JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
1
Analisa Kegagalan pada Tubing Gas Sumur 15 PT. Pertamina EP Field Subang Riki Akbar, Ir. Rochman Rochiem, M.Sc Jurusan Teknik Material dan Metalurgi , Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak— Tubing gas pada sumur 15 berfungsi sebagai pipa penyalur gas dari reservoir menuju sistem perpipaan berikutnya. Material tubing adalah jenis low alloy steel grade J55. Tubing beroperasi pada tahun 2008 dengan tekanan 1460.0 psi, temperatur 87.22oC dan kandungan CO2 sebesar 22.42%. Komponen Tubing memiliki umur desain 15 tahun. Namun pada kenyataan di lapangan, kurang dari 3 tahun tubing sudah mengalami kegagalan berupa kebocoran dan keropos. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab dan mekanisme kegagalan serta rekomendasi yang digunakan untuk meminimalisir kejadian serupa. Penelitian dimulai dengan pengamatan makro, uji komposisi kimia, uji metallografi, uji hardness, uji SEM dan uji XRD. Dari pengujian yang dilakukan, diharapkan diketahui faktor dan mekanisme dari kegagalan tubing gas grade J55. Dari penelitian, didapatkan hasil bahwa kegagalan dari tubing disebabkan oleh serangan korosi CO2 dan adanya bakteri pereduksi sulfat (SRB) yang mengakibatkan tubing menjadi keropos. Mekanismenya, berawal dari pit yang terbentuk secara lokal dan merambat kebagian lain sehingga terbentuk keropos. Jika dilihat dari penampakan makronya, hampir 50% bagian dari tubing yang terserang. Dari hasil pengujian XRD, juga terbentuk senyawa FeS dan FeCO3 yang merupakan produk korosi dari tubing yang mengalami kegagalan.
Kata Kunci— tubing, analisa kegagalan, FeS, FeCO3, korosi CO2, Sulphate Reducing Bacteria (SRB).
P
I. PENDAHULUAN
ERTAMINA EP merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang khusus bergerak dalam bidang eksplorasi dan produksi. Dalam bidang usahanya PT Pertamina EP selalu berurusan dengan proses produksi gas dan minyak bumi dimana masalah-masalah korosi pada peralatan kerja sampai kebocoran pipa sering dialami selama proses pengerjaan. Di PT Pertamina EP Fileld Subang, terdapat sumur gas 15 dimana selama 1 dekade terakhir, yaitu antara tahun 20062008 , tekanan parsialnya paling tinggi diantara sumu-sumur gas lain yaitu 1.658,0 psi pada tahun 2006 dan 1.460,0 psi pada tahun 2008. Dari tahun 2006-2008, sumur telah mengalami pergantian tubing baru di tahun 2008. Dari jangka waktu pemasangan tubing baru sampai tahun 2012, reparasi baru bisa dilakukan di tahun 2011 dan didapatkan hasil bahwa tubing telah mengalami kerusakan dan kebocoran yang parah.Ditinjau dari kandungan CO2 yang ada, sumur 15
memiliki CO2 sebesar 22.42%. Dari segi umur pakai, tubing yang memliki desain pakai 15 tahun, hanya mampu bertahan selama ± 3 tahun (2008-2011). Dari informasi kegagalan, dan pengumpulan data mengenai tubing di sumur 15 tersebut, dilakukan penelitian mengenai analisa kegagalan material. Metode analisa yang digunakan meliputi analisa pengamatan makro maupun mikro, uji spektometri sebagai data komposisi, uji XRD (X-Ray Difraction) untuk mengetahui produk korosi apa saja yang terbentuk, uji SEM (Scanning Elektron Microscope) untuk mengetahui morfologi dari kegagalan dan uji sifat mekanik untuk mengetahui kesesuaian antara data mekanik tubing dengan API Spec.5CT dan kesesuaian dengan gaya yang dialami selama tubing bekerja. Dari hasil analisa data tersebut diharapkan membantu dalam penyelesaian kegagalan pada tubing di sumur 15 tersebut dan memberi rekomendasi untuk penanggulangan jika terjadi kasus yang sama di sumur-sumur lain.