Aku dan Episode Biru Merah Jambu Oleh: Arie Arvenda
Bunga tak semestinya dipetik Biar angin yang membelainya manja Menjadi mekar, riang, penuh warna
Dan aku, cukup bahagia kumbang tak harus selalu hinggap hanya menatap, menikmati indahnya
Kupandangi lagi catatan harian bersampul coklat itu. Tak terhitung berapa bait puisi yang berhari-hari ini kutulis, berapa halaman, berapa kalimat, beribu huruf, dan semua itu tentang hal yang satu: tentang seseorang. Aku tak pernah merencanakan ini, tak pernah seperti ini, tak pernah sekalipun! Awalnya, aku mengenal gadis itu sebagai salah satu peserta pengajian di masjid kampungku. Selain sebagai pengurus LDK, Lembaga Dakwah Kampus, aku juga aktif di masjid dekat rumah. Menjadi pengurus Ikatan Remaja Masjid malah lebih rumit dibandingkan di kampus. Rekan-rekan di sini lebih beragam, dari latar belakang pendidikan yang berbeda, pemahaman keagamaan yang tak sama, bahkan aku tidak menemukan teman yang sepemahaman seperti temanteman kuliahku di LDK. Karenanyalah dakwah di medan seperti ini menjadi lebih berat. Butuh kesabaran ekstra. Beberapa waktu aku sempat dianggap orang aneh bagi mereka, orang yang kaku, pendiam, agak judes dan kurang menyenangkan. Jangankan objek dakwah di lingkungan sekitar, rekan-rekan pengurus pun menjauh dan menjaga jarak. Hingga kemudian kuputuskan mengubah sikap, tak mudah memang. Kucoba untuk tak terlalu serius, berlatih senyum ramah, lebih cair dalam berkomunikasi
dan bergaul. Lebih mendahulukan pengertian pada mereka dalam memenuhi syari’at. Dan akhirnya aku bertemu dengannya. Mulanya biasa saja, tak ada yang istimewa. Anak kelas II SMA dengan semangat tinggi, yang sedang haus-hausnya pada pemahaman agama, Nuri -panggil saja namanya begitu- menjadi lebih menonjol dari rekan-rekannya yang lain. Nuri sering bertanya pada penceramah atau mentor ketika acara pengajian sedang berlangsung dan rajin hadir pada setiap kegiatan organisasi. Setahun kemudian dia sudah cukup dikenal masyarakat sebagai pengurus Ikatan Remaja Masjid. Ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang, Nuri sering berinteraksi denganku, membahas masalah-masalah Islam, bertanya ini-itu dan atau mengerjakan tugas organisasi dan sekolahnya. Sebisa mungkin kuterapkan ghaddul bashar; menjaga pandangan. Namun harus diakui memang Nuri akhwat yang menarik, setidaknya itu yang ku tahu dari curhatan rekan-rekan lain yang diam-diam menyukainya. Sedangkan aku -tentu saja pada mulanya- merasa tak ada yang terlalu istimewa. Dia gadis yang baik, cukup pintar dan … ah, biasa saja. Tetapi tanpa disadari ada ruang disudut hati ini yang kosong, yang selama ini kubiarkan tak terawat. Seorang da’i juga manusia, punya darah punya hati. Apalagi aku, seorang da’i karbitan yang hanya bisa tadarrus Al-Qur’an tanpa mengetahui maknanya secara menyeluruh. Setiap makhluk dicipta berpasangan dan manusia yang menolak fitrah tersebut akan lelah terkalahkan. Begitulah hati kemudian memerankan tugasnya: mencinta. Inilah episode perjalanan hidup manusia yang tak masuk logika, seolah mendapat musibah tapi dia bahagia. Merasai rindu dan ketika bertemu malu-malu. Ingin bercanda melepas sekat-sekat keegoisan, tapi tatkala bersua jadi jaim, jaga imej, pasang muka super cuek, tak peduli. Menyengsarakan, seperti virus yang menjangkiti pikiran tapi kita enggan untuk sembuh, bahkan menikmati sakitnya. Masya Allah! Memalukan bukan? Membuatku malu bahkan pada diriku sendiri, apalagi untuk curhat, menceritakannya pada orang lain. Apalagi aku aktifis masjid kampus, orang lain memandangku sebagai “orang lurus”, tidak ada kompromi
pada batasan pergaulan lain jenis, mengharamkan pacaran, keras menundukkan pandangan dan menolak segala bentuk korupsi. Mencintai lawan jenis (secara berlebihan) adalah salah satu bentuk korupsi hati, begitu bukan?. Dan kemudian perasaan ini kusimpan saja, kubiarkan mengendap. Aku merasa bersalah dan telah tergelincir. Tak ada orang yang curiga, tidak rekanrekanku, tidak saudara dan orang tua, tidak juga Nuri.
