ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Usuluddin Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh : Ahmad Khozin Nim : 104034001191
JURUSAN TA FSIR HADIS
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M.
ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh : Ahmad Khozin Nim : 104034001191
Pembimbing
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A NIP : 197110031999032001
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM
TAFSIR AL-KHÂZIN”. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Penulisan skripsi ini nampaknya tidak akan terwujud seperti ini tanpa adanya partisipasi dari berbagai pihak yang telah memberikan solusi dalam menghadapi segala kesulitan penulis dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada : 1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis 3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan sekaligus Dosen Pembimbing yang selalu sabar membimbing penulis sampai selesai. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan wawasan intelektual selama penulis “menimba” ilmu di Jurusan tersebut. 5. Pimpinan dan Seluruh Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Iman Jama’. 6. Kedua Orang Tua Penulis Bapak H. Muhammad Sa’duddin (almarhum), dan Ibu Hj. Atiqoh yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.
ii
7. Kakak-kakak dan adik yang penulis sayangi, terima kasih atas doanya. 8. Marcos Nasution, S.E, Wahiduddin, S.E, Ahmad Zaeni (Madun), S.Th.I, Rahmat Syaiful, S.Th.I, Jaya Cahyadi, S.Ud, Muzakky, Asyari Hasan, Badru el Salam, Juanda, Wahyu Ariadi, S.E. Juga teman di Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004, yang selalu ceria dan bersemangat, terima kasih atas sarannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik amat penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini semoga bermanfaat untuk kita semua
Jakarta, 07 Maret 2011
Penulis,
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ibarat menimba air zam-zam di Tanah Suci, pembahasan mengenai tafsir tidak akan pernah ada habisnya. Hal ini paling tidak karena tafsir melahirkan bentuk serta gaya penulisan. Ada yang menulis tafsir secara konvensional yang dikenal dengan metode tahlîlî, secara global, ijmâlî, dan ada juga yang menulis tafsir berdasarkan tematema besar dalam al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan metode maudû‘î. 1 Dalam hal ini, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menafsirkan ayatayat al-Qur’an. Karena untuk dapat menafsirkan ayat-ayat tersebut, seseorang terlebih dahulu harus menguasai ‘Ulûm al-Qur’ân, 2 seperti Ilmu Tata Bahasa Arab/Lughah, Gramatika/Nahwu,
Morfologi
Bahasa
Arab/Saraf,
Turunan
Kata-atau
Akar
Kata/Isytiqâq, Ilmu Ma‘ânî (semantik Arab), Ilmu Bayân (termasuk semantik Arab), Ilmu Badî‘ (bagian ilmu sastra) Ilmu Qirâ’ah (teori membaca), Ilmu Tentang PokokPokok Agama (Usûl al-Dîn), Ilmu Usûl al-Fiqh, Ilmu Asbâb al-Nuzûl dan Qisâs, Ilmu U
U
Nâsikh Mansûkh, Ilmu Fiqh, Ilmu Hadis Nabi saw. dan Ilmu pemberian Tuhan, dengan demikian ia dikatakan dapat mengelaborasi dan menafsiri ayat-ayat al-Qur’an.3
1
Muhammad Quraish Shihab. “Kata Pengantar” dalam Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001). 2 Muhammad Nasib al-Rifa‘î, Taisîr al-Aliyy al-Qadîr Li Ikhtisâr Tafsîr Ibnu Katsîr. Terj. Syihabuddin. (Jakarta:Gema Insani Press, 2000). 3 Muhammad ‘Alawi al-Malikî al-Hasanî, Zubdah al-Itqân Fî ‘Ulum al-Qur’ân. terj. Tarmana Abdul Qasim. (Bandung: Mizan Media Utama, 2003) h. 282-284.
1
2
Salah satu bidang kajian ‘Ulûm al-Qur’ân adalah mengenai Tarîkh al-Qur’ân atau sejarah al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan ruang terhadap ayat-ayat yang menceritakan bahkan menggambarkan tentang sejarah umat terdahulu. Hal itu terbukti terdapat 1600 ayat yang mengemukakan tentang kisah, itu belum termasuk ayat-ayat Tamsiliyat yang juga menceritakan tentang umat-umat terdahulu. Tujuan diturunkannya ayat-ayat mengenai kisah ini adalah agar manusia dapat mengambil pelajaran, hikmah dan manfaat dari peristiwa tersebut. 4 Di sisi lain pentingnya ayat-ayat mengenai kisah ini setidaknya memberikan semangat agar setiap tindakkan dan prilaku manusia terdapat rambu-rambu, dan hal itu bertujuan agar manusia tidak terjerumus kepada nilai-nilai negatif, apalagi yang berkaitan dengan akidah. Di antara banyaknya kisah yang tercantum dalam al-Qur’an. Terdapat sebuah kisah yang menarik perhatian, yaitu kisah pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, penguasa Yaman yang berada di bawah kekuasaan Negus di Ethiopia, membangun sebuah gereja di kota Shan’a yang dinamai al-Qullais, sebuah bangunan yang tinggi menjulang ditaburi permata setiap penjurunya. Di sisi lain ia bertekad ingin memindahkan perhatian warga Arab, bukan ke Ka‘bah lagi. 5 Misi yang dipimpin oleh Abrahah ini tercium oleh penduduk Mekah, dan banyak di antara mereka yang tersinggung. Salah satunya seorang dari penduduk Kinânah berkunjung ke gereja tersebut kemudian membuang kotorannya, yang tentu tujuannya
4
Jalâludîn ‘Abdurahmân al-Suyûtî, Al-Itqân Fi Ulûm al-Qur’an. (Kairo: Dâr al-Kutub Ilmiyah, 1995), jilid II. h. 77. 5 Al-Rifa‘î, Taisîr al-Aliyy al-Qadîr. h. 1046. jilid. 4
3
untuk menghina Abrahah dan gereja yang dibangunnya. Dari sinilah Abrahah sangat marah, bersama pasukannya, ia bermaksud menyerang kota Mekah. 6 Penyerbuan yang dilakukan Abrahah dengan pasukannya mengalami kebuntuan, karena dalam hal ini Allah swt. turun tangan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 570 M. dan dijadikan oleh orang Arab sebagai awal penanggalan yang mereka namai ‘âmu al-fîl (Tahun Gajah). Dan pada tahun itulah Rasulullah saw. dilahirkan. 7 Kegagalan Abrahah dalam menyerang Mekah difahami oleh para ulama tafsir dengan pemahaman yang berbeda. Muhammad ‘Abduh misalnya, ia mengemukakan bahwa kegagalan pasukan bergajah terhambat karena pada waktu itu terjadi wabah penyakit campak atau cacar yang tersebar di lokasi tentara bergajah. 8 Pendapat Abduh di atas ditolak oleh sekian banyak ulama, salah satunya Muhammad Mutawallî alSya‘rawî. Ia mengutarakan bahwa ayat ke-lima surah al-Fîl. Menggunakan kata fa yang menunjukkan singkatnya waktu antara peristiwa yang ditunjuk kata sesudah huruf fa. surah al-Fîl ini juga mengandung isyarat bahwa apa yang terjadi itu adalah ”Perbuatan Tuhan” dan peristiwa tersebut di luar hukum sebab akibat yang lumrah diketahui. Peristiwa ini semata-mata perbuatan Tuhan dan tidak dapat diukur dengan ukuran yang berlaku dengan kebiasaan makhluk Tuhan. 9 Adapun al-Marâghî mengemukakan bahwa surah al-Fîl secara umum membicarakan seorang panglima yang gagah dan perkasa hendak merusak dan menghancurkan Ka’bah sehingga ia dapat memindahkan tempat peribadatan orang6
Muhammad Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2003. vol. 15. h. 523. 7 Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 523. 8 Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 523. 9 Shihab. Tafsir al-Mishbah. vol. 15. h. 527-529.
4
orang ke negerinya. Namun upayanya terhalang akibat terserang penyakit yang sebelumnya tidak pernah terjadi mengerogoti pasukan Abrahah hingga kulit bahkan seluruh tubuh pasukan bergajah habis terkelupas dan mereka lari terkekeh-kekeh. Adapun pemimpinan mereka, Abrahah pun demikian, dagingnya rontok secara bertahap hingga menembus ke jantung hatinya dan dadanya terpecah dua hingga akhirnya ia tewas di Shan’a. Itulah balasan Allah swt. terhadap kaum yang durhaka dan angkuh melebihi kekuasaan-Nya. 10 Walau bagaimanapun, itu semua pendapat ulama yang perlu dihormati. Namun alangkah lebih menariknya kalau mencermati pendapat ulama Baghdad yang hidup kirakira pertengahan abad ke-3. yaitu ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdâdî, yang lebih populer dikenal dengan nama al-Khâzin. Dalam tafsirnya, Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl Fî Ma‘ânî al-Tanzîl. Ia mencoba mendeskripsikan pendapatnya mengenai surah al-Fîl, ter-utama berkaitan dengan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah. Pasukan bergajah diabadikan dalam salah satu surat dalam al-Qur’an yaitu surah al-Fîl. Surah ini mempunyai keistimewaan tersendiri, sampai banyak ulama mengkritisi secara rasional maupun irasional, termasuk di dalamnya al-Khâzin ulama klasik yang mencoba mengkritisi dengan berbagai pendekatan. Yang menarik dari pembahasannya adalah langkah-langkahnya ketika menafsiri ayat-ayat al-Qur’an berkaitan dengan tafsir yang penulis kaji. Salah satunya pendekatan bahasa dan kajian mengenai Isrâiliyah. Dalam hal ini, penulis sangat ter-inspirasi untuk mengetahui bahkan mencoba mengkritisi pendapat al-Khâzin lebih mendalam pada Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl
10
Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsîr al-‘Azîm al-Marâghî (Dâr Ilmiyah, Kaira) h. 424.