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Analisa Kegagalan Analisa kegagalan dapat diartikan sebagai pemeriksaan atau pengujian terhadap komponen-komponen yang rusak beserta kondisi yang menyebabkan kegagalan dengan tujuan untuk mengetahui penyebab dari kegagalan tersebut. Jadi tujuan utama dari analisa kegagalan adalah untuk menegtahui mekanisme terjadinya kegagalan serta merekomendasikan solusi-solusi yang dapat dilaksanakan untuk menanggulangi masalah kegagalan tersebut. Dengan kata lain, analisa kegagalan berujung pada observasi pada komponen-komponen yang rusak. Pengamatan material yang mengalami kegagalan adalah kunci bagi seluruh proses analisa kegagalan, oleh sebab itu pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis harus dilaksanakan secara bertahap. Menurut sumber-sumber penelitian yang ada di dunia industri (Brooks, 2002) faktor penyebab kegagalan sering terjadi di dunia industri dikarenakan: 1. Faktor kesalahan karena pemilihan material Hasil penelitian mengenani faktor kegagalan material yang dominan yaitu faktor kesalahan dalam pemilihan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 material. Tabel 1 menunjukan statistik tentang permasalahan dalam kasus kegagalan material. Tabel 1. Permasalahan dalam kegagalan komponen material akibat perawatan komponen mesin (Brooks,2002)
Permasalahan % Perawatan yang kurang 44 baik Cacat saat fabrikasi 17 Definisi Desain 16 Pemakaian yang abnormal 10 Cacat Material 7 Penyebab tidak jelas 6 2. Faktor kesalahan dalam proses perancangan komponen mesin. 3. Kondisi kerja yang ekstrim.
B. Tubing Sebuah tubing, atau tabung, adalah silinder berongga yang digunakan untuk menyalurkan fluida (cairan atau gas) dari dalam tanah ke permukaan. Istilah "pipa" dan "tabung" hampir dipertukarkan, meskipun perbedaan-perbedaan kecil ada umumnya, tabung memiliki persyaratan teknik lebih ketat daripada pipa. Kedua pipa dan tabung berarti tingkat kekakuan dan permanen. Sebuah tabung dan pipa dapat ditentukan oleh sebutan ukuran pipa standar, misalnya, ukuran pipa nominal, atau dengan luar nominal atau diameter dalam dan / atau ketebalan dinding. Dimensi pipa sebenarnya biasanya tidak dimensi nominal: Sebuah pipa 1-inci tidak akan benar-benar mengukur 1 inci baik diameter luar atau di dalam, sedangkan banyak jenis pipa yang ditentukan oleh diameter dalam yang sebenarnya, diameter luar, atau tebal dinding. Pada industri ekplorasi minyak dan gas, tubing adalah salah satu bagian dari kesatuan komponen yang mendukungnya. Macam bagian – bagian dari kesatuan tersebut diantaranya adalah, casing annulus yang berfungsi sebagai pelindung tubing dan penahan fluida yang keluar apabila tubing mengalami kebocoran, gas lift valve yang berfungsi mengatur intensitas fluida yang keluar dari reservoir. Bagian – bagian tersebut dapat diterjemahkan pada gambar 1 berikut,
Gambar 1 Penampang tubing gas dan bagian-bagiannya
C. Pitting Corrosion Bentuk serangan lokal sangat dalam pada lingkungan yang mengandung ion agresif yang mengakibatkan lubang di dalam logam. Sulit dideteksi dan diprediksi, biasa terjadi pada baja
2 stainless steel dan baja cold work. Dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Sering terjadi pada baja yang berkontak langsung dengan fluida yang asam. Korosi jenis ini dapat menembus massa logam. Faktor penyebab dari Pitting Corrosion ini berasal dari faktor internal yang meliputi, inklusi pada logam paduan ( cacat pendinginan, masuknya partikel padat ), presipitasi karbida pada logam paduan, faktor fisik memiliki dan metalurgis ( Heterogenisasi Komposisi, Bentuk ), dan ketebalan Coating. Dan faktor eksternal yang mencakup, goresan yang menimbulkan defect pada coating, lingkungan fluida yang asam, cacat casting, dan temperature. Mekanisme terjadinya Pitting Corrosion bisa dijelaskan dengan skema pada gambar berikut,
.
