ABRI di Tengah Paradoks Sosiat Suryo Adi Pramono *)
Abstract Since the Indonesian A1111Ysuccessfirlly has increased nation-state economic and welfare level (hand in hand with technocrats and foreign capitals)} it has to face a new chaDeng~ that is "discontinuity track". Thishas been remarked by two social paradoxes: (1) global competitions that have expressed in several humanity issues (human right~ democracy, environment) in fTont of the existence of national development as political legitimation of the New Order rezim; (2) domestic phenomena: society's struggles in gaining autonomy space in front of centralization of power by the state through various instrumental ways. In this point, the A1111y has to react those challenge~ not only external (toward political, economic, judicial and cultural issues) but also intemal ways (self-regulation by scientific understanding and awareness of objectivity on humanity issues). Although facing a tricky real politic constelation}
the Army has to answer those social paradoxes creatively and appropriately, it stiD wants to get political legitimation for it's power domination. FinaDy, the main problem is how to f01111ulatethe correct answer should be done.
Padasaat"badaibelumberlalu"(baca:krisismoneterdan ekonomi)kita menyaksikansejumlahperistiwapenting di republik ini. Satu di antaranya adalah pernyataan berhenti Soeharto dari jabatan presiden yang telah diembannyasekitar 32 tahun, dan sekaligus membuka "lembaran barn" pemerintahanBJ. Habibieyang menggantikannya.
") Suryo Adi Pramono adalah star pengajar pada JUNsan Sosiologi FakuItas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan anggota Peace and Social Justice Forum di Surakarta.
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Pada peristiwapentingpagi hari tanggal21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIBdi IstanaMerdekatersebut,setelahB.J. Habibiemenerimaserahterimajabatanpresidendari Soeharto,MenhankamlPangab,JenderalWiranto membacakansikap ABRI, yang satu di antaranyaadalah mendukungBJ. HabibiesebagaipresidenRIketiga,dansekaligusmemberikan"sinyal"bahwa ABRImenganggappemerintahantersebutadalahsah, meskipunbanyakahli hukum masih berdebat tentang keabsahanpemerintahanbani itu sampai sekarang. Walaupunorang tahu, bahwa banyak petinggi ABRI tidak suka terhadappemunculanHabibiekepuncakkekuasaaneksekutif,tetapidengan pernyataan Wiranto tersebut, sebagai konsekuensi,ABRI mau tidak mau harus mem-backup pemerintahanbaru tersebut. Padaposisi sulit demikian ABRI harus menentukanperan apakah yang akan dilakukannya,terutama mengingatposisisentralyangdimilikinya,justru ketikaHabibietidakcukup banyakmendapatkanlegitimasipolitik berbagaipihak. Kemudian,berkaitandenganhal di atas: apakahyangakan dilakukan oleh ABRIselanjutnyadi era reformasiini? Pertanyaanini menjadiurgen terutamamelihatposisi sentralABRIdalammenstabilisirdan mendinamisir arus reformasiyang berhembusdi berbagaitempat. Hal itu'lebih-Iebihlagi harus segeradijawab, mengingatsejumlahpersoalanyangbertautandengan isyudemokratisasi,HAM,kemanusiaan,oranghilang,penjarahan,perkosaan, separasi wilayah, kasus 27 Juli 1996, bahkan "perpecahan internal" di kalanganTNI AngkatanDaratsendiri. KetepatanABRIdalammenuntaskan persoalan-persoalan tersebut, kendatipun tidak selalu secara langsung (mengingatkompetensiyangdimiliki),sangatmenentukancitra, kredibilitas, legitimasidansignifikansiperanhankamdansospolABRI(baca:DwiFungsi) selama ini di hadapanmasyarakatyang semakin terdidik oleh apa yang ia tahusecaralangsungberkatberbagaiperistiwasertapengetahuansecaratidak langsung melalui pemberitaanmedia massa tentang