***
“Wa’alaikumussalaam, ini Kang Rei ya?” “Bukan, ini ajudannya. Pak Reihan sedang main golf!” jawabku sambil terkekeh. “Halah..! Kang, temen-temen akhwat lagi ngobrolin soal seru, lho!”, ujar Fitri diujung telepon. Akhwat yang masih kuliah tingkat 1 ini memang nyerocos kalau sudah bicara, tak salah jika dia ditempatkan di Seksi Pendidikan Anak usia SD di Ikatan Remaja Masjid. Jadi guru ngaji untuk anak seusia itu perlu kemampuan bercerita dan skill ceriwis yang mumpuni. “Mau ngegosip ya? Ghibah atuh, Teh.” “Bukan, lagi! Cuma… gimana, ya ngomonginnya?” Fitri terdiam. “Sebenernya masalah ini yang tahu cuma 3 orang akhwat: Fitri, Lia dan Nuri”. Sekarang Fitri terdiam agak lama. “Masalah apa sih, Fit?” “Mmm… tapi Kang Rei jangan ngobrolin hal ini ke temen yang lain ya! Fitri cuman ingin dapat masukan aja dari Akang, yang paling senior diantara temen-temen kan, Kang Rei jadi bisa lebih enak kalo ngasih saran. Gitu, loh!” Diam lagi, aku tahu Fitri pasti akan melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu responku. Komunikasi diantara teman-teman di sini memang lebih cair dibandingkan dengan rekan-rekanku di LDK. “Ada seorang akhwat, kang … Jadi ceritanya begini, dua tahun lalu tuh si akhwat ini pernah pacaran, tapi putus. Bukan putus sih, proses pending dulu kali
ya, halah! Singkatnya, laki-laki dan si akhwat ini memutuskan janji bertemu lagi dua tahun ke depan …”. “Terus?” “Terus akhwat ini bingung, mo ketemuannya kan minggu depan. Dia takut kalo laki-laki ini ngajak balikan lagi. Gituh … “ “Ya udah, kalo ngajak pacaran lagi, ya jangan diterima” “Euh si Akang mah!” Fitri terdengar sedikit kesal. “Si akhwatnya bingung gitu loh! Dia takut …!” “Iya … intinya jangan bingung, jangan takut. Jangan terlalu membesarkan ketakutan kita dong, hadapi saja apa yang terjadi. Seorang akhwat itu mesti bisa tegas! Terutama dalam hal seperti ini. Aku serius lho. Banyak ikhwan yang menjadi bingung, penasaran, panjang angan-angan dan susah hatinya gara-gara akhwat yang kurang tegas dalam bersikap,” jelasaku selugas mungkin. Fitri terdiam cukup lama, membuatku ingin bertanya lebih jauh. “Emang siapa akhwatnya, Fit?” “Mmm… janji jaga rahasia, kang?” “Iya, iya …siapa, sih?” “Nuri.” “ ………… “
***
Hari-hari setelah percakapanku yang terakhir dengan Fitri adalah hari-hari yang sangat menggelisahkan. Sangat tak karuan. Jika hati adalah cermin maka ia telah retak. Ada sesak dalam dada yang tak kumengerti sakitnya. Mungkin inilah cemburu, jengkel, sakit hati, takut kehilangan dan perasaan lainnya yang menjadi satu, tapi sampai saat itu aku tak tahu apa ini. Semakin kuingat, semakin sesak rasanya dada ini. Perasaan yang dipendam itu tak bisa lagi kusembunyikan. Akhirnya, kuungkapkan masalah ini pada seorang rekan di kampus, seorang akhwat yang
sudah cukup lama kukenal dan dapat dipercaya. Tentu saja curhatnya lewat telpon, karena hanya lewat media itulah aku berani bercerita. Apa yang kemudian disarankan oleh rekanku tersebut. Sangat tidak terduga, setidaknya bagiku. “Pendapat ana sih memang sudah waktunya akhi menikah, apalagi kita sekarang sudah kuliah tingkat akhir. Wajar, kok!” ujarnya santai. Aku cukup terkejut!. “Lanjutin aja untuk lebih serius …”. “Kalau dia menolak?” “Ya takbir aja, Allahu akbar! Hehehe …” Solusi yang sangat enteng tetapi dengan konsekuensi yang cukup berat. Bagiku sangat berat. Perlu keterbukaan, keberanian, kenekatan, anti malu dan siap pada apapun yang terjadi setelahnya. Siapkah aku? Kian hari dada ini kurasakan semakin sesak, bukan, ini bukan sesak nafas, tetapi ada sesuatu yang sangat menyesakkan dada. Daripada perasaan ini menggantung tak karuan terus menerus, kuputuskan menerima saja usulan itu. Setelah istikharah beberapa kali akhirnya aku memberanikan diri melanjutkan titah hati, menyampaikan apa yang dimaksud. Harus berani! Ku coba berserah diri dan mensucikan niat, niatan ikhtiar untuk menggenapkan agama. Kuhubungi Fitri, karena dia yang pertama tahu masalah Nuri dan hanya kepadanya aku bisa lebih mudah terbuka. Tetapi tetap saja berat untuk mengatakan hal itu. Setelah mengumpulkan segala keberanian dan menyerahkan hasil pada-Nya, aku bertemu Fitri, memintanya untuk menanyakan langsung kesiapan Nuri. Jika seandainya saja, kiranya, atau mungkin, Nuri mau … ah, memang sulit mengatakannya. Jauh lebih sulit dari sekedar Khutbah Jum’at di mimbar masjid. Tentusaja Fitri terkejut, tapi tak ayal kulihat juga sekilas senyum mengulum dari bibirnya. Mungkin bermaksud menggodaku tapi diurungkannya, demi melihatku yang memasang muka serius dan sedikit memelas. Akhirnya Fitri bersedia membantu dan akan ke rumah Nuri nanti sore. Nanti sore? Itu kan masih sangat lama.... Aku ingin sekarang juga, kalau bisa.