Gambar 2 Mekanisme Pitting Corrosion (Sulistijono,2009)
D. Penelitian Sebelumnya Dari jurnal Engineering Failure Analysis, hasil penelitian dari S.D Zhu dkk, dari School of Material Science and Engineering, Xi’an Jiaotong University, China dan China National Petroleum Corporation, China yang menbahas tentang Corrosion Failure Analysis of High Strength Grade Super 13Cr-110 Tubing String, bahwa telah terjadi kegagalan pada tubing bagian inner dan outer, serta coupling pada tahun pertama setelah pemasangan di sumur. Setelah dilakukan pengecekan, kegagalan terjadi karena patah asam (fracture acidizing) dan data di lapangan menunjukkan terjadi pelonjakan tekanan yang dialami pada casing menjadi sebesar 80.21Mpa dan pada tubing sebesar 86.37Mpa setelah kegagalan tersebut. Catatan : di sumur tidak mengandung adanya gas H2S. Hasil analisa data yang didapat menyebutkan bahwa korosi terjadi pada dinding tubing bagian dalam (inner) disebabkan oleh imbas kombinasi dari korosi CO2, korosi asam, korosi erosi dan crevice corrosion, sementara efek sinergis yang terjadi dari crevice corrosion dan korosi sulfatereducing-baceteria (SRB) ditemukan pada dinding luar (outer) tubing dan coupling. Dan rekomendasi yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kegagalan tersebut diantaranya adalah dengan mengecek kualitas dari tubing sebelum instalasi di sumur, meningkatkan torsi, memasang centralizer, dan menambahkan bactericide dan inhibitor.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 III. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Mechanical Properties of Tubing Grade J55 Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah komponen tubing sumur gas 15 grade J55 PT. Pertamina EP Filed Subang. Berdasar API Spec 5CT komposisi kimianya adalah sebagai berikut : Tabel 2. Komposisi tubing sumur gas 15 grade J55 (API Spec.5CT) Jenis Tube Unsur Persen (%) C Mn Cr Ni Si S P Cu Al V Mo
J55
0.34 – 0.39 1.25 – 1.50 ≤ 0.15 ≤ 0.20 0.20 – 0.35 ≤ 0.015 ≤ 0.020 ≤ 0.20 ≤ 0.20 -
Dan sifat mekaniknya dapat dilihat dari tabel 3.2 berikut,
3 Specific Gravity Compressibility
517
379
552
0.5
( C)
-42
(lbs/MMSCF)
4.8
H2S
(ppm/vol)
5.98
C. Pengujian Komposisi Kimia Pada pengujian komposisi ini menggunakan Optical Emission Spectrometry (OES). Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui komposisi kimia dari tubing setelah mengalami kegagalan. Dan nantinya hasil tersebut akan dibandingkan dengan komposisi kimia pada tubing dari standar API Spec. 5CT. Dan berikut hasil dari uji komposisi tubing setelah kegagalan dan dibandingkan dengan komposisi kimia berdasar standar API Spec. 5CT, Tabel 5 Perbandingan komposisi kimia sebelum dan sesudah kegagalan Hasil Jenis Tube API Spec.5CT Spektrometri
J55
Jenis
Tabel 4 Data sumur gas 15 Satuan Nilai
Tekanan
(Psi)
1460,0
Temperatur
( oF)
189
Oksigen
(O2)
0.00
Nitrogen
(N2)
3.91
Karbondioksida
(CO2)
22.42
Metane
(C1)
69.47
Etane
(C2)
1.97
Propane
(C3)
1.20
Iso Butane
(i-C4)
0.29
Normal Butane
(n-C4)
0.29
Iso Pentane
(i-C5)
0.14
Normal Pentane
(n-C5)
0.09
Hexane Plus
(C6+)
0.34
Nilai Kalori
(BTU / SCFT)
806.1
0.9974
o
Dew Point
15
B. Data Sumur Gas 15
(z-factor)
Moisture Content
Tabel 3 Requirement mechanical properties dari tubing sumur gas 15 grade J55 (API Spec 5CT) Jenis Min. Yield Total Hardness Tube Tensile Strenght Elongation max Strenght (MPa) under load (HRC) (MPa) Min Max (%) J55
0.8267
Unsur
Persen (%)
Unsur
Persen (%)
C
0.34 – 0.39
C
0.271
Mn
1.25 – 1.50
Mn
1.522
Cr
≤ 0.15
Cr
0.043
Ni
≤ 0.20
Ni
0.049
Si
0.20 – 0.35
Si
0.205
S
≤ 0.015
S
0.004
P
≤ 0.020
P
0.010
Cu
≤ 0.20
Cu
0.101
Al
≤ 0.20
Al
0.011
V
-
V
0.088
Mo
-
Mo
0.018
B
-
B
0.001
