51
Perhitungan Differential Share Sektor e Pertanian 10.499 Pertambangan 0 Industri 129.167 Jasa Formal 75.817 Jasa Informal 107.756 Lainnya 59.163 Jumlah
Total Pertambahan Lapangan Kerja kota Tangerang (Lapangan Kerja 2002 -Lapangan Kerja 1995) 140.607 Total National Share 99.37926 Total Proportional Share 1.904,52 Total Differential Share 39.323,22 Jumlah 140.607
Lampiran 6. Analisis Shift-Share Pertumbuhan PDRB di Kota TAngerang Anaiisis Pergeseran PDRB KotaTangerang Dengan Metode Shift-Share Sektor Pertanian Industri Jasa Formal Jasa Informal Jumlah
1996 91.057 12.808.857 9.754.058 434.026 23.087.998
2001 189.53 32.137.566 23.903.128 1.078.825 57.309.049
1996 36.422 3.558.016 3.612.614 188.707 7.395.759
2001 37.906 10.712.522 7.243.372 399.565 18.393.365
Perhitungan Proportional Share Sektor a Pertanian 36.422 Industri 3.558.016 Jasa Formal 3.612.614 Jasa Informal 188.707 Jumlah
b 2,08 2,51 2,45 2,49
c 2,48 2,48 2,48 2,48
b-c -4 0,03 -3 0,01
a. (b-c) -14.5688 126.740,48 -117.81474 1.887,07 33.756,47
Perhitungan Differential Share Sektor d Pertanian 37.906 Industri 10.712.522 Jasa Formal 7.234.372 Jasa Informa 399.565 Jumlah
b 2,08 2,51 2,45 2,49
a 36.422 3.558.016 3.612.614 188.707
axb 75.757,76 8.930.620,16 7.850.904 592.249,57
d-(axb) -37.851 1..981.901,84 -1607.53232 -129.68457 206.833,21
Perhitungan National Share Sektor a Pertanian 36.422 Industri 3.558.016 Jasa Formal 3.612.614 Jasa Informal 188.707 Jumlah
c 2,48 2,48 2,48 2,48
axc 90.326,57 8.823.879,68 8.958.282,72 476.993,36
(axc) -a 53.904,56 5.265.863,68 5.346.668,72 279.286,36 10.045.723,32
Pertambahan PDRB Kota Tangerang 18.393.365 -7.395.759 = 11.186.313 National Share = 10.945.723,32 Proportional Share = 33.756,42 Differential Share = 206.833,21 Jumlah = 11.186.313
Lampiran 8. Hasil Analisis Empiris Karakteristik Migran Sektor Informal di Kota Tangerang Profil
1.Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 2.Umur 11-20 thn 21-30 thn 31-40 thn 41-50 thn > 50 tahun 3.Status Perkawinan Menikah Tidak Menikah 4.Jumlah Tanggungan Tidak ada 1-2 3-4 >5 5. Daerah Asal Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Sumbar Sumut Provinsi Lain
6.Frekueunsi Pindah Pekerjaan Tidak Pernah 1-2 kali 3-4 kali
Pemulung Jumlah (n= 30)
%
PKL Makanan jumlah (n= 60)
%
Pakaian jumlah (n= 60)
%
30 -
100 -
50 10
0,833 0,167
52 8
0,867 0,133
11 15 4 -
0,36 0,5 0,133 -
4 20 24 10 1
0,067 0,333 0,4 0,167 0,017
2 22 23 11 1
0,033 0,367 0,383 0,183 0,017
24 6
0,8 0,2
50 10
0,833 0,167
35 25
0,583 0,417
10 12 2
0,333 0,40 0,067
32 16 2
0,533 0,267 0,033
27 6 2
0,450 0,10 0,033
1 9
0,333 0,433
3 20
0,05 0,333
2 18
0,033 0,300
-
-
12
0,200
8
0,133
4 6 5 5
0,133 0,200 0,167 0,167
8 10 3 2 2
0,133 0,167 0,050 0,033 0,033
4 9 14 2
0,050 0,067 0,150 0,233 0,033
15 14 1
0,500 0,467 0,033
15 33 10
0,250 0,550 0,167
9 31 15
0,150 0,517 0,250
3
5- 6 kali > 6 kali 7. Latar Belakang Pendidikan SD SMP SMA Sarjana 8. Lama Berusaha 1-2 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun 6-10 tahun > 10 tahun
-
-
2 -
0,033 -
4 1
0,067 0,017
5 15 10 -
0,167 0,500 0,333 -
7 19 22 12
0,117 0,316 0,367 0,200
5 15 34 6
0,833 0,250 0,567 0,100
9 4 3 9 5
0,300 0,133 0,100 0,300 0,167
10 23 9 14 4
0,167 0,383 0,150 0,233 0,067
13 13 11 5 18
0,217 0,217 0,183 0,083 0,300
Tingkat Penghasilan Responden di Sektor Informal Variabel Buruh Usaha Sendiri Usaha Bersama 100000-150000 5 200000-450000 65 7 500000-750000 12 21 1000000-2000000 15 3 >2000000 2 4
Majikan 3 2 12 10