5
Fî Ma‘ânî al-Tanzîl, mengenai surah al-Fîl. Bagaimana sejarahnya terjadi peristiwa penyerangan pasukan bergajah terhadap kota Mekah? Adakah keterkaitan kisah isrâiliyah pada Tafsîr al-Khâzin? Apakah penafsiran al-Khâzin pada surah al-Fîl terpengaruh dengan pola penafsiran sebelumnya? Lalu siapakah seseorang yang mempengaruhi penafsiran al-Khâzin? Dan apakah kisah pasukan bergajah memang terjadi pada zaman dahulu? Dari latar belakang inilah, penulis memilih judul ANALISA KRITIS TERHADAP SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam skripsi ini banyak sekali permasalahan yang penulis temukan. Di antaranya mengenai sejarah Abrahah, sejarah tersebut sering dikemukakan oleh para ulama, ada yang menguraikannya dengan pendekatan Isrâiliyat ada juga yang mengemukakan dengan pendekatan rasionalnya. Di sisi lain pendekatan kebahasaan amat mempengaruhi pola penafsiran, oleh karena itu banyak mufasir yang mengemukakan pandangannya mengenai surah al-Fîl. Dengan demikian, penulis membatasi study kritis penafsiran surah al-Fîl ini pada penafsiran al-Khâzin. Meskipun penafsiran surah al-Fîl ini penulis hanya terkonsentrasi pada alKhâzin, namun penulis tidak menutup kemungkinan untuk mengutip mufasir lain seperti, Ibn Katsir, Fakhrudin ar-Razi dan Quraish Shihab. Hal ini bertujuan untuk memperkaya khazanah karya penulis.
6
Sedangkan perumusan masalahnya adalah, apa dan bagaimana pola penafsiran al-Khâzin pada surah al-Fîl?
C. Kajian Pustaka Kajian tafsir yang erat kaitannya dengan kisah di dalam al-Qur’an telah berulang kali diteliti. Baik dalam buku, artikel maupun skripsi. Sejauh ini penulis temukan dalam skripsi buah tangan Ahmad Baihaqi dengan judul al-Baqarah dan Keangkuhan Banî Isrâ’îl (Study Kritis Surah al-Baqarah ayat 67 sampai dengan 74). Ia menyajikan tentang sejarah awal kisah Banî Isrâ’îl sampai dengan memasuki abad modern dengan penyampaian yang luas. Dan yang lebih menarik menurutnya adalah kisah Banî Isrâ’îl pada masa Nabi Mûsâ as. Dalam hal ini ia banyak mengemukakan pendapat para mufasir, di antaranya adalah al-Zamakhsyarî, al-Baidawî, al-Khâzin, Muhammad Husain al-Thabathaba’î, Muhammad Mutawalli al-Sya‘râwî, Muhammad Rasyîd Ridâ, Quraish Shihab, Mustafâ al-Maraghî, Muhammad Alî al-Sabunî dan Wahbah al-Zuhailî. Selain itu ia juga mengutip dari Ahmad Salabî dan Dafid F. Hinson. 11 Di tempat lain, Rasul Karim mengemukakan tentang kisah dalam skripsinya “Kisah Perjalanan Nabi Mûsâ as. dan Abdun Saleh dalam Surah al-Kahfi ayat 66 sampai dengan ayat 78. (Study Komparatif Penafsiran HAMKA dan Quraish
11
Ahmad Baihaqi, “Al-Baqarah dan Keangkuhan Banî Isrâ’îl (Study Kritis Surah al-Baqarah ayat 67 sampai dengan 74). (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
7
Shihab)”. 12 Begitupula Endoy Diyaudin dalam skripsinya, ia mengemukakan “Kisah Tâlût dalam al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr Tahrîr wa Tanwîr”. 13 Selain itu dalam kajian tokohnya, Dede Afandi dalam skripsinya “Metode alKhâzin Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Study Ayat Ahkam Bidang Ibadah).” Dalam hal ini ia lebih banyak mengemukakan pandangan al-Khâzin mengenai aspek-aspek ibadah di antaranya mengenai ayat-ayat thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji. 14 Kajian mengenai kisah memang tidak sedikit jumlahnya. Akan tetapi tidak ada satupun yang mengkaji dan menyinggung secara khusus tentang surah al-Fîl menurut al-Khâzin. Oleh karena itu, penulis menemukan ruang kosong dalam khazanah kepustakaan Islam yang dibahas secara khusus. Dengan ini, penulis berharap bisa mendeskripsikannya tentang pembahasan mengenai Analisa Kritis surah al-Fîl dalam Tafsir al-Khâzin.
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Kajian Sejarah Pasukan Bergajah dalam surah al-Fîl perlu diangkat dan dibahas secara detail dan sistematis, terutama pada tafsir yang ditulis oleh al-
12
Rasul Karim, “Kisah Perjalanan Nabi Musa as. dan Abdun Saleh dalam Surah al-Kahfi ayat 66 sampai dengan ayat 78”. (Study Komparatif Penafsiran HAMKA dan Quraish Sihab). (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,, 2007). 10 Endoy Diyaudin, “Kisah Tâlût dalam al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr Tahrîr wa Tanwîr”. (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007). 11 Dede Afandi, “ Metode al-Khâzin Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Study Ayat Ahkam Bidang Ibadah).”. (Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
8
Khâzin, sehingga wawasan serta pandangan yang disajikan oleh al- Khâzin dapat diterima dan difahami dengan baik. Kelebihan dan kekurangannya dapat terlihat dengan jelas. Aktivitas tersebut dilakukan dengan cara menganalisa secara cermat tentang hal-hal yang berkaitan dengan Sejarah Pasukan Bergajah dalam surah al-Fîl. 2. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program S1 Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar S.Th.I.
E. Metode Penelitian Pada penelitian ini, metode yang penulis gunakan adalah metode kepustakaan (Library Research), penulis mencoba mengumpulkan data lalu dielaborasi dan analisis sesuai dengan kajian yang hendak penulis kritisi. Dengan langkah inilah penulis mendapatkan sumber data. Adapun sumber data primer yang menjadi rujukan penulis adalah Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’ânî al-Tanzîl. Karya ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdadî al-Khâzin. Sedangkan sumber skundernya adalah Tafsîr al-Mishbah, Tafsîr al-Sya’râwî, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân, Tafsîr wa alMufasirûn, Lisân al-Arab, al-Râhîq al-Makhtûm Bhatsun Fî al-Sîrah al-Nabawiyah ‘Alâ Sâhîbihâ Afdâl al-Salât wa al-Salâm. serta buku, artikel dan sumber lainnya yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Selanjutnya penulis menambah pada data sekunder tersebut seperti: Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an karya Manâ Khali al-Qattân, Manâhil al-‘Urfân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân.
