II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Profil Usaha Kecil dan Menengah Menurut Hammond (2007), bisnis ritel itu menakjubkan. Ritel berdampak langsung dan menyenangkan sekaligus berisiko dan sulit. Namun meski telah diakui bahwa bisnis ritel telah berjasa menyelamatkan perekonomian, ritel masih menjadi bidang yang paling tidak dipahami diantara semua praktik bisnis. Usaha kecil didefinisikan sebagai perusahaan yang dikelola secara mandiri, dimiliki oleh perseorangan atau sekelompok kecil pemilik modal dengan ruang lingkup operasi yang terbatas. Jumlah pekerja berkisar antara 10 sampai 50 orang (Machfoedz 2007). Karakteristik usaha kecil dilihat dari sistem manajemennya, pada umumnya dikelola oleh pemiliknya langsung sehingga lebih fleksibel mengembangkan ide produk. Dari proses produksi dapat dikatakan usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat akademisi tidak terlalu tinggi sehingga biaya operasional dapat ditekan. Namun demikian usaha kecil memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterbatasan manajerial, jaringan dan fenomena utama adalah dalam hal kesulitan pengembangan dana (Manurung, 2006). Menurut UU Usaha Kecil No.9 tahun 1995, Industri Kecil didefinisikan sebagai bagian dari Usaha Kecil di Indonesia yang memiliki aset < Rp. 200 juta di luar tanah dan bangunan
atau omset per tahun <
Rp. 1 milyar. Selain itu juga disebutkan kriteria usaha menengah, mandiri dan tangguh, yaitu: 1. Usaha Menengah: Omset per tahun Rp.700 Juta s/d 1 Milyar. 2. Usaha Mandiri: Omset per tahun Rp.100 Juta s/d < 700 Juta. 3. Usaha Tangguh: Omset per tahun < Rp.100 Juta. Selain itu juga terdapat beberapa kriteria usaha kecil dan menengah lainnya. Namun saat ini telah dibahas perubahan mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) seperti tercantum dalam UU Nomor 9 tahun 1995 dan disajikan pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Kriteria
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
Bentuk usaha
Orang perseorangan
• Perseorangan / • Perseorangan/ badan usaha badan usaha • Bukan afiliasi usaha • Bukan afiliasi menengah/besar usaha besar
Kekayaan bersih
< Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan
Rp 50 juta – Rp 500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan
Rp 500 juta – Rp 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan
Omzet tahunan
< Rp 300 juta
Rp 300 juta – Rp 2,5 miliar
Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar
Sumber : www.hukumonline, 2007 Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil, namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam, yaitu: 1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat. 2. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 3. Sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum memiliki status badan hukum. 4. Dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, diikuti kelompok industri tekstil dan kayu (Pramiyanti, 2008). Ditinjau dari risiko bisnis kecil menurut Alma (2006) bahwa setiap bisnis memiliki risiko dan nampaknya risiko pada bisnis kecil lebih tinggi dibanding bisnis besar. Bisnis kecil kehidupannya sangat dipengaruhi oleh
9
kondisi ekonomi pada umum, lokasi bisnis, pesaing, kualifikasi pemilik dan efektivitas menjalankan bisnis. Salah satu faktor utama kegagalan usaha adalah tidak melakukan studi kelayakan sebelumnya. Studi kelayakan merupakan blue print yang akan menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalankan bisnis kedepan. Kelayakan usaha diartikan oleh Kasmir dan Jakfar (2007), bahwa apakah usaha yang dijalankan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan non finansial sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kelayakan usaha perlu diperhitungkan dengan tujuan agar apabila usaha tersebut dijalankan tidak akan sia-sia. Paling tidak ada lima tujuan mengapa suatu usaha perlu dilakukan studi kelayakan, yaitu: (1) menghindari risiko kerugian, baik yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan pada masa yang akan datang, (2) memudahkan perencanaan, (3) memudahkan pelaksanaan pekerjaan, (4) memudahkan pengawasan dan (5) memudahkan pengendalian.
