Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
87. Mata September 1993
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata – Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesetyo 11. Kelainan Mata pada Sindrom Imunodefisiensi – Fatma Asyari 17. Beberapa Kelainan Kornea yang Berhubungan dengan Proses Imunologik – Gunawan 22. Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan Anti-viral pada Penyakit Mata – Suwardji Haksohusodo 30. Rejeksi Transplan – Bondan Harmani 34. Aspek Genetika pada Kelainan Uvea – Hartono 39. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata – Bambang Susetio 42. Penanganan Gangguan Sistem Ekskresi Lakrimal – Hadisudjono Sastrosatomo, Darmayanti Irwan, Lumongga Simangunsong 44. Keratotomi Radial – Sjamsu Budiono 47. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior – Hafid Ardy 55. Penatalaksanaan Uveitis – Soedarman Sjamsoe 59. Bedah Refraktif Masa Kini – Istiantoro 64. R.P.P.I.K
Mata merupakan salah satu indera manusia yang paling penting; bersyukurlah orang-orang yang dianugerahi mata yang sehat dan berfungsi baik, apalagi bila sepasang mata tersebut juga memperindah penampilan. Bukankah salah satu standar kecantikan adalah keserasian bentuk mata ? Karena fungsinya tersebut, dengan sendirinya kita harus selalu memperhatikan dan memelihara kesehatannya dengan jalan menghindari penyakit dan mencegah kerusakannya. Cermin Dunia Kedokteran kali ini memilih masalah Penyakit Mata, khususnya yang mengenai mata luar, kornea dan uvea sebagai topik utama; naskahnaskah ini telah didiskusikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 9-10 Juli 1993 yang lalu. Naskah ini kami terbitkan dengan tujuan agar dapat pula dimanfaatkan oleh para sejawat yang tidak berkesempatan mengikuti pertemuan tersebut, baik karena faktor.jarak maupun kesibukan. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan para sejawat, pembaca Cermin Dunia Kedokteran. Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi PELAKSANA Sriwidodo WS
REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
TATA USAHA Sigit Hardiantoro
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502
– Prof. DR. Sumarno Poorwo Soedarmo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Temprint
– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
REDAKSI KEHORMATAN
– Dr. B. Setiawan Ph.D
– Drs.Victor S. Ringoringo,SE,MSc.
– DR. Ranti Atmodjo
– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
3
English Summary GENETIC ASPECT ANOMALIES
OF
UVEAL
Hartono Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Gajah Mada University/Dr Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia
Some genetically determined structural and pigmentary abnormalities as well as inflammation affecting the iris have been discussed. These abnormalities can be isolated entities or as part of genetic syndromes both chromosomic and genic syndromes. Iris coloboma, aniridia, WAGR syndrome and ectopia pupillae are the examples; abnormalities of pigmentation are oculocutaneous albino, ocular albino and Waardenburg syndrome. The .occurence of associations between (a) HLA-B5 and Behcet disease, and (b) HLA-B27 and anterior uveitis in ankylosing spondylosis, uveitis in Reiter syndrome, iridocyclitis proves the importance of genetic factors in the pathogenesis of these diseases. Because iris abnormalities can be parts of some more severe clinical syndromes, a complete physical examinations as well as consultation to other experts of uveal anomalies is important to detect the occurence of minimal abnormalities because of variable expression of these diseases. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 34–8 htn
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
RADIAL KERATOTOMY
MANAGEMENT OF UVEITIS
Sjamsu Budiono
Soedarman Sjamsoe
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, Indonesia
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Universltyoflndonesla/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia
Radial keratotomy is a surgical procedure on cornea that is intended to reduce or to eliminate myopia. This procedure needs special considerations and instruments; it should also be preceded by careful examinations and detailed plan of incisions. The complications that should be taken into account are delayed wound healing, perforation, endophthalmitis, cicatrix, under/ overcorrection or astigmatism. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 44–6 brw
Uveitis can be caused by infections, immunologic reactions, as part of systemic diseases or by unknown factors. The management of uveitis consists of reduction of inflammation and elimination of causative agents with particular concern on the potential side effects of the drugs used. The non specific drugs that can be utilized are mydriatics, cycloplegics, corticosteroids and immunosuppresants, either through local or systemic administration; those drugs should be used in combination with specific or causal therapy. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 87: 55–8 brw
Artikel Dasar-dasar Imunologik pada Penyakit Mata Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Individu sehat melindungi dirinya terhadap mikroorganisme dengan berbagai mekanisme yaitu mekanisme imunitas alami dan imunitas spesifik. Mekanisme imunitas alami berupa barier fisik, sel fagositik darah dan jaringan, natural killer cell (NK), berbagai molekul dalam darah seperti komplemen, interferon dan tumor necrosis factor (TNF). Imunitas alami bersifat tidak spesifik artinya tidak dapat membedakan substansi asing tertentu:interferon a, (IFN a-), tumor necrosis factor (TNF). Mekanisme pertahanan spesifik, dipacu oleh pemaparan substansi asing (antigen), sistem ini berespon secara spesifik terhadap makromolekul tertentu, reaksinya akan meningkat karena pengaruh molekul-molekul sistem imun lain yang terlibat. Beda imunitas spesifik dari imunitas alami adalah bahwa reaksi imun (r.i.) spesifik dapat "mengingat" setiap mikroorganisme atau antigen asing yang pemah dijumpainya. Perjumpaan berikutnya dengan antigen yang sama akan memacu secara cepat dan efektif sistem imunnya. Reaksi imun spesifik mempunyai mekanisme protektif lebih tinggi dari pada non spesifik, bersifat langsung dan ditujukan khusus di tempat masuknya benda asing. Imunitas spesifik diklasifikasikan dalam sistem imun humoral dan seluler. Imunitas humoral terutama diperankan oleh sel B dengan mekanisme efektornya berupa antibodi, sedang imunitas seluler diperankan oleh limfosit dengan mekanisme efektornya berbagai sel T teraktivasi.
SISTEM IMUN TUBUH Sistem imun tubuh merupakan sistem yang amat kompleks dan melibatkan interaksi antar sel, gen dan molekul. Pengaturan mekanisme sistem imun merupakan fungsi dari interaksi tersebut. Komponen selular terutama adalah limfosit T, B dan makrofag. Dikenal limfosit T dengan subpopulasinya yaitu sel T helper
(Th)(CD4+), T supressor (Ts)(CD8+), T cytotoxic (Tcyt)(CD8+), T delayed hypersensitivity (Tdth). Sel T dapat diidentifikasi karena dapat membentuk roset .pada eritrosit dombā melalui CD2r. Sel T juga memiliki antigen permukaan sel CDS, CD3. Sel Th dan sel Ts merupakan sel regulator respons imun . Limfosit B ditandai dengan adanya molekul slg di permukaan selnya, memerankan imunitas humoral yang dalam proses aktivasi dan diferensiasinya menjadi sel plasma penghasil antibodi (imunoglobulin=Ig). Dikenal beberapa kelas Ig yaitu IgM terbanyak pada sirkulasi, IgG, IgA, IgE dan IgD yang juga terdapat pada membran selnya sebagai reseptor. Selain reseptor tersebut juga dijumpai reseptor untuk antigen-antibodi kompleks (FcR), komplemen reseptor (C3dR), EBVr, juga antigen permukaan sel CD 19, CD20 merupakan antigen lineage spesifik dan CD10, CD9 dan CD23 yang dijumpai umum pada sel B. Baik limfosit T maupun B di permukaannya mengekspresikan antigen MHC klas I dan sebagian MHC klas II yang penting untuk interaksi interseluler di samping memerlukan reseptor spesifik (IgR dan TcR). MHC (Major Histocompatibility Antigen) pada mencit, pada manusia disebut HLA (Human Leucocyte Antigen) sangat penting peranannya dalam membedakan antigen self dan nonself. Setiap antigen baik self atau nonself dikenali oleh sel T hanya bila terdapat bersama dengan molekul MHC. Dikenal antigen HLA klas I, klas II, dan klas III. HLA terletak pada kromosom 6, HLA klas I terdiri dari 4 lokus A, B, C, dijumpai pada permukaan setiap sel bernukleus fungsinya mempresentasikan fragmen antigen kepada sel T CD8, pada reaksi sitolisis oleh sel terinfeksi virus. HLA-klas II terdiri dari HLA-DR, DQ, DP terdapat pada sebagian sel seperti sebagian dari set T teraktivasi, sel B makrofag, dan antigen presenting cells (APC). Fungsi utama HLA klas II adalah dalam mempresentasikan antigen bersama kepada sel T CD4. HLA klas III merupakan antigen untuk komplemen T. HLA-B pada manusia terdapat lebih kurang 50 allel yang berbeda, sehingga ekspresinya sangat
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Judi 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
5
polimorfik. Antigenisitas berbeda dari HLA ini yang menyebabkan penolakan jaringan. Pada manusia terdapat 3 tipe HLA klas II yaitu DP, DG, DR. Untuk kasus yang ada hubungannya dengan penyakit menunjukkan individu dengan tipe HLA tertentu lebih suseptibel terhadap infeksi karma virus menggunakan HLA molekul sebagai reseptornya. Jika ada kesamaan antara antigen determinan clan molekul MHC host akan dapat menghambat respons imun sebab agen patogen terlihat sebagai self, sehingga tubuh tidak memberikan respons. Bila ada patogen maka akan menimbulkan kerusakan jaringan misalnya pada autoimun. Komponen molekiller yaitu antibodi atau imunoglobulin yang dihasilkan oleh sel plasma. Ada 5 klas Ig yaitu IgM, IgG, IgA, IgE, IgD. Kelima klas Ig ini berperan dalam keadaan yang berbeda. IgM berbentuk pentamer, terutama berperan pada reaksi imun primer. Reaksi imun sekunder biasanya menghasilkan IgG, sedang IgA khususnya berperan pada imunitas di daerah mukosa. IgD berperan pada fase diferensiasi sel B; sedang IgE ban yak dihubungkan dengan reaksi alergi. Komponen molekuler yang dihasilkan imunitas seluler berupa berbagai mediator yang dikenal sebagai sitoksin atau limfokin. Aktivasi scl dalam respon imun memcrlukan beberapa signal. Sebagian signal berupa substansi solubel yang dilepaskan olch berbagai sel. Substansi ini disebut sitokin. Sitokin berupa glikoprotein, bersifat nonspesifik, yang disintesis dan disekresi secara cepat dalam menanggapi rangsang dari luar. Sebuah sel dapat membuat beberapa sitokin. Satu sel dapat menjadi target
6
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
berbagai sitokin, masing-masing dengan reseptornya masingmasing. Interleukin-1 (IL-1). Dihasilkan oleh monosit. IL-1 memacu sintesis protein fase akut dan meningkatkan proliferasi sel T, juga merupakan substansi penyebab panas endogen. Interleukin-2 (IL-2). Disekresi oleh Th CD4+, substansi ini penting untuk aktivasi sel T dan sel B dalam menghasilkan Ig. Interleukin-3 (IL-3). Dihasilkan oleh limfosit T. Merupakan faktor pertumbuhan untuk sel stem hematopoitik dan sel mast. Interleukin-4 (IL-4). Dihasilkan oleh Th2CD4+. Merupakan faktor pertumbuhan sel B dan sebagian sel T, substansi ini mempengaruhi peningkatan ekspresi molekul MHC klas II pada sel B, memacu produksi IgE, IgGl. Interleukin-5 (IL-5). Disekresi terutama oleh sel Th2CD4+, Substansi ini berperan pada stimulasi pertumbuhan sel B dan sekresi Ig, juga memacu pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil. Interleukin-6 (IL-6). Disekresi oleh sebagian sel T dan beberapa sel lain. IL-6 memacu sintesis protein fase akut, meningkatkan aktivasi sel T dan produksi IL-2. IL-6 memacu sel B menghasilkan Ig dan berperan sebagai CSF yang memacu pertumbuhan sel progeni darah. Interleukin-7 (IL-7). Dihasilkan oleh fibroblas, sel endotel dan sebagian sel T. IL-7 merupakan faktor pertumbuhan bagi sel preT dan sel pre-B. Interleukin-8 (IL-8). Dihasilkan oleh beberapa tipe sel, IL-8 merupakan faktor kemotaktik yang poten untuk sel PMN dan granulosit lainnya.
Colony stimulating factor (CSF). Disintesis oleh sel T dan monosit. Berperan memacu pertumbuhan sel darah muda. Transforming growth factor (TGF-β). Disintesis oleh sel T dan monosit. Memacu produksi IgA. Tumor necrosis factor (TNF). TNF- β disintesis oleh monosit, TNF-5 disintesis terutama oleh sel T. Kedua substansi ini terutama mengaktivasi berbagai sel pada sistem imun dan non imun, sitotoksik pada sel tumor in vivo. MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN Fungsi utama sistem imun adalah mencari dan menghancurkan substansi asing dalam tubuh. Hal ini dilaksanakan dengan beberapa cara yaitu dengan direct killing (membunuh langsung) sel target yang mengekspresikan antigen asing diperankan oleh T cyt. Sedangkan antibodi dieliminasi dengan berbagai cara yaitu netralisasi toksin, netralisasi virus, opsonisasi bakteri, aktivasi komplemen dan antibody dependent sitotoksisitas (ADCC) yang diperankan oleh NK sel, reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperankan oleh Tdth yang menimbulkan tanda-tanda radang. PENGARUH PROTEKTIF & MERUGIKAN DARI RESPON IMUN TUBUH Inflamasi merupakan cara proteksi tubuh yang efisien terhadap mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam tubuh. Setelah sembuh dari sakit akan terbentuk imunitas protektif, tetapi sel atau mediator kimiawi yang terlibat dalam reaksi inflamasi juga mampu merusak jaringan sehingga mengganggu fungsi organnya. Efek yang merugikan akibat inflamasi disebut sebagai reaksi hipersensitif (alergi). Reaksi inflamasi dapat digolongkan dalam 4 tipe yaitu: 1. Cell mediated immunity (CMI) atau delayed type hypersensitivity (DTH), 2. Immune complex, 3. IgE Immediate phase, 4. Cutaneous basophil hypersensitivity. Cell Mediated Immunity (CMI) juga disebut delayed hypersensitivity (DTH); istilah ini dipakai untuk menjelaskan fenomena imunologik baik yang bersifat protektif maupun yang merugikan. Mekanismenya adalah antigen dipresentasikan bersama molekul MHC Idas II oleh APC kepada sel Tdth. Akibat aktivasi tersebut sel Tdth akan melepaskan berbagai mediator (limfokin) sel Tdth dan juga akan menarik sel radang seperti monosit, granulosit, limfosit T dan B dan sel basofil. Aktivasi makrofag oleh MAF akan meningkatkan ekspresi MHC klas II dan meningkatkan kemampuan fagositosis dan bakterisidnya. Akibat pelepasan limfokin terjadi khemotaksis, vasodilatasi, deposisi fibrin, dan pembentukan granuloma. Vasodilatasi menghasilkan peningkatan sel dari sirkulasi, aktivasi sistem koagulasi kinin menyebabkan deposisi fibrin yang penting dalam deposisi reaksi inflamasi, dan rnemberikan indurasi kutaneus. Keadaan CMI/DTH secara alami terjadi selama peristiwa infeksi, secara buatan misalnya pada imunisasi atau melalui kontak dengan berbagai zat kimia pada kulit atau membran mukosa,. Imunitas pada infeksi intraselular seperti tuberkulosis dan lepra, virus, Chlamydia, fungi, bakteri, protozoa, infeksi parasit. Pada keadaan tertentu tidal( terjadi reaksi inflamasi dari host keadaan ini disebut anergi yang ditandai dengan reaksi kulit
DTH negatif. Immune complex. Inflamasi yang disebabkan adanya imun kompleks biasanya terjadi setelah reaksi antigen antibodi yang kemudian diikuti aktivasi komplemen. Inflamasi yang disebabkan karena aktivasi komplemen dapat berarti memberi imunitas pada tubuh tetapi juga menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitasnya dapat berupa reaksi kulit Arthus atau serum sickness sistemik. Antigen pemacu dapat berupa protein dengan BM tinggi atau hapten. Untuk dapat mengaktivasi komplemen perlu ikatan hapten dengan protein karier host. Reaksi yang terjadi sangat tergantung pada dosis antigen terutama path serum sickness. Pemaparan dengan antigen dalam jangka lama juga akan mempengaruhi. Diduga ada 4 macam kejadian. a) Complement activating antibodies. Antibodinya harus antibodi yang mampu mengaktivasi komplemen. IgM dan IgG (kecuali IgG4) merupakan antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen melalui cara klasik. IgA dapat mengaktivasi komplemen melalui cara alternatif. IgE, IgD tidak mempunyai kemampuan mengaktivasi komplemen, maka tidal( masuk dalam keadaan imun kompleks ini. b) Pembentukan imun kompleks. Antigen-antibodi membentuk molekul yang besar dalam sirkulasi, yang kemudian dideposisi di jaringan. c) Deposisi Immune complex. Kompleks antigen-antibodi dideposisi pada beberapa jaringan. Bila imun kompleks tadi cukup besar, maka akan ditangkap di membran basal glomerulus dan dalam pembuluh darah, yang dideposisi di lamina elastika interna. Penempatan kompleks imun pada jaringan juga ditentukan oleh aliran darah, muatan ion dari kompleks imun. Pada reaksi kulit Arthus, konsentrasi tinggi dari kompleks imun ditimbulkan karena injeksi antigen pada kulit yang kemudian dideposisi secara lokal pada pembuluh darah. Pada keadaan di mana antibodi dideposisi pada antigen yang terdapat pada sel dapat menjadi autoantigen, yang menimbulkan reaksi autoimun. d) Aktivasi komplemen. Aktivasi ini dapat dimulai melalui jalur klasik atau altematif, tergantung dari kelas imunoglobulin. Faktor radang utama dari komplemen adalah C5a, yang bersifat khemotaktik terhadap neutrofil yang terdapat dalam jaringan maupun sirkulasi. Netrofil akan melepaskan enzim lisozymelan pada proses fagositosis menimbulkan oksigen toksik yang dapat merusak membrana elastika interna pembuluh darah, yang berakibat endotel kapiler membengkak dan berproliferasi sehingga terjādi pengumpulan trombosit. Kemudian sel mononuklear menginfiltrasi daerah itu. Mekanisme kontrol untuk membatasi inflamasi kompleks imun Baru-baru ini ditunjukkan bahwa enzym C3 convertase (dibentuk karena aktivasi C3 oleh faktor B jalur alternatif) bila melekat pada kompleks imun pada keadaan seimbang akan melepaskan ikatan antigen antibodi, sehingga imun kompleks tidak terbentuk. Pada keadaan normal imun kompleks dalam jumlah kecit tidak menimbulkan penyakit. Antigen dari makanan, dari ling-
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
7
kungan dan autoantigen dapat menimbulkan kompleks imun normal. Kompleks ini dieliminasi secara fagositosis oleh sel mononuklear yang dilengkapi dengan reseptor Fc IgG dan C3. Jadi untuk terjadinya penyakit imun kompleks diperlukan : 1. antigen dalam jumlah besar, 2. pembentukan molekul imun kompleks yang besar sehingga dapat mengaktifkan sistem komplemen, 3. kegagalan sistem fagositosis mononuklear, mungkin karena reseptor Fc abnormal. Mekanisme klinis inflamasi kompleks imun dapat berupa reaksi Arthus, biasanya berupa bentuk ringan inflamasi, seperti pada gigitan insekta atau injeksi obat. Serum sickness manifestasinya berupa demam, limfadenopati, artralgia, dermatitis. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian dalam jumlah besar serum hiperimun untuk pengobatan infeksi atau terjadi pada reaksi alergi terhadap penisilin atau fase prodromal infeksi virus. IgE mediated inflammation. Respons inflamasi di sini diperantarai reaksi antara antigen dengan IgEr, path sel mast. Akibat ikatan tersebut akan terjadi aktivasi sel mast, yang diikuti degranulasi dan pelepasan berbagai mediator, mula-mula pengaruhnya nampak pada pembuluh darah, otot polos dan kelenjar sekretorik, kemudian baru diikuti reaksi inflamasi. Jenis inflamasinya adalah segera. Berbagai antigen misalnya alergen yang dihirup, obat-obatan per injeksi, mikroorganisme terutama cacing tertentu. Penting di sini adalah dosis antigen, kebalikan dari kompleks imun yang ditimbulkan akibat dosis antigen yang tinggi, antibodi IgE terbentuk dari rangsangan antigen dalam jumlah kecil, dan sekali IgE ini terbentuk sejumlah kecil antigen cukup untuk memacu respons inflamasi. Rantai H IgE mempunyai afinitas tinggi terhadap sel mast (FceR) atau sel basofil. Ikatan bersifat reversibel. Setelah sel teraktivasi, serentetan kejadian perubahan biokimiawi terjadi. Mula-mula terjadi aktivasi enzim pada membran yaitu serin oksidase, phospholipase C dan adenil sikiase. Kemudian diikuti oleh influx ion Ca++ ekstraselular ke dalam sel. Reaksi enzimatik pertama terjadi 15 detik setelah ikatan IgE antigen terjadi. Kemudian akibat mobilisasi protein kinase C dan siklus AMP intraselular meningkat, yang menyebabkan fusi membran granula dalam sitoplasma mast cell, yang kemudian diikuti dengan degranulasi. Histamin dan leukotrien akan menimbulkan respons segera berupa eritema, edema lokal. MediatorPAFpenting pada reaksi lambat, yang ditandai dcngan penarikan sel-sel radang terutama neutrofil dan eosinofil. SISTEM IMUN PADA MATA Mata juga dilcngkapi dengan sistem imun yang unik baik imunitas alami maupun spesifik. Pertahanan alami dari adanya kelopak mata dengan dilcngkapi bulu mata, air maw yang mengandung berbagai zat anti baktcri scperti: laktoferin, betalisin, lisosim, antibodi dan bola maw yang utuh. Kornea dilengkapi dengan tight junction antar sel yang mclindungi terhadap masuknya partikel atau molekul asing. Permukaan sclnya ditutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrovili. Molekul asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus melalui berbagai rintangan tadi ditambah lagi dengan adanya scrabut-serabut kolagen pada stroma dan mukopolisakarida.
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Limfosit tidak dijumpai pada stroma kornea maka hipersensitivitas lambat tidak dapat terjadi. Kornea kadang-kadang mengalami peradangan yang biasanyadimulai padabagianlimbus kemudian meluas ke kornea. Kepadatan struktur seluler kornea menghambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh karena itu transplantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab limfosit tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi kornea tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90% (10% ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau terjadinya saluran limfatik karena infeksi kronis). Walaupun kornea tidak mengandung limfosit tetapi mata setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan yang diproduksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit yang banyak. Korpus vitreum CV tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover CV sangat lambat, maka CV dapat bertindak sebagai adjuvant terhadap antigen. Retina dan nervus optikus Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri. Lensa Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh tidal( ada antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk ke dalam lensa. Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang dapat memacu respons imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam protein. Tiga di antaranya adalah alfa, beta dan gama kristalin yang bersifat solubel, sedang yang lain seperti albuminoid dan tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal dari kristalin alpha yang sifatnya seperti albumin. Protein yang paling antigenik adalah kristalin alfa. Zat albumin sifatsebagai adjuvan schingga protein kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata yang lain seperti konjungtiva dan kelenjar air maw dilengkapi dengan sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag. Air mata Kelompok mata dapat menyapu partikel dan membcrsihkan permukaan mata dan air maw dapat membuang partikel setelah disapu. Dalam air mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin (IgA, IgG, IgM, IgE). Kadar lg dalam air maw sebanding dengan kadar dalam serum (lebih rendah). Sclain itu dalam mata terdapat lizozim, komplemen dan histamin dalam kadar rendah. Ig predominan di dalam air mats adalah IgA. Konsentrasi secretory (s) IgA pada air mata tikus kurang lebih 200 µg/ml yang dihasilkan oleh sel-sel plasma di dalam kclenjar lakrimal. Jumlah total selsel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Scl-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG dan IgM terdapat pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada scl-scl untuk IgA. Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah scl-scl penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah selsel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal. Kelenjar lakrimalis Kira-kira berjumlah 6–42 kelenjar pada jaringan konjung-
tiva atas. Sel radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial dan pada kelenjar lakrimalis asesoria. Suing dijumpai sel eosinofil dan (basofil tidak ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan IgE. Imunoglobulin pada jaringan math Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitarnya kecuali lensa. Konsentrasi tertinggi pada kornea, khoroid, konjungtiva dan lain-lain. Konsentrasi sedang pada otot dan sklera, dan konsentrasi rendah dijumpai pada korpus siliare, iris, korpus vitreum, retina. PENYAKIT IMUNOLOGIK PADA MATA Penyakit imunologik pada math dapat digolongkan dalam dua bagian besar yaitu: antibody mediated dan cellular mediated disease. Penyakit mata yang dimasukkan ke dalam antibody mediated disease adalah hay fever conjunctivitis, vernal conjunctivitis dan atopic keratoconjunctivitis. Rheumatoid disease yang mempengaruhi mata. Penyakit mata yang masuk dalam cell mediated disease adalah ocular sarcoidosis, ophthalmia symphatica dan sindrom Vogt-Koyanagi Harada, reaksi transplan kornea dan lain-lain. Hay fever conjunctivitis, bentuknya seperti penyakit atopik, antigen akan terikat pada IgEr pads sel mast yang diteruskan dengan pelepasan histamin dan amin vasoaktif yang lain, dengan segala akibatnya. Vernal conjunctivitis seperti hay fever conjunctivitis biasanya pada musim panas. Atopic keratoconjunctivitis seperti hay fever conjunctivitis, interaksi IgE dengan antigen akan memacu degranulasi sel mast, selain itu juga terjadi infiltrasi sel mononuklear pada papila konjungtiva. Termasuk Rheumatoid disease misalnya Ankylosing Spondylitis biasanya disertai kelainan pada mata berupa sakit, mata merah dan fotofobi. Reiter disease lebih banyak mengenai pria daripada wanita, kelainan pada mata berupa iridocyclitis pada kedua mats dan disertai hypopion. Pemphigus vulgaris, biasanya disertai dengan rasa sakit karena adanya penempelan antibodi pada antigen selular epithel conjunctiva. Lens-induced uveitis merupakan keadaan yang jarang, diduga karena adanya antibodi beredar terhadap antigen lensa. Hal ini dapat terjadi pada lensa yang menjadi permeabel terhadap protein akibat trauma atau penyakit. Cell mediated disease. Penyakit ini dihubungkan dengan cell mediated immunity atau delayed hypersensitivity. Berbagai struktur mats diinvasi oleh sel mononuklear, terutama limfosit dan makrofag. Pada ocular sarcoidosis, terjadi panuveitis dengan peradangan nervus optikus dan pembuluh darah retina. Penderita biasanya anergik terhadap berbagai antigen mikrobia, hal ini diduga karena aktivasi T supressor yang berlebihan. Ophthalmia sympathica merupakan peradangan pada mata kedua setelah mata pertama terkena trauma. Pada sebagian besar kasus, uvea yang terkena trauma telah terpapar pada atmosfer selama paling tidak 1 jam. Terjadi tanda-tanda uveitis anterior setelah selama 2 minggu sampai beberapa tahun post trauma, pada mata yang tidak terkena trauma. Kelainan ini sering disertai
dengan vitiligo dan poliosis. Sindrom Vogt-Koyanagi Harada gambaran klinisnya berupa inflamasi uvea kedua mata disertai iridocyclits, choroiditis bercak. Vitiligo dan poliosis biasanya menyertai kelainan ini. Pada kedua penyakit ini terjadi hipersensitivitas lambat terhadap sel mengandung melanin. Material solubel dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina diduga merupakan autoantigen. Selain itu ada dugaan juga bahwa infeksi virus dapat mengganggu struktur pigmen pada mata, kulit dan rambut. Penyakit Behcet. Ditandai dengan iridosiklitis yang berulang dan hipopion. Diduga karena hypersensitivitas lambat, tetapi adanya kenaikan serum komplemen menimbulkan dugaan kemungkinan merupakan immune complex disease. Trachoma, yang disebabkan karena infeksi Chlamydia trachomatis, adalah pen yebab utama kebutaan. Penyakit ini merupakan follicular conjunctivitis khronis, tapi sering melibatkan kornea dalam bentuk keratitis punctata atau infiltrasi vaskuler (pannus). Patogenesis pannus bclum diketahui pasti. Diduga bahwa infeksi inisial Chlamydia memic.0 proses imunologik di epitel konjungtiva, seperti ekspresi antigen MHC klas II. Ekspresi klas II pada epitel ini mempunyai korcklsi positif dengan beratnya perubahan folikuler konjungtivam hipertrofi papiler dan timbulnya pannus korneal. Gambaran histopatologik folikelfolikcl pada konjungtiva yang meradang menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel T mengelilingi sel-sei limfosit B. Reaksi transplantasi kornea.Transplantasi kornea merupakan pengobatan untuk kekeruhan kornea yang disebabkan karena trauma, bahan kimiawi, jaringan parut karena infeksi herpes, disfungsi sel endotel, kētatokonus, dan lain-lain. Kornea merupakan jaringan manusia yang ditransplantasikan pertama kali, sebab pada umumnya resipien toleran terhadap jaringan tadi. Hal ini disebabkan karena: 1. kornea tidak mempunyai pembuluh darah dan vasa limfatika, 2. tidak pernah mengalami presensitisasi dengan antigen kornea sebelumnya. Reaksi terhadap cangkok kornea biasanya disebabkan karena kerusakan kornea akibat infeksi. Kornea semacam ini biasanya telah ditumbuhi pembuluh darah dan vasa limfatika. Oleh karena itu persyaratan agar transplantasi berhasil adalah endothelium kornea harus sehat, untuk menjaga agar kornea tetap jernih, mekanisme pompa tergantung pada energi untuk menjaga kornea dari pembengkakan akibat air. Baik mekanisme seluler maupun humoral terlibat dalam reaksi penolakan jaringan cangkok. Pada penolakan cangkok awal (dalam 2 minggu) merupakan reaksi imunitas selular, sel Tcytbergerak dari limbus ke arah kornea membentuk garis penolakan. Reaksi penolakanlambat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah pencangkokan. Penolakan lambat diperankan oleh antibodi, dengan ikatannya dengan komplemen akan mengaktivasi dan menarik PMN yang dapat membentuk seperti cincin pada kornea di tempat deposisi maksimal dari kompleks imun.
KEPUSTAKAAN 1.
Abba TI. Mechanism of inflammation. In: BasictlumanImmunology, 1st ed.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
9
2. 3. 4. 5.
