Organisasi diberbagai bidang, selalu memiliki seorang pemimpin yang akan mengatur bagaimana organisasi tersebut berjalan.
Organisasi-organisasi
yang mampu terus berkembang tidak terlepas dari peran seorang pemimpin dengan karakteristik yang kuat di dalam dirinya. Kebijakan-kebijakan organisasi banyak ditentukan oleh seorang pemimpin. Baik-buruknya sebuah organisasi terkadang dipandang sebagai peran sentral dari pemimpin didalamnya. Peran seorang pemimpin sangat menentukan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup sebuah perusahaan (Ancok, 2012). Posisi pimpinan organisasi akan mengalami pergantian jika dianggap tidak atau kurang memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan. Disisi yang lain, jika dianggap memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan maka posisi pimpinan akan tetap dipertahankan pada satu sosok yang memberikan dampak positif tersebut. Indikasi tersebut banyak ditunjukkan oleh organisasi-organisasi di dunia maupun di Indonesia. Salah satunya pada perusahaan jasa internet dunia, yaitu Yahoo. Yahoo yang pernah menjadi perusahaan jasa internet terbesar di dunia juga mengalami pergantian pimpinan puncak selama lima kali dalam kurun waktu 3 tahun dari 2009 – 2012. Kinerja Yahoo beberapa tahun terakhir terus turun sehingga pucuk pimpinan perusahaan berkali-kali diganti (Firmansyah, 2012). Hal tersebut dilakukan Yahoo untuk meningkatkan kinerja dari perusahaan yang saat itu tertinggal dari perusahaan jasa internet lainnya, seperti Google, Facebook, dan Twitter (Yusuf, 2012; Arjanti, 2013). Skala nasional di Indonesia, contoh yang menunjukkan sebuah organisasi yang pimpinan puncaknya dipertahankan karena memberikan dampak positif
yaitu PT. KAI (Persero). Masa jabatan direktur utama PT. KAI (Persero) telah diperpanjang untuk periode kedua oleh Menteri BUMN. Perpanjangan masa jabatan tersebut tidak terlepas dari prestasi Ignasius Jonan sebagai direktur utama dalam mengelola PT. KAI (Persero). Jonan identik dengan proses transformasi di PT. KAI (Persero), yang sudah membawa perusahaan yang awalnya merugi menjadi menguntungkan (Putri, 2014). Yahoo yang merupakan contoh organisasi yang melakukan beberapa pergantian pimpinan puncak dan PT. KAI (Persero) yang merupakan contoh yang mempertahankan pimpinan puncaknya, menjadi sebuah indikasi bahwa kepemimpinan memegang peran yang penting dalam sebuah organisasi. Banyak ilmuwan dan praktisi perilaku percaya bahwa kepemimpinan adalah fenomena nyata yang penting bagi efektivitas organisasi (Yukl, 2013). Ada banyak ahli yang mendefinisikan konsep dari kepemimpinan berdasarkan perspektif mereka masing-masing. Moxley (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan biasanya dipahami sebagai seorang individu yang memberi. Mereka memberikan visi yang menarik. Mereka menetapkan arah dan menentukan strategi. Mereka memotivasi dan menginspirasi. Yukl (2013) menyatakan bahwa kebanyakan definisi kepemimpinan mencerminkan asumsi yang melibatkan suatu proses di mana pengaruh yang disengaja yang diberikan atas orang lain untuk membimbing, menyusun, dan memfasilitasi kegiatan dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. Lebih lanjut diungkapkan oleh Hughes, Ginnett, dan Curphy (2012) bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisasi untuk mencapai tujuan
kelompok. Definisi-definisi tersebut banyak menggambarkan hubungan satu arah bahwa pemimpin harus lebih banyak memberi, memfasilitasi dan mempengaruhi agar orang-orang dibawahnya bekerja sesuai yang diharapkan. Daft (2014) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi antara pemimpin dan bawahan dimana adanya keinginan untuk berubah secara nyata dan hasil dari perubahan tersebut mencerminkan tujuan bersama mereka. Definisi tersebut menunjukkan bahwa adanya saling ketergantungan antara pemimpin dengan bawahan yang bekerjasama dalam mencapai tujuan. Tidak ada seorang pemimpin yang sukses tanpa peran bawahan, begitupun sebaliknya. Pemimpin bukan hanya orang yang menempati posisi puncak dari sebuah organisasi, tetapi