BAB II KEDUDUKAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM MENJALANKAN OTONOMI DAERAH
A. Asas – Asas Pemerintahan Daerah Dalam penyelenggaran pemerintahan, ada beberapa prinsip daerah yang menjadi pegangan oleh aparat pemerintahan dalam menggerakkan administrasi pemerintahan atau manajemen pemerintahan. Prinsip – prinsip dasar tersebut disebut dengan asas – asas pemerintahan. Sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi adalah konsep – konsep yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam organisasi termasuk dalam organisasi Negara. 20 Asas – asas kedaerahan adalah prinsip – prinsip dasar dalam pendelegasian wewenang dan pelaksanaan tugas sesuai dengan sumber wewenang tersebut. Asas tersebut ada tiga jenis, yaitu : 1. Desentralisasi. 2. Dekonsentrasi. 3. Medebewind. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka sistem kenegaraan. Dalam Negara kesatuan seperti
20
Hanif Nurcholis, “Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah”, Penerbit Grasindo, Jakarta,2007,hlm. 3.
Indonesia, penyerahan wewenang dari pemerintah diserahkan kepada daerah otonom. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu serta berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara kesatuan (Pasal 1 angka 6 dan 7 UU No.32 Tahun 2004). Adanya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang berarti pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian, desentralisasi bersarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya menjauh dari pusat. Organisasi yang besar dan kompleks seperti Negara Indonesia tidak akan efisien jika semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak hirearki organisasi / pemerintah pusat, karena pemerintah pusat akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup hanya dilimpahkan secara dekonsentrasi kepada pejabatnya yang berada di wilayah Negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan poltik dan administrasi pada organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Karena jenjang hierarki yang lebih rendah (pemerintah daerah) tersebut diserahi wewenang penuh, baik politik maupun administrasi, maka pada jenjang organisasi yang diberi penyerahan wewenang tersebut timbul otonomi. Otononi artinya kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk
mengatur dsan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional. Karena itu , desentralisasi menimbulkan otonomi daerah, yaitu kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah otonom untuk mengatur
dan
mengurus kepentingannya yang bersifat lokal. Jadi, otonomi daerah adalah konsekuensi logis penerapan asas desentralisasi pada pemerintahan daerah. Henry Maddick menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang – bidang / fungsi – fungsi tertentu kepada daerah otonom. 21 Rodinelli seperti dikutip oleh Hanif Nurcholis mengatakan bahwa Desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, dan kewenanan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, satuan administrasi daerah, organisasi semi otonom, pemrintah daerah, atau organisasi non pemerintah / lembaga swadaya masyarakat. 22 Menurut smith, desentalisasi mempunyai cirri – cirri sebagai berikut : 1. Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. 2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa (residual function).
21
Hendry Maddick dan Hanif Nurcholis, “Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah”, Grasindo, Jakarta, 2007, hlm 10 22 Ibid.hlm.11.
3. Penerima wewenang adalah daerah otonom 4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan,wewenang mengatur dan mengurus (regeling en bestuur) kepentingan yang bersifat lokal. 5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak. 6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acte administratif,verwaltungsakt) 7. Keberadaan daerah otonom adalah di luar hirearki organisasi pemerintah pusat. 8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi. 9. Menciptakan political veriety dan diversity of structur dalam sistem politik.23 Bhenyamin hoessein menjelaskan dalam pidato pengukuhan Doktornya, dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirearki organisasi pemerintah pusat. Sedangkan dalam rangka dekonsentrasi, wilayah administratif (filed administration) berada dalam hirearki organisasi pemerintah pusat. 24 Desentralisasi menunujukkan model hubungan kekuasaan antar oganisasi,
23 24
Ibid, hlm. 15. Ibid, hlm. 15.
sedangkan dekonsentrasi menunjukkan model hubungan kekuasaan intra oganisasi. J. Riwu Kaho, mengatakan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang didesentralisasikan. 25 Dan alasan diterapkannya asas desentralisasi adalah pelaksanaan asas desentralisasi akan membawa efektifitas dalam pemeintahan, sebab wilayah Negara itu pada umumnya terdiri pada pelbagai satuan daerah yang masing – masing memilikki sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor – faktor geografis (keadaan tanah, iklim, flora, fauna, adat – istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan / pengajaran, dan sebagainya). Pemerintahan dapat efektif kalau sesuai dan cocok dengan keadaan riil dalam Negara. 26 Sehubungan dengan alasan penerapan asas desentralisasi tersebut, beberapa pakar memberikan pendapatnya, seperti The Liang Gie yang dikutip oleh Hanif Nurcholis, yang menjelaskan dianutnya desentralisasi adalah : 1. Desentralisasi
dapat
mencegah
penumpukan
kekuasaan
pada
pemerintah pusat yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2. Desentralisasi dapat dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, yaitu untuk ikut menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam pemerintahan dalam menggunakan hak – hak demokrasi. 3. Dilihat
dari
sudut
teknik
organisatoris,
desentalisasi
mampu
menciptakan pemerintahan yang efisien. Hal – hal yang lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempatnya pengurusannya diserahkan
25
J. Riwu Kaho, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”. Rajawali Pers, Jakarta, 1997, hlm 5. 26 Ibid, hlm. 10.