London: Prentice Hall International Inc. 1991. Abbas AK, Lichtman All. Immunologic tolerance and regulation of the immune system. In: Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia: W.B. Saunders Co, 1991. Allansmith MR. Clinical aspects of ocular immunology. In: The Eye and Immunology. London: C.V. Mosby Co. 1982. Davis JL, Mittal KK, Friedlin V dkk. HLA association and ancestry in Vogt Koyanagi-Harada disease and sympathetic ophthalmia. Ophthalmolpgy, 1990; 97: 1137–1142. Fong LP, de la Maza, Rice BA, Kuferman AE, Foster S. Immunopathology of scleritis. Ophthalmology 1991; 98: 472–478.
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
6.
Kervick GN, Pfugfelder, Haimovici R dkk. Paracentral rheumatoid corneal ulceration. Clinicalfeatures and cyclosporin therapy. Ophthalmology 1992; 99: 80–88.
7.
Tuft SJ, Kemeny M, Dart JKG, Buckley RJ. Clinical features of atopic keratoconjunctivitis. Ophthalmology 1991; 98: 1550–1558. Vaughan D, Asbury T. Immunologic disease of the eye. In: General Ophthal mology, 10th ed. Lange Med. Public., Japan 1983. Benjamini E, Leskowitz. Hypersensitivity reactions: Antibody mediated, Typel-anaphylactic reactions. In: Immunology, a short course, 2nd ed. New York: John Wiley & Sons Inc. 1991.
8. 9.
Kelainan Mata pada Sindrom Imunodefisiensi Fatma Asyari Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN Imunodefisiensi adalah suatu keadaan menurunnya daya tahan seseorang. Keadaan ini dapat terjadi pada : – Kelainan kongenital (agamaglobulinemia) – Usia lanjut – Pemakaian obat-obat imunosopresif (pada penderita kanker, transplantasi) – Sindrom imunodefisiensi akuisita (AIDS/SIDA). AIDS adalah suatu penyakit yang fatal yang mengenai multi sistem tubuh manusia yang disebabkan oleh virus Human Immuno Deficiency (HIV), suatu Retrovirus yang secara langsung menginfeksi sel-sel sistem imune terutama sel T sehingga seluruh sistem imun menjadi lumpuh dan tidak sanggup menolak kuman apapun yang masuk ke dalam tubuh penderita. Sebagai akibat menurunnya kekebalan tubuh ini terjadi beberapa infeksi oportunistik serta timbul tumor tertentu (yang tidak lazim serta jarang), tanpa ada penyebab imunodefisiensi yang lain. AIDS masa kini sudah menjadi masalah di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun penderita AIDS belum banyak ditemukan, tapi kasus demi kasus sudah mulai bermunculan dan tanpa diduga pertambahan kasus di Indonesia tergolong sangat cepat, bahkan ditakutkan penyebaran AIDS di negara-negara Asia lebih cepat daripada di negara-negara Barat. Kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Maret 1993 dapat dilihat pada tabel 1. Dalam 2 bulan terakhir terjadi 2 x lipat jumlah kasus dan ini menunjukkan penambahan yang sangat cepat yang telah menyebar pada 9 dari 27 propinsi di Indonesia. Imunologi AIDS HIV secara langsung menginfeksi sel-sel imun sehingga terjadi gangguan fungsi imunologis penderita yang bersifat me-
Tabel 1.
Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia sampai Maret 1993
Tahun
AIDS
HIV (+)
Jumlah
1987 1988 1989 1990 1991 1992
2 2 2 6 9 5
4 4 5 4 9 31
6 6 7 10 18 36
1993
5
49
54
Total
31
106
137
Tabel 2.
Jumlah kasus AIDS/HIV berdasarkan kebangsaan penderita sampai Maret 1993 AIDS
HIV (+)
Jumlah
Indonesia Asing
Tahun
19 12
49 52
68 64
Tidak diketahui
0
5
5
Total
31
106
137
Tabel 2. Jumlah kasus AIDS/HIV di Indonesia berdasarkan jenis kelamin Maret 1993 AIDS
HIV (+)
Jumlah
Laki-laki Perempuan
31 0
85 17
116 17
Tidak diketahui
0
4
4
Kelamin
netap dan progresif. 1. Kelainan pada imunitas seluler (CMI) ditandai dengan limfopenia terutama sel T helper dan rasio T helper: T supressor menjadi terbalik.
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 full 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 11
2. Kelainan Imunitas Humoral. 3. Kelainan Kompleks Imun. 4. Kelainan Imunitas Fagosit. 5. Kelainan Sitokins (Limfokin). Kelainan-kelainan tersebut menyebabkan pada penderita AIDS: In Vivo : – penderita menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik. – timbul tumor yang tidak lazim. – respons hipersensitivitas tipe lambat (seluler) tidak ada. In Vitro : – respons proliferasi limfosit terhadap antigen dan mitogen terhambat. – efek sitostatik baik spesifik maupun nonspesifik menurun. – aloreaktivitas menurun. – tidak dapat memberikan bantuan kepada limfosit B. Manifestasi AIDS pada mata pertama-tama dilaporkan oleh Holland et al, (1992). Dikatakan bahwa 80% penderita AIDS disertai kelainan mata dan berdasarkan kenyataan ini dokter mata mempunyai peranan yang penting bahkan yang pertama mendeteksi, mendiagnosis adanya kelainan AIDS pada seseorang, dapat mengevaluasi hasil terapi dan progresivitas penyakit serta menentukan prognosis. Manifestasi AIDS pada mata dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori : 1. Lesi yang berhubungan dengan mikrovaskulopati retina. 2. Infeksi oportunistik. 3. Tumor mata dan adneksa. 4. Kelainan neuro oftalmik yang berhubungan dengan kelainan intrakranial. Tabel 4.
Kelainan mata yang scring dijumpai pada AIDS
Cotton wool spots CMV Retinitis Perdarahan retina Sarkoma Kaposi konjungtiva Tabel 5.
25–53% (75% autopsi) 4–34% 6–4% 10%
Kelainan mata yang jarang dijumpai
– Herpes Zoster oftalmikus − Toxoplasmosis − Herpes simpleks retinitis − Cryptococcus KELAINAN MIKROVASKULOPATI Cotton wool spots yang dijumpai pada lebih dari 70% penderita AIDS merupakan manifestasi klinis yang paling sering, merupakan salah satu manifestasi kelainan mikrovaskuler retina. Akibat kerusakan pada endotel pembuluh darah kapiler terjadi vaskulitis, mikro thrombus, dan menimbulkan gambaran klinis edema, iskhemi, cotton wool spots, perdarahan, Roth's spot dan mikro aneurisma pada retina. Perubahan-perubahan mikro vaskuler ini tidak spesifik karena menycrupai yang terjadi pada retinopati diabetika dan hipertensi, anemia, SLE, leukemia dan dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan Fundus Fluorescein Angiography. Pada AIDS lesi biasanya mcngcnai polus posterior dckat papil. Perdarahan retina pada AIDS dijumpai pada CMV Retinitis
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
atau bersama-sama dengan cotton wool spots dengan gambaran klinis flame shaped, dot and blot, pungtata pada jaringan intra retina perifer atau Roth's spot. Gambaran kelainan mikrovaskular yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan FFA antara lain: mikroaneurisma, telangiektasia dan daerah non perfusi serta capillary loss. Kelainan mikrovaskulopati konjungtiva dapat terlihat jelas dengan pemeriksaan slit lamp seperti dilatasi kapiler, kaliber yang ireguler, mikroaneurisma, agregasi eritrosit (granular appearance) serta aliran darah yang lambat. Kelainan ini mudah terlihat pada pembuluh darah inferior konjungtiva bulbi.
INFEKSI SEGMEN ANTERIOR MATA a) Herpes Zoster Oftalmikus Infeksi HZO dapat menimbulkan morbiditas yang tinggi serta menentukan prognosis penderita 61% dari penderita HZO di bawah usia 44 tahun (di New York City) merupakan anggota dari kelompok risiko tinggi AIDS. HZO pada penderita AIDS/ HIV biasanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dalam bentuk klinis lesi kulit, keratitis, uveitis anterior dan keratitis dendritika. Status imunodefisiensi pada infeksi HIV menyebabkan infeksi virus lebih aktif dan persisten pada epitel kornea. Terapi dengan Acyclovir salep mata memberikan respons yang baik. Pada infeksi berat, asiklovir sistemik harus diberikan sedangkan steroid merupakan kontra indikasi untuk mencegah imunodefisiensi yang lebih berat. b) Infeksi Virus Herpes Simpleks Infeksi Herpes Simpleks baikprimer maupun sekunder yang luas dan rekuren pada kulit selaput lendir maupun mata menunjukkan suatu keadaan imunodefisiensi. Pada penderita AIDS dengan infeksi HSV, vesicle dengan dasar eritem dijumpai pada regio mulut, genital dan perianal, acapkali berulang dan luas sehingga pengobatan harus dalam jangka waktu yang lama. Herpes Simpleks Keratitis – Lebih scring mengenai limbus perifer kornea dari pada kornea sentral. – Rekurens sangat scring. – Perjalanan penyakit lama. Pengobatan dengan asiklovir memberikan hasil yang cukup baik terhadap virus tersebut, dalam mencegah kekambuhan serta menghentikan replikasi virus. Asiklovir sistemik dapat mencapai akuous dan sistem saraf pusat sehingga dapat mencapai kadar obat yang adekuat pada jaringan mata, otak maupun ganglion trigeminal tempat reservoir virus. Dosis: 5–10 mg/kg BB intravena diteruskan dengan 200 mg 5x sehari Mama 2–3 minggu. Akan tetapi pada penderita AIDS dcngan infeksi HSV yang scring berulang dan luas pengobatan harus dalam jangka waktu yang lama. c) Keratomikosis Jika pada hospcs normal keratomikosis acapkali didahului olch trauma, atau pemakaian steroid, pada pendcrita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan tanpa faktor predisposisi
Gambar 1 . Konjungtiva pada Sarkoma Kaposi, gambarannya menyerupai perdarahan subkonjungtiva
Gambar 2a . Infeksi oportunistik sitomegalovirus yang sangat progresif cepat
pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua mata. Jamur penyebab antara lain: Candida parapsilosis, Candida albicans dan biasanya dapat disembuhkandengan terapi Amphotericin B, miconazol, ketoconazol.
Cytomegalovirus ditemukan pada seluruh lapisan retina dan pigmen epitel retina kadang-kadang di khoroid. Pada 15 dari 100 penderita, CMV retinitis merupakan manifestasi initial penyakit AIDS. Data epidemiologik menunjukkan bahwa CMV dapat ditularkan secara seksual. Hampir 100% laki-laki homoseks dengan infeksi HIV disertai seropositif CMV dan lebih dari separuhnya CMV ditemukan pada urine dan semen. Lebih dari 90% penderita AIDS disertai infeksi CMV (pada pemeriksaan otopsi) dan lebih dari 50% terdapat CMV viremia. Pengobatan masih merupakan masalah karena tidak ada terapi spesifik untuk CMV, meskipun akhir-akhir ini dilaporkan beberapa penelitian dengan antivirus yang dikenal dengan nama DHPG atau Ganciclovir. Obat ini efektif terhadap CMV, karena dapat mencegah replikasi virus, akan tetapi tidak dapat mengeradikasi virus yang tetap berada di retina. Oleh karena itu pemakaian harus terus menerus untuk mencegah reaktivasi serta mempertahankan agar lesi tidak meluas. Dosis 5 mg/kg BB intravena. Pengobatan initial (induksi) selama 2–4 minggu dapat menghentikan progresivitas retinitis, dan dengan dosis yang dipertaha,tkan dapat menghambat atau memperlambat kekambuhan. Pemberian secara intra vitreal 400 ug dalam 0.1 ml/ minggu dapat memberikan respons klinis yang sama dengan pemberian secara intravena. Leukopenia merupakan efek toksik obat yang bersifat reversibel bila obat dihentikan akan tetapi reaktivasi dapat timbul 114 minggu setelah obat dihentikan. Adenine Arabinoside 20 mg/kg BB secara temporer dapat mengurangi virus shedding serta menghambat progresivitas penyakit. Phosphonoformate (Foscarnet), suatu inhibitor virus DNA polymerase, dapat melewati blood brain barrier dan dikatakan efektif terhadap CMV, dosis 60 mg/kg BB 3 dd. Asiklovir dan V idarabine dikatakan tidak efektif terhadap CMV, karena enzimnya berbeda. Kekambuhan CMV retinitis sering terjadi meskipun masih
d) Keratitis Bakteri Infeksi kornea oleh Pseudomonas aeruginosa, Stafilokok aureus dan epidermidis pada penderita dengan imunodefisiensi biasanya lebih berat serta lebih luas mengenai sklera bahkan perforasi kornea. Pengobatan biasanya lebih sulit dan harus lebih intensif dengan antibiotik. e) Molluscum contagiosum Pada penderita AIDS biasanya dengan onset yang lebih cepat, lesi lebih besar dan lebih banyak. INFEKSI OPORTUNISTIK SEGMEN POSTERIOR MATA a) Retinitis Cytomegalovirus Infeksi Cytomegalovirus merupakan penyebab utama penurunan visus, kebutaan bahkan kematian pada penderita AIDS hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Infeksi CMV pada retina disebabkan penyebaran secara hematogen ke retina. Gambaran klinis yang khas pada retina dalam bentuk eksudat, edema, perdarahan, vaskulitis yang sangat progresif dan berakhir dengan nekrosis, kalsifikasi serta atrofi seluruh lapisan jaringan retina, sedangkan jaringan khoroid relatif tidak terlibat, karena virus ini bersifat neurotropik ditambah lagi peranan membrana Bruch yang merupakan barrier mencegah masuknya virus ke khoroid. Reaksi radang dapat juga terjadi di korpus vitreum dan menimbulkan kekeruhan vitreous. Diagnosis klinis tidak sulit, lesi retina yang khas yang disebut Pizza pie appereance dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan funduskopi. Ditemukannya antibodi terhadap CMV di dalam serum dan akuos dapat menunjang diagnosis. Adanya CMV retinitis dapat pula disertai infeksi CMV secara sistemik.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 13
Gambar 2b : Retinitis sitomegalovirus luas yang mengenai seluruh jaringan retina
Gambar 3 : Infeksi oportunistik toksoplasmosis di retina
dalam pengobatan (30-40%) bahkan dapat mencapai 100% bila pengobatan dihentikan. Pengobatan dengan Imunopotensiator dapat membantu memperbaiki status imunologis penderita. Efek samping Gansiklovir : − toksis terhadap sumsum tulang (anemia, neutropenia, trombositopeni). − toksik terhadap hepar. − toksik terhadap ginjal. − atrofi testis. − atrofi mukosa gastro intestinal. CMV merupakan penyebab kelnatian akibat infeksi oportunistik yang paling sering pada penderita AIDS, dan oleh karena CMV retinitis merupakan manifestasi lambat penyakit AIDS hal ini menunjukkan prognosis yang buruk. Lesi retina meluas dengan cepat dalam waktu beberapa bulan dan tidak mungkin terjadi rcmisi spontan. Terapi dikatakan efektif, apabila lesi CMV menunjukkan perbaikan dan tidak timbul lesi baru.
buhan.
b) Retinitis Herpes Simpleks dan Varicella Zoster Berbeda dengan CMV Retinitis yang bersifat kronis dan progresif, Herpes simpleks atau varicella zoster virus menimbulkan kelainan akut dan self limited dengan gambaran klinis Acute Retinal Necrosis (ARN). Apabila CMV mencapai retina mclalui penycbaran secara hematogen, HS dan VZ virus mencapai retina mclalui jalur saraf (neural pathway) dan otak. Gambaran klinis berupa fotofobi,floaters, penurunan tajam penglihatan dan rasa nyeri pada mata atau periokuler. Injeksi cpisklera, keratik presipitat granulomatous dengan gambaran vitritis. Nckrosis retina puffer luas, arteritis serta neurotis optika dapat dijumpai pada satu atau kedua mata (1/3 kasus bilateral). Ablatio retina regmatogdn (akibat robekan perifer retina) pada 50% pendcrita mcrupakan pcnycbab utama penurunan visus. Tanpa pengobatan ARN dapat mengalami perbaikan dalam waktu 6 minggu. Pengobatan dcngan Asiklovir 500 mg intravena tiap 8 jam sclama 7-10 jam dapat mcmpercepat pcnyem-
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
c)
Retinitis HIV Virus imunodefisiensi (HIV) sendiri dapat menginfeksi jaringan retina seperti endotel kapiler retina dan sel-sel neuro retina dan menimbulkan retinitis nekrotik (seperti CMV), vaskulitis serta deposit kompleks imun yang dapat memberikan gambaran cotton wool spots. Kerusakan kapiler mempermudah masuknya CMV ke dalam retina. Masih belum pasti apakah pengobatan dengan AZT dapat memperkecil angka kejadian cotton wool spot maupun CMV retinitis pada penderita AIDS. d) Retinitis Toxoplasmosis Toxoplasmosis merupakan infeksi terbanyak kedua setelah CMV pada penderita AIDS. Berbeda dengan toxoplasmosis pada penderita dengan status imunologis yang kompeten yang biasanya akibat reaktivasi kista laten toxoplasmosis yang didapat secara kongenital, pada penderita AIDS toxoplasma merupakan infeksi primer di retina atau penyebaran secara hematogen dari organ lain di luar mata terutama ensefalitis. Lebih dari 50% penderita dengan Toxoplasmosis Retinitis disertai ensefa litis oleh karena itu pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras harus dilakukan. Gejala klinis berupa floaters, fotofobi dengan uveitis anterior granulomatous serta vitritis, fokal atau multifokal retinitis nekrotik dapat dijumpai pada pemeriksaan fundus yang dapat meluas mengenai beberapa kwadran retina, kadang-kadang disertai perdarahan, ablatio rhegmatogen dan nekrosis retina. Pada penderita AIDS infeksi toxoplasmosis tidak self limited seperti halnya penderita dengan imuno kompeten, oleh sebab itu pengobatan spesifik harus diberikan. Pirimetamin (Daraprim®) 25-50 mg/hari atau Klindamisin (Dalacin®) 300 mg 4x sehari selama 3-4 minggu. Kekambuhan sangat mudah terjadi oleh karena itu pengobatan harus terus menerus. Steroid sistemik tidak diberikan.
e) Retinitis Sifilis AIDS dan Sifilis keduanya merupakan infeksi akibat hubungan seksual dan angka kejadian sifilis pada penderita AIDS cukup tinggi. Ulkus durum dapat merupakan jalan masuk HIV ke dalam darah; status imuno supresi yang terjadi meningkatkan kerentanan penderita terhadap infeksi serta transmisi sifilis. Manifestasi klinis sistemik dan okuler pada AIDS lebih berat, lebih lama dan sulit diobati serta mudah kambuh. Retinitis terjadi pada fase sifilis sekunder akibat diseminasi hematogen (spirochaetaemia), biasanya disertai neurosifilis. Gambaran klinis berupa floaters, penurunan tajam penglihatan, fotofobi, uveitis anterior kadang-kadang disertai hipopion vitritis dan flebitis retina. Gambaran Retinitis nekrotik sifilis berupa : − bercak putih kekuning-kuningan pada retina perifer. − bercak putih keabu-abuan berbentuk anular pada retina bagian dalam (pigmen epitel) pada polus posterior. Respons terhadap terapi Penisilin merupakan tes terapeutik dan diagnostik. Tes serologis FTA-ABS, MHA-TP, VDRL biasanya positif. Terapi terhadap neurosifilis berupa : • Penisilin akuous 2 juta unit IV/tiap 4 jam selama 1 minggu. • Doksisilin 100 mg oral 2 dd selama 3 minggu (Penisilin alergi). Pengobatan yang efektif akan disertai penurunan titer VDRL dalam waktu 6 bulan.
Infeksi retina oleh mikro organisme lain Meskipun Candidiasis mukokutan dan cryptococcal meningitis sering terjadi pada penderita AIDS akan tetapi retinitis akibat infeksi jamur sangat jarang, demikian pula Endoftalmitis endogen akibat infeksi baked Bacillus cereus atau stafilokok epidermis. Histoplasmosis okuler diseminata pernah dilaporkan, dengan gambaran Minis retinitis, uveitis dan neuritis optika.
jungtiva forniks, dan bulbi bagian inferior (menyerupai perdarahan subkonjungtiva granuloma atau hemangioma). Tumor ini bersifat agresif, multifokal dan sering kambuh. Sarkoma Kaposi pada mata biasanya asimtomatik, kadangkadang disertai iritasi ringan. Komplikasi seperti perdarahan, trichiasis, infeksi, gangguan kosmetis, proptosis, ptosis akibat limfedema dan perdarahan peri-okular serta diplopia akibat parese saraf okuler. Tumor sarkoma Kaposi berwarna kemerah-merahan, padat, dengan gambaran histopatologis yang karakteristik terdiri atas proliferasi vaskuler, sel-sel spindle dan serat-serat retikulin, diduga berasal dari sel endotel. Tidak ada pengobatan spesifik untuk sarkoma Kaposi, hanya bersifat paliatif. Radioterapi memberikan respons baik pada 93–100% penderita dengan sarkoma Kaposi non epidemik yang terjadi pada penderita AIDS tidak begitu memuaskan. Pengobatan dengan Interferon hanya 10% memberikan respons baik, 20% memberikan respons partial sedangkan sebagian besar penderita tidak memberikan hasil yang baik.
KELAINAN NEURO OFTALMIK Akibat AIDS dapat ditemukan dalam bentuk klinis seperti: parese nervus kranialis, kelainan lapang pandangan, papil atrofi yang merupakan manifestasi okular dari tumor ataupun infeksi intra kranial.
f)
g) Pneumosistis carinii korioretinitis Meskipun Pneumosistis carinii merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS (60%), akan tetapi kelainan mata yang disebabkan oleh parasit ini sangat jarang. Gambaran klinis dalam bentuk lesi multifokal, bulat, eksudat kekuning-kuningan pada koroid. Efektivitas pengobatan masih belum dapat diketahui dengan pasti, pada beberapa kasus terjadi regresi lesi dengan pengobatan Pentamidine Intravena, akan tetapi kekambuhan terjadi apabila pengobatan sistemik dikurangi.
TUMOR Tumor Sarkoma Kaposi dan Limfoma merupakan tumor yang sering terjadi dan berhubungan dengan AIDS. Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi merupakan salah satu manifestasi yang sering dijumpai pada penderita AIDS (24%) dan 20% dari sarkoma Kaposi dapat mengenai mata, yaitu pada palpebra atas/ bawah menyerupai hordeolum atau hemangioma dan pada kon-
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN BAGI KONTAK DENGAN PENDERITA AIDS Oleh karena virus AIDS pernah diisolasi dari cairan tubuh (selain darah dan semen) seperti saliva, air mata, juga ditemukan pada sel-sel epitel konjungtiva, kornea, akuous serta iris, serta dosis minimal untuk dapat tertular HIV tidak diketahui dengan pasti, maka pencegahan terhadap inokulasi secara tidal( sengaja haruslah diperhatikan. Meskipun sangat jarang, pernah dilaporkan 4 kasus yang tertular akibat tusukan jarum yang terkontaminasi darah penderita HIV; 2 kasus tertular secara kontak melalui kulit atau mukosa (HIV dapat ditularkan melalui konjungtiva!). Di Amerika pernah dilaporkan 84 kasus tenaga kesehatan yang tertular HIV. Dokter dan perawat harus memperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini agar tidak tertular HIV : 1) Mencegah terjadi luka akibat terkena instrumen tajam atau jarum terkontaminasi dengan cairantubuh pasien AIDS atau kontak langsung melalui luka pada kulit/mukosa/konjungtiva. 2) Sarung tangan harus dipakai dalam menangani hal-hal yang berhubungan dengan cairan tubuh penderita dan pada setiap manipulasi kelopak mata, mukosa, atau bila terdapat luka terbuka. 3) Memakai baju pelindung (gowns) pada tindakan-tindakan yang memungkinkan terpercik darah/cairan tubuh penderita. 4) Cuci tangan segera setelah melepaskan sarung tangan atau baju pelindung dan setelah setiap pemeriksaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 15
jarum suntik yang sudah dipakai tidak perlu ditutup kembali untuk mencegah tertusuk jarum tersebut. Semua specimen yang didapat dari penderita AIDS harus diberi label infectious. Dokter mata harus terbiasa melihat manifestasi AIDS pada mata, untuk dapat mendiagnosis secara dini, menilai hasil pengobatan, progresivitas penyakit serta prognosis.
5) Masker dipakai bila memeriksa di dalam ruangan penderita dengan gejala batuk. Penderita AIDS dengan batuk harus memakai masker bila berada di tempat umum (meskipun belum terbukti adanya transmisi AIDS melalui udara). 6) Kaca mata/goggles harus dipakai bila berhubungan dengan darah atau cairan tubuh yang mungkin muncrat dari penderita. Transmisi melalui konjungtiva dapat terjadi. 7) Wanita hamil sebaiknya tidak merawat penderita AIDS untuk mencegah terinfeksi CMV pada janin. 8) Disinfeksi alat-alat instrumen (Tonometer) dengan cara: direndam selama 5–10 menit dalam larutan : 1. 3% hidrogen peroxida. 2. 10% sodium hipoklorit (bleach). 3. 70% etanol atau isopropanol. Kemudian dibilas dan dikeringkan. – Slit lamp biomikroskop harus dibersihkan dengan larutan desinfektan. – Lensa kontak harus disterilisasi dengan H2O2 3% selama 10 menit. Cairan pembersih lensa kontak belum terbukti dapat menghambat pertumbuhan HIV. – Instrumen operasi dapat disterilisasi seperti biasa (otoklaf uap atau gas). 9) HIV harus diperiksa pada donor kōrnea (pemeriksaan ini sulit dilakukan) atau serologi HIV pada darah kadaver donor. 10) Semua alat disposable yang terkontaminasi harus dimasukkan dalam tempat kedap air, puncture resistant dan diberi label,
KEPUSTAKAAN 1.
Palestine AG et al. Ophthalmic involvement in Acquired Immunodeficiency Syndrome. Ophthalmology 1984; 91 (Nov): 1092-1099. 2. Pepose JS et al. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Pathogenic mechanisms of Ocular Disease. 3. Sison RF et al. Cytomegalovirus retinopathy as the initial manifestation of AIDS. Am. J. Ophthalmol 1991; 112: 243-249. 4. Cochereau I et al. Efficacy and tolerance of intra vitreal ganciclovir in CMV retinitis in AIDS. Ophthalmology 1991; 98: 1348-1355. 5. Nanda M et al. Fulminant pseudomonal keratitis and scleritis in HIV infected patients. Arch. Ophthalmol 1991; 109: 503-505. 6. Specht CS et al. Ocular histoplasmosis with retinitis in patient with AIDS. Ophthalmology 1991; 98(9): 1356-59. 7. Foster RE et al. Presumed pneumocystis carinii choroiditis. Unifocal presentation, regression with intra venous Pentamidine and choroiditis recurrence. Ophthalmology 1991; 98(9): 1360-65. 8. Holland GN. Ocular Manifestations of AIDS. Audio digest Ophthalmology. 9. Ammann AJ. The immunology of AIDS. International Ophthalmology Clinis, 1989; 29 (2). 10. Culbertson WW. Infection of the retina in AIDS. International Ophthalmology Clinic, 1989; 29 (2). 11. Suriadi Gunawan. Masalah penyebaran AIDS di Indonesia. MKI93:43 (4).