Nb
-
Nb
0.032
Sn
-
Sn
0.003
Pb
-
Pb
0.018
Dari pengujian spektrometri didapatkan hasil bahwa ada beberapa unsur-unsur yang tidak diketahui pada standar API Spec. 5CT tapi ditemukan pada pengujian spektrometri yaitu Vanadium, Molibdenum, Boron, Niobium, Stannum (timah), dan Timbal ternyata memiliki konsentrasi yang tidak terlalu signifikan dibanding unsur – unsur lain setelah dilakukan uji spektrometri. Selanjutnnya, ditemukan juga perbedaan konsentrasi atau kadar dari unsur – unsur yang telah ada dari standar yaitu karbon (C) dan mangan (Mn) . Kadar karbon pada standar API Spec. 5CT, menunjukkan bahwa persen (%) karbon adalah 034 – 0.39, sedangkan pada hasil pengujian spektrometri persen (%) karbon adalah 0.271.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 Dari perbedaan kadar karbon yang ada, maka bisa dikatakan spesifikasi material untuk tubing gas grade J55 milik PT. Pertamina EP Field Subang ini tidak sesuai standar yang ada pada API Spec. 5CT. Untuk perbedaan kadar unsur mangan (Mn) yang terdapat pada API Spec. 5CT dan uji spektrometri, hanya berselisih 0.022%, dimana pada standar disebutkan bahwa kadar Mn-nya yaitu antara 1.25% – 1.50%, sedangkan pada pengujian spektrometri kadarnya menjadi 1.522%. D. Pengujian Metalografi Pengujian metalografi dilakukan dengan mikroskop optik Olympus dengan perbesaran 500x sampai 1000x. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui fasa apa saja yang terbentuk pada material tubing. Dan berikut hasil dari uji metalografi, perlit
(a)
(b) ferit Gambar 4 (a) foto mikro perbesaran 500x (b) foto mikro perbesaran 1000x
Dari pengujian metalografi, didapatkan hasil bahwa secara keseluruan fasa yang diketahui dari material tubing melalui perbesaran 500x dan 1000x adalah ferit dan perlit, dimana arti dari 2 fasa tersebut adalah material tubing tidak mengalami thermal shock atau perubahan temperatur yang drastis dari temperatur tinggi (di atas 850oC jika %C = 0.2 – 0.3) ke temperatur kamar (25oC) selama beroperasi (sesuai dengan kondisi temperatur kerja 189oF atau 87.22 oC). Sehingga pada kegagalan yang terjadi, perubahan temperatur yang sangat drastis tidak dialami pada tubing. Hal ini dibuktikan dengan fasa yang terbentuk dari hasil foto mikro struktur adalah ferit dan perlit yang merupakan fasa normal yang terbentuk pada baja karbon rendah. E. Pengujian Kekerasan Pada pengujian kekerasan ini, dilakukan dengan alat uji kekerasan Vickers dengan indentasi sebesar 30kg selama 10 – 15 detik dengan arah pengujian dari material yang mengalami pit ke arah yang menjauhinya. Saat pengujian hardness sampel diharuskan flat dan bersih, sehingga bagian pit yang besar harus dipotong. Dari hasil pengujian hardness vickers didapatkan hasil dari nilai kekerasan seperti pada tabel berikut,
4 Tabel 6 Data nilai kekerasan tubing setelah kegagalan Nilai Kekerasan Titik (HV) 1 283.2 2 283.0 3 274.8 4 273.4 5 270.3 6 264.2 7 263.2 8 259.6 271.4625 HV Rata – rata 26 HRC
Dari hasil pengujian hardness vickers didapatkan hasil bahwa distribusi kekerasan pada material tubing dari titik 1 ke titik 8 menunjukkan tren kekerasan yang semakin menurun. Dari hasil kekerasan yang didapatkan setetelah itu dihitung rata – rata dan menghasilkan nilai kekerasan 271.4625 HV atau setara dengan 26 HRC. Disini bisa dilihat jika nilai kekerasan setelah material tubing gagal adalah semakin besar dari standar yang terdapat pada API Spec. 5CT yaitu 26 HRC yang sebelumnya kekerasan maksimal yang diizinkan berdasar standar adalah 15 HRC. Ditinjau dari kadar karbon (%C) yang terkandung dalam meterial tubing yaitu 0.271, seharusnya kekerasan yang dihasilkan lebih rendah