HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DALAM PENATALAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DI PUSKESMAS KOTA CILEGON
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH: NOVITASARI NIM: 1110104000027
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SCHOOL OF NURSING SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
OF
Undergraduate Thesis, July 2014 Novitasari, NIM: 110104000027 The Relationship between Knowledge and Motivation with Behavioral Health Workers in the Management of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Diarrhoea in Public Health Centers at Cilegon City xix + 86 pages + 18 tables + 3 bagans + 7 attachments
ABSTRACT
The World Health Organization (WHO) data estimated 1.7 bilion cases of diarrhea occur globally each year. In indonesia diarrhea is endemic disease that found throughout the year and highest peak is in the rainy season and the dry transition. The incidence of diarrhea in Cilegon summary report based on the data from Dinas Kesehatan Cilegon city in 2013 showed the number of people on as many as 1.667 female children and 1.757 male children. In a effort to reduce pediatric morbidity and mortality, WHO and other technical partners developed the Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). IMCI is strategy to reduce mortality and morbidity for infant (7 days to 2 months) and children (2 months to 5 years). This study aimed to determine the relationship between knowledge and motivation with health care’s behavior on the management of IMCI diarrhoea in public health centers at Cilegon city. The study design was cross-sectional. The population was health workers and included 265 respondents and sample was 51 respondents in the 8 public health centers in Cilegon city, and taken by purposive sampling technique. The data was collected by questionnaires and analyzed using the chi-square test. The result showed that the management of IMCI diarrhoea was no relationship between knowledge with behavioral health workers (p= 0.968) and was relationship between motivation with behavioral health workers (p= 0.038). The result is expected to be consideration of the extent to which the performance of health worker who have been carrying out the IMCI training and can bridge the gab of knowledge, motivation, and behavior of health workers with management of IMCI diarrhoea.
Keywords: Knowledge, Motivation, Behavioral Health Worker, IMCI of Diarrhoe FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
iii
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juli 2014 Novitasari, NIM: 1110104000027 Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon xix + 86 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 7 lampiran
ABSTRAK
World Health Organization (WHO) menyebutkan ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi dunia setiap tahunnya. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare dinas kesehatan kota Cilegon, Banten tahun 2013 menunjukkan angka penderita pada balita perempuan yaitu sebanyak 1.667 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 1.757 jiwa. Upaya yang dilakukan WHO dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah petugas kesehatan sebanyak 265 responden dan sampel 51 responden dengan teknik purposive sampling yang berada di 8 puskesmas se-kota Cilegon. cara pengumpulan data dengan membagikan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square. Hasil uji statistik dalam penatalaksanaan MTBS diare menunjukkan tidak ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.968) dan ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.038). Hasil ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan sejauh mana kinerja petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.
Kata Kunci: Pengetahuan, Motivasi, Perilaku Petugas Kesehatan, MTBS Diare
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: NOVITASARI
Tempat, tanggal Lahir
: Serang, 17 November 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Alamat
: Jalan Tekukur No. 48 Kompleks D-Flat KS Cilegon, Banten
HP
: +6285692252356
E-mail
:
[email protected]
Fakultas/Prodi
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan
RIWAYAT PENDIDIKAN 1. 2. 3. 4. 5.
TK Al-Islah Cilegon Sekolah Dasar Negeri V Cilegon SMP Negeri 1 Cilegon SMA Negeri 1 Cilegon Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1996-1998 1998-2004 2004-2007 2007-2010 2010- Sekarang
RIWAYAT ORGANISASI 1. Staf Ahli Pengembangan Ekonomi Komisariat dakwah FKIK 2. Staf Ahli Kemahasiswaan BEMJ PSIK 3. Bendahara BEM PSIK
viii
2012-2013 2012-2013 2013-2014
LEMBAR PERSEMBAHAN
“Siapa yang tak mau merasakan sulitnya belajar, ia kan merasakan perihnya kebodohan” (Imam Syafi’)
Pada lembar persembahan ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada orangorang yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis:
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena telah mengirimkan malaikat-malaikat tanpa sayap yang selalu memberi dukungan di segala bidang, yang rela meletakkan impian dan mimpi mereka dalam pundak penulis. Terima kasih Ayah, Mama, Uni Elza, Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari. Hal ini yang menjadikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi dan mewujudkan impian dan mimpi mereka.
Guru-guru dan dosen yang senantiasa sabar dalam memberikan ilmunya kepada penulis.
Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas karunia dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad saw. Penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan (S.Kep) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas Kota Cilegon”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. DR. (HC). dr. M. K. Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 2. dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF., PFK, selaku wakil dekan bidang akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 3. Bapak Waras Budi Utomo, S.Kep, Ns., MKM, selaku Kepala Program Studi Ilmu Keperawatan dan Dosen Pembimbing Akademik yang tidak bosan-bosannya memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis. 4. Ibu Eni Nuraini, S.Kep, Ns., M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan.
x
5. Ayahanda Drs. Ira Hurairah dan Ibunda Suharti tercinta yang banyak memberikan dorongan dan bantuan baik secara moral, finansial, maupun spiritual dalam penyelesaian studi ini. 6. Uni Elza Yunita, S.P., Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari tersayang yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini. 7. Ibu Maftuhah, S.Kp., M.Kep., PhD dan Ibu Mira Suminar, S.Kep., M.Kes,
selaku
menyediakan
Dosen
waktu
Pembimbing
luangnya
untuk
yang dengan sabar dan berdiskusi,
memberikan
pengarahan, dan memotivasi penulis sejak awal penulisan masalah penelitian sampai tersusunnya skripsi ini. 8. Kepada Dosen Penguji, Bu Ns. Kustati B. L, M.Kep., Sp.Kep.An dan Bu Uswatun Khasanah, Ns., MNS penulis mengucapkan terima kasih atas saran-saran perbaikan yang diberikan. 9. Dosen-dosen dan staf Program Studi Ilmu Keperawatan yang dengan sabar dan semangat memberikan ilmu kepada penulis. 10. Kepada Kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon dan Kepala Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan beserta serta staff yang telah membantu penulis untuk kelancaran proses penelitian. 11. Kepada Petugas Kesehatan di Puskesmas Ciputat, Puskesmas Ciputat Timur, dan Puskesmas di kota Cilegon yang telah membantu dan bersedia meluangkan waktu untuk kelancaran proses penyusunan skripsi.
xi
12. Teman-teman kepengurusan BEMJ PSIK 2012-2013, BEM PSIK 2013-2014, KOMDA FKIK atas ukhuwah dan amanah yang telah diberikan selama berjuang di FKIK. 13. Teman-teman seperjuangan Lily Camelia, Fitriyani Rahayu, Septiana, dan kak Eka yang saling memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Rekan-rekan seperjuangan PSIK 2010 atas kerja sama, berbagi pemikiran, pengertian, dan memberikan warna di setiap langkah yang sangat berarti ini. Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang. Wassalamu’alaikum wr.wb Ciputat, Juli 2014
Novitasari
xii
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul
i
Pernyataan Keasliaan Karya
ii
Abstract
iii
Abstrak
iv
Pernyataan Persetujuan
v
Lembar Pengesahan
vi
Daftar Riwayat Hidup
viii
Lembar Persembahan
ix
Kata Pengantar
x
Daftar isi
xiii
Daftar Singkatan
xv
Daftar Tabel
xvi
Daftar Bagan
xvii
Daftar Lampiran
xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Perumusan Masalah
6
1.3 Pertanyaan Penelitian
7
1.4 Tujuan Penelitian
8
1.5 Manfaat Penelitian
9
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
11
2.1.2
Diare
21
xiii
2.1.3
Pengetahuan
22
2.1.4
Motivasi
28
2.1.5
Perilaku
39
2.2 Penelitian yang Relevan
42
2.3 Kerangka Teori
45
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep
46
3.2 Definisi Operasional
47
3.3 Hipotesis Penelitian
49
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian
50
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
50
4.3 Populasi dan Sampel
51
4.4 Instrumen Penelitian
52
4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
54
4.6 Langkah-langkah Pengumpulan Data
57
4.7 Etika Penelitian
58
4.8 Pengolahan Data
59
4.9 Analisis Data
61
4.10 Penyajian Data
62
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Puskesmas di kota Cilegon
63
5.2 Hasil Preeliminary Analysis
64
5.3 Hasil Analisa Univariat
65
5.4 Hasil Analisa Bivariat
69
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Analisa Univariat
72
xiv
6.2 Analisa Bivariat
79
6.3 Keterbatasan Penelitian
83
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan
84
7.2 Saran
85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR SINGKATAN
MDGs
: Millennium Development Goals
UNICEF
: United Nations Children’s Fund
WHO
: World Health Organization
MTBS
: Manajemen Terpadu Balita Sakit
Depkes RI
: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Riskesdas
: Riset Kesehatan Dasar
KLB
: Kejadian Luar Biasa
Kemenkes RI
: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
SKRT
: Survei Kesehatan Rumah Tangga
UIN
: Universitas Islam Negeri
IMCI
: Integrated Management of Childhood Illness
ASI
: Air Susu Ibu
NaCl
: Natrium Clorida
IV
: Intra Vena
NGT
: Nasogastric Tube
OGT
: Oral Gastric Tube
SDM
: Sumber Daya Manusia
Perda
: Peraturan Daerah
UPTD
: Unit Pelaksana Teknis Dinas
SPK
: Sekolah Perawat Kesehatan
D-III/IV
: Diploma III/IV
S1/2
: Strata I/II
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten
16
Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri
17
Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol
17
Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam
19
Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena
19
Tabel 3.2.1 Definisi Operasional
47
Tabel 4.3.1 Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan
51
Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas
55
Tabel 5.2.1 Hasil Uji Normalitas Data
65
Tabel 5.3.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Petugas Kesehatan
66
Tabel 5.3.2 Distribusi Frekuensi Usia Petugas Kesehatan
66
Tabel 5.3.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Petugas Kesehatan
67
Tabel 5.3.4 Distribusi Frekuensi Lama Kerja Petugas Kesehatan
67
Tabel 5.3.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Petugas Kesehatan
68
Tabel 5.3.6 Distribusi Frekuensi Motivasi Petugas Kesehatan
68
Tabel 5.3.7 Distribusi Frekuensi Perilaku Petugas Kesehatan
69
Tabel 5.4.1 Hasil analisis Chi-Square Pengetahuan dengan Perilaku
70
Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Chi-Square Motivasi dengan Perilaku
70
xvii
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010)
40
Bagan 2.3 Kerangka Teori
45
Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian
46
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Perizinan Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Uji Normalitas Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Univariat Lampiran 7. Hasil Olahan SPSS Bivariat
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Angka kematian bayi dan anak di dunia masih tinggi. Di negara
berkembang hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahun pada anak dibawah usia 5 tahun (UNICEF, 2008). Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2013) mengatakan di Indonesia jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian balita adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian pada 2015 merupakan target komitmen global tujuan Millennium Development Goals (MDGs) (Kemenkes RI, 2010). Menurut Liu et al. (2012) di dunia penyakit pneumonia, diare, dan malaria merupakan penyebab tersering kematian pada anak. Upaya yang dilakukan World Health Organization (WHO) dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) (Gove et al. 1997 dalam Rowe et al. 2011). Pada tahun 1990an, WHO dan UNICEF memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012).
1
2
MTBS menurut Depkes RI (2005) merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi dan balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. MTBS adalah standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatih), memperkuat sistem kesehatan, dan meningkatkan kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat (Kesehatan Anak, 2011). Lebih dari 100 negara telah mengadopsi komponen dari MTBS yang digunakan sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam menangani penyakit tersebut dengan menilai dan mengobati anak yang sakit, pencegahan, dan konseling keluarga (Nguyen et al. 2013). Menurut Lesley Bamford dari National Department of Health (2008, dalam Moelyo, 2013) mengatakan bahwa Comprehensive approach to the care of the ill child, which attempts to ensure appropriate and combined treatment of the five major diseases, dimana MTBS di hampir seluruh negara berkembang merupakan pelayanan kesehatan balita sakit secara komprehensif karena dapat mengkombinasikan pemeriksaan lima penyakit yang sering diderita.
3
Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan dibuatnya satu set modul dan pedoman MTBS WHO/UNICEF dan pada tahun 2005 MTBS telah dilaksanakan di Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi (Wijaya, 2010). Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak (2010), jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan MTBS sebesar 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut. Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Diare adalah suatu penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar, seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau buang air besar tiga atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2010). Menurut Magdarina et al. (2005) diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme
meliputi
bakteri,
virus,
parasit,
protozoa,
dan
penularannya secara fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair yang mendadak, nyeri perut, mual, muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam (Nelson, 2000). Diare dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh yaitu dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian (Wijaya, 2012). Menurut data WHO (2013) di dunia ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi setiap tahunnya. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak di bawah 5 tahun di negara dengan penghasilan ekonomi yang rendah, sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan Asia Selatan (Wilson et al. 2012). Gerald et al. (2009) menyatakan bahwa diare
4
dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju maupun berkembang dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina et al. 2005). Menurut laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Badan Litbangkes (2007) penyebab terbanyak kematian bayi (29 hari-11 bulan) dan anak balita (12 bulan-59 bulan) yaitu akibat terserang diare dengan proporsi diare pada bayi sebesar 31,4% dan anak balita sebesar 25,2%. Gambaran berdasarkan survei dan penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 provinsi Banten masih dalam prevalensi diare klinis cukup tinggi yaitu ˃10%. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2009-2010 provinsi Banten secara keseluruhan sering mengalami KLB diare (Kemenkes RI, 2011). Kasus diare yang terjadi di provinsi Banten berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010-2011 pada tahun 2011 mencapai 971.269 kasus sedangkan pada tahun 2010 mencapai 816.802 kasus, angka ini masih tergolong tinggi. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare Dinas Kesehatan kota Cilegon tahun 2013 menunjukkan pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 2.511 jiwa. Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan kota Cilegon untuk menurunkan angka kejadian diare di kota Cilegon dengan menerapkan program MTBS yang dilaksanakan puskesmas di
5
kota Cilegon. Data dari Subdit Pengendaliaan Diare dan Infeksi Pencernaan Kemenkes RI tahun 2006-2009 didapat bahwa persentase petugas kesehatan yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata laksana diare masih dibawah 50%. Berdasarkan penelitian Hastuti (2010) tentang pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi terhadap penatalaksanaan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) pada petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali membuktikan adanya pengaruh antara pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penerapan standar MTBS di Puskesmas kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya di kabupaten Bayolali menunjukkan hasil yang masih kurang baik dalam pelaksanaan program MTBS sehingga perlu ditingkatkan dalam segi pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan. Dari hasil studi pendahuluan melalui observasi didapat bahwa 8 puskesmas yang ada di kota Cilegon hampir seluruhnya sudah memiliki ruang MTBS, dan hasil wawancara diketahui bahwa penerapan dengan standar MTBS sudah baik, akan tetapi terkadang masih dilakukan tanpa menggunakan formulir MTBS, dikarenakan formulir yang habis dan proses pelayanan MTBS yang cukup lama. Pada anak dengan kasus diare, pelaksanaan standar operasional prosedur yang masih belum sesuai seperti jarang dilakukan pemberian minum. Petugas kesehatan mengungkapkan motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare tergantung pada individu masing-masing dalam memberikan pelayanan, perlu adanya penyegaran dengan petugas kesehatan yang sudah pernah ikut pelatihan, belum adanya reward terhadap keberhasilan atau punishment terhadap pelanggaran pada petugas kesehatan.