mulai dari orang yang memimpin kelompok kerja operasional di lini paling bawah di dalam struktur organisasi. Para pemimpin tersebut sudah pasti memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Salah satu kesamaan dari para pemimpin tersebut adalah berusaha untuk mendorong para karyawan dalam menampilkan potensi maksimalnya dalam bekerja demi tercapainya tujuan bersama. Bass (dalam Yukl, 2013) menyatakan bahwa satu indikator yang sangat relevan dari efektivitas kepemimpinan adalah sejauh mana kinerja tim atau organisasi dapat ditingkatkan dan memfasilitasi pencapaian tujuan tim atau organisasi tersebut. Sejauh ini kepemimpinan menjadi sebuah konsep yang umum yang terusmenerus berkembang seiring berjalannya waktu dengan jenis yang cukup beragam. Jenis kepemimpinan banyak dipengaruhi oleh fokus dan gaya
kepemimpinan itu sendiri. Salah satu gaya kepemimpinan yang ada saat ini adalah servant leadership (kepemimpinan yang melayani) yang menjadikan fokus pelayanan kepada karyawan merupakan hal yang utama. Kepemimpinan yang melayani membuat perbedaan terhadap konsep-konsep kepemimpinan lainnya yang lebih bersifat konservatif yang menempatkan kepentingan pemimpin sebagai kepentingan utama yang harus dilayani. Ada pergeseran makna dimana karyawan merupakan aspek terpenting yang harus terpenuhi kebutuhannya, fokusnya adalah karyawan yang ada dibawahnya. Pemimpin yang melayani lebih fokus pada orang-orang yang menjadi pengikutnya (Stone, Russell, & Patterson, 2004), menempatkan kepentingan pengikut di atas kepentingan diri sendiri dan menekankan perkembangan pengikut (Hale & Fields, 2007). Greenleaf pada tahun 1970 yang pada awalnya mencetuskan istilah servant leadership sebagai filosofi dalam proses kepemimpinan. Servant dan leader merupakan dua kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi berusaha disatukan agar menghasilkan makna yang mendalam. Penyatuan dua kata tersebut menghasilkan sebuah paradoks yang terlihat berlawanan tetapi pada kenyataannya mengandung kebenaran. Greenleaf (2002) sendiri mendefinisikan kepemimpinan yang melayani sebagai perasaan yang alami dari seseorang untuk melayani, lalu dengan pilihan sadar bercita-cita untuk memimpin. Hal tersebut menggambarkan kepemimpinan yang melayani sebagai gabungan antara kebutuhan seseorang untuk melayani dengan motivasi untuk memimpin orang lain. Spears (2004) juga mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang melayani menekankan peningkatan pelayanan
kepada
orang
lain,
pendekatan
menyeluruh
untuk
bekerja,
mempromosikan perasaan di dalam komunitas, dan membagi kekuasaan dalam mengambil keputusan. Definisi kepemimpinan yang melayani sebagai suatu teori terus berusaha dikembangkan sejalan semakin banyaknya penelitian-penelitian yang dilakukan. Salah satunya oleh Laub (1999) yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang melayani mempromosikan nilai dan mengembangkan sumber daya manusia, membangun
komunitas,
mempraktikkan
keaslian,
yang
memberikan
kepemimpinan untuk kebaikan orang-orang yang dipimpin dan berbagi kekuasaan dan status untuk kebaikan bersama dari setiap individu, organisasi secara total dan mereka yang dilayani oleh organisasi. Model kepemimpinan yang melayani yang dihasilkan oleh Sendjaya, Sarros dan Santora (2008) ditandai dengan orientasi pada pelayanan, pandangan holistik, dan penekanan pada moral spiritual. Selain itu, Dierendonck (2011) juga mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang melayani ditunjukkan dengan memberdayakan dan mengembangkan orang-orang; dengan mengungkapkan kerendahan hati, keaslian, penerimaan interpersonal, dan pelayanan; dengan memberikan arah. Pendapat-pendapat
yang
dikemukakan
oleh
para
ahli
tersebut
menunjukkan bahwa kepemimpinan yang melayani dijelaskan secara beragam dan tidak adanya kesepakatan akan definisinya. Pendapat Spears (2004) memiliki perbedaan dengan pendapat para tokoh yang lain dengan menekankan perasaan sebagai salah satu hal yang harus dibangun dengan orang lain. Pendapat Laub (1999) sendiri memiliki perbedaan dari sisi perilaku autentik seorang pemimpin, bahwa kepemimpinan yang melayani harus menunjukkan perilaku yang apa