perkembanganpolitik dankenegaraankita.Dengandemikian,"manipulasi"dan "penggelapanfakta" tidak lagi dapat dengan mudah dilakukanoleh siapapundengan berbagai dalihyangdisampaikan,terutamauntukmelepaskandiridarisorotanperhatian masyarakat. Pada titik inilah, jati diri ABRIdi era reformasi menemukan ujiannya: masihkah ia secara konkret berpegangteguh pada Sapta Marga dan SumpahPrajurit. Menanggapitantangan sejarah inilah, dan terutama menyikapi era reformasi yang tengah bergulir di mana-mana,kiranya pengkajianulang peran ABRIdi republikini perlu diselenggarakan,terutamadenganmaksud 68
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
ABRI di Tengah Paradoks Soszal
Suryo Adi Pramono I Suryo Adi Pramono
olehaparatkeamanandanbirokrasisepertiyangdiungkapkansecarastatistik oleh AlexanderIrwan dan Edriana8).Instrumentasiproduk-produkhukum (antaralain "fusi partai" 1973,paketUU Politik 1985,"penelitiankhusus", "recalling", "asas tunggal", serta "massamengambang")dan pelembagaan politik9 ("kokarmendagri", "korpri", "mono-Ioyalitas", dan beragam penunggalanorganisasisosialberskalanasional)JDeskipunsecarasubstansial seringkalibertentangandenganDUD 1945namun karenadikukuhkanoleh pemegangotoritas yuridis-formaldan kekuasaannegara, maka kesemuanya itu seakan-akan merupakan aturan derivatif atas dasar penafsiran dan perumusanyangbenardariaturanperundangandi atasnya,yangberkulminasi pada Pancasiladan DUD 1945(meskipunmengenaiyang terakhir inipun, menurutMarsilamSimanjuntak10 , secarakonseptual-historismasihbersifat problematis). Dominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatanpentingpengelolaannegarake dalam"genggamantangan"nya.J. Kristiadi menunjukkanhal ini dengan mencermatiproporsi anggota ABRI dalam kabinet dan jabatan gubernurll. Anggota ABRI yang sekarang ini berkisar sekitar 300.000 personil (angka ini masih perlu dikonfirmasikan) telah menduduki: 29,629 % jabatan pada Kabinet Pembangunan I; 23, 076 % jabatan Kabinet Pembangunan D; 41,176 %jabatan Kabinet Pembangunan Ill; 9,756 %jabatan
Thlisan atas dasar data statistik kecurangan clapat dilihat lebih dalam pada: Alexander Irwan dan Edriana, Pelanggaran Pemilu 1992, Jakarta, Sinar Harapan, 1993. Konsep politik ini berasa1 dari gagasan Samuel P. Huntington, seorang profesor politik dari universitas terkenal di Amerika Serikat, yaitu Harvard University, yangterkenal kembali karena buku kontroversialnya The Clash of Civilization. Pelembagaan politik dimaksudkan sebagai saluran aspirasi politik rakyat yang diprediksikan akan semakinmenguat dan mencari saluran ke arab pembuat kebijakan setelah suatu negara berkembang berhasil meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan warganya dengan peran negara yang besar dan kuat. Agar tidak terjadi "pembusukan politik" (political decay) maka perlu dibuat pelembagaan politik sebagai insttumen demokrasi, sehingga artikulasi politik dapat dimasukkan ke dalam "ruang dialog" (meminjam istilah Jurgen Habermas, seorang pewaris dan pengembang Teori Kritis dari Jerman) untuk diproses menjadi kebijakan publik. Pada implementasinya, Orde Baru menempatkan pelembagaan politik justru berkebalikan dari gagasan Huntington tersebut, yaitu dalam artian "korporatisme negara" menurut Sclunitter, yaitu penunggalan organisasi berlingkup nasional agar mengabdi pada tujuan dan kepentingan yang secara sepihak diformulasikan oleh negara (baca: pemerintah). 10 Baca: Marsillam Simandjuntak,
Negara Integralistik,
Jakarta, Sinar Harapan,
1995.
11 Lihat J. Kristiadi, "Peranan ABRI", dalam J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, Revitalisasi Politik Indonesia, Jakarta, eSIS, 1996, halaman 103.
JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998
Sistem
71
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Suryo J\di Pramono
Kabinet Pembangunan IV; 9,523 %jabatan Kabinet Pembangunan V; 9,523 %
jabatanKabinetPembangunanVI, dandalamjumlahlebihk~cilpadaKabinet PembangunanVII. Sedangkanproporsi ABRIpadajabatan Gubernur/KDH cukupbesarterutamapadaPelitaI sampaiV: 73,076%padaPelitaI; 76,923% padaPelitaII; 59,259%padaPelitaill; 51, 851%padaPelitaIV dan44,444% padaPelitaV. Meskipuntidakmeliputisemuabidangpolitik(danekonomi), namun data tersebut paling tidak telah menunjukkan,bahwa pengelolaan pemerintahannegara kita didominasioleh peran ABRIsecara cukup besar. Bilakita cermatilebihlanjut, peranABRItersebut(baikABRIaktifmaupun purnawirawan) terlihat semakin turun secara kuantitas, meskipun secara kualitaskita masih harusjujur mengakui,bahwaperan merekamasih tetap dominan,terutamamelaluipos-posjabatan strategisyangdikuasai.Namun, menurut MacDougalJ12,distribusipara pejabat milter dalambirokrasi, paling tidakmenurut datatahun 1986,terkategorimeluasdandominan,dengan rentangpersentase12% (PekerjaanUmum)sampaidengim100% (Hankam) di dalam 17 departemen, mulai jabatan Menko, MenteTi,Menteri Muda, Sekjen, Irjen, sampaidenganDirjen.Kita belummencermatiefekpengaruh merekapada tingkat yang paling rendah, terutamadesa dan dusun, melalui aparat sipil yang berada di bawahdominasimereka,baik langsungmaupun tidak langsung. Di tengahposisi dominanyangselamaini dipegang,sejumlahmantan perwira tinggi ABRIyangberpandangankritis danjauh ke depan (misalnya A.H. Nasution13 , KemalIdris, Soemitro,danRudiniuntukmenyebutbeberapa contoh)telahmelontarkanrefleksikritis, bahwaperanABRIdi bidangsosialpolitiktelahsedemikianjauhdariyangdibayaIigkansemula,yangindikasinya sedemikianterang ketika SESKOADmengadakanpertemuanpara perwira tinggi daTigenerasi ke generasi pada pertengahandasawarsa 90-an. DaTi diskursusyangtertangkapolehpublik,agaknyasejumlahperwiratinggimiliter pun mulai menyadari bahwa dominasi itu akan berdampak negatif bagi perjalananbangsa-negaradi masa datang di hadapansemakin'menguatnya isu kemanusiaanyang di dalam domainpolitik dirumuskandengan.konsep demokratisasi, HAM dan masyarakat sipil, yang menempati posisi
12 Baca J. Kristiadi, Ibid.., halarnan 102.
I
SuryoAdi Pramono
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
berkebalikan dengan perspektif ABRI (meskipun lebih bersifat posisional daripada ideologis). Karenanya, kerusuhan sosial dan kekerasan politik terutama selama tigatahun terakhir ini seharusnya ditafsirkan sebagai imbas daTi penetrasi "semangat heroisme" (yang tidak jarang dikaitkan dengan patriotisme-militer) dalam wujudnya yang negatif ke dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dan "kanalisasi" beraneka persoalan sosial yang belum terselesaikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat di dalam konteks "himpitan" sosial-ekonomi yang semakin "menyesakkan" kehidupan sebagian tertentu masyarakat. Berdasarkan kecenderungan itu, perjalanan dominasi ABRI di masa kini dan mendatang akan berada pada "lintasan diskontinuitas" yang berbeda dari apa yang selama ini secara linier telah dilakukan dan dialami, sehingga mengharuskan adanya sikap dan pemikiran kritis serta kreatif agar bangsa tercinta ini terhindar dari ancaman disintegratif yang mungkin muncul baik daTilingkup domestik maupun global. Pada konteks ini, ABRI dituntut untuk menempatkan paradigma dan asumsi yang digunakan diletakkan di atas pemahaman akan adanya "diskontinuitas" yang telah merigabrogasi perkembangan "kontinuitas atau linier" yang sebelumnya menjadi pijakan (yang tercermin di dalam REPELIT A dan PIP).
PARADOKS SOSIAL Lintasandiskontinuitasdi atassetidaknyahadirdi dalam dUBparadoks berikut: (1) tantanganbaru berupa persainganglobalyang mewujudkandiri dalam beraneka isu kemanusiaan(HAM, demokratisasi, lingkungan dan perburuhan) di hadapan kelangsunganpembangunannasional (yang lebih bernuansaekonomistissebagaiproduk developmentalismeyangdibangundi ataskonsepstabilitasnasionalsebagaipengendalisosial-politik)yangmenjadi basis legitimasi politik Orde Barn yang didominasi oleh ABRI (dengan dukunganpara teknokrat, pengusahadomestikdan modal asing), dan (2) tantangan domestik berupa otonomi masyarakat yang muncul sebagai konsekuensilogis dari keberhasilanpembangunanselama ini di hadapan sentralisasikekuasaannegaramelaluiinstrumentasihukum,politik,ekonomi dan ideologi.
13 Menurut hemat penulis, ini dimaksudkan teNtama sebelum Pale Nas ditemui oleh B.J.Habibie, yang pada akhimya berkulminasi pada penghormatan terhadapnya sebagai Jendera1 Besar berbintang lima.