kepada daerah. Hal – hal yang lebih tepat ditangani pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat. 4. Dilihat dari sudut cultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan daerah, seperti keadaan geografi, penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. 5. Dilihat dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. 27 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah sebagai wakil pemerintah dan / atau perangkat pusat di daerah. Dalam Negara kesatuan seperti Indonesia, pelimpahan wewenang tersebut adalah dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagi wakil pemerintah dan / atau perangkat pusat di daerah disebut juga dengan instansi vertical, yaitu perangkat departemen dan / atau lembaga pemerintah non departemen di daerah (Pasal 1 angka 8 UU No.32 Tahun 2004). Dekonsentrasi sebenarnya sentralisasi juga tapi lebih halus dari pada sentralisasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administrasi dari pemeintah pusat kepada pejabatnya yang berada pada wilayah Negara di luar kantor pusatnya. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah wewenang administrasi bukan wewenang politik tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
27
Hanif Nurcholis, Op.cit, hlm.43.
Pejabat pemerintah pusat yang berada di wilayah Negara adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah pusat, dan ditempatkan pada wilayah – wilayah tertentu sebagai wilayah kerjanya. Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. 28 Harold F. Aldefer menjelaskan, pelimpahan wewenang dalam bentuk dekonsentrasi semata – mata menyusun unit administrasi baik tunggal ataupun dalam hiearki, baik itu terpisah ataupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. 29 Dalam dekonsentrasi tidak ada kebijakan yang dibuat ditingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan – badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuh – penuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Menurut Smith dekonsentrasi mempunyai cirri – cirri sebagai berikut : 1. Pelimpahan wewenang untuk melaksanakan fungsi – fungsi tertentu yang dirinci dari pemrintah pusat kepada pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. 2. Penerima wewenang adalah pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.
28 29
Ibid, hlm.19. Ibid, hlm.19.
3. Tidak mencakup kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan wewenang untuk mengatur. 4. Tidak menciptakan otonomi daerah dan daerah otonom tapi menciptakan wilayah administrasi. 5. Keberadaan field administration berada dalam hiearki organisasi pemerintah pusat. 6. Menunjukkan pola hubungan kekuasaan intra organisasi. 7. Menciptakan keseragaman dalam struktur politik. 30 Dalam dekonsentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi (impelementasi kebijakan politik) sedangkan kebijakan politiknya tetap berada pada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pejabat yang diserahi pelimpahan wewenang tersebut adalah pejabat yang mewakili pemerintah pusat, bukan dipilih oleh rakyat yang dilayani. Karena itu, pejabat tersebut bertanggung jawab kepada pejabat yang mengangkatnya yaitu pejabat pusat, bukan kepada rakyat yang dilayani. Medebewind (pembantuan) adalah penugaan pemerintah pusat kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumer daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan (Pasal 1 angka 9 UU No.32 Tahun 2004).
30
Ibid, hlm. 20.
Menurut Bagir Manan tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan undang – undang. 31 Kusumah atmadja mengartikan medebewind sebagai pemberian kemungkinan dari pemrintah pusat / pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah / pemerintahan yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga pemerintah / daerah yang tingkatannya lebih atas. 32 Dalam menjalankan medebewind tersebut urusan pusat / daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja cara daerah otonom menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah otonom ini tidak berada di bawah perintah, juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat / daerah yang lebih tinggi yang memberi tugas. Karena hakekatnya urusan yang diperbantukan pada daerah otonom tersebut adalah urusan pusat maka dalam sistem medebewind anggarannya berasal dari APBN. Anggaran pusat ini lalu ditransfer langsung ke kas daerah. Anggaran ini masuk ke rekening khusus yang pertanggunjawabannya terpisah dari APBD.
31 32
Ibid, hlm. 21. Ibid, hlm. 22.