adanya sesuai dengan dirinya sendiri. Sendjaya, Sarros dan Santora (2008) menyebutkan perilaku yang berbeda dari kepemimpinan yang melayani yaitu kepemimpinan yang melayani harus menekankan aspek moral spiritual. Para peneliti belum mampu mencapai konsensus tentang definisi umum atau kerangka kerja teoritis untuk kepemimpinan yang melayani (Andersen, 2009; Dierendonck, 2011; Parris & Peachey, 2012). Northouse (2013) menekankan bahwa kepemimpinan yang melayani tetap merupakan suatu kumpulan karakteristik dan prinsip normatif yang didefinisikan secara bebas. Sejauh itu, kepemimpinan yang melayani telah diterima sebagai pendekatan kepemimpinan, tetapi bukan sebagai suatu teori yang memiliki nilai heuristic dan praktis yang kuat. Belum adanya kesepakatan akan definisi tersebut tidak membuat kepemimpinan yang melayani diartikan dengan makna yang berbeda-beda. Kepemimpinan yang melayani diartikan oleh para peneliti dengan prinsip yang sama. Prinsip tersebut adalah bahwa kepemimpinan yang melayani didasarkan pada tanggung jawab untuk melayani bawahan atau pengikut, dengan menempatkan kepentingan bawahan diatas kepentingan pemimpin. Seorang pemimpin yang servant juga lebih menekankan pendekatan persuasif, dari pada pendekatan kekuasaan dalam mengambil sebuah keputusan. Tidak ada paksaan terhadap karyawan dalam menerima dan melakukan sesuatu, yang ada hanya membujuk dan meyakinkan mereka. Prinsip yang paling penting dari kepemimpinan yang melayani oleh Greenleaf adalah "primus inter pares" (yaitu pertama di antara yang sederajat), yang tidak menggunakan kekuasaannya
untuk mendapatkan sesuatu yang dilakukan untuk organisasi, tetapi mencoba untuk membujuk dan meyakinkan karyawan (Rachmawati & Lantu, 2014). Seorang pemimpin yang dapat disebut sebagai servant harus memiliki berbagai karakteristik. Spears (2010) mendaftar sepuluh karakteristik seorang pemimpin yang melayani yang disimpulkan dari tulisan-tulisan Greenleaf. Karakteristik yang sudah diidentifikasi oleh Spears merupakan konsep pertama dari kepemimpinan yang melayani dan belum menunjukkan dasar teori yang kuat, tetapi disisi lain karakteristik tersebut yang menjadi inti dari pengembangan kepemimpinan yang melayani. Karakteristik yang sudah diidentifikasi oleh Spears (2010), yaitu: mendengarkan,
empati,
penyembuhan,
kesadaran,
persuasi
(membujuk),
konseptualisasi, foresight, pelayanan, komitmen terhadap pertumbuhan orang, dan membangun komunitas. Seiring berjalannya waktu, para peneliti sudah mulai menganalisis konsep dasar dari kepemimpinan yang melayani sebagai upaya untuk membangun teori yang kuat. Salah satunya adalah Russell dan Stone (2002) yang mengembangkan model praktis dari kepemimpinan yang melayani dengan 20 karakteristik, yang terdiri dari 9 karakteristik fungsional (perilaku unik yang teramati di tempat kerja), dan 11 karakteristik tambahan yang meningkatkan perilakunya. Patterson (2003) juga menciptakan model berbasis nilai yang menggambarkan ciri dan bentuk perilaku dari pemimpin yang melayani. Penelitian yang dilakukan oleh Liden, Wayne, Zhao, dan Henderson (2008) menghasilkan tujuh karakteristik unik kepemimpinan yang melayani yang berbeda dengan karakteristik kepemimpinan lainnya. Penelitian tersebut
menggunakan analisis faktor untuk melakukan eksplorasi dan konfirmasi. Tujuh karakteristik kepemimpinan yang melayani tersebut, yaitu memberdayakan, membantu pengikut tumbuh dan sukses, mengutamakan pengikut, memulihkan emosi, kemampuan konseptual, menciptakan nilai bagi komunitas, dan berperilaku secara etis. Northouse (2013) mengungkapkan bahwa dimensi jamak dari karakteristik yang dihasilkan oleh Liden, dkk. (2008) menggambarkan bahwa karakteristik tersebut berbeda secara unik dari kepemimpinan yang lain. Penelitian lain juga telah cukup banyak
yang berusaha mengidentifikasi
karakteristik dari
kepemimpinan yang melayani. Tabel 1 memberikan kesimpulan tentang sejumlah penelitian tersebut.