72
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998
73
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Suryo Adi Pramono I Suryo Adi Pramono
Kedua paradoks itu mengharuskan ABRI tidak lagi memb~rikan respon
atas dasar paradigmakontinuitassebagaimanayang dilakukanselama ini, sebaliknyamemaksanyauntuksecarakritis dankreatifmenemukanalternatif pendekatandankebijakanbarudi atasparadigma diskontinuitas.Karenanya, di dalam "era integrasiglobal" (meminjamistilah GeorgeSoros) sekarang ini, paradigmadiskontinuitastersebut mengharuskanABRIberpikir secara simultan pada dua tingkat: global dan domestik, yang konsekuensinyaia tidak lagi dapat mengatakanbahwa apapunyang terjadi di Indonesiaharus diatasi denganstandardnilai Indonesiasendiriyang berbedadan steril dari nila-nilai di belahan bumi lain di dalam apa yang dinamakanDemokrasi Pancasila."Relativismekultural"macamini,yangberupayamerelatifirkultur nilai universal dengan argumen bahwa terdapat struktur nilai lokal yang spesifik dan berbeda dari kultur di belahan dunia lain, kiranya tidak lagi dapat dipertahankaneksistensinya.Sebaliknya,kita harus secara sadar dan rendahhatimengakui,bahwatibalahsaatnyabagikitauntukterbukaterhadap standard nilai universal tersebut. Kehidupankita telah dilingkupi secara simultanolehkehidupandunia,sehinggaapayangterjadidi negarakita akan menjadibagianperhatiandari masyarakatduniayanglain. Kitatelahmenjadi bagian dari "desa buwana" dalam istilah Marshall MacLuhan. Dunia kita tidak lagi bersifat otonom dari pengaruhkekuatan-kekuatanlain di dunia, sebaliknya kesaling-tergantungandan saling mempengaruhitelah menjadi bagianutama kehidupanglobalsekarangini. ltulah sebabnya, pada aras domestik, keterpakuanpada pembakuan kebijakandan orientasisosial-politik-ekonomiyangberlakuselamaini akan membawaABRIke dalampalingsedikitdua krisis: "krisis legitimasi" dan "krisis otoritas" , yangpada gilirannyaakan membawapula bangsa tercinta ke dalam situasidisintegratifyangberkebalikandenganmisi dan visi ABRI yangdibakukandi dalamSaptaMargadan SumpahPrajuritsebagaiekspresi patriotismedan nasionalismeyangberpretensi"merengkuh"persatuandan kesatuanbangsa.Keduakrisis itu sebenarnyamenghadapkanarus tuntutan otonomimasyarakat yangbersentuhandanmenyatudenganisukemanusiaan global yang "bertiup kencang" dari luar negeri (baca: Barat) dengan sentralisasi kekuasaan negara dalamberbagaiaspekkehidupanmasyarakat melaluipalingtidakinstrumentasiprodukhukum,korporatisasipelembagaan politik,birokratisasi,dandominasikapitalisasiatasdasarhubungan'~patronklien" (istilah Yoshihara Kunio: "kapitalismesemu", erzats capitalism).
74
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998 I
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
NicholasN. Kittriememahamiparadokstersebutsecaracermat, yaitubahwa hal itu terjadi bukan saja pada level negara, melainkanpula pada berbagai bentukinstitusisosial lain sepertiinstitusikeagamaan,sekolah,tempatkerja, bahkankeluarga.la menggambarkanbahwaperkembanganmasyarakatakan mengarahpada tarik menarik antara otoritas pada berbagai level dengan keinginanuntukmenjauhdanterlepasdari "sekapan"otoritastersebut, yaitu otonomi, yang terjadi pada berbagai institusi sosia!. Tuntutan masyarakat Aceh dan Irian Jaya kiranya mempertegaspernyataanterakhir di atas, di sampingmasyarakatTimorTimuryangmemintalebihdaripadaitu: referendum penentuannasib sendiri. Dinamika tegangan antara otoritas dengan otonomi tersebut secara garis besar dan kronologisdapat dipaparkanberikut ini. Kian menguatnya tuntutanotonomimasyarakatyangberorientasipadatranformasiformatsistem politikyangsemakinluas memberikankesempatankepadamasyarakatuntuk berperan-sertayang pada realitanyatiada kunjungmendekatikeberhasilan, sebaliknya telah semakin menyadarkan mereka betapa lemahnya posisi, kekuatandandayatawaryangdimilikidi hadapansedemikiankokohdominasi dan hegemonipolitik ABRIdi dalam wujudpemerintahanOrde Barn. Pada titik ini, sebagaimanayangdilakukanolehKi Surantiko(KiaiSamin)melalui gerakan Saminisme di sekitar daerah Blora-Cepupada era kolonialisme Belanda, maka masyarakat telah mengubaharah tuntutan yang ditujukan pada sistempolitik formal ke arah yang semakinmenjauh,yang terekamdi dalam beraneka bentuk resistensi sosial-politikseperti "golongan