Catatan Redaksi : Naskah berjudul:'Virus HcpatitisC pada Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati di Surabaya' olch Widawati Socmarto yang ditcrbilkan dalam Cumin Dunia Kedokteran 1993; 85: 11–13 sudah pernah ditcrbitkan di Majalah Ilmu Pcnyakit Dalam Surabaya, vol. 17, no. 2, April–Juni 1991, hal. 38–44. Dalam karangan tersebut, Tabe12 seharusnya seperti yang tercantum di bawah ini : Tabel 2. Prevalensi Anti•HCV dikaitkan dengan HllsAg HBsAg + N
HCV+
HllsAg HCV+
N
Hepatitis menahun Sirosis hati NLD
8 4
n 0 1 0
% 0 25
47 56
n 27 37 0
%o 57.4 66
Jumlah
12
1
8.3
103
64
62
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Jumlah N 55 60 39
HCV+ n 27 38 0
% 49,1 63.3 0
Beberapa Kelainan Kornea yang Berhubungan dengan Proses Imunologik Gunawan Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Mata kadang-kadang dipandang sebagai sasaran khusus untuk proses imunologi(1,2). Dalam kenyataannya kelainan imunologik lebih banyak tampak pada mata dibanding dengan organ lain di badan, sebab organ lain pada saat terjadi serangan tetap dalam keadaan "tenang". Kelainan mata yang dijumpai akibat proses imunologik dapat berupa konjungtiva yang hiperemi, khemosis, dan disertai rasa sakit. Jika proses imunologik menyangkut kornea, dapat ditandai oleh hiperemi konjungtiva, epifora, fotofobia, dan kabur, kadang-kadang timbul rasa sakit. Kekaburan yang berat akibat proses imunologik pada kornea dapat menyebabkan kebutaan. Parut kornea karena ulkus kornea merupakan penyebab terbesar kebutaan dan pengurangan penglihatan di mana-mana di dunia. Kebanyakan proses kebutaan atau pengurangan penglihatan ini dapat dicegah, bilamana diagnosis sitologik ditegakkan seawal mungkin dan ditangani secara benar(1). Beberapa peneliti telah melaporkan tentang ketidakberhasilan menangani berbagai keratitis. Suwono (1988r) menerangkan, bahwa dari 8 kasus ulkus kornea dengan hipopion pada tahun 1987 terdapat 6 kasus sembuh, sedangkan 2 kasus mengalami eviserasi karena endoftalmitis. Syawal (1988)(3) meneliti 25 penderita ulkus kornea antara tahun 1984–1987 dan 4 penderita di antaranya mengalami eviserasi. Panda dan Gupta (1991)(5) meneliti 91 mata dengan ulkus kornea karena bakteri stafilokok yang menunjukkan, bahwa lebih dari 60% spesimen resisten terhadap pemberian kloramfenikol dan kloksasilin dan 2 mata terjadi endoftalmitis. Selanjutnya Rahman dan Dhaka (1991) melaporkan, bahwa keratitis jamur hanya 35% yang responsif
terhadap pengobatan anti-jamur baik sistemik maupun lokal. Hoetaryo (1988)(6) meneliti 183 penderita keratitis herpes simpleks menyatakan, bahwa peradangan kornea di sini akibat reaksi hipersensitivitas yang timbul karena adanya sel yang rusak. Ishikawa (1991) memeriksa 50 kasus keratitis diskiformis dengan angka kekambuhan 30% dalam periode 2 tahun setelah pengobatan antiviral dan kortikosteroid. Tokushima (1991) menyatakan, bahwa keratitis virus merupakan penyakit yang banyak terjadi, dan merupakan penyakit yang sukar diobati. Tidak jarang di jumpai ulkus kornea yang pada pemeriksaan kerokan dari dasar maupun dari tepi ulkus kornea tidak ditemukan kuman, baik pemeriksaan mikroskopik maupun pembiakan. Sebaliknya, walaupun pemeriksaan kerokan menemukan jamur, bakteri atau virus, namun penanganannya yang telah sesuai dengan hasil uji sensitivitas tidak mencapai hasil, proses radang terus berlangsung dan berakhir dengan kebutaan. Karena berbagai permasalahan mengenai keratitis yang tidak memuaskan, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya proses imunologik yang ikut berperan. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah beberapa kelainan kornea yang melibatkan proses imunologik. Dengan demikian diharapkan dalam penanganan keratitis memiliki dimensi yang lebih luas namun lebih terarah.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik dan didapat. Ada 2 macam imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XX! 9-10 Juti 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 17
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bilamana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Reaksi hipersensitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut: Tipe I: reaksi anafilaksi Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Tipe II: reaksi sitotoksik Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgG dan IgM dengan adanya komplemen akan berikatan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat. Menurut Smolin (1986), reaksi allograft dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Tipe III: reaksi imun kompleks Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophic chemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri (stafilokok, pseudomonas) dan jamur(2). Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks(7). Tipe IV: reaksi tipe lambat Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperanadalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang berakibat terjadi peradangan lokal. Reaksi ini pada kornea dijumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti(2,7,8), keratokonjungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks(7) dan keratitis diskiformis(9). PATOFISIOLOGI Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran scrum dan clemen darah yang meningkat dan masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, protein C-reaktif,
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini dapat berubah, kalau di kornea terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi rupa-rupanya timbul oleh adanya jaringan nekrosis, mungkin dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai dengan kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk(2). Limbus, korneaperifer dan sklera letaknyaberdekatan dapat ikut terkait dalam sindrom iskhemik kornea perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan kelainan yang serius. Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, barangkali hubungan kornea dengan sklera di limbus dapat bertindak sebagai nodulus limfe aksesorii yang ikut terkait dalam menimbulkan penyakit imunologik. Antigen cenderung ditahan oleh komponen polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian antigen dilepas dari kornea yang avaskuler, dan dalam waktu lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak ke arah sumber antigen di kornea dan dapat menimbulkan reaksi imun di tepi kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai stimuli. Bloomfield (1986) menerangkan, bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus(7). Penemuan sel plasma merupakan petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetika yang khronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea(2). PENGEJAWANTAHAN REAKSI IMUNOLOGIK DI KORNEA Reaksi imunologik dapat terbatas hanya pada kornea atau pada mata bagian luar. Namun dapat juga terjadi, bahwa kelainan di kornea merupakan pengejawantahan reaksi imunologik yang sistemik. Reaksi imunologik yang hanya terbatas di kornea misalnya : ulkus Mooren merupakan reaksi tipe II, keratitis herpes simpleks dan beberapa keratitis akibat infeksi dapat merupakan reaksi tipe III. Adapun reaksi penolakan pasca keratoplasti merupakan reaksi tipe IV. Reaksi imunologik sistemik dengan pengejawantahan di kornea misalnya terjadi sindrom SjSgren, dalam hal ini disertai dengan kelainan di konjungtiva. 1. Ulkus Mooren Meskipun bukti kuat menunjukkan bahwa ulkus Mooren adalah suatu fenomena auto-imun, tetapi penyebabnya yang tepat tetap merupakan misteri(2). Terjadinya ulkus Mooren didahului oleh infeksi atau trauma mata (Schanzlin,1983; Smolin, 1986). Hal ini dapat diterangkan karena jaringan kornea telah diubah sedemikian rupa sehingga lama tidak dikenal oleh respon imun sendiri. Beberapa peneliti menunjukkan, bahwa epitel kornea memiliki antigen yang spesifik. Antigen ini dapat
tersebar difus berada di 1/3 bagian depan stroma kornea yang bentuknya berubah-ubah dan memegang peranan terjadinya respon imun tersebut. Dengan demikian asumsi logiknya adalah mengingat penyakitnya terbatas pada epitel kornea dan 1/3 bagian depan stroma, maka pengambilan jaringan tersebut dapat menyebabkan pengurangan proses penyakitnya. Banyaknya sel plasma dan eosinofil di jaringan konjungtiva dan kornea menunjukkan bahwa penderita ulkus Mooren mempunyai penyakit imunitas. Sel plasma dapat berikatan dengan complement binding antigen di kornea yang kemudian menarik leukosit polimorfnuklear. Pada beberapa penderita ulkus Mooren diketemukan komplemen di epitel kornea IgM dan IgG(2). Menurut Bloomfield, ulkus Mooren merupakan reaksi tipe III yang aktin. Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa konjungtiva memegang peranan penting dalam proses imunopatologinya. Brown et al. (dalam Schanzlin, 1983) melaporkan adanya banyak sel plasma di konjungtiva dekat daerah ulkus kornea dan konjungtiva menunjukkan aktivitas kolagenolitik. Gambaran klinik ulkus Mooren berupa ulkus non purulen, khronik, progresif dan letaknya marginal. Infiltrat mulai dari stroma kornea bagian depan, merusak epitel di atasnya, kemudian meluas sirkumlimbal dan sentripetal. Kira-kira 35% ulkus Mooren bersifat dwipihak. Di antara ulkus dan limbus kornea terdapat bagian kornea yang tidak terkena dan keadaan ini yang membedakan dengan ulkus marginalis yang disertai dengan artritis rematoid, atau ulkus perifer Terrien(2). Ulkus Mooren mulai dari sebelah nasal atau temporal. Cirinya adalah ulkus yang menggaung, mengenai 1/3 atau 1/2 tebal kornea (Schanzlin, 1983; Smolin, 1986). Beberapa bagian ulkus masih aktif, sedangkan bagian lain menyembuh. Ulserasi ini berlangsung antara 3–13 bulan. Sensasi kornea masih normal atau sedikit menurun. Adanya hipopion atau perforasi jarang terjadi. Kadang-kadang rasa sakit demikian berat, sehingga tidak responsif dengan pengobatan anestetika lokal atau antiflogistik. Diagnosis banding ulkus Mooren meliputi: (1) Ulkus kataral stafilokok yang tidak progresif, tepi ulkus tidak menggaung; (2) Degenerasi Terrien di sebelah nasal atas, berkembang sirkqmlimbal, dengan vaskularisasi, tepinya tidak menggaung, lebih benigna; (3) Ulkus perifer karena infeksi (pneumokok, gonokok) dengan eksudat yang purulen; (4) Ulkus marginalis karena artritis reumatoid, yang sifatnya dwipihak (50%), terutama pada wanita. Penanganan ulkus Mooren menurut Schanzlin (1983), pada zaman dahulu menggunakan asam karbol, formalin, tinktura jodii, asam nitrat, kuretage, asam trikhlorasetat, dan kauter galvanisasi. Pengobatan yang diberikan dengan khemoterapi dan antibiotik seperti merkurisianida, suntikan subkonjungtiva dengan merkuri bikhlorida. Juga dilakukan iradiasi, injeksi vitamin Bl dan suntikan tuberkulin. Cara pengobatan ini semua dipandang tidak efektif. Pavan-Langston (1985) menerangkan bahwa obat-obat imunosupresif mungkin bermanfaat. Eksisi konjungtiva dan resesi kon jungtiva dengan atau tanpa krioterapi pada bagian yang
dieksisi dapat berhasil pada beberapa kasus, tetapi keadaan ini dapat kambuh. Menurut Smolin (1986), penanganan ulkus Mooren mulamula dengan steroid topikal (prednisolon asetat 1%) setiap jam, kemudian dinaikkan setiap 30 menit. Kalau mengalami penyembuhan diadakan penurunan dosis untuk kemudian dihentikan. Bilamana tidak membawa respon dapat dilakukan eksisi konjungtiva. Bilamana keduanya tidak berhasil, dapat diberi terapi imunosupresif sistemik, setelah konsultasi internis atau onkologis. Penggunaan imunosupresif dapat menggunakan kombinasi siklofosfamid 100 mg/hari. Selanjutnya Smolin (1986) mengatakan bahwa penderita ulkus Mooren berusia lanjut dan satu pihak lebih responsif terhadap terapi. Sedang yang dwipihak mungkin tidak responsif terhadap semua jenis terapi. Penggunaan lensa kontak hidrofilik pada ulkus Mooren mungkin dapat mengurangi rasa sakit yang hebat, namun hal ini tidak mempengaruhi jalan penyakitnya. Keratektomi dan pembuatanflap konjungtiva tidak membawa hasil juga. Maumenee menyarankan pengambilan kornea bagian depan, tetapi menurut Brown dan Mondino ternyata bahwa tindakan ini hanya berhasil pada jumlah kasus yang terbatas (Smolin, 1986). 2. Reaksi penolakan Tindakan operasi untuk mengganti kornea resipien yang sakit dengan kornea donor yang sehat kadang-kadang mengalami kegagalan oleh adanya reaksi penolakan dari resipien terhadap kornea donor. Reaksi ini dapat terjadi paling awal 2 atau 3 minggu sampai beberapa tahun pasca bedah. Diagnosis reaksi penolakan ditegakkan berdasar hal-hal berikut: pengurangan visus, mata merah, rasa yang tidak enak di mata dan silau. Pada pemeriksaan terdapat injeksi perikornea graft yang udem, flare positif dan KP di graft. Angka keberhasilan pencangkokan kornea tinggi, karena kornea yang avaskuler dan di kornea tidak ada saluran limfe(7). Kalau hal ini terdapat kemudahan peningkatan reaksi imunologik maka akan menimbulkan reaksi tipe IV, yang berupa reaksi penolakan. Menurut Smolin (1986), teknik operasi dapat digunakan untuk mengurangi kecendrungan reaksi penolakan. Reaksi penolakan meningkat bilamana digunakan graft yang lebih besar daripada 8,5 mm. Graft yang kecil mempunyai sedikitsel Langerhans, sel Langerhans terbanyak berada di dekat limbus. Insiden reaksi penolakan pada kornea dengan vaskularisasi adalah 10–12%. Insiden ini meningkat dengan adanya vaskularisasi kornea yang makin banyak. Kecuali itu adanya trauma atau radang kornea yang dapat melebarkan pembuluh darah atau benang sutera yang menimbulkan vaskularisasi dapat meningkatkan kemungkinan reaksi penolakan. Penanganan terhadap reaksi penolakan tetap menggunakan kortikosteroid(2). Pada stadium awal penolakan endotel responsif terhadap pemberian steroid topikal. Bilamana reaksi penolakan itu meluas, sehingga banyak endotel yang rusak, maka pemberian steroid dapat menghentikan proses destruksi tersebut, tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan graft. Pemberian
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 19
steroid tetes merupakan hal yang panting. Prednison asetat mampu menembus kornea dengan baik bilamana epitel masih utuh, sedangkan prednison fosfat tidak dapat menembus kornea. Bilamana epitel telah dihilangkan, preparat fosfat akan menembus dengan memuaskan. Bilamana diperlukan kortikosteroid sistemik untuk reaksi penolakan yang sedang atau berat dapat diberikan 10–12 tablet prednison sehari selama 2 minggu, bersama-sama dengan obat topikal. Sesudah 2 minggu pemberian obat sistemik dikurangi, sedangkan pemberian secara topikal ditingkatkan. Keratoplasti ulang perlu disiapkan bilamana graft yang udem tidak hilang dengan terapi kortikosteroid yang maksimum selama 1 tahun. Penderita yang mengalami operasi ulang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya reaksi penolakan. Salah satu efek samping pengobatan dengan kortikosteroid baik sistemik maupun lokal pada mata ialah melambatkan dan mengurangi kualitas penyembuhan luka. Selanjutnya pemakaian imunosupresif yang sistemik dapat mengakibatkan supresi sumsum tulang(2). 3. Keratitis Herpes Simpleks Pada dasarnya ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya aktivasi virus herpes dan selanjutnya mampu menimbulkan keratitis. Suatu keratitis dendritika yang akut kadang-kadang disertai dengan riwayat depresi pertahanan penderita mengenai kesehatannya maupun imunosupresi penderita oleh penyakit yang mendasari. Kadang-kadang seseorang penderita dapat menerangkan riwayat sires yang bersifat psikogenik, adanya demam, dan lain-lain. Kondisi imunosupresi dapat juga terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks(7). Pada infeksi virus mula-mula kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG dalam darah juga meningkat dan akhirnya tampak antibodi IgA dalam sekresi mukosa(2). Selanjutnya dikatakan, bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Dalam keratitis virus herpes simpleks yang kambuh, terjadi kelainan kornea yang khas ialah keratitis dendritik yang kadangkadang sebagai keratitis marginal. Virus herpes simpleks yang stromal disertai oleh reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita yang mengalami depresi sistem imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik(2). Keratitis diskiformis dapat merupakan hasil reaksi tipe IV terhadap antigen virus herpes(2,9). Dengan pemberian kortikosteroid sedikit dapat menghasilkan kejemihan kornea sebagian atau seluruhnya akibat hilangnya udem dan infiltrat. Penanganan dilakukan dcngan melakukan debridemen atau khemoterapi topikal atau keduanya akan mampu mencegah sintesa virus, terutama untuk yang akut. Obat-obat antiviral seperti asiklovir dan kortikosteroid dapat diberikan untuk keratitis stromal. Pcmbcrian vitamin A akan mcningkatkan sintesis antibodi dan dapat dibcrikan bersama-sama dcngan pcmberian hidrokortison.
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
4. Keratitis karena bakteri Bakteri stafilokok mampu menghasilkan substansi. Substansi ini meningkatkan kemampuannya untuk berlipat ganda dan menyebar secara luas ke dalam jaringan. Substansi tersebut adalah eksotoksin, leukosidin, koagulase, dan enterotoksin. Permukaan stafilokok ditutupi dengan substansi yang dinamakan protein A, yang menghambat fagositosis. Bakteri stafilokok yang telah difagositosis masih mampu bertahan dalam jangka waktu lama. Infeksi stafilokok mungkin merupakan suatu reaksi antigenantibodi pada ulkus kornea marginal. Apabila dilakukan kerokan ulkus tidak diketemukan mikroorganisme, merupakan tanda bahwa ulkus kataral ini suatu fenomena imun(2,10). Ulkus marginalis dan kultur yang negatif digambarkan sebagai hipersensitivitas tipe III terhadap bakteri stafilokok(11) Terapi ulkus kornea kataral dapat ditambah dengan steroid tetes dalam regimen dengan dosis prednisolon 0,12% 2–3 kali sehari. Pada dasarnya dosis rendah adalah antiinflamasi, dosis tinggi dapat bekerja sebagai imunosupresif, sehingga dapat berperan untuk menekan reaksi imunologik(2). 5.
Keratitis superfisialis pungtata Thygeson Keratitis ini memiliki basis reaksi imunologik, sebab responsif terhadap pemberian kortikosteroid. Biasanya terjadi pada mata yang tenang. Etiologinya tidak diketahui, diperkirakan karena hipersensitivitas terhadap virus(7).
6.
Keratokonjungtivitis epidemika Keratokonjungtivitis epidemika kemungkinan kuat merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang terjadi karena infeksi adenovirus tipe 8. Mengingat bahwa pemberian kortikosteroid topikal menunjukkan perbaikan, berarti ini sangat mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas. Beberapa penderita menunjukkan kekambuhan setelah 2 tahun, bilamana pemberian kortikosteroid dihentikan sama sekali. Oleh karena itu kortikosteroid harus diberikan hanya jika kekeruhan kornea yang letaknya sentral dan mengganggu visus serta adanya keluhan subyektif(7). BEBERAPA PRINSIP PENANGANAN Pada dasarnya untuk mempertahankan imunitas, diperlukan rangsangan atau penekanan pada aspek tertentu dari respon imun. Obat-obat yang diberikan adalah : a) Imunosupresif Yang termasuk dalam imunosupresif ini ialah: obat antimitotik atau sitostatik, kortikosteroid, serum antilimfositik dan radiasi. Upaya ini ditujukan untuk menekan peradangan sebagai reaksi imunogenik atau mcngawasi reaksi penolakan pasca keratoplasti. Seyogyanya lebih baik menekan respon imun secara selektif. b) Penanganan respon alergi Mekanisme yang tepat mengenai reaksi alergi tidak jelas. Mungkin alergi merupakan suatu produksi berlebihan dari IgE. Pendekatan farmakologi adalah memodulasi efek mediator pada se target mclalui penggunaan antihistamin, kortikosteroid, vasokonstriktor, dan inhibitor prostaglandin. Epincfrin bar-
khasiat sebagai vasokonstriktor pada dosis farmakologik untuk menghasilkan penurunan gejala simptomatik dari alergi tersebut. Imunopotensiasi Imunopotensiasi adalah penambahan respon imun nonspesifik penderita dengan menggunakan substansi biologik secara luas. Banyak upaya ini masih pada tingkat eksperimental.
nyakit mata yang penanganannya tidak selalu efektif. KEPUSTAKAAN
c)
d) Antibodi monoklonal Antibodi monoklonal yang murni barn dapat berguna dalam oftalmologi baik sebagai alat diagnostik maupun sebagai imunoterapi untuk menangani penyakit. Pertahanan imunologik dari mata bagian luar Permukaan mata secara tetap terpapar bahan toksik, antigenik, dan serangan mikrobiologik. Untuk melindungi mata bagian luar terdapat mekanisme pertahanan yang non-spesifik, misalnya air mata, flora di konjungtiva serta pertahanan terhadap kerusakan epitel kulit, konjungtiva dan kornea. Sedangkan mekanisme pertahanan imunologik spesifik terdiri dari limfosit di bawah epitel yang mendeteksi antigen, selLangerhans dan IgA yang terdapat dalam air mata.
1. 2. 3. 4. 5.
e)
RINGKASAN Telah dibicarakan laporan beberapa peneliti mengenai penanganan berbagai keratitis yang tidak berhasil. Telah dibicarakan pula dasar imunitas, 4 tipe reaksi hipersensitivitas secara sederhana dan pengejawantahan reaksi imunologik di kornea. Pengejawantahan di kornea sebagai ulkus Mooren, reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratitis herpes simplek dan beberapa keratitis lainnya juga dibahas. Ulkus Mooren merupakan pe-
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Vaughan DS, Asbury T. General Ophthalmology. Lange Medical Publication, Los Altos, California. 1986. Smolin G, O'Connor GR. Ocular Immunology, 2nd ed. Little and Brown Company, Boston. 1986. Soewono W. Penatalaksanaan ulkus kornea karena bakteri di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1988. Syawal R. Ulkus kornea di RSU Ujung Pandang. Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1988. Panda A, Gupta SK. Topical fusidic acid therapy of chloramphenicol and cloxacillin resistant staphylococcal keratitis. XIII Congress of the A.P. A.O, Kyoto, Japan. 1991. Hoetaryo N. Pengaruh debridemen pada penyembuhan keratitis superfisialis. Kongres PERDAMI VI, Semarang. 1983. Bloomfield SF. Clinical allergy and immunology of the external eye. Dalam: Duane TD, Jaeger EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4. Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986. Suyoto, Sutomo N. Tes-tes kulit untuk penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta. 1981. O'Day DM, Jones BR. Herpes simplex keratitis. Dalam: Duane TD, Jaeger EA. (eds): Clinical Ophthalmology, vol. 4. Harper & Row Publisher, Philadelphia. 1986. Harley RD. Pediatric Ophthalmology, 2nd ed., vol. II. WB. Saunders Company, Philadelphia. 1983. Flicker L, Ramakrishnan M, Seal D, Wright P. Role of cell-mediated immunity to staphylococci in blepharitis. Am. J. Ophthalmol 1991; III: 473-479. Arjatmo T. Dasar-dasar imunologi penyakit kulit alergi, dalam Kumpulan makalah Simposium Penyakit Kulit Alergi, FK UGM, Yogyakarta. Ohnishi N, Shimakawa M, Kawada N, Shirataki M. A case of the stromal keratitis associated with tuberculosis. XIII Congress of the A.P.A.O, Kyoto, Japan. 1991.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 21
Infeksi Viral dan Strategi Pengobatan Anti-viral pada Penyakit Mata Suwardji Haksohusodo Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada, Yogyakarta
SINOPSIS Setelah pembangunan kesehatan telah berhasil mengatasi penyakit infeksi bakteriil, parasit dan mikosis dengan berbagai obat antibiotika dan penataan sanitasi lingkungan, maka infeksi viral yang tidak sensitif terhadap pengobatan antibiotika ini akan semakin meluas di masyarakat, termasuk penyakit viral mata. Hingga sekarang, obat-obat anti-viral telah mulai ikut berkembang maju, tetapi yang lebih penting adalah: bagaimana menangani dan mengatur strategi pengobatannya, mengingat patogenesis dari berbagai macam virus yang menyerang mata ternyata beraneka ragam sesuai dengan golongannya, apakah golongan virus DNA, virus RNA, atau golongan kuman yang terlalu besar dimensinya untuk dikatakan sebagai virus, yaitu Chlamydia yang intinya mengandung materi biogenetik DNA maupun RNA, suatu bakteri intraseluler sangat kecil, bersifat basofilik penyebab penyakit trachoma (own Chlamydia trachomatis) dan penyakit keputihan/vaginal discharge yang disertai radang mata disebut cervicitis-urethritis di sertai conjunctival blennorrhea (yang disebabkan oleh Clamydia oculo-genitale), dan apabila penyakit ini tidak diobati akan menyebabkan kebutaan; sebenarnya kedua kuman ini sangat sensitif terhadap antibiotika rutin misalnya sulfonamida atau eritromisin. Sederetan golongan virus RNA yang sering menyerang mata segmen anterior misalnya: Rubeola, Influenza, Mumps, semuanya hanya menyebabkan keratitis punctata yang ringan sampai sedang saja, dan 'conjunctivitis, folikuler yang. berair, merupakan penyakit yang akan sembuh sendiri (self-limiting disease), sedangkan pengobatannya hanyalah suportif murni. Virus Rubella dan Cytomegalovirus (CMV) yang permulaan penyakitnya tidak kentara (insidious) dapat pula menjadi sistemik dan dampaknya akan menghancurkan retina mata sedikitdemi sedikit. InfeksiRubella bersifat kongenital, dapat menyebabkan keratitis bcrat, glaukoma dan chrorio-retinitis. Sedangkan CMV kongenital maupun yang menyerang setclah kelahiran (acquired infection) selalu merusak retina dan meinerlukan pengobatan khusus. CMV sebenarnya termasuk golongan virus DNA seperti: HSV (Herpes Simplex Virus) — VZV (Varicella Zoster Virus, yang Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI, 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
biasanya salah disebiut Herpes Zoster Ophthalmicus) – Adenovirus dan Vaccinia virus Deretan virus-virus inilah yang akan menjadi fokus pembicaraan, mengingat patogenesisnya, cara penyebaran yang cepat di masyarakat, dan dampaknya sangat kompleks pada organ-organ tubuh; jadi perlu dimengerti lcbih dahulu karena berkaitan sekali dengan strategi pengobatannya, yang masing-masing memerlukan kekhususan pula. Dalam pengalaman klinik, pengelolaan infeksi golongan virus RNA lebih mudah dibandingkan dengan penanganan golongan virus DNA, karena virus DNA dapat langsung menginfeksi masuk ke dalam inti sel inangnya, tidak terbatas hanya masuk ke sitoplasmasel seperti halnya virus RNA. Seandainya sel dirusakkan atau dimatikan oleh virus RNA, maka setelah virus dieliminasi olch tubuh inang (oleh AB anti-viral, atau oleh mekanisme lain), tubuh masih selalu siap untuk membangun/merevisi kembali sel-sel tersebut, sehingga penderita dapat segera menuju ke kesembuhan total. Sebaliknya sel yang intinya terinfeksi DNA virus, sel tetap hidup lama, yang kemudian disebut sebagai infeksi laten. HSV sebagai virus DNA dalam pengobatan mempunyai keunikan tersendiri, misalnya sifat biogenetiknya pada untaian DNA selalu ikut maju secara alamiah mengikuti pengaruh lingkungan; yaitu HSV semula selalu sensitif terhadap Acyclovir karena mensintesis enzim Thymidine kinase (sebagai HSV dengan TK-positif), kemudian apabila terus menerus diberikan obat Acyclovir, virus akan melepaskan gena TK-nya, dan generasi selanjutnya akan memproduksi anak-anak virion baru dengan DNA yang TK negatif, sehingga HSV-TK negatif ini akan kebal terhadap pengobatan dengan Acyclovir, sehingga perlu pengobatan alternatif yang lain. Kunci kata : Infeksi viral penyakit mata – patogenesis golongan virus DNA/RNA/ Chlamydia – kemajuan sifat biogenetik virus – strategi pengobatan antiviral.
PENDAHULUAN Sebagian virus yaitu golongan Neurovirus, selain menyerang mata, sering pula menyerang organ-organ sistim susunan saraf perifer maupun saraf pusat, atau sebaliknya. Sedang proses patogenesisnya pada organ mata sendiri sangat beragam, tidak selalu sama di antara virus DNA dan RNA, tergantung pula pada kondisi tubuh inang/penderita waktu terserang (sangat individuil), kemudian disusul oleh dampak imunologinya. Situasi ini perlu dipahami dalam menangani masalah penyakit virus. Virus merupakan suatu partikel biologik yang dapat menyebabkan penyakit, mempunyai dimensi sangat kecil antara 10-300 nanometer, tersusun atas molekul protein atau glikoprotein yang menyelubungi segulung untaian molekul asam nukleat RNA atau DNA saja (tidal( pernah bersama-sama) dan tidak mampu memperbanyak diri tanpa masuk lebih dahulu ke dalam sel hidup yang akan dimanfaatkan untuk mengadakan sintesis biologik yang unik bagi generasinya, energi dan sistim ensimatik sel hidup tersebut dimanfaatkan sehingga inti materi genetik DNA/RNA dapat digandakan dan selanjutnya diproduksi anak-anak virion baru dari bahan protein sitoplasma sel penderita dan siap menginfeksi sel lain; virus merupakan mikroorganisme bersifat parasitis obligat, absolut dan mutlak pada tingkat genetik. Dasar ini mengawali pengertian tentang virus yang susunan dan fisiologinya berbeda dengan mikroorganisme bakteriil atau mikosis yang telah mempunyai organella lengkap. Golongan virus RNA perlu masuk ke dalam sitoplasma sel, karena di sinilah program replikasinya dilaksanakan, sedangkan golongan virus DNA, invasi genetiknya harus sampai di inti-sel inang, sehingga meskipun sel telah mati, masih terdapat sebagian sel
yang intinya tetap mengandung DNA-viral dan mampu suatu ketika berbiak lagi, jadi merupakan infeksi laten dan memberi kesempatan untuk rekurens. Dengan demikian golongan virus RNA lebih mudah diatasi, karena seandainya sitoplasma sel inang telah rusak atau matipun, tubuh inang selalu mampu memperbaiki dan mengganti dengan sel baru yang inti selnya bebas dari asam nukleat RNA-viral yang pernah menginfeksinya. Sistim kekebalan tubuh selalu mampu membentuk antibodi spesifik yang cepat tanggap dan mengatasi infeksi viral tersebut. Tetapi setelah itu terjadi masalah baru berupa proses imunologik yang kurang menguntungkan, misalnya peristiwa auto-imun, antibody dependent enhancement (ADE) yang malah menggandakan jumlah virus infeksi kedua, dampak rcaksi hipersensitivitas tubuh, dan lain-lain; sehingga penataan strategi pengobatan viral matapun perlu mengacu semua hal pokok tersebut di atas, yaitu biogenetik, patogenesis dan imunologinya. DASAR BIOGENETIK VIRUS DAN PATOGENESISNYA Virus pada umumnya terbagi terbagi menjadi 2 kelompok besar, antara lain golongan virus DNA terdiri atas kelompok Poxviridae, Herpesviridae, Adenoviridae, Papovaviridae, Hepadnaviridae dan Parvoviridae, golongan virus RNA terdiri atas kelompok Paramyxoviridae, Orthomyxoviridae, Coronaviridae, Arenaviridae, Retroviridae, Reoviridae, Picornaviridae, Caliciviridae, Rhabdoviridae, Togaviridae/Flaviviridae dan Bunyaviridae (Gambar 1). Dengan mengetahui struktur morfologi berbagai golongan dan kelompok virus tersebut, maka sesuai dengan sifat bio-
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 23
Gambar 1. Morfologi golongan virus DNA dan RNA Gambar 2. Patogenesis virus dalam sel-target penderita
genetik genom masing-masing inti DNA/RNA-nya, terdapat perbedaan cara infeksinya ke dalam sel tubuh manusia. Setelah golongan virus RNA menempcl pada reseptor sel-target dan meleburkan membran sel, maka kumparan asam nukleat RNA virus melebur ke dalam sitoplasma sel untuk memanfaatkan biosintesis sel dalam menggandakan dirinya, yang kemudian akan menjadi anak-anak virion baru dan keluar dari set organ yang terserang oleh induk virus tersebut. Pengenalan virus yang pertama menginfeksi penderita, olch sel-scl imunokompeten/ makrofaga biasanya segcra dapat mcmacu tcrjadinya antibodi spesifik antiviral tersebut scbagai jawaban sistim imun tubuh yang diperlukan untuk mclawan dan menghancurkan virion baru dari hasil replikasi RNA dalam sitoplasma sal. Mekanisme eliminasi virion dapat secara netralicasi, opsonisasi, aktivasi komplemen atau ADCC yang diperankan oleh sel-sel NK (Natural Killer cells). Schingga sepintas mudah dimengcrti bahwa infeksi oleh golongan virus RNA akan lekas sembuh, dan sering dikatakan scbagai self limiting disease. Golongan virus DNA ternyata agak berlainan, karena materi genctik inti virus akan tcrus masuk ke dalam inti-sel pcndcrita, dan sclanjutnya mengadakan replikasi DNA baru untuk membuat generasi virion-virion golongan virus DNA baru dari dalam inti-scl dan dilengkapi envelop virus dari sitoplasma set selama perjalanan (transport cytoplasmic); dan melalui exositosis, keluar dari sitoplasma menembus membran plasmik sel-target penderita. Seandainya kcadaan di luar membran plasmik set belum menguntungkan bagi perkembangan virion selanjutnya, antara lain salah satu faktor misalnya titer protektifAntibodi sel-HSV
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
masih tinggi, Iebih dan 1/25.600, maka parental-DNA tidak akan mengadakan replikasi, pengepakan dan pengumpulan (assembly) untuk membuat inti virus (Gambar 3). Selanjutnya partiket inti-DNA virus mi tidak akan ketuar dan inti-set, tidak akan me lengkapi diii dengan envelop viral dalam transport dan exocyto sis keluar sd menjadi virion baru. Partikel biogenetik parental- DNA virus tetap berada di dalam mu-set penderita.