Tabel 1. Karakteristik-karakteristik kepemimpinan yang melayani Laub (1999)
Dennis & Bocarnea (2005)
Barbuto & Wheeler (2006)
Menghargai orang-orang
Agapao love Kerendahan hati
Panggilan altruistik Melayani organisasi
Mengembangkan orang-orang Kepemimpinan bersama Menampilkan kebenaran Membangun komunitas
Pemberdayaan
Kepercayaan
Visi
Rendah hati & tidak egois
Melayani & mengembangkan orang lain
Liden, Wayne, Zhao, & Henderson (2008)
Sendjaya, Sarros, & Santora (2008)
Spears (2010)
Dierendonck & Nuijten (2011)
Mengutamakan Subordinasi Pelayanan pengikut sukarela Penyembuhan Memulihkan emosi Moralitas yang Membangun Menciptakan nilai bertanggung komunitas untuk masyarakat jawab
Pelayanan Mendukung
Memberdayakan Pengaruh Membantu pengikut yang tumbuh dan sukses mengubah
Pemberdayaan
Menyembu Mencontohkan hkan emosi integritas & ketulusan
Pemetaan persuasif Bijaksana
Menyediakan kepemimpinan
Wong & Davey (2007)
Komitmen pertumbuhan
Diri yang tulus Mendengarkan Hubungan Empati dengan perjanjian Spiritualitas transendental Persuasi
Berkonsultasi & melibatkan orang lain Menginspirasi & mempengaruhi orang lain Kemampuan konseptual Berperilaku secara etis
Kesadaran Konseptualisasi Foresight
Ketulusan Memaafkan
Kerendahan hati
Keberanian Akuntabilitas
Karakteristik kepemimpinan yang melayani dari sudut pandang pengikut atau karyawan juga dipersepsikan secara cukup jelas. Washington, Sutton dan Feild (2006) menemukan bahwa pengikut yang merasakan pemimpinnya lebih menghargai empati, integritas, kompetensi, dan yang menyatakan dirinya sendiri sebagai pemimpin yang menyenangkan, akan dipersepsikan oleh pengikutnya menunjukkan perilaku yang lebih servant leadership dari pada pemimpin yang tidak. Pendapat berbagai tokoh tersebut juga menunjukkan dengan jelas bahwa sampai saat ini belum ada model karakteristik yang khusus menggambarkan kepemimpinan yang melayani. Karakteristik dari berbagai tokoh dan hasil penelitian menunjukkan belum adanya kesepakatan antara peneliti tentang karakteristik khusus yang mendefinisikan kepemimpinan yang melayani (Northouse, 2013). Pengaruh dari kepemimpinan yang melayani memberikan berbagai dampak positif terhadap organisasi. Salah satunya adalah bahwa kepemimpinan yang melayani dapat meningkatkan kepercayaan karyawan terhadap pemimpinnya (Chan & Mak, 2014; Sendjaya & Pekerti, 2010) dan kepercayaan organisasional (Joseph & Winston, 2005) sehingga akan meningkatkan juga komitmen karyawan terhadap organisasi (Goh & Low, 2014). Pengaruh kepemimpinan yang melayani terhadap komitmen organisasi secara langsung juga menunjukkan arah yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Putra (2012) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan yang melayani memiliki pengaruh yang signifikan dan searah terhadap komitmen organisasi pada karyawan. Kool dan Dierendonck (2012) juga menemukan bahwa kepemimpinan yang melayani