putih", "boikotpemilu", "kotakkosong", "KlPP", penolakanterhadapaktorpolitik tunjukan dan pejabat pemerintah, "media alternatif', dan "mega bintang" untukmenunjukbeberapacontoh.Halsemacamini bila tidakditanganisecara arif dengan mendasarkan diri pada asumsi diskontinuitas di atas, maka pemerintahan yang didominasi oleh ABRI ini akan mengalami "krisis legitimasi dan otoritas" (sebagaimanadialami oleh DPP PDI Soerjadi)di masa mendatang, persis bersamaan dengan semakin kuatnya tekanan persainganglobal yang memintaperhatianlebih bila tidak ingin eksistensi bangsa dan negaramenjadi"goyah" karenanya. Namundi sisi lain, tuntutanmasyarakattersebutpada perkembangan berikut telah kembali mengubaharahnya menuju ke titik pusat kelemahan pemerintahterutamadi dalamkontekskrisis ekonomidenganmengobarkan isyureformasiekonomidanpolitik. Tuntutanyangterutamadisuarakanoleh JSp. Vol. I, No.3 - Maret 1998
75
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Suryo Adi Pramono I
kalanganterpelajar itu menjelmake dalamberbagaibentukunjuk rasa, baik tanpa maupundengan kekerasan,sebagaimanaterlihatjelas pada aksi-aksi demonstrasidi berbagaikampusdengankorban fisik di keduabelah pihak. Cara terakhir ini diambil terutamakarena merekamelihat, bahwa tuntutan yangdilakukandengancara "ketidak-patuhan"("menjauhikekuasaan")dan berbagaipernyataanmelaluifora akademikternyatatidakmembuahkanhasil yangdiinginkan.Makaperubahandari "gerakmenjauh"untukmendapatkan otonomimenjadi"gerakmendekatsecarakritis" melalui"radikalisasimassa" dipandangperlu oleh mereka untuk menarik perhatian masyarakatdalam dan luar negeri, baik di dalam wujud peristiwa (misalnya: demonstrasi) maupunberita. Radikalisasiberbagaiaksi yangdimotorioleh mahasiswaitu ternyata telahmemunculkantanggapanmiliterdi dalamduabentuk:(1)tawarandialog pada tingkat elit dan (2) represi fisik pada tingkat aparat militer lokal pada sejumlahdaerahtertentu. Ini ternyatamembawadampakpada keterpecahan carapandangparaaktiviske dalamduakelompoksecaraumum:(1)kelompok moderat (menerima tawaran dialog) dan (2) kelompok radikal (menolak dialog
karenamerasaitu adalahbagiandari formatpengkooptasianABRIterhadap aspirasi masyarakatyang hendak diartikulasidan diagregasikanoleh para mahasiswatersebut, di sampingpengalamankekerasan-paksayang begitu membekas di dalam diri mereka ketika melakukan serangkaian aksi demonstrasibeberapawaktusebelumnya).Padatitik inilahsebenarnyaproses disintegratif tengah secara perlahan-Iahan"menggunting" integrasi sosial yang selama ini menjadikomitmenABRImenurut perspektifsubyektifnya sendiri. Bila fenomenadi atas kita letakkanpada kontekskekinian, yaitupada saat negara tercinta sedang dilandabukan hanya krisis moneterakan tetapi juga krisis ekonomisepertikita alamisekarangini, kiranya ABRIsemakin pula dituntutuntuk melakukantindakanreformatifyang paling tepat guna memperbaikisituasi, sebagaimanayang telah ditungguoleh banyak pihak, terutama masyarakatkebanyakanyang semakin menderita tekanan inflasi harga sembilanbahan pokok ("sembako") dan masyarakatterpelajar yang menuntut reformasi (bukan revolusi!) politik dan ekonomi. Kepercayaan masyarakatakankembalitumbuhbilahat di atasdiagendakansecarasungguhsungguh dengan melibatkan semakinbanyak unsur kekuatan masyarakat, baik di dalam maupundi luar strukturpemerintahan. 76
..JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
Suryo Adi Pramono
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Olehkarenaitu, usulandialogyangpernahdisampaikanolehPanglima ABRI(yangsekarangsekaligusmenjabatMenteriPertahanandanKeamanan) Ienderal Wiranto sebelumjatuhnya Soeharto dari kursi presiden kiranya perludisambutbaikolehberbagaipihak, untukdijadikansalahsatualternatif carapenyelesaianmasalahkemasyarakatan,dan sekaligusmengabrogasipola represi yuridis dan kekerasanyang pernah lamaditerapkandi republik ini. Namuntentusaja,pertemuanitu bukanlahpertama-tamadimaksudkansebagai wahanapengkooptasianpendapatkritis di luar struktur resmipemerintahan (sebagaimanapemerintah Orde Baru telah memperlakukan"pelembagaan politik" Huntington dalam artian "korporatisme negara" Schmitter), melainkanlebih sebagaikerjasamaseluruhkakuatannasionalyangadademi perbaikan kehidupan bangsa dan negara, termasuk kemungkinanadanya .programreformasipolitik,ekonomi,danbudaya.Menuruthematsaya,pada proses