6
Berdasarkan penelitian Faridah (2009) tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi kerja petugas pelaksana manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, membuktikan bahwa persepsi kondisi kerja dan kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS secara bersama-sama mempengaruhi motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota Surabaya. Namun, dalam pelaksanaan program MTBS di Puskesmas kota Surabaya masih kurang baik. Program MTBS bukan merupakan program unggulan puskesmas, akan tetapi tetap terus berjalan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Sehingga berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon”.
1.2.
Rumusan Masalah Di kota Cilegon angka kejadian diare pada tahun 2013 pada balita
perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 2.511 jiwa. Pelaksanaan MTBS sudah diterapkan di 8 puskesmas kota Cilegon dengan
diadakannya
pelatihan,
sebanyak
51
petugas
kesehatan
sudah
mendapatkan pelatihan MTBS. Dari latar belakang diketahui bahwa terdapat keterbatasan penyediaan formulir MTBS, pelaksanaan standar operasional prosedur yang masih belum sesuai, penatalaksanaan MTBS yang memerlukan waktu lama, dan belum terlaksananya supervisi terhadap evaluasi pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
7
Hasil studi pendahuluan diketahui belum adanya penelitian terkait pengetahuan
dan
motivasi
dengan
perilaku
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare. Dalam sarana kesehatan, pencapaian kinerja petugas kesehatan dalam pelaksanaan MTBS diare tidak lepas dari peran pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan sebagai pelaksana MTBS diare. Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan dan motivasi sangat penting untuk menentukan indikator hasil perilaku yang diamati sebagai upaya penanganan diare pada balita. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan baik tehadap kinerja kerja maupun penatalaksanaan MTBS. Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan pengetahuan
dan
motivasi
dengan
perilaku
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka
dapat diambil beberapa pernyataan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon?
2.
Bagaimana
gambaran
pengetahuan
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon? 3.
Bagaimana gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
8
4.
Bagaimana perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
5.
Apakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
6.
Apakah ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
1.4.
Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku
petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. 2.
Tujuan Khusus
a.
Mengetahui gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas
kota Cilegon b.
Mengetahui
gambaran
pengetahuan
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. c.
Mengetahui
gambaran
motivasi
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. d.
Mengetahui
gambaran
perilaku
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. e.
Mengetahui
hubungan
pengetahuan
dengan
perilaku
petugas
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.
9
f.
Mengetahui hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan
dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?
1.5.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk pembuatan karya ilmiah dengan mengedepankan aspek evidence based practice/hasil penelitian kesehatan terkini khususnya dalam bidang ilmu keperawatan dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi Puskesmas di Kota Cilegon Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan dan pembangunan program kesehatan, serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare. 3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dan praktisi kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS, khususnya pada penanganan diare.
1.6.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas
10
kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Populasi penelitian ini adalah petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon yang menangani MTBS. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling dan waktu penelitian dilakukan pada Juni 2014.
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1.
Deskripsi Teori
2.1.1.
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management
of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata laksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen et al. (2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan diakui secara internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS. MTBS membantu negara dalam meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian Millenium Development Goals 4. MTBS mengintegrasikan perbaikan sistem kesehatan, manajemen kasus, praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat, serta hak anak (Soenarto, 2009). Manajemen Terpadu adalah suatu pola manajemen kasus yang berisi prosedur kerja agar dapat memperbaiki input, proses, dan output (Hastuti, 2010). Berdasarkan penelitian Husni, dkk (2012) mengatakan bahwa gambaran pelaksanaan MTBS komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih kurang. Dimulai pada tahun 1990an, World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima
11
12
penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012). Dalam buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum. 2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna. 3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan khusus untuk anak. 4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat. 5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan masalah jika terdapat masalah makan. 6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak lanjut jika diperlukan. Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina dkk. 2005). 1. Penatalaksanaan MTBS Diare Penilaian tanda dan gejala pada anak dengan diare yang dinilai adalah ada atau tidaknya tanda bahaya umum. Keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel, haus atau banyak minum, adanya darah dalam tinja (feses bercampur dengan darah).
13
2.
Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga kelompok berikut: a.
Klasifikasi Dehidrasi 1) Dehidrasi berat Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor buruk sekali. 2) Dehidrasi ringan atau sedang Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan turgor buruk. 3) Diare tanpa dehidrasi Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi.
b.
Klasifikasi Diare Persisten Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14
hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat apabila ditemukan adanya tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi. c.
Klasifikasi Disentri Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi
pada diare jenis ini disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur dengan darah (Depkes, 1999 dalam Hidayat, 2008). 3. Penentuan dan Tindakan Pengobatan Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan tindakan dan pengobatan setelah diklasifikasikan berdasarkan kelompok gejala yang ada
14
(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan dan pengobatan menurut Depkes (1999, dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut: a. Klasifikasi Dehidrasi Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi. 1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah sebagai berikut: a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum, berikan oralit melalui mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan 100 ml/kg ringer laktat atau dengan ketentuan sebagaimana tersaji. Pada bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama sebanyak 30 ml/kg selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada anak (1-5 tahun) pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam. b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila belum membaik berikan tetesan intravena dengan cepat. c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum. d) Lakukan pemantauan kembali sesudah 6 jam pada bayi atau pada anak sesudah 3 jam serta tentukan kembali status dehidrasi. Selanjutnya ditentukan status dehidrasi dan lakukan tindakan sesuai dengan derajat dehidrasi.
15
e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu 30 menit cairan tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan pengobatan intravena dan jika anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan rujukan. 2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah sebagai berikut: a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk usia kurang dari 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12 bulan dengan berat badan 6-<10 kg, pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan dengan berat badan 10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga dapat dihitung dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6 bulan dan tidak menyusu maka diberikan tambahan air matang 100-200 ml. b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi, rujuk untuk tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi. 3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan sebagai berikut: a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit apabila anak tidak memperoleh ASI eksklusif. b) Lanjutkan pemberian makan.
16
b.
Diare Persisten Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya
kolera. Maka pengobatan yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah tetrasiklin.
Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 3 hari Usia atau berat badan
2-4 bulan (4-<6 kg) 4-12 bulan (6-<10 kg) 1-5 tahun (10-<19 kg) c.
tablet dewasa 80 tablet anak 20 mg mg trimetoprim + trimetropim + 100 400 mg mg sulfametoksazol sulfametoksazol
sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol
Tetrasiklin Beri 4 kali sehari untuk 3 hari kapsul 250 mg
¼
1
2,5 ml
jangan diberikan
½
2
5 ml
½
1 3 7,5 ml Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten
1
Disentri Tindakan pada disentri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang
sesuai, misalnya pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah asam nalidiksat. Pemberian dosis berdasarkan usia atau berat badan anak.
17
kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 5 hari usia atau berat badan
Asam Nalidiksat beri 4 kali sehari selama 5 hari
tablet dewasa 80 mg trimetoprim + 400 mg sulfametoksazol
tablet anak 20 mg trimetoprim + 100 mg sulfametoksazol
sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol
tablet 500 mg
¼
1
2,5 ml
1/8
½
2
5 ml
¼
2-4 bulan (4-<6kg) 4-12 bulan (6-<10 kg) 1-5 tahun (10-<19 kg)
1
Usia atau berat badan 2-6 bulan (4-<7 kg) 6 bulan-3 tahun (7-<14 kg) 3-5 tahun (14<19 kg)
3 7,5 ml ½ Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri
Tablet (500 mg)
Tablet 100 mg
Sirup 120 mg/5 ml
1/8
½
2,5 (½ sendok teh)
¼
1
5 ml (1 sendok teh) 7,5 ml (1 ½ sendok teh)
½ 2 Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol
4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makan Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun 2010 dijelaskan sebagai berikut: a.
Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut: 1. Beri Cairan Tambahan a) Jelaskan kepada Ibu: 1) Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
18
2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air matang sebagai tambahan. 3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan berikut: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang. 4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah. b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah. c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus diberikan setiap anak diare. 1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare. 2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare. 3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Dan lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti. 2. Beri Tablet Zinc Selama 10 Hari. 3. Lanjutkan Pemberian Makan. 4. Kapan Harus Kembali.
19
b.
Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit. Berikan oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam. Umur Berat Jumlah
≤ 4 bulan 4- ˂ 12 bulan 1- ˂2 tahun 2- ˂5 tahun <6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg 200-400 400-700 700-900 900-1400 Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam
1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama. 2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit. 3) Berikan tablet zinc selama 10 hari. 4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya, pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan, dan mulailah memberi makan anak. 5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai c.
Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat 1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat (atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:
UMUR
Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena Pemberian pertama 30 Pemberian berikut 70 ml/kg ml/kg selama: selama:
Bayi (dibawah umur 12 1 jam* 5 jam bulan) Anak (12 bulan sampai 30 menit* 2 ½ jam 5 tahun) 2) Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri tetesan lebih cepat.
20
3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc. 4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, dapatkah fasilitas pemberian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit). 5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa minum, bekali Ibu larutan oralit dan tunjukkan cara meminumkan pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan. Jika tidak, dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk rehidrasi atau cek apakah anak masih bisa minum. 6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut: beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg). 7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam: -
Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan lebih lambat.
-
Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.
8) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi, kemudian tentukan rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, rujuk segera untuk pengobatan IV/NGT/OGT.
21
Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah rehidrasi untuk meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian larutan oralit per oral. Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menitinfus makro= 60 tetes/menit-infus mikro.
2.1.2. Diare Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Hal ini biasanya berkaitan dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal, inkontinensia, atau kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu: sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas (Baughman, 2000). Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008). Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang, makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak dengan penyebab patogen tersebut menjadi risiko utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan pajanan pada sampah padat (misalnya melalui pengambilan atau akumulasi
22
sampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian Wilson et al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali tanda-tanda diare pada anak. Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga. Terdapat juga penyebab lain yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang buruk (WHO, 2008).
2.1.3. Pengetahuan Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010). Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja (perilaku), akan tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010). Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo,
23
2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng dan perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, yaitu: 1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan) 2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap) 3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif menurut Taksonomi Bloom (1987)
dalam Sunaryo
(2004) mencakup 6 tingkatan, yaitu: a.
Tahu (Know) Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat
mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Ukuran
bahwa
seseorang
itu
tahu
adalah
mampu
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. b.
Memahami (Comprehension) Merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.
24
c.
Penerapan (Application) Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukumhukum, rumus, metode dalam situasi nyata. d.
Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam
bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi dengan fisiologi. e.
Sintesis (Synthesis) Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ukuran kemampuan adalah dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan sesuai teori atau rumusan yang telah ada. f.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
25
Menurut Notoatmodjo (2010) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu: 1. Cara tradisional atau non ilmiah Cara tradisional atau non ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan tanpa melakukan penelitian ilmiah, cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi: a. Cara Coba Salah (Trial and Error) Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja (trial and error). Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah
dan
sampai sekarang pun
metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi. b. Cara kebetulan Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan. c. Cara kekuasaan atau otoritas Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan. Dengan prinsip inilah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh
26
orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran diri. d. Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. e. Cara akal sehat (Common sense) Akal sehat atau Common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran. f. Kebenaran melalui wahyu Ajaran atau dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima
dan
diyakini
oleh
pengikut-pengikut
agama
yang
bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan manusia. g. Kebenaran secara Intuitif Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berfikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang
27
rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja. h. Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu
menggunakan
penalarannya
dalam
memperoleh
pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi. i. Induksi Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ditangkap oleh indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala. j. Deduksi Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus. 2.
Cara modern atau ilmiah Cara modern atau ilmiah yakni melalui proses penelitian yang
lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau disebut metodologi penelitian (research methodology).
28
2.1.4. Motivasi Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011). Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995 dalam Nursalam, 2011). Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut Sunaryo (2004) motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri individu atau datang dari lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) bukan pengaruh lingkungan (ekstrinsik). Maslow (1943, dalam Bastable, 2002) seorang ahli teori mengembangkan suatu teori tentang motivasi manusia yang diintegrasi secara utuh pada individu dan dalam bentuk hierarki tujuan, dia menyatakan bahwa tidak semua perilaku dimotivasi dan bahwa teori perilaku tidak sama dengan teori motivasi. Ada hubungan antara motivasi dan pembelajaran, antara motivasi dan perilaku, antara motivasi, pembelajaran, dan perilaku (Bastable, 2002). Menurut Maslow (1943) setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan dari yang paling rendah sampai yang
29
paling tinggi (Misbach, 2010). Kebutuhan-kebutuhan terdiri dari lima hierarki, dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut: a. Kebutuhan fisiologi (Physiological) Menurut
Maslow
kebutuhan
fisiologis
adalah
kebutuhan
untuk
mempertahankan hidup, oleh sebab itu sangat pokok, yakni sandang, pangan, dan papan. Apabila kebutuhan ini secara relatif terpenuhi, maka kebutuhan yang lain seperti rasa aman, kebutuhan untuk diakui oleh orang lain akan menyusul
untuk
dipenuhi.