berhubungan tidak hanya dengan komitmen organisasi pada umumnya, tetapi juga komitmen untuk berubah. Kepemimpinan yang melayani juga memiliki dampak positif terhadap kepuasan kerja dari karyawan yang ada di dalam organisasi (Laub, 1999; Chan & Mak, 2014). Dampak positif dari kepemimpinan yang melayani bukan hanya kepada karyawan dibawahnya, tetapi juga bagi pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Samiyanto (2011) yang menyebutkan bahwa perilaku kepemimpinan yang melayani memberikan pengaruh nyata terhadap kinerja manajer. Tingginya perilaku kepemimpinan yang melayani akan meningkatkan kinerja dari manajer itu sendiri. Banutu-Gomez (2004) menyatakan bahwa dalam semua budaya, pemimpin besar muncul pertama sekali sebagai seorang yang ingin melayani. Ditambah lagi, perusahaan yang dibangun di atas dasar kepemimpinan yang melayani sering ternyata menjadi sangat sukses, karena fakta bahwa orang-orang di sana dihargai karena bakat mereka, yang pada gilirannya menjadikan karyawan sangat termotivasi, metrik produksi yang dilakukan menjadi lebih baik, lebih sedikit absen karena sakit, dan keuntungan yang lebih tinggi (Trompenaars & Voerman, 2010). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan yang melayani berkaitan erat dengan pemberdayaan karyawan, dengan berbagi kekuasaan dan mengembangkan para karyawan. Para pemimpin yang melayani akan menggunakan posisi dan kekuatan mereka untuk memberdayakan orangorang yang mereka pimpin dan mereka akan bekerja bersama orang-orang
tersebut sebagai rekan kerja, sebagai komunitas (Laub, 1999). Rachmawati dan Lantu (2014) juga menekankan bahwa perkembangan organisasi melalui gaya kepemimpinan yang melayani hanya dampak dari tujuan, tujuan akhir adalah pertumbuhan dan kematangan pengikut. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rahmani (2011), yang menyebutkan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak berpengaruh terhadap makna pekerjaan dan komitmen organisasi. Hasil penelitian yang kurang menunjukkan arah yang positif tersebut dipengaruhi oleh aspek yang digunakan dalam penelitian Rahmani (2011) yang mengacu pada lima aspek kepemimpinan melayani dari Barbuto dan Wheeler. Aspek-aspek kepemimpinan yang melayani yaitu panggilan altruistik, menyembuhkan emosi, pemetaan persuasif, melayani organisasi, dan bijaksana (Barbuto & Wheeler, 2006). Pengurangan aspek kepemimpinan yang melayani dari sepuluh aspek dari Greenleaf menjadi lima aspek dari Barbuto dan Wheeler, termasuk hilangnya aspek konseptual dan melihat kedepan, barangkali berpengaruh pada hilangnya daya prediksi konsep kepemimpinan yang melayani terhadap komitmen organisasi (Rahmani, 2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Paramita (2012) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang melayani dan kualitas kehidupan kerja secara bersamasama dapat menjadi prediktor dari perilaku kewargaan organisasi. Saat dianalisis secara terpisah, gaya kepemimpinan yang melayani bukanlah prediktor yang tepat dari perilaku kewargaan organisasi.