inilah peran ABRI sebagai dinamisator, yang selama ini selalu diucapkan dalam berbagai peristiwa penting sebagai pasangan peran stabilisator,benar-benarakandinantikandandiujikebenarannyaolehpublik. Pernyataan Wiranto, bahwa ABRI betsikap pro-perubahan (reformasi), meskipundenganbingkai:konstitusionaldangradual,kiranyasemakinbanyak ditunggu pula realisasinya oleh masyarakat luas, yang akan semakin mengafirmasiperannyasebagaidinamisator. Namun harapan itu masih harns diletakkanpada keniampuanABRI, terutama Angkatan Darat, dalam menyelesaikanperpecahaninternal yang dihadapi:penyelesaiankasusPrabowoSubiantodkk., bahkantidak tertutup kemungkinansampai ke persidangan Mahkamah Militer dan Pengadilan Umumbagi kurban-kurbankekerasanlainbila adabukti tindakpidanayang cukup kuat. Tentu saja, penjatuhansanksi adminiatratifterhadapPrabowo, Muchdidan Chairawanbukanlahpenyelesaianakhir. Namun,bagaimanapun juga harus dimengerti,bahwa selainmemintabanyakenergi, perhatiandan biaya, kasus tersebut juga membawa ABRI pada posisi sulit: Menjaga namabaikkorpsyangberartihamstidaksepenuhnyamemberikantransparansi kepadamasyarakatyangjuga menerimadampaknegatifnya,ataukahterbuka apa adanyadengan mau menanggungstereotypetertentu yang memandang ABRIuntuk sementarawaktutidak lagi berjalandi atas reI SaptaMarga dan SumpahPrajurit, tetapi dalamjangka panjang ia akan menjadipihak yang dipercayaoleh rakyatyangtelah"melahirkannya".Hal lainadalahberkenaan dengankesulitanfinansialgunamembiayaikeseluruhanaktivitaskorps, yang
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
77
Suryo Adi pramono
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
sebelumnya di antara mereka pernah menerima "pemanjaan" fasilitas melalui tangan kelompok Prabowo, Oleh karena itu, kompleksitastersebut akan sangat menentukan peran apa yang hendak dilakonkan oleh ABRI pada saat ini dan mendatang.
penghapusan "korporatisasi" atas pelembagaan politik; jaminan kebebasan untuk memilih afiliasi politik; serta peniadaan segala perekayasaan politik baik personal, posisional, organisasional, yuridis-formal, maupun relasi
SOlUSI Al TERNATIF
Pada aras supra-struktur politik, upaya tersebut mengarah pada: pemberdayaan MPR dan DPR; otonomi dan fungsionalisasi lembaga yudikatif;pembatasandankontrolterhadapperandominatiflembagaeksekutif (melalui: legislative review, anticipatoryjudidal review, administrative
Dari sekian alternatif yang mungkindirumuskan, paling tidak hasil diskursus para eksponen Orde Baru14,baik sipil maupun militer, pernah sampai pada sebuah alternatif yang kiranya sekarangmenjadiurgen untuk dipelajari sebagai langkah alternatif dalam menghadapi tantangan diskontinuitasdi atas. Alternatifitu setelahdimodifikasisecaraumummeliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) netralitas ABRI dalam politik dan penyelenggaraanpemerintahan negara, (2) tanpa "menutup mata" akan keberadaannyasebagaikekuatanpolitik riil, ABRIdiberi sejumlahkursi di MPR (tidak di DPR) agar memperolehkesempatanberperan-sertadalam menentukanarah kebijakanpolitikumumyangdirumuskandi dalamGBHN, (3) prosesreformasipolitik(baca:demokratisasi)dilakukansesegeramungkin seiringdengandipacunyaprosespembangunanekonomidenganmemberikan peluang yang semakinluas kepadamasyarakatdalamberperan aktif dalam proses penyelenggaraanpemerintahannegara, terutamadalampengambilan keputusan,melaluilembaga-Iembaga politik,baikinframaupunsupra-struktur politik, secara bebas (tidak melalui pelembagaan politik yang telah dikorporatisasioleh negara), meskipuntetap di dalam kerangka stabilitas politik yang selama ini diperjuangkanoleh ABRI, Upaya demokratisasiyang tertera pada poin (3) di atas diterapkan pada dua aras: infra-struktur dan supra-strukturpolitik. Pada aras infrastrukturpolitik,upayatersebutkiranyadiarahkanpalingtidakpadabeberapa hal berikut: penghapusankebijakan"massa mengambang"(floatingmass); pemberiankebebasanbagi masyarakafuntuk berserikat(baik dalambentuk ormas maupun orpol); kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan menyampaikan informasi; pemberdayaan organisasi sosial dan politik;
14 Uraian
78
Suryo Adi Pramono
lengkap
lihat: Mohtar
Mas'oed,Ekonomi
dan Struktur
PaUlik, Jakarta,
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
LP3ES,
1989, halaman
138.
antar organisasi.