***
Enam tahun kemudian
“Hahaha…” aku tertawa terbahak-bahak. Hampir saja tersedak es cingcau yang sedang kuminum. “Kok kamu ketawain aku Rei?” Akmal sedikit kesal. “Maafkan aku, kawan…” sempat malu juga tertawa keras di rumah makan Sunda yang sedang tak sepi ini. “Kirain dikau mau ngobrol apa sampai ngajak aku makan berdua disini”. Akmal, sahabat lamaku yang telah sekian tahun tak bertemu. Walaupun dulu dia tidak bergabung di LDK, tetapi dia teman kuliahku yang sangat akrab. Sampai saat ini Akmal belum juga menikah. Pencarian dalam menemukan istri yang dirasa tepat malah membuatnya gonta-ganti pacar. Tapi itu tak membuatnya urung mencari lagi, menjalin hubungan baru. Hanya butuh waktu hitungan minggu saja baginya untuk melupakan kisah sedih putus hubungan. Setelah itu ceria lagi, seperti hari-hari biasa. Tetapi kini, setelah bertahun-tahun tak bertemu muka, dia mengajakku bicara serius. Tentang seseorang, pacar yang kebetulan impor dari KL, Malaysia, yang tak juga bisa sirna dari hatinya. “Sudah 2 bulan, dia campakkan aku …” Akmal menghela napas. “Tapi setiap hari hingga sekarang, aku tetap mengharap dia kembali. Entahlah, mungkin karena kali ini aku sangat serius, ingin yang satu ini menjadi istriku …”. Sedikit lama kami terdiam, hingga aku berujar, “Kau tahu Mal? Aku dulu pernah mengalaminya …”. Kini aku yang menghela napas, “Dua tahun, Mal … aku nggak bisa lupa, setiap hari terus berharap…” Kini Akmal yang terbelalak, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku cuma bisa senyum kecut. “Rei, nasehat kamu ini yang aku butuhkan, hahaha …”, Akmal tertawa lagi membuatku makin senewen. “Teman-temanku cuma bisa bilang, yang sabar,.. yang sabar.. bosen aku!”. Akmal kembali terkekeh, dia tak menyangka jika ada
kisah sakit hati yang lebih parah darinya, dan itu terjadi begitu dekat, pada temannya yang selama ini dia anggap “orang lurus”. Memang, Akmal dan kebanyakan sahabat dan rekanku tak tahu kalau setelah kejadian 6 tahun lalu itu hatiku demikian sengsara. Setelah Nuri berkata jujur bahwa selama itu menganggap aku seperti kakak saja, tak kurang tak lebih. Setiap harinya langit seperti selalu mendung, muram, kelu. Hingga kemudian aku mulai belajar untuk meluaskan ruang hati, belajar ikhlas dan berserah. Allah SWT Maha Tahu kondisi hamba-Nya, Maha Bijak, Maha Rahim. Aku tahu ini yang terbaik. Dua tahun lalu aku menikah dengan seorang akhwat, melalui proses yang cukup singkat. Alhamdulillah, kini seorang putra menyemarakkan keluarga kecil kami. Aku mencintainya dan terus berusaha, berdo’a, agar keluarga ini penuh cinta dan ketentraman, selalu bahagia, dalam rahmah dan keberkahan. Ada keluarga kecil melintas tepat didepan meja tempat aku dan Akmal makan. Sang ayah kutaksir seusia kami, berjalan sambil menuntun 3 orang anak. “Mal, … jika boleh menyesal, ada sedikit yang kusesali. Jika saja aku bisa menerima ta’aruf di awal-awal kuliah dulu mungkin kini anakku sudah lebih dari dua… ” Kuhabiskan es cingcau yang tinggal sepertiga gelas, es batunya sudah lama menjadi air. “Bisa jadi karir, penghidupan dan mindset pikiranku, kedewasaanku, telah jauh meningkat maju jika dibandingkan keadaanku sekarang. Kau ngerti kan?”, lanjutku. “Iya.. maksud kamu kita ini udah telat, gitu ya? Hehe…” “Tumben kau pinter …!”. Akmal hanya melihatku yang terkekeh lagi. Dia tak menyadari jika ada sesuatu yang luput dari pandangannya, sesuatu yang dalam di relung hati. Mengenang Nuri, telah menguak kembali sisa-sisa luka yang telah sekian lama kucoba sembuhkan. Ya Allah … maafkan aku.
Disarikan dari kisah nyata dengan beberapa penyesuaian.
Dua Pengajar Bunga Jiwaku Oleh: Herdiyan
Awal Agustus 2005, dengan mengucap syukur kehadirat Allah Swt aku lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Tak dapat dibayangkan lagi betapa senang dan gembiranya ketika mengetahui kelulusanku di kampus ternama itu. Kuputuskan dan kuberanikan diri untuk merantau dari salah satu desa nun jauh di seberang sana, tepatnya di Provinsi Sumatera Selatan. Aku kos di dekat kampus selama setahun. Aku memilih tempat kosan yang harganya paling murah di belakang kampus, dengan harga satu juta setahun. Aku sengaja memilih yang paling murah karena aku tahu dengan kondisi ekonomi keluargaku yang sangat minim. Fasilitasnya cukup memuaskan dan sudah lumrah bagiku yang hidup pas-pasan di kampung halamanku. Suka dan duka kulalui sendiri di dalam kosan itu, jauh dari orang tua. Wajah ayah dan ibu kadangkadang tebersit dalam mimpi tidurku, menjadi penghibur malam-malam kesendirianku. Minggu-minggu pertama menjalani kuliah, aku tak bisa dan sangat susah untuk menghapus wajah para sanak saudaraku: wajah ayah, ibu, kakak, dan adikku.
Beberapa kali aku
memimpikan
ibuku
yang tersenyum
sipu
memandangku. Saking seringnya, sampai tak terhitung lagi. Alhamdulillah, akan selalu kuingat dan akan kuambil hikmahnya ketika kasih sayang Allah saat itu menghampiriku. Saat semester tiga kuliah, tepatnya November 2006, aku ditawari oleh seorang dosen untuk tinggal di sebuah masjid dekat rumahnya. Pak Abu Sufyan namanya. Beliau tinggal di sebuah perumahan yang sangat terkenal di daerahnya. Nama perumahannya adalah Bumi Rancaekek Kencana, yang terletak di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Beliau adalah salah satu pemuka agama dan tokoh masyarakat di perumahannya itu. Lokasi perumahannya tak begitu jauh dari tempat kuliahku, cukup naik sekali angkot dengan membayar ongkos Rp 2.500,-. Jaraknya tak kurang dari 15 km.