Bagir Manan juga mengatakan : Pada dasarnya, tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang - undangan lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang – undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta dalamr rangka tugas pembantuan. 33
B. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah, dan DPRD. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, serta dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan menggunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada asas Umum penyelenggaraan Negara, yang di dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan “Asas – asas umum pemerintah yang layak”. Di negeri Belanda, asas – asas umum pemerintahan yang layak ini sudah diterima sebagai norma hukum tidak tertulis, yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, terutama Pejabat Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata Usaha
33
Ibid, hlm. 22.
Negara. 34 Sebelumnya dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas – asas ini sudah mulai diterima, walaupun secara formal belum diakui sebagai sesuatu norma hukum tidak tertulis yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas. Kemudian dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas – asas tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Asas dimaksud disebut dengan “Asas Umum Penyelenggara Negara”, yang dirinci antara lain: 1. Asas kepastian hukum; 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; 3. Asas kepentingan umum; 4. Asas keterbukaan; 5. Asas proporsionalitas; 6. Asas profesionalitas; 7. Asas akuntabilitas;
34
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) , 2005
8. Asas efisiensi; 9. Asas efektivitas. Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good governance” (tata pemerintahan yang baik). 35 Dalam menyelenggarakan fungsi – fungsi pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban tertentu. Hak – hak daerah tersebut antara lain : 1. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya; 2. Memilih pemimpin daerah; 3. Mengelola aparatur daerah; 4. Mengelola kekayaan daerah; 5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah; 6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 7. Mendapatkan sumber – sumber pendapatan yang lain yang sah; dan 8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang – undangan.
35
Ibid, hlm 27
Di samping hak – hak tersebut di atas, daerah juga dibebani beberapa kewajiban, yaitu: 1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; 3. Mengembangkan kehidupan demokrasi; 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan; 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; 7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 8. Mengembangkan sistem jaminan sosial; 9. Menyusunan perancanaan dan tata ruang daerah; 10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah; 11. Melestarikan lingkungan hidup; 12. Mengelola administrasi kependudukan; 13. Melestarikan nilai sosial budaya; 14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang – undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiyaan daerah, yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas – asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara efisien , efektif, transparan, bertanggung jawab, tertib, adil, patuh dan taat pada peraturan perundang – undangan. 36
C. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah : a. Politik luar negeri b. Pertahanan c. Keamanan d. Yustisi 36
Ibid hlm. 30
e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama Di dalam penjelasan UU No. 32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan di bidang : a. Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunujuk
warga negara untuk
duduk
dalam
jabatan
lembaga
internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; b. Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga Negara, dan sebagainya; c. Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara , menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan Negara, dan sebagainya; d. Moneter dan fiskal nasional, adalah misalnya mencetak uang, menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter / fiskal, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
e. Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga peradilan , mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan Lembaga Permasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman
dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesty,
abolisi, membentuk undang – undang , peraturan pemerintah dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; f. Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan
kebijakakan dalam penyelenggaraan kegidupan
keagamaan, dan sebagainya. Di samping itu, bagian tertentu urusan pemerintahan lainnya yang berskala nasional, yang tidak diserahkan kepada daerah. Selain enam urusan pemerintahan yang telah diuraikan di atas, sisanya menjadi wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas. Daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan apa saja selain enam bidang yang telah dikemukakan di atas, asal saja daerah mampu menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam menyelenggrarakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi seluas – luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas
pembantuan.
Tugas
pembantuan
pada
dasarnya
merupakan
keikutsertaan daerah atau desa, termasuk masyarakatnya atas penugasan atau
kuasa dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang tertentu. Pemberian tugas pembantuan harus disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Di samping itu. Terdapat bagian urusan pemerinahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten / kota. Untuk mewujudkan pembaian urusan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten / kota, disusunlah kriteria yang meliputi eksternalistis, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan 37 Selanjutnya dijelaskan kriteria – kriteria berikut ini : a. Kriteria eksternalitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak / akibat
yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemmerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, urusan pemerintahan tersebut menjadi wewenang provinsi, dan apabila nasional, menjadi wewenang pemerintah pusat.