B. Bisnis Waralaba Awal
kesuksesan
franchise
yang
dalam
bahasa
Indonesia
diterjemahkan sebagai waralaba terjadi pada tahun 1965 ketika saham McDonald’s Amerika dijual. Kurang dari sebulan sahamnya berlipat ganda. Pada tahun 1970, waralaba telah menjadi pandangan hidup baru dalam bisnis. Waralaba barupun bermunculan. Kesuksesan waralaba kini mencakup kategori baru, seperti bisnis dan jasa salon kecantikan sampai salon mobil, perdagangan buku, dan maraknya wilayah siap saji (Mancuso & Boroian, 2006). Disampaikan pula bahwa bisnis waralaba akan memegang peranan penting dimasa datang. Sekarang hampir setiap produk dan jasa dapat diwaralabakan dan diperkirakan akan mendominasi pasar. Perkembangan waralaba di Indonesia sebenarnya lebih banyak dipacu oleh McDonald’s ketika membuka gerai yang pertama di gedung Sarinah Jakarta pada tahun 1991. Pertumbuhan McDonald’s di Indonesia dapat
10
dianggap sebagai fenomena sendiri, yang menjadi tolok ukur keberhasilan waralaba di Indonesia. Pada awal tahun 1990-an Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap pewaralaba di Indonesia. Departemen Perdagangan melihat waralaba sebagai suatu pola distribusi barang atau jasa yang efektif, sehingga perlu dikembangkan dan dibina (Karamoy, 2005) Selanjutnya disampaikan juga oleh Karamoy (2005), bahwa pada Juni 2003, Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menyelenggaraka pemilihan waralaba (lokal) terbaik untuk klasfikasi UKM. Waralaba lokal yang dianggap terbaik adalah Rumah makan Wong Solo (untuk kategori restoran), Indomaret (kategori ritel), ILP (untuk kategori pendidikan). Bisnis waralaba disebut-sebut juga sebagai pengantar bisnis kearah modern. Menurut Machfoedz (2007), ada 4 hal kelebihan dari memulai usaha dengan membeli hak waralaba. a. Bantuan dan pelatihan manajemen. Pengusaha waralaba dengan pengalaman pribadi yang kurang memadai dapat memperoleh pelatihan dari induk perusahaan. Program pelatihan telah tersusun dengan baik. b. Konsep perusahaan, produk dan nama telah dikenal. Pengusaha waralaba mendapatkan perusahaan yang telah dikenal dan kualitas produknya telah dipercaya pasar. c. Bantuan keuangan. Memulai suatu usaha memerlukan uang dalam jumlah besar dan wirausahawan seringkali mempunyai sumber dana yang terbatas. d. Kepemilikan. Pemilik dapat menikmati kemandirian, insentif dan laba usaha mandiri. Faktor-faktor yang merupakan kelemahan waralaba adalah sebagai berikut: a. Biaya awal yang tinggi. Biaya usaha meliputi biaya pembukaan usaha, termasuk biaya penyediaan tempat, inventaris, biaya pengoperasian, dan periklanan. Disamping itu ada juga biaya royalti.
11
b. Pembatasan kebebasan beroperasi. Pengoperasian usaha tidak seleluasa pengoperasian usaha yang didirikan dari titik permulaan, harus mengikuti berbagai ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Dapat dikatakan juga keuntungan pengusaha kecil menjadi terwaralaba dapat langsung memiliki sistem bisnis yang mapan, serta produk dan jasa yang memiliki reputasi, sehingga dapat langsung dikenal. Untuk membentuk citra tidak perlu repot merumuskan konsep bisnis, memperkenalkan produk/jasa, atau mempromosikan kualitas produk/jasa yang dipasarkan. Dilihat dari sisi terwaralaba, sistem pewaralabaan tidak otomatis menjamin kesuksesan (Karamoy, 2005), tetapi menyediakan seperangkat peralatan untuk sukses. Alat-alat itu antara lain sebagai berikut: 1. Bantuan pewaralaba dalam bidang vital, seperti pemilihan lokasi, penyediaan bahan baku, peralatan, training, periklanan, pemasaran dan promosi. 2. Kesinambungan bimbingan manajemen, bantuan teknis dan operasional, serta pengendalian mutu, standarisasi mutu dan mekanisme kontrol. Beberapa kelemahan sebagai terwaralaba antara lain adalah dalam hal posisi tawar yang lebih rendah dibanding pewaralaba. Dan juga dalam hal kebebasan terwaralaba yang terbatas dalam melakukan inovasi usaha. Dari segi keuangan dimana terwaralaba harus memberikan fee yang sudah disepakati. Disamping itu ada masalah ketergantungan terhadap pewaralaba. Waralaba di Indonesia tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga terdapat waralaba asing seperti McDonald’s, kentucky Fried Chicken, Pizza Hut’s dan lain-lain. Untuk tetap dapat bersaing dengan resto asing, dipandang positif untuk mewaralaba resto nasional yang telah bereputasi baik, terutama dilihat dari aspek kebersihan dan kesehatan. Salah satu bentuk usaha kecil dibidang makanan yang banyak digeluti oleh pengusaha adalah perdagangan bakso. Ragam perdagangan bakso cukup variatif, mulai dari usaha bakso tradisional yaitu gerobakan sampai dengan perdagangan bakso modern dalam bentuk waralaba.