Aku langsung menerima tawaran yang diajukan oleh beliau kepadaku. Banyak sekali alasan mengapa aku langsung menerima tawaran itu. Alasan yang pertama adalah aku percaya dengan sebuah keterangan bahwa ilmu yang dimiliki oleh seseorang jika diamalkan, maka akan mendapat keberkahan dari-Nya. Itulah yang selalu kucamkan dalam hati agar aku selalu berbagi ilmu dengan yang lain. Alasan yang kedua adalah dengan tinggal di sana aku bisa belajar hidup bermasyarakat dengan warga sekitarnya karena sudah barang tentu setelah menyelesaikan
kuliah
dan
berkeluarga
nanti
kita
semua
akan
hidup
bermasyarakat. Maka dari itu, dengan tinggal di sana aku bisa belajar banyak mengenai suka-dukanya hidup dengan masyarakat sekitar. Alasan yang selanjutnya adalah aku bisa belajar bahasa Sunda langsung dari masyarakat. Dengan tinggal di kehidupan bermasyarakat, secara otomatis aku dapat berkomunikasi langsung dengan mereka dan mencoba kemahiran berbahasaku, terutama bahasa Sunda. Jika tinggal di kosan yang mayoritas berprofesi sebagai mahasiswa, terutama mahasiswa dari luar kota, aku tak dapat mencoba kemahiran berbahasa Sundaku. Mengapa? Karena dalam berkomunikasi kami selalu menggunakan bahasa Indonesia. Alasan yang terakhir adalah dengan tinggal di sana aku bisa menghemat pengeluaran karena tidak lagi membayar uang kos dan uang makan, kecuali menyiapkan uang untuk ongkos angkot saja. Inilah salah satu kemudahan yang diberikan oleh Allah Swt kepadaku selama aku menuntut ilmu di bangku kuliah dulu. *** Aku memilih salah satu teman di kelasku untuk menemaniku tinggal di sana. Yang akan kupilih adalah teman yang sangat berkompeten di bidang mengajar. Maka kupilihlah Abdul Rohman, teman karibku di kelas. Aku memilihnya karena aku tahu bahwa dia dulu pernah merasakan dunia pesantren. Menurutku, itu lebih dari cukup untuk bekal mengajar di masjid yang kami tinggali kelak. Kami di masjid itu diamanahi untuk mengajar madrasah. Materi-materi pelajaran yang kami ajarkan kepada para murid, antara lain, baca-tulis Al-Quran,
fiqh, tauhid, akidah-akhlak, dan lain-lain. Sasarannya adalah anak SD dan SMP. Namun, kadang-kadang ada juga anak SMA yang datang kepada kami menanyakan pelajaran-pelajaran sekolahnya. Selain mengajar, kami juga diminta untuk mengaktifkan kembali dan merangkul remaja-remaja yang tergabung dalam karang taruna agar aktif di masjid itu. Kami dapat informasi dari para pemuka masyarakat, salah satunya dari dosenku itu, bahwa remaja-remaja di sana sangat malas untuk pergi di masjid. Berarti, pekerjaan kami di sana lumayan berat. Inilah tantangan yang harus kami lalui dan jalani untuk bekal hidup kami kelak di masa depan. *** Hari pertama mengajar, aku ingat betul peristiwa itu. Saat itu tanggal 20 November 2006. Yang datang ke masjid itu mula-mula aku seorang, tanpa ditemani oleh Abdul Rohman karena dia ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Aku diperkenalkan di depan para murid. Ada perasaan tersendiri ketika memperkenalkan diri di madrasah itu, di depan murid-murid kesayanganku. Aku merasa sangat dihormati, mungkin karena aku kuliah di Unpad, universitas yang sangat terkemuka dan didamba-dambakan oleh masyarakat seantero Jawa Barat. Boleh dikatakan juga bahwa mungkin karena aku orang terpelajar dan kuliah di kampus terkemuka itu sehingga aku sangat dihormati oleh warga sekitar, baik oleh murid-murid maupun yang lainnya. Ternyata bukan kami saja yang mengajar di sana, melainkan ada tiga pengajar lain juga yang berasal dari penduduk setempat: satu laki-laki dan dua perempuan. Jadi, seluruh pengajar berjumlah lima orang. Nama pengajar laki-laki itu Pak Ujang. Ia telah menikah, umurnya kira-kira empat puluh tahunan. Sedangkan kedua perempuan itu masih berusia muda, kira-kira setahun-dua tahun di bawah kami. Waktu itu mereka masih menduduki kelas tiga SMA. Memang, jumlah murid yang belajar di sana banyak sekali, lebih kurang lima puluh murid. Jadi, di sana sangat memerlukan banyak tenaga pengajar. Kelasnya dibagi menjadi lima. Kami menyepakati bahwa satu pengajar mengajar sepuluh murid.
Perkenalan pertama itu selalu terbayang dalam pandangan dan terngiangngiang dalam telingaku, terutama ketika berkenalan dengan dua pengajar perempuan itu. “Aa’, nama aku, Mira.” “Namaku, Hera.” “Perkenalkan juga, nama Aa’, Yayan.” aku membalas perkenalan singkat itu. Dan, ces!!! Kenalan pertama itu membuat hati ini seolah-olah telah dimasuki oleh embun sejuk yang kian terus merasuk tubuh. Kalbu ini terasa terbang jauh, entah ke mana. Paras wajah keduanya yang ayu serasi sekali dengan penampilan mereka yang berbalut begitu sederhana tapi sangat anggun. Penampilan mereka sungguh indah, menggunakan pakaian yang tak ketat seperti kebanyakan temanku di kampus. Meskipun memakai celana, tetapi tak membuat keanggunan mereka luntur. Kuingat ketika pertemuan pertama denganku itu, mereka memakai pakaian berwarna cerah sehingga kian menambah keelokan dan keindahan nan begitu rupawan. Kecantikan, kelembutan, dan kesederhanaan mereka selalu membayangi setiap perjalanan hidupku. Itulah kenangan yang tak terlupakan bagiku. Bayangan wajah mereka selalu terbayang di dalam pandangan bawah sadarku. Pertemuan pertama itu akan berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya: pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Kami akan selalu bertatap muka setiap malam. Kami akan selalu bertemu ketika mengajar di madrasah. Mula-mula hadir di sana, perasaan grogi yang tak terhingga kadangkala selalu saja hinggap pada diriku. Maklum, berinteraksi dengan masyarakat, mengajar seperti ini merupakan pengalaman pertamaku. Yang membuatku semakin salah tingkah lagi adalah ketika bertemu dan berkenalan dengan kedua pengajar perempuan itu, semakin membuatku grogi. Namun, perasaan itu selalu kuminimalisir dan kubuang dengan jauh agar tak membuat diriku malu dan akan membuat mukaku merah ketika bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka. ***