dari standar. Hal ini bisa terjadi diakibatkan karena sebelumnya pada hasil pengujian spektrometri telah diketahui bahwa spesifikasi material tubing tidak sesuai standar, dan adanya kemungkinan terbentukya karbida chrom disekitar tubing. Hal ini didukung dengan turunnya kadar karbon dan chromium saat pengujian spektromteri. F. Pengujian SEM dan EDAX Pada pengujian SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDAX (Energy Dispersive Analysis X-Ray) menggunakan alat uji FEI dimana SEM adalah bertujuan untuk mengetahui morfologi mikro dari spesimen material tubing dan EDAX berfungsi untuk mengetahui unsur yang terkandung di dalamnya. Berikut hasil dari pengujian SEM dan EDAX pada material tubing,
Crack
(a) (b) Gambar 5 (a) foto SEM bagian pit (b) foto SEM bagian perbatasan pit dengan daerah normal
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
5
(a) (b) Gambar 6 (a) hasil EDAX bagian pit (b) hasil EDAX bagian perbatasan pit dengan daerah normal
Pada pengujian SEM dan EDAX yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa morfologi dari daerah pit pada tubing ditemukan adanya crack (retak) dari lubang (pit) kearah luar. Daerah yang terlihat lebih rendah atau terlihat lebih gelap adalah daerah pit, sedangkan daerah yang lebih tinggi atau daerah yang terlihat lebih terang adalah daerah normal yang mengalami penjalaran retak dari daerah pit. Crack yang terdapat pada penampakan uji SEM diduga akibat beban kerja yang cukup besar yang dialami tubing yaitu 1460.0 psi yang membebani daerah pit yang rapuh sehingga lebih mudah mengalami crack. Dan jika dilihat dari hasil pengujian EDAX pada daerah yang mengalami pit sampai crack, terdapat 3 unsur tertinggi yang dapat diidentifikasi. Ketiga unsur tersebut adalah yang pertama oksigen, kedua besi, dan yang ketiga karbon. Ketinggian puncak dari unsur oksigen terlihat jauh jika dibandingkan dengan ketinggian puncak antara unsur karbon dan besi (sekitar 4 kali dari ketinggian puncak tertinggi kedua yaitu Fe). Dari kondisi semacam ini bisa dibuat suatu analisa jika pada daerah pit yang diuji tersebut, terdapat banyak oksida yang terbentuk, dimana oksida tersebut merupakan produk korosi yang dihasilkan material tubing yang terdapat pada daerah pit tersebut. Produk korosi berupa oksida tersebut, dapat dihasilkan dari persenyawaan antara oksigen dengan besi, maupun antara besi, oksigen, dan karbon. Diduga unsur-unsur tersebut adalah produk korosi FeCO3. G. Pengujian XRD (X-Rax Diffraction) Pada pengujian XRD (X-Ray Diffraction) ini bertujuan untuk mengetahui senyawa – senyawa yang terdapat pada spesimen tubing setelah terjadi kegagalan. Bentuk spesimen uji pada pengujian XRD ini adalah serbuk dari produk korosi yang diambil pada permukaan tubing dengan menggunakan sisir kawat. Berikut adalah hasil dari pengujian XRD pada material tubing,
Gambar 7 Hasil XRD dan peak list dari tubing yang mengalami kegagalan
Penerjemahan dari puncak difraksi (height) dan 2θ dapat menggunakan data PCPDF, dimana masing – masing puncak pada 2θ tertentu akan menunjukkan senyawa tertentu pula. Setelah dianalisa terdapat 4 senyawa yang terkandung dalam serbuk produk korosi tersebut, diantaranya adalah, FeS pada 2θ = 14.2290, FeS pada 2θ = 24.9671, 25.9121, 26,6634, 26.9020 dan 28.8220, FeCO3 pada 2θ = 31.6051 dan 42.9054, dan Fe-Cr-Ni pada 2θ = 44.6888. Dari senyawa – senyawa yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa 2 dari senyawa – senyawa tersebut merupakan produk korosi yang berbahaya yang biasa dialami baja pada industri eksplorasi gas dan minyak yaitu FeS dan FeCO3. Produk korosi berupa FeS dan FeCO3 bisa menimbulkan morfologi