.
tria[15);netralitas birokrasi; serta reformasi aturan yuridis yang membelanggu peran supra-struktur politik, Bila harusjujur, reformasi kelembagaan tersebut kiranya tepat bila diawali dengan reformulasi terhadap pasal-pasal konstitusi yang memberikan kemungkinan terhadap dominasi lembaga eksekutif dalam pemerintahan dengan melakukan sejumlah amandemen terhadapnya, Di dalam proses inilah, optimalisasi peran MPR dalam mengkaji ulang konstitusi agar semakin relevan dan kontekstual semakin dinantikan oleh masyarakat luas sebagai per.wujudan demokratisasi politik, Mengikuti tesis Samuel Huntington, bahwa kesadaran politik akan mengikuti keberhasilanpembangunan ekonomi, maka di bidang politik langkah alternatif di atas selayaknya dilakukan dengan proses pelembagaan politik "dari bawah" sesuai dengan aspirasi politik masyarakat. Namun, bagaimanapun juga agar tidak terjadi kekacauan politik, masa transisional tersebut harus .dijaga oleh adanya pemerintahan yang kuat dan efektif yang mempunyai peran paling sedikit sebagaiberikut: (1) sebagaiop'eratorkemajuan ekonomi dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada, (2) mempersiapkan masyarakat ke arah tatanan demokratis melalui pemberian kesempatan seluas mungkin bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, sehingga hasilhasil ekonomi yang dicapai akan dapat didistribusikan secara cukup memadai melalui proses politik yang demokratis itu demi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat. [Kita menyaksikan betapa proses politik yang sentralistis telah mengakibatkan ketimpangan sosial-ekonomi, baik secara vertikal (adanya kelas atas, menengah dan bawah yang demikian senjang hubungannya)maupun
horisontal (misalnyakesenjangandistribusi pembangunanek~no~ antara IndonesiaBagianBaratdan IndonesiaBagianTimur, lebih iroms, mIsalnya, IS Uraian lebih detilten1angtennonologi yuridis ini dapat di baca pada tuJisan M. Fajrul Falaakh, UNISIA. No. 36/XXIIIVl1998, halaman 33.35.
JSP. Vol. I, No, 3 - Maret 1998
79
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Suryo Adi Pramono
Irian laya dan Kalimantan adalah dua wilayah penyumbang pemasukan keuangan negara yang demikian besar tetapi menerima distribusi ekonomi yang tidak sebanding)]. Secara internal, pendidikan dan pewarisan nilai yang dilembagakan di dalam berbagai bentuk, mulai dari Akademi Militer, WAMIL, MILSUK, sampai dengan SESKOAD (AL dan AU) serta SESKOGAB, perlu ditinjau ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman yang bergulir secara "diskontinyu". Oleh karena itu, bobot militerisme secara hardware (perangkat keras: kekuatan senjata dan fisik) perlu diimbangi secara sangat berarti dengan muatan software (perangkat lunak: ilmu pengetahuan, baik abstrak-konseptual maupun aplikatif; komitmen nilai-nilai demokrasi; HAM dan keadilan). Ini menjadi begitu penting, karena di abad mendatang dapat dipastikan bahwa ancaman dari luar negeri secara militer sangat minimal, untuk tidak mengatakan tidak ada, sehingga tuntutan domestik yang berkaitan dengan demokratisasi, HAM dan keadilanlah yang akan mengemuka untuk disambut oleh ABRI, yang dalam hemat saya ketika mencermati fenomena sosial belakangan ini telah membuktikan, bahwa ABRI sangat sulit mengimbangi kemampuan pihak sipil. Tidak jarang, ABRI telah tergelincir ke dalam "jalan kekerasan" yang melanggar HAM, yang banyak meminta perhatian baik masyarakat domestik maupun internasional,yang berujung pada turunnya °
citra ABRIsebagaikelompokyangtelahmemberikankontribusiyangsangat berarti pada republik ini. Ini semakinmenjaditengara yangdemikianjelas dengan adanya sinyalemenkekerasanoleh aparat keamananterhadap aksiaksi demonstrasi mahasiswadan "orang hilang" (yang hampir semuanya adalahaktivispro-demokrasi,yangbeberapadi antaranyatelaho"pulang"ke rumah masing-masing: Pius Lustrilanang, Desmond I. Mahendra, dan HaryantoTaslamdan yang termasukpalingakhir adalahAndi Ariet). Dengan itu semua, kita berharap, bahwa "kekerasanjalanan" akan digantikan oleh "meja-meja dialog" untuk merumuskan solusi terhadap persoalan sosial, politik, ekonomidan budaya yang tengah menghadang. Dan dengan demikian, semakin lengkaplah "persenjataan" ABRI dalam "perangmodern"yangbanyakmendasarkandiripadapenguasaan"perangkat lunak" di atas.