9
Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode “Deskriptif Analitif”, yaitu memberi gambaran tentang surah al-Fîl dan Kisah Abrahah kemudian dianalisa secara kritis dengan sumber data yang penulis peroleh. Di samping itu, dalam mencapai penulisan yang baik dan benar sebagaimana layaknya sebuah karya tulis. Maka penulis skripsi ini berpedoman pada buku “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini penulis susun dalam lima bab, yaitu: Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, penulis kemukakan mengenai al-Khâzin dan Tafsir nya. Dalam bab ini penulis kemukakan biografi, kondisi intelektual dan sekilas tentang karya-karya alKhâzin. Dalam hal ini penelitian Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl fi Ma‘ânî al-Tanzîl, lebih diutamakan. Di sisi lain, penulis juga mengemukakan tentang pengaruh Tafsîr alKhâzin pada Tafsîr setelahnya. Bab ketiga mengenai surah al-Fîl. Penulis memuat tentang pengertian al-Fîl dan nama-nama lain dari surah al-Fîl. Lebih dari itu, pada bab ini penulis juga mengutarakan tentang pandangan ulama Tafsir mengenai surah al-Fîl, lalu dikemukakan bagaimana sistematika penafsiran al-Khâzin dalam menafsirkan surah al-
10
Fîl. Lebih jauh penulis juga menyampaikan korelasi antara surah al-Fîl dengan surah sebelum dan surah sesudahnya. Bab keempat adalah analisis kritis surah al-Fîl dalam Tafsîr al-Khâzin. Dalam bab ini penulis kemukakan penafsiran al-Khâzin mengenai surah al-Fîl, terutama mengenai kisah Abrahah yang memuat bagaimana terjadinya Pra, Proses dan Pasca Penghancuran yang dilakukan Abrahah terhadap Ka‘bah. Selanjutnya penulis akan mengkritisi pendekatan bahasa dan Israiliyah pada Tafsîr al-Khâzin: Lubâb al-Ta’wîl Fî Ma‘ânî al-Tanzîl. Lebih jauh penulis akan kemukakan hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah ini. Bab kelima adalah penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB IV KRITIK SURAH AL-FÎL DALAM TAFSIR AL-KHÂZIN
A. Kritik Kisah Abrahah dalam Surah al-Fîl dalam Tafsir al-Khâzin Secara garis besar, penulis mempetakan kisah Ashâb al-Fîl menjadi tiga bagian penting. 1. Pra Penghancuran. Mengenai hal ini, al-Khâzin membahas secara singkat di dalam tafsirnya apa dan bagaimana kronologi dan motif apa yang mendorong Abrahah 1 untuk menghancurkan Ka‘bah dan menggantinya dengan Gereja yang dibangunnya di Shan’a. al-Khâzin tidak merinci secara detail tentang hal itu, di dalam tafsirnya hanya diawali dengan riwayat yang dikutip oleh al-Khâzin yang berasal dari Muhammad bin Ishâq dari Sa‘îd Ibn Jâbir, dari ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abbâs serta alWâqidî tentang pengiriman tentara yang dilakukan Raja Najasyî (Habasyah) yang dipimpin oleh Abrahah bin al-Sibah Ibn Yaksûm. 2 1
Nama Abrahah memang tidak pernah disebut secara eksplisit dalam al-Quran, namun seluruh ulama tafsir sepakat bahwa cerita tentang “ashâb al-fîl” yang disinggung dalam al-Quran surah al-Fîl [105] ayat 1-5 berkenaan dengan kisah Abrahah dan seluruh pasukannya. Abrahah adalah salah seorang penguasa yang di tanam kerajaan Habasyah (Ethiopia) di Yaman, daerah yang berada di bawah pengaruh raja Etiopia dari Aksum (+ 530-575). Nama Abrahah menonjol akibat perannnya dalam usaha merebut kota Mekah pada tahun, yang populer dalam sejarah Arabia disebut “Tahun Gajah”. Di tahun itulah dilahirkan Muhammad bin Abdullah yang 40 tahun kemudian itu menjadi Rasulullah. Sebagai jalur perdagangan antara Laut Hindia dan Laut Tengah, Yaman yang dikenal dalam tulisan Yunani sebagai Arabia Felix menjadi ajang perebutan pengaruh Persia dan Ethiopia. Atas dukungan Bizantium sejak awal abad ke-6 penguasa-penguasa Ethiopia berusaha melepaskan Yaman dari pengaruh Persia. Hanya sepeninggal raja Yaman yang memeluk agama Yahudi, Dzu Nuwas, Yaman dapat dikuasai orang-orang Ethiopia di bawah Abrahah dan dijadikan suatu “wilayah otonomi. M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran (Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005). h. 13. 2 Abû al-Hasan ‘Alau al-Dîn ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm bin ‘Umar bin Khalîl al-Syaihî, alKhâzin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî al-Tanzîl (Libanon: Dâr al-Fikr, 1979), juz VII. h. 290.
43
44
Hal yang paling mendasar tentang invasi yang dilakukan oleh Abrahah ke Mekah adalah terjadi manakala ia melihat orang-orang berbondong-bondong untuk melakukan ibadah haji, terinspirasilah dalam benak Abrahah untuk menyaingi Ka‘bah, ia membangun sebuah Gereja yang diberi nama Qullais. Gereja ini dibangun secara besar-besaran di kota Shan’a agar orang-orang berbondongbondong ke sana guna beribadah sebagaimana halnya orang-orang berbondongbondong melakukan ibadah haji di kota Mekah, bukan mendapat sambutan tetapi Gereja tersebut malah dijadikan sebagai tempat buang kotoran oleh salah seorang yang bernama Mâlik bin Kinânah. Di sisi lain tampuk kekuasaan telah dipegang oleh Abrahah, ia telah mengalahkan pihak musuh yang tidak disebut dalam tafsir al-Khâzin. Namun mengenai hal ini, menurut dari beberapa literatur sejarah bahwa peristiwa ini diawali dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Abrahah merebut kekuasaan yang dimiliki Habasyah di Yaman dari tangan Aryath, yang dapat mengakibatkan orangorang Habasyah terpecah menjadi dua kubu. Masing-masing kubu menyerang kubu lainnya. Abrahah menulis surat untuk Aryath, kemudian Aryath pun membalasnya. 3 Mereka berdua bertemu dan terjadi pertengkaran di antara mereka, Abrahah mencoba melarikan diri namun Aryath mengangkat tombak kecil dan memukul Abrahah dengan sasaran ubun-ubunnya. Tombak kecil Aryath mengenai dahi Abrahah. Akibatnya, kedua alis Abrahah, hidung, mata, dan bibirnya pun robek. Karena itulah Abrahah dinamakan Abrahah al-Asyram (robek). Namun dari
3
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 290-291.
45
belakang Abrahah, ia pun menyerang Aryath dan berhasil membunuhnya. Setelah itu, pasukan Aryath bergabung dengan Abrahah dan orang-orang Habasyah di Yaman bersatu di bawah pimpinannya, dan Abrahah membayar diyat (uang darah) atas kematian Aryath. 4 Dan kejadian inilah yang mengawali keangkuhan Abrahah. Di sisi lain, invasi Abrahah ke kota Mekah bukan hanya ingin menghancurkan Ka‘bah atas kekuasaan yang telah dimilikinya dan nampaknya juga bukan hanya untuk mengalihkan orang-orang yang melaksanakan ibadah haji sebagaimana yang ia lihat ketika mereka berbondong-bondong sedang datang ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi ada hal yang sangat penting menurutnya, yaitu kedengkian terhadap masyarakat Arab sehingga dia bermaksud mengalihkan kemuliaan dengan adanya Ka‘bah itu kepada diri dan bangsanya. Adapun kedengkiang itu adalah tujuan politik untuk menguasai jalur perekonomian Mekah dan daerah tersebut. 5 Karena daerah tersebut sangat menjanjikan untuk perkembangan ekonominya. Penulis memandang awal pra penghancuran ini, bahwa al-Khâzin menyampaikan kisah invasi Abrahah ke Mekah amat panjang lebar, namun tidak ada yang membedakan pendapatnya dengan pakar sejarah yang memulai kisah ini berawal dari banyaknya orang-orang yang melakukan ibadah haji ke Mekah. Di sisi lain penulis lebih tertarik ketika M. Quraish Shihab menyampaikan permasalahan yang lebih penting selain ibadah haji, yaitu adanya kedengkian pada diri Abrahah, 4
Abû Muhammad ‘Abdul Mâlik bin Hisyâm al-Muafirî, al-Sîrah al-Nabawiyyah Li Ibni Hisyâm. Penerj. Fadhli Bahri (Jakarta: Darul Falah, 2000 M.) h. 32-33. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol 15. h. 618.