Untuk meningkatkan kinerja mengajar kami kepada para murid, seluruh pengajar biasanya mengadakan rapat. Namun, rapatnya tak punya jadwal berkala atau jadwal rutinan, misalnya, seminggu sekali, sebulan sekali, atau dua bulan sekali. Kalau dirasa perlu, kami baru repot menyusun jadwal untuk mengadakan rapat. Waktu berjalan mengiringi langkah kehidupanku. Hari-hari bergilir silih berganti. Karena sering bertemu dan berinteraksi, kami pun kian akrab. Tak jarang lelucon dan senda gurau kami lontarkan. Senda gurau itu membuat kekompakan kelima pengajar semakin kokoh. Aku pun sedikit terlena. Wajah-wajah mereka kian sering terbayang di sela-sela lamunanku. Dengan berjalannya waktu, aku semakin tergila-gila dengan indahnya wajah dan kelembutan perangai para pengajar perempuan itu. Ditambah lagi, banyak sekali teman sekelasku di kampus yang mengambil jalan pacaran dengan lawan jenis mereka. Seringkali kulihat teman-teman karibku di kampus yang berjalan berduaan dengan lawan jenisnya. Paras mereka nan indah rupawan itu semakin membuatku kelepek-kelepek. Namun, perasaan tersebut akan selalu kusimpan dan kutahan dalam-dalam. Aku tak ingin ada yang tahu. Cukuplah diriku dan Sang Pemilik cinta yang tahu perasaan yang menancap di dalam diriku. Pula, aku tak ingin mengotori jiwaku dengan cinta yang masih mengambang, yang belum pasti arahnya ke mana. Aku ingin cinta yang sejati: cinta setelah menjalani proses ijab kabul atau pernikahan. Meskipun ingin kubuang jauh-jauh perasaan itu, hati ini acapkali selalu ingin memberontak. Pernah beberapa kali kesempatan, aku sering mengambil perhatian mereka dengan menggunakan beraneka macam cara. Suatu saat aku pernah mengajar dengan suara yang agak dikeraskan agar suaraku yang “merdu” ini dapat didengar oleh mereka. Pernah pula aku memamerkan “kebolehan”-ku dalam menulis indah atau kaligrafi kepada mereka di sela-sela mengajar pelajaran kaligrafi pada para murid. Caraku mengambil perhatian mereka yang lain adalah mengajari mereka pelajaran sekolah atau membantu apa saja yang mereka perlukan, meskipun kadang-kadang bagiku sangat susah, misalnya, meminjamkan buku, membuatkan kata-kata mutiara dalam bahasa Arab, dan lain-lain. Walaupun
kadang-kadang sangat memberatkanku, aku tetap ingin selalu membantu mereka. Demi cinta, setiap insan akan melakukan apa saja. Mungkin ini pula ungkapan yang tepat bagi diriku yang sedang dirundung cinta. Cinta kepada dua pengajar, bunga jiwaku itu. Setiap malam, seperti biasanya, kami melakukan aktivitas belajarmengajar di madrasah itu. Setelah shalat Maghrib anak-anak telah siap menerima pelajaran dari kami. Mereka telah duduk rapi di meja belajar layaknya rumah makan lesehan itu. Pengajar yang hadir cuma bertiga: aku, Rohman, dan Pak Ujang. Dua pengajar lagi belum kelihatan. Mungkin telat, pikirku. Anak-anak serempak mengumandangkan surat Al-Fatihah dan doa belajar. Namun, setelah ditunggu-tunggu, dua perempuan bunga jiwaku itu tak kunjung datang. Lalu kami putuskan untuk membagi tiga saja para murid yang datang. Biasanya kami sering membaginya menjadi lima grup. Berhubung dua pengajar perempuan itu tak hadir, jadi kami hanya membagi murid-murid menjadi tiga kelompok saja. Di balik ketakhadiran dua bunga harapanku itu, aku agak gelisah. Ada suatu masalah dalam diriku. Entah apa itu. Malam ini sangat berbeda daripada malam-malam biasanya. Hampir setiap malam aku selalu ‘semangat’ mengajar karena aku sering ingin mencuri perhatian mereka. Namun, malam ini, ketika mengajar, tak jarang aku salah ucap. Pikiranku tak bisa konsentrasi. Hati kecilku berbicara, “Ini adalah akibat dari tak hadirnya dua pengajar perempuan itu, oh Mira, oh Hera”. *** Waktu berjalan terus. Hari-hari berlalu teratur, digerakkan Sang Pengatur waktu, Allah azza wa jalla. Aktivitas mengajar kami lalui dengan suka-cita. Kelima pengajar memberikan pengetahuan kepada para murid hampir setiap malam, kecuali malam Minggu. Malam Minggu adalah malam libur, malam istirahat. Hatiku masih saja kadang-kadang membayangkan dua pengajar itu. Namun, karena selalu sering berinteraksi dengan mereka, sedikit demi sedikit, perasaan “cinta” itu perlahan hilang. Aku tak tahu bisa seperti itu? Inilah
kekuasaan Allah, Sang Pemilik cinta. Dia bisa membolak-balikkan perasaan cinta. Kadang-kadang di awal cinta kepada seseorang, tapi di akhir malah benci. Sebaliknya, adapula di awal benci, tapi di akhir malah cinta. Inilah karunia Allah yang sangat misterius. Aku
berpikir pula, tampaknya perasaanku
yang menggebu-gebu
belakangan ini bukan disebabkan oleh cinta, melainkan oleh nafsu. Cinta dan nafsu memang sulit dibedakan. Keduanya mempunyai perbedaan yang sangat tipis. Yang hanya dapat membedakannya adalah orang yang pernah merasakan cinta dan juga nafsu. Aku sadar bahwa selama ini yang kurasakan adalah hanya nafsu belaka, yang nikmatnya hanya sesaat. Nafsu sangat berbeda dengan cinta. Cinta datangnya dari Sang Pemilik cinta, sedangkan nafsu berasal dari setan yang terkutuk. Nafsu datang hanya untuk menggoda dan mengukur keimanan para insan saja. Jika tergoda dengan nafsu, maka insan seseorang perlu ditanyakan keberadaannya. Itu pula yang terjadi pada diriku. Aku telah melalui perjalanan nafsu itu. Kini tak ada sedikit perasaan pun kepada para kedua pengajar perempuan itu lagi. Kurenungi, salah satu yang menyebabkan perasaan itu hilang adalah kesibukanku yang tak terkira ketika menginjak semester empat. Aktivitasku di kampus semakin hari kian padat saja, apalagi setelah aku memutuskan untuk bergabung dengan BEM fakultas. Aku memang sangat menyukai dunia keorganisasian. Yang paling kusukai dari bergabung dengan organisasi adalah ketika merancang berbagai kegiatan, misalnya, kegiatan bakti sosial, pelatihan keorganisasian, pelatihan kepenulisan, dan masih banyak lagi. Entah apa penyebabnya, semua itu membuatku seru dan senang. Selain aktivitas organisasi yang begitu padat, semester ini pun aku disibukkan dengan berbagai tugas: membuat karya tulis, merangkum mata kuliah, dan sebagainya. Hampir setiap hari, tugas selalu menemani kesibukan harianku. Karena selalu sibuk, aku jarang sekali memiliki waktu luang untuk memikirkan mereka. Pada akhirnya, kusyukuri semua kesibukan ini. Dengan begitu, aku “terbebas” dari semua nafsu yang menggerayangi pikiranku selama ini.