12
Permintaan bakso dirasakan masih mengalami peningkatan. Keadaan ini menunjukkan peluang bisnis membuat bakso makin terbuka lebar. Perlu diingat, pesaing dalam usaha ini juga banyak. Namun demikian tidak perlu khawatir, jika kita membuat bakso yang lebih sehat, lebih bergizi dan tetap kenyal tanpa boraks, pembeli pasti tetap tertarik membeli produk kita (Yuyun, 2007). Perdagangan bakso kategori modern dijalankan oleh salah seorang pengusaha dengan merk dagang “Bakso Atom”. Kegiatan usaha Bakso Atom baru berjalan 4 tahun dan saat ini sudah memiliki lebih dari 18 outlet dan 7 diantaranya milik pewaralaba dan sisanya merupakan mitra usaha dengan terwaralaba. Konsep kemitraan yang dibangun sangat simpel dalam arti para mitra menyiapkan tempat usaha, promosi dan peralatan pendukung dan pewaralaba akan mendukung dari segi manajemen, produk dan brand Bakso Atom. Untuk menjadi mitra tidak perlu membayar fee tapi hanya menyiapkan modal investasi yang digunakan untuk sewa tempat yang sesuai dengan konsep Bakso Atom minimal 60 kursi, peralatan dan promosi. Sementara pihak Bakso Atom menyediakan Brand dan produk dengan sistem sharing profit. Karyawan yang akan melayani di outlet biasanya akan ditraining selama 2 minggu, pada minggu pertama akan ditraining di rumah produksi dan minggu kedua langsung terjun di outlet. Menu yang ditawarkan berupa Bakso dengan berbagai varian dan rasa seperti bakso daging, bakso telur ayam kampung, bakso urat, bakso sumsum, bakso tahu udang, bakso udang, bakso buntel, dan bakso keju. Bakso Atom juga menyediakan berbagai Jus. Keistimewaan yang ditawarkan Bakso Atom yaitu dari segi penyajian dalam bentuk prasmanan, pelanggan dapat mengambil sendiri. Keistimewaan lain adalah setiap varian baru dari bakso biasanya diteliti terlebih dahulu di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sehingga diketahui kualitas serta dijamin bebas bakteri.