Para peneliti juga sudah berusaha mengidentifikasi perbedaan antara kepemimpinan yang melayani dengan gaya kepemimpinan yang lainnya, seperti dengan kepemimpinan transformasional. Stone, Russell, dan Patterson (2004) menyebutkan bahwa perbedaan utama antara kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan yang melayani adalah fokus dari pemimpin. Pemimpin transformasional cenderung lebih fokus pada tujuan organisasi (Stone, Russell, & Patterson, 2004), yang menginspirasi pengikut dengan sebuah visi (Duff, 2013). Sementara pemimpin yang melayani lebih fokus pada orang-orang yang menjadi pengikutnya (Stone, Russell, & Patterson, 2004), dengan memberikan umpan balik untuk tujuan pengembangan yang positif pada karyawan (Duff, 2013). Fokus pemimpin transformasional diarahkan kepada organisasi, dan tingkah lakunya untuk membangun komitmen pengikut terhadap tujuan organisasi, sedangkan fokus pemimpin yang melayani adalah pada pengikut, dan pencapaian tujuan organisasi adalah hasil dari bawahan atau pengikutnya. Praktik kepemimpinan yang melayani telah berlaku secara umum di berbagai negara bahkan di Indonesia walaupun dengan budaya yang berbeda. Hasil penelitian cross cultures yang dilakukan oleh Pekerti dan Sendjaya (2010) menemukan bahwa kepemimpinan yang melayani telah dipraktikkan di Australia dan Indonesia. Lebih lanjut diungkapkan oleh Pekerti dan Sendjaya (2010) bahwa kepemimpinan yang melayani di Indonesia menunjukkan perilaku yang memiliki tanggung jawab secara moral dan transforming influence. Pemimpin yang melayani di Indonesia lebih menekankan perilaku secara etis saat berhadapan dengan orang lain. Tidak menyalahgunakan kekuasaannya, walaupun
pemimpin di Indonesia lebih mungkin menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi orang lain. Penggunaan kekuasaan dalam mempengaruhi orang lain pada dasarnya kurang sejalan dengan prinsip kepemimpinan yang melayani. Pemimpin yang melayani berusaha mempengaruhi orang lain dengan cara membangun hubungan kepercayaan diantara mereka (Beck, 2014). Penerapannya juga dapat dilakukan di hampir semua jenis organisasi dan berbagai ruang lingkup atau tingkatan di dalam struktur organisasi. Mulai dari organisasi pendidikan seperti perguruan tinggi (Handoyo, 2010) sampai organisasi bisnis seperti koperasi (Harwiki, 2013). Mulai dari level tertinggi pada posisi pimpinan puncak sampai dengan level terendah di dalam kelompok atau tim kerja. Kepemimpinan yang melayani dapat diterapkan di segala tingkatan manajemen dan dalam segala jenis organisasi (Northouse, 2013), dan mungkin merupakan pendekatan kepemimpinan yang paling efektif secara keseluruhan untuk mendukung pembinaan manajemen kinerja untuk tim (Duff, 2013). Kepemimpinan yang melayani mengubah hirarki piramida tradisional yang menempatkan kebutuhan pemimpin sebagai yang utama, menjadi piramida terbalik yang menempatkan kebutuhan anggota dan pelanggan adalah yang utama. Piramida terbalik mengubah sudut pandang tentang pemimpin dengan menjadikannya bagian dari sebuah tim, mengubah kepemimpinan dari tanggung jawab pribadi menjadi tanggung jawab bersama, yang menimbulkan hubungan yang lebih baik antara organisasi dan pelanggan (Trompenaars & Voerman, 2010). Hirarki piramida terbalik menggambarkan bahwa pelanggan menduduki
posisi tertinggi, sehingga menjadi tanggung jawab bersama dari pemimpin dan para karyawan. Hirarki piramida terbalik juga merupakan konsep yang dimiliki oleh organisasi yang berorientasi pada pelayanan. Organisasi yang berorientasi pada pelayanan merupakan cakupan organisasi secara luas dari sekumpulan dasar kebijakan, praktek dan prosedur organisasi yang relatif abadi yang dimaksudkan untuk mendukung dan menghargai perilaku memberikan pelayanan agar menciptakan dan menghasilkan layanan yang unggul (Lytle, Hom, & Mokwa, 1998). Perilaku memberikan pelayanan kepada orang lain di dalam organisasi di dukung dengan adanya kebijakan atau prosedur yang sudah ditetapkan di dalam organisasi tersebut. Winardi (2007) menyebutkan bahwa organisasi berorientasi pada pelayanan, yaitu organisasi yang berupaya memberikan pelayanan yang profesional kepada anggotanya maupun pada kliennya. Organisasi dapat dikatakan memiliki orientasi pada pelayanan jika memiliki produk dengan karakteristik berikut: (1) Intangibility artinya bahwa sifat pelayanan tidak dapat dilihat, dirasakan, didengar, atau dicium dan dicoba sebelum dibayar; (2) Inseperability artinya pelayanan tidak dapat dipisahkan dari produsennya atau sumbernya. Pelayanan diproduksi bersamaan dengan saat dikonsumsinya; (3) Variability artinya kualitas hasil akhir dari produk pelayanan sangat sulit distandarisasi, sehingga dalam pelaksanaannya pelayanan sangat variatif. Unit hasil akhir yang satu berbeda dengan unit hasil akhir yang lain dari produk yang sama, tergantung proses produksinya, personil, waktu, dan tempat jasa tersebut disajikan (Lovelock & Wright, 2002); (4) Perishability artinya jasa