Kuyakinkan dalam diri bahwa cinta bermotif “nafsu” ada di mana-mana, tak hanya pada teman-teman hedon, tetapi juga pada teman-teman aktivis dakwah. Marilah kita kuatkan diri kita agar tak termakan rayuan setan yang sangat “menggiurkan”. Maka dari itu, waspadalah! Waspadalah!
Doa Manusia Bodoh A. Asis Aji
Malam itu, gadis yang mempunyai tempat istimewa di hatiku menelepon. Setiap ia menelon, canda, tawa, dan bahagia selalu menghiasi suaranya. Namun malam itu berbeda. Kata-kata yang tak pernah kuharapkan dari bibirnya terucap: dia minta putus. Orangtuanya tidak merestui hubungan kami. Alasan orang tuannya tidak jelas. Satu yang pasti, kami harus mengakhiri hubungan asmara yang terjalin belum lama. Kami masih saling mencintai, namun kisah cinta harus diakhiri. Kami tidak ikhlas menerima perpisahan ini. Apalagi ini adalah cinta pertama untukku dan dia. Kami masih ingin bersama, merenda hari-hari indah yang baru saja kami nikmati. Wanginya bunga belum kami petik namun baunya telah hilang dibawa angin. Tidak puas berbicara lewat telepon, akhirnya kami janji bertemu di taman pusat kota kecamatan, pulang sekolah besok. Aku masih ingin melihat wajahnya walaupun mungkin untuk yang terakhir kalinya. Aku
datang
lebih
awal
dari
jadwal
janji.
Masjid
baru
saja
mengumandangkan adzan dzuhur ketika aku tiba di kota kecamatan. Aku shalat dzuhur di masjid sebelum menuju ke taman. Usai shalat, kupanjatkan doa. Doa paling panjang dari semua doa yang pernah kupanjatkan pada Tuhan. Karena lamanya berdoa aku menjadi orang terakhir yang keluar dari masjid, padahal biasanya akulah yang lebih awal keluar dari masjid jika shalat berjamaah di masjid. ”Ya Allah, Engkau Maha Tahu, dan Engkau tahu hubungan kami begitu tulus. Ya Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, Engkau telah menganugerahkan kami rasa cinta dan sayang, maka jangan Kau biarkan rasa itu pudar. Ya Allah, aku tahu Engkau tidak buta dan tidak tuli, maka dengarkanlah doaku. Lihatlah kami hamba-Mu yang saling mencintai ini dan jangan biarkan ada duka di antara kami. Ya Allah, Ya Rabbi restuilah hubungan kami. Ridhoilah cinta kami. Satukanlah kami selamanya, jangan biarkan hati dan raga kami
berpisah. Ya Allah, Ya Rabbi Engkau Maha Kuasa atas segalanya. Engkaupun kuasa membatalkan perpisahan ini. Maka kumohon ya Allah, satukanlah kami selamanya. Jangan biarkan perpisahan ini terjadi. Jangan biarkan kami putus...” Aku terus melantunkan doa kepada Allah yang Maha Suci. Sebuah doa tulus dengan penuh kekhusukan. Aku larut dalam keharuan dengan harapan karena doa yang panjang ini, Allah mengabulkannya dan kami tidak jadi putus. Jam dinding masjid menunjukan pukul 13:30.
Aku segera mengakhiri
doaku. Menata perasaan yang berantakan oleh duka yang tak pernah kubayangkan akan menyayat hatiku. Aku bersiap menuju taman. Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di taman. Aku duduk di bangku, bawah pohon yang rindang. Dari kejauhan seorang gadis dengan seragam SMA berjalan menuju ke arahku. Kupandangi ia lekat, karena mungkin untuk yang terakhir kali aku melihatnya. Gadis itu memang terlihat sempurna, setidaknya di mataku. Kulitnya putih bersih, tinggi semampai dengan rambut panjang terurai. Bibirnya tipis dengan lesung pipi yang memesona. Mata bintang kejora, alis bulan sabit, bulu mata lentik khas wanita timur. Siapa yang tidak bahagia memilikinya Aku semakin takut kehilangannya. Aku berharap semoga Allah mengabulkan doaku tadi. “Maaf, telah membuatmu menunggu,” katanya sopan, begitu duduk di sampingku. “Oh, tidak sama sekali, aku juga baru tiba..” aku gugup.“ Kamu bolos ya, katanya jam dua baru pulang sekolah?” selidikku. “Jam terakhir gurunya tidak masuk, jadi aku langsung ke sini,” jawabnya beralasan. Lau, kami terdiam beberapa saat. Aku tak tahu harus mulai dari mana? Berat sekali bibir ini mengatakannya, terlebih telingaku masih belum siap mendengar kata putus itu secara langsung. Tetapi sebagai lelaki aku harus berani memulai. ”Bagaimana dengan keputusanmu, apakah sudah bulat ingin putus?” tanyaku pelan hampir saja suaraku tidak terdengar. ”Sebenarnya aku masih sangat mencintai kakak, tapi keputusan mama tidak bisa dibantah lagi!” suaranya serak, matanya berkaca-kaca.
