Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Aborsi dan Kegagalan Kontrasepsi IUD1 Budi Wahyuni2 I. Pendahuluan. Belum lama ini di New York telah berlangsung sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh PBB untuk mengevaluasi implementasi kesepakatan Beijing (1995). Pertemuan ini lebih dikenal dengan pertemuan Beijing +5. Di dalam pertemuan ini ternyata masih muncul sebuah kebutuhan untuk mengurangi tingginya Angka Kematian Ibu, di mana salah satu penyebabnya adalah unsafe abortion (aborsi yang tidak aman). Kata "aman" memang dapat dimaknai lebih dari satu arti. Aman berarti sehat, karena dilakukan oleh tenaga profesional (dokter) bukan oleh dukun. Mengingat sampai saat ini belum ada peraturan perundangan maka aman dapat berarti tidak ada tuntutan hukum, baik bagi perempuan yang melakukan aborsi maupun tenaga medis yang membantu. Aman juga dapat berarti tidak perlu sembunyi-sembunyi, karena ada tempat khusus yang menyediakan layanan aborsi bagi setiap perempuan yang membutuhkan, karena aborsi bagian dari hak reproduksi perempuan. Di Indonesia sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang bagaimana menyikapi aborsi. Perdebatan terjadi karena adanya perbedaan pendapat tentang kapan sesungguhnya kehidupan dimulai (Mohamad, 1995). Di samping itu juga belum ada upaya untuk memperbaharui peraturan Perundangan yang mengatur aborsi (UU Kesehatan no 23 tahun 1992). Dalam makalah ini saya tidak akan mempermasalahkan pro dan kontra aborsi. Namun saya akan menyampaikan hasil temuan lapangan dalam penelitian singkat, tentang keputusan dan pengalaman aborsi oleh perempuan yang mengalami kegagalan IUD. Alasan mengapa fokus penelitian pada kegagalan IUD: 1. Merupakan salah satu MKJP (metode kontrasepsi jangka panjang). 2. Sejak krisis ekonomi (1997) IUD dipromosikan sebagai alat kontrasepsi yang praktis dan ekonomis. 3. Bukan alat kontrasepsi hormonal.3 4. Merupakan alat kontrasepsi primadona di DIY.4 5. Dipasang oleh tenaga medis.5 6. Tingkat kekawatiran terhadap keselamatan janin lebih besar.6 7. Dapat diikutkan dalam asuransi (ASKABI) dan Asuransi Jasa Raharja 8. Mendapatkan kompensasi dari Pemerintah sebesar Rp 50.000,-. II. Metodologi, Waktu dan Lokasi.
1 Disampaikan pada Seminar Buianan PPK UGM, pada tanggal 21 September 2000. 2 Mantan Direktur PKBI DIY. 3 Dianggap lebih sehat karena reaksinya hanya berada di seputar rahim. 4 140296 (36%) dari 381650 peserta KB aktif di DIY (s/d Maret 2000) (BKKBN DIY, 2000). 5 Kegagalan dimungkinkan terjadi karena kualitas IUD, kelalaian petugas medis, atau kelalaian mitra. 6 IUD berada dalam rahim selama kehamilan berlangsung.
S.295, September 21, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Studi ini merupakan studi eksplorasi, bagaimana perempuan menikah menginterpretasikan masalahnya dan memutuskan untuk aborsi sebagai solusi. Studi ini mendiskripsikan masalah, penyebabnya, konsekuensi dan kemungkinan penyelesaian masalah menurut indentikasi mereka. Penelitian ini dilakukan di lingkungan klinik Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual PKBI DIY, karena diantara klinik PKBI yang lain PKBI DIY lebih mengutamakan bagi mereka yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Di samping itu mewajibkan mitra untuk menggunakan IUD, Susuk/Implant dan MOP (Medis Operatif Pria) sebagai alat kontrasepsi pasca IH. Unit analisis penelitian ini adalah perempuan menikah yang pernah melakukan aborsi karena gagal kontrasepsi IUD, dalam kurun waktu 6 bulan - 12 bulan sebelum waktu penelitian ( Mei Oktober 1999). Karena topik aborsi dianggap sensitif maka 6 bulan sampai 12 bulan adalah waktu yang cukup ideal, di mana informan sudah tidak trauma namun masih mampu mengingat pengalamannya. Pendidikan dan pekerjaan kedua belas informan tersebut 2 orang PT, 5 orang SMCT, 5 orang SD. 7 orang bekerja formal, 1 petani, 1 orang dagang, 3 tidak bekerja. Usia termuda 23 tahun dan tertua 44 tahun. Dalam penelitian