Gambar 3. Monogenesis dan replikasi golongan virus DNA
Hal tersebut menyebabkan golongan virus DNA selalu mengadakan infeksi laten dan penyakitnya selalu persisten; kemudian sewaktu-waktu apabila Titer Ab-protektif mengalami penurunan kurang dari 1/25.600, dimulai lagi proses packing DNA dan assembly dan selanjutnya menjadi virion baru yang siap menginfeksi sel-sel lain, hal ini discbut sebagai proses reaktivasi viral. Dari strategi pengobatan, maka pada saat inilah perlu segera diberi obat antiviral atau bila mungkin melindungi sel-sel yang masih beltim terinfeksi dengan lindungan interferon. Apabila parental-DNA dalam status laten, maka penggunaan antiviral tidak akan berguna sama sekali. Reaktivasi viral yang endogenous ini sukar dibedakan manifestasi kliniknya, dari infeksi primer HSV, atau karena reinfeksi exogenous. Tetapi berpedoman atas proses imunologik pada infeksi persisten, maka gejala imunopatologik tetap akan turut mewarnai manifestasi kliniknya (Gambar 4). Dalam pengertian virologi, sel-sel tubuh penderita yang terserang oleh virus mempunyai 3 macam nasib: Apabila virus golongan RNA maka sel akan dimatikan seluruhnya, tetapi sisa
Gambar 5. Mekanisme masuknya virus Wilts Ayam
onkogenik tadi, sehingga sel terpacu untuk membelah diri tetapi generasinya sel tidak seperti induk sel semula melainkan menjadi sel tumor ganas (leukemia atau karsinoma).
Gambar 4. Infeksi viral HSV dan Reaktivasi virus yang persisten
sel-sel yang masih hidup dapat mengadakan revisi dan penyembuhan total bagi penderita akan lebih terjamin. Apabila virus golongan DNA maka sel akan diinfeksi untuk seterusnya (persisten) yang mengakibatkūa adanya rekurensi; hal ini kemudian memberi kesempatan golongan virus onkogenik masuk ke dalam sel-target tubuh, mengubah susunan gena materi genetik sel sehingga menyebabkan generasi sel selanjutnya menjadi sel tumor ganas (leukemia atau karsinoma). Partikel virus dijemput oleh tonjolan-tonjolan membran-sel dan langsung diinternalisasi di ujung tonjolan, kemudian berbondong-bondong mengitari Zona Golgi; di sini virus melepaskan materi biogenetik asam nukleatnya ke dalamnya. Setelah Zona Golgi mendekati inti-sel, maka program biosintesis asam nukleat (DNA) inti turut diubah sesuai dengan asam nukleat virus
DASAR IMUNOLOGI DAN CONTOH KEMUNGKINAN PENYEBARAN INFEICSI VIRAL Keadaan umum di luar membran-sel yang terinfeksi golongan virus-DNA sangat ditentukan oleh kadar atau titer Ab-protektif tubuh penderita, hal ini dapat dilacak dengan sistim pemeriksaan sederhana, yaitu: Passive Hemagglutination Assay HSV khusus terhadap komponen glikoprotein gB yang terkandung dalam lapisan luar envelop virus HSV-1 maupun HSV-2, yang mempunyai keistimewaan antara lain : – prosedur pemeriksaannya mudah dan cepat (3 jam), – spesifisitasnya tinggi, secermat uji Elisa, uji Netralisasi, CF, (uji Fiksasi komplemen), – mudah dilihat hasilnya (aglutinasi) tanpa alat canggih, – tanpa ada risiko terinfeksi reagen pemeriksaan (HSV) karena yang dipakai hanya komponen glikoprotein envelop virusnya yang telah dimurnikan (Haksohusodo S., 1989). – dapat menentukan tingkat Ab anti-HSV protektif penderita. Komponen gB dipakai sebagai sarana memantau keadaan Ab anti HSV protektif penderita, karena gB dalam envelop virus berfungsi sebagai pemacu penetrasi tahap-awal dari nukleokapsid virus ke dalam sel-sel target penderita (Courtney, 1984). Peran fungsional dan sifat antigenic-determinant dari glikoprotein gB memang berlainan dengan komponen glikoprotein gA, gC, gD dan gE, gD; misalnya hanya untuk neutralisasi viral. Pelacakan adanya Ab anti-gB HSV dalam serum penderita mudah dikerjakan karena pada stimulasi pertama antigen-determinan komponen glikoprotein gB akan membentuk antibodi spesifik terhadapnya. Antibodi ini (IgG) sifat antigeniknya sangat kuat dan bertahan lama dalam sirkulasi darah, mengingat
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 25
Seandainya serum penderita tidak mengandung IgG anti HSV (atau disini spesifik terhadap komponen glikoprotein gB) maka eritrosit yang terbungkus membran luarnya oleh komponen gB, tidal( akan diikat oleh IgG yang bukan spesifik terhadap HSV, artinya tidak ada hemaglutinasi (uji-Phassay-HSV = negatif).
A. Virus leukemia tikus Gambar 7. Profit Umum Titer Ab anti glikoprotein g8 virus HSV
Berdasarkan data epidemiologik tentang tingginya titer Ab anti HSV yang positif pada kelompok WTS dibandingkan kelompok masyarakat umum yang sehat/penderita penyakit apapun di RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta, maka dapat diperkirakan bahwa virus HSV (terutama HSV-2) tersebar melalui jalur WTS yang memang terexpose atau kemungkinan mendapatkan infeksi HSV lebih besar.
B. Virus Ca-mammae tikus Gambar 6. Mekanisme masuknya virus ke dalam set-target penderita
infeksi HSV merupakan infeksi lat.en atau virusnya selalu persisten; hat ini cocok untuk menera situasi IgG dalam darah terhadap titer Ab protektif. Prinsip ikatan Ab anti-gB dengan antigen gB viralnya yang dapat dipantau dengan sistim pemcriksaan Phassay-HSV: menempelkan komponen glikoprotcin gB virus (HSV-1 atau HSV2) ke permukaan scl eritrosit domba (= disensitisasikan) supaya nanti dapat mengikat Ab anti-gB pendcrita, ikatan ini akan menludahkan mcngendap bersama (peristiwa hemaglutinasi).
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Gambar 8. Hubungan antara Umur dan Angka rerata Ab positif terhadap HSV.
Dari pengalaman klinis di Bagian Obstetri/Ginekologi, infeksi HSV (terutama HSV-2) oftalmikus ternyata memang kebanyakan infeksi neonatal atau segera setelah bayi dilahirkan oleh Ibu yang telah mengidap penyakit HSV sebelumnya (Titer
IgG anti-HSV telah tinggi), (pengidap infeksi TORCH + Toxoplasma gondii, Rubella, CMV dan HSV). Maka untuk penyakit mata yang mungkin ada kaitannya atau riwayat kemungkinan terinfeksi TORCH pada waktu bayi atau Ibunya, perlu memonitor titer Ab anti HSV-nya lebih dahulu, kemudian bila perlu untuk Toxoplasma, Rubella dan CMV. Secara klinis pemantauan pertama (screening test) untuk hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 1.
Infeksi HSV Oftalmikus
Tabel 2.
Kelainan yang terjadi pads janin/bayi akibat infeksi TORCH Pada Ibu Hamil
Infeksi
Kelainan utama
Kelainan lain
Toksoplasma
Hidro/mikrosefalus Korioretinitis Kalsifikasi intrakranial
Hepatosplenomegali Ikterus, limfadenopati, retardasi psikomotor
Rubella
Katarak, tuli, kelainan jantung bawaan, strabismus
Hepotosplenomegali, trombositopeni, retardasi psikomotor
Cytomegalovirus
Mikrosefali, tali
Kalsifikasi intrakranial hepatosplenomegali, trombositopeni, purpura, korioretinitis, retardasi psikomotor
Herpes simpleks
Mikrosefali
Korioretinitis, hepatitis, retardasi psikomotor, intrapartum
PENGOBATAN ANTIVIRAL Pengobatan penyakit HSV yang sudah diketahui titer Abprotektif penderitanya, berpedoman pada tingginya titer Ab tersebut, tanpa memandang apakah Ab ini berupa IgM atau IgG; karena HSV biasanya merupakan infeksi persisten, IgG yang menjadi topik penilaian terjadinya reaktivasi atau rekuren seandainya titer Ab penderita menurun sampai di bawah 1/25.000. Tetapi apabilapenderita belum pemah terserang HSV, IgM harus positif, dan kadang-kadang IgG masih rendah sekali (sekitar 1/ 100 -1/6.400); ini merupakan penderita infeksi primer. Keduanya dapat langsung diberikan obat anti-viral yang sesuai (lihat daftar). Setelah titer Ab telah cukup protektif (biasanya di atas 1/25.600) dan gejala-gejala hilang (mereda), pengobatan dianggap cukup.
Tabel 3.
Pemilihan pemeriksaan diagnostik laboratorik untuk menentukan kepastian infeksi-viral intra-uterin sesuai screening gejala
Infeksi-viral 1. Rubella virus
Persiapan spesimen Skrining gejala :
* Isolasi virus Rubella dari urin, usapan tenggorok, darah atau demonstrasi IgM anti Rubella * Katarak, Peny. Jantung Kongenital, mikrophthalmi, lesi tulang panjang 2. Cytomegalo* Isolasi CMV dari urin, virus usapan tenggorok, darah Cara biakan jaringan FAT. Pewamaan secara FAG pada sel-sel urin. * Klinik adanya Mikrosefali, Pneumonitis, kalsifikasi serebral periventrikuler 3. Herpes Simplex * Amati dan bedakan Virus (HSV) gejala klinis HSV1, IISV2 atau sindrom neurologik pada anak baru lahir s/d balita, kalau perlu sampai remaja * Adanya mikrosefali, chorioretinis, hepatitis, retardasi psikomotor, , cephalgia berat intermiten, ggn keseimbangan
Penentuan Diagnostik Laboratorium Demonstrasi titer Ab. anti Rubella (I & II) * Pengamatan IgM-IgG Demonstrasi titer Ab. anti CMV dan pclacakan Ab IgM spesifik CMV, kalau perlu IgG spesifik Demonstrasi titer Ab. anti HSB tanpa memperhatikan Ab IgM spesifik antiIiSV Pemeriksaan titer Ab IgGanti HSV secara PhassayIISV telah cukup betmakna untuk pegangan para klinisi
Haksohusodo S, 1989
Penelitian yang telah selesai untuk penentuan nilai atau Titer Ab-protektif adalah terhadap infeksi HSV; untuk virus-virus lain (CMV, Rubella, Measles) masih dalam program, karena hal ini memang perlu dalam kaitannya dengan strategi pengobatan. Obat-obat anti-viral dianggap cukup dapat mengatasi infeksi viral, tetapi untuk pencegahan (tindakan preventif/profilaksis secara umum) atau vaksinasi masih belum banyak dimasyarakatkan. Untuk menekan insidens infeksi-viral HSV atau CMV neonatal telah diusahakan vaksinasi CMV untuk ibu-ibu hamil dengan CMV hidup yang telah dilemahkan, sedangkan untuk vaksin HSV direncanakan dibuat dari glikoprotein gB yang tidak in feksius.
KESIMPULAN 1. Infeksi viral pada mata mempunyai manifestasi klinik beragam, merupakan perpaduan antara perbedaan biogenesis/patogenesis golongan virus DNA/RNA dan dampak imunologinya. Hal ini dapat memberi pedoman dalam menentukan strategi pengobatan anti-viral. 2. Profil titer Ab anti-glikoprotein gB virus HSV yang spesifik, diperiksa dengan uji Phassay-HSV dapat memberi petunjuk akan
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 27
Tabel 4.
Beda sifat gol. virus Herpes Manusia
Tabel 6.
Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(2)
Manifestasi klinik
Etiologi penyakit
– Adenoviral oculo & pharyngo-conjunctivitis – Kerato conjunctivitis epidemics – Keratitis punctata superfisial Thygeson (Hemorrhagic conjunctivitis akuta)
Keterangan : *) Kadang-kadang manusia dapat terinfeksi oleh virus Herpes Rhesus-B dengan prognosis jelek Tabel 5.
Nekrosis retina sebagian/ sentrallperiferal, Uveitis periferal, Retinochoroiditis dengan nekrosis berat (seperti gejala Toxoplasmosis kongenital)
Varicella Zoster Ophth.: * Conjunctivitis, scleritis * Keratitis, iridocyclitis, glaucoma Trachoma Cervicitis-urethritis + conjunctival blennorrhea
Non-purulent conjunctivitis * Herpetic keratitis (Herpes comcalis) * Purulent conjunctivitis * Dendritic kcratitis (HSV rckurcns) * Herpetic conjunctivitis anak
Etiologi penyakit CMV - Rubella
VZV (varicella zoster virus) a) Chlamydia trachomatis (bukan virus) b) Chlamydia oculogenital (bukan virus) Virus Measles HSV – TK (+) kadang-kadang oleh : HSV – TK (+)
Kemungkinan pengobatannya * Adenine Arabinoside * Ganciclovir (CMV kongenital) * Foscamet (Phosphonoformiat) * Vaccine (sebelum transplantasi ginjal) * Acyclovir * Vidarabin) tak efektif * Simptomatis * Acyclovir, IDU, Vidarabin Sulfonamide, Oxytetracyclin, Eritromisin Sulfonamide, Tetracyclin, Eritromisin
Simptomatis, suportif mumi * Simptomatis, Acyclovir*), * Vidarabin*) * 5-jodo-2-deoxyuridine & obat-obat inhibitor sintesis DNA
Keterangan : *) Apabila titer Ab anti HSV penderita telah melampaui titer Ab. prolektif (1/25.600) obat anti-viral TIDAK diberikan
adanya reaktivasi karma titer Ab yang menurun di bawah nilai Ab-protektif, sekaligus dapat menentukan kapan harus diberikan obat anti-viral kepada penderita. Erupsi vesikel yang baru sedikit
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Adenovirus 69, 70, 71
a) Acyclovir, simptomatik, suportif b) Vidarabin mungkin dapat pada awal infeksi, C.I. untuk selanjttnya c) IDU tidak efektif + C.I. (Meskipun in vitro sensitif) d) Vaksinasi (hanya untuk militer, tidak praktis untuk masyarakat umum
Conjunctivitis
Virus NCD (New Castle Disease)
Simptomatik, suportif
Conjunctivitis, keratitis, kerato-conjunctivitis Blepharitis ulcerativa
Gol. Pox viruses : a) MCV (Molluscum contagiosum virus, Molluscovirus hominis) b) virus Vaccinia, Variola
Simptomatik, suportif Simptomatik, Acyclovir, Idoxuridine
Keratitis punctata ringan/sedang, conjunctivitis follicular yang berair
Rubeola, Influenza, Mumps
Simptomatik, suportif
Hemorrhagic follicular conjunctivitis + keratitis punctata (pandemik) Apollo II
Gol. Picoma virus*) – Simptomatik, suportif = Enterovirus tipe _ Contra indikasi 69, 70, 71 , terhadap obat anti viral o.k. terjadi pengkabutan cornea sub Epotelial
Infeksi Viral penyakit mata dan pengobatannya(1) Manifestasi klinik
Adenovirus 3 + 7 kadang 1, 4-6, 14 Adenovirus 1-3, 7+8, 9, II, 19
Kemungkinan pengobatannya
Keterangan : *) Picornaviridae
=
– Rhinoviruses 105 serotipe – Enterviruses = Coxsackie - A virus — 23 serotipe Coxasackie - B virus – 6 serotipe Echovirus ––––––––– 31 serotipe Enterovirus ––––––––– 3 serotipe 69-70-71
pada infeksi primer atau proses reaktivasi dengan titer Ab antiviral lebih rendah dari 1/25.600, langsung diberi pengobatan anti-viral yang sesuai. 3. Diagnostik laboratorik perlu diusahakan lebih cepat setelah diagnostik klinik telah jelas, sehingga pengobatan anti-viral (yang mahal) dapat dihindarkan, seandainya etiologi penyakit bukan virus tetapi hanya Chlamydia yang pengobatannya cukup antibiotika sulfonamid atau eritromisin. Sedangkan apabila golongan virus RNA yang tidak berbahaya (self limiting disease) cukup dengan pengobatan suportif murni. 4. Proteksi terhadap infeksi viral golongan virus DNA adalah mutlak harus diusahakan (lihat tabel pengobatan) mengingat virus ini cepat menyebar di masyarakat (misalnya HSV/CMV) yang dapat menyerang mata pada janin, anak, dewasa sampai masyarakat manula. Vaksinasi untuk penyakit-penyakit ini sedang dalam proses pemantapan.
.r
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.
Emond RTD. A Colour Atlas of Infectious Disease. Wolfe Medical Books. Smeets, Holland. 1974. Fenner F, White DO. Medical Virology. Second Edition. Academic Press Inc. New York. USA. 1976. Frenkel J. Toxoplasmosis. Pediatr Clin N Am 1985; 32(4): 917–32. Gelasso GJ, Merigea TC, Buchanan RA. Antiviral Agents and Viral Disease of Man. New York: USA. Raven Press. 1979. Haksohusodo S. TORCH Infection affecting the fetus and newborn. Advanced Course on Perinatology. Yogyakarta, June 1987.
6.
Haksohusodo Set al. Seroepidemiology of HSV in Yogyakarta, Indonesia. Microbiol. Im. 1989; 33(9): 793–96. 7. Hanshaw JB, Dugeon JA, Marshall WC. Viral disease of the Fetus and Newborn. Majorproblem in Clinical Pediatrics. Vol. 17. Philadelphia, London: WB Saunders Co. 1985. 8. Krugman S, Ward R. Infectious Disease of Children. 4th ed. Mosby Co., St Louis, 1968; p. 20–30; 119–30; 279–95; 375–87. 9. Matsunaga S et al. Measurement of HSV-antibodies using Phassay-HSV. Rinsho-Kensa-Kiki Shiyaku 1986; 9: 811–815. 10. Ramsay AM, Emend RTD. Infectious Disease. Second Edition. London: William Heinemann Medical Ltd. 1978.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 29
Rejeksi Transplan Bondan Harmani Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Pada beberapa keadaan, transplantasi kornea merupakan satu-satunya cara untuk memperbaiki tajam penglihatan dan mengembalikan seseorang pada kehidupan sosial yang normal. Tetapi pada kenyataannya, kemungkinan untuk terjadinya kekeruhan kornea yang disebut rejeksi transplan tetap merupakan risiko yang harus dihadapi. Beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya rejeksi dan cara-cara untuk menanggulanginya telah banyak diperdebatkan. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka kemungkinan rejeksi ini dapat dikurangi. DEFINISI Gagal transplan (graft failure) Kekeruhan transplan yang terjadi sebelum 2 minggu pasca transplantasi atau dalam hal ini transplan tidak pernah mengalami masa jernih setelah transplantasi. Merupakan terminologi umum untuk kekeruhan transplan. Gagal transplan dihubungkan dengan : a) Kualitas donor Terdapat kerusakan sel endotel donor sehingga sejak hari pertama, transplan tampak menebal, dengan lipatan-lipatan membran Descemet. Walaupun kadang-kadang reversibel, tetapi bila kerusakan sangat berat dan menetap setelah beberapa minggu tanpa mengalami kejernihan, maka transplan dalam kcadaan irreversible. b) Trauma operasi Bilik mata depan yang dangkal menyebabkan pergeseran sel endotel dengan permukaan iris; perlekatan vitreous dengan endotel scrta tindakan-tindakan mekanik, selama operasi atau irigasi yang berlebihan akan menycbabkan disfungsi endotel dan edema Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogygkarta
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
kornea. Rejeksi transplan (graft rejection) Kekeruhan yang terjadi 2–3 minggu setelah transplantasi di mana transplan mengalami masa jernih sebelumnya merupakan terminologi yang dihubungkan dengan proses imunopatofisiologi. Perihal rejeksi transplan akan dibicarakan lebih lanjut. Antigen Antigen merupakan suatu protein kornea yang dapat diperoleh dengan berbagai cara, antara lain elektroforesis, imunoelektroforesis, imunodifusi dan lain-lain. Pada kornea bovine didapatkan 6–15 antigen. Padapenelitian dengan kornea manusia, IgG dan IgA didapatkan setengah sampai seperlima bagian serum, sedangkan IgM didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit. Remky mendapatkan bahwa pada epitel kornea lebih banyak mengandung antigen dibandingkan stroma, dengan demikian ia berpendapat bahwa stroma kornea donor tidak berpengaruh pada proses rejeksi. Penelitian terakhir mendapatkan antigen histocompatibility dalam proses rejeksi. Antigen ini terdapat pada seluruh permukaan sel dan berbeda secara individu. Hal ini yang diperkirakan mengapa pada seseorang dapat terjadi rejeksi sedangkan yang lainnya tidak. Antigen ini disebut Human Leucocyte Antigen (HLA). Didapatkan HLA-A, B, C dan DR. Peranan yang tepat dari masing-masing HLA ini masih diperdebatkan, tetapi didapatkan konsensus bahwa HLA memang memegang peranan penting dalam proses rejeksi. MEKANISME REJEKSI Masih menjadi tanda tanya di mana terjadi interaksi antara
antigen transplan dan sel yang tersensitisasi. Pandangan lama menyatakan bahwa sensitisasi terjadi ketika materi antigen transplan tersaring melalui pembuluh limfe perifer ke arah kelenjar limfe regional. Diasumsikan bahwa materi antigen dapat pula berdifusi melalui kornea atau ke luar melalui pembuluh limfe memasuki pembuluh limfe konjungtiva ke arah kelenjar limfe regional. Satu alternatif dikemukakan oleh Medawar, yaitu sensitisasi terjadi di perifer, kemungkinan pada pembuluh darah sekitar endotel transplan. Limfosit aktif mclewati parenkhim transplan dan berjalan melalui pcmbuluh limfe ke kelenjar regional di mana terjadi penumpukan sc1-sel imunologi. Sel limfoid aktif yang disebut limfosit memasuki sirkulasi secara cepat setelah terbentuk pada kelenjar regional. Limfosit ini berumur lama dan bersirkulasi dari pembuluh darah ke pembuluh darah limfe melalui kelenjar regional. Hidup yang lama ini dapat menjelaskan adanya persistensi dari reaksi berulang. Pada transplantasi kornea proses sensitisasi HLA sama dengan proses di ginjal. Adanya antibodi limfotoksik jaringan kornea pada pembuluh darah perifer dapat dideteksi pada pasien dengan rejeksi. Pada tempat rejeksi terlihat sel PMN dan sel plasma yang menandakan adanya sel antibodi dan komplemen.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI 1) Vaskularisasi kornea Seperti diketahui kelenjar limfe regional dan pembuluh limfe berperan pada reaksi transplan. Pada tingkat pembuluh limfe kornea diperlihatkan kemampuan host untuk mengenali antigen kornea sedangkan untuk tingkat vaskularisasi kornea diperlihatkan kemampuan host untuk (a) mengenal antigen, dan (b) membawa sel limfosit ke tempat rejeksi. Pada penelitian host dengan kornea yang avaskuler, terjadi rejeksi pada 3,5% transplan dalam waktu rata-rata 10 bulan, sedangkan pada host dengan vaskularisasi sedang (moderate) terjadi rejeksi 65%. Telah diteliti pula bahwa garis rejeksi biasanya dimulai di tempat dengan vaskularisasi maksimal. Trauma atau inflamasi akan menyebabakan pelebaran pembuluh darah dan menyebabkan neovaskularisasi, yang akan meningkatkan kemungkinan rejeksi. 2) Letak transplan Letak transplan yang eksentrik (dekat dengan pembuluh darah dan pembuluh limfe di limbus dibandingkan bila di sentral) dan pemakaian transplan yang besar (dekat dengan limbus akan membawa faktor antigen yang banyak) dapat meningkatkan kemungkinan sensitisasi host dan dihubungkan dengan meningkatnya kemungkinan rejeksi. Transplantasi kedua (retransplantasi) meningkatkan kemungkinan rejeksi. 3) HLA matching Pada pasien dengan vaskularisasi yang berat dan mempunyai risiko tinggi untuk rejeksi, keberhasilan transplantasi
ditentukan adanya proporsi yang tepat pada HLA. Penderita dengan 2 tipe HLA yang sama, tingkat kegagalan mencapai 26% dalam 1 tahun, sementara transplan dengan hanya 1 HLA yang cocok atau tidak sama sekali mempunyai tingkat kegagalan 57-62%. 4) Jenis transplantasi Transplantasi tembus mempunyai kemungkinan rejeksi sedikit lebih besar dari lamelar karena beberapa sebab : a) Transplan lamelar hanya mempunyai sedikit materi antigen. b) Pada transplantasi lamelar, sel endotel dalam kondisi lebih baik. c) Sedikit kemungkinan terjadinya kerusakan endotel berhubungan dengan tindakan bedah. d) Endotel dan membran Descemet tetap utuh dan ini akan mencegah sel limfoid yang tersensitisasi mencapai endotel. TANDA KLINIS Reaksi rejeksi pada manusia dapat terjadi antara 2 minggu atau sampai beberapa tahun setelah transplantasi. Reaksi uvea mula-mula ringan berupaflare dan set serta akumulasi Keratic precipitate (Kp) pada endotel dan injeksi silier. Pada tipe perifer, Kp terlihat pada bagian bawah transplan. Garis rejeksi akan migrasi bergerak sentripetal dan pigmen menumpuk pada endotel. Donor menjadi edem karena sel endotel berkompensasi akibat akumulasi sel limfoid. Pada tipe difus, Kp menyebar difus di permukaan endotel dan beberapa hari kemudian kornea menjadi edam. Pada kedua reaksi ini, terbentuk membran pada permukaan posterior kornea yang merupakan manifestasi lanjut. Pada penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa reaksi epitel, stroma dan endotel menetap sampai beberapa tahun. Adanya antigen ini menjelaskan mengapa rejeksi kadang-kadang lambat terjadi. Pemeriksaan histologi Garis rejeksi terdiri dari sel-sel lekosit PMN dan di belakangnya terdapat limfosit. Lekosit PMN dan limfosit juga ikut serta dalam rejeksi stroma. Perubahan sel dapat berupa pelebaran endoplasmic reticulum, pembentukan vakuola dan gambaran materi fagositosis dan materi kristal, intrasitoplasma yang menggantikan keratosit sewaktu kontrak dengan limfosit. Kerusakan struktur normal dari kolagen pada stroma transplan terjadi pada area infiltrasi lekosit. Pada rejeksi endotel, garis rejeksi yang terdiri dari limfosit primer bersama-sama dengan fibrin terdapat pada permukaan endotel. Limfosit ini menginfiltrasi sel endotel dan sering menggantikan sel endotel yang menutupi sel Descemet pada area yang rusak berat dan pada area di mana membran Descemet terbuka ke arah bilik mata depan. Pada keadaan ini edema stroma tampak pada daerah yang rusak. Nukleus sel endotel menjadi lebih besar sedangkan hubungan antar sel akan menghilang. Pada kerusakan sel endotel yang parah, sitoplasma tampak mengalami banyak kerusakan. Sel limfosit, monosit dan fibrin
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 31
tampak pada endotel. Limfosit akan mencapai sel endotel melalui membran Descemet yang terbuka dari pembuluh darah yang memasuki stroma. Membran Descemet akan membaik dalam beberapa bulan, dan perjalanan limfosit ini akan tertutup. Bila terjadi rejeksi, maka penyembuhan membran ini akan tertunda. Pada penelitian binatang kelinci, di mana sel limfoid tersensitisasi oleh antigen donor dan resipien maka sel akan memasuki bilik mata depan dan tampak sebagai pock like areas pada sel endotel yang rusak. Bila sel limfoid cocok dengan transpian tetapi tidak cocok dengan resipien, maka jaringan transplan tetap jemih tetapi dikelilingi oleh daerah endotel resipien yang rusak. Gambaran pock like area ini berbeda pada manusia dan peneliti berpendapat bahwa sel limfosit yang tersensitisasi tersebut datang dari pembuluh darah yang tertekan bukan berasal dari humor aquos. Proses perbaikan tergantung dari penyebaran sel endotel di antara donor resipien. Perbaikan ini tidak terdapat pada endotel manusia. Bila sel endotel mengalami kerusakan yang parah, maka akan terbentuk membran retro korneal. Sel membentuk membran Descemet yang rusak. Michels dan kawan-kawan berpendapat bahwa metaplasia sel endotel mungkin berperan alas terbentuknya membran retro korneal. PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN Tindakan bedah Terdapat cara pembedahan yang dapat menurunkan risiko rejeksi. Pembuangan lapisan epitel akan menurunkan jumlah antigen dan menurunkan jumlah sel-sel Langerhans. Prosedur ini jangan dilakukan bila epitel yang intak diperlukan seperti pada kasus trauma kimia. Penggunaan transplan yang kecil (7,5 mm) akan menurunkan penyerbuan zat antigenik dan meletakkan jaringan donor jauh dari pembuluh darah limbal. Peletakan ini akan lebih baik pada posisi sentral. Pengangkatan jahitan terputus segera setelah terlihat jaringan fibrovaskuler mencapai transplan akan menurunkan neovaskularisasi. Jahitan jelujur akan mencegah kebutuhan pengangkatan jahitan yang lebih awal. Nilon lebih baik dari sutera dan akan menurunkan neovaskularisasi yang disebabkan oleh jahitan. Penyimpanan donor Beberapa cara dianjurkan untuk menurunkan faktor antigen donor. Pemakaian kornea donor yang disimpan dalam kultur organ atau media cair lainnya akan menurunkan risiko rejeksi. Pada kornca yang disimpan dalam media, tampak hilangnya lapisan epitel yang berarti mengurangi faktor antigen. Cara yang lain adalah dengan merendam kornea di dalam scrum resipien dcngan asumsi bahwa protein donor akan larut dan digantikan protein dari serum resipicn. Demikian pula lekosit dan makrofag resipien disensitisasi oleh antigen donor. Kortikosteriod Steroid berperan pada banyak aspck dari rcaksi inflamasi.