”Artinya kita putus? Apa tidak bisa ditawar-tawar lagi?” aku masih menaruh harapan. ”Iya, kita putus!” jawabnya bersama lelahan air mata. Kupandagi bola matanya, kucari kejujuran dari kata-katanya. Aku tidak menemukan kebohongan di sana. Kami masih saling mencintai. Perpisahan ini murni karena orang tua tidak merestui hubungan kami. Doaku yang panjang sepertinya sia-sia. Allah tidak mengabulkannya. Apa mungkin ada yang salah dari doaku sehingga Allah tidak memperkenankan doaku. Aku mulai ragu. *** Sejak pertemuan di taman itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Tidak ada telpon, atau sms, kami benar-benar putus komunikasi. Aku melewati kesendirian dengan konsentrasi menata masa depan yang berantakan akibat kegagalan studi. Cita-citaku ingin menjadi pelaut kandas sudah. Aku tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah pelayaran hingga selesai. Aku kembali sekolah di SMA, langsung masuk kelas tiga dan mengikuti ujian persamaan untuk mendapatkan ijazah SMA. Setahun di SMA inilah yang memberi warna baru bagi kehidupanku, tanpa kehadiran pacar yang sangat kucintai. Tuhan mempertemukan aku dengan Bu Harniwati. Bu Harni satu-satunya guru yang memakai jilbab lebar. Ia menjadi teman diskusiku setiap ada jam belajar kosong di sekolah. Saat istirahat aku sering berdiskusi dengannya. Tiada hari tanpa diskusi persoalan agama dengan Bu Harni. Aku tertarik dengan pembicaraannya yang banyak mengangkat masalah subtansi agama, jarang membahas masalah-masalah yang mengantar pada perdebatan. Aku semakin tertarik untuk menambah wawasan keislamanku bersamanya, namun sayang kami dibatasi oleh ruang dan waktu serta perbedaan jenis kelamin. Apalagi ia masih muda, khawatir terkena fitnah. Bu Harni mencari jalan pintas yang aman, dia menyarankan aku ikut mengaji saja. ”Alhamdulillah, aku sudah bisa ngaji, Bu. Untuk apa ikut ngaji lagi?” tolakku.
”Mengaji yang ibu maksud bukan ngaji seperti di TPA, tapi belajar agama di luar sekolah secara nonformal. Kamu bisa ikut jamaah atau kajian-kajian dakwah sepeti, Jamaah Tabliq, Wahdah Islamiyah, Hizbut At-Tahrir, Salafih, atau Ihwanul Muslimin. Terserah kamu mau pilih yang mana. Melalui pengajian rutin kamu dapat mempelajari Islam secara konsisten dan terus menerus” jelas Bu Harni. *** Allah memudahkan jalanku. Usai shalat magrib di kompleks dekat rumah, aku bertanya kepada salah seorang jamaah yang kebetulan menjadi iman shalat magrib. ”Ustadz, boleh nggak aku ikut ngaji dengan ustadz?” tanyaku dengan keyakinan bahwa ustadz tersebut punya tempat kajian seperti yang disebutkan Bu Harni. ”Oh, kamu mau ikut ngaji? Boleh. Setelah shalat Isya kita ke rumah ya. Kita ngobrol dulu, sekalian silaturahim ke rumahku,” ajaknya. Aku melihat ada kebahagiaan terpancar dari wajah ustad. Aku belum tahu nama dan seperti apa kajian ustadz tersebut. Aku ikut saja dengannya. Entah kenapa aku percaya padanya Tempatnya di mana dan
apa nama kajiannya aku tidak peduli, yang
penting aku dapat belajar Islam. Sejak itulah aku mulai belajar Islam dari nol. Tidak berlebihan jika aku mengatakan dari nol karena pelajaran agama Islam yang pernah kudapatkan selama ini, termasuk di sekolah dulu hanya sebatas transfer ilmu sama dengan pelajaran lainnya. Belum ada pengamalannya. Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti ajaran Islam yang sesungguhnya. Hari-hariku, kuisi dengan terus mengikuti kajian-kajian keislaman. Lulus SMA, aku melanjutkan pendidikan di xxx dan aktif di kerohanian Islam kampus. Kesibukan perkuliahan dan aktivitas keislaman membuat bayang-bayang mantan pacarku perlahan hilang. Terlebih setelah aku mengikuti pengajian Ustadz Hakim di kampus. ”Pacaran hukumnya haram,” katanya tegas. ”Letak keharamannya ada pada aktifitasnya. Jalan berduaan, pegangan tangan, bahkan lebih dari itu,maaf berciuman, berpelukan bahkan melakukan hubungan suami istri.”