ini telah dilakukan interview mendalam kepada: 12 orang mitra yang mengalami aborsi karena kegagalan IUD, 5 orang konselor kesehatan reproduksi, 5 orang suami di mana istrinya melakukan aborsi, 3 orang dokter yang membantu aborsi, 3 orang pejabat pemerintah yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keluarga Berencana. Dan 1 kali FGD diikuti oleh 8 orang diantara perempuan yang diwawancara. III. Temuan: Upaya penggunaan alat kontrasepsi modern menurut mereka (informan) merupakan salah satu bukti bahwa mereka memang tidak ingin hamil dalam kurun waktu tertentu atau memang sudah tidak mau menambah jumlah anak. Mereka merasa sudah mengikuti apa yang dianjurkan oleh Pemerintah melalui program KB. Beberapa alasan yang diungkapkan mengapa mereka tidak bersedia melanjutkan kehamilannya antara lain: cukup anak (dua anak), kesehatan ibu, keselamatan janin, ekonomi, malu (tidak siap secara sosial seperti: kesan tidak modern, tidak berpendidikan, tidak memikirkan masa depan anak, hanya mau enaknya sendiri7, tidak loyal terhadap pembangunan8, malu terhadap anak-anak yang sudah dewasa, sudah tua, lelah mengasuh anak). Sekalipun mereka pernah mengalami kegagalan ILTD dan melakukan aborsi, namun tidak dengan sendirinya meminta suaminya melakukan vasectomy. Alasan yang diungkapkan antara lain khawatir suaminya impoten, sudah sewajarnya perempuan ber-KB, kawatir suami melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain.
7 Kehamilan dianggap sebagai akibat kenikmatan seksual. 8 Insentif ditujukan bagi pengguna MKET.
S.295, September 21, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
Sebagian besar dari mereka merasa bahwa aborsi merupakan kebutuhan perempuan. karena jika dilanjutkan maka perempuan yang akan menanggungnya. Dalam konteks pengambilan keputusan, sebagian mereka mengatakan bahwa perempuan yang memutuskan. Hal ini dicontohkan dengan upaya minum jamu sejak pertama kali mengetahui bahwa tidak ada tandatanda menstruasi. Setelah upaya ini gagal, maka bersama suami mencari bidan atau dokter. Mereka tidak sependapat bahwa apa yang mereka lakukan dianggap tindakan aborsi sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa harian, karena yang dikeluarkan berupa cairan darah. Apa yang dilakukan oleh dokter yang menolong lebih tepat disebut sebagai upaya pembersihan rahim. Sementara pasca aborsi mereka merasakan ada perubahan khususnya dalam pola hubungan seksual, rasa tidak nyaman karena takut mengalami kegagalan lagi. Di samping itu juga merasa malu jika diketahui tetangga, ada rasa bersalah, kadang muncul perasaan berdosa. Terungkap dalam FGD (Focused Group Discussion), sekalipun ada berbagai macam perasaan yang muncul, namun mereka merasa tertolong, karena terbebas dari beban yang sangat berat. Sebagaimana diungkapkan oleh L:
"Sebelum diaborsi tiap hari saya murung dan tidak dapat konsentrasi dalam pekerjaan. Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa. Karena 3 bulan sebelumnya, bidan yang memeriksa mengatakan bahwa IUD dalam keadaan baik". Sebagian dari mereka mengungkapkan bahwa saat mengeluhkan kegagalan kontrasepsi ini hanya ada satu saran9 yaitu melanjutkan kehamilan. Jika kehamilannya akan dihentikan (aborsi) maka resiko harus ditanggung sendiri. Kondisi ini sangat berbeda, pada saat mereka akan menggunakan alat kontrasepsi banyak pilihan. Tiap bulan ada pemantauan. Bahkan ada insentif10 jika bersedia menggunakan jenis tertentu. Pada tahun 1999 di PKBI DIY tercatat ada 3224 mitra11 yang melakukan konsultasi, 90 % di antaranya mengeluhkan kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak bersedia melanjutkan kehamilannya. Karena berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, maka yang dapat dibantu Induksi Haid (EH)12 tidak lebih dari 50 %. Selebihnya dirujuk ke tempat lain, atau disarankan untuk dilanjutkan. Sementara mitra yang datang konsultasi dan meminta pelayanan kontrasepsi saja tidak lebih dari 10 %.