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Steroid akan meningkatakn adenilsiklase, siklik AMP (cAMP) pada lekosit, meningkatkan respon cAMP yang dihasilkan oleh prostaglandin E, dan memperkuat efek (3-adrenergic catecholamine. Semua proses di atas akan menghilangkan terlepasnya amin vasoaktif (heparin.serotonin, histamin dan lain-lain) dari sel mast dan sel basofil. Histamin yang terkandung dalam jaringan akan dikurangi sehingga.dapat terjadi eosinopenia. Steroid juga menyempitkan pembuluh darah dan proses ini akan mengurangi permeabilitas vaskuler dan neovaskularisasi postinflamasi. Penurunan ini akan berpengaruh pada kedua faktor aferen dan eferen dari proses fenomena rejeksi. Khemotaksis neutrofil akan hilang dan akan dicapai kestabilan enzim lisosoma, dan akhimya akan mengurangi jumlah nekrosis jaringan dan neovaskularisasi. Proses ini juga menurunkan sejumlah monosit. Steroid dapat berperan langsung pada sistem imun. Limfopenia dapat tercapai dalam 4-6 jam. Limfosit T lebih sensitif terhadap steroid dibandingkan limfosit B. Proliferasi, fungsi serta sirkulasi limfosit akan dihambat. Makrofag juga terpengaruh dengan menurunkan metabolismenya. Steroid akan mengurangi gerakan kompleks antigen antibodi yang melalui membran basalis. Sebagian atau seluruh steroid berperanan dalam rejeksi transplantasi, sebagai contoh bahwa fagosit pada endotel transplan akan rusak dalam 24 jam pemakaian deksametason topikal. Steroid topikal Pada tingkat dini, rejeksi endotel bereaksi dengan terapi steroid topikal, garis rejeksi pada endotel tetap di perifer, hanya tampak beberapa Kp dan edema stroma hanya ringan atau moderate. Bila garis rejeksi makin menyebar dan lebih banyak endotel yang rusak, steroid hanya menunda proses destruksi tetapi tidak dapat mempertahankan kejernihan transplan. Terapi steroid topikal yang adekuat dapat mengontrol atau mencegah reaksi kornea. Cukup diberikan dosis rendah anti inflamasi dan dosis tinggi yaitu 15-30 menit. Pada saat pasca transplantasi dapat diberikan efek anti inflamasi, tetapi bila terlihat proses rejeksi maka dapat diberikan dosis imunosupresi. Steroid subkonjungtiva Bila diberikan subkonjungtiva maka preparat deksametason lebih baik penetrasinya dibandingkan triamsinolon. Steroid sistemik Bila dibutuhkan dapat diberikan 10-12 tablet prednison setiap hari sampai 2 m inggu, bersama-sama pemberian topikal. Setelah 2 minggu dosis diturunkan dan dosis topikal ditingkatkan. Pemberian alternating dengan dosis tinggi pada pagi hari akan mengurangi efek samping (seperti supresi adrenal) pada pcmakaian jangka lama. Terapi yang lain Saat ini yang sering dipakai adalah siklosporin A. Selain itu dipakai pula indometasin. Siklosporin A merupakan imunomodulator kuat yang be-
kerja pada tingkat awal dari proses sensitisasi antigen, dengan menekan fungsi limfosit T. Siklosporin A tidak menghambat sistim fagositosis, tidak menghambat penyembuhan luka, meningkat.kan tekanan intraokuler atau menginduksi perubahan lensa. HLA matching Pemakaian jaringan kornea yang telah dilakukan HLA matching akan berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi (vaskularisasi kornea resipien). Retransplantasi Bila semuanya gagal, maka retransplantasi dapat dikerjakan. Bila edem kornea menetap setelah beberapa bulan maka penderita dipersiapkan untuk retransplantasi. Retransplantasi mempunyai risiko rejeksi lebih besar daripada transplantasi sebelumnya.
Efek samping pengobatan Pengangkatan jahitan yang terlalu cepat akan menyebabkan kebocoran dan komplikasi lainnya. Bila kornea donor diletakkan dalam media kultur, harus diperhatikan kemungkinan kontaminasi mikroorganisme di dalam media. Pemakaian steroid yang lama akan menimbulkan reaksi alergi, gangguan mental Berta ulkus peptikum, diabetes, edema dan lain-lain. Pemakaian steroid topikal dapat memperlambat penyembuhan dan mengganggu epitelisasi. Katarak dan glaukoma merupakan efek samping pemakaian steroid jangka panjang. 1. 2. 3.
KEPUSTAKAAN Smolin G. Ocular Immunology. Lea & Febiger Philadelphia 1981; hal. 247-283. Smolin G. Inmmunology, The Cornea. Little, Brown and Company, Boston/Toronto 1983; 95-97. Volker-Diben HJ. The Effect of Immunological and Non-Immunological Factors on Cornea Graft Survival. Dr W Junk Publisher/The HaqueBoston-Lancester 1984; 67-77.
Kalender Kegiatan Ilmiah November 21-24, 1993 : KONGRES NASIONAL III PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA Hotel Patra Jasa, Semarang, Indonesia Secr.: Sub Bagian Endokrinologi–Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedoktcran Universitas Diponegoro/ RS Dr. Kariadi Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang, INDONESIA Telp./Fax : 024 - 311759
Going to church doesn't make you. a Christian any more than going to garage makes you an automobile (Billy Sunday)
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 33
Aspek Genetika pada Kelainan Uvea Hartono Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada UPF. Penyakit Mata/Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta
Key Words : genetic disease - iris abnormalities - structural abnormalities - pigmentary abnormalities - HLA associated uveitis.
PENDAHULUAN Dengan makin berkurangnya penyakit infeksi dan malnutrisi maka peran penyakit genetik menjadi sangat penting(1). Kalau dahulu penyakit genetik biasanya hanya dihubungkan dengan masalah kecacatan bawaan, maka saat ini diketahui bahwa faktor genetik bahkan berperan pada kejadian beberapa penyakit infeksi seperti difteri, dan adanya asosiasi antara HLA dengan penyakit tertentu. Penyakit genetik sangat banyak macamnya, tetapi kebanyakan frekuensi masing-masing penyakit genetik sangatlah kecil. Namun demikian ada beberapa macam penyakit genetik yang sering ditemukan pada etnik tertentu atau di daerah tertentu, misalnya penyakit Tay-Sachs pada orang Jahudi Askenazik, penyakit anemia sel sabit pada orang-orang Negro, penyakit talasemia pada orang-orang di sekitar laut Tengah, dan anensefali pada orang-orang Irlandia(2). McKusick (1990) dalam edisi ke-9 bukunya yang terkenal dengan singkatan MIM (Mendelian Inheritance in Man) atau juga dikenal sebagai katalog McKusick, tclah mengumpulkan kira-kira 5000 karakter monogenik atau yang diwariskan mengikuti hukum Mendel, dan 4000 di ant9ranya adalah merupakan karakter abnormal (penyakit). Dari 5000 karakter tadi 2000 diantaranya tclah diketahui letak genanya di dalam kromosom inti sel(3). Disampaikan pada Seminar RED-Kornea-Uvea Perdarni XXI, 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Kalau dahulu pembuktian bahwa suatu kelainan atau sifat normal merupakan karakter yang diwariskan biasanya hanya berdasarkan pada kajian silsilah keluarga, kajian anak kembar, dan kajian saudara-saudara penyandang karakter tertentu, sekarang kajian-kajian dasar tersebut telah dikembangkan untuk mengetahui letak genanya dalam kromosom. Beberapa kajian untuk mengetahui letak gena dalam kromosom di antaranya adalah (1) analisis rangkai gen, (2) hibridisasi seluler, (3) hibridisasi molekuler, (4) pemetaan endonuklease restriksi, (5) homologi, (6) kajian aberasi kromosom, dan (7) pemetaan delesi dan efek dosis(3). Mata merupakan organ yang sangat sering terlibat dalam kelainan genetik baik sebagai kelainan terscndiri maupun sebagai bagian dari sindrom tertentu. Geeraets (1976) telah mengumpulkan sebanyak 436 sindrom penyakit yang disertai kelainan mata, baik sindrom yang diwariskan (genetis) maupun nongenetis. Pengenalan kelainan mata genetis dengan demikian akan menjadi sangat penting agar dapat memberikan pertolongan kepada pasien secara tcrpadu dan memadai. Dalam tulisan ini akan dibicarakan beberapa penyakit mata genetis, khususnya mengenai uvea. Pembicaraan hanya akan dibatasi mengenai beberapa kelainan, untuk memberikan gambaran peran genetiknya.
PEMBAGIAN PENYAKIT GENETIK Penyakit pada umumnya dapat digolongkan menjadi penyakit yang sebabnya karena faktor lingkungan, penyakit yang sebabnya karena faktor genetik, dan penyakit yang sebabnya karena gabungan antara faktor lingkungan dan faktor genetik(1). Lamy (1975) membagi penyakit genetik menjadi penyakit gen, penyakit kromosom, penyakit cmbriopati(4). Penyakitgen mutan, genopati dapatdibagi menjadi genopati malformatif, genopati tisuler, dan genopati molekuler(5). Berdasarkan sifat mutasi gen (dominan atau resesif) dan letak gen dalam kromosom inti sel (pada autosom atau kromosom kelamin-X atau Y), maka pewarisan penyakit gen (penyakit genetik dalam arti sempit) dapat dibagi menjadi penyakit dominan autosom (DA), resesif autosom (RA), dominan terangkai-X (D-X), resesif terangkai-X (R-X), dan terangkai-Y atau holandrik. Di samping gen dalam inti sel juga terdapat gen mitokondria. Mutasi gen mitokondria akan menyebabkan penyakit mitokondria, misalnya penyakit Leher. Karena pada sel benih (garnet) mitokondria hanya terdapat pada sel telur, maka pewarisan penyakit mitokondria adalah istimewa, yaitu mengikuti garis ibu (maternal line), artinya hanya diwariskan dari ibu yang sakit. Penyakit kromosom disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom atau kelainan struktur kromosom. Penyakit kromosom biasanya menyebabkan kelainan berat, baik fisik maupun mental, dan bahkan letal (menyebabkan kematian), kecuali pada kelainan kromosom kelamin bentuk tertentu. Kelainan kromosom tidak selalu dapat dideteksi pada analisis kromosom, terutama pada delesi yang sangat kecil. Karena kelakuan kromosom saat pembentukan garnet juga mengikuti kaidah Mendel, maka pada dasarnya pewarisan penyakit kromosom adalah seperti pewarisan penyakit dominan, asalkan kelainan kromosom tadi tidak berefek letal, cacat berat, atau infertilitas. Embriopati adalah penyakit embrio dapatan akibat terpaparnya si ibu saat kehamilan muda dengan bahan teratogenik. Jadi embriopati bukan penyakit genetik. Tetapi karena gambaran fenotip embriopati tertentu sering menyerupai sindrom penyakit genetik yang dikenal (efek fenokopi), maka embriopati penting sebagai diagnosis banding. Mengenai risiko rekurensi (artinya munculnya kembali penyakit yang sama setelah kelahiran anak cacat) untuk penyakit monogenik adalah berkisar antara 25% sampai 100% (kecuali pada mutasi baru); pada penyakit kromosom tergantung pada kariotip anak, ayah dan ibu; dan pada embriopati risiko rekuren tadi praktis nol. Hal ini punting pada pemberian penyuluhan genetik, karena ada penyakit yang ringan tetapi risikonya tinggi dan ada penyakit yang berat tetapi risiko rekurensinya sangat rendah. Kedua keadaan tadi biasanya bisa diterima oleh pasangan suami-istri, dan mereka tidak takut untuk mempunyai anak lagi. Dalam menetapkan diagnosis penyakit genetik dan cara penetapan pewarisannya, serta menentukan risiko rekurensinya kadang-kadang tidak mudah. Beberapa penyulit untuk ini adalah (1) jumlah anak yang semakin sedikit, (2) adanya heterogenitas genetis, (3) adanya gen nonpenetran, (4) adanya keragaman ekspresivitas, dan (5) adanya mutasi baru(4).
ASPEK GENETIK KF.LAINAN UVEA Dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan beberapa kelainan uvea anterior (iris), baik mengenai kelainan bentuk, kelainan pigmentasi (warna), dan radang pada iris. 1. Kelainan bentuk iris a) Koloboma iris Koloboma iris adalah cclah iris kongenital pada sektor nasal bawah, yang terjadi karena kegagalan penutupan mangkok optik pada daerah fisura fetalis. Kelainan ini dapat beragam dari adanya lekukan pada pupil sampai defek sektoral jaringan uvea yang meluas dari iris sampai nervus optikus(6). Fisura fetalis ini secara normal menutup pada minggu kelima dan keenam pada saat embrio berukuran 10 sampai 18 mm(7). Mengenai pewarisan kelainan ini sebenarnya Snell pada tahun 1908 telah memperlihatkan pewarisan koloboma iris pada 5 generasi yang menunjukkan adanya pewarisan dominan autosom. Kajian silsilah keluarga sampai saat ini tetap menyokong adanya pewarisan dominan autosom. Kelainan ini mungkin berbeda dengan aniridia. Gen untuk koloboma iris, khoroid, dan retina telah diketahui berada pada kromosom nomor 2, tepatnya pada 2pter-p25.1 dekat dengan gena aniridia-l(3). b) Aniridia Aniridia yang berdiri sendiri atau disertai kelainan mata yang lain memperlihatkan ekspresivitas (penampakan) yang sangat beragam. Aniridia biasanya disertai dengan pengurangan visus, nistagmus, katarak, strabismus, ambliopia, dan hipolasia nervus optikus(8). Kelainan iris sendiri dapat berupa (1) aniridia total, (2) tersisanya sedikit iris, (3) koloboma atipik, (4) koloboma tipik dengan penipisan iris, dan (5) penipisan iris dengan pupil yang bulat(3.8). Pada pembawa gen yang mempunyai pupil bulat, Mintz-Hittner et al. (1992) dapat memperlihatkan adanya ketidak sempurnaan koloret dan pengurangan zona avaskuler fovea(9). Pewarisan aniridia pertama kali dilaporkan oleh Macklin pada tahun 1927, dan bersifat dominan autosom(10). Pewarisan demikian tetap terbukti sampai sekarangdan bahkan letak genanya dalam kromosom telah diketahui, Letak gena aniridia bisa berada pada kromosom nomor 2, yaitu pada 2p25 dekat dengan gena koloboma uvea, dan pada kromosom nomor 11, yaitu pada l 1p13. Aniridia yang disebabkan oleh mutasi gena pada kromosom nomor 2 dan nomor 11 tidak dapat dibedakan. Aniridia yang disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom nomor 2 disebut aniridia-1, sedangkan yang disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom 11 disebut aniridia-2(3). Angka mutasi untuk aniridia1 dan aniridia-2 secara keseluruhan adalah 2,5 sampai 5 x 10-6 per garnet per generasi(11). Di samping aniridia autosomal dominan, ternyata pada orang-orang Jepang juga dijumpai aniridia autosomal resesif. Aniridia jenis ini mempunyai makula yang baik(11). c) Aniridia bersama dengan tumor Wilms (sindrom WAGR) Tumor Wilms adalah tumor embrional ginjal yang analog dengan retinoblastoma dalam arti bahwa tumor ini diwariskan secara Mendel dan disebabkan oleh gangguan pada gen penekan
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 35
tumor atau tumor suppresor gene(11). Ternyata gen untuk timbulnya tumor Wilms ini sangat berdekatan letaknya dengan gen untuk aniridia-2, yaitu pada 11p13. Delesi pada 11p13 ternyata mempunyai asosiasi dengan sindrotm WAGR (Wilms tumor, Aniridia, Genitourinary anomalies, and mental Retardation). Keadaan demikian adalah serupa dengan asosiasi antara delesi 13q14 dengan retinoblastoma(12). Demikian pula teori dua kali mutasi dari Knudson juga berlaku untuk tumor Wilms(11). Kalau asosiasi antara delesi 13q14 pertama kali ditemukan oleh Miller et al pada tahun 1964, maka asosiasi antara delesi 11p13 dengan sindrom WAGR ditemukan oleh Riccardi et at pada tahun 1978(3). Jadi aniridia-2 dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian dari sindrom WAGR. Demikian pula tumor Wilms juga bisa berdiri sendiri atau sebagai bagian dari sindrom WAGR. Rupanya patahan pada 11p13 akan menyebabkan aniridia-2, sedangkan delesi daerah 11p13 akan menyebabkan sindrom WAGR. Dengan demikian adanya aniridia yang disertai kelainan genitourinaria atau retardasi mental perlu dicari apakah juga menderita tumor Wilms dengan pemeriksaan USG berkala. d) Pupil ektopik Pupil ektopik biasanya merupakan bagian dari ektopia lentis dan pupil. Ektopia lentis dan pupil merupakan 7–19% dari keseluruhan ektopia lentis, dan ektopia lentis tanpa ektopia pupil adalah 81–90%(13). Pada kelainan ini pupil berbentuk lonjong atau berbentuk celah, terletak ektopik, dan sulit dilatasinya. Kelainan ini biasanya bilateral, asimetris, dan kadang-kadang terdapat mikrosferofakia. Katarak, glaukoma, dan ablasio retina dapat menyertai kelainan ini(13). Pupil ektopik dapat pula vertikal sehingga menyerupai mata kucing (Sorsby, 1951). Mengenai pewarisan pupil ektopik telah diperlihatkan oleh Waardenburg pada tahun 1932. Kelainan ini sebagian diwariskan secara dominan autosom dan sebagian diwariskan secara resesif autosom (Sorsby, 1951; Nelson & Maumene, 1986). e) Kelainan bentuk iris yang lain Beberapa sindrom genik maupun kromosomik sering disertai adanya kelainan bentuk iris yang abnormal. Beberapa sindrom yang perlu disebutkan adalah(14) : 1) Sindrom kuku-patela Sindrom ini mempunyai tanda utama berupa displasia kuku, hipoplasia patcla, dan spina iliaka yang menonjol. Pada penderita ini kadang-kadang ditemukan iris yang berbentuk daun semanggi. Sindrom kuku-patela diwariskan secara dominan autosom. 2) Neurofibromatosis Neurofibromatosis merupakan salah satu anggota fakomatosis (hamartoma) dengan tanda utama berupa neurofibromata multipcl, bcrcak kulit warna kopi susu (tache cafe au tail), dan lesi tulang. Pada iris pendcrita suing ditemukan nodula Lisch (hamartomata iris pigmentosa). Penyakit ini diwariskan secara dominan autosom dengan ekspresivitas yang sangat beragam. 3) Sindrom okulodentodigital Sindrom ini ditandai oleh mikroftalmia, hipoplasi email, dan
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
kamptodaktili kelingking. Selain mikroftalmia pada mata juga ditemukan iris yang halus dan berpori-pori. Pewarisan kelainan ini adalah dominan autosom dengan ekspresivitas yang beragam. 4) Sindrom mata kucing (cat eye syndrome) Sindrom ini mempunyai gejala utama berupa koloboma iris, atresia ani, dan apendages preaurikuler. Kelainan merupakan penyakit kromosom, yaitu suatu trisomi parsiil kromosom 22, karena adanya tambahan 22q. 2. Kelainan warna iris a) Albinisme Warna mata ditentukan oleh wama iris, dan warna iris ini merupakan salah satu kriteria penentuan kekembaran secara fisik(15). Galton pada tahun 1889 membagi warna iris menjadi 8 kategori, yaitu: cerah, biru dan biru gelap, hijau dan hijau biru, abu-abu gelap, coklat muda, coklat dan coklat tua, gelap, dan hitam(10). Albinisme termasuk dalam satu kelompok besar kelainan okulokutaneus. Ada dua jenis albino yaitu albino okulokutaneus dan albino okuler. Albinisme okulokutaneus disebabkan oleh kekurangan atau ketiadaan pigmentasi pada kulit, rambut, dan mata. Pada albinisme okuler, terutama yang mengalami gangguan pigmentasi adalah mata. Kedua bentuk albinisme ini masih dibagi lagi menjadi beberapa bentuk. Kedua bentuk albinisme tadi sering disertai hipoplasi fovea, fotofobia, nistagmus dan pengurangan tajam penglihatan. Albino okulokutaneus secara garis besar dibagi menjadi negatip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 13.000 kelahiran; positip tirosinase dengan frekuensi 1 dalam 15.000 kelainan path Negro dan 1 dalam 40.000 pada kulit putih (Worobec-Victor et al., 1986). Albino okuler ditandai oleh hipomelanosis terutama pada uvea dan retina, dengan atau tanpa hipopigmentasi fokal pada kulit. Pewarisan albino okulokutaneus sebagian besar adalah resesif autosom. Pewarisan albino okuler dapat secara terangkaiX, resesif autosom, maupun dominan autosom (Worobec-Victor et al., 1986). b) Sindrom Waardenburg Sindrom ini pertama kali dilaporkan oleh Waardenburg pada tahun 1951. Ia menemukan sindrom ini path 1,4% dari anak-anak yang menderita ketulian bawaan. Berdasar data ini, maka perkiraan insidensi sindrom Waardenburg di Negeri Belanda adalah 1 per 42.000 penduduk(16). Sindrom Waardenburg memperlihatkan ekspresivitas yang beragam. Hageman dan Delleman membedakan 2 jenis sindrom Waardenburg (SW) yaitu: tipe I (SW I) dan tipe II (SW II) berdasar ada tidaknya telekantus (Jones, 1988). Selanjutnya ditemukan adanya tipe III (SW III) dan tipe IV (SW IV). Gejala pokok SW I adalah (1) distopia konmtoreum, (2) akar hidung lebar, (3) hipertrikosis, (4) hipopigmentasi kulit dan rambut kepala, (5) hcterokromia iris total atau parsial, (6) ketulian kongenital unilateral atau bilateral. Gejala pokok SW II adalah seperti SW I, tetapi tanpa telckantus. SW III disebut juga sindrom Klcin-Waardenburg atau SW yang disertai kelainan anggota alas, sedangkan SW IV disebut pula varian SW yang disertai megakolon(17).
c) Kelainan pigmentasi iris lain Beberapa sindrom kromosomik juga sering ditandai oleh kelainan wama (pigmentasi) iris. Beberapa sindrom yang perlu dikenal adalah(12,14,16) : 1) Sindrom Angelman Sindrom Angelman ataiu sindrom boneka gembira (happy puppet syndrome) ditandai oleh cara berjalan seperti boneka gembira, tertawa paroksismal, dan muka (wajah) yang khas. Penderita ini memperlihatkan iris berwarna biru pucat. Sindrom ini mungkin diwariskan secara resesif autosom. 2) Sindrom Down Sindrom ini disebut pula mongolisme atau lebih tepat disebut trisomi 21. Trisomi 21 merupakan kelainan-kromesom yang paling sering dijumpai, yaitu dengan frekuensi 1 per 700 kelahiran. Trisomi 21 mempunyai tanda utama hipotoni, muka bulat dan datar, celah mata miring ke samping atas, bercak Brushfield pada iris, daun telinga kecil, dan leher lebar. Bercak Brushfield tampak jelas pada mata biru, berupa bercak-bercak kecil, putih, agak ireguler, membentuk cincin pada pertengahan sepertiga intema dan sepertiga eksterna iris. 3) Sindrom X-fragil Sindrom X-fragil atau sindrom Martin-Bell merupakan penyakit kromosom yang lebih sering mengenai laki-laki. Sinthorn ini ditandai dengan defisiensi mental, displasia ringan jaringan ikat, dan makroorkhidisme. Pada mata ditemukan adanya iris yang berwarna biru pucat. 3. Uveitis dan HLA Antigen per,mukaan pada eritrosit telah lama dikenal, yaitu misalnya yang menentukan golongan darah ABO, MNS dan Rhesus. Antibodi terhadap antigen AB terdapat pada individu yang justru tidak mempunyai antigen AB, sedangkan anti Rhesus terjadi pada kehamilan yang tidak sesuai. Kemudian ternyata juga terdapat antigen permukaan yang terdapat pada lekosit yang disebut HLA (Human Leucocyt Antigen atau Histocompatibility Locus Antigen) yang merupakan bagian MHC (MajorHistocompatibility Complex). MHC sendiri merupakan seperangkat gena yang terdapat pada kromosom nomor 6 pada lengan p(3). MHC terdiri dari 3 kelas gena, yaitu kelas I, II, dan III. Yang termasuk HLA adalah I dan II, sedangkan kelas III meliputi genagena untuk faktor B properdin, komplemen C2 dan C4, serta hidroksilase-21(11,18). Selanjutnya temyata bahwa antigen HLA tidak hanya terdapat pada dinding lekosit, tetapi juga terdapat pada dinding sel tubuh yang lain(11). Gena-gena kelas I meliputi HLA-A, HLA-B dan HLA-C yang mengkode protein membran plasma sel-sel berinti. Genagena ini mengalami mutasi berkali-kali yang bersifat kodominan, sehingga terbentuk alel ganda (multiple allele), untuk HLAA (misalnya Al, A2), HLA-B (misalnya B12, B27) dan untuk HLAC (misalnya Cw1, Cw2). Gena-gena kelas II meliputi HLA-DP, HLA-DQ dan HLADR yang mengkode antigen terutama pada limfosit B, makrofag dan limfosit T teraktivasi; tetapi kadang-kadang juga pada selsel yang lain(11). HLA ini juga mengalami mutasi berkali-kali dan
bersifat kodominan. Secara teoritis akan terdapat kombinasi fenotip HLA sebanyak 3 x 107. Tetapi di dalam kenyataan hanya HLA tipe tertentu yang lebih sering dijumpai. Antibodi-antibodi terhadap antigen HLA dapat diperoleh dari para wanita multipara(19), tetapi tidak seperti antibodi terhadap Rhesus, maka antibodi terhadap antigen HLA tidak berpengaruh pada fetus. Pewarisan HLA adalah secara kodominan dan gena-gena tadi diwariskan dalam satu blok, karena genagena tadi letaknya saling berdekatan (terangkai erat). Namun demikian pindah silang juga dapat terjadi, dan pada urutan gena tertentu maka frekuensinya lebih besar dibandingkan dengan yang diharapkan apabila terjadi pindah silang secara normal. Keadaan demikian disebut linkage disequilibrium(18). Pada mulanya HLA ini diperkirakan hanya penting artinya dalam genetika transplantasi, karena transplantasi antara dua individu kembar identik akan berhasil baik (mempunyai kesamaan HLA praktis 100%), sedangkan pada dua individu yang hubungan keluarganya jauh maka hasilnya buruk karena adanya perbedaan HLA yang besar (kecuali pada transplantasi kornea yang memenuhi syarat). Ternyata sekarang antigen permukaan ini banyak dihubungkan dengan kejadian penyakit tertentu yang dahulu belum diketahui penyebabnya.-Individu dengan HLA tertentu temyata mempunyai risiko lebih tinggi untuk penyakit tertentu dibanding individu lain. Sebenarnya adanya asosiasi marker genetika dengan penyakit tertentu telah lama diketahui, misalnya asosiasi antara golongan darah 0 non sekretor dengan ulkus peptikum pada tahun 1920. Mengenai HLA, pada tahun 1960 ditemukan adanya asosiasi antara HLA dengan penyakit Hodgkin(3). Adanya asosiasi HLA tertentu dengan uveitis jenis tertentu mula-mula didasarkan pada adanya beberapa jenis uveitis yang bersifat familial. Asosiasi antara HLA tertentu dengan uveitis tertentu misalnya adalah(20,21) : a) Iritis pada penyakit Behcet Penyakit ini ditandai oleh triad iritis, stomatitis aftosa, dan ulserasi genitalia. Kelainan mata dapat pula berupa vaskulitis retina, oklusi vena retina, uveitis posterior, neuritis dan neuroretinitis, dan akhimya timbul katarak. Tern yata penyakit Behcet mempunyai asosiasi dengan HLAB5. Pada orang Jepang temyata 30% orang normal mempunyai HLA-B5; sedangkan pada penderita sindrom Behcet maka 70% mempunyai HLA-B5. Keadaan demikian juga ditemukan di Perancis, Inggris, Israel, Turki, Jerman, dan Tunisia. Penyakit Behcet temyata lebih berat pada kasus familial dan asosiasinya lebih kuat pada pria daripada wanita. b) Uveitis anterior pada spondilitis ankilosa Penyakit ini ternyata mempunyai asosiasi kuat dengan HLAB27, dan pada adanya antigen ini menyebabkan individu mempunyai risiko terkena uveitis anterior adalah 20 kali lebih sering. HLA-B27 adalah positip pada 5–8% untuk kontrol normal dan positip pada 85% untuk penderita spondilitis ankilosa. c) Uveitis pada sindrom Reiter Sindrom Reiter sering terjadi pada pria, dan ditandai oleh uretritis non-bakterial, artritis, konjungtivitis, dan iridosiklitis rekuren. Ternyata 75–80% kasus sindrom Reiter mempunyai
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 37
HLA-B27. d) Iridosiklitis tanpa varian rematoid Insidensi uveitis anterior akuta ternyata ditemukan lebih sering pada keluarga derajat satu dari penderita uveitis anterior akuta yang mempunyai HLA-B27. Di Negeri Belanda kira-kira 50% penderita uveitis anterior akuta mempunyai HLA-B27. e) Iridosiklitis pada artritis rematoid juvenilis Artritis ini merupakan satu bentuk artritis rematoid juvenilis, berupa monoartritis atau pausiartritis, sering terjadi pada pria. Sebanyak 10–20% kasus juga menderita uveitis anterior akuta, dan 75% dari mereka mempunyai HLA-B27. Mengapa HLA tertentu (misalnya HLA-B27) memperlihatkan asosiasi dengan penyakit tertentu (misalnya spondilitis ankilosa) masih kabur. Untuk menerangkan hal ini ada dua hipotesis(18) : 1) Hipotesis rangkai gen, misalnya kepekaan terhadap spondilitis ankilosa paling tidak sebagian disebabkan oleh satu alel Ank, yang merupakan gen yang letaknya dekat dengan lokus HLA-B. Diperkirakan terdapat ketidakseimbangan rangkai gen (linkage disequilibrium) dari ank B27, artinya bahwa gen Ank lebih sering bersama dengan HI,A-B27 dibanding dengan HLAB yang lain yang diharapkan apabila terjadi kombinasi secara acak. 2) Hipotesis efek antigen, yang mengatakan bahwa polipeptida yang dibentuk atas perintah (dikode oleh) alel B27 menyebabkan individu peka terhadap penyakit spondilitis ankilosa. Mungkin antigen B27 adalah reseptor permukaan sel untuk virus atau patogen yang lain. Atau molekul B27 mungkin menycrupai antigen suatu patogen, sehingga antibodi yang ditunjuk untuk melawan patogen juga menyerang jaringan host yang membawa antigen B27.
peran faktor genetik untuk kejadian beberapa bentuk uveitis tadi. Karena kelainan uvea mungkin merupakan bagian dari sinthorn klinik yang lebih berat, maka perlu pemeriksaan yang lebh teliti atau konsultasi ahli lain. Pemeriksaan yang seksama pada anggota keluarga penderita adalah penting karena beberapa kelainan uvea memperlihatkan ekspresivitas yang beraneka ragam.