Penjelasan Ustadz Hakim membuatku kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, aku pernah pacaran dan pernah melakukan sebagian yang dikatakannya meskipun tidak sampai jatuh ke dalam aktivitas yang sangat intim. ”Pacaran juga dapat mengantarkan seseorang pada syirik. Bayangkan kalau shalat yang seharusnya ingat Allah, eh malah ingar pacarnya. Pacaran juga dapat mengantarkan pada perbuatan dosa lain, misalnya suka berbohong pada orang tua. Minta uang dengan alasan untuk bayaran sekolah padahal untuk kencan,” jelas Ustadz Hakim. Aku tidak pernah tahu kalau selama ini aktivitas dalam pacaran adalah perbuatan dosa dimata agama. Sejak SD hingga SMA bahkan sampai sekarang di perguruan Tinggi tidak satupun guru atau dosen agama yang menyatakan bahwa pacaran menggiring kita dalam perbuatan dosa. Hari itu aku dapat pelajaran berharga. Aku semakin semangat belajar Islam, banyak dosa yang kulakukan tanpa sadar ketidaktahuan dan kemiskinan ilmu. Kututup kenangan masa lalu dengan mantan pacarku lalu mencoba melupakan segalanya. Kubuka peta hidup yang baru yang harus kutempuh menuju jalan Allah. Jalan itu adalah jalan dakwah. Aku menceburkan diri lebih dalam, tidak setengah-setengah lagi. Kuhapus kata pacar dalam kamus hidupku. Tidak ada lagi telepon, jadwal kencan, hura-hura, nongkrong di depan rumah sambil main gitar dan sesekali menggoda cewek yang lewat. Di tengah kesibukanku sebagai aktifis dakwah kampus, tiba-tiba aku dikagetkan oleh perilaku teman kuliah yang sama-sama sebagai pengurus BEM. Saat kelas kosong dia datang dan berterus terang padaku. Katanya selama ini dia simpati padaku dan dia ingin jadi pacarku. Aku kaget bukan main. Bukan karena aku ke-gr-an atau senang mendengarnya. Aku heran, apakah dia tidak salah orang. Aktifitasku di mushala, penampilanku yang khas, tidak menggambarkan sikapku terhadap pacaran? Di saat mahasiswi banyak memberiku label ustad kampus karena tidak mau berjabat tangan dengan nonmuhrim, menjaga pergaulan dengan perempuan, eh malah dia mau jadi pacarku. Dia memang cantik, sangat cantik malah. Kalau menuruti hawa nafsu, aku mau jadi pacarnya. Namun aku teringat penjelasan Ustad Hakim. Kusampaikan
saja apa yang kuketahui tentang pacaran dengan mengutip ceramah Ustadz Hakim. Akhirnya, ia minta maaf padaku. Sebenarnya dia bukan gadis pertama mengatakan rasa suka sejak aku berstatus mahasiswa. Beberapa gadis juga pernah mengirim sms, surat, ada juga yang menyampaikan maksudnya melalui perantara. Bahkan pernah ada yang mengirim parsel ke sekretariat BEM di hari ulang tahunku. Kupikir itu untuk pengurus yang lain namun setelah aku buka dan kubaca suratnya. ”Buat Kanda A. Asis Aji Semoga panjang umur dan Enteng Jodoh” Dari Yang mengharapkanmu. 081342556xxx Ya hanya nomor handphone sebagai tanda pengirim bukan nama. Hanya sekali kukirim sms ke nomor tersebut. ”Gantungkanlah harapanmu pada Allah, jangan pernah berharap pada manusia sebab engkau akan kecewa. Jika aku yang kau harapkan, mintalah pada Allah sebab hanya Allah yang berhak memberimu diri ini. Jika Allah memberimu aku ikhlas untuk dirimu” Sms kukirim tanpa mengharapkan balasannya. Dan memang tidak pernah ada balasan smsnya untukku. Aku tidak pernah tahu siapa yang mengirim parsel tersebut. Meskipun begitu, aku hanya lelaki biasa. Rasa kagum yang berlebihan pada kecantikan seorang gadis terkadang sulit kukendalikan, hingga mata ini terkadang memandang yang bukan haknya. Batinku sering bertengkar antara idealisme dan hawa nafsu. Benar kata Imam Malik: iman itu ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang. Hal itulah yang sempat kurasakan. Saat iman berkurang, keinginan untuk kembali memiliki kekasih begitu kuat. Terlebih di kampus, mahasiswi dengan pakaian
serba ketat seakan menantang mata ini. Pergaulan yang cukup
longgar antara laki-laki dan perempuan kutemukan setiap hari. Pernah saat aku masih menjabat ketua BEM, aku membuat aturan terkait pakaian: mahasiswa
tidak diperkenankan memakai pakaian ketat, kerudung minimal menutup tiga kancing baju. Mahasiswi harus memakai rok. Jika melanggar akan dikenakan sangksi. Peraturan ini sempat berjalan, sayangnya kampus tidak melanjutkan peraturan tersebut setelah masa kepengurusanku berakhir. *** Lima tahun terjun di dunia dakwah membuatku semakin memahami Islam. Bukan hanya ibadah ritual dalam rukun Islam, namun juga pada persoalan muamalah, dan hukum yang diatur oleh agama Seperti hubungan antar manusia di mana ada batasan jelas interaksi antara laki-laki dan perempuan. Ternyata Islam hanya menghalalkan hubungan dengan lawan jenis yang intim hanya melalui pernikahan, bahkan interaksi pasangan suami-istri bernilai ibadah! Luar biasa indahnya Islam. Aku teringat masa-masa sekolahku dulu, saat aku masih pacaran. Teringat doaku saat akan putus dengan pacarku. Betapa bodohnya doaku saat itu. Aku sangat malu bila
mengingatnya. Aku berdoa pada Allah agar dia meridhoi
kemaksiatan yang kulakukan. Doa yang tak sepantasnya aku panjatkan. ”Aku manusia bodoh!” Aku tak tahu gelar apalagi yang lebih pantas bila mengingat peristiwa itu. Padahal dia bukan siapa-siapa. Tak ada hak untukku berdoa seperti itu. ”Ya Allah, semoga aku tidak lagi berdoa sebodoh itu. Ampunilah dosa kami karena kebodohan kami. Bukakanlah pintu hatiku, mudahkanlah pemahamanku menerima ilmu yang engkau beriakan kepada kami, dan mudahkanlah jalanku menggapai ridhoMu. Jangan biarkan kami terjerumus dalam lembah dosa dan kehinaan setelah Engkau beri kami petunjuk. Ya Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, tuntunlah kami dalam mengimani dan menjalankan syariatMu. Jadikanlah kami pemimpin yang amanah pada diri kami, pemimpin yang adil p[ada istri dan anak kami.” ”Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman( yaitu). ”Berimanlah kepada Tuhanmu , maka kamipun beriman beriman, Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah bagi k ami kesalahan-kesalah kami, dan wafatkanlah kamibeserta orang-orang
yang berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantasraan RasulMu. Janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran; 193194) Sepertinya aku tidak ingin berhenti berdoa pada Allah. Terlalu nikmat mengadu pada-Nya. Terlalu indah berkomunikasi dengan-Nya disaat orang-orang tidur terlelap disaat Dia turun ke langit untuk mengabulkan doa yang meminta kepada-Nya. Inilah doa yang kuharapakan Allah mengabulkannya. Doa yang kurajut bersama istri yang kunikahi tanpa tanpa pacaran.