IV. Diskusi: Melihat pengalaman di atas memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program KB telah membuat masyarakat enggan untuk mempunyai anak banyak (lebih dari dua). Jargonjargon dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja, NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) menjadikan seakan-akan keluarga ideal, keluarga modern atau keluarga yang terjamin kesejahteraannya adalah mereka yang mempunyai dua anak. Bahkan jaraknya pun dipertimbangkan sebagai ukuran keluarga yang bertanggungjawab, karena mereka harus
9 Kebijakan BKKBN, karena pemerintah tidak mungkin menyarankan untuk menghentikan kehamilan. 10 Dilibatkan atau mendapat berbagai fasilitas seperti beasiswa anak, dapat mengikuti lomba bayi sehat, piagarn penghargaan. 11 Mitra adalah istilah yang digunakan untuk klien atau pasien. 12 Istilah yang digunakan oleh PKBI. Yang berarti membuat menstruasi.
S.295, September 21, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
memberikan ASI. Keengganan menambah jumlah anak, tidak hanya terjadi pada perempuan yang bekerja namun juga dialami oleh perempuan yang tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga). Aborsi yang semula ditabukan dan dianggap sebagai tindakan amoral, dilakukan oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab, dilakukan karena kehamilan hasil hubungan seksual diluar nikah. Dalam konteks ini mereka berupaya untuk mereduksi arti aborsi. Sebagian besar dari mereka berpendapat istilah aborsi lebih tepat jika dilakukan di atas usia kehamilan 3 bulan, karena sudah bernyawa. Tindakan pemulihan haid yang mereka lakukan tidak sama dengan aborsi, karena masih dibawah 12 minggu. Sebagian la innya menyatakan jika dianggap aborsi pun tidak ada masaiah, karena mereka yakin apa yang dilakukan (aborsi) itu demi kebaikan semua. Di samping itu mereka telah berupaya mencegah dengan menggunakan alat kontrasepsi namun tetap mengalami kehamilan. Bahkan mereka telah memilih jenis kontrasepsi yang efektif dan menyerahkan sepenuhnya kepada petugas medis (dokter dan bidan) untuk memasangnya.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi: 1.
2. 3.
4.
Kebutuhan mewujudkan keluarga kecil, kondisi ekonomi keluarga, kondisi kesehatan, kelelahan mengasuh anak, jarak anak terlalu dekat merupakan faktor pendorong perempuan untuk tidak ingin menambah anak lagi. Tindakan aborsi merupakan pilihan terakhir untuk menghentikan kehamilan yang diakibatkan oleh kegagalan kontrasepsi. Pilihan aborsi tidak berarti pilihan para perempuan yang tidak bermoral atau tidak bertanggung jawab. Disadari bahwa aborsi sebaiknya dihindari, tetapi jika ada masalah dengan kehamilan yang tidak dikehendaki seperti kegagalan kontrasepsi, maka sebaiknya perempuan tetap diberikan kesempatan untuk memilih. Pemerintah telah berhasil mempromosikan alat kontrasepsi jangka panjang, efektif dan sehat bagi perempuan, namun belum secara terbuka mensosialisasikan kegagalan IUD dan kemungkinan penyelesaiannya.
Rekomendasi: 1.
2.
3.
Sebagai konsekuensi dari sikap pemerintah yang tidak mungkin melegalkan aborsi, maka pemerintah seharusnya memberikan support pada NGO atau lembaga yang telah menyediakan layanan MR atau IH bagi perempuan yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Khususnya perlindungan terhadap dokter, paramedis, konselor yang terlibat secara langsung pada tindakan aborsi. Untuk mengurangi stigma aborsi, maka pemerintah dapat mengambil peran dengan mengawali Induksi Haid atau Menstrual Regulations sebagai bagian dari Program Kesehatan Reproduksi. Kegagalan kontrasepsi merupakan kegagalan teknologi. Kehamilan yang tidak dikehendaki karena kegagalan kontrasepsi masih sangat mungkin terjadi. Aborsi menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Untuk itu pelayanan Aborsi yang bertanggung jawab dan dapat dijangkau oleh perempuan sudah mendesak untuk disediakan.
S.295, September 21, 2000
Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University ∴ Please do not quote or cite without permission from the authors
V. Penutup: Penelitian ini merupakan dokumentasi dari pengalaman perempuan menikah yang gagal kontrasepsi dan memilih melakukan aborsi. Jika semula aborsi lebih dikenal dilakukan oleh perempuan-perempuan tidak bertanggung jawab, atau kehamilan di luar nikah maka pengalamanan ini justru sebaliknya. Aborsi dilakukan karena mereka merasa bertanggungjawab pada kondisi kesehatan reproduksinya, pada keluarganya, dalam pendidikan dan masa depan anak-anaknya.
S.295, September 21, 2000