13
C. Kelayakan Investasi Untuk mengidentifikasi masalah dimasa yang akan datang sehingga dapat meminimal kemungkinan melesetnya hasil yang ingin dicapai dalam suatu investasi perlu dilakukan studi kelayakan. Dengan kata lain studi kelayakan akan memperhitungkan hal-hal yang akan menghambat atau peluang dari investasi yang akan dijalankan. Jadi dengan adanya studi kelayakan investasi minimal dapat memberikan pedoman atau arahan kepada usaha yang dijalankan (Kasmir dan Jakfar, 2007). Ada 5 tujuan mengapa sebelum suatu usaha atau proyek perlu dilakukan studi kelayakan, yaitu: (1) menghindari risiko kerugian, (2) memudahkan perencanaan, (3) memudahkan pelaksanaan pekerjaan, (4) memudahkan pengawasan dan (5) memudahkan pengendalian. Hal pertama yang dikaji berkaitan dengan analisis kelayakan usaha meliputi biaya pembangunan fisik pabrik, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan proyek (Zubir, 2006)
seperti: 1. Pembelian tanah (termasuk biaya pematangan tanah, pembuatan saluran air, lapangan parkir, taman dan pemagaran). 2. Biaya pembangunan (pabrik, kantor, gudang, mess karyawan, pos satpam dan bangunan penunjang lainnya). 3. Biaya pembelian mesin-mesin dan pemasangannya (termasuk biaya tenaga ahli yang digunakan). 4. Biaya instalasi listrik, air, dan sebagainya. 5. Biaya pembelian kendaraan. 6. Biaya pembelian peralatan kantor, perabot dan lain-lain. Untuk memulai suatu usaha juga dibutuhkan modal kerja untuk kegiatan operasional perusahaan. Modal kerja adalah dana yang dibutuhkan untuk operasional perusahaan sehari hari yang meliputi kebutuhan dana yang tertanam dalam harta lancar dalam bentuk piutang usaha, persediaan bahan baku, bahan dalam proses, barang jadi dan bahan penunjang (termasuk di dalamnya bahan bakar), serta sejumlah kas minimum yang dibutuhkan untuk berjaga-jaga atau transaksi (Zubir, 2006). Sumber pembiayaan modal kerja
14
dapat bersumber dari modal sendiri, hutang dagang, hutang bank, maupun hutang lainnya. Menurut Kasmir dan Jakfar (2007) menyatakan bahwa tahap-tahap dalam penilaian studi kelayakan bisnis dapat dilihat dalam Gambar 1.
Pengumpulan Data
Melakukan Pengolahan Data
Analisis Data Tidak Layak Mengambil Keputusan Dibatalkan Layak Direkomendasikan
Dijalankan
Gambar 1. Tahapan dalam Studi Kelayakan Bisnis (Kasmir dan Jakfar, 2007)
Ukuran kelayakan masing-masing jenis usaha sangat berbeda, akan tetapi aspek-aspek yang digunakan untuk menyatakan layak atau tidaknya adalah sama. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan investasi meliputi aspek hukum, aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek teknis dan aspek manajemen. Aspek keuangan dipandang beberapa investor sebagai aspek yang paling utama untuk dianalisis karena aspek ini tergambar jelas dari hal-hal yang berkaitan dengan keuntungan, sehingga merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Adapun kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan suatu usaha atau investasi adalah sebagai berikut:
15
a. Payback Period (PP) merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode) pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. PP adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas (Zubir, 2006), dihitung menurut persamaan : Nilai Investasi PBP (tahun) =
x 1 tahun Kas Masuk Bersih
Metode ini sangat sederhana, sehingga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan utamanya adalah tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah payback, sehingga metode ini umumnya hanya digunakan sebagai pendukung metode lainnya. b. Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang merupakan perbandingan PV (Present Value) kas bersih dengan PV investasi selama umur investasi. Selisih antara PV tersebut disebut NPV (Zubir, 2006). NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya (Pramudya, 2006). NPV = Σ
Bt - Ct (1 + i) t
dimana ; Bt = manfaat (penerimaan) bruto pada tahun ke- t ( Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke- t (Rp) i = tingkat suku bunga (%) t = periode investasi (i = 1,2,3,.........n) c. Internal Rate of Return (IRR) merupakan alat untuk mengukur tingkat pengembalian hasil intern (Kasmir & Jakfar, 2007). IRR adalah salah satu metode untuk mengukur tingkat investasi. Tingkat investasi adalah suatu tingkat bunga dimana seluruh net cash flow setelah dikalikan discount factor atau setelah dipresent value kan, nilainya sama dengan initial investment (biaya investasi). IRR = i’ + dimana ;
NPV ' (i” – i’) ( NPV '− NPV " )