RINGKASAN DAN SARAN Telah dibicarakan beberapa kelainan uvea khususnya iris, yang bersifat genetik, baik yang berupa kelainan bentuk, kelainan pigmentasi, maupun peradangan. Kelainan iris dapat merupakan kelainan tersendiri maupun sebagai bagian dari sindrom genetik, baik sindrom genik maupun kromosomik. Mengenai kelainan struktur (bentuk), iris telah diuraikan mengenai koloboma iris, aniridia, sindrom WAGR, dan pupil ektopik. Mengenai kelainan pigmentasi telah dibicarakan mengenai albino okulokutaneus, albino okuler, dan sindroma Waardenburg. Adanya asosiasi antara (a) HLA-B5 dengan penyakit Behcet, dan (b) HLA-B27 dengan uveitis anterior yang menyertai spondilitis ankilosa, uveitis yang menyertai sindrom Reiter, iridosiklitis tanpa varian rematoid juvenilis menunjukkan adanya
14.
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Emery AEH, Mueller RF. Element of Medical Genetics, 7th ed. ChurchillLivingstone, Edinbvurg. 1988. Garver KL, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975. McKusick VA. The Morbid Anatomy of the Human Genome. Howard Hughes Medical Institute, Bethesda. 1988. Lamy M. Genetique Medicale, 2eme ed. Masson & Cie Editeurs, Paris. 1975. Robert JM, Plauchu H. Genetique. dalam Debre R, Royer P (eds): Collection Pediatric. Flammarion Medicine Sciences, Paris 1977. pp. 2937. Scheie HG, Albert DM. Textbook of Ophthalmology, 9th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1977. Barber AN. Embryology of Human Eye. St. Louis: C.V. Mosby Co., 1955. Hittner HM, Roccardi VM, Ferrel RE, Borda RR, Justice J. Variable expressivity in autosomal dominant aniridia by clinical electrophysiologic and angiographic criterias. Am. J. Ophthalmol 1980; 89: 53-9. Mints-Hittner HA, Ferrel RE, Lyons LA, Kritzer FL. Criteria to detect minimal expressivity with families with autosomal dominant aniridia. Am. J. Ophthalmol 1992; 114: 700-7. Gates RR. Human Genetics. Vol. I. The Mac Milian Company, New York. 1952. Thompson WM, Mc Innes RR, Willard HF. Thompson & Thompsor Genetic in Medicine, 5th ed. W.B. Saunders Company, Philadephia. 1991. DeGrouchy J, Turleau C. Clinical Atlas of Human Chromosomes, 2nd ed. John Wiley & Sons,. New York. 1984. Nelson LB, Maumene IH. Extopia lentis, dalam Renie WA (ed): Goldberg's Genetic and Metabolic Eye Disease, 2nd ed. Little, Brown and Co, Boston 1986. pp. 183-195. Gorlin RJ, Cohen MM, Levin LS. Syndromes of the Head and Neck, 3rd ed. Oxford University Press, New York. 1990. Fraser FC, Nora H. Genetics of Man. Lea & Febiger, Philadelphia. 1975. Jones KL. Smith's Recognizable Pattern of Human Malformation, 4th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1988. Asher JH, Friedman TB. Mouse and hamster mutants as models for Waardenburg syndrome in human. J. Med. Genet. 1990; 27: 618-26. Mange AP, Mange EJ. Genetics: Human Aspects, 2nd ed. Sinauer Associate Inc., Sunderland. 1990. Bach ML, Bach FH. Genetics of Histocompatibility, dalam McKusick VA, Claiborne R (eds): Medical Genetics. H.P. Publishing Co. Inc., New York. 1873. Smith RE, Nozik RA. Uveitis: A Clinical Approach to Diagnosis and Management. William & Wilkins, Baltimore. 1980. Merim S. Inherited Eye Diseases: Diagnosis and Clinical Management. Marcel Dekker Inc., New York. 1991. McKusick VA. Mendelian Inheritance in Man.9th ed. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. 1990.
Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata Bambang Susetio Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Saki: Mata Cicendo, Bandung
PENDAHULUAN Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan perut yang luas(1,2,3). Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban tinggi(2,4). Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala, karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis. INSIDENSI Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasuskasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporanlaporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal,penggunaan obat immunosupresif dan lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik, seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari 112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6
bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (kern ungkinan keratitis virus sudah disingkirkan). ETIOLOGI Secara ringkas dapat dibedakan(5,6) : 1) Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa. a) Jamur bersepta: Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp. b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp. 2) Jamur ragi (yeast) Jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp. 3) Jamur difasik Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang pada media perbiakan membentuk miselium: Blastomicessp, Coccidiodidies sp, Histoplasma sp, Sporothrix sp. Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda penyebabnya, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp. MANIFESTASI KLINIK Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut(4,5,6) : 1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama. 2) Lesi satelit. 3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tapi yang ireguler
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea PERDAMI XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 39
dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. 4) Plak endotel. 5) Hypopyon, kadang-kadang rekuren. 6) Formasi cincin sekeliling ulkus. 7) Lesi kornea yang indolen. Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi radang yang cukup berat. DIAGNOSIS LABORATORIK Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatulaKimura)yaitu dari dasardan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dcngan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa(2,4,5,7). OBAT-OBAT ANTI JAMUR Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa jamur berbeda sensibilitasnya terhadap anti jamur, tergantung spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia. Sccara ideal langkah-langkah yang ditempuh sama dengan pengobatan terhadap keratitis/ulkus baktcrialis(5,6) : 1) Diagnosis kerja/diagnosis klinik. 2) Pemeriksaan laboratorik : a) kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India. b) kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa. 3) Pemberian antijamur topikal berspektrum luas. 4) Penggantian obat bila tidak terdapat respon. Obat yang ideal mcmpunyai sifat berikut(6) : 1) Berspektrum luas. 2) Tidak menimbulkan resistensi. 3) Larut dalam air atau pclarut organik. 4) Stabil dalam larutan air. 5) Berdaya penetrasi pada kornca sctclah pemberian secara topikal, subkonjungtival atau sistcmik. 6) Tidak toksik. 7) Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik. Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut : 1) Antibiotik polyene : a) Tetraene: Nustatin, Natamycin (Pimaricin) b) Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Can-
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
dicidin. 2) Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole. 3) Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles. 4) Halogens: Yodium. 5) Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin. 6) Pyrimidine: Flucytosine. 7) Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet. Antibiotik polyene : Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen membran dibanding perubahan reversibel oleh yang bermolekul besar seperti Nystatin, Amphotericin B. Tidak larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen, cahaya, air, panas. Golongan ini mempunyai daya antifungi spektrum luas tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Nystatin semula tersedia secara komersial di Indonesia, tetapi sekarang sedang tidak diproduksi. Mungkin bisa dibuat dari tablet Mycostatin® (500.000 unit/tablet) dengan konsentrasi 100.000 unit/ml, walaupun vehikulum talknya iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Amphotericin B 0,1% tersedia secara komersial dan bila diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari preparat perenteral dengan mengencerkannya dengan akuades. Prepanat Amphotericin B iritatif terhadap kornea dan konjungtiva. Obat ini efektif terhadap Aspergillus, Fusanium dan Candida. Pengobatan intravena tidak dianjurkan karena toksik terhadap ginjal dan penetrasi ke kornea minimal. Natamycin (piramycin) berspektrum luas seperti polyene lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap Fusanium. Di Amerika Serikat lanutan 5% sering dipakai dengan berhasil dan di Eropa tersedia dalam bentuk salep 1% dan larutan 2,5%. Walaupun dalam vademikum salah satu industri farmasi tercantum, tetapi secara komersial agaknya tidak tersedia. Griseofulvin tersedia luas secara komersial moral, sayang preparat ini sulit mencapai cairan tubuh atau janingan dalam konsentrasi tinggi sehingga kurang bermanfaat secara oftalmologik. Golongan Imidazol, dan ketokonazol dilaporkan efektif terhadap Aspergillus, Fusarium, Candida. Tersedia secara komersial dalam bentuk tablet. Mungkin bisa dibuat menjadi larutan (pernah dilaporkan), tetapi penulis bclum bcrhasil mcngaplikasikannya. Halogen Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mcngobati infeksi Candida albicans, tetapi ccpat dinonaktifkan olch air mata dan berdaya penctrasi lemah pada kornea. Diberikan secara kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril. Thimerosal (Merthiolat) In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat diinhibisi oleh radikal sullihidril di jaringan okuler.
Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik farmasi tetapi secara komersial tidak ada. TERAPI Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya sejawat dim inta kreativitasnya dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi(6) : I. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. II. Jamur berfilamen. III. Ragi (yeast). IV. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,0–2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole. Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih), Imidazole (obat terpilih). Untuk golongan III : Amphoterisin B, Natamycin, Imidazole. Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik. Pemberian Amphotericin B subkonjungtival hanya untuk usaha terakhir. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior. Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa yaitu : 1) Debridement 2) Flap konjungtiva, partial atau total 3) Keratoplasti tembus Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa
terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16.
Marsetio M. Hasil Survai Morbidilitas dan Kebutaan di 8 Propinsi. Hasil serta Laporan Yertemuan Kerja Upaya Kesehatan Mata dan Pencegahan di Puskesmas dan Rujukannya. Depkes RI. Jakarta, 1983; p. 77–89. Marsetio M, Bambang G, Susilo J. Fusarium keratitis, 6th Cong Asia Pacific Academy of Ophthalmology Transac, Bali–Indonesia, 1976; p. 277-279. Budihardjo, Gunawan, Gunawan W. The causes of bilateral blindness in rural areas of the Yogyakarta Special Territory. Kumpulan Makalah Kongres Nasional V Perdami, Yogyakarta. hal. 776-82. Bambang Susetio. Diagnosis Laboratorik Keratomikosis dengan Pemeriksaan pada sediaan langsung. Tesis pelengkap untuk mendapat Ijazah dokter spesialis mata. Universitas Padjadjaran Bandung, 1987. Jones DB, Sextan R, Rebell B. Mycotic Keratitis in South Florida: A review of 39 cases. Trans Ophthalmol Soc VK 89: 7812, 1969. Halde C, Okumoto M. Ocular Mycosis: A Study of B2 cases, Proc XX Intemat Cong Ophthalmology part 2, Amsterdam, Excerpts Medica, 1966. pp. 703-710. Urn KH. Corneal Ulcers in Singapore. 6th Cong Asia Pacific Acad Ophthalmol Transac. Bali–Indonesia, 1976. pp- 238-41. Hussaini GM, Alin AH, Sugana T. Bacteriological studies on corneal ulcers and its possible cause. &h Congr Asia Pacific Acad Ophthalmol Transac. Bali–Indonesia 1976. pp. 243-7. Jan JH, Kang DHK, Tsai RJF. Keratomycosis - ten years review, Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medics, 1992. hal. 339-342. Rahman MM. Fungal Keratitis. Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medica, 1992. hal. 311-38. Grayson M. Disease of the Cornea. St Louis: CV Mosby Co. 1983, hal. 45101. Upadhyay MA. Keratomycosis in Nepal, 6th Congr Asia Pacific Academy of Ophthalmology Transac, Bali–Indonesia, 1976, hal. 249-263. Wilson AL, Sexton RR. Laboratory Diagnosis in Fungal Keratitis, AJO 1968; 66: 646. Wang KP, Hsieh YF. Clinical diagnosis of fungal comeal infection with differential interference contrast incorporated optical microscope, Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medica 1992, hal. 343-7. Shrestha JK, Pokkarel BM, Upadhyay MP. Optimal growth media for fungal culture, Current Aspects in Ophthalmology, vol 1. Amsterdam: Excerpta Medica 1992, hat. 353-358. Jones DB. Fungal keratitis, in Clinical Ophthalmology, vol 4. Philadelphia: Harper & Row 1987.
Patience is better than pride
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 41
Penanganan Gangguan Sistem Ekskresi Lakrimal Hadisudjono Sastrosatomo', Darmayanti Irwan2, Lumongga Simangunsong3 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia1,2,3, Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo1,2,3, RSMMC1 , Jakarta
PENDAHULUAN Gangguan sistem ekskresi lakrimal mempunyai gambaran umum yaitu timbulnya gejala epifora. Epifora ini dapat disertai dengan tanda-tanda radang akut maupun kronis atau tanpa gejala radang sama sekali. Pendekatan secara sistematik dan sederhana yang dapat diterapkan dalam klinik dikemukakan dalam makalah ini. DIAGNOSIS KLINIS Keadaan yang menentukan prognosis dan penanganan gangguan sistem ekskresi lakrimal adalah derajat gangguan sakus lakrimalis. Tahapan pemeriksaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut : a) Penekanan pada pangkal hidung di daerah sakus lakrimalis dan penekanan ini akan membawa dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, keluarnya cairan dari pungtum lakrimalis dan kemungkinan kedua tidak ada cairan yang berbalik dari pungtum tersebut. Keluarnya cairan dari pungtum menunjukkan adanya bendungan dan penimbunan cairan dalam sakus dan dalam pencatatan dinyatakan bahwa uji regurgitasi positif. b) Sondase horisontal, uji ini penting dan dilakukan hanya pada arah horisontal. Hasil pengujian akan membedakan letak sumbatan pada daerah pra sakus atau pasca sakus. Dibedakan mengenāi tahanan yang didapat, suatu tahanan lunak (soft stop) menunjukkan sumbatan pada kanalikulus sedangkan suatu tahanan keras (hard stop) menunjukkan hambatan pada saluran nasolakrimalis. Pada umumnya sondase yang diteruskan ke arah vertikal pada orang dewasa dengan tujuan membuka aliran nasolakrimalis dianggap suatu kontra indikasi. c) Uji yang memerlukan penggunaan zat pewarna yaitu uji Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Jones 1 dan uji Jones 2. Pengujian ini agak rumit dan dalam penilaian klinis seharihari pada umumnya menurut penulis tidak diperlukan. Semua pengujian di atas path dasarnya untuk memperoleh informasi mengenai keadaan anatomis tertentu secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan fungsi seperti misalnya eversi pungtum, ektropion dan lainnya menimbulkan epifora pada pasien. PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Dakriosistografi – cara ini relatif mahal dan memerlukan ketrampilan ahli radiologi untuk mendapatkan foto yang baik. Pemilihan jenis kontras yang sesuai kepekatannya penting dan dalam interpretasi fungsi tidak banyak manfaatnya karena penyuntikan kontras disertai penekanan. b) Skintilografi – suatu pemeriksaan dengan menggunakan tracer radioaktif Technetium. RS Hasan Sadikin dan RS Mata Cicendo sudah membuat suatu prosedur yang baik dalam menjalankan pemeriksaan ini. Departemen Kesehatan akan menyediakan Gamma-Camera di beberapa RS Daerah untuk tahun anggaran 1993–1994 dan ini dapat dimanfaatkan oleh para spesialis mata. Analisis fungsi sistem ekskresi lakrimal dapat dibuat dalam real time. PENANGANAN GANGGUAN SISTEM EKSKRESI LAKRIMAL a) Atresia pungtum Bila pungtum inferior tidak terbentuk, pemeriksaan skintilografi dapat membantu penilaian sistim ekskresi keseluruhan. Mikroskop operasi mutlak digunakan untuk mencani lokalisasi pungtum. Insisi berbentuk bintang diteruskan dengan pemasang-
an suatu silicone plug yang dibiarkan di tempat selama tiga bulan. Irigasi melewati plug akan memberikan hasil positif bila saluran ekskresi memang tidak ada kelainan. b) Sumbatan kanalikulus Pada sumbatan kanalikulus keberhasilan tindakan sangat ditentukan oleh penyebab sumbatan. Pada kasus senilis, sumbatan ini sering oleh penyempitan suatu saluran yang pada uji sonde horizontal memberikan tahanan lunak. Dilatasi dengan berbagai ukuran sonde dilakukan pada arah horizontal. Irigasi dan pemberian tetes mata steroid dilakukan pasca sondase. Sumbatan akibat cedera dengan terputusnya kanalikulus inferior merupakan masalah yang lebih rumit dan memerlukan tindakan yang khusus. Sumbatan kanalikulus komunikans juga memerlukan penanganan khusus yang lebih rumit. Konjungtivorinostomi dengan pemakaian tabung silikon dan cangkok mukosa merupakan salah satu pilihan untuk mengatasi masalah ini. c)
Sumbatan naso-lakrimal Dibedakan penanganan pada anak-anak dengan penanganan pada orang dewasa. Epifora yang disertai hard stop menunjukkan letak sumbatan nasolakrimal. Perkembangan sistim ekskresi lakrimal, khususnya duktus nasolakrimalis bervariasi pada anak-anak yang mengalami kelainan pembukaan Membrana Hassner. Timbulnya epifora bersamaan dengan berfungsinya glandula lakrimalis sebagai sistim sekresi. Orang tua pada umumnya lebih menyukai cara yang tidak menyakiti anak. Sondage vertikal pada pendapat penulis sebaiknya dihindari karena kemungkinan false route sangat besar. Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage dengan tekanan pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan satu-dua menit tiap hari. Bila dalam jangka waktu tiga bulan tidak menunjukkan perbaikan maka irigasi berulang merupakan langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak berusia 1(satu) tahun. Batas usia ini tidak mutlak, apabila tanda radang tidak ada maka irigasi dapat dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun. Suatu tindakan yang lebih agresif berupa intubasi tabung silikon dari Jackson dapat juga dilakukan antara usia dua tahun dengan pembiusan umum. Sumbatan nasolakrimal pada orang dewasa pada umumnya merupakan indikasi suatu tindakan
pembedahan yaitu dakriositorinostomi. Pembedahan ini dilakukan pada keadaan peradangan tidak sedang dalam eksaserbasi akut. TEKNIK TINDAKAN Pengenalan anatomi penting dikuasai dengan benar. Beberapa hal yang sederhana dan scring diamati dalam klinik sebagai kesulitan yang sebenarnya tidak perlu. a) Pelebaran pungtum lakrimal Bentuk kanalikulus berawal dari suatu saluran vertikal pada pungtum. Cara yang benar pada dilatasi adalah menempatkan dilatator pada posisi vertikal terhadap pungtum dan setelah mcndapat tahanan lunak diubah arahnya ke arah medial. Hal yang sama juga dilakukan pada saat memasukkan jarum irigasi atau sonde. b) Intubasi tabung silikon Aplikasi adrenalin untuk mengerutkan concha memerlukan waktu. Sondase yang dilakukan terburu-buru akan mendapatkan halangan visualisasi pada rongga hidung. Logam khusus lentur tidak didorong dengan paksaan, tetapi diikuti sejauh mungkin mengikuti kelenturan duktus nasolakrimalis belahan mukosa. Setelah tahanan tulang dirasakan baru diberikan tekanan untuk masuk ke dalam rongga hidung di daerah meatus inferior. RINGKASAN Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan suatu pendekatan sederhana pada masalah sumbatan sistem ekskresi lakrimal. Kasus yang lebih khusus dan tindakannya akan diajukan pada kesempatan berikutnya. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
Hecht SD. Lacrimal system testing. 3rd International Symposium of Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982. pp. 5254. Jackson IT. Nasolacrimal duct reconstructions. 3rd International Symposium of Plastic and Reconstructive Surgery of the Eye and Adnexa 1982. pp. 59-63. Hadisudjono. Dakriosistorinostomi, pemasangan tabung nasolakrimal. Kongres Perdami. 1984.
Unlimited power is apt to corrupt the mind of those who possess it (William Pitt)
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 43
Keratotomi Radial Sjamsu Budiono Universitas Airlangga, Surabaya
PENDAHULUAN Keratotomi Radial atau yang lazim disebut Radial Keratotomy (=RK) adalah suatu operasi insisi radial pada kornea untuk menurunkan atau mengobati miopia. Pada tahun 1940 Dr. T. Sato mengamati penderita-penderita keratokonus yang mengalami suatu hydrop pada kornea ternyata hydrop ini akan diawali kekeruhan kemudian menjadi jernih kembali disertai perubahan kerucut menjadi lebih sferis. Sato pada penelitian klinisnya kemudian melakukan perforasi dari membrana Descemet dengan harapan timbul suatu pengerutan dari kerucut keratokonus. Sato telah melakukan RK melalui endotel kornea. Pada tahun 1972 Dr. Svyatoslav Fyodorov mendapatkan pada seorang penderita laserasi kornea multipel setelah sembuh temyata miopia yang dideritanya berkurang secara drastis. Pengalaman ini yang mendorong Fyodorov untuk mengembangkan teknik insisi RK yang dikerjakan sampai saat ini. Dengan RK maka insisi kornea midperifer menyebabkan daerah ini menjadi lebih lengkung sehingga diharapkan kornea sentral lebih datar dengan akibat miopia menjadi berkurang. Walaupun sebagian para ahli bedah mata kurang menyetujui cara`Cara RK ini terlebih dengan ditemukannya Laser ablasi/ photorefractive keratectomy = PRK serta cara bedah refraktif yang lain namun RK ini masih merupakan bedah altematif untuk pengobatan miopia. PEMILIHAN PASIEN/EVALUASI PRA BEDAH Sebelum melakukan operasi RK penting sekali untuk mcmilih pasien yang sebaiknya dilakukan RK di samping evaluasievaluasi pra bedah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : Disampaikan pada Seminar LED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Julki 1993 di Yogyakarta
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
1) Informed Consent (I.C.) ini sangat diperlukan mengingat bahwa RK ini adalah operasi pada jaringan kornea normal. Pasien hams dijelaskan mengenai tujuan operasi bahkan risiko operasi yang mungkin timbul seperti glare – silau, visus yang berfuktuasi, diplopia dan kabur di senja hari. Dr. Ellis bahkan menunjukkan Video cara-cara operasi RK pada pasien-pasien yang akan dioperasinya. Penderita diterangkan pula untuk tetap memilih kaca mata atau lensa kontak bila memungkinkan. RK tidak boleh dipaksakan, RK bukanlah operasi kosmetik. 2) Pekerjaan Pekerjaan atau hobi seorang penderita miopia sering memaksanya tidak bisa menggunakan kaca mata tebal seperti seorang pilot/penerbang, penggemar tenis, golf atau perenang, di samping itu orang yang sulit menggunakan lensa kontak seperti alcrgi dan iritasi, tidak senang memakai lensa kontak– takut hilang dan lain-lain, sedang pemakai kaca mata sering merasa terganggu akibat kaca mata tebal – kosmetik tampak jelek kemungkinan pengembunan yang mengganggu pandangan. 3) Umur Umur juga berpengaruh; seperti seorang wanita 21 tahun efek penurunan miopia yang dideritanya setclah dioperasi RK lebih nyata dibanding wanita berumur lebih 40 tahun. 4) Pemeriksaan mata Pemeriksaan mata diperlukan scbclum operasi. Adanya katarak, sikatrik kornea, penyakit-penyakit mata luardan riwayat herpes kcratitis akan menycbabkan timbulnya penyulit-penyulit pasca bedah. 5) Derajat miopia Ellis membagi miopia menjadi :
Myopia ringan : -1D s/d -3D Myopia sedang : -3D s/d -6D Myopia berat : lebih dari -6D Miopia ringan dan miopia sedang terutama miopia sferis (tanpa silindris) adalah kasus yang baik untuk para pemula. 6) Tekanan intra okuler Tekanan bola mata terbaik untuk dilakukan RK adalah antara: 12 mmHg - 20 mmHg. Tekanan di bawah 12 mmHg sering menyebabkan koreksi yang kurang (under correction) akibat elastisitas yang abnormal. 7) Diameter dan kurvatura kornea Diameter dan ketebalan kornea sangat berpengaruh terhadap hasil operasi. Diameter kornea yang normal berkisar 11 s/d 13 mm. Kornea di bawah 11 mm menyebabkan under correction, sedang di atas 13 mm menyebabkan insisi hams lebih panjang sehingga penyulit-penyulit yang timbul juga lebih banyak. Kornea yang tipis menghasilkan koreksi yang lebih tepat. Untuk pengukuran ketebalan kornea ini dapat digunakan Pachymeter atau Ultrasonic Pachymeter. INSTRUMEN/ALAT-ALAT Alat-alat yang diperlukan untuk operasi RK saat ini telah banyak tersedia. Alat operasi yang diperlukan di antaranya : 1. Jarum tumpul: untuk membuat optical center. 2. Optical Zone marker - bermacam-macam diameter. 3. Radial Cut marker dengan berbagai ukuran jumlah insisi. 4. Forsep fiksasi: untuk fiksasi konjungtiva. 5. Kanula irigasi: walaupun tersedia kanula irigasi tetapi sebaiknya diusahakan selama operasi daerah operasi tidak terlalu basah karena dapat menghapus tanda yang telah dibuat. 6. Diamond Knife: pisau mata berlian yang digunakan untuk insisi, ujung pisau ini tidak berpori sehingga perawatannya tidak terlalu sulit. 7. Coin gauge: untuk menghisap cairan di permukaan bola mata. KALKULASI Dengan adanya UltrasonicPachymeter maka kalkulasi tebal kornea baik sentral maupun perifer dapat mudah ditentukan. Tetapi RK adalah suatu seni bukan sekedar operasi karena kelengkungan kornea dan lain-lain sangat mempengaruhi hasil operasi. Di samping faktor-faktor lain seperti tekanan intra okuler dan lain-lain. Berikut ini penulis salinkan daftar parameter Standar untuk prosedur RK :
Tabel 1. Parameter Selection Table for Standard Radial Keratotomy Procedure(4) Myopia 1 Diopter 1 Diopter 1 Diopter 1 Diopter
Age 18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
Optical Zone
Number Incision
Peripheral Redeepening
4.50 mm 4.75 mm 5.00 mm 5.00 mm
4 4 4 4
No No No No
1.5 Diopters 1.5 Diopters 1.5 Diopters 1.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
4.25 mm 4.50 mm 4.75 mm 4.75 mm
4 4 4 4
No No No No
2 Diopters 2 Diopters 2 Diopters 2 Diopters Over
18 to 25 26 to 35 36 to 40 40
4.00 mm 4.25 mm 5.50 mm 5.75 mm
4 4 4 4
No No No No
2.5 Diopters 2.5 Diopters 2.5 Diopters 2.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.75 mm 4.00 mm 4.25 mm 4.50 mm
4 4 4 4
No No No No
3 Diopters 3 Diopters 3 Diopters 3 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.50 mm 3.50 mm 3.75 mm 4.00 mm
4 4 4 4
No No No No
3.5 Diopters 3.5 Diopters 3.5 Diopters 3.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.25 mm 3.50 mm 3.75 mm 3.75 mm
6 6 6 6
No No No No
4 Diopters 4 Diopters 4 Diopters 4 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.25 mm 3.25 mm 3.75 mm 3.75 mm
8 8 8 8
No No No No
4.5 Diopters 4.5 Diopters 4.5 Diopters 4.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.25 mm 325 mm 3.75 mm 3.75 mm
8 8 8 8
No No No No
5 Diopters 5 Diopters 5 Diopters 5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.25 mm 3.25 mm 3.25 mm 3.50 mm
8 8 8 8
No No No No
5.5 Diopters 5.5 Diopters 5.5 Diopters 5.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.00 mm 3.25 mm 3.25 mm 3.25 mm
8 8 8 8
No No No No
6 Diopters 6 Diopters 6 Diopters 6 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm
8 8 8 8
No No No No
6.5 Diopters 63 Diopters 6.5 Diopters 6.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm
8 8 8 8
Yes Yes Yes No
7 Diopters 7 Diopters 7 Diopters 7 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm
8 8 8 8
Yes Yes Yes Yes
7.5 Diopters 7.5 Diopters 7.5 Diopters 7.5 Diopters
18 to 25 26 to 35 36 to 40 Over 40
3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm 3.00 mm
8 8 8 8
Yes Yes Yes Yes
Keterangan : Tabel diambil dari buku: Radial Keractotomy and Astigmatism Surgery, 2nd ed. oleh William Ellis M.D., FAGS.
Untuk pemula dianjurkan melakukan 4 insisi - 8 insisi, bila diperlukan lebih 8 insisi sebaiknya dikerjakan 3 bulan kemudian.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 45
Redeepening perifer dikerjakan bila diperlukan untuk mendapatkan efek koreksi yang lebih akurat dan dikerjakan 6 mm senter optik. PROSEDUR OPERASI Operasi RK dapat dikerjakan di klinik maupun di kamar operasi untuk menjaga sterilitas. Untuk operasi RK ini digunakan mikroskop operasi (operating microscope). 1 jam pra bedah penderita dapat diberikan diazepam oral. Pupil dibuat miosis dengan pemberian pilokarpin supaya identifikasi senter optik lebih mudah di samping mengurangi fotofobi dan rasa silau akibat lampu mikroskop. Pupil yang kecil juga melindungi lensa bila terjadi mikroperforasi. Setelah dilakukan desinfeksi daerah operasi dilakukan anestesi lokal/menggunakan Xylocain block (O'Brian Block). Profilaksis dapat berupa tetes mata antibiotika 4 x 1 tetes 1/4 jam pra bedah. Setelah ditutup duk steril mata dibuka dengan spekulum dan pantokain tetes mata dapat diberikan. Penderita diminta melihat lampu mikroskop dan refleks sinar ini ditandai sebagai senter optik, selanjutnya dibuatZona Optikal (Optical Zone). Bola mata kemudian difiksasi dengan forsep fiksasi dilanjutkan insisi menggunakan Diamond Knife. Arab insisi tegak lurus dapat dibuat dari Zona optikal menuju limbus atau sebaliknya, sedang forsep fiksasi dapat digerakkan ke kanan atau kiri sesuai kebutuhan. Setelah insisi terakhir dibuat (baik dengan atau tanpa pendalaman/redeepening) luka operasi diperiksa ulang dengan menggunakan spekulum insisi (=incision speeder) untuk melihat apakah kedalaman insisi telah benar dan evaluasi barangkali terjadi mikroperforasi. Pada akhirnya pada setiap luka insisi diirigasi dengan larutan B.S.S. untuk menghilangkan debris atau darah yang mungkin tinggal. Insisi sebaiknya tidak melebihi limbus. Bila terjadi perdarahan dari daerah limbus sebaiknya cukup diserap dengan cotton sponges dan jangan dilakukan kauterisasi. Pada akhir prosedur diberikan suntikan gentamicin 1/2m1 sub konjungtiva, mata diberi salep antibiotika dan dibebat.
derita-penderita dengan riwayat herpes keratitis atau distrofi epitel kornea. 2) Mikro dan makroperforasi: sering disebabkan diamond knife tidak tegak lurus bahkan goyang ke arah lain atau membuat garis sigmoid demikian pula tekanan yang adekuat dapat menyebabkan perforasi. 3) Endoftalmitis, katarak atau iris inkarserasi sering terjadi setelah timbul perforasi. 4) Sikatrik yang tebal: dapat terjadi bila pisau yang dipakai tumpul atau irisari terlalu ke daerah limbus sehingga timbul perdarahan. 5) Diplopia monokular dan glare (silau) sering dikeluhkan terutama pada malam hari akibat pupil yang melebar dan mencapai tepi irisan. 6) Koreksi yang kurang atau berlebih (under/overcorrection). Hal ini masih wajar terjadi s/d 1–2 D. terutama pada orang dewasa muda, tetap seringkali keadaan tersebut berkurang dengan sendirinya sampai mencapai piano. 7) Astigmatisme: sering terjadi aldbat zona optikal yang tidak akttrat atau kedalaman insisi yang tidak merata. PENUTUP Demikianlah sedikit uraian mengenai keratotomi radial: walaupun belum seluruhnya terangkum termasuk operasi-operasi RK untuk astigmatisme tetapi diharapkan dapat memberi gambaran sedikit mengenai RK yang jarang dikerjakan. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.