80
JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998
Suryo Adi Pramono
ABRI di Tengah Paradoks Sosial
Pada situasisepertidi atas, ABRIsebagaistabilisatordan dinamisator mempunyaiperan penting dalam memainkanskenario alternatif tersebut, terutama sebagai respon positif terhadap perkembanganmasyarakatyang bersifatparadoksalitu. Persoalandi baliktawaranpolitikalternatifitu adalah: Bagaimana ABRI mampu meretleksikan secara cermat perkembangan tantangan sosial terbaru yang kian menekan;proses regulasi diri macam apakahyangsebaiknyadigulirkanagartidakdi"nina-bobok"kanolehprevilese ekonomi-politikyangselamaini dinikmatinyadi hadapantantanganparadoks sosial yang kian mendekat;sejauh mana reorientasikepada semangatawal yangdiwariskanparaperintisnya,yaitu"semangatkejuanganPanglimaBesar Sudirman" yang kritis terhadap kekuasaan dan sebaliknya berorientasi kerakyatan,telahdilakukanolehjajaranABRI;danpertimbanganapasajakah yang sebaiknyadiperhitungkandi dalamkonstelasipolitik dewasaini yang "terbentang", 'yang tentu tidak akan mudah bagi ABRIuntuk ke luar dari "sekapan"politikpraktisyang(akan)"mengundang"munculnyasedemikian banyakspekulasidanantisipasipolitikolehbanyakpihakdi seputarkekuasaan negara dengan kepentinganpolitik merekamasing-masing.Kiranya,justru padaposisi sulitdi atas, ABRIsemakinditantanguntukmenentukanlangkah politikyangcermatdi dalamkonteksdiskontinuitas-paradoksal perkembangan masyarakat,yangapabilakeliru dalammenentukanlangkah,bukanmustahil "krisis legitimasidan otoritas" akan "menerpa" dirinya, apalagipada saat negaradilandakrisisekonomi(bahkan"krisiskepercayaan",kataPak Harto di sejumlahmediamassabelum lama berselang,beberapaminggusebelum ia dipaksa "berhenti" sebagaiPresiden) yang telah mengakibatkancapaian pembangunan yang sedemikian besar selama ini secara berangsur telah mengalami set back, di samping kemungkinan hilangnya penghargaan masyarakatakan kontribusiABRIselama ini di dalam wujudpemerintahan OrdeBaruyangdikendalikannya.Terkaitdenganitu semua,pluralismepolitik masyarakatyangkinikianmenguat(salahsatunyaditandaidenganpemunculan lebih dari 56 partai politik barn) sudah barang tentu tidak dapat dijawab dengansentralisasidan represi kekuasaanlagi, sehinggaposisi ABRIyang seharusnya berada "di atas" semua golongan dan kelompok masyarakat menjaditepat untuk diaplikasikanpada dataranpolitik riil.
JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
81
Suryo Adi Pramono
ABRI di Tengah Parado/cs Sosial
Dattar Pustaka
Buku Crouch, Harold, Milirer dan Politik di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1983. lewan, Alexander dan Edriana, Pelanggaran Pemilu 1992, Jakarta, Sinar Harapan, 1993. J. Soedjati Djiwandono dan T .A. Legowo, Revitalisasi Sistem Politik Indonesia, Jakarta, CSIS, 1996. Kittrie, Nicholas N., The War Against Authority: From the Crisis of Legitimacy to a New Social Contract, Baltimore/London, The John Hopkins University Press, 1995. Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, Jakarta, Sinar Harapan, 1989. Mas'oed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, Jakarta, LP3ES, 1989. Simandjuntak, Marsillam, Negara Integralistik, Jakana, Sinar Harapan, 1995. Simatupang, Tahi Bonar, lAporan dari Banaran, Jakarta, Sinar Harapan, 1983. Suryadinata, Leo, Golkar dan Milirer di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1995. Non-Buku Djiwandono, J. Soedjati, "Civil-Military Relations in Indonesia: The Case of ABRI's Dual Function", paper tidak diterbitkan, November 1996. KOMPAS, 20 Maret 1998. UNISIA, No.36/XXIIIV/1998.
82
JSP. Vol. I, No.3
-
Maret 1998