16
NPV ’ NPV ” i’ i”
= nilai NPV Positif (Rp) = nilai NPV Negatif (Rp) = discount rate nilai NPV positif (%) = discount rate nilai NPV negatif (%)
d. Profitability Index (PI) atau benefit and cost ratio (B/C ratio) merupakan rasio aktivitas dari jumlah nilai penerimaan bersih sekarang dengan nilai pengeluaran investasi sekarang selama umur investasi (Kasmir & Jakfar, 2007). Σ PV Kas Bersih
PI =
x 100% Σ PV Investasi
e. Break Event Point (BEP) adalah BEP atau titik impas adalah suatu keadaan
dimana
besarnya
pendapatan
sama
dengan
besarnya
biaya/pengeluaran yang dilakukan oleh proyek, yang dapat
dihitung
dengan persamaan berikut : (Pramudya, 2006). Total Biaya (Rp) = Volume Penjualan (unit) x Harga Jual (Rp) Perhitungan persamaan :
volume penjualan pada saat BEP dapat dihitung
dengan
Total Biaya Tetap BEP (unit) = (Harga Jual/unit - Biaya Variabel/unit)
Total Biaya Tetap BEP (Rp) = 1
-
Biaya Variabel per Unit Harga Jual
D. Sikap dan Perilaku Konsumen Dalam kondisi persaingan yang sangat ketat, pelanggan dihadapkan pada banyak pilihan produk dengan berbagai pelayanan. Untuk itu pihak produsen perlu mengetahui seberapa besar kebutuhan, persepsi, preferensi dan keinginan pelanggan. Studi tentang perilaku konsumen akan menjadi dasar yang amat penting dalam manajemen pemasaran. Hasil dari kajiannya akan membantu para pemasar untuk hal berikut: (1) merancang bauran pemasaran,
17
(2) menetapkan segmentasi, (3) merumuskan positioning dan pembedaan produk,
(4)
memformulasikan
analisis
lingkungan
bisnisnya,
dan
(5) menyusun strategi pemasaran. Ditegaskan pula oleh Setiadi (2003), bahwa memahami konsumen adalah elemen penting dalam pengembangan strategi pemasaran. Perilaku konsumen yang tidak dapat secara langsung dikendalikan oleh perusahaan perlu
dicari
informasinya semaksimal
mungkin.
Perilaku
konsumen
didefinisikan sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Engel et al, 1994). Tindakan membeli dapat berwujud pada pilihan-pilihan konsumen terhadap merek, jumlah produk, tempat waktu dan frekuensi pembelian.
Perilaku
konsumen dipengaruhi dan dibentuk oleh banyak faktor, yaitu pengaruh lingkungan, perbedaan individu dan proses psikologis. Selanjutnya dijelaskan oleh Umar (2005) bahwa terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu faktor sosial budaya yang terdiri dari kebudayaan, sosial, serta keluarga. Faktor lain adalah faktor psikologis yang terdiri dari motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan dan sikap. Sedangkan faktor-faktor kepuasan konsumen adalah mutu produk dan pelayanan, kegiatan penjualan, pelayanan setelah penjualan dan nilai-nilai perusahaan. Fakor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Setiadi (2003), adalah faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor pribadi (umur, pekerjaan, ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri) dan faktor psikologis. Perilaku konsumen merupakan suatu proses, dimana pembelian merupakan salah satu tahap dari beberapa tahap yang dilalui dalam proses tersebut. Ada banyak pengaruh yang mendasari proses pembelian tersebut, mulai dari motivasi internal hingga pengaruh eksternal. Motivasi dan perilaku tersebut dapat dimengerti melalui penelitian. Mempelajari perilaku konsumen dapat membantu para manajer mengambil keputusan, memberikan para peneliti pemasaran tentang pengetahuan dasar ketika mereka menganalisis konsumen, membantu pembuat keputusan dalam
18
menciptakan hukum dan peraturan yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau jasa, dan membantu konsumen dalam pengambilan keputusan yang lebih baik (Mowen & Michael, 2006). Perusahaan harus dapat memahami perilaku konsumen agar dapat memenuhi harapan konsumen yang pada akhirnya pemasaran produk berjalan dengan baik. Dengan pemahaman tersebut, perusahaan dapat memperkirakan reaksi konsumen terhadap produk yang ditawarkan perusahaan sehingga perusahaan dapat menerapkan strategi pemasaran yang tepat (Sumarwan, 2003). Schiffman dan Kanuk (2004) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai proses pencarian informasi mengenai suatu produk atau jasa pada saat pembelian, menggunakan, dan mengkonsumsi serta mengevaluasi produk yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan. Kepuasan pelanggan merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu usaha. Hal ini dikarenakan dengan memuaskan pelanggan, perusahaan dapat meningkatkan tingkat keuntungannya dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas.