PENYULIT/KOMPLIKASI Beberapa penyulit pernah dilaporkan di antaranya : 1) Penyembuhan luka yang lama: sering terjadi pada pen-
6.
7.
Berkeley RG, Sanders DR Piccolo Marcus. Effect of incision direction on radial keratotomy outcome. J. Cataract Refract. Surg. November 1991; 17. Beaman J. Radial keratotomy : Factors in Medicolegal Claims: Survey of Ophthalmology 1986; 30 (4). Chiba K, Tzubota K et al. Morphometric analysis of corneal endothelium following Radial Keratotomy, J. Cataract Refract Surg. May 1987; 13. Ellis W. Textbook of Radial Keratotomy and Astigmatism Surgery, 2nd Ed. San Diego, California. Grandon SC, Grandon GM. Effect of peripheral redeepening on radial keratotomy surgery. J. Cataract Refract Surg. 1987; 13. Jardin SL, Massin Metal. Radial Keratotomy: Efficacy of Incision Deepening from a 6 mm Optical Zone: Eur. J. Implant Ref. Surg. 1989; 1. Jory WJ. Bacterial Keratitis in Radial Keratotomy. J. Refract Surg. 1991; 3.
Lover's quarrels are the renewal of love
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior Hafid Ardy Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Jamil, Padang
PENDAHULUAN Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Teori patogenesis uveitis anterior beragam, meliputi proses imunologik, komponen genetik, penyakit infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan dan obat-obatan dan infeksi fokal. Selama dekade terakhir terjadi perubahan pola etiologi uveitis anterior ditemukan penyebab barn uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam bola mata dengan teknologi canggih. Kebutaan pada uveitis anterior disebabkan oleh penyulitpenyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit. Kronisitas dan rekurensi penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain psikososial, geografi, genetik, umur, jenis kelamin dan demografi. Tujuan manajemen uveitis anterior ialah mencegah kerusakan struktur dan fungsi mata seperti sinekia posterior, sinekia anterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan benda kaca. Oleh sebab itu dalam penanganan uveitis anterior diperlukan diagnosis etiologik, mengingat keadaan yang telah dikemukakan di atas, maka untuk menemui etiologik uveitis anterior harus dilakukan secara sistematik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan mata, pemeriksaan laboratorium dan konsultasi antara disiplin ilmu. Dengan pendekatan ini maka dapat dicapai maksimal 80% diagnosis etiologik pada kasuskasus uveitis anterior. Dengan penemuan diagnosis etiologik, kebutaan disebabkan oleh penyulit dapat diatasi.
SKEMA DIAGNOSTIK ETIOLOGIK Sesuai dengan teori patogenesis uveitis anterior dan gejala uveitis anterior yang dapat menyertai kelainan organ lain di sekitar maka untuk menemukan diagnosis etiologik diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Penentuan lokalisasi uveitis. 2. Pertimbangan diagnosis banding. 3. Pencatatan data laboratorium dan konsultasi. 4. Diagnosis kerja/etiologik. 5. Rencana pengobatan. Dengan anamnesis danpemeriksaan mata dapat diperkirakan lokalisasi uveitis (Lihat Skema 1). Langkah selanjutnya ialah menetapkan diagnosis banding. Setelah pemeriksaan laboratorium umum dan khusus dan konsultasi antar disiplin dapat ditentukan diagnosis kerja atau etiologik. Rencanapengobatan telandapatdilakukan,pengobatan spesifik untuk diagnosis etiologik telah diketahui, dan aspesifik untuk diagnosis kerja. Bagi kasus yang etiologinya belum diketahui dilakukan evaluasi berkala terhadap gambaran klinik dan pemeriksaan lain yang masih dibutuhkan lagi. Kemudian dilakukan pencatatan kembali gejala baru untuk pertimbangan diagnosis etiologik. Agar skema ini dapat digunakan dengan baik, maka pembicaraan selanjutnya mengenai klasifikasi, gambaran klinik, patologi gejala, diagnosis banding, dan diagnosis etiologik uveitis anterior. KLASIFIKASI 1) Klasifikasi morfologik : – purulen.
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 full 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 47
GEJALA SUBJEKTIF 1) Nyeri : • Uveitis anterior akut Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri. • Uveitis anterior kronik Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma sekunder.
Skema 1. Langkah-Iangkah untuk mencari diagnosa etiologik
−
non purulen. serosa : akut atau kronik. plastik : akut atau kronik. 2) Klasifikasi patologi-anatomi : – granulomatosa. – non granulomatosa. 3) Klasifikasi klinik: menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakit : − akut : mulai mendadak perjalanan penyakit kurang 5 minggu. − kronik ; mulai berangsur-angsur, perjalanan penyakit berbulan-an atau tahunan. 4) Klasifikasi etiologik : − eksogen : trauma, bedah mata atau serangan mikroba atau penyebab lain dari luar. − endogen : mikroba atau penyebab lain dari tubuh penderita. ∗ sekunder terhadap penyakit sistemik. ∗ infestasi parasit, viral dan jamur. ∗ idiopatik. Klasifikasi dua yang pertama merupakan klasifikasi klasik. Oleh International Uveitis Study Group (1986) diajukan pembagian yang dapat memenuhi gambaran penyakit. Klasifikasi tersebut meliputi : − lokasi : uveitis anterior, intermedier, posterior, dan total. − timbul penyakit : mendadak, pelan-pelan. − sifat serangan : sekali atau berulang. − lama : pendek, kurang dari 3 bulan, lama lebih dari 3 bulan. − keaktipan penyakit : tidak ada, ringan, sedang atau berat. − respon terhadap kortikosteroid : baik atau kortikodependen. Dengan memakai klasifikasi ini maka dapat diketahui gambaran penyakit uveitis yang sedang dihadapi.
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
2) Fotofobia dan lakrimasi • Uveitis anterior akut dan subakut Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+–4+ blefarospasmus menetap, ringan 1+–2+ bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia. • Uveitis anterior kronik Gejala subjektif ini hampir tidak ada atau ringan. 3) Kabur Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang timbul, tergantung penyebab. • Uveitis anterior akut Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin. • Uveitis anterior residif atau kronik Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea. Gejala subyektif dicatat sebagai keluhan penyakit sekarang. Anamnesis dilengkapi dengan riwayat penyakit yang pemah dialami penderita, seperti penyakit sistemik, alergi, penyakit mata termasuk trauma, dan bedah mata. Ditanyakan juga data pribadi: umur, jenis kelamin, pekerjaan, ras/suku, tempat tinggal, kebiasaan makanan, hobbi dan perjalanan jauh. Penyakit dalam famili penting ditanyakan pada penderita. Gejala obyektif Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. 1) Hiperemi Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan gambaran bendungan pembuluh darah sekitar
kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu. • Uveitis anterior akut Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva. • Uveitis anterior hiperakut Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan kornea mengikuti pembagian Hogan 1959. Derajat nol : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak ada. Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan. Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai hiperemi pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran Descemet. Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi difus episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai permulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea. Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah konjungtiva, kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan vaskularisasi perifer. 2) Perubahan kornea • Keratik presipitat Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuwos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus. Keratik presipitat dapat dibedakan : – Baru dan lama : ∗ baru bundar dan berwarna putih. ∗ lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih. – Jenis sel : ∗ lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan. ∗ limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih. ∗ makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat. – Ukuran dan jumlah sel : ∗ halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal. ∗ kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom PosnerSchlossman. ∗ mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, VogtKoyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui pada uveitis non granulomatosa akut dan kronik yang berat. Mutton fat dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelom-
pok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur. Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen akibat fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea gambaran merupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmen dan sisa hialin sel. 3) Kelainan kornea : • Uveitis anterior akut Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea. • Uveitis anterior kronik Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap, neovaskularisasi stroma perifer dan pannus. Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan iridosiklitis pada anak. 4) Bilik mata Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, set, dan fibrin. 4.1) Efek Tyndall Menunjukkan ada atau menetap peradangan dalam bola mata. Pengukuran paling tepat dengan tyndalometri, tetapi secara klinik dapat dipakai pembagian dari IUSG 1986 (Tabel 1). Tabel 1.
Derajat jumlah sel dan efek Tyndall dalam bilik depan mata dengan pemeriksaan lampu cclah (IUSG 1986)
Derajat
Jumlah sel
Efek Tyndall
0 1 2 3 4
Nol mu < 5 sel/lapangan Ringan, 5–10 sel/lapangan Sedang, 11–20 sel/lapangan Agak berat, 21–50 sel/lapangan Hipopion
Nol atau sedikit Ringan Sedang tanpa plastik Agak berat dengan plastik
•
Uveitis anterior akut Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat peradangan dan penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior. • Uveitis anterior kronik Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan dalam permeabilitas pembuluh darah iris. Ella terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel menunjukkan adanya eksaserbasi peradangan. 4.2) Sel Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata depan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 49
Jenis sel : – limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan. – makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis. – sel darah berwarna merah. – pigmen kecil dan coklat. 4.3) Fibrin Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap pada kornea. Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik). 4 4) Hipopion Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+. Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik. Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan tumor metastasis. 5) Iris 5.1) Hiperemi iris Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. • Uveitis anterior akut Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan. Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal. 5.2) Pupil Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri. 5.3) Nodul iris Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak sclalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk olch limfosit, scl plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa. 5.3.1) Nodul Kocppc : Lokalisasi pinggirpupil, banyak, mcnimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam mcrupakan hiasan dari iris. 5.3.2) Nodul Busacca Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa. 5.4) Granuloma iris Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan. 5.5) Sinekia iris Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis iris. 5.5.1) Sinekia posterior Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat. • Uveitis anterior akut: belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika, dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul depan lensa. • Uveitis anterior kronik: di mana sinekia posterior dibentuk oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan perubahan pinggir pupil. 5.5.2) Sinekia anterior Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok pupil schingga akar iris maju ke depan menghalangi pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea mcnarik iris ke arah sudut. Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan mata. 5.6) Oklusi pupil Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil. – Uveitis anterior akut Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat dacrah pupil. – Uveitis anterior kronik Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan neovaskularisasi. Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular dapat menyebabkan eversi epitel pigmen sehingga terjadi ektropion uvea.
5.7) Atrofi iris Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen belakang. – Uveitis anterior kronik atau cksacrbasi akut Terlihat derajat tertentu dari bcndungan dan hiperemi stroma, sehingga iris kehilangan struktur normal, karena mengalami fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa depigmentasi. Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, terutama hcrpetik. 5.8) Kista iris Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea. Pada beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi sehingga lesi diisi oleh bahan keratin, yang terlihat seperti mutiara. 6) Perubahan pada lensa Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan lensa. 6.1) Pengendapan set radang Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa. 6.2) Pengendapan pigmen Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius. 6.3) Perubahan kejernihan lensa Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit. Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat. • Uveitis anterior kronik Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan subkapsul belakang. Predileksi daerah sentral menunjukkan telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut terhadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang dapat disebabkan pemberian kortikosteroid lokal atau sistemik. Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis anterior kronik atau residif. Reaksi radang pada uveitis anterior lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis. 7) Perubahan dalam badan kaca Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit, plasma dan makrofag. Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di ruang belakang lensa dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar.
• Uveitis serosa, ditemukan sebukan halus, kekeruhan putih keabuan. • Uveitis plastik ditemukan lembaran kcabuan atau membrana siklitik di belakang lensa. Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lcbih banyak set mclekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah. Derajat kekeruhan dapat mengganggu penglihatan (Tabel 2). Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan, mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer. Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat menimbulkan penyulit vitreo-retina. Tabel 2.
Derajat kekeruhan badan kaca
Derajat
Sel
0 1 2 3 4
tidak ada 1–12/lap 12–35/lap 35–100/lap > 100/lap
Kekeruhan jernih sedikit ringan sedang hebat
Pemeriksaan oftalmoskop Indirek tidak ada belakang jelas belakang sedikit kabur belakang detil kurang jelas belakang detil tidak jelas
Keterangan : lap = lapangan 8) Perubahan tekanan bola mata Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat (hipertoni). 8.1) Hipotoni • Uveitis anterior akut Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang karena peradangan. • Uveitis anterior kronik Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat mengakibatkan atrofi bola mata. 8.2) Normotensi Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata. 8.3) Hipertoni Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula. Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan oleh virus herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman. DIAGNOSIS BANDING Setelah membicarakan tentang patologi gejala uveitis anterior, maka gejala tersebut dapat ditentukan kemungkinan
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 51
diagnosa banding. 1) Hiperemi sirkumkornea: keratitis, skleritis, konjungtivitis, glaukoma akut. 2) Keratik presipitat : – halus banyak: iritis dan iridosiklitis akut oleh penyakit sendi dan fokal infeksi. – kecil hanya beberapa: Sindrom Posner-Schlossman. – ukuran sedang, difus: heterokromik Fuchs. – mutton fat: tuberkulosis,, sarkoidosis, sifilis, lepra, VogtKoyanagi-Harada. 1) Fibrin: uveitis anterior plastik. 2) Hipopion : – sekunder akibat infeksi kornea karena jamur, bakteri. – sekunder terhadap uveitis endogen : ∗ bukan infeksi: Penyakit Behcet, iridosiklitis akut, uveitis fakoanafilaktik. ∗ infeksi: endoftalmitis karena bakteri, jamur atau parasit. – diagnosis diferensial sindrom Masquerade. 5) Nodul Koeppe: sarkoidosis. 6) Nodul Busacca: uveitis granulomatosa. 7) Granuloma iris: sifilis tuberkulosis, lepra, sarkoidosis. 8) Kista iris: kongetital, trauma, glaukoma (pada pinggir iris, dan uveitis anterior. 9) Atrofi iris : – difus : heterokromik Fuchs. – fokal : herpes simpleks. – segmental : herpes zoster. – penyebab lain: pasca bcdah, pasca trauma, umur tua, glaukoma, diabetes melitus, atrofi iris esensial. 10) Iritis dengan glaukoma : – blok pupil – penyumbatan bilik depan mata dan sudut irido-kornea oleh sinekia, sel, fibrin, bahan lensa, makrofag dan trabekulitis. – glaukoma sekunder akibat kontusio bola mata. – glaukoma sekunder akibat pemberian kortikosteroid lokal. – Sindrom Posner-Schlossman. – glaukoma karena rubeosis iridis. 11) Iritis dengan kelainan paru: tuberkulosis, sarkoidosis granulomatosis Wegener. 12) Iritis dengan kelainan kulit: sifilis, sindrom Reiter, lepra, herpes zoster, sarkoidosis, Vogt-Koyanagi-Harada, Behcet Wegener -granul om atosi s. 13) Iritis dengan kelainan saraf pusat: Vogt-Koyanagi-Harada, Behcet, simpatik oftalmia, sifilis, sarkoidosis, herpes simpleks. Iritis dcngan atritis: artritis rematoid juvenil, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, Wegener granulomatosis, Bchcet, dan sarkoidosis. 14) Iritis dcngan penyakit saluran cema: sarkoidosis, Behcet, sindrom Reiter, spondilitis ankilosa. 15) Iritis pada anak: artritisrematoid juvenil, spondilitis ankilosa juvenil, sarkoidosis, herpes simplcks, Bchcet. DIAGNOSIS ETIOLOGIK Etiologi uveitis anterior sulit ditegakkan dcngan peme-
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
riksaan klinik saja, kadang-kadang memerlukan pemeriksaan laboratorium dan konsultasi antar disiplin. Kesulitan disebabkan oleh : – Uvea bereaksi dengan cara yang sama terhadap berbagai agen penyebab, hanya dengan pemeriksaan lampu celah jarang memberikan gambaran etiologi. – Agen yang menyerang uvea anterior jarang didapat. Untuk memudahkan menemui ctiologi dipakai skema etiologik sebagai berikut : – bentuk eksogen: simpatikoftalmia, uveitis fakogenik, endoftalmitis karena trauma dan bedah. – bentuk endogen : infeksi : ∗ mikroba: sifilis, lepra tuberkulosis, viral, jamur, dan parasit. bukan infeksi : ∗ hipersensitivitas terhadap mikroba: virus, jamur, Behcet, Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada. ∗ hubungan dengan penyakit sistemik: spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, artritis reumatoid juvenil. Secara garis besar untuk menentukan idiopatik dibagi menurut perjalanan penyakit. Dengan cara ini maka pemeriksaan laboratorium dan konsultasi dapat diarahkan untuk menghindarkan pemeriksaan yang tidak diperlukan, sehingga beban biaya penderita lebih hemat. Tabel 3.
Diagnosis etiologik uveitis anterior akut dengan pemeriksaan anjuran
Etiologi Spondilitis ankilosa Sindrom Reiter Herpes simpleks Herpes zoster Artritis reumatoid Infeksi fokal Tuberkulosis Siftlis Sarkoidosis
Tabel 4.
Pemeriksaan anjuran X-foto sakroiliaka, HLA-827, konsul rematologi X-foto sakroiliaka, HLA-B27, antibodi antinuklir, biakan konsul urologi dan rematologi. Diagnosis klinik Diagnosis klinik Faktor Rf, antibodi antinuklir, X-foto, konsul imunologi, dan reumatologi Titer ASO, Imunoglobulin, Protein C reaktif, konsul gigi, THT, kebidanan Tes kulit PPD, X-foto toraks, konsul penyakit dalam/paru VDRL, FTA-ABS Tes ACE, lisozim, X-foto toraks, tes kulit anergi, biopsi konjungtiva. Skintigrafi Ga 67.
Diagnosis etiologik uveitis anterior kronik dengan pemeriksaan anjuran
Etiologi Artritis rcumatoid Infeksi fokal Tuberkulosa Sifilis Herpes zoster Hetcrokromik Fuchs
Pemeriksaan anjuran Faktor Rf, antibodi antinuklir, juvcnil X-foto sendi lutut, konsul anak Lihat uveitis anterior akut Lihat uveitis anterior akut Lihat uveitis anterior akut Diagnosis klinik Diagnosis klinik
Dengan ditemui diagnosis etiologik, maka pengobatan spesifik untuk uveitis anterior tclah dapat dibcrikan, kecuali etiologi idiopatik (hampir 20% dari kasus) yang masih diobati nonspesifik.
Denganpengobatan spesifik terhadapetiologi maka kronisi tas dan rekurensi dapat dihambat dan kebutaan karena penyulit uveitis anterior dapat diatasi. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Abrams J. Therapy of Isoniazide-Theurapeutics Test in TuberculousUveitis. Amer. J. Ophthalmol 1982; 94: 511-515. Ahonen R, Makitie J. Herpes Simplex Virus Anterior Uveitis Uveitis Update, ed K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984. pp 157-162. Ardy H. Kebutaan pads uveitis. Proseding Simposium Pencegahan Gang guan Fungsi Penglihatan, Padang, Agustus 1990, pp 23-35. Ardy . H.. Peradangan dalam bola mats, masa kini masa datang serta pencegahan dan penanggulangan kebutaan. Pidato Pengukuhan. Pusat Penelitian Unand, Padang, Januari 1992. Ardy H. Epidemiology of Uveitis. Proceeding X"' Afro-Asian Congress Ophthalmology, Jakarta, July 1992. (dalam percetakan). Baarsma GS. The Epidemiology and Genetics of Endogenous Uveitis. A Review. Cuff. Eye. Res. 1992; 11 (suppl): 1-I1. Ben-Ezra D, Forrester J, Nussenblatt R et al. Uveitis Scoring Systems. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg, 1991 pp. 1-13. Blagojevic M, Latkovic Z. Present Importance of Tuberculous Uveitis. Uveitis Update Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984 pp. 275-288. Bloch-Michel E. Uveitis allergiques. Allergiae immunologia cculare. Ed. F.D'Ermo. Masson Italiano, Milano. 1983. pp. 49-58. Bloch-Michel E. Difficulties in the Knowledge of Uveitis. Acta Ophthal mol. 1984; 163: 1115-1120. Bloch-Michel E, Dussaix E, Govot F et al. Origine des uveites evolutions des resultats du bilan etiologiques au cours des 20 demieres annees. (1966-1986). Bull. Soc. Ophthalmol. Fr. 1986. 6-7. Bloch-Michel E. International Uveitis Study Group. Reccomendations for the Evaluation of Intraocular Inflammatory Disease. Amer. J. Ophthalmol. 1986; 103: 234-235. Bloch-Michel E. Infection et hypersensibilite microbienne. Immuno pathologie de 1'oeil. Ed. J.P. Faure et al. Masson Cie, Paris 1988 pp. 201-208. Boke W. Chronische vordere uveites. Die Chronische-Entzunlichen Erkrankung des Auges. Ed. O. Lundt, Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart 1984, pp. 94-101. Brandt F, Malls OK, Anten JGF. Influenced of Untreated Plastic Iridocy clitis on Intraocular Pressure in leprous patients. Brit. J. Ophthalmol. 1981; 65: 240-242. Denis J. L'uveite herpetique primitive existe-t elle? L'herpes oculaire. Ed. Y. Pouliquen et al. Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212. Demouchamps JP. Les methode actuelles de diagnostique etiologique de l'uveite. J. Fr. Ophthalmol. 1986; 12: 869-873. Demouchamps JP. Uveite anterieures. Encyclopaed. Med. Chir. Ophthal mologic. Paris, 1989. Dua S, Dick AD, Watson J et al. A Spectrum of Clinical Science in Anterior Uveitis. Eye 1993; 7: 68-73. Ducasse A, Segal A, Mathot E et al. Results of Etiological Investigations in Uveitis. Ophthalmology Today. Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpts Medica, Amsterdam, 1988, pp. 395-400. Fajardo RV. Acute bilateral Anterior Uveitis Caused by Sulfa Drugs. Uveitis Update. Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 97-109. Friedman AH, Luntz M, Henley WL. Diagnosis and Management of Uveitis. An Atlas Approach. William Wilkins, Baltimore, 1982, pp. 24-43. Fujikawa S. Advances in Immunology and Uveitis. Ophthalmology 1989; 96: 1115-1120. Green WR. Uveal Tract. Ophthalmic Pathology, Vol. III, An Atlas and Textbook, Ed. W.H. Spencer. W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1986, pp. 163-184. Hayashi S, Neves R, Belfort R Jr. Epidemiology and Etiology of Uveitis. Curr. Opin. Ophthalmol. 1992; 3: 491-497. Henderly DE, Genstier AJ, Smith RE, Rao NA. Changing Pattern of Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 131-136.
27. Heydenreich A. Chronic Anterior Uveitis. Uveitis Update, Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 119-124. 28. Ho AC, Guyer DR, Yannuzi LA. Ocular Syphilis: Classic Manifestations and Recent Observations. Semin. Ophthalmol. 8: 53-60. 29. Hoffmann A, Barth A, Brunner A et al. Die Uveitis in der Internistische Differential diagnose un1 Diagnostik. Med. Welt. 1990; 41: 491-499. 30. Hogan MJ, Kimura S, Thygeson li'. Signs and Symptoms of Uveitis. 1. Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1959; 47: 155-170. 31. James BG, Graham E, Hamblin A. Immunology of Multi system Ocular Diseases. Surv. Ophthalmol. 1985; 30: 155167. 32. Kanski JJ. Uveitis, A Colour Manual of Diagnosis and Treatment. Butter worths, London, 1987, pp. 1-11. 33. Kanski JJ. Uveitis in Juvenile Chronic Arthritis: Incidence, Clinical Features and Prognosis. Eye 1988; 2: 641-645. 34. Kanski D. Juvenile Arthritis and Uveitis. Surv. Ophthalmol. 1990; 34; 253-267. 35. Kastler M. Uveites par allergic microbienne. L. Uveite, Phenomenons immunologiques et allergiques. Ed. R. Campinchi et al, Masson Cie, Paris 1970, pp. 390-417. 36. Knox DL. Epidemiology of Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K. 1981; 101: 294-296. 37. Kraman-Kraljevic K, Stambuk K, Stambuk N, Kastelan A. A Prospective Study on the Etiology of Uveitis. Curr. Eye. Res. 1990; 9 (suppl): 13-16. 38. Krupin T, Leblanc RP, Becker Bet aL Uveitis Association with Topically Administered Corticosteroid. Amer. J. Ophthalmol. 1970; 70: 883-889. 39. Laatikaneen L. Vascular Changes in the Iris in Chronic Anterior Uveitis. Brit. J. Ophthalmol. 1979; 63: 145-149. 40. Lagoutte F. Fon cs eiiniques de la ke:atouveite herpetique, L'herpes oculaire. Ed. Y. Pouliquen, Imprime Lamy, Marseille, 1984, pp. 205-212. 41. Lamba PA, Rohatgi J, Segal VN. Evidence of Subclinical Ural Involvement in Leprosy. Acts XXV International Congress Ophthalmology, Roma, May, 1986, Kugler Amsterdam, 1987, pp. 1707-1711. 42. Machado A, Migueis, Sera L et al. Acute Anterior Uveitis in Clinical Practice. Ophthalmology Today, Ed. L.N. Feirraz de Olieviera. Excerpta Medica, Amsterdam, 1988, pp. 417-420. 43. Manthey KF. Intraokulare Entzundungen. Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1988, pp. 6-11. 44. Manthey KF. Etiologic Diagnosis of Uveitis. Ophthalmology Update. Ed. K.M. Saari, Excerpts Medica, Amsterdam, 1984, pp. 417-420. 45. Manthey KF. Epidemiology and Etiology of Uveitis. CULT. Opin. Ophthalmol. 1991; 2: 452-457. 46. McMillin RB, Samples JR. Iritis after Herbicide Exposure. Amer. J. Ophthalmol. 1985; 99: 726-727. 47. Michelson JB, Grossman KR, Limier JR. Iridocyclitis Masquerade Syn drome. Surv. Ophthalmol. 1986; 31: 125-130. 48. Michelson JB. Infectious Clinical Uveitis. Curr. Opin. Ophthalmol. 1990; 1: 373-384. 49. Moller-Jensen J, Marthinsen L, Linne I. Anterior Uveitis in IgA Nephropathy. 1989. 50. Moller-Hemerlink HK. Recent Topics in the Pathology Uveitis. Pathophy siology and Therapy Ed. Kraus-Mackiew, et al, Thieme-Straton, New York, 1983, pp. 152-197. 51. Nozik RA. The Management of Uveitis Approach. Proceeding First World Uveitis. Symposium. Guaruja, Sao Paolo Brazil, March 1988, Ed. R. Belfort, Jr. et al., Livraria Roca Ltd., Sao Paolo, 1989, pp. 559-564. 52. Nozik RA, Elliot JH. Uveitis and Infectious Diseases. Curr. Opin. Ophthal mol. 1990; 1: 371-372. 53. Nussenblatt RB, Palestine AG. Uveitis, Fundamental and Clinical Practice. Yearbook Medical Publishers, Inc., 1989, pp. 163-184. 54. O'Connor GR. The Initiation and Inflammation of Uvea. Transact. Ophthal mol. Soc. U.K. 1981; 101: 292-293. 55. O'Connor GR. Factors related to the Initiation and Recurrence of Uveitis. Am. J. Ophthalmol. 1983; 96: 577-579. 56. Pavesio CE, Nozik RA. Anterior and Intermediate Uveitis. Int. Ophthal mol. Clin. 1990; 30: 244-251. 57. Palimers GD, Papankonstatiou PG, Ladas JD. Herpes Simplex Induced Keratouveitis. Ada XXV International Congress Ophthalmology. Roma, May 1986, Kugler, Amsterdam, 1987, pp. 1718-1721. 58. Palmares J, Coutine MF, Castro-Correira J. Uveitis in Northern Portugal.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 53
Curr. Eye Res. 1990; 9 (suppl): 31-34. 59. Perkins ES. Uveitis in London and in Iowa. Ophthalmologica 1984; 189: 36-40. 60. Pezzi PP. Le flogosi uveali Masson Italiano, Milano, 1991, pp. 21-48. 61. Riedel KG. Fokal Infektion and Uveitis. Pathogenetische Zusammen hange? Die Chronische-entzundlichen Erkrankungen des Auges. Ed. O. Lundt, Ferdinand Enke-Verlag, Stuttgart, 1984, pp. 189-197. 62. Rives JM, Guigon B, Richard L et al. Trouble oculo-orbital d'origin dentaire. Encyclopaed. Medical Chirur. 73 Numero Specialise. 1993, Paris. 63. Rothova A, Yan Vennendal WG, Linssen A et al. Clinical Features of Acute Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1987; 103: 137-145. 64. Rothova A, Meenken C, Michels RPJ et al. Uveitis and Diabetes Mellitus. Amer. J. Ophthalmol. 1988; 106: 17-20. 65. Rothova A, Buitenhuis HJ, Meenken C et al. Uveitis and Systemic Disease. Brit. J. Ophthalmol. 1992; 76: 137-141. 66. Saari KM. Genetic Background of Acute Anterior Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 91: 711-720. 67. Saari KM, Ainosuvo S. Changes of Intraocular Pressure in Acute Anterior Uveitis. Uveitis Update, ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam 1984, pp. 97-109. 68. Secchi AG. Cataract in Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K. 1982; 102: 390-398. 69. Schlaegel TFJr. Geographic and Race in Uveitis. Uveitis Update. Ed. K.M.
