MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN SAKSI DAN AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA SENIN, 30 JULI 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 11/PUU-V/2007 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian terhadap Undang-Undang Dasar 1945
PEMOHON Yusri Ardisoma
ACARA Mendengar Keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (IV) Senin, 30 Juli 2007, Pukul 10.00 – 12.30 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H. Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H. Prof. H. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dr. HARJONO, S.H., M.C.L SOEDARSONO, S.H.
Eddy Purwanto,S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti
1
PIHAK YANG HADIR: Pemohon : •
Yusri Ardisoma
Pemerintah : • • • • • • •
Joyo Winoto (Kepala badan Pertanahan Nasional RI) Dr. Ir. Yuswanda Tumenggung (Deputi Pengaturan & Penataan Pertanahan BPN) RB Agus Wijayanto, S.H., M.H. (Dir. Penanganan Perkara BPN) Dr. Guna Negara (Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN RI) Gunawan Sasmita, MPA (Dirt. Land Reform BPN RI) Mualimin Abdi, S.H., M.H. (Kabag. Litigasi Dept. Hukum & HAM) Dr. Sugiri (Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN RI)
Ahli dan Saksi dari Pemohon : • •
Prof. Dr. Arie Sukanti Hutagalung, S.H. M.L.I (Ahli dari Pemohon) Alan Sutarlan (Saksi dari Pemohon)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baiklah Saudara-saudara, Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pemeriksaan perkara ini dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Assalammu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Sebelum kita mulai saya persilakan semua yang hadir untuk memperkenalkan diri lebih dahulu mulai dari Pemohon, silakan. 2.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terima kasih Yang Mulia Ketua Majelis Hakim bahwa nama saya Yusri Ardisoma alamat di Desa Turung Kecamatan Legoluwun, Kabupaten Subang sebagai Pemohon.
3.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Selanjutnya saya persilakan pihak Pemerintah.
4.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Kami Joyo Winoto Kepala BPN RI yang hadir bersama kami dari pihak Pemerintah, Dr. Yuswanda Tumenggung, sebelah kiri saya, Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN RI. Dr. Guna Negara, Kepala Pusat Hukum dan Humas BPN RI. Saudara Agus R.B., S.H., M.Hum., Direktur Penanganan Perkara BPN RI, Drs. Gunawan Sasmita, M.Sc., Direktur Land Reform BPN RI, dan Saudara Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan HAM, terima kasih.
5.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, saya ucapkan selamat datang di Sidang Mahkamah Konstitusi dan selanjutnya saya persilakan pihak Pemohon mengajukan ahli ya? Berapa orang?
3
6.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Ahli satu orang.
7.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dari Pemerintah juga ada?
8.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Kami mengajukan satu orang tapi kebetulan hari ini Dr. Rudi Satrio tidak berkesempatan hadir.
9.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Oh, saya persilakan memperkenalkan diri Ibu? Ya, silakan. 10.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I
Assalammu’alaikum Wr. Wb., Saya Prof. Arie Sukanti Sumantri Hutagalung S.H., M.L.I., mendapat surat tugas dari dekan fakultas hukum dan saya sudah menuliskan ingin memberikan keterangannya kepada para majelis hakim mungkin? 11.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Sekarang perkenalan dulu, nanti pada saatnya.
12.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I Terima kasih.
13.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih, selamat datang. Ini diajukan oleh Pemohon atau bagaimana? Ibu Arie ini? Diajukan oleh Pemohon dan resmi oleh dekan juga ditugasi, baik saya persilakan satu lagi?
14.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terus yang kedua, ini adalah Saksi.
4
15.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Oh, Saksi
16.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Bukan ahli, saksi. Tadinya ada dua orang ini Pak Alan Sutarlan yang kedua Pak Sarwita tidak bisa hadir, terus bagaimana kalau bisa diganti atau tidak dengan yang lain kita sudah ada saksi yang lain barangkali bisa?
17