Seseorang
tidak
akan
termotivasi
untuk
pengembangan dirinya, apabila motif dasarnya masih belum terpenuhi. Maslow menekankan bahwa ketika kebutuhan itu muncul pada seseorang, maka hal tersebut merupakan pendorong dan pengarah untuk terwujudnya perilaku. Pada saat seseorang sudah sampai pada taraf untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, maka pada saat diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan sebagai perwujudan dari aktualisasi diri. b. Kebutuhan rasa aman (Safety) Kebutuhan rasa nyaman mempunyai bentangan yang sangat luas, bukan saja keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari tekanan atau intimidasi dari pihak lain. c. Kebutuhan sosialisasi atau afiliasi dengan orang lain (Affiliation) Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersosialisasi dengan orang lain dapat diwujudkan melalui keikutsertaan seseorang dalam suatu team work atau perkumpulan tertentu. Kebutuhan berafiliasi dengan orang lain pada prinsipnya agar dirinya diterima dan disayangi oleh orang lain sebagai anggota kelompoknya. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, dalam
30
mewujudkannya membutuhkan atau menginginkan kebutuhan-kebutuhan sosial terdiri dari: 1) Kebutuhan akan perasaan kemajuaan dan tidak seorang pun yang menyukai kegagalan dalam tugas atau pekerjaan apapun. Kemajuan atau keberhasilan sebuah kegiatan, pekerjaan atau tugas merupakan kebutuhan setiap orang. 2) Kebutuhan akan perasaan ikut serta atau berpartisipasi. Seseorang akan merasa senang jika diikutsertakan dalam berbagai kegiatan perusahaan atau organisasi. Keikutsertaan dalam mencapai tujuan bukan hanya dalam bentuk fisik atau kegiatan saja, tetapi dalam bentuk pendapat, ide atau saran. 3) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap orang merasa dirinya penting. Serendah-rendahnya pendidikan yang dicapai, atau serendahrendahnya jabatan yang dipunyai, seseorang merasa penting dan perlu dihormati. 4) Kebutuhan untuk diterima oleh orang lain dilingkungan tempat tinggal. d. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem) Kebutuhan penghargaan ini adalah kebutuhan prestise, kebutuhan untuk dihargai merupakan kebutuhan semua orang terlepas dari kedudukan dan jabatannya. Dalam mewujudkan kebutuhan penghargaan ini bukan sematamata pemberian dari pihak lain, tetapi harus dibuktikan dari kemampuan atau prestasi yang dicapai. Untuk itu sistem pemberian reward di organisasiorganisasi perlu dikembangkan, tetapi bukan didasarkan pada lama kerja atau model arisan, tetapi harus didasarkan pada sistem kompetisi prestasi kerja.
31
Kebutuhan akan penghargaan dapat diberikan berupa status, pengakuan, dan perhatiaan (Misbach, 2010). e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization) Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan realisasi diri secara lengkap dan penuh. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri ini antara seorang yang satu dengan yang lain akan berbeda. Program pendidikan jangka panjang bergelar dan pelatihan (pendidikan jangka pendek) didalam suatu institusi atau organisasi merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi berbeda dengan kebutuhan yang lain, yakni: 1) Aktualisasi diri adalah bagian dari pertumbuhan individu, dan berlangsung terus-menerus sejalan dengan meningkatnya jenjang karier seseorang individu. 2) Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipenuhi semata-mata dari luar individu, tetapi yang lebih utama adalah usaha dari individu itu sendiri. Redman (1993, dalam Bastable, 2002) memandang pengkajian motivasi sebagai bagian dari pengkajian kesehatan umum dan menyatakan bahwa pengkajian ini mencakup bidang-bidang seperti tingkat pengetahuan, keterampilan klien, kapasitas pembuatan keputusan pada individu, dan skrining pada populasi sasaran untuk program pendidikan.
32
Para
ahli
mengelompokkan
metode
peningkatan
motivasi
dalam
Notoatmodjo (2010), yaitu: 1) Model Tradisional Model ini menekankan bahwa untuk memotivasi masyarakat agar berperilaku sehat, perlu memberikan insentif berupa materi bagi anggota masyarakat yang berprestasi tinggi dalam berperilaku hidup sehat. 2) Model Hubungan Manusia Untuk meningkatkan motivasi berperilaku sehat, perlu dilakukan pengakuan atau memperhatikan kebutuhan sosial mereka, meyakinkan mereka bahwa setiap orang adalah penting dan berguna bagi masyarakat. 3) Model Sumber Daya Manusia Setiap manusia cenderung untuk mencapai kepuasan dari prestasi yang dicapai, dan prestasi yang baik tersebut merupakan tanggung jawabnya seebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi hidup sehat perlu memberikan tanggung jawab dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mereka. Motivasi akan meningkat jika diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dalam memelihara kesehatan. Memberikan reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman dapat dipandang sebagai upaya peningkatan motivasi berperilaku. Terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi berdasarkan pandangan beberapa konsep motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi, dan kebutuhan.
33
Selanjutnya menurut Hamzah (2008) unsur-unsur tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: a. Kemampuan Kemampuan
adalah
trait
(bawaan
atau
dipelajari)
yang
berhubungan dengan mental atau fisik. Kemampuan merupakan kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Ditinjau dari teori motivasi dan aplikasinya, kemampuan dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu kemampuan fisik dan kemampuan intelektual. Kemampuan fisik adalah kemampuan menjalankan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan
karakteristik.
Sedangkan
kemampuan
intelektual
adalah
kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental, tujuh dimensi yang paling sering dikutip dalam membentuk pengetahuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan daya ingat. Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa setiap orang mempunyai kemampuan tertentu yang sangat berbeda dari orang lain (Siagian, 2004). Kemampuan seseorang dapat membatasi usahanya untuk mencapai tujuan. b. Komitmen Komitmen terhadap organisasi sebagai salah satu sikap dalam pekerjaan yang berorientasi terhadap kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap suatu
34
tujuan memiliki dorongan, intensitas, dan ketekunan untuk bekerja keras. Komitmen menciptakan keinginan untuk mencapai tujuan dan mengatasi masalah atau penghalang. c. Umpan-balik Umpan-balik menyediakan data, informasi, dan fakta mengenai kemajuan dalam pencapaian tujuan. Seseorang menggunakan umpanbalik untuk mengukur dimana penyesuaian dalam usaha. Tanpa umpan-balik, seseorang beroperasi tanpa pedoman atau informasi untuk membuat perbaikan sehingga tujuan tidak dapat dicapai tepat waktu dan pada tingkat yang sesuai dengan anggaran. d. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok agar tercapai tujuan yang diharapkan (Stephen, 1998 dalam Faridah, 2009). Keberhasilan ataupun kegagalan suatu organisasi berkaitan dengan kepemimpinan, baik organisasi berupa perusahaan, atau lembaga pemerintahan. Dengan kepemimpinan seseorang mampu untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu lainnya dalam suatu kelompok. Kepemimpinan mampu membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi.
35
e. Faktor instrinsik 1) Prestasi (Achievement) Prestasi (Achievement) adalah memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi. Kebutuhan akan berprestasi, akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Prestasi kerja adalah penampilan hasil kerja sumber daya manusia (SDM) dalam suatu organisasi. Prestasi kerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja SDM. Penampilan hasil kerja tidak terbatas pada pegawai yang menjangkau jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada seluruh jajaran SDM dalam suatu organisasi. 2) Pengakuan (Recognition) Pengakuan
artinya
memperoleh
pengakuan
dari
pihak
perusahaan (manajer) bahwa berprestasi, dikatakan baik, diberi pengharapan, pujian, dan sebagainya. Faktor pengakuan adalah kebutuhan akan penghargaan. Pengakuan dapat diperoleh melalui kemampuan dan prestasi, sehingga terjadi peningkatan status individu. Apabila terpenuhi kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaannya, yaitu individu memperoleh hasil sebagai usaha dari pekerjaannya.
36
3) Pekerjaan itu sendiri (The work it self) Pekerjaan itu sendiri adalah bagaimana individu menentukan tujuannya
sendiri
dengan
kebutuhan-kebutuhannya
dan
keinginannya. Sehingga dapat mendorong untuk memikirkan pekerjaan, menggunakan pengalaman-pengalaman dan mencapai tujuan. Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor penting yang menentukan
pelaksanaan
pekerjaan
yang
lebih
baik
dan
bertambahnya kepuasan. 4) Tanggung jawab (Responsibility) Tanggung jawab adalah keterlibatan individu dalam usahausaha pekerjaannya dan lingkungannya, seperti ada kesempatan, ada kesanggupan dan ada penguasaan diri sendiri dalam menyelesaikan pekerjaannya. Pengertian yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, tanpa ada kesenjangan di antara sejumlah pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukkan dengan seberapa jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan. 5) Pengembangan potensi individu (Advancement) Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral sesuai dengan kebutuhan pekerjaan melalui pendidikan atau latihan. Dua pendekatan utama yaitu pengembangan ditempat kerja dan diluar kerja. Pendekatan pengembangan ditempat kerja yaitu pembinaan,
37
komite penugasan, rotasi pekerjaan. Sedangkan pendekatan pengembangan diluar tempat kerja dapat berupa kursus dalam kelas, pelatihan hubungan antar manusia, studi kasus, bermain peran, dan lain-lain. f. Faktor ekstrinsik 1) Kompensasi, gaji atau imbalan (wages salaries) Faktor yang penting untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi,
dan
kepuasan
kerja
adalah
dengan
pemberian
kompensasi. Kompensasi berdasarkan prestasi dapat meningkatkan kinerja seseorang yaitu dengan sistem pembayaran berdasarkan prestasi kerja. 2) Kondisi kerja (working condition) Yang dimaksud kondisi kerja adalah tidak terbatas hanya pada kondisi
kerja
ditempat
pekerjaan
masing-masing
seperti
kenyamanan dan lain-lain. Akan tetapi, kondisi kerja yang mendukung dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan. Betapapun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi, dan dedikasi yang tidak diragukan, serta tingkat keterampilan yang tinggi tanpa sarana dan prasarana kerja tidak dapat berbuat banyak apalgi meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja.
38
3) Kebijakasanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration) Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan atau organisasi merupakan salah satu wujud umum rencana-rencana tetap dari fungsi perencanaan (planning) dalam manajemen. Kebijaksanaan (policy)
adalah
pedoman
umum
pembuatan
keputusan.
Kebijaksanaan berfungsi untuk menandai lingkungan disekitar keputusan yang dibuat, sehingga memberikan jaminan bahwa keputusan-keputusan akan sesuai dan menyokong tercapainya arah atau tujuan. 4) Hubungan antar pribadi (interpersonal relation) Hubungan dalam organisasi banyak berkaitan dengan rentang kendali yang diperlukan organisasi karena keterbatasan yang dimiliki manusia, yang dalam hal ini adalah atasan. Hubungan antar pribadi (manusia) bukan berarti hubungan dalam fisik, namun lebih bersifat manusiawi. 5) Kualitas supervisi Supervisi adalah suatu kegiatan pembinaan, bimbingan, dan pengawasan oleh pengelola program terhadap pelaksanaan ditingkat
administrasi
yang
lebih
rendah
dalam
rangka
memantapkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan (Handoko, 1995 dalam Faridah, 2009). Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh
39
bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya. Dengan melakukan kegiatan supervisi secara sistematis maka akan
memotivasi
untuk
meningkatkan
prestasi
kerja
dan
pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik.
2.1.5. Perilaku Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009). Pembagian perilaku menurut Maulana (2009) dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus dibagi 2 yaitu: a. Perilaku tertutup (convert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert). Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap. b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk motivasi dengan tindakan nyata, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain. Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku tertutup (convert) maupun perilaku terbuka (overt), tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi orang yang bersangkutan. Perilaku merupakan keseluruhan pemahaman dan
40
aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal (Notoatmodjo, 2010).
Pengalaman, Fasilitas, Sosiobudaya
Persepsi, Pengetahuan, Keyakinan, Keinginan, Motivasi, Niat, Sikap
PERILAKU
INTERNAL
EKSTERNAL
RESPONS
Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010)
Lawrence Green (1991, dalam Notoatmodjo, 2010) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing) dalam pengetahuan, sikap kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pemungkin (Enabling) yaitu lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya atau sarana-sarana kesehatan. c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (Reinforcing) terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009). Penelitian Rogers (1974, dalam Efendi dan Makhfudli, 2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni sebagai berikut: d. Timbul
kesadaran
(awareness)
yakni
(mengetahui) stimulus terlebih dahulu.
orang
tersebut
menyadari
41
e. Ketertarikan (interest) yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus. f. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation) yakni sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi. g. Mulai mencoba (trial) yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru. h. Mengadaptasi (adoption) yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya setelah stimulus. Namun, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan proses yang berurutan. Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme, tetapi dalam memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan (Maulana, 2009). Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus/determinan menurut Maulana (2009) dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Faktor internal Merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat keperibadian, bakat bawaan, tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin. b. Faktor eksternal Meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Faktor lingkungan merupakan faktor dominan terhadap perilaku seseorang.
42
Tahapan dalam perubahan perilaku individu menurut Kemenkes RI (2010) sebagai berikut: 1. Tidak sadar. 2. Menjadi sadar. 3. Termotivasi untuk mencoba sesuatu yang baru. 4. Mengadopsi perilaku yang baru. 5. Mempertahankan dan menghayati perilaku baru sehingga menjadi bagian dari perilaku dan kebiasaan sehari-hari.
2.2.
Penelitian yang Relevan 1.
Faridah, 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya dengan kesimpulan persepsi kompensasi kurang baik (54.8%), persepsi kondisi kerja kurang baik (47.6%), persepsi kebijaksanaan kurang baik (50%), persepsi supervisi kurang baik (42.9%), persepsi pekerjaan itu sendiri kurang baik (33.3%), dan hasil persepsi motivasi kerja kurang baik (54.8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi kondisi kerja, persepsi kebijaksanaan, dan persepsi supervisi pelaksanaan program MTBS dengan motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di puskesmas kota Surabaya (p<0.05). 2.
Husni dkk. 2012. Gambaran Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) umur 2 bulan sampai 5 tahun di Puskesmas Kota Makassar dengan kesimpulan bahwa sebagian besar puskesmas di kota Makassar yang menerapkan MTBS belum memenuhi standar MTBS dari sisi input, proses, dan output.
43
Analisis univariat
mengambarkan komponen input, proses, dan output yang
sesuai dengan standar masih kurang. 3.
Sri Hastuti, 2010. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap
Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil kesimpulan bahwa ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penatalaksanaan MTBS di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil penelitian menunjukkan nilai p atau signifikansi pada variabel pengetahuan adalah 0.004, variabel sikap adalah 0.02, dan variabel motivasi adalah 0.023 dan diketahui bahwa α<0.05 menunjukkan ada hubungan bermakna antar variabel. 4.
Alhassan, Robert Kaba et al. 2013. Association Between Health Worker
Motivation and Healthcare Quality Efforts in Ghana dengan hasil bahwa situasi perawatan yang berkualitas di fasilitas kesehatan pada umumnya masih rendah, sebagian besar fasilitas tidak secara terus menerus mendokumentasikan peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Secara keseluruhan, motivasi staf masih rendah walaupun bekerja di fasilitas kesehatan swasta. Motivasi staf yang rendah berdampak pada kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan. 5.