46
yaitu adanya tujuan politik untuk menguasai jalur perekonomian Mekah dan daerah tersebut
2. Proses Penghancuran. Setelah melihat situasi dan kondisi kota Mekah yang menjanjikan, dan dengan dalih bahwa Gereja Qullais yang telah dinodai dengan memfitnah bahwa yang membuang kotoran di Gereja Qullais adalah salah seorang Arab tepatnya dari warga sekitar Baitullah di Mekah, tempat orang-orang Arab berhaji kepadanya, karena ia mendengar hal tersebut bahwa engkau akan mengalihkan haji orang-orang Arab ke Gerejamu. Orang tersebut naik pitam sehingga buang kotoran di Gerejamu. Ini artinya Gerejamu tidak layak dijadikan tempat untuk berhaji. Padahal yang melakukannya adalah al-Kinani bukan dari sekitar Baitullah. 6 Dalam hal ini, Abrahah tidak serta merta menyerang kota Mekah. Hemat penulis sebagaimana tercantum di dalam tafsir al-Khâzin dan literature lainnya, ada beberapa tahap yang harus dikerjakannya demi mencapai targetnya. Pertama mengirim surat ke Raja Najasyi dengan kabar yang tidak baik itu, dan meminta kepadanya untuk mengirimkan gajah-gajahnya, terdapat gajah kesayangan Najasyi yang bernama Mahmud 7 dan tidak ada gajah yang terlihat seperti ini sebelumnya karena badanya sangat besar, dan kuat. Najasyi mengabulkan permintaan Abrahah 6
Al-Muafirî, al-Sîrah al-Nabawiyyah, h. 35. Di dalam Tafsir al-Khâzin dikemukakan bahwa Mahmud adalah gajah kesayangan raja Najasyi, tidak ada gajah yang terlihat seperti Mahmud. Ia berbadan sangat besar dan kuat. Mahmud dikirim oleh Raja Najasyi atas permintaan Abrahah untuk menaklukan kota Mekah dan menghancurkan Ka‘bah. al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291. Di sisi lain ulama tafsir dan pakar sejarah pun demikian, mereka menamakan gajah yang dibawa Abrahah dengan nama Mahmud. 7
47
dan mengirimkan pasukan gajahnya. Setelah mendapatkannya, Abrahah dan pasukannya menuju kota Mekah untuk menghancurkan Ka‘bah. Namun sebelum berangkat terjadilah perselisihan antara Abrahah dan Dzu Nafar yang menolak pasukannya untuk mengkabulkan ambisi Abrahah, terjadilah pertempurana antara Abrahah dan Dzu Nafar yang dimenangkan oleh Abrahah. Kedua melakukan diplomasi dengan pimpinan kota Mekah, ‘Abd alMutallib. Dengan dalih merampas semua binatang-binatang peliharaan orang-orang Arab, termasuk 200 unta milik ‘Abd al-Mutallib. Abrahah dapat bertemu dengan ‘Abd al-Mutallib untuk memohon agar dikembalikan 200 ekor unta milik ‘Abd alMutallib. Tetapi jawaban Abrahah berbeda dengan yang diharapkan. Abrahah menjawab bahwa hendak menghancurkan Baitullah Rumah Suci Agama ‘Abd alMutallib dan Agama nenek moyangnya. Setelah mendapatkan haknya, ‘Abd al-Mutallib mengintruksikan kepada kaumnya agar menhindar dari negeri ini, karena Abrahah dan pasukannya akan menghancurkan Ka‘bah. Dan ‘Abd al-Mutallib hanya bisa bermunajat di depan pintu Ka‘bah tatkala kaumnya tidak mampu untuk melawan pasukan Abrahah, dalam munajatnya ia berkata, “Wahai Tuhan aku tidak mengharapkan Tuhan telain Engkau. Wahai Tuhan cegahlah mereka untuk menghancurkan Ka‘bah ini. Sesungguhnya musuh Ka‘bah ini adalah orang yang memusuhimu. Cegahlah mereka agar penghancuran tidak terjadi terhadap Ka‘bah ini.” Ketiga melalui penyerangan yang dilakukan oleh Abrahah dan tentara bergajah. Dalam penyerangan ini Gajah yang bernama Mahmud enggan untuk
48
mendekati Ka‘bah, sehingga yang mengendarainya memukul kepalanya, tetapi tetap saja gajah itu tidak mau berdiri. Abrahah dengan semangatnya memberikan komando untuk menghancurkan Ka‘bah. 8 Namun pasukan Abrahah dengan begitu semangatnya, ketika suku Quraisy sudah tidak dapat menunjukkan kekuatannya,
dan di saat-saat genting dalam
penghancuran, nampaknya munajat ‘Abd al-Mutallib untuk menghindari Ka‘bah dari bahaya ancaman pasukan Abrahah dikabulkan. Allah mengirimkan ribuan burung-burung dari laut, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan nama Abâbîl. Dengan tiga batu, dua batu di kakinya dan satu batu di paruhnya, berbentuk bulat dan padat dilemparkan kepada pasukan Abrahah, batu-batu itu menurut sejarah sama sekali belum pernah ditemukan di muka bumi. Tetapi dahsyatnya hanya dengan burung-burung yang membawa bebatuan saja mereka merasakan takut yang luar biasa. Karena jika manusia terkena batu itu, maka ia akan binasa dan hancur menjadi debu. Yang tidak kena lemparan batu, jumlahnya hanya sedikit sekali, mereka melarikan diri kembali ke negerinya, tapi mereka bercerai berai dan tidak mendapatkan jalan untuk kembali ke negerinya. 9 Menurut M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, bahwa Burung Abâbîl di dalam al-Qur’an disebut hanya sekali saja, yakni dalam surah al-Fîl [105] ayat 3, “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Abâbîl)”. Dalam ayat ini dan dua ayat berikutnya, disebutkan bahwa burung Abâbîl adalah burung yang datang secara berbondog-bondong, dan dikirim Allah dengan membawa batu8 9
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291-292. Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 292.
49
batu panas, yang telah memperlakukan pasukan bergajah sedemikian rupa, sehingga pasukan itu hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat. Abâbîl secara harfiah berarti yang datang secara berbondong-bondong. Dalam Tafsir al-Qurtûbî sebagaimana dikutip oleh M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi dijelaskan bahwa Muqatil menyatakan, “Kata Abâbîl itu berarti berkelompok dan saling mengikuti satu sama lainnya dari belakang. Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam “Tafsîr al-Tabarî” dan “Tafsîr Jalâlain”. Sementara Ibnu ‘Abbâs dan Mujâhid menyatakan bahwa kata Abâbîl mengandung arti “berbedabeda dan terpisah yang datang dari segala penjuru”. Menurut para ahli sejarah, peristiwa yang disebutkan dalam surah al-Fîl itu adalah peristiwa penyerangan pasukan Abrahah-Gubernur Habasyah (Ethiopia) yang berkuasa di Yaman ke kota Mekah pada tahun 571 M. untuk menghancurkan Ka‘bah, namun pasukan yang sudah mendekati kota Mekah itu hancur sebelum dapat melaksanakan maksudnya. Adapun mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan burung yang datang berbondong-bondong (Tair Abâbîl) itu, ada bermacam pemahaman di kalangan para ahli (Ulama Tafsir), yang dapat disederhanakan menjadi tiga pemahaman: 1. Abâbîl itu burung buas, yang datang berbondong-bondong membawa batu-batu kecil yang mengandung kuman cacar atau penyakit ganas lainnya. Burungburung tersebut melempari paukan yang sebagian mengendarai gajah dengan
50
batu-batu tadi, sehingga mereka semua dilanda oleh penyakit yang ganas, yang menghancurkan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat. 2. Abâbîl itu kuman penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya, yang berterbangan dibawa hembusan angin. Kuman-kuman itulah yang menyerang pasukan bergajah, sehingga mereka dilanda oleh wabah penyakit yang menghancurkan dan membinasakan mereka, seperti daun-daun yang dimakan ulat.10 3. Abâbîl itu burung buas pemakan bangkai, yang datang berbondong-bondong, segera setelah pasukan bergajah itu mati bergelimpangan akibat terserang penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya. Burung-burung itu berpesta pora mencabik-cabik tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan dengan paruh dan cakar-cakar kaki mereka, menghempaskan daging yang sudah terkoyak-koyak itu ke atas batu, agar lebih tercerai-berai dan dapat dimakan. Dalam pemahaman ini, ungkapan tarmîhim bihijârat difahami dengan pengertian bahwa burung itu melemparkan, memukulkan, atau menghempaskan bagian-bagian tubuh mayat pasukan itu ke atas batu-batu, bukan dengan pengertian melempari mereka dengan batu-batu (bi) tidak diartikan “dengan”, tapi diartikan ‘ala, “ke atas”). Karena itulah, keadaan Abrahah dan bala tentaranya menjadi hancur lebih dan tercerai-berai, yang dalam al-Qur’an diibaratkan seperti daun-daun yang dimakan ulat. 11
10
11
M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 6. M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 7.
51
Pasukan Abrahah morat marit akibat serangan burung-burung itu. Pasukan Abrahah keluar dari negeri Mekah dalam keadaan bingung, sebagian pasukannya berguguran di tengah Perjalanan. Mereka dibinasakan oleh Allah dengan mengirimkan penyakit di badan Abrahah, seperti cacar lepra, setiap detiknya luka itu mengeluarkan darah dan bau. Ketika tiba di Shan’a Abrahah dan pasukannya masih diiringi oleh burung di atasnya, sambil menyerang mereka sampai mereka tak berdaya dan mati. Itulah kekuasaan Allah yang hanya sekejap dapat melumpuhkan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah, yang mengaku bahwa pasukannya amat kuat dan disegani. Pada proses penghancuran Ka‘bah ini, hemat penulis al-Khâzin lebih mengendepankan kisah tentang proses diplomasi antara Abrahah dengan ‘Abd alMutallib dan situasi dan kondisi tentara Abrahah menyerang Ka‘bah. Di sisi lain alKhâzin mengemukakan gajah Najasyi, Mahmud, yang menderum saat diperintahkan untuk menyerang Ka’bah, ia tidak berani untuk maju menuju Ka‘bah karena takut, ia selamat dalam peristiwa itu. Adapun gajah yang berani menuju Ka’bah dan hendak menyerang Ka’bah, gajah-gajah itu pun hancur diserang oleh burung-burung itu. Selanjutnya al-Khazin mengemukakan bahwa uniknya burung-burung itu menghujani mereka dengan kerikil yang ada di paruhnya, dan setiap batu telah tertulis nama dari tentara Abrahah. Batu itu menghantam mereka, sehingga ada seorang tentara yang hancur kepalanya sampai otaknya berantakan sebab terkena lemparan batu itu. Gajah-gajah serta kendaraan mereka ludes hangus, sampai
52
mereka penasaran apa yang telah terjadi kepada tentara Abrahah dan dicobalah untuk membelah gajah itu, tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Namun dalam hal ini ada satu hal yang tidak diungkap secara tegas oleh alKhâzin, yaitu penyerangan burung-burung tersebut merupakan kekuasaan Allah swt. Karena ada faktor sebab akibat. Di sisi lain dalam menghancurkan pasukan Abrahah penyerangan tersebut menrupakan wabah penyakit cacar ganas yang berjangkit ketika itu sehingga siapa pun orangnya yang terkena penyakit tersebut akan mati perlahan-lahan.