pelayanan tidak dapat disimpan, karena waktu proses dan konsumsi jasa pelayanan tidak dapat dipisahkan (Kotler, 2000). Bussiness
dictionary
(2015)
menerjemahkan
secara
jelas
bahwa
perusahaan jasa pelayanan merupakan sebuah perusahaan komersial yang menyediakan pekerjaan yang dilakukan secara ahli oleh seorang individu atau tim untuk kepentingan pelanggan. Lebih lanjut diungkapkan perusahaan jasa pelayanan menyediakan produk yang intangible, seperti akuntan, perbankan, konsultan, kebersihan, pendidikan, asuransi, perawatan, dan jasa transportasi. Standard Industrial Classification (SIC) (2015) yang merupakan badan milik pemerintah Amerika Serikat juga memberikan beberapa klasifikasi kategori industri, yang salah satunya adalah industri jasa (pelayanan) dengan beberapa sektor yaitu perbankan, perhotelan, maupun jasa konsultan. Berdasarkan hal tersebut, maka organisasi pelayanan adalah organisasi yang bergerak dibidang jasa (pelayanan) dengan menyediakan produk yang intangible dan mengutamakan kepuasan pelanggan. Organisasi pelayanan dan kepemimpinan yang melayani juga memiliki hubungan yang erat. Organisasi pelayanan berusaha memberikan pelayanan kepada anggotanya, sama dengan prinsip kepemimpinan yang melayani. Pelanggan merupakan fokus tertinggi baik dari kepemimpinan yang melayani maupun dari konteks organisasi pelayanan, berdasarkan hirarki piramida terbalik. Selain itu, ada sepuluh dimensi dari orientasi pelayanan yang salah satunya adalah kepemimpinan yang melayani dan pemberdayaan karyawan. Lytle, Hom, dan Mokwa (1998) menyebutkan ada sepuluh dimensi orientasi pelayanan, yaitu
service vision, servant leadership, customer treatment, employee empowerment, service rewards, service training, service technology, service failure prevention, service failure recovery, dan service standards communication. Greenleaf (2002) juga pernah mengungkapkan gagasan tentang istilah institusi sebagai pelayan, tetapi belum banyak penelitian yang berusaha menerjemahkannya. James A. Laub adalah salah satu peneliti yang sudah berusaha mengungkap hal tersebut. Laub (1999) mengungkapkan bahwa organisasi yang melayani didefinisikan sebagai sebuah organisasi dimana karakteristik dari kepemimpinan yang melayani ditampilkan melalui budaya organisasi yang dinilai dan dipraktekkan di dalam kepemimpinan dan tenaga kerjanya. Berdasarkan hal tersebut, organisasi pelayanan menjadi konteks organisasi yang paling erat kaitannya dengan kepemimpinan yang melayani. Organisasi pelayanan pasti secara sengaja ataupun tidak, memiliki pemimpin yang juga melayani, sehingga akan sangat sesuai jika melihat kepemimpinan yang melayani dari konteks organisasi pelayanan dan bukan dari konteks organisasi lainnya. Penelitian ini didasarkan pada ketertarikan peneliti terhadap hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, mengenai belum adanya konsensus
dalam
membangun
kepemimpinan yang melayani.
kerangka
teoritis
dan
karakteristik
dari
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan perilaku kepemimpinan yang melayani di organisasi pelayanan. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan yang ingin di jawab dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk-bentuk perilaku kepemimpinan yang melayani di organisasi pelayanan?
Implikasi Penelitian Implikasi teoritis dari pelaksanaan penelitian ini adalah memberikan sumbangan
pada
ilmu
Psikologi,
khususnya
teori
kepemimpinan
bagi
perkembangan Psikologi Industri Organisasi, dan manajemen sumber daya manusia. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan masukan praktis dalam penerapan gaya kepemimpinan, khususnya kepemimpinan yang melayani di dalam organisasi. Baik bagi pemimpin di organisasi itu sendiri, praktisi di bidang Psikologi Industri Organisasi, maupun bagi peneliti sendiri.