Purwanti, Sugi. 2010. Analisis Pengaruh Karakteristik Individu, Fasilitas,
Supervisi, dan Motivasi terhadap Kinerja Petugas Pelaksana Pelayanan Program MTBS di Kabupaten Banyumas tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa responden berusia 30-40 tahun (51.5%), tingkat pendidikan responden D-III kebidanan (35.4%), status kepegawaian PNS (73.7%). Responden mempunyai pengetahuan yang kurang (56.6%), persepsi beban kerja banyak (59%), tempat pelayanan memiliki fasilitas lengkap (53.5%). Responden memiliki persepsi supervisi baik
44
(67.7%), memiliki motivasi tinggi (53.5%), kinerja petugas pemberi pelayanan MTBS yang cukup (54.5%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel persepsi beban p=0.0001, motivasi p=0.008 berhubungan dengan kinerja petugas. Analisis multivariat menunjukkan adanya pengaruh variabel persepsi beban kerja, motivasi terhadap kinerja kerja petugas.
45
2.3. Kerangka Teori Etiologi: infeksi bakteri atau virus, kemiskinan, sanitasi lingkungan yang buruk
a. Predisposing factors (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dsb). b. Enabling factors (lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan, dsb). c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku) (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010)
(WHO, 2008)
Penilaian berfokus pada: Balita Sakit
Tanda dan Gejala: -
Letargis atau tidak sadar Mata cekung Tidak bisa minum atau malas makan Turgor jelek Gelisah Rewel Haus atau banyak minum Adanya darah dalam tinja
buku Pedoman MTBS WHO (2005)
Diare
Perilaku dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Petugas Kesehatan
Melalui “indikator” (hasil perilaku) responden: a. b. c. d.
-Klasifikasi -Pengobatan -Konseling dan Tindak Lanjut (DepKes RI, 2008)
Motivasi Kinerja Kepatuhan Partisipasi masyarakat
(Notoatmodjo, 2010) Keterangan: Warna Ungu: Tidak Diteliti Warna Hitam: Diteliti
Sumber: (DepKes RI, 2008). (WHO, 2008). buku Pedoman MTBS WHO (2005). (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010). (Notoatmodjo, 2010).
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1.
Kerangka Konsep Dalam penelitian ini, variabel yang ingin diketahui yaitu pengetahuan dan
motivasi sebagai variabel bebas (independent variables) dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS Diare sebagai variabel terikat (dependent variable). Variabel pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Pada umumnya penelitian-penelitian perilaku kesehatan selama ini mencakup 3 domain perilaku, yakni pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan terhadap objek kesehatan. Namun demikian masih banyak penelitian-penelitian perilaku kesehatan diluar 3 domain tersebut, salah salah satunya adalah motivasi (Notoatmodjo, 2010). Di bawah ini dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan diteliti di puskesmas kota Cilegon.
Pengetahuan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare Motivasi Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian
46
47
3.2.
Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
1.
Pengetahuan Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare
Segala sesuatu yang diketahui, berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.
Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare
Segala sesuatu yang mendorong untuk melakukan sesuatu berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.
2.
Tabel 3.2.1 Definisi Operasional Cara Alat Ukur Ukur Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner Terdiri dari 7 item pertanyaan.
Hasil Ukur 1. Baik= jika skor total jawaban≥ median (skor ≥7) 2. Cukup= jika skor total jawaban˂ median (skor˂7)
Skala Ukur Nominal
Pemberian skor dengan skala Guttman 1. Jawaban benar= 1 2. Jawaban salah= 0 (Siregar, 2013) Kuesioner
Checklist atau daftar cek kuesioner Terdiri dari 10 item pertanyaan. Pemberian skor menggunakan skala Likert: Sangat Setuju= 4 Setuju= 3 Tidak Setuju= 2 Sangat Tidak Setuju= 1
1. Baik= jika skor total jawaban ≥ median (skor ≥ 34) 2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (skor ˂ 34)
Nominal
48
No
Variabel
Definisi Operasional
3.
Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare
Hasil pengalaman yang terwujud dalam proses interaksi dengan lingkungan berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.
Cara Ukur Kuesioner
Alat Ukur Checklist atau daftar cek kuesioner Terdiri dari 8 item pertanyaan. Pemberian skor menggunakan skala Likert: Selalu= 4 Sering= 3 Kadang-kadang= 2 Tidak pernah= 1
Hasil Ukur 1. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean (skor≥28) 2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (skor˂ 28)
Skala Ukur Nominal
49 3.3.
Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang
muncul adalah: 1. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon. 2. Ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.
BAB IV METODE PENELITIAN
Sebuah penelitian mengandung metode yang harus dilalui sebagai syarat dalam penelitian. Pada bab ini menguraikan beberapa cara pelaksanaan penelitian dengan menyajikan metode-metode yang digunakan serta teknik analisis untuk menjawab rumusan masalah penelitian. 4.1. Desain Penelitian Jenis
penelitian
ini
adalah
kuantitatif
menggunakan
pendekatan
observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional meneliti suatu kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan independen diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007). Desain cross sectional untuk mengetahui pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di Puskesmas kota Cilegon.
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Puskesmas di kota Cilegon yang terdiri dari 8
puskesmas yaitu Puskesmas Cilegon, Puskesmas Cibeber, Puskesmas Jombang, Puskesmas Ciwandan, Puskesmas Citangkil, Puskesmas Purwakarta, Puskesmas Grogol, dan Puskesmas Pulomerak. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2-12 Juni 2014.
50
51
4.3.
Populasi dan Sampel 1.
Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian adalah petugas kesehatan yang menangani MTBS di 8 Puskesmas kota Cilegon. Dari data Dinas Kesehatan kota Cilegon populasi petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat sebanyak 265 orang. Tabel 4.3.1 Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 Petugas Kesehatan Dokter Perawat Bidan Total Sumber: Dinkes kota Cilegon, 2014
2.
Total 23 119 123 265
Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Hidayat, 2007). Teknik pengambilan sampel yang digunakan secara purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki oleh peneliti (Setiadi, 2007). Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel yaitu petugas kesehatan yang sudah mengikuti pelatihan MTBS, yaitu sebanyak 51 responden di puskesmas kota Cilegon.
52
Agar sampel yang digunakan match, peneliti menentukan kriteria inklusi: a. Petugas kesehatan Pria dan Wanita yang bekerja di puskesmas kota Cilegon. b. Petugas kesehatan yang pernah mendapatkan pelatihan mengenai MTBS. c. Petugas kesehatan yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Sedangkan kriteria ekslusi sampel dari penelitian ini adalah: a. Petugas kesehatan yang sedang cuti/perjalanan dinas/sakit.
4.4.
Instrumen Penelitian Untuk memperoleh informasi dari petugas kesehatan sebagai responden,
peneliti menggunakan lembaran kuesioner dalam bentuk daftar cek atau check list. Instrumen ini terdiri dari empat bagian yaitu identitas responden, variabel pengetahuan, variabel motivasi, dan variabel perilaku. Cara pengukuran dilakukan dengan kuesioner dengan menggunakan skala Guttman untuk variable pengetahuan dan skala Likert untuk variabel motivasi dan perilaku. Pernyataan merupakan pernyataan positif. Jawaban-jawaban responden pada tiap variabel diberi nilai sebagai berikut: a. Kuesioner pada variabel bebas yaitu pengetahuan dengan pernyataan sebanyak 10 soal yang disusun oleh peneliti didasarkan pada panduan buku bagan MTBS (2010) dan Depkes RI (1999, dalam Hidayat, 2008). Penilaian dengan menggunakan skala Guttman, peneliti memberikan nilai dengan skor 1 untuk jawaban ya dan skor 0 untuk jawaban tidak.
53
b. Pernyataan pada variabel bebas yaitu motivasi dengan 10 pernyataan soal yang disusun oleh peneliti didasarkan pengembangan kuesioner Purwanti (2010) dengan judul analisis pengaruh karakteristik individu, fasilitas, supervisi, dan motivasi terhadap kinerja petugas pelaksana pelayanan program MTBS di kabupaten Banyumas tahun 2010 berdasarkan teori motivasi Maslow. Kuesioner Purwanti (2010) pada variabel motivasi didasarkan pada lima hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis pada item nomor 3 dan 4, kebutuhan rasa aman pada item nomor 1 dan 2, kebutuhan kasih sayang pada item nomor 4 dan 5 , kebutuhan penghargaan diri pada item nomor 6, dan kebutuhan aktualisasi pada item nomor 7, 8, 9, dan 10. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pada variabel motivasi jawaban sangat setuju diberi skor 4, setuju skor 3, tidak setuju skor 2, dan sangat tidak setuju skor 1. c. Pernyataan pada variabel terikat yaitu perilaku dengan 10 pernyataan soal yang disusun oleh peneliti berdasarkan buku pedoman MTBS WHO (2005) dan Depkes (1999 dalam Hidayat, 2008). Penilaian dengan menggunakan skala Likert. Untuk variabel perilaku jawaban selalu diberi skor 4, sering skor 3, kadang-kadang skor 2, dan tidak pernah skor 1. Peneliti membagi skor tersebut menjadi 2 kategori yaitu baik dan cukup. Analisis selanjutnya data variabel pengetahuan petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi: a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median. b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (Dahlan, 2013).
54
Untuk analisis selanjutnya data variabel motivasi petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi: a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median. b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (Setiadi, 2007). Dan analisis data variabel perilaku petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi: a. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean. b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (Hidayat, 2008).
4.5.
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Dua karakteristik yang harus diperhatikan dalam penelitian yaitu validitas dan
reliabilitas (Nursalam, 2009). Uji validitas dan uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan di Puskesmas kota Tangerang Selatan karena kota Tangerang Selatan berada di provinsi Banten dan telah melaksanakan MTBS. Uji ini dilakukan dengan sampel sebanyak 32 petugas kesehatan yang berada di wilayah kerja puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur. 1.
Hasil Uji Validitas Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun mampu mengukur apa yang akan diukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi antara skor tiap item pernyataan dengan skor total kuesioner dan pernyataan tersebut mempunyai korelasi yang bermakna (construct validity). Apabila kuesioner telah memiliki validitas konstruk, berarti semua item pernyataan yang ada di dalam kuesioner mengukur konsep yang akan diukur.
55
Uji ini akan dilakukan dengan teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi Product moment dengan rumus:
√ Keterangan: r= koefisien korelasi N= jumlah respondem X= skor tiap item pertanyaan Y= skor total Metode pengujian validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan korelasi pearson product moment, yaitu distribusi (t tabel) untuk α= 0.05 dan derajat kebebasan (dk= n-2) dengan ketentuan valid instrumen apabila nilai t
hitung
> nilai t
tabel
atau apabila nilai r
hitung
> nilai r
tabel
pada N= 32
dan α= 0.05 (Riduwan, 2007). Menurut Sugiyono (2010) bila korelasi tiap faktor positif dan besarnya 0.3 ke atas maka faktor tersebut merupakan konstruksi yang kuat. Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan, Motivasi, dan Perilaku Variabel Pengetahuan Motivasi Perilaku N-Valid
Nomor Item 1*, 2*, 3, 4, 5, 6, 7*, 8, 9, 10 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 1, 2, 3*, 4, 5, 6, 7*, 8, 9, 10
N-Valid 7 10 8 25
Keterangan: nomor item bertanda bintang (*) item tidak valid
Pada penelitian ini, uji instrumen dilakukan pada tanggal 21-22 Mei 2014. Uji instrumen dilakukan terhadap 32 petugas kesehatan di puskesmas Ciputat dan puskesmas Ciputat Timur. Hasil korelasi tiap item pernyataan pada variabel pengetahuan berkisar antara -0.37 sampai 3.49. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan t tabel pada signifikasi 5% dengan uji 2 sisi dan n=32, yaitu sebesar 1.70. Dari uji ini, item 1, 2, dan 7 dinyatakan tidak valid karena nilai korelasi kurang
56
dari 1.70 sehingga item tersebut tidak digunakan. Kemudian, hasil korelasi tiaptiap item pernyataan pada variabel motivasi didapat nilai berkisar 0.566 sampai 0.867. Hasil nilai menunjukkan nilai korelasi item lebih dari 0.3, maka 10 item pernyataan pada variabel motivasi dinyatakan valid. Adapun korelasi tiap-tiap item variabel perilaku didapat nilai berkisar 0.039 sampai 0.703, dari hasil ini didapat item 3 dan 7 tidak valid karena nilai kurang dari 0.3. Jadi, kesimpulannya item 1, 2, dan 7 pada variabel pengetahuan, item 3 dan 7 pada variabel perilaku dianggap tidak valid sehingga total keseluruhan item pernyataan yang digunakan dalam penelitian adalah 25 soal terdiri dari 7 pernyataan variabel pengetahuan, 10 pernyataan variabel motivasi, dan 8 pernyataan variabel perilaku. 2.
Hasil Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2010). Reliabilitas (keandalan) adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Nursalam, 2009). Kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala sosial (nonfisik) harus memiliki reliabilitas yang tinggi. Untuk itu perlu diuji coba, setelah itu akan diuji dengan tes menggunakan rumus Alpha Cronbach untuk skala Guttman, yaitu menganalisis kuesioner dari satu kali pengukuran (Ridwan, 2007). Hasil uji dinyatakan reliabel apabila nilai Alpha Cronbach > 0.6 (Hidayat, 2008). Pada penelitian ini, reliabilitas pada dimensi pengetahuan menggunakan KR-20. KR-20 adalah pengujian reliabilitas pada skala guttman dan pernyataan berjumlah ganjil. Instrumen dikatakan reliabel pada KR-20 dengan menggunakan
57
r product moment yaitu jika r
hitung
>nilai r
tabel
atau 0.349 pada N= 32 (Arikunto,
2010). Pada uji reliabel 7 pernyataan variabel pengetahuan dengan KR-20 didapat hasil 0.372, sedangkan pada variabel motivasi didapat hasil Alpha Cronbach 0.874 dan variabel perilaku dengan 10 pernyataan didapat hasil Alpha Cronbach 0.265, ketika 2 item dibuang menjadi 8 item pernyataan didapat hasil 0.627, dari hasil uji reliabilitas tersebut, maka instrumen dianggap reliabel, dapat dipercaya, dan diandalkan.
4.6.
Langkah-Langkah Pengumpulan Data 1.
Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian di Puskesmas kota Cilegon yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Cilegon setelah penguji menyetujui proposal penelitian.
2.
Setelah mendapat surat pengantar izin penelitian oleh Dinas Kota Cilegon, peneliti terlebih dahulu melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen pada 32 petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur dan Puskesmas Ciputat.
3.
Peneliti mengajukan surat rekomendasi penelitian ke badan kesbangpol provinsi Banten dan kesbanglinmas kota Cilegon.