3. Pasca Penghancuran. Pasca dihancurkan oleh kekuasaan Allah swt. dengan hanya pasukan burung Abâbîl, menurut riwayat yang menjadi referensi al-Khâzin bahwa Abrahah tidak langsung mati. Tetapi ia terkena wabah penyakit akibat serangan burung-burung tersebut. Lanjut al-Khâzin, bahwa burung yang dimaksud membawa virus seperti cacar atau lepra. Jika manusia terkena, maka setiap detiknya mengeluarkan darah dan berbau busuk. Sampai di negeri Shan’a pun burung-burung terus mengejar Abrahah dan pasukannya sehingga mereka tak berdaya dan akhirnya mereka tewas di Shan’a. 12 Di
dalam
tafsir
al-Khâzin
disebutkan
bahwa
‘Abd
al-Mutallib
mengemukakan rupa burung itu seperti burung-burung yang kecil terlihat dari kejauhan dan di paruhnya terdapat kerikil yang panas, dan burung itu saling
12
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 293.
53
beriringan satu sama lain. pemimpin kelompok itu adalah burung yang paruhnya berwarna merah dan kepalanya berwarna hitam legam, lehernya panjang. Mereka datang lalu menyerang tentara Abrahah dengan cara mematuk kepalanya. 13 Di tempat lain ada yang berkata bahwa pasukan habasyah jatuh berguguran dan tewas di tempat atau di Padang Sahara. Abrahah sendiri mendapat luka di tubuhnya, kemudian ia digotong oleh anak buahnya, namun tubuhnya berjatuhan satu demi satu dan mengeluarkan darah dan nanah. Itulah Abrahah sesampainya di Shan’a yang berubah seperti anak burung. Abrahah meninggal dadanya terpisah dari hatinya. 14 Dalam hal ini pun al-Khâzin menyampaikan perbedaan pendapat mengenai kematian Abrahah. Dikatakannya bahwa Abrahah selamat, tetapi setelah bertemu Raja Najasyi ia tewas. Demikianlah kekuasaan Allah swt. terhadap siapa saja yang hendak melawan dengan ketentuan-Nya. Hanya dengan sekejap manusia yang angkuh dapat dilumpuhkan oleh-Nya. Wallahu A‘lam. Lebih jauh, dalam penyerangan, burung-burung itu menggunakan batu-batu itu tidak pernah ditemukan di atas permukaan bumi, sebab batu itu menembus sampai dasar tanah yang amat panas. Selanjutnya ‘Abd al-Mutallib menyiapkan cangkul untuk menggali sebuah lobang bekas jatuhnya batu tersebut. Dengan galian yang sangat dalam ia tidak menemukan sama sekali batu yang dicari, akan tetapi dengan galian bekas batu-batu yang dihujani oleh burung-burung Abâbîl itu, ‘Abd al-Mutallib melihat lobang penuh dengan emas, dan berlian/mutiara. Dan Abu 13
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 294. Muhammad Nasib al- Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr li Ikhtisâr Fî Tafsîr Ibnu Katsîr. Penerj. Syihabbuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000). Jilid 5. h. 1049. 14
54
Mas‘ûd pun menggali lubang seperti yang dlakukan oleh ‘Abd al-Mutallib, ia pun mendapatkan hal yang sama seperti ‘Abd al-Mutallib. 15 Dari berbagai macam pendapat para ulama, hemat penulis dalam hal ini yang perlu diketengahkan di mana ada ulama yang berpendapat bahwa peristiwa yang suprarasional, atau kisah yang penuh dengan imdâd al-ghaibîy, bantuan dari alam ghaib, tidak akan terjadi peristiwa yang luar biasa itu kecuali hanya untuk menghancurkan pasukan bergajah. Di sisi lain ada yang mengatakan bahwa ini adalah campur tangan Tuhan dengan menggunakan aneka kehendak-Nya. Di tempat lain bahwa peristiwa ini murni sebagai penyakit yang tersebar di lokasi tentara bergajah akibat batu-batu kering yang berjatuhan di lokasi itu. 16 Namun dari semua pendapat ulama, hemat penulis nampaknya lebih bijak dengan mengemukakan bahwa peristiwa tersebut merupakan kekuasaan Allah swt. dalam menyikapi makhluk-Nya yang hendak menghancurkan Rumah-Nya, Baitullah. Lebih dari itu peristiwa ini menunjukkan kepada bangsa Arab, khususnya orang-orang kafir Quraisy yang menyombongkan diri sebagaimana posisinya sebagai pelayan Ka‘bah. Peristiwa ini mutlak sebagai kebesaran Allah swt.
B. Kritik Bahasa Selain menguasai berbagai macam disiplin ilmu, namun satu hal yang menarik bagi al-Khâzin dalam menafsirkan Tafsirnya, yaitu selalu menggunakan pendekatan
15 16
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 294. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 621-625.
55
bahasa yang ma’tsur, pendekatan bahasa yang selalu dikutip dan
sesuai dengan
pendapat para sahabat. Dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa kata yang menurut penulis patut untuk dikritisi berkaitan dengan pemahaman al-Khâzin dalam menafsirkan tafsirnya. Yang pertama mengenai makna اﻟﻔﻴﻞ/al-Fîl. Kata tersebut menurut bahasa digunakan dalam bentuk mufrad, tunggal. Hal tersebut karena pasukan Abrahah hanya membawa seekor gajah. Di sisi lain ada juga ulama yang memahaminya dengan bentuk jama’, hal tersebut berdasarkan kata al yang dirangkai dengan kata Fîl dan mengandung makna jama’. Sedangkan al-Khâzin ketika memahami kata al-Fîl, tidak banyak yang dikemukakan apakah kata al-Fîl itu merupakan mufrad atau jama’. Terlepas dari itu semua al-Khâzin hanya mengatakan bahwa kata al-Fîl hanya seekor gajah. Atau satu gajah saja yang paling besar dan menjadi perbincangan dalam al-Quran yang bernama Mahmud. 17 Selanjutnya al-Khâzin juga mengemukakan bahwa kata al-Fîl merupakan jama’ yaitu jumlah gajah yang ada pada pasukan bergajah adalah 8 (delapan) gajah, ada juga yang mengatakan 12 (dua belas) ekor gajah. 18 Bilangan-bilangan tersebut dikemukakan al-Khâzin tanpa memberi tahu sumber dan rujukan beliau yang biasa dikemukakan ketika memahami dan menyatakan sesuatu sebagai pendukung tafsirnya. Ia hanya mengatakan menurut pendapat, dalam menafsirkan kata al-Fîl juga ia hanya mengatakan bahwa kejadian ini merupakan
17 18
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 291. Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 295. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 617.
56
petunjuk yang besar bahwasanya Allah mampu menjadikan mereka seperti itu dengan Ilmu dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini, ada sebuah pertanyaan yang menyatakan bahwa kenapa harus mengendarai gajah dalam menghancurkan Ka‘bah? Hemat penulis sebagaimana dikutip dari Tafsîr al-Marâghî, 19 bahwa Abrahah dan pasukannya mengendari hewan Gajah menunjukkan kepada seluruh manusia yang ada pada waktu itu akan keperkasaan dan kewibawaan Abarahah dan pasukannya. Di sisi lain, dengan mengendarai gajah, lawanlawan nampaknya merasa down (takut) terhadap kekuatan yang sangat sempurna dilakukan oleh pasukan Abrahah. Kata kedua yang penulis coba kritisi adalah kata اﺑﺎﺑﻴﻞ/Abâbîl. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata ibil. Kata tersebut bermakna kawanan yang banyak sekali, yang datang dari segala penjuru dunia. 20 Menurut sebagian ulama sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, bahwa Abâbîl itu merupakan burung buas yang datang berbondongbondong membawa batu-batu kecil yang mengandung kuman cacar atau penyakit ganas lainnya. Burung-burung tersebut melempari pasukan yang sebagian mengendarai gajah dengan batu-batu tadi, sehingga mereka semua dilanda oleh penyakit yang ganas, yang menghancurkan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat. 21 Lebih jauh dikatakan bahwa Abâbîl itu kuman penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya, yang berterbangan dibawa hembusan angin. Kuman-kuman itulah yang menyerang pasukan bergajah itu, sehingga mereka dilanda oleh wabah penyakit yang 19
424.
20 21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-‘Azîm al-Marâghî. Kairo: Maktabah Ilmiyah. Juz 30. h. Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr li Ikhtisâr Fî Tafsîr Ibnu Katsîr. h. 1049. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 620.