Menurut Kotler (2000) kepuasan pelanggan adalah perasaan
senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapanharapannya. Dalam banyak kasus, pelanggan yang puas belum tentu merupakan pelanggan yang loyal dan sebaliknya pelanggan yang kurang puas tidak otomatis menjadi pelanggan yang tidak loyal. E. Strategi Pengembangan Usaha Penyusunan strategi perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang secara sistematis mempengaruhi perusahan. Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang dihadapi (Rangkuti, 2006). Perencanaan strategis sangat penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada. Perumusan strategi perusahaan dapat dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis
19
untuk merumuskan strategi perusahaan (Rangkuti, 2006). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Kinerja perusahaan dapat ditentukan
oleh
kombinasi
faktor
internal
dan
eksternal.
Untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perusahaan. Analisis faktor internal dan eksternal dilakukan dengan menggunakan matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS), External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) dan matriks profil kompetitif. Tahapan kerja pada matriks IFAS dan EFAS (Rangkuti, 2006) adalah: a) Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta yang menjadi peluang dan ancaman perusahaan. b) Masing-masing faktor diberi bobot berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan (Tabel 3). Penentuan bobot dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu peubah dengan peubah lainnya. Untuk menentukan bobot setiap peubah digunakan skala 1, 2 dan 3. Skala yang digunakan adalah: 1 = jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal. 2 = jika indikator horisontal sama penting daripada indikator vertikal 3 = jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal. Tabel 3. Penilaian Bobot Faktor Strategis Perusahaan dengan Metode Matriks Banding Berpasangan Faktor Strategis internal/eksternal
A
B
C
...
Bobot
A B C ... Total Sumber : Rangkuti (2006)
c) Masing-masing
faktor
kemudian
diberi
rating
dengan
skala
4
(outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan kondisi perusahaan yang bersangkutan. Peubah yang bersifat positif (peubah yang termasuk kategori kekuatan dan peluang) diberi nilai mulai dari 1 sampai dengan 4 (sangat baik). Sedangkan peubah yang bersifat negatif, diberi nilai mulai
20
dari 1 (jika nilai ancaman/kelemahannya sangat besar) sampai dengan 4 (jika nilai ancaman/kelemahannya sedikit). d) Masing-masing bobot dikalikan dengan rating, sehingga diperoleh nilai untuk masing-masing faktor. e) Nilai masing-masing faktor dijumlahkan untuk memperoleh nilai total pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan.
Tinggi Menengah
3.0
1 Pertumbuhan Konsentrasi melalui integrasi vertikal
4 Stabilitas Hat-hati 2.0 7 Pertumbuhan Diversifikasi Konsentrik
Rendah
Total Skor Faktor Strategis Eksternal
4.0
Total Skor Faktor Strategis Internal Kuat Rataan 3.0 2.0 2 Pertumbuhan Konsentrasi melalui integrasi horizontal 5 Pertumbuhan Konsentrasi melalui integrasi vertikal Stabilitas Tak ada perubahan strategi, profit 8 Pertumbuhan Diversifikasi konglomerasi
Lemah 1.0 3 Penciutan Turnaround
6 Penciutan Captive Company atau divestment 9 Pengurangan Bangkrut/Likuidasi
1.0
Gambar 2. Matriks IE Model GE (Rangkuti, 2006) Selanjutnya nilai yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan matriks Internal-External (IE) model General Electric (GE-Model) yang ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil pada matriks IE dapat digunakan untuk menentukan posisi perusahaan, sehingga dapat diketahui arah strategi yang akan diterapkan. Total skor strategi internal menunjukkan kekuatan bisnis perusahaan sedangkan total skor strategi eksternal menunjukkan kemenarikan industri. Hasil analisis dengan menggunakan IFAS dan EFAS disusun untuk menggambarkan faktor strategik perusahaan dengan menggunakan matriks
21
SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Rangkuti, 2006). Matriks SWOT dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategis (Gambar 3). IFAS EFAS
Strenghts (S)
Weaknesses (W) Strategi WO
Strategi SO Opportunities (O)
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi ST
Strategi WT
Threats (T)
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Gambar 3. Matriks SWOT (Rangkuti, 2006)
Strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Kombinasi dari empat faktor dapat dirumuskan sebagai berikut. •
Strategi SO: Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
•
Strategi ST: Strategi untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan dengan cara menghindari ancaman.
•
Strategi WO: Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada, dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki.
•
Strategi WT: Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat bertahan dan ditujukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.