4.
Peneliti melakukan seleksi calon responden sesuai kriteria yang telah ditentukan setelah instrumen dinyatakan valid dan reliabel.
5.
Peneliti melakukan penelitian kepada 51 petugas kesehatan sesuai dengan besar sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.
6.
Peneliti melakukan informed consent kepada petugas kesehatan sebagai responden, memberi penjelasan mengenai pengisian kuesioner.
58
7.
Responden mengisi kuesioner, peneliti melakukan proses pengambilan data dilakukan pada tanggal 2-12 Juni 2014 dan disesuaikan dengan kondisi Puskesamas di kota Cilegon.
8.
Peneliti mengelolah dan menganalisa kuesioner yang telah diisi oleh responden.
4.7.
Etika Penelitian Peneliti dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah
(scientific attitude) Dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh pada etika penelitian, meskipun penilitian dilakukan tidak merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh (Milton, 1999 dalam Notoatmodjo, 2010), yakni: a.
Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian melakukan penelitian tersebut. Peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak memberikan
informasi
(berpartisipasi).
Sebagai
ungkapan,
peneliti
mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup: 1.
Penjelasan manfaat penelitian.
2.
Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
3.
Penjelasan manfaat yang didapatkan.
4.
Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.
59
5.
Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan saja.
6.
Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh responden.
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and confidentiality) Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Oleh sebab itu, peneliti cukup menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden. c.
Keadilan
dan
inklusivitas/keterbukaan
(respect
for
justice
and
inclusiveness) Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) Penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti juga hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek.
4.8.
Pengolahan Data Pengolahan data dibagi 2 yaitu pengolahan data secara manual dan komputer
(Notoatmodjo, 2010). Pengolahaan data secara manual pada saat ini memang jarang digunakan. Namun, dalam keterbatasan-keterbatasan sarana dan prasarana atau bila data tidak terlalu besar, pengolahan data secara manual masih diperlukan.
60
Pengolahan data secara komputer yang sering digunakan. Adapun tahap-tahap pengolahan data sebagai berikut: 1.
Editing Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus
dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah kegiatan untuk pengecekan dan perbaikkan isian kuesioner yang mencakup kelengkapan data, relevan, jelas/terbaca, dan konsisten. Apabila ada jawaban yang belum lengkap, jika memungkinkan perlu dilakukan pengambilan data ulang atau jika tidak memungkinkan maka data tersebut dimasukkan dalam pengelolaan data missing. 2.
Coding Setelah semua kuesioner diedit, maka selanjutnya dilakukan pengkodean
atau coding yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Coding atau pemberian data ini sangat berguna dalam memasukkan data (data entry). 3.
Data Entry atau Processing Data yakni jawabahn-jawaban dari masing-masing responden yang dalam
bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software komputer.
Software
komputer
ini
bermacam-macam,
masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Salah satu paket program yang paling sering digunakan untuk memasukkan data penelitian adalah paket program SPSS for Window. Dalam proses ini dituntut ketelitian, apabila tidak maka akan terjadi bias, meskipun hanya memasukkan data.
61
4.
Pembersihan Data (Cleaning) Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
4.9. Analisis Data Setelah dilakukan proses pengelolaan data langkah selanjutnya adalah melakukan proses analisis data. Analisa data dilakukan untuk mengolah data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji secara statistik kebenaran hipotesis yang telah ditetapkan (Sumantri, 2011). Adapun analisis yang akan digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu: 1.
Analisis Univariat (Deskriptif) Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat ini bertujuan untuk mengetahui jumlah, mean atau rata-rata, persentase variabel penelitian (Sumantri, 2011). Pada analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dan proporsi responden berdasarkan: 1) Karakteristik petugas kesehatan yang terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan, dan lama kerja; 2) Gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare; 3) Gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare, dan 4) Gambaran perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.
62
2.
Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau berkolerasi dan hasi uji didapat adanya hubungan variabel dependen dan independen tersebut bermakna atau tidak bermakna (Notoatmodjo, 2010). Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen, yaitu hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Teknik analisis dilakukan dengan uji chi-square dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dengan α= 5%, sehingga jika P (p-value) <0.05 menunjukkan hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dan apabila nilai p value > 0.05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan. Sedangkan cara menginterpretasikan sejauh mana hubungan kedua variabel independen dan dependen digunakan bantuan program aplikasi statistik.
4.10.
Penyajian Data Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk tabulasi yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk tulisan.
BAB V HASIL PENELITIAN
Pada bab ini disajikan secara format laporan penelitian berdasarkan desain penelitian yang sudah dibuat dan dijelaskan tiap tabel atau gambaran hasil penelitian. 5.1.
Puskesmas di kota Cilegon Kota Cilegon adalah kota di provinsi Banten, Indonesia yang berada di
ujung barat laut pulau Jawa, di tepi selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota Industri atau kota Baja. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kota Cilegon terbagi atas 8 (delapan) kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 15 tahun 2002, yaitu: 1.
Kecamatan Cilegon
2.
Kecamatan Ciwandan
3.
Kecamatan Pulomerak
4.
Kecamatan Cibeber
5.
Kecamatan Grogol
6.
Kecamatan Purwakarta
7.
Kecamatan Citangkil
8.
Kecamatan Jombang Pada setiap kecamatan memiliki 1 puskesmas, puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas (UPTD) kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes RI, 2004).
63
64
Daftar puskesmas yang ada di kota Cilegon sebagai berikut: 1.
Puskesmas Cilegon Jalan Pesut Kav. Blok C Cilegon kecamatan Cilegon kota Cilegon Banten.
2.
Kecamatan Ciwandan Jalan Sunan Gunung Jati No. 2 kecamatan Ciwandan kota Cilegon Banten.
3.
Kecamatan Pulomerak Jalan Puskesmas Pulo Merak No. 3 kecamatan Pulo Merak kota Cilegon Banten.
4.
Kecamatan Cibeber PCI blok D kelurahan Cibeber kecamatan Cibeber kota Cilegon Banten.
5.
Kecamatan Grogol Kp. Cidangdang Ds. Rawa Arum kecamatan Grogol kota Cilegon Banten.
6.
Kecamatan Purwakarta Jalan Pasar Baru Kubang Welingi Kecamatan Purwakarta kota Cilegon Banten.
7.
Kecamatan Citangkil Jalan K.H Agus Salim kelurahan Kebonsari Kecamatan Citangkil kota Cilegon Banten.
8.
Kecamatan Jombang Jalan Kranggot kelurahan Jombang kecamatan Jombang kota Cilegon Banten.
5.2.
Hasil Preeliminary Analysis Sebelum dilakukan analisis univariat maupun bivariat, kenormalan data
terlebih dahulu diuji. Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah data
65
berdistribusi normal atau tidak. Jika nilai Kolmogorov Smirnov ˂0.05 maka diasumsikan data diasumsikan tidak berdistribusi normal, begitu sebaliknya (Dahlan, 2013). Berikut ini adalah hasil uji normalitas pada masing-masing data penelitian: Tabel 5.2.1 Hasil Uji Normalitas Data Variabel Jenis Kelamin Usia Pendidikan Lama Kerja Pengetahuan Motivasi Perilaku
Kolmogorov Smirnov (KS) 0.000 0.010 0.000 0.000 0.000 0.043 0.075
Distribusi Data Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Normal
Sumber: Data Primer 2014 Data tabel 5.2.1 diatas variabel perilaku berdistribusi normal, sedangkan variabel jenis kelamin, usia, pendidikan, lama kerja, pengetahuan, dan motivasi berdistribusi tidak normal (Kolmogorov Smirnov <0.05), sehingga analisis selanjutnya menggunakan uji statistik non parametrik. Pada penelitian ini, variabel yang dihubungkan adalah variabel pengetahuan (dependen) dengan perilaku (independen) dan motivasi (dependen) dengan perilaku (independen). Skala yang digunakan adalah kategorik dengan jenis tabel 2x2, sehingga uji non parametrik yang digunakan untuk analisis bivariat adalah Uji Chi-Square.
5.3. Hasil Analisa Univariat 1. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin Pada penelitian ini, karakteristik petugas kesehatan yang dianalisa adalah sebagai berikut:
66
a. Jenis Kelamin Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori jenis kelamin digambarkan pada tabel 5.3.1 berikut: Tabel 5.3.1 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Jenis Kelamin di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 1 50 51
Presentase (%) 2.0% 98.0% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Tabel 5.2.1 menunjukkan hasil bahwa sebagai besar petugas kesehatan berjenis kelamin perempuan, yakni sebesar 98.0%, sedangkan petugas kesehatan laki-laki hanya sebesar 2.0%. b. Usia Rata-rata usia petugas kesehatan 35 tahun dengan usia termuda 25 tahun dan tertua 52 tahun dengan standar deviasi 0.633. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.3.2 berikut: Tabel 5.3.2 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Usia di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Usia (tahun) 17-27 28-38 39-49 50-60 Total
Frekuensi 5 36 8 2 51
Persentase 9.8% 70.6% 15.7% 3.9% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Berdasarkan tabel 5.2.2 didapat bahwa sebagian besar responden berada pada rentang usia 28-38 tahun, yaitu sebesar 70.6%.
67
c. Pendidikan Sebagian besar petugas kesehatan yang menjadi responden berlatar belakang pendidikan Diploma 3 (D-III) keperawatan dan kebidanan sebesar 68.6%. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3.3 berikut: Tabel 5.3.3 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Pendidikan di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Pendidikan SPK D-III D-IV S1 S2 Total
Frekuensi 3 35 2 9 2 51
Persentase 5.9% 68.6% 3.9% 17.6% 3.9% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Pada tabel diketahui bahwa latar belakang pendidikan petugas kesehatan terdiri dari Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK), Diploma 3 (D-III), Diploma 4 (D-IV), Strata 1 (S1), dan Strata II (S2). d. Lama Kerja Peneliti membagi petugas kesehatan berdasarkan lama kerja pada tabel 5.3.4 berikut: Tabel 5.3.4 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Lama Kerja di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Lama Kerja ˂ 5 tahun 5 tahun ˃ 5 tahun Total
Frekuensi 10 13 28 51
Persentase 19.6% 25.5% 54.9% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Rata-rata petugas kesehatan sudah lama kerja berkisar >5 tahun sebanyak 28 petugas kesehatan dengan persentase 54.9%
68
2. Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.3.5 berikut ini: Tabel 5.3.5 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Pengetahuan di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Pengetahuan Baik Cukup Total
Frekuensi 32 19 51
Persentase 62.7% 37.3% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Dari seluruh petugas kesehatan memiliki pengetahuan baik sebanyak 32 responden (62.7%), 19 responden berpengetahuan cukup (37.3%). Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pengetahuan petugas kesehatan baik, yaitu 62.7%. 3. Gambaran Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori motivasi dapat dilihat pada tabel 5.3.6 berikut ini: Tabel 5.3.6 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Motivasi di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Motivasi Baik Cukup Total
Frekuensi 27 24 51
Persentase 52.9% 47.1% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Dari tabel diatas didapat bahwa motivasi petugas kesehatan baik sebanyak 27 responden dengan persentase sebesar 52.9% dan cukup 24 responden dengan persentase 47.1%.
69
4. Gambaran Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Pengelompokkan petugas kesehatan berdasarkan kategori perilaku dapat dilihat pada tabel 5.3.7 berikut ini: Tabel 5.3.7 Distribusi Frekuensi Petugas Kesehatan menurut Perilaku di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Perilaku Baik Cukup Total
Frekuensi 28 23 51
Persentase 54.9% 45.1% 100.0%
Sumber: Data Primer 2014 Dari tabel diatas didapat bahwa perilaku petugas kesehatan baik sebanyak 28 responden dengan persentase 54.9% dan cukup sebanyak 23 responden dengan persentase 45.1%.
5.4.
Hasil Analisa Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk menganalisis data dari dua variabel yang
berbeda. Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Teknik analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.
70
1. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Tabel 5.4.1 Hasil analisis Chi-Square Pengetahuan dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Perilaku Pengetahuan
Baik n 17 11 28
Baik Cukup Total
Total
Cukup
% 33.3% 21.6% 54.9%
N 15 8 23
% 29.4% 15.7% 45.1%
n 32 19 51%
% 62.7% 37.3% 100.0%
p-value
0.968
Sumber: Data Primer 2014 Dari tabel 5.4.1 didapat persentase pengetahuan dengan perilaku baik sebesar 33.3%, pengetahuan baik dengan perilaku cukup sebesar 29.4%, perilaku baik dengan pengetahuan cukup sebesar 21.6%, dan pengetahuan dengan perilaku cukup sebesar 15.7%. Uji statistika didapat p-value= 0.968, hasil dikatakan bermakna apabila nilai significancy p< 0.05. Hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di puskesmas kota Cilegon.. 2. Hubungan
Motivasi
dengan
Perilaku
Petugas
kesehatan
dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Chi-Square Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon Juni 2014 (n=51) Perilaku Motivasi Baik Cukup Total
Baik n 19 9 28
% 37.3% 17.6% 54.9%
Sumber: Data Primer 2014
Total
Cukup N 8 15 23
% 15.7% 29.4% 45.1%
n 27 24 51%
% 52.9% 47.1% 100.0%
p-value
0.038
71
Dari tabel 5.4.2 didapat persentase motivasi dengan perilaku baik didapatkan hasil sebesar 37.3%, motivasi baik dengan perilaku cukup sebesar 15.7%, perilaku baik dengan motivasi cukup sebesar 17.6%, dan persentase motivasi dengan perilaku cukup sebesar 29.4%. uji statistika didapatkan nilai pvalue= 0.038. Hasil dikatakan bermakna apabila nilai significancy p<0.05. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di puskesmas kota Cilegon..
BAB VI PEMBAHASAN
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang karakteristik petugas kesehatan, hubungan pengetahuan dengan perilaku penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon, dan hubungan motivasi petugas kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Pada akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan dari penelitian. 6.1. Analisa Univariat 1.
Gambaran Karakteristik Petugas Kesehatan di Puskesmas di kota Cilegon a.
Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk
menentukan indikator atau ukuran dari perilaku. Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2010) mengatakan bahwa jenis kelamin merupakan predisposing factor terjadinya perubahan perilaku seseorang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua petugas kesehatan berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 98.0%, sedangkan petugas kesehatan laki-laki hanya sebesar 2.0%. Data ini menunjukkan adanya perbedaan proporsi yang signifikan antara petugas kesehatan perempuan dan laki-laki, maka pada penelitian menggambarkan lebih banyak minat perempuan yang bekerja di puskesmas daripada laki-laki. Perbedaan jenis kelamin tidak muncul dalam perilaku
72
73
yang berorientasi terhadap tugas, orang, efektivitas dari manajer aktual, dan respons bawahan terhadap aktual (Ivancevich, Robert, dan Michael, 2006). Meskipun demikian, pelayanan kesehatan yang diberikan harus mampu menghadirkan pelayanan yang memuaskan bagi pasien (Notoatmodjo, 2010). b.