57
menghancurkan dan membinasakan mereka. Barangsiapa yang terkena virus itu, maka dengan sekejap dapat hancur seperti daun-daun yang dimakan ulat. 22 Abâbîl itu burung buas pemakan bangkai, yang datang berbondong-bondong, segera setelah pasukan bergajah itu mati bergelimpangan akibat terserang penyakit cacar atau penyakit ganas lainnya. Burung-burung itu berpesta pora mencabik-cabik tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan dengan paruh dan cakar-cakar kaki mereka, menghempaskan daging yang sudah terkoyak-koyak itu ke atas batu, agar lebih terceraiberai dan dapat dimakan. 23 Mengenai pemahaman ini, ungkapan tarmîhim bihijârat difahami dengan pengertian bahwa burung itu melemparkan, memukulkan, atau menghempaskan bagianbagian tubuh mayat pasukan itu ke atas batu-batu, bukan dengan pengertian melempari mereka dengan batu-batu (bi) tidak diartikan “dengan”, tapi diartikan ‘alâ, “ke atas”). Karena itulah, keadaan Abrahah dan bala tentaranya menjadi hancur dan tercerai-berai, yang dalam al-Quran diibaratkan seperti daun-daun yang dimakan ulat. 24 Dalam hal ini al-Khâzin berbeda pendapat, menurutnya kata Abâbîl adalah kelompok burung yang berpindah tempat, seperti unta pada umumnya. Ia mengutip pendapat Ibnu ‘Abbâs yang berkata, bahwa Abâbîl itu adalah burung yang mempunyai paruh seperti paruh burung yang lain, dan cekernya itu seperti anjing, dan kepalanya itu seperti binatang buas, dan taringnya itu seperti taringnya binatang buas, warnanya hijau dan paruhnya kuning. Ada juga yang mengatakan burung itu berwarna hitam yang 22
Muhammad ‘Abduh sebagaimana dikutip oleh Muhammad Quraish Shihab, Tafsir alMishbah. Vol 15. h. 621. 23 M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 6. 24 M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran. h. 7.
58
datang berbondong-bondong dari laut, setiap burung membawa tiga batu, dua batu di cengkramannya, dan satu batu di paruhnya. Apabila terkena batu itu pasti akan binasa. 25 Mengenai kata Abâbîl, boleh jadi pendapat al-Khâzin dapat dibenarkan dengan mengutip pendapat Ibnu ‘Abbâs. Hemat penulis, apa yang dikutip oleh al-Khâzin merupakan hal yang tepat di mana ia mengutip dari pakar serta ulama hadis yang kredibilitasnya tidak bisa diragukan lagi. Di sisi lain ia mengatakan bahwa hal ini merupakan kebesaran dari Allah dan ancaman bagi siapa saja yang durhaka kepadaNya. Kata ketiga yang menjadi bahan kritik penulis terhadap al-Khâzin adalah kata sijjîl menurutnya kata tersebut bermakna daftar resmi (dokumen) yang mana azab orang-orang kafir telah tertera di sana. Di sisi lain ia juga mengemukakan bahwa kata sijjîl itu adalah batu yang dimasak, batu biasa, dan tanah yang dicampur, dan juga Neraka Sijjîl. Di tempat lain Ibn Hisyam sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir mengemukakan bahwa kata sijjil adalah gabungan dua kata dari kata sinjun dan jillun. Yang pertama bermakna batu dan yang kedua adalah berarti tanah. Dengan demikian menurut Ibn ‘Abbâs bahwa kata sijjil adalah batu yang terbuat dari tanah. 26 Namun dalam hal ini batu yang terbuat dari tanah pun bukan hal yang dapat dianggap remeh. Batu itu dapat melukai orang yang terkena batu itu. sebagai gambaran siapa saja yang terkena batu itu maka ia diperumpamakan bagaikan daun tanaman yang dimakan oleh ulat.
25 26
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 295-296. Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr, h. 1049.
59
Lebih jauh ketika kata ini disandingkan dengan kata, ‘asf, seperti pada kalimat ﻓﺠﻌﻠﻬﻢ آﻌﺼﻒ ﻣﺄآﻮل/faja‘alahum ka ‘asfim ma’kul, maka hal itu seperti tanaman, buah tin yang dimakan oleh binatang lalu dikeluarkan lewat kotorannya, dan tanah yang terkena kotorannya itu menjadi basah hingga tumbuh menjadi seperti tumbuh-tumbuhan sejenisnya. Atau bagaikan kubis bila dimakan oleh hewan, kemudian berubah menjadi kotoran. 27 Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa kata sijjîl di dalam al-Quran terulang sebanyak tiga kali, semuanya digunakan dalam konteks penyiksaan. Selanjutnya kata sijjîl terambil dari bahasa Persia yang telah diarabkan, atau ia merupakan akar kata dari sajjala yang berarti mencatat atau menulis. Dari kata itulah ia difahami dengan makna pada batu-batu yang dilemparkan itu terdapat nama-nama korban yang dituju. Di sisi lain kata tersebut dimaknai dengan arti batu yang bercampur tanah yang terbakar. 28 Selanjutnya ia juga mengatakan dari pendapat ulama lainnya, bahwa sijjîl itu adalah sejenis tanaman dan biji gandum yaitu seperti jerami yang kering. Ada juga yang mengatakan seperti biji, apabila dimakan maka akan sakit tenggorokan. Pendapatpendapat tersebut merupakan kutipan-kutipan al-Khâzin ketika memahami makna sijjîl. Namun pendapat-pendapat tersebut tidak diperkuat dengan mengatakan referensinya, dari ulama mana ia mengutip pendapat mengenai kata sijjîl. Dalam hal ini ada satu hal yang perlu digaris bawahi, mungkin ini pendapat yang bisa penulis terima dengan mencantumkan nama Ibnu ‘Abbâs, menurutnya bahwa kata sijjîl itu difahami oleh Ibnu 27 28
Al-Rifa‘i, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr, h. 1049. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 620-621.
60
‘Abbâs seperti biji yang agak keluar kulitnya seperti biji gandum dan seperti sejenis sampul. Atau Allah swt. membinasakan, menghancurkan, dan mengembalikan tipu daya mereka kepada diri mereka sendiri. Dan apa yang dilakukannya tidak akan mendatangkan kebaikan apa-apa sama sekali. 29
C. Kritik Isrâiliyah Sebelum penulis kemukakan tentang kisah Ashâb al-Fîl yang tercantum dalam surah al-Fîl, apakah ia termasuk kisah yang tergolong dalam kategori isrâiliyah atau bukan, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang isrâiliyah itu sendiri. Kata isrâiliyah merupakan bentuk jamak dari kata isra dan îl. 30
Menurut al-Dzahabî, pengertian
isrâlliyah adalah kisah yang terpengaruh dari kebudayaan Ahl al-Kitab terhadap tafsir. 31 Di tempat lain ia mengatakan bahwa isrâiliyah
merupakan kisah atau
periwayatan yang bersumber dari Yahudi dan Nashrani yang digunakan oleh ulama tafsir dan hadis, atau dengan kata lain ulama tafsir dan hadis yang memasukan cerita
29
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 296. Kata Bani mengandung makna sesuatu yang lahir dari yang lain. Kata Bani juga mengindikasikan hubungan darah atau kekeluargaan. Sedangkan kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, yang terdiri dari dua suku kata, yaitu isra dan il. Isra mengandung makna hamba atau kekasih, dan il sendiri mengandung makna Tuhan. Jadi, arti Israil adalah hamba Tuhan atau kekasih Tuhan. Para mufasir sepakat kata Israil di nisbahkan kepada Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan kata Bani Israil di kaitkan dengan anak-anak Ya’qub bin Ishaq. Adapun gelar Israil diberikan kepada Ya’qub, menurut Thabathabai, karena Ya’qub sangat teguh berjuang di jalan Allah untuk mencapai keridhaan Allah swt. Di tempat lain, Muhammad Mutawali al-Sya’rawi mengatakan, Ya’qub memperolehnya melalui cobaan yang besar, ketika itu ia lulus dari cobaan dan berhak untuk menyandang gelar shafi Allah. Penyebutan Ya’qub dengan Israil dalam arti hamba atau kekasih Allah, menunjukan betapa dekatnya kedudukan beliau disisi Allah. Begitu dekat karena keikhlasan beliau berjuang di jalan Allah swt. lebih dari itu, seiring dengan banyak orang-orang dari Bani Israil yang memeluk agama Islam, dan mereka aktif dalam perkembangan keilmuan Islam serta menyebarkan berbagai macam kisah-kisah yang mereka adopsi dari cerita-cerita semasa mereka masih memeluk agama sebelum Islam, maka cerita mereka inilah yang disebut dengan kisah Israilliyah. 31 Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsir Wa al-Mufassirun (Mesir: Daar al-Maktabah al-Hadis) h. 165. 30
61
lama yang bersumber dari Ahl al-Kitab, atau bisa juga kisah-kisah yang diadopsi dari musuh-musih Islam, karena seiring dengan kemajuan agama Islam banyak juga musuhmusuh Islam yang masuk Islam. 32 Setelah mengetahui definisi isrâiliyah, penulis mencoba melacak apakah benar keberadaan kisah Ashâb al-Fîl merupakan kisah isrâiliyah? Sejauh pengamatan penulis, kisah Ashâb al-Fîl telah menjadi muqadimah mufasir ketika hendak menafsiri surah alFîl, yaitu tentang kisah Abrahah dengan pasukannya yang membawa gajah. Dan berakhir dengan hancurnya pasukan Abrahah hingga ke negerinya. Kisah ini amat menarik dan memikat hati pembaca, di mana di dalam kisah diceritakan tentang kebesaran Allah swt. yang telah membinasakan Abrahah dan Ashâb al-Fîl karena hendak menghancurkan Ka‘bah yang terletak di kota Mekah. Walaupun di sisi lain penyerbuan ini sarat dengan kepentingan, baik politik maupun ekonomi. 33 Namun yang pasti Allah swt. menunjukkan kekuasan-Nya kepada Ashâb al-Fîl. Sebagaimana dikutip oleh para mufasir, bahwa kisah Ashâb al-Fîl terjadi pada masa sebelum Rasulullah saw. dilahirkan, atau lebih tepatnya kisah ini terjadi pada masa kepemiminan Mekah di bawah naungan kakeknya, yaitu ‘Abd al-Mutallib. Pasca kejadian tersebut maka lahirlah Rasulullah saw.