37
Penjelasan Umum UU no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b. Kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung / dekat dengan dampak / akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. c. Kriteria efisiensi yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personel, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila dilaksanakan oleh daerah provinsi, dan / atau daerah kabupaten / kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemrintah pusat. Oleh karena itu, bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah provinsi dan / atau kabupaten / kota. Sebaliknya, apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna bila ditangani oleh pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memerhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya dan hasil guna tersebut didasari dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya risiko dihadapi.
d. Keserasian
hubungan
adalah
bahwa
pengelolaan
bagian
urusan
pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat
saling
berhubungan
(interkoneksi),
saling
tergantung
(interindependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan mempehatikan cakupan kemanfaatan. Pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana diuraikan di atas, ditempuh melalui mekanisme penyerahan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan – urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut, pemerintah pusat melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberi pengakuan atas bagian urusan – urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah. Sementara itu, terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi urusan pemerintah pusat, dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah. Walaupun berdasarkan otonomi luas yang dimiliki oleh daerah, daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang apa pun di luar urusan yang merupakan urusan pemerintah pusat. Namun, dalam pelaksanaannya harus mendapat pengakuan dari pemrintah pusat terlebih dahulu. Pengakuan ini diberikan oleh pemerintah pusat setelah melakukan verifikasi terhadap bagian urusan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini berbeda dengan undang – undang sebelumnya, yaitu UU No. 22 Tahun 1999, di mana dalam undang – undang tersebut dinyatakan bahwa penyerahan suatu urusan kepada daerah tidak memerlukan pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat.
Mengingat begitu luasnya otonomi yang dimilki oleh suatu daerah dan begitu banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, UU No. 32 Tahun 2004 membagi semua urusan tersebut atas dua kelompok, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. a. Perlindungan hak konstitusional; b. Perlindungan
kepentingan
nasional,
kesejahteraan
masyarakat,
ketenteraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian internasional. Hal ini berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan dasar, kesehatan, perumahan, kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sementara itu, urusan yang terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Dengan demikian, urusan pemerintahan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Menurut ketentuan pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan provinsi merupakan urusan skala provinsi yang meliputi : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Peencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dak ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan , dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten / kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota; i. fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, termasuk lintas kabupaten / kota; j. pengendailan lingkungan hidup; k. pelayanan petanahan termasuk lintas kabupaten / kota; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten / kota; o. penyelenggaraan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten / kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang – undangan.
Sementara itu, menurut ketentuan pasal 14 ayat (1) UU no. 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi urusan pemerintahan daerah untuk kabupaten / kota merupakan urusan yang berskala kabupaten / kota yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang – undangan. “Ketertiban umum” dan “ketentraman masyarakat” yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut di atas, termasuk di dalamnya perlindungan masyarakat” (Linmas). Urusan pemerintah provinsi dan kabupaten / kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, seperti pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata. Dalam menjalankan urusan pemerintahan, pemerintah daerah mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya. Dari hal ini jelas bagi kita, betapapun luasnya kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu, tetap ada hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Menurut ketentuan pasal 15 UU No. 32 Tahun 2004, hubungan di bidang keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi: a. pemberian sumber – sumber keuangan, umtuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah;
b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah; c. pemberian pinjaman dan / atau hibah kepada pemerintah derah. Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antar-pemerintah daerah meliputi: a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten / kota; b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama; c. pembiayaan bersama atas kerjasama antardaerah; d. pinjaman dan / atau hibah antarpemerintah daerah. Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan hubungan dalam bidang pelayanan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang meliputi: a. kewenangan, tanggung jawab dan ketentuan standar pelayanan nasional; b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan c. fasilitasi
pelaksanaan
kerja
sama
antarpemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan pelayanan umum. Selanjutnya pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; c. pengendalian lingkungan dan tata ruang, serta rehabilitasi lahan. Kemudian, dijelaskan juga hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah daerah, yang meliputi: a. pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; b. kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, antar pemerintah daerah; dan c. pengelolaan perizinan bersama dalm pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan sebagaimana diuraikan di atas diatur dalam peraturan perundang – undangan. Kewenangan pemerintah daerah terhadap wilayah lautnya diatur dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya di wilayah lautnya. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan / atau di dasar laut sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah lautnya meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administrasi, antara lain perizinan, kelaikan dan keselamatan; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah, atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; e. ikut serta dalam pemulihan keamanan; f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara. Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan sumber daya di wilayah paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil laut, kewenangan mengelola sumber daya di bawah laut dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antara dua provinsi tersebut. Sementara itu, untuk kabupaten/kota memperoleh sepertiga wilayah kewenangan provinsi. Ketentuan ini tidak berlaku bagi nelayan kecil dalam melakukan penangkapan ikan. Mereka dapat melakukan penangkapan ikan sejauh mereka sanggup. Mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut ini, selanjutnya akan diatur dengan undang – undang. 38
38
Abdullah Rozali Loc cit 22-26