Usia Usia merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2010). Usia secara positif mempengaruhi kepuasan kerja, pekerjaan yang lebih berarti, dan keterampilan yang lebih baik (Ivancevich, Robert, dan Michael, 2006). Siagian (2002) mengatakan bahwa semakin meningkatnya usia seseorang maka kedewasaan teknis dan psikologi semakin bijaksana, mampu berfikir secara rasional, mengendalikan emosi, dan toleran terhadap pendapat orang lain. Dari hasil penelitian didapat rata-rata usia petugas kesehatan 35 tahun dengan usia termuda 25 tahun dan tertua 52 tahun dengan standar deviasi 0.633. Dasar penghitungan usia angkatan kerja menurut Badan Pusat Statistika (2011) mengatakan bahwa usia 15-64 tahun merupakan usia produktif bagi warga negara Indonesia. Perbedaan usia perlu diperhatikan, karena pekerjaan yang dengan usia tua cenderung lebih stabil dan matang, mempunyai pandangan yang seimbang sehingga tidak mudah mengalami tekanan mental atau ketidakberdayaan dalam pekerjaan (Masloch, 1982 dalam Nasir, 2008). Sehingga diharapkan petugas kesehatan yang memiliki usia yang lebih tua mampu memberikan contoh yang baik bagi yang lebih muda karena dianggap lebih berpengalaman.
74
c.
Pendidikan Notoatmodjo
(2010)
menyatakan
bahwa
tingkat
pendidikan
mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti kesehatan baik pada diri sendiri maupun lingkungannya yang dapat mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan, termasuk penatalakanaan MTBS diare. Sebagian besar petugas kesehatan berlatar belakang pendidikan D-III sebesar 68.6%, S1 (17.6%), SPK (5.9%), D-IV (3.9%), dan S2 (3.9%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi terkait latar belakang pendidikan petugas kesehatan yang menangani MTBS diare. Dari data didapat petugas kesehatan yang berlatar pendidikan tinggi sudah cukup banyak, diharapkan dengan latar belakang pendidikan yang baik agar dapat menjadi agent of change, social control, dan supervisor sehingga mampu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, semua petugas kesehatan baik berlatar pendidikan SPK sampai jenjang S2 mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh informasi terkait penatalaksanaan MTBS, khususnya diare baik melalui pendidikan formal maupun non formal sehingga mampu menghasilkan perubahan atau meningkatkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). d.
Lama Kerja Robbins et. al (2008) menyatakan bahwa perilaku di masa lalu adalah
dasar perkiraan paling baik dari perilaku di masa depan, hal ini terkait dengan lama atau konsisten seseorang terhadap pekerjaannya. Dari hasil pengumpulan data didapat bahwa rata-rata petugas kesehatan sudah bekerja lebih dari 5 tahun (54.9%), 5 tahun (25.5%), dan kurang dari 5 tahun
75
(19.6%). Dari hasil tersebut diharapkan petugas kesehatan sudah mampu memberikan
yang
positif
terhadap
peningkatan
pengetahuan
dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan khususnya penatalaksanaan MTBS diare. Seniati (2006) menunjukkan adanya pengaruh lama kerja terhadap komitmen, dimana semakin lama masa kerja maka akan memiliki komitmen yang lebih tinggi. Semakin lama seseorang bekerja dalam satu organisasi maka semakin tinggi pula kepuasannya terhadap pekerjaan, hal ini diperoleh antara lain karena adanya kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang diterima (Spector, 1997 dalam Seniati, 2006). Diharapkan petugas kesehatan mampu menjadi role model yang baik dan memiliki loyalitas yang tinggi dalam bekerja. 2.
Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas di kota Cilegon MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia,
yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Hastuti (2010) MTBS merupakan suatu pendekatan terpadu untuk kesehatan anak yang berfokus pada kesejahteraan anak secara menyeluruh. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010). Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.
76
Hasil penelitian ini didapatkan petugas kesehatan memiliki pengetahuan baik sebesar 62.7% dan cukup sebesar 37.3%. Namun, penelitian Hastuti (2010) dalam Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali didapat pengetahuan petugas kesehatan dalam kategori baik sebanyak 11 petugas kesehatan (18%), pengetahuan merupakan dasar untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare sudah baik, pengetahuan ditekankan pada pemahaman bahwa metode MTBS merupakan penatalaksanaan yang terintegrasi dengan program lain dan dapat mempunyai lebih dari satu masalah penyakit (Hastuti, 2010). Pengetahuan yang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: pendidikan, masa kerja, pengalaman, minat, dan sumber informasi (Notoatmodjo, 2010). Dari segi pendidikan, sebagian besar petugas kesehatan berlatar pendidikan D-III kebidanan dan keperawatan dan sudah mendapatkan pelatihan terkait MTBS. Dari segi pengalaman kerja, sebagian besar petugas kesehatan sudah bekerja lebih dari 5 tahun (54.9%). Dan usia petugas kesehatan dalam rentang usia produktif dimana sebagian besar petugas kesehatan berumur antara 28-38 tahun (70.6%). Pengalaman yang akan melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif sehingga semakin banyak pengalaman maka pengetahuan akan semakin baik. Hal ini berarti semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang materi MTBS akan semakin mudah dalam menerapkan MTBS sesuai standar, khususnya pada penanganan kasus diare.
77
3.
Gambaran Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja
seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011). Hal ini juga dapat dilihat dari data bahwa motivasi petugas kesehatan dalam melaksanakan MTBS diare baik (52.9%) dan cukup (47.1%). Faridah (2009) dalam penelitiannya mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya didapat hasil motivasi kerja kurang baik sebesar 54.8% daripada yang baik sebesar 45.2%, motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Berdasarkan data tersebut dapat dianalisa bahwa petugas kesehatan mempunyai
motivasi
baik
dalam
meningkatkan
kinerjanya
terhadap
penatalaksanaan MTBS diare. Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Faktorfaktor yang mempengaruhi motivasi dapat menjadi rintangan dalam mendapatkan perilaku yang diinginkan, faktor tersebut yaitu 1) atribut pribadi, yang terdiri dari komponen fisik, perkembangan, dan psikologis individu; 2) pengaruh lingkungan dan interaksi sosial (Bastable, 2002). Dengan demikian, tanggung jawab petugas
78
kesehatan terhadap peningkatan kesehatan dan penurunan angka kejadian diare diharapkan dapat tercapai. 4.
Gambaran Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009). Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented), dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda sehingga perilakunya berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya perilaku dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: 1) penyebab dalam diri; 2) lingkungan; dan 3) interaksi keduanya (Barata, 2003). Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa perilaku petugas kesehatan baik sebesar 54.9% dan cukup sebesar 45.1%. Data penelitian menunjukkan variabel pengetahuan petugas kesehatan baik sebesar 62.7% dan cukup sebesar 37.3%, serta motivasi petugas kesehatan baik dengan persentase sebesar 52.9% dan sedang sebesar 47.1%. Pengetahuan dan Motivasi sebagai faktor internal mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009).
79
6.2. Analisa Bivariat 1.
Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku dalam Penatalaksanaan
MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel yang diuji, yaitu pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare p= 0.968. Pengetahuan merupakan dasar untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Data hasil penelitian berdasarkan pendidikan didapat bahwa sebagian besar petugas kesehatan berlatar belakang pendidikan D-III (68.6%). Akan tetapi, semua petugas kesehatan baik berlatar pendidikan SPK sampai jenjang S2 mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh informasi terkait penatalaksanaan MTBS, khususnya diare baik melalui pendidikan formal maupun non formal sehingga mampu menghasilkan perubahan atau meningkatkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Hastuti (2010) mengatakan bahwa dalam metode MTBS pengetahuan ditekankan pada pemahaman dalam penatalaksanaan kasus yang terintegrasi dan dapat mempunyai lebih dari satu masalah penyakit atau klasifikasi. Jika kelangsungan hidup anak harus ditingkatkan, kinerja petugas kesehatan yang terlatih menangani MTBS harus diidentifikasi dan dipahami, dari hasil didapat bahwa pengetahuan petugas kesehatan sudah baik (62.7%), akan tetapi tidak diimbangi perilaku petugas kesehatan (54.9%) walaupun masih dalam kategori baik. Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja, akan
80
tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang. Adanya variasi pengetahuan menunjukkan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: tingkat pendidikan, informasi, budaya pengalaman, dan sosial ekonomi. Petugas kesehatan menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan, sehingga jika pedoman baru sudah dipahami tidak mengganti petugas yang sudah dilatih, tetapi dapat memodifikasi untuk memasukkan aspek yang baru. Dengan adanya pengawasan dapat meningkatkan kinerja petugas kesehatan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan praktik yang ada. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana keterampilan dan pengalaman petugas kesehatan yang sudah terlatih dalam menerapkan MTBS dan mentransfer ke dalam perilaku penatalaksanaan MTBS, khususnya pada kasus diare. Pengetahuan juga tidak harus diperoleh dari pendidikan formal, dengan adanya kursus, seminar, membaca buku, menambah pengalaman dengan memperluas pergaulan dapat meningkatkan pengetahuan (Widoatmodjo, 2008). 2.
Hubungan Motivasi dengan Perilaku Petugas kesehatan dalam
Penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas kota Cilegon Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara variabel yang diuji,
yaitu
motivasi
dengan
perilaku
petugas
kesehatan
dalam
penatalaksanaan MTBS diare p=0.038. Menurut Maslow (1943) setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi (Misbach, 2010).
81
Redman (1993, dalam Bastable, 2002) memandang pengkajian motivasi sebagai bagian dari pengkajian kesehatan umum dan menyatakan bahwa pengkajian ini mencakup bidang-bidang seperti tingkat pengetahuan, keterampilan klien, kapasitas pembuatan keputusan pada individu, dan skrining pada populasi sasaran untuk program pendidikan. Drucker dalam Swansburg (2000) mengatakan bahwa pegawai berpendidikan akan produktif hanya dengan motivasi diri sendiri, diarahkan sendiri dalam pencapaiannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petugas kesehatan berlatar belakang pendidikan diploma 3 (D-III) sebesar 68.6%. Latar belakang pendidikan merupakan bentuk pemenuhan aktualisasi diri (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan lama kerja didapatkan sebanyak 28 petugas kesehatan sudah bekerja selama lebih dari 5 tahun dengan persentase sebesar 54.9%, akan tetapi dalam mewujudkan kebutuahn akan penghargaan seseorang tidak didasrkan pada lama kerjanya, kebutuhan penghargaan menurut Maslow harus dibuktikan dari kemampuan atau prestasi yang dicapai seseorang (Notoatmodjo, 2010). Penelitian Faridah (2009) mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, dimana persepsi kondisi kerja dengan motivasi kerja petugas memiliki hubungan, responden dengan persepsi kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS baik akan cenderung mempunyai motivasi kerja baik. Sejalan penelitian Hastuti (2010) mengenai Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas
82
Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali didapatkan bahwa motivasi petugas kesehatan dalam menerapkan MTBS masih rendah dimana kurang dari 50%, hal ini terkait kurangnya reward dan supervisi secara berkala oleh dinas kesehatan. Akibatnya interaksi supervisor dengan petugas kurang optimal, masalah-masalah yang ditemukan menjadi minim, umpan balik menjadi tidak tepat. Akan tetapi, berdasarkan penelitian didapat bahwa petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon mempunyai motivasi yang baik dalam meningkatkan perilaku dan standar dalam melaksanakan MTBS. Hal ini terkait tanggung jawab dan usaha dalam melaksanakan MTBS, khususnya penanganan diare sesuai standar. Kondisi kerja yang mendukung dapat mempengaruhi dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan (Hamzah, 2008). Hal ini dapat dilihat di puskesmas kota Cilegon yang sebagian besar sudah memiliki ruang MTBS dan petugas kesehatan sudah terlatih dengan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan. Terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi berdasarkan pandangan beberapa konsep motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi, dan kebutuhan (Hamzah, 2008). Betapa pun positifnya perilaku individu seperti tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi, dan dedikasi yang tidak diragukan serta tingkat keterampilan yang tinggi tanpa sarana dan prasarana kerja tidak akan dapat berbuat banyak apalagi meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan produktivitas kerjanya (Muchlas, 1999 dalam Faridah, 2009).
83
Efektivitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran (Etzioni, 1964 dalam Simamora, 2009). Simamora (2009) mengatakan efektivitas ini merupakan suatu konsep lebih luas yang mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar diri seseorang. Dengan demikian, efektivitas tidak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas, tetapi dilihat dari persepsi atau sikap individu.
6.3. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini. Keterbatasan penelitian antara lain sebagai berikut: 1. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan peneliti. Belum ada instrumen pengumpulan data yang baku dalam penelitian ini. Maka perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kembali bila akan digunakan pada wilayah yang berbeda. 2. Pada saat pengisian kuesioner, ada kemungkinan petugas kesehatan kurang memahami maksud dari pernyataan yang diajukan dan adanya kecenderungan untuk memilih alternatif jawaban terbaik yang mungkin tidak sesuai dengan pelaksanaan sehari-hari. Karena tidak semua pengisian kuesioner didampingi peneliti, agar tidak mengganggu waktu kerja. 3. Adanya kemungkinan bias pada hasil penelitian dimana perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare bisa jadi tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan dan motivasi, melainkan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti: pengalaman, sikap, kepercayaan, nilainilai, budaya, maupun fasilitas penunjang yang tersedia.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu: persentase jenis kelamin perempuan dan laki-laki masing-masing sebesar 98.0% dan 2.0%, usia berkisar antara 28-38 tahun dengan persentase 70.6%, persentase pendidikan sebanyak 35 orang dengan latar belakang pendidikan D-III (60.6%), dan lama kerja berkisar >5 tahun (54.9%). 2. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 32 orang dengan persentase 62.7%. Tingkat pengetahuan petugas kesehatan sebagai responden dapat dijadikan dasar dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas. Hal ini terjadi karena pengetahuan merupakan bekal yang esensial dalam pembentukkan perilaku. 3. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki motivasi yang baik yaitu sebanyak 27 responden dengan persentase sebesar 52.9%. Motivasi merupakan indikator atau hasil ukur dalam pembentukkan perilaku. 4. Sebagian besar petugas kesehatan memiliki perilaku yang baik sebesar 54.9% dan cukup sebesar 45.1%. Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam
84
85
pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009). 5. Hasil uji statistika menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare (p= 0.968). 6. Hasil uji statistika menunjukkan ada hubungan antara variabel motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare (p= 0.038). Dengan motivasi yang baik, diharapkan mampu memberikan kontribusi pada tingkat komitmen. Sehingga, penatalaksanaan MTBS diare dapat berjalan sesuai standar dan petugas kesehatan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna.