kerusakan pada tubing berupa korosi lokal atau pitting corrosion. Untuk FeCO3 merupakan produk korosi yang dihasilkan bersamaan dengan pembentukan FeS. Tapi perbedaannya dalam lingkungan yang mengandung asam sulfat (H2SO4) untuk pembentukan senyawa FeS, dan dalam lingkungan CO2 yang sebelumnya berikatan dengan air dan membentuk asam karbonat (H2SO3) untuk pembentukan senyawa FeCO3. Untuk senyawa Fe-Cr-Ni, dihasilkan dari persenyawaan logam induk dimana paduannya merupakan paduan rendah (low alloy) dengan Cr dan Ni sebagai salah satu paduannya. Ditinjau dari pembahasan sebelumnya yaitu pada pengujian SEM dan EDAX, dugaan munculnya senyawa FeCO3 berdasarkan kandungan 3 unsur paling dominan yaitu Fe, O, dan C dapat dibuktikan pada pengujian XRD ini.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
6
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil pengujian, analisa, dan pembahasan pada kegagalan yang terjadi pada tubing grade J55, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut, 1. Faktor – faktor yang menyebabkan kegagalan pada tubing gas sumur 15 diantaranya adalah, a. Adanya CO2 Corrosion yang menyerang pada tubing. Hal ini didukung dengan adanya produk korosi berupa FeCO3. b. Adanya korosi H2S pada tubing sehingga terbentuk produk korosi FeS. Diduga adanya gas H2S ini disebabkan oleh metabolisme dari SRB (Sulphate Reducing Bacteria) yang terdapat pada bagian sebelumnya. 2.
Mekanisme kegagalan yang terjadi pada tubing sumur 15 adalah diawali dengan munculnya pitting corrosion yang disebabkan oleh serangan CO2 Corrosion yang membentuk senyawa korosi FeCO3 dan adanya SRB (Sulphate Reducing Bacteria) yang mereduksi sulfat di lingkungan sumur membentuk senyawa korosi FeS dan kemudian terlokalisasi pada suatu bagian di inner tubing. Beberapa pitting corrosion yang terbentuk pada tubing mendapat tekanan parsial cukup besar yang berasal dari sumur kemudian menimbulkan crack lalu dari crack menjalar pada bagian lain pada inner tubing yang tidak megalami kegagalan, sehingga pada penampakan kegagalan yang terjadi, terlihat keropos yang cukup besar.
B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan dari penyebab kegagalan yang terjadi pada tubing gas sumur 15, maka dapat dibuat suatu rekomendasi untuk pencegahan agar kegagalan yang sama tidak terjadi kembali. Rekomendasi yang dapat ditawarkan adalah sebagai berikut, 1. Penggunaan inhibitor korosi berdasarkan standar NACE 03340. 2. Mengecek kualitas awal dari tubing baik dari segi mechanical properties-nya maupun komposisi kimianya sebelum instalasi pada sumur.
B. Hasil Pengujian SEM dan EDAX
C. Hasil Pengujian Komposisi Kimia
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
LAMPIRAN A. PCPDF dari Pengujian XRD
[3] [4] [5]
[6]
[7] [8]
ML Hazza and M.E. El-Dahshan. October 10, 1993. “The Effect of Molybdenum on The Corrosion Behaviour of Some Steel Alloys”. Desalination, 95 (1994) 199-209. Nishida, Shin-ichi.1992. Failure Analysis in Engineering Application. Jordan Hill. Oxford. Butterworth Heinemann Ltd. Pratapa, S. 2004. Prinsip-prinsip dan Implementasi Metode Rietveld untuk Analisis Data Difraksi Surabaya. R. Brooks, Charlie and Choudhury, Ashok. 2002. Failure Analysis of Engineering Materials. New York : McGraw-Hill. S.D. Zhu, J.F Wei, Z.Q. Bai, G.S. Zhou, J. Miao, R. Cai. November 2010. “Failure Analysis of P110 Tubing String in UltraDeep Oil Well”. 950-962. S.D. Zhu, J.F. Wei, R. Cai, Z.Q. Bai, G.S. Zhou. July 2011.“Corrosion Failure Analysis of High Strenght Grade Super 13Cr-110 Tubing String”. 2222-2231. Sulistijono, 2009. Pengenalan Korosi. Surabaya. Sulistijono, 2009. Bentuk Korosi. Surabaya.