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
Saari, Excerpta Medics, Amsterdam, 1984, pp. 7-12. 70. Silverstein AM. Perpetuation of Inflammation in Uveitis. Transact. Ophthalmol. Soc. U.K. 1981; 101: 301-303. 71. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A Clinical Approach to Diagnosis and Management. Williams Wilkins, Baltimore 1983, pp. 48-67. 72. Tessler HH. The First Episode of Uveitis. Now Extensive a Search? Ophthalmology Debate. Ed. Th. A. Deutsch. Yearbook Medical Publishers Inc., Chicago, 1989, pp. 160-165. 73. Vassileva P. Tuberculosis in the Etiopathogenesis of Uveitis. Ophthalmo logy Today, ed. L.N. Ferraz de Olieveira. Excerpta Medica, Amsterdam, 1988 pp. 73-80. 74. Vergani S, Dimauro E, Davies ET et al. Complement Activation in Uveitis. Brit. J. Ophthalmol. 1986; 70: 60-63. 75. Wakefield D, McClusky, Dunlop I, Penny R. Uveitis: Etiology and Disease Associated in Australian Population. Aust. N.Z. J. Ophthalmol. 1986; 14: 181-187. 76. Weiner A, Benezra D. Clinical Patterns and Associated Conditions in Chronic Uveitis. Amer. J. Ophthalmol. 1991; 112: 151-158. 77. Witmer R. Uveites anterieur de 1'enfant. Bull. Mem. Soc. Fr. OphthalmoL 1983; 94: 335-338. 78. Witmer R. The Syndrome of Posner-Schlossman Ophthalmology Update. Ed. K.M. Saari, Excerpta Medics, Amsterdam 1984, pp. 125-128.
Penatalaksanaan Uveitis Soedarman Sjamsoe Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis, di Amerika Serikat(1) didapatkan 10% gangguan penglihatan diakibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma(2). Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti patofisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, autoimunitas dan transplantasi) pada jaringan mata. Uveitis dapat disebabkan oleh(3,4) : 1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit 2. Non Infeksi : a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya). b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis imbas lensa). c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis). 3. Tidak diketahui (unknown). Prinsip pengobatan uveitis adalah(5) : 1. Menekan peradangan 2. Mengeliminir agen penyebab 3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di Iuar mata.
Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis yang ditegakkan. Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka ada dua tindakan yang harus kita lakukan, yaitu(6) : 1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi spesialistik. 2. Pengobatan inisial non spesifik. Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya. Diagnosis yang ditegakkan penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal no matter what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak seluruhnya benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang fatal bila tidak diberi terapi spesifik seperti pads toxoplasmosis, tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain. Pada makalah ini akan dibicarakan pengobatan uveitis non spesifik maupun spesifik pada uveitis. OBAT-OBATAN NON SPESIFIK(6,7,8) 1. Midriatik-sikloplegik 2. Kortikosteroid 3. Imunosupresan 1) Midriatik-sikloplegik Macam obat Midriacyl Fenilefrin Homatropin Atropin
0.5% 2.5% 1% 0.5%
1% 10% 2% 1%
Lama kerja 2% 4% 2%
5%
3 – 6 jam 4 – 10 jam 18 – 36 jam 10 –14 jam
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 55
Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena iris akan tetap dapat berkontraksi supaya tidak terjadi sinekia posterior(8). Apabila sudah terjadi sinekia posterior dapat dilepaskan dengan atropin atau homatropin diteteskan tiap 5 menit, kokain dan penilefrin(9). 2) Kortikosteroid Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an(8). Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis(6) : A. Lokal : 1. Tetes mata 2. Injeksi peri okular B. Sistemik A. Lokal Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabila terjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop. 1) Tetes mata Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada(9,10) : a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian b. Jenis kortikosteroid c. Jenis pelarut yang dipakai d. Bentuk larutan a) Konsentrasi dan frekuensi pemberian Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. b) Jenis steroid Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. c) Jenis pelarut Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. d) Bentuk larutan Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain(7,10). 2) Injeksi peri-okular Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal/ Indikasi injeksi peri-okular adalah(6,10) : 1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan. 2. Uveitis unilateral. 3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata. 4. Anak-anak. 5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Lokasi injeksi peri-okular : a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bolamata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2–4 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 2–4 mg. b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). Komplikasi injeksi peri-okular : 1) Perforasi bola mata. 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior. 3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata. 4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra. B. Sistemik Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu(8,11). Pada uveitis kronis dan anak-anak di mana bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose. Indikasi kortikosteroid sistemik :
1. 2. 3. 4. 5.
Uveitis posterior Uveitis bilateral Edema makula Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter) Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain(8,10). 3) Immunosupresan A. Sitostatika B. Siklosporin A A. Siklostatika Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin dosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/ hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom(5,7,12). Indikasi sitostatika(7,12) 1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable 2. Penyakit Behcet 3. Oftalmia simpatika 4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra indikasi sitostatikac'.12> : 1. Uveitis dengan etiologi infeksi 2. Bila tidak ada : – Internist/hematologist – Fasilitas monitoring sumsum tulang – Fasilitas penanganan efek samping akut B. Siklosporin A Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid dengan dosis imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Obat-obat sitostatika yang dipakai sebagai imunosupresan juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih serius. Selain itu kedua jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang akan berakhir dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif pengobatan yang lain yang lebih efektif dan aman(13). Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif ban' yang tidak menimbulkan efek samping terlalu
berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika(14,15,16) Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response imun-complex) seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vaskulitis pada penyakit Behcet, dan tipe IV (lambat) seperti pada Oftalmia simpatika, penyakit Behcet, sarkoidosis dan lain-lain. Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan reaksi tipe III pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intraokular(8). Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan(l7) : 1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B. 2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2. 3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK. 4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1. Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun(l7) : 1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T. 2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan blocking sintesis limfokin/lymphotoxic factor. 3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intracellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen activation factor. 4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten terhadap efek CsA. Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun(l7) : 1. Menekan secara langsung produksi antibodi. 2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik. 3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi antibodi berkurang. 4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF. Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang re rakter terhadap pengobatan konvensional di RSCM memberikan hasil yang cukup baik dalam hal memperbaiki penglihatan dan menekan peradangan dengan efek samping minimal(18). PENGOBATAN SPESIFIK 1) Toxoplasmosis(6,8,19) : Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 57
kombinasi. a) Sulfadiazin atau trisulfa : Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu. b) Pirimetamin : Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3–6 minggu. c) Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) : Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari. d) Klindamisin : Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik. e) Spiramisin : Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi. f) Minosiklin : 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu. g) Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa. (6,8,20)
2) Infeksi virus : a) Herpes simplex : Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari. b) Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal. c) Sitomegalovirus : DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.
banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam menanggulangi penyakit mata, khususnya uveitis, baik untuk diagnostik, maupun pengobatannya. Pengobatan kortikosteroid dan imunosupresan pada uveitis ibarat pisau bermata dua, bermanfaat bila merupakan indikasi, di lain pihak dapat menyebabkan komplikasi yang serius bila pemakaiannya tidak pada tempatnya. Dengan adanya obat-obat barn yang lebih efektif dan lebih selektif cara kerjanya dalam pengobatan uveitis maka kita dapat mengharapkan hasil yang lebih b3ik dibandingkan masa lampau. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
19. 20.
KESIMPULAN Dengan kemajuan pengetahuan di bidang imunologi maka
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council. Support for vision research, 1976; 20-22. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye health worldwide, issue no 7 1991. O'Connor GR. Endogenous uveitis. Dalam: Kraus-Mackiw E & O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and therapy 2nd ed. New York: Thieme Medical Publ Inc, 1986; 47 BenEzra D. Disease of choroid and anterior uvea. Dalam: Michelson JC (Ed). Michelson's Textbook of Fundus of the Eye, 3rd ed. New York: Churchill Livingston, 1980; 435–438. BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7 Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists. American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical Practice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131. Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.): Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ. Philadelphia 1986. Havener WH. Ocular Pharmacology, 5th ed The C.V. Mosby Co. 1983. Forrester WH. Liversidge J & Towler HM. Cyclosporin A & intra ocular inflammatory disease. Dalam: Thomson AW (Ed). Sandimmun.. Mode of action and clinical application. DordrechtBoston/London: Kluwer Academic Publ, 1989; 159–180. Dinning WJ. Therapy-selected topics. Dalam: Kraus--Mackiw and O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and Therapy. Thiems Medical Publ Inc. New York, 1986; 104–226. Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 1144–1150. Nussenblatt RB, Scher I. Effect of Cyclosporine on T-cell sub-sets in experimental autoimmune uveitis. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. Jan 1985; 26: 10-14. Striph G, Doft B, Rabin B, Johnson B. Retinal S antigen-induced uveitis. The efficacy of cyclosporine and corticosteroid in treatment. Arch Ophthalmol. Jan 1985; 104(1): 114–117. Nussenblatt RB, Palestina AG, Chan CC. Cyclosporine A therapy in the treatment on intra ocular inflammatory disease resistant to systemic corticosteroids and cytotoxic agents. Am. J. Ophthalmol 1983; 93: 175–281. Kaplan HJ, Waldrep JC. Immunologic insights into uveitis and retinitis. Ophthalmology 1984; 91: 655-665. Sjamsoe S, Marsetio M, Asyari F et al. A clinical study with low dose Cyclosporin A (Sandimmun) in the treatment of refractory intermmediate and posterior uveitis. Tenth Afro-Asia Congress of Ophthalmology. Jakarta 1992. Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111: 601–610. Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam: Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB Saunders Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51–
Bedah Refraktif Masa kini Istlantoro Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia UPF. Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN Bedah refraktif adalah suatu bedah mata bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kelainan refraksi agar terjadi perbaikan penglihatan. Bedah refraksi meliputi : − Bedah katarak dengan lensa intraokular. − Bedah lensa intraokular saja. − Bedah refraktif kornea. Bedah refraktif dalam perkembangannya mengundang keadaan yang kontroversial. Penderita dengan kelainan refraksi yang penglihatannya normal dengan memakai kaca mata namun tidak menghendaki kaca mata, bedah refraktif harus dilakukan secara aman dan berisiko kecil; di lain pihak pada keadaan kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi dengan kaca mata atau lensa kontak, bedah refraksi harus dilakukan walaupun risikonya besar, misalnya pada keratokonus(1). Agar dapat mengikuti Nomenklatur dan manfaat Bedah refraktif Kornea, Waring III membuat klasifikasi sebagai berikut (Tabel)(2,3) : TOPOCRAFI KORNEA DAN BEDAH REFRAKTIF KORNEA Permukaan depan kornea dengan tearfilm-nya adalah bagian terbesar yang menentukan kekuatan refraksi, oleh sebab itu perubahan sedikit saja pada perm ukaan kornea dapat mempengaruhi tajam penglihatan status refraksi(4). Dengan analisis topografi kornea dapat diketahui : − Iregularitas permukaan kornea − Besar astigmat − Kekuatan D lengkung kornea.
Tabel 1.
Bedah Refraktif Kornea
Jenis Bedah Refraktif Kornea Lamelar Keratotomi Keratektomi Keratoplasti tembus Termokeratoplasti Keratoplasti Fotoretraktif Excimer Laser
Teknik Bedah Keratomileusis Epikeratoplasti
Nama lain
Koreksi Kelainan Refraksi
Teknik Barraquer Miopia, hipemietropia dan afakia Epikeratofakia Afakia, miopia, dan keratokonus
Keratofakia – Kornea Donor Teknik Barraquer Afakia dan – Lensa Artifisial Lensa intrahipermetropia korneal Afakia dan miopia Hidrogel Polisulfon Keratokonus Radial Miopia dan astigmat Radial dan Trapezoidal, Ruiz Astigmat transversal L, T, setengah T dan lain-lain Kresentik Insisi relaksasi Astigmat Crescentic wedge Wedge resection Astigmat Transplantasi Astigmat kornea Keratokonus Miopia Keratektomi fntoretraktif miopia PRK Keratektomi Terapetik Keraterapetik tektomi Laser PTK Trepanasi kornea Insisi linear Laser K.R.
Kekeruhan kornea superfisial Keratoplasti Miopia
Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 59
Perkembangan alat topografi kornea adalah(5) : − Placido Disk − Plaeid9 Disk Keratoscopy − Keratometer − Photokeratoscope − Computerized Videokeratography Keratometer dipakai klinis secara luas dan sangat berharga namun mempunyai keterbatasan(4). 1) Keratometer mengukur 4 titik pada permukaan kornea parasentral tanpa mengindahkan kornea bagian sentral dan perifer. 2) Keratometer menilai secara rata-rata dan simetris pada titik-titik pada permukaan kornea semimeridien 180 yang berlawanan. 3) Hasil pengukuran keratometer sangat tergantung pada zona permukaan kornea mempunyai nilai radius dan kekuatan refraksi yang berbeda (zona diameter 4 mm mempunyai kekuatan 36 D dan 2.88 mm berkekuatan 50 D). 4) Ketepatan ukuran keratometer akan berkurang pada permukaan kornea sangat landai (flat) dan sangat besar pada kornea yang sangat lengkung (steep). Computerized Videokeratography (CVK) dapat memecahkan masalah tersebut di atas. CVK dengan teknologi imaging mampu menggambarkan 6400–8000 discrete points pada permukaan kornea. Berbagai contoh keadaan di mana keratometer tidak secara tepat menggambarkan permukaan kornea dibandingkan dengan Videokeratography adalah(6) : – Astigmat asimetri – Pembacaan yang tidak tepat (Misleading keratometry) Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peranan topografi kornea khususnya pemakaian Computerized Videokertography adalah amat penting dalam Bedah Refraktif Kornea.
Komplikasi MKM amat besar. Pada saat operasi: Mikrokeratom dan cryolathe. Pasca Bedah: Koreksi kurang atau berlebihan, astigma ireguler, gangguan reepitelisasi, sikatrik, edema kornea. MKM jarang dikerjakan lagi pada saat ini disebabkan oleh : 1) Teknik operasi yang rumit dan sulit 2) Banyaknya alat yang digunakan dan amat mahal harganya 3) Ketepatan koreksi yang sangat sulit dicapai 4) Komplikasi yang besar 5) Diperlukan pembedah yang amat terlatih.
BEDAH REFRAKTIF KORNEA MASA KINI Pada saat ini Bedah Refraktif Kornea yang banyak dikerjakan adalah Keratotomi Radial dan Fotorefraktif Keratektomi (PRK) Excimer Laser. Namun rintisan Prof. Barraquer pada Bedah Refraktif Kornea dengan pemikiran dan idenya (Keratomileusis) merupakan dasar Bedah Refraktif masa kini dan di masa nlendatang. Di Amerika Serikat koreksi miopia dengan Excimer Laser diperkirakan pada tahun 2000 adalah 62% jumlah miopia atau jumlahnya 2.500.000(7).
Pengobatan pasca bedah Kombinasi antibiotika dan steroid topikal.
KERTOMILEUSIS BARRAQUER Keratomileusis untuk miopia (MKM) telah dirintis oleh Jose I. Barraquer lebih 30 tahun yang lalu. Pada MKM permukaan depan kornea di mana kekuatan refraksi terbesar pada mata diubah kekuatannya dengan cara cryolathe agar dicapai keadaan emetropia(8). Indikasi MKM adalah miopia tinggi dan tak tahan lensa kontak. Teknik operasi MKM adalah : 1) Keratektomi lamelar dengan mikrokeratom. 2) Cryolathe dengan Barraquer Cryolathe. 3) Menjahit kembali lamel kornea yang telah diubah kekuatan D refraksi ke kornea asal.
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
EPIKERATOFAKIA Teknik bedah refraktif ini dikembangkan oleh Kaufman dan McDonald. Caranya adalah dengan melakukan penjahitan precarved, lyophilized donor kornea (Kerato-Len Amo) yang telah direhidrasi kembali pada saat operasi pada kornea penderita yang telah dibuang epitelnya. Teknik ini berdasarkan pada teknik Barraquer namun lebih sederhana tanpa melakukan keratektomi dengan mikrokeratom dan kemudian cryolathe yang sangat rumit dan teknik sangat sulit dikerjakan(9). Indikasi – Afakia dewasa dan anak-anak – Miopia – Keratokonus. Teknik operasi 1) Pemilihan kerato-lens AMO sesuai dengan koreksi refraksi. 2) Menentukan aksis sentral. 3) Mengupas epitel kornea. 4) Keratektomi anular. 5) Penjahitan keratolens ke kornea penderita. 6) Bandage kontak lensa.
Problem dan komplikasi Epikeratofakia – Penolakan Kerato-Len – Ketepatan koreksi hasil operasi – Pemulihan kembali visus – Re-epitelisasi terlambat – Epitel defek – Neovaskularisasi – Sisa epitel di antara kerato-len dan membran Bouwman – Jaringan ikat pra-sentral pada kerotokonus. Pada saat sekarang karena komplikasi dan masalah produksi keratolen terbatas (FDA) epikeratofakia jarang dikerjakan. Namun epikeratofakia masih sangat efektif pada afakia anak.
KERATOTOMI RADIAL Perkembangan keratotomi radial(10). 1886 : Lans – insisi radial mendatarkan kornea. – pendataran akan bertambah bila insisi makin dalam. – efek pendataran akan berkurang pada proses penyembuhan.
1939 -1955 : Sato − Keratotomi anterior dan posterior. − Edema kornea 25 tahun kemudian. 1969 – 1977 : Yenelev – Keratotomi radial anterior. – 12–32 insisi. 1972 – : Fyodorov – formulasi prediksi berdasar berbagai faktor. – berbagai ukuran zona optik. 1978 - : U.S.A. – Leo Bores pioner di Amerika – Mikrometer pisau berlian. – berbagai teknilk operasi khusus dalamnya insisi. – PERK study. Seleksi penderita Berhubungan erat dengan teknik bedah keratotomi radial, seleksi penderita K.R. dibagi : − Miopia rendah 1 - 3 D. − Miopia sedang 3 - 6 D. − Miopia tinggi 6 - 10 D. Berbagai keadaan perlu dipertimbangkan pada seleksi penderita K.R.(11). 1. Operasi K.R. harus memperbaiki fungsi penglihatan. 2. Kepentingan pekerjaan. 3. Memberikan penerangan kepada penderita. 4. Informed consent. 5. Faktor psikologis. 6. Umur 18-60 tahun. Pemeriksaan sebelum operasi(12) : • Keratometri • Visus dan refraksi dengan sikloplegia • Pakhimetri ultrasound • Tekanan intraokular • Topografi • Pemeriksaan segmen anterior dengan seksama. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil keratotomi radial(13). • zona optik • dalam insisi • jumlah insisi • teknik insisi • umur penderita. Dari faktor-faktor tersebut dirancang berbagai normogram untuk menentukan hasil K.R. antara lain adalah Thorntorn, Deitz, DRS formula, A Mark formula dua. Ketepatan normogram dan formula tersebut masih tergantung dari : • rancangan yang baik • ketepatan peralatan yang dipakai • teknik pemeriksaan pre-operatif • teknik operasi teknik operator. Evaluasi hasil Keratotomi Radial di Amerika Serikat (PERK Study) Di Amerika telah dilakukan penelitian prospektif untuk menilai efektivitas Keratotomi Radial(14).
Seleksi penderita: Umur lebih 21 tahun; miopia bilateral terbagi sebagai berikut : 2.00 – 3.12 D, 3.50 – 4.37 D,4.50–8.00 D. Tajam Penglihatan 20/20; refraksi stabil, perubahan tidak lebih 0.50 D dalam satu tabula atau 1.00 D dalam 3 tahun. Teknik operasi: Zona Optik 4.0 mm untuk miopia 2.00 – 3.12 D, 3.5 mm untuk miopia 3.50–4.37 D,3.0 mm untuk miopia 4.50 - 8.00 D. Pakhimetri intra operatif di ZO jam.9,12, 3 dan 6. Pisau berlian mikrometerpada kedalaman 100% pembacaan pakhimetri tertipis. Jumlah insisi 8. Pengobatan pasca bedah: Antibiotika tetes mata tanpa steroid. Hasil 3 tahun pengamatan: Dan 435 operasi K.R. didapat hasil 58% mata 1.00 D refraksi emetropia dengan 26% koreksi kurang dan 16% koreksi 1.00 D berlebih. Hasil operasi K.R. efektif pada mata dengan miopia antara 2.00 - 4.37 D. Terdapat 12% mata mengalami perubahan refraksi antara satu tahun sampai tahun ketiga. Dari pengamatan pada PERK study ini faktor-faktor yang mempengaruhi hasil (predictability) keratotomi radial adalah : Penderita : − seleksi − sifat biologi individu − perencanaan Peralatan : – Pakhimeter ultrasound – Micrometer Diamond Knife Teknik operasi : − Teknik insisi sentrifugal atau sentripetal. − re-deepening insisi perifer. Faktor pengalaman pembedah juga sangat menentukan hasil K.R. KERATEKTOMI FOTOREFRAKTIF (PRK)–EXCIMER LASER Pemakaian teknologi Excimer Laser pada kornea sangat bermanfaat untuk tujuan pengobatan dan bedah retraktif kornea(15). Teknologi bedah kornea dengan Excimer Laser merupakan puncak perkembangan bedah retraktif kornea pada saat ini. Perkataan Excimer Laser merupakan kependekan Excited Dimer. Dimer berarti dua dalam satu senyawa, seperti senyawa molekul gas Zenon-Xe2, Argon-Ar2, Krypton-Kr2. Gas-gas ini (rare gas dimer)merupakan media laser. Secara singkatperkembangan Excimer Laser sebagai berikut: 1982 : Srinavan dkk − argon fluoride Excimer Laser mampu mengurangi partikel terkecil tanpa menimbulkan panas. Fotoablatil"). 1983 : Srinavan dick − percobaan Excimer Laser pada berbagai jaringan. − rintisan Excimer Laser bidang kedokteran. 1983 : Trokel, Srinavan − fotoablatif Excimer Laser (193 mm) pada kornea bovin(l'). 1987 : L'Esperance − fotoablatif keratektomi pertama pada kornea mata buta. − histopatologi fotoablatif Excimer Laser kornea. − fase I percobaan Excimer Laser(18).
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 61
1989 : McDonald – keratektomi fotoretraktif pertama(19) 1989 : Seiler – keratektomi fotoretraktif di Eropa. Pada saat sekarang di Amerika telah sampai tahap III percobaan keratektomi fotoretraktif versi FDA. Seleksi penderita keratektomi fotoretraktif (PRK) miopia Indikasi PRK untuk miopia(20,21) : miopia ringan 2.00 – 6.00 D, miopia sedang 6.00 – 10.00 D, miopia tinggi 10.00 – 15.00 D, astigmat < 1.00 D. PRK untuk astigmatismus(22): pada percobaan FDA fase III PRK untuk miopia masih terbatas refraksi miopia rendah dan sedang 1.00 – 6.00 D pada penderita umur lebih 18 tahun. Penderita dianjurkan melepaskan lensa kontak setidaknya dua minggu sebelum PRK. Pemeriksaan pra PRK : Visus dan refraksi terbaik dengan sikloplegia Fungsi air mata Topografi kornea: Computerized Video Keratoscope(23). Pemeriksaan lampu celah pada kornea Pakhimetri. Teknik PRK – Pemberian sedativum dan analgetikum 30 menit sebelum PRK bila diperlukan. – Anestesi topikal. – Menentukan aksis sentral kornea. – Mengerok epitel kornea secara manual. – Tes Ablasi pada PMMA. – Melakukan PRK. – Selama melakukan ablasi, mata penderita yang tidak diablasi ditutup. – Diameter zona ablasi untuk miopia ringan 4 atau 5 mm pada ablasi satu tahap dan untuk miopia tinggi 4.5 atau 6 mm ablasi secara bertahap. Pengobatan pasca PRK – Paska PRK diberikan pengobatan(20) : – Minggu pertama : Voltaren® tetes (Ciba) mata, antibiotik tetes mata. – Minggu kedua dan seterusnya : – Steroid dan antibiotik tetes mata diturunkan secara bertahap sampai kekeruhan (haze) kornea menghilang. – Epitelisasi kornea secara penuh terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu kedua. – Kekeruhan kornea (haze) menghilang secara bertahap pada minggu kedua sampai bulan kedua. Hasil PRK Hasil yang dilaporkan dari berbagai pusat di Amerika (multicenter study) PRK pada penderita kelainan refraksi preoperasi minus 3.75 sampai 12.00 D hasilnya pada miopia sedang (3.12–6.00 D) didapatkan 67% plano sampai minus 1.00 D, sedangkan pada miopia tinggi 16% plano sampai minus 1.00 D dan 26% rcfraksi minus 1.12 hingga 2.00 D. Semua penderita mcmpunyai korcksi berlebih sampai dengan bulan pertama(20). Hasil PRK di Eropa 90% penderita menunjukkan hasil 1.00
62 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993
D koreksi kurang atau berlebih pada penderita preoperasi sampai dengan minus 6.50 D(23). Komplikasi dan efek samping PRK Koreksi berlebih terdapat pada semua penderita sampai dengan bulan pertama(20,21,24). Kekeruhan kornea (haze) terdapat sampai dengan bulan pertama. Dilaporkan kenaikan tekanan intraokular 5 mmHg pada 30% penderita(24). Gejala subyektif Silau dankesakitan terdapat hampir semua penderita pada mingguminggu pertama dan dapat dikurangi dengan pemberian Voltaren® (Ciba) tetes mata(20). Komplikasi berat tidak pemah dilaporkan. Pada miopia tinggi dengan diameter ablasi rendah menunjukkan silau (glare) pada malam hari. Kesimpulan sementara hasil PRK PRK pada miopia sampai dengan 6.00 sangat efektif(24,25). Pemeriksaan histopatologi dan penyembuhan sangat baik dan komplikasi yang didapat sangat kecil(25). Namun pada miopia tinggi masih dikembangkan teknik PRK-nya. KEPUSTAKAAN 1. 2.
Kaufman HE. Refractive surgery. Am. J. Ophth. 1987; 10: 355–7. Waring III GO. A Classification of Refractive Corneal Surgery: Making Sense of Keratospeak. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986, XXI–XXIX. 3. Waring III GO. Classification and Terminology of Laser Comeal Surgery: Making Sense of Keratospeak III. Refract and Corneal Surg. 1990; 6: 318– 20. 4. Koch DD. From the Guest Editor. J. Cat. & Refract, Surgery 1993; Supplement. 5. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Color Atlas of Corneal Topography, Chap. 2–3. Igaku-Shoin New York Tokyo. 1993. 6. Sanders DR, Gills JP, Martin RG. When keratometric measurement do not accurately reflect Comeal Topography, J. Cat. & Refract. Surgery 1993; 19. Supplement 131–5. 7. Jaimovitch L. U.S. PRK Myopia Market Potential. Infocus. The news letter of the International Society of Refractive Keratoplasty. 1–1. 1993. 8. SwingerCA. Keratomileusis for Myopia. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Retractive Comeal Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 469–93. 9. McDonald MB, Kaufman HE. Epikeratophakia for Aphakia, Myopia, and Keratoconus in the adult patient. Dalam: Sanders DR, Hofman RF. Salz JJ. Refractive Comeal Surgery. Slack Corp. New Jersey, 1986. hal. 427-48. 10. Waring III GO. History of Radial Keratotomy. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz II. Comeal Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 5–12. 11. Deitz MK. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 35–48. 12. Hofman RF. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Salz JJ. Comeal Refractive Surgery. Slack Corp. New Jersey 1986. hal. 51–78. 13. Sanders DR, Deitz MR. Dalam: Sanders DR, Hofman RF, Sa1zJJ. Comeal Refreacive Surgery. Slack Corp. 1986. hal. 81–90. 14. Waring III GO et al. Three year result of the prospective evaluation of Radial Keratotomy. Ophthalmol 1987; 94: 1339–54. 15. Trokel SL. Development of the Excimer Laser in Ophthalmology: A personal perspective. Refract. Comeal Surg. 1990; 6: 357–62. 16. Srinivasan R, Leigh WJ. Ablative photodecompensation action of far ultra violet (193 mm) Laser radiation on poly (ethylene terephthalate) film. J Am Chem Soc 1982; 104: 6784. 17. Trokek SL, Srinivasan R, Braren B. Excimer Laser Surgery of the cornea. Am. J. Ophthalmol 1983; 96: 710–15. 18. L'Esperance FA. History and development of the Excimer Laser. Dalam: Thomson FB, McDonald PJ Color Atlaslfext of Excimer Laser Surgery the Cornea. Igaku-Shoin New York-Tokyo 1993. 19. McDonald MB, Kaufman HF, Frantz JM, Shofner S, Salmeron B, Klyce
SD. Excimer Laser ablation in human eye. Arch Ophthalmol 1989; 107: 641-2. 20. McDonald MB, Leach DH. Myopic Photorefractive Keratectomy. U.S. Experience. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/Iext of Excimer Laser Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York Tokyo 1993. hal. 37-51. 21. Salz JJ, Maguen c, Macy J1, Papaioannou T, Holbauer J, Nesbum AB. One year result of excimer laser Photorefractive Keratectomy. Refract Corneal Surg 1992; 8: 269-73. 22. Compos M, McFDonnel PJ. Photorefractive Keratectomy: Astigmatism. Dalam: Thomson FB, McDonncl PJ. Color Atlas/Text of Excimer Laser
Surgery the Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo 1993. hal. 53-62. 23. Rabinowitz YS, Wilson SE, Klyce SD. Corneal Topography in Photo refractive keratectomy. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color Atlas/ Tect of Excimer Lasr Surgery of Cornea. Igaku-Shoin. New York, Tokyo 1993. hal. 53-62. 24. Seiler T. Photorefractive Keratectomy: European experience. Dalam: Thomson FB, McDonnel PJ. Color/Text of Excimer Laser Surgery of 25. Cornea. Igaku-Shoin, New York-Tokyo 1993. hal. 53-62. 26. Zabel RW, Sher NA, Ostros CS, Parker P, Linstrom RL. Myopic Excimer Laser Keratectomy: A Preliminary Report. Refract and Corneal Surg 1990; 6: 329-34.
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 63
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? Pilih jawaban yang tepat : 1. Dihasilkan oleh fibroblas 2. Dihasilkan oleh monosit 3. Dihasilkan oleh limfosit T 4. Merupakan penyebab demam endogen 5. Merupakan faktor pertumbuhan sistim 6. Mempengaruhi pertumbuhan eosinofil 7. Mempengaruhi produksi IgE 8. Dapat berperan sebagai colony stimulating factor 9. Yang bukan sifat ulkus Mooren : A. Kronik B. Procresif C. Purulen D. Letak marginal E. Menggaung
A. Interleukin-1 B. Interleukin-2 C. Interleukin-3 D. Interleukin-4 E. Interleukin-5 F. Interleukin-6 G. Interleukin-7 H. Interleukin-8
10. Keratokonjungtivitis epidemika mungkin disebabkan oleh : A. Bakteri B. Protozoa C. Reaksi hipersensitivitas D. Jamur E. Reaksi autoimun 11. Kelainan mata yang dapat menyertai tumor Wilms : A. Aniridia B. Koloboma iris C. Albinisme iris D. Nodul iris E. Pupil ektopik 12. Dakriosistografi merupakan alat diagnostik untuk deteksi kelainan : A. Retina B. Lensa C. Iris D. Sistim lakrimal E. Sistim saraf (n. optikus)
History is the record of an encounter between character and circumstances
64 Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993