7.2. Saran 1. Bagi Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk pembuatan karya ilmiah dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi Puskesmas di kota Cilegon a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare. Diadakannya observasi secara langsung selama proses pelayanan, dan memfasilitasi feed back dari petugas kesehatan.
86
b. Diadakannya supervisi atau pengawasan untuk mengetahui sejauh mana kinerja petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare. c. Diadakannya reward maupun punishment untuk meningkatkan pelayanan MTBS agar lebih baik lagi, sehingga walaupun program MTBS bukan merupakan program unggulan puskesmas akan tetapi mampu memberikan peningkatan terhadap penurunan insiden angka kejadian kematian pada balita, khususnya diare. d. Adanya penyegaran dengan mengadakan refresing perkembangan terbaru antar petugas kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan ataupun sosialisasi. e. Pendistribusian sarana yang berkesinambungan agar terjamin ketersediaan formulir MTBS di pelayanan kesehatan dan kelengkapan fasilitas pendukung dalam pelayanan MTBS diare. 3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perilaku seperti sikap, praktik, kepercayaan. b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengobservasi langsung dan secara menyeluruh mengenai penatalaksanaan MTBS, serta meneliti tidak hanya terkait penatalaksanaan MTBS diare, melainkan kasus lain yang dapat diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, Wiku. (2007). Makara Kesehatan Vol. II; Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. journal.ui.ac.id/health/article/viewFile/212/208. Depok: Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: RINEKA CIPTA Barata, Atep Adya. (2003). Persiapan Membangun Budaya Pelayanan Prima untuk Meningkatkan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan. Bastable, Susan B. (2002). Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran. Jakarta: EGC Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth; alih bahasa, Yasmin Asih; editor, Monica Ester. Jakarta: EGC Budiarto, Eko. (2003). Metodologi Penelitian Kedokteron. Jakarta: EGC Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2013). Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskripsi, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS Edisi. Jakarta: SALEMBA MEDIKA Depkes RI. (2004). Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta Depkes RI. (2005). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Modul 1 – 7, Edisi 2 Dirjen Kesehatan RI. Jakarta: Depkes RI. (2010). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Depkes.
(2014). Internet. Laporan Puskesmas. http://www.siknasonline.depkes.go.id/laporan_puskesmas_detail.php?k d_propinsi=36&tahun=2014 diakses tanggal 27 April 2014 pukul 3.57 WIB
Destri, Magdarina. (2010). Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia Tahun 2000-2007 Efendi, Nursalam Ferry. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
E-jurnal.
(2013). Internet. Pengertian Diare. http://www.ejurnal.com/2013/04/pengertian-diare.html diakses tanggal 27 April 2014 pukul 2.57 WIB
Faridah. (2009). Tesis. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya. Diakses eprints.undip.ac.id/17297/pdf tanggal 02 Maret 2014 Hamzah, H. (2008). Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di bidang pendidikan. Jakarta: BT Bumi Aksara Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. (2010). Statistika Kesehatan. Jakarta: RAJAWALI PERS Hastuti, Sri. (2010). Thesis. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali. Diakses tanggal 02 Maret 2014 Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika . (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika . (2008). Metode Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Horwood, Chriztiane et al. (2009). Research Article; Experiences of Training and Implementation of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) in South Africa: a Qualitative Evaluation of The IMCI Case Management Training Course. BioMed Central Ltd. Husni., Dian Sidik A., dan Jumriani Ansar. (2012). Gambaran Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) umur 2 bulan sampai 5 tahun di Puskesmas Kota Makassar. Email
[email protected]/085241688861 Diakses tanggal 08 Maret 2014 Ivancevich, John M., Robert Konopaske., Michael T. Matteson. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Kemenkes RI. (2010). Penuntun Hidup Sehat. Jakarta: UNICEF Indonesia Kementerian Kesehatan RI. (2011). Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Situasi Diare di Indonesia Tahun 2000-2007. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pusat Data dan Informasi; Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kesehatan Anak. (2011). Artkel. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Diakses di http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/artikel/manajemen-terpadubalita-sakit-mtbs-atau-integrated-management-of-childhood-illnessimci pada tanggal 27 April 2014 pukul 2.02 WIB Magdarina, Destri. (2011). Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia Tahun 2000-2007.Jakarta: Maulana, Heri D.J. (2009). Promosi Kesehatan; ed, Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC Misbach, Ifa H. (2010). Dahsyat sidik jari: Menguak bakat & Potensi untuk Merancang Masa Depan melalui Fingerprint Analysis. Jakarta: Visimedia Moelyo, Annang Giri., Widardo., Galih Herlambang., Tim Revisi. (2013). Keterampilan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Modul Field Lab Ed. Revisi II. Universitas Sebelas Maret Nelson, (1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol. 2 editor edisi Indonesia: A. SKRSamik Wahab-Ed. 15. Jakarta: EGC Nguyen, Duyen Thi Kim et al. (2013). Does Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Training Improve the Skills of Health Workers? A Systematic Review and Meta-Analysis.Iran: Plos ONE. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta . Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Noverica,S.2011.(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23310/4/Chapter%20 II.pdf) diunduh 10/03/2014 pukul 17.00 WIB Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika . (2011). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika
dalam
Praktik
Priyanto, Agus., dan Sri Lestari. (2008). Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika Purwanti, Sugi. (2010). Analisis Pengaruh Karakteristik Individu, Fasilitas, Supervisi, dan Motivasi terhadap Kinerja Petugas Pelaksana
Pelayanan Program MTBS di Kabupaten Banyumas tahun 2010. Purwokerto. Email:
[email protected] Riduwan. (2007). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: ALFABETA Sarwono, Jonathan. (2010). Pintar Menulis Karya Ilmiah-Kunci Sukses dalam Menulis Ilmiah. Yogyakarta: ANDI Seniati, Liche. (2006). Makara. Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadian, Kepuasan Kerja, dan Iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada UI. Email:
[email protected]. Diakses tanggal 20 Juni 2014 Pukul 13.15 WIB Siagian, Sondang P. (2004). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta Simamora, Roymond H. (2009). Buku Ajar dalam Keperawatan. Jakarta: EGC Siregar, Syofian. (2013). Statistika Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif: dilengkapi dengan Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS versi 17. Jakarta: BUMI AKSARA Siswanto, Susila, dan Suyanto. (2013). Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu Setiadi, (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sumantri, Arif. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Sunaryo, (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Sutikno.
(2012). Direktorat Bina Kesja dan OR. http://gizikia.depkes.go.id/jejaring/guess/topik/49 diakses 27/6/2014 pukul 1.11
Swansburg. (2000). Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC Terry, Allison J. (2013). The LPN-to-RN Bridge: Transitions toAdvance Your Career. USA WHO, (2005). Handbook: IMCI Integrated Management of Childhood Illness. Geneva, Switzerland: World Health Organization. Diakses tanggal 27 April 2014 pukul 1.54 WIB di situs: http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/9241546441.pdf
WHO, (2008). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak; alih bahasa, Apriningsih; editor edisi bahasa Indonesia, Erita Agustin Hardiyanti. Jakarta: EGC Widoatmodjo, Sawidji. (2008). Professional Investing. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Wilson, Shelby E et al. (2012). Caregiver Recognition of Childhood Diarrhea, Care Seeking Behaviors and Home Treatment Practices in Rural Burkina Faso: a Cross-Sectional Survey. Pakistan: PLoS ONE. UNICEF. The State of The Worlds Children 2008: Child Survival 2007. http://www.unicef.org/sowc08/report/report.php. New York: UNICEF UNICEF Indonesia. (2013). Internet. Sekitar 35 Juta Balita Masih Beresiko jika Target Angka Kematian Anak Tidak Tercapai. http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21393.html diunduh 15 Februari 2014 pukul 07.01 WIB Wijaya, Awi Muliadi. (2006). Artikel. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). http://infodokterku.com/component/content/article/19-infokesehatan/helath-programs/37-manajemen-terpadu-balita-sakit-mtbs diunduh 27 April 2014 pukul 4.06 WIB . (2012). Artikel. Data (Angka) Diare di Indonesia. http://www.infodokterku.com/component/content/article/25-data/datakesehatan/201-data-angka-diare-di-indonesia diunduh tanggal 09/03/2014 pukul 21.12 WIB
Lampiran 2 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN (Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul skripsi “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon”. Saya memahami dan menyadari bahwa penelitian ini tidak akan merugikan bagi saya, oleh karena itu saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Ciputat, Mei 2014 Responden,
Lampiran 3 KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DALAM PENATALAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DI PUSKESMAS KOTA CILEGON
1. Identitas Responden Petunjuk Pengisian: Isilah jawaban Anda pada titik-titik di bawah ini dan berilah tanda check list (√) pada pernyataan yang sesuai.
No Responden:
Kode:
a. Nama
: ....................................
b. Tempat/Tanggal Lahir
: ....................................
c. Jenis kelamin
:
Laki-laki
Perempuan
d. Pendidikan
:
D3
S1
lainnya ...
e. Profesi
: ...................................
f. Status Kepegawaian
:
PNS
Non PNS
lainnya ...
g. Masa Kerja
:
≤ 5 tahun
5 tahun
lainnya ...
h. Mengikuti pelatihan MTBS? (Ya/Tidak) berapa kali? ...
2. Variabel Pengetahuan
No
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut: YA : Apabila menurut Anda pernyataan benar TIDAK : Apabila menurut Anda pernyataan tidak benar Pernyataan Jawaban YA
1.
TIDAK
Klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi 3 kelompok yaitu dehidrasi, diare persisten, dan disentri.
2.
Menurut WHO tahun 2008 penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus.
3.
Penentuan tindakan dan pengobatan diare dilakukan setelah mengklasifikasikan penyakit berdasarkan kelompok gejala yang ada.
4.
Pemberian ASI tetap dianjurkan pada anak dengan diare.
5.
Penentuan tindakan pengobatan pada anak dengan dehidrasi ringan atau sedang yaitu dengan pemberian oralit dalam 3 jam pertama.
6.
Dehidrasi berat pada anak ditandai dengan letargis, mata cekung, dan turgor yang buruk sekali.
7.
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut sampai 14 hari atau lebih.
3. Variabel Motivasi
No
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut: SS : Apabila Anda sangat setuju dengan pernyataan tersebut S : Apabila Anda setuju dengan pernyataan tersebut TS : Apabila Anda tidak setuju dengan pernyataan tersebut STS : Apabila Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut Pernyataan Pilihan Jawaban SS
1.
Saya berusaha melakukan pelayanan MTBS sebaik-baiknya karena ini sangat penting untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.
2.
Saya
berusaha
melakukan
pelayanan
MTBS
dengan
baik
untuk
meningkatkan keprofesionalan saya dalam bekerja. 3.
Saya berusaha mencari tahu mengenai MTBS untuk meningkatkan kemampuan saya dalam pelayanan MTBS.
4.
Saya berusaha untuk meningkatkan pengetahuan saya tentang MTBS dan memotivasi rekan kerja untuk melaksanakan MTBS sesuai standar.
5.
Pelayanan MTBS yang diberikan akan berhasil baik dengan dukungan dari team work.
S
TS
STS
6.
Saya akan mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan, melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi bila memberikan pelayanan MTBS dengan baik.
7.
Saya berusaha agar tugas yang menjadi tanggung jawab sebagai petugas kesehatan saya selesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai pelayanan MTBS.
8.
Saya ingin meningkatkan kemampuan saya dalam pelayanan MTBS.
9.
Saya berusaha untuk menyelesaikan tugas MTBS tepat pada waktunya.
10.
Saya merasa mendapat tantangan untuk memberikan pelayanan MTBS sesuai dengan standar.
4. Variabel Perilaku
No
Petunjuk Pengisian: Berilah tanda check list (√) pada kolom pernyataan dengan ketentuan sebagai berikut: SL : Apabila Anda selalu dengan pernyataan tersebut SR : Apabila Anda sering dengan pernyataan tersebut KD : Apabila Anda kadang-kadang dengan pernyataan tersebut TP : Apabila Anda tidak pernah dengan pernyataan tersebut Pernyataan Pilihan Jawaban SL
1.
Saya menggunakan formulir MTBS untuk menilai/memeriksa anak.
2.
Saya melaksanakan pelayanan MTBS sesuai dengan standar yang ditentukan pemerintah.
3.
Saya mengklasifikasikan penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna.
4.
Saya menginformasikan petunjuk pemberian obat, rencana tindak lanjut, tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat kepada orangtua/wali.
5.
Saya memberikan tindakan/pengobatan setelah mengklasifikasikan berdasarkan tanda dan gejala anak dengan diare.
6.
Saya melakukan pemantauan status dehidrasi setiap 1-2 jam pada anak dengan dehidrasi berat.
7.
Saya
menyarankan
orangtua/wali
untuk
memberikan
cairan
tambahan sebanyak anak mau. 8.
Saya akan menanyakan umur dan berat badan anak sebelum pemberian dosis antibiotik.