32
Muhammad Husain al-Dzahabî, Isrâiliyah Fi Tafsir wa al-Hadis. (Mesir: Daar al-Maktabah
al-Hadis)
33
Fakhrudîn al-Râzî sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dinyatakan bahwa “Masih ada yang tersembunyi dalam hati Abrahah yang tidak dinyatakan, yaitu kedengkian terhadap masyarakat Arab sehingga dia bermaksud mengalihkan kemuliaan dengan adanya Ka ‘bah itu kepada diri dan bangsa Arab.” Selanjutnya M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa yang tersembunyi dari kedengkiannya itu adalah Abrahah ingin menguasai Jalur Mekah dan daerah tersebut. Shihab, Tafsir al-Mishbah. Vol 15. h. 618. Al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl, juz VII. h. 290.
62
Dengan pengamatan demikian, Penulis menyatakan bahwa kisah tantang Ashâb al-Fîl adalah kisah isrâiliyah, kisah yang seiring dengan perkembangan keilmuan Islam dan semakin banyaknya pemuka-pemuka di luar agama Islam yang masuk dan memeluk agama Islam banyak mengomentari kisah ini, namun dalam hal ini perlu di garis bawahai bahwa kisah ini benar-benar pernah terjadi di Mekah. Yang menarik dalam hal ini adalah, di dalam Tafsîr al-Khâzin, dari mana al-Khâzin mengutip kisah tersebut? Kisah Ashâb al-Fîl yang telah banyak diadopsi oleh mufasir di dalam Tafsîr alKhâzin terdapat dua nama yang al-Khâzin kutip, yaitu Ibnu ‘Abbâs dan al-Wâqidî. Kedua nama tersebut memang tidak asing di telinga para mufasir. Namun satu nama yang menjadi pertanyaan penulis, yaitu al-Wâqidî. Apakah ia mempunyai kredibilitas dalam menyampaikan kisah-kisah yang menjadi acuan para mufasir ketika menafsirkan surah? Penulis dalam hal ini melacak keberadaan al-Wâqidî dalam berbagai macam literaratur. Ditemukan bahwa nama al-Wâqidî adalah Muhammad bin ‘Umar bin Haka al-Islamî Madînî Abû ‘Abdullâh al-Qâdî. Ia adalah seorang Qâdî di Baghdad. Menurut sebuah riwayat ia dilahirkan 130 H. dan wafat pada Dzulhijjah tahun 207 H. di Baghdad, sekarang negara Irak. Al-Dzahabî dalam kitab Siyar A’lâm al-Nubalâ, 34 dikatakan bahwa al-Wâqidî adalah budak ‘Abdullâh bin Buraidah al-Islamî. Ia adalah orang yang Alim dalam bidang sejarah, ahkam dan dapat menyelesaikan ikhtilaf di antara manusia. Ia banyak memberikan komentar terhadap kitab-kitab sejarah salah satunya, kitab istikhraj.
34
Muhammad Husein al-Dzahabî, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’ (Mauqu‘ Ya‘sub) Jilid. 9. h. 454.
63
Para ulama banyak memberikan komentar mengenai al-Wâqidî, di antaranya adalah Imam Muslim dan lainnya mengatakan bahwa al-Wâqidî matrûk al-hadîst, alNasâ’î mengatakan bahwa al-Wâqidî laisa bi tsiqqah. Di tempat lain ada juga yang memberikan komentar bahwa al-Wâqidî juga tidak seperti yang dikritik oleh Imam Muslim dan al-Nasâ’î. Misalnya al-Khatîb mengatakan bahwa al-Wâqidî ia adalah orang yang ahli fikih, baik dan terkenal dermawan. Sedangkan Muhammad bin Salâm al-Jamhî mengkritiknya sebagai orang yang Alim pada zamannya. 35 Dengan
pengamatan
demikian,
hemat
penulis
berdasarkan
apa
yang
dikemukakan oleh Imam Muslim dan al-Nasâ’î bahwa al-Wâqidî merupakan munkar alhadîts. Akan tetapi dalam khazanah literatur Islam, komentar-komentar al-Wâqidî banyak digunakan oleh mufasir maupun ulama yang menulis kitab Takhrîj. Hemat penulis ada kemungkinan ketika komentarnya dapat dijadikan rujukan, ia telah menjadi orang Alim. Karena jauh sebelumnya ia merupakan seorang hamba sahaya. Karena kealiman dan kecerdasannya ia diangkat menjadi Qâdî di Baghdad. Selanjutnya mengenai kisah Ashâb al-Fîl, penulis nyatakan bahwa kisah ini adalah kisah isrâiliyah, walaupun periwayat yang dikutip oleh al-Khâzin masih menjadi perbincangan para pakar hadis. Kemungkinan lain penulis kemukakan bahwa al-Khâzin dalam menafsirkan tafsirnya masih tidak terlepas dengan periwayat-periwayat yang mempunyai kualitas lemah.
35
Al-Dzahabî, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’, Jilid. 9. h. 457.
64
D. Pelajaran dan Hikmah Yang Dapat Diambil Sebagai Pelajaran Setelah mengetahui tentang cerita mengenai Abrahah dan pasukan bergajah, setidaknya dapat diambil hikmah atau mutiara yang terkandung dalam surah al-Fîl. Dalam hal ini ada beberapa hikmah dan pelajaran yang dapat diambil, yaitu pertama, Allah swt. Maha Kuasa atas segala sesuatu. Bahwa segala kekuatan dan kekuasaan tunduk di bawah kekuasaan Allah swt. kisah Abrahah menunjukkan pelajaran penting bagi suku Quraisy yang menyatakan diri sebagai pelayan dan pemelihara Ka‘bah, tetapi mereka malah mendustakan ajaran tauhid kepada Allah swt. di sisi lain, ketika hendak diserang oleh pasukan Abrahah mereka ketakutan, dan ‘Abd al-Mutallib bermohon agar dihindarkan dari serangan pasukan Abrahah demi menjaga Rumah-Nya. Akhirnya munajat ‘Abd al-Mutallib dikabulkan oleh Allah swt. pasukan Abrahah hanya dengan burung-burung
yang
di
dalam
al-Qur’an
dinamakan
dengan
Abâbîl
dapat
menghancurkan keperkasaan pasukan Abrahah. Hal yang tidak masuk akal, hanya dengan burung-burung saja, pasukan Abrahah dapat dilumpuhkan. Ini semua bukan kerja orang-orang Quraisy, tetapi turut campurnya tangan Allah swt. untuk menghancurkan pasukan Abrahah. Di sisi lain, keangkuhan dan kesombongan Abrahah yang ditunjukkan melalui penghancuran Ka‘bah merupakan melawan kehendak Allah swt. di mana Baitullah itu tidak lain adalah bangunan yang dibangun atas dasar ketauhidan kepada Allah swt. oleh bapaknya para Nabi, Ibrahim as., yang juga diakui oleh seluruh agama samawi, lalu Abrahah hendak menghancurkannya hanya karena ada kedengkian semata, yaitu hendak mengalihkan jalur perekonomian ke negerinya.
65
Kedua, Kebesaran Allah swt. ditunjukkan kepada mereka Abrahah yang angkuh dan sombong, ia hendak menghancurkan Ka‘bah dan menggantinya dengan Gereja Qullais, agar orang-orang berbondong-bondong beribadah ke negeri Shan’a dan Abrahah mendapatkan pendapatan lebih dari segi ekonomi. Karena dengan banyaknya orang tersebut, Abrahah dapat memberikan income terhadap perekonomian di negerinya. Lebih dari itu apa yang dilakukan oleh Abrahah merupakan hal yang bertentangan dengan kehendak Allah swt. di mana Ka‘bah merupakan Rumah Suci yang di bangun oleh Bapaknya para Nabi, Ibrahim as., oleh karenanya keangkuhan Abrahah dapat dihancurkan hanya dengan burung-burung Abâbîl orang-orang yang angkuh dan sombong dapat dimusnahkan oleh Allah swt. Di tempat lain dikemukakan bahwa peristiwa ini menunjukkan bahwa Allah tidak ingin menyerahkan pemeliharaan Rumah Suci-Nya kepada orang-orang musyrik, meskipun mereka membangga-banggakan, melindungi dan memeliharanya. Allah memperingati orang-orang yang musyrik kepada-Nya dengan cara yang amat memilukan hati. Dan hal ini bertujuan agar orang-orang kafir Quraisy sadar atas keras kepala yang mereka lakukan. Selanjutnya bisa juga dikatakan bahwa Allah swt. tidak menghendaki kaum Ahl al-Kitab (Abrahah dan tentaranya) menguasai Tanah Suci atau Baitullah. Ketiga, Allah swt. dapat melakukan apa saja, baik melalui hukum sebab akibat yang telah lumrah diketahui maupun di luar hukum-hukum tersebut, dan yang belum diketahui oleh manusia, untuk menghalangi langkah dan tindakan makhluk yang dapat
66
mengalihkan tujuan dan kehendak-Nya. Sehingga dengan adanya proses hukum sebab akibat, maka manusia hendaknya dapat mengambil pelajaran.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab terdahulu, penulis berkesimpulan bahwa sumber tafsir yang digunakan al-Khâzin adalah tafsîr bi al-ra’yî al-mahmûdah. Tafsir yang mendasarkan dengan ijtihadnya sendiri dan didukung oleh ayat-ayat lain, hadis-hadis Rasulullah saw., atsar-atsar dan analisis bahasa. Adapun metode yang digunakannya dalam menafsirkan adalah metode tahlîlî. Hal ini dapat terlihat bagaimana al-Khâzin menafsirkan tafsirnya dengan cara menjelaskan ayat ke ayat, surat ke surat sesuai dengan susunan yang terdapat dalam Mushaf ‘Utsmânî. Sedangkan corak yang menjadi kecenderungan dalam tafsirnya adalah melalui pendekatan adab al-ijtimâ‘î. ia lebih menekankan aspek bahasa dan diaplikasikan dalam sosial ke masyarakatan. Mengenai surah al-Fîl yang menjadi pokok pembahasan penulis, dalam hal ini dapat dibagi ke dalam empat hal : Pertama, Al-Khâzin dalam menafsirkan surah ini dengan mengemukakan kisah yang amat panjang. Kisah tersebut bersumber dari Muhammad ibn Ishâq, Sa‘îd ibn Jâbir dari ‘Ikrimah dan Ibn ‘Abbâs serta al-Wâqidî. Namun yang paling banyak memberi komentar dalam surah ini adalah Ibn ‘Abbâs serta al-Wâqidî. Selanjutnya, kisah ini adalah kisah Isrâiliyah, karena bersumber dari Ahl al-Kitab, atau bisa juga kisah ini diadopsi dari musuh-musih Islam, karena seiring dengan kemajuan agama Islam banyak juga musuh-musuh Islam yang masuk Islam namun perlu dicatat bahwa kisah ini
67
68
memang benar pernah terjadi di kota Mekah. Dan banyak yang memberi sumber mengenai prihal ini. Kedua, Al-Khâzin dalam memahami kata al-Fîl dalam bentuk mufrad atau jama. Ia mengatakan bahwa kata al-Fîl hanya seekor gajah. Atau satu gajah saja yang paling besar yang bernama Mahmud. Di sisi lain al-Khâzin juga mengemukakan bahwa kata al-Fîl merupakan jama’, yaitu jumlah gajah yang ada pada pasukan bergajah adalah 8 gajah, dan di tempat lain ia mengatakan 12 ekor gajah. Ketiga, Al-Khâzin memberikan gambaran mengenai bagaimana cara burung-burung Abâbîl memporakporandakan pasukan Abrahah. Ia mengemukakan bahwa burungburung itu membawa penyakit dan kuman yang sangat ganas di batu, sehingga siapa saja yang terkena batu itu maka ia akan binasa seperti dedaunan yang dimakan ulat. Lebih jauh al-Khâzin menggambarkan tentang perbedaan pendapat tentang jenis dan bentuk burung-burung itu. Keempat, Kisah Ashâb al-Fîl menjadi pelajaran untuk kaum Quraisy yang telah diberikan nikmat oleh Allah swt. tetapi mereka angkuh, berpaling dari ajaran Tauhid Allah swt. Di sisi lain, merekalah yang menjadi pelayan terhadap orang-orang yang melakukan ibadah haji tetapi mereka menyalahi dalam pelaksanaan itu. tidak sesuai dengan petunjuk-Nya. Kehancuran pasukan Abrahah bukan karena serangan dari kaum Quraisy, tetapi munajat ‘Abd al-Mutallib kepada-Nya sehingga dikabulkan oleh Allah swt. dan dihancurkan melalui cara-cara-Nya.
69
B. Saran-Saran Saran penulis terhadap kajian akademik yang memberikan wawasan intelektual terhadap penulis adalah: 1. Kajian mengenai Ashâb al-Fîl perlu mendapatkan kajian lebih serius lagi, terutama dalam bidang hadis. 2. Kajian mengenai tafsir harus difahami dari berbagai macam aspek. Kebahasaan, sosial kemasyarakatan dan pendekatan sejarah. 3. Mengupayakan Fakultas Ushuludin, terutama tafsir lebih banyak menggunakan penelitian, agar apa yang menjadi pokok pembahasan benar-benar melalui kode etik kemahasiswaan yang berbicara atas dasar penelitian dan menggunakan sumber yang kuat.
Daftar Pustaka
Afandi, Dede, “Metode al-Khazin Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Study Ayat Ahkam Bidang Ibadah).”. Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Abbas, Sirajuddin, Tabaqât al- Syâfi‘îyyah. Bandung: Gema Insani Press, 1990. Al-Alûsî, Syihâbuddîn Mahmûd Ibn ‘Abdullâh al-Husainî, Tafsîr Rûh al-Ma‘âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm Wa Sab‘ al-Matsânî, Libanon: Dar al-Fikr, 1990. Al-‘Arid, ‘Alî Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Press, 1992. Al-Baghâwî, Muhyi al-Sunnah Husein Ibnu Mas‘ûd, Tafsîr Ma‘âlim al-Tanzîl. Beirut: Dar al-Fkr, 1990. Al-Dzahabî, Muhammad Husain, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Daru al-Kutub alHadîtsah, 1976. _________________________, Syiar A‘lam al-Nubala’, Mauqu‘ Ya‘sub. J. 9. _________________________, Israilliyah Fi Tafsir wa al-Hadis. Mesir: Daar alMaktabah al-Hadis. Al-Farmawî, ‘Abd al-Hayy, Metode Tafsîr al-Maudu‘î. Jakarta: Rajawali Press, 1996. Al-Hâfiz, Syamsudîn, Tabaqât al-Mufassirûn, Libanon: Daru al-Fikr, 1979. juz I. Al-Hasanî, Muhammad ‘Alawî al-Malikî, Zubdah al-Itqân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. terj. Tarmana Abdul Qasim. Bandung: Mizan Media Utama, 2003. Al-Husainî, H.M.H. Al-Hamîd, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. Al-Khâzin, Abû al-Hasan ‘Alau ad-Dîn ‘Alî bin Muhammad bin Ibrâhîm bin ‘Umar bin Khalil al-Syaihî, , Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘âni al-Tanzîl. Libanon: Daru al-Fikr, 1979. Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-‘Azîm al-Marâghi. Kairo: Maktabah Ilmiyah.
70
71
Al-Muafirî, Abû Muhammad ‘Abdul Mâlik bin Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah Li Ibni Hisyâm. Penerj. Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah, 2000 M. Al-Nîsabûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hujâj bin Muslim al-Qusairîy, Al-Jâmi ‘ alSahîh al-Musammâ Sahîh Muslim (Dâr al-Jail Beirût dan Dâr al-Afâq alJadîdah, Beirût). Al-Rifa‘i, Muhammad Nasib, Taisîr al-‘Aliyy al-Qadîr li Ikhtisâr Fî Tafsîr Ibnu Katsîr. Penerj. Syihabbuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Al-Saha, M. Ishom, dan Hadi, Saiful, Sketsa al-Quran: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran. Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj. Muhammad Qadirun Nur. Jakarta: Pustaka Amami, 2001. Al-Syarbinî, Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad, Tafsîr al-Sirâj al-Munîr. Libanon: Dar al-Fikr, 1990. Al-Suyûtî, Jalâluddîn ‘Abdurahmân, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, terj. Masdar Helmi. Jakarta: Pustaka Amani, 1996. ______________________________, Al-Itqân Fi Ulûm al-Qur’an. Kairo: Daar alKutub Ilmiyah, 1995. jilid II. Al-Tabrânî, Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausât Li al-Tabarânî. Dâr al-Haramain, Qahirah. juz. 3. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad KeXVII dan Ke-XVIII. Bandung: Mizan, 1998. Baidan, Nasrudin Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Baihaqi, Ahmad, “Al-Baqarah dan Keangkuhan Bani Israil (Study Kritis Surah alBaqarah ayat 67 sampai dengan 74). Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Diyaudin, Endoy, “Kisah Thalut dalam al-Qur’an: Kajian atas Tafsir Tahrir wa Tanwir”. Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Depag. Alquran dan Terjemahnya, Bandung,: Gema Insani Press, 1990.
72
Haryono, M. Yudhi, Bahasa Politik al-Quran: Mencurigai Makna Tersembunyi Di Balik Teks. Bekasi: Gugus Press, 2002. Karim, Rasul, “Kisah Perjalanan Nabi Musa as. dan Abdun Saleh dalam Surah al-Kahfi ayat 66 sampai dengan ayat 78”. (Study Komparatif Penafsiran HAMKA dan Quraish Sihab). Skripsi S 1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 2007. Quthb, Sayyid, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân, Bogor: Gema Insani Press. Juz 30. Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992. _________________________, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. _________________________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2003. __________________________pada kata pengantar Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2000. Singkel, Abd al-Rauf, Tarjumân al-Mustafîd, Beirut: Dar al-Fkr, 1990.