--Terima Kasih --
SR
KD
TP
Lampiran 4 Validity
Nomor Item
Res
N 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
9
2
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
8
3
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
9
4
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8
5
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
9
6
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
9
7
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
8
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
9
9
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
8
10
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
9
11
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
8
12
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
13
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
8
14
1
1
1
0
1
1
1
0
1
0
7
15
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
9
16
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
17
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8
18
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
19
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
9
20
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
21
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
9
22
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
8
23
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
24
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
25
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
9
26
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
9
27
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
8
28
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
10
29
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
9
30
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
9
31
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
7
32
1
1
1
1
0
1
1
0
0
0
6
rxy
0,20
0,10
0.60
0,32
0,54
0.31
-0,07
0,49
0,36
0,52
1,09
0,54
4.12
1,88
3,49
1.82
-0,37
3,06
2,11
3,35
Unvalid
Valid
Valid
Valid
t hitung
1,70
t tabel Ket. N
Unvalid 7
Unvalid
Valid
Valid
Valid
Valid
Validity <Motivasi, n=32>
Correlations skor_m m1 m1
Pearson
m2 1
m3
.675
**
m4 **
.556 1.000
Sig. (2-tailed)
m2
Pearson
m6
m7
m8
.193
.103 .787
**
m9
m10
otivasi
*
**
.257 .368 .677
.732
**
*
Correlation
N
*
m5
32 .675
**
.000
.001
.000
.290
.576
.000
.155
.038
.000
.000
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
*
**
1 .628
**
.675
**
.433
*
.260 .878
**
.336 .403 .741
.804
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m3
Pearson
.000 32 .556
**
32 .628
**
.000
.000
.013
.150
.000
.060
.022
.000
.000
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**
.276
.332 .776
1 .556
**
.518
**
.214 .723
**
.754
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m4
Pearson
.001
.000
32
32
1.000
N m5
Pearson
.675
**
.002
.239
.000
.126
.064
.000
.000
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**
1
.193
.103 .787
*
**
.290
.576
.000
.155
.038
.000
.000
32
32
32
32
32
32
32
**
.279
.556
**
.257 .368 .677
.732
**
*
Correlation Sig. (2-tailed)
*
.001
.000
.000
.001
32
32
32
32
.193
.433 .518
*
**
.193
1 .422
*
.295
.016 .691
.290
.013
.002
.290
.016
.102
.930
.000
.122
.001
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
.103
.260
.214
.103 .422
*
1
.576
.150
.239
.576
.016
32
32
32
32
32
32
**
.295
.173
.571
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m6
Pearson
.173 .484
**
.560
**
.388
*
.597
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m7
Pearson
.787
**
.878
**
.723
**
.787
.343
.005
.001
.028
.000
32
32
32
32
32
*
**
.013
.010
.000
.000
32
32
32
32
32
*
1
1 .434 .450
.827
**
.841
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m8
Pearson Correlation
.000
.000
.000
.000
.102
.343
32
32
32
32
32
32
.257
.336
.276
.257
.016 .484
**
.434
.237 .435
*
.566
**
Sig. (2-tailed) N m9
Pearson
.155
.060
.126
.155
.930
.005
.013
32
32
32
32
32
32
32
*
*
*
**
**
**
.237
.368
.403
.332 .368 .691
.560
.450
32
.192
.013
.001
32
32
32
1 .544
**
.703
**
Correlation Sig. (2-tailed) N m10
Pearson
.038
.022
.064
.038
.000
.001
.010
.192
32
32
32
32
32
32
32
32
*
**
.677
**
.741
**
.776
**
.677
**
.279 .388 .827
.001
.000
32
32
32
*
**
1
.435 .544
.867
**
Correlation Sig. (2-tailed) N skor_motivasi
Pearson
.000
.000
.000
.000
.122
.028
.000
.013
.001
32
32
32
32
32
32
32
32
32
.732
**
.804
**
.754
**
.732
**
.571
**
.597
**
.841
**
.566
**
.703
**
.000 32
32
**
1
.867
Correlation Sig. (2-tailed) N
.000
.000
.000
.000
.001
.000
.000
.001
.000
.000
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Validity Correlations skor_pri p1 p1
Pearson
p2
p4
p5
p6
.338 -.239
.255
.015
.124 -.474
.058
.189
.159
.933
.498
.006
32
32
32
32
32
32
32
.338
1
1
p3
p7
p8 **
p9
p10
laku
**
-.028
.684
.798
.000
.879
.000
32
32
32
32
*
-.001
.258
.047 .834
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p2
Pearson
.302 .909
**
.639
**
.351
*
-.176 .429
.703
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p3
Pearson
.058
.093
.000
.000
.049
.334
.014
.994
.154
.000
32
32
32
32
32
32
32
32
**
.119
.329
.130 -.345 .417
*
.261
.129
.000
.516
.066
.477
.053
.017
.149
32
32
32
32
32
32
32
32
.047 -.317
.128 -.113
.234
.800
.485
.197
32
32
32
-.239
.302
1
.189
.093
32
32
32
**
.274
.000
.129
.274 .628
Correlation Sig. (2-tailed) N p4
Pearson
.255
.909
1 .699
**
.479
**
Correlation Sig. (2-tailed)
.159
.000
.077
.537
.005
N p5
Pearson
32 .015
32 .639
**
32 .628
**
32
32
**
1
.699
32
32
32
32
32
32
.098 -.084
.226 -.182
.344
.593
.646
.214
.318
.054
.009
32
32
32
32
32
.455
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p6
Pearson
.933
.000
.000
.000
32
32
32
32
32
32
.124
.351
*
.119
.047
.098
1
.498
.049
.516
.800
.593
32
32
32
32
32
.301 .862
**
.107 .424
*
.627
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p7
Pearson
**
-.176
.006
-.474
32
.094
.000
.559
.016
.000
32
32
32
32
32
**
.101
-.039
.258
.004
.581
.832
32
32
32
32
.329 -.317 -.084
.301
1
.206 -.494
.334
.066
.077
.646
.094
32
32
32
32
32
32
32
.047
.429
*
.130
.128
.226 .862
**
.206
1 -.001
.234
.798
.014
.477
.485
.214
.000
.258
.995
.197
.001
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**
-.001
1 -.092
.615
.003
32
32
32
1
.340
Correlation Sig. (2-tailed) N p8
Pearson
.568
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p9
Pearson
.834
**
-.001 -.345 -.113 -.182
.107 -.494
.504
**
Correlation Sig. (2-tailed) N p10
Pearson
.000
.994
.053
.537
.318
.559
.004
.995
32
32
32
32
32
32
32
32
*
.234
.344 .424
*
.101
.234 -.092
-.028
.258 .417
Correlation Sig. (2-tailed) N skor_prilaku
Pearson
.879
.154
.017
.197
.054
.016
.581
.197
.615
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**
.340
1
.684
**
.703
**
.261 .479
**
.455
**
.627
**
-.039 .568
**
.504
.057
Correlation Sig. (2-tailed) N
.000
.000
.149
.005
.009
.000
.832
.001
.003
.057
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
32
Reliability N
30
31
26
29
30
29
28
p
0.94
0.97
0.81
0.91
0.94
0.91
0.88
q
0.06
0.03
0.19
0.09
0.06
0.09
0.13
pq
0.06
0.03
0.15
0.08
0.06
0.08
0.11
k
7,0
Npq
0.58
Var
0.85
Mean
6.34
K20
0.372
Ket.
R
203
Reliability <Motivasi, n=32> Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 32
100.0
0
.0
32
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .874
10
Item-Total Statistics Cronbach's Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted
Total Correlation
Alpha if Item Deleted
m1
28.44
8.190
.664
.858
m2
28.47
8.128
.756
.853
m3
28.47
7.934
.682
.856
m4
28.44
8.190
.664
.858
m5
28.47
8.451
.462
.872
m6
28.44
7.738
.425
.889
m7
28.50
8.194
.805
.852
m8
28.25
8.194
.428
.879
m9
28.59
8.249
.629
.860
m10
28.56
7.673
.826
.845
Reliability Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 32
100.0
0
.0
32
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .265
10 Item-Total Statistics Cronbach's
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted
Total Correlation
Alpha if Item Deleted -.014
a
p1
31.66
4.749
.425
p2
30.72
5.822
.581
.054
p3
30.72
8.402
-.339
.374
p4
30.72
6.338
.317
.153
p5
30.66
6.814
.284
.193
p6
30.59
6.507
.512
.140
p7
31.94
9.157
-.409
.533
p8
30.72
6.080
.409
.112
p9
32.22
5.789
-.019
.380
p10
30.56
7.609
-.029
.279
a. The value is negative due to a negative average covariance among items. This violates reliability model assumptions. You may want to check item codings.
Reliability Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 32
100.0
0
.0
32
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .627
8
Item-Total Statistics Cronbach's Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted
Total Correlation
Alpha if Item Deleted
p1
25.31
5.835
.662
.459
p2
24.38
7.984
.591
.542
p4
24.38
8.306
.416
.576
p5
24.31
9.190
.275
.611
p6
24.25
9.161
.348
.603
p8
24.38
8.823
.261
.610
p9
25.88
6.242
.265
.688
p10
24.22
9.854
.071
.639
Lampiran 5 Uji Normalitas Tests of Normality <motivasi> a
Kolmogorov-Smirnov Statistic skor_motivasi1
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.126
51
Statistic
.043
Df
.959
Sig. 51
.078
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic skor_perilaku
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.106
51
Statistic
.200
*
df
Sig.
.970
51
.222
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic skor_guttman
df
Shapiro-Wilk
Sig.
.260
51
Statistic
.000
df
Sig.
.779
51
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <usia> a
Kolmogorov-Smirnov Statistic usia
Df
.144
Shapiro-Wilk
Sig. 51
Statistic
.010
df
.945
Sig. 51
.020
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality <jenis kelamin> a
Kolmogorov-Smirnov Statistic Jenis_kelamin a.
.536
df
Shapiro-Wilk
Sig. 51
Lilliefors Significance Correction
.000
Statistic .124
df
Sig. 51
.000
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic lama_kerja
Df
.341
Shapiro-Wilk
Sig. 51
.000
Statistic
df
.729
Sig. 51
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic pendidikan
df
.421
a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk
Sig. 51
.000
Statistic .701
Df
Sig. 51
.000
Lampiran 6 Hasil Olahan SPSS Univariat Jenis_kelamin Cumulative Frequency Valid
perempuan
Valid Percent
Percent
50
98.0
98.0
98.0
1
2.0
2.0
100.0
51
100.0
100.0
laki-laki Total
Percent
lama_kerja Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
< = 5 tahun
10
19.6
19.6
19.6
5 tahun
13
25.5
25.5
45.1
> 5 tahun
28
54.9
54.9
100.0
Total
51
100.0
100.0
Pendidikan Cumulative Frequency Valid
SPK
Percent
Valid Percent
Percent
3
5.9
5.9
5.9
D3
35
68.6
68.6
74.5
D4
2
3.9
3.9
78.4
S1
9
17.6
17.6
96.1
S2
2
3.9
3.9
100.0
51
100.0
100.0
Total
klasifikasi umur Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
1
5
9.8
9.8
9.8
2
36
70.6
70.6
80.4
3
8
15.7
15.7
96.1
4
2
3.9
3.9
100.0
51
100.0
100.0
Total
perilaku_pk Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
baik
28
54.9
54.9
54.9
cukup
23
45.1
45.1
100.0
Total
51
100.0
100.0
motivasi_pk Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
baik
27
52.9
52.9
52.9
cukup
24
47.1
47.1
100.0
Total
51
100.0
100.0
pengetahuan_pk Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
baik
32
62.7
62.7
62.7
cukup
19
37.3
37.3
100.0
Total
51
100.0
100.0
Lampiran 7 Hasil Olahan SPSS Bivariat Statistics Frequencies <skor7_pengetahuan> N
Valid
51
Missing
0
Mean
6.51
Median
7.00
Mode
7
Std. Deviation
.731
Minimum
4
Maximum
7
Percentiles
25
6.00
50
7.00
75
7.00 skor7_pengetahuan Cumulative Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
4
1
2.0
2.0
2.0
5
4
7.8
7.8
9.8
6
14
27.5
27.5
37.3
7
32
62.7
62.7
100.0
Total
51
100.0
100.0
Statistics Frequencies <motivasi_10> N
Valid Missing
51 0
Mean
34.12
Median
34.00
Mode
36
Std. Deviation
3.333
Minimum
28
Maximum
40
Percentiles
25
31.00
50
34.00
75
37.00 motivasi_10 Cumulative Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
28
1
2.0
2.0
2.0
29
5
9.8
9.8
11.8
30
1
2.0
2.0
13.7
31
6
11.8
11.8
25.5
32
4
7.8
7.8
33.3
33
7
13.7
13.7
47.1
34
5
9.8
9.8
56.9
35
1
2.0
2.0
58.8
36
8
15.7
15.7
74.5
37
4
7.8
7.8
82.4
38
4
7.8
7.8
90.2
39
1
2.0
2.0
92.2
40
4
7.8
7.8
100.0
51
100.0
100.0
Total Statistics Frequencies <prilaku_8> N
Valid
51
Missing
0
Mean
27.76
Median
28.00
Mode
28
Std. Deviation
a
3.210
Minimum
21
Maximum
32
Percentiles
25
25.00
50
28.00
75
31.00
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Percent
prilaku_8 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
21
3
5.9
5.9
5.9
23
2
3.9
3.9
9.8
24
2
3.9
3.9
13.7
25
8
15.7
15.7
29.4
26
1
2.0
2.0
31.4
27
7
13.7
13.7
45.1
28
9
17.6
17.6
62.7
29
1
2.0
2.0
64.7
30
4
7.8
7.8
72.5
31
5
9.8
9.8
82.4
32
9
17.6
17.6
100.0
51
100.0
100.0
Total
Case Processing Summary Cases Valid N pengetahuan_pk *
Missing
Percent 51
100.0%
N
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 51
100.0%
perilaku_pk
pengetahuan_pk * perilaku_pk Crosstabulation perilaku_pk baik pengetahuan_pk
baik
Count
Total
17
15
32
17.6
14.4
32.0
% within pengetahuan_pk
53.1%
46.9%
100.0%
% within perilaku_pk
60.7%
65.2%
62.7%
% of Total
33.3%
29.4%
62.7%
11
8
19
10.4
8.6
19.0
Expected Count
cukup
cukup
Count Expected Count
Total
% within pengetahuan_pk
57.9%
42.1%
100.0%
% within perilaku_pk
39.3%
34.8%
37.3%
% of Total
21.6%
15.7%
37.3%
28
23
51
28.0
23.0
51.0
54.9%
45.1%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
54.9%
45.1%
100.0%
Count Expected Count % within pengetahuan_pk % within perilaku_pk % of Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.741
.002
1
.968
.110
1
.740
.110 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.779
Linear-by-Linear Association
.107
N of Valid Cases
1
.485
.743
51
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,57. b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary Cases Valid N motivasi_pk * perilaku_pk
Missing
Percent 51
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
51
motivasi_pk * perilaku_pk Crosstabulation perilaku_pk baik motivasi_pk
Baik
Count
cukup
Total
19
8
27
14.8
12.2
27.0
% within motivasi_pk
70.4%
29.6%
100.0%
% within perilaku_pk
67.9%
34.8%
52.9%
Expected Count
Percent 100.0%
% of Total cukup
37.3%
15.7%
52.9%
9
15
24
13.2
10.8
24.0
% within motivasi_pk
37.5%
62.5%
100.0%
% within perilaku_pk
32.1%
65.2%
47.1%
% of Total
17.6%
29.4%
47.1%
28
23
51
28.0
23.0
51.0
% within motivasi_pk
54.9%
45.1%
100.0%
% within perilaku_pk
100.0%
100.0%
100.0%
54.9%
45.1%
100.0%
Count Expected Count
Total
Count Expected Count
% of Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.019
4.296
1
.038
5.640
1
.018
5.545 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.026 5.436
1
.020
51
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,82. b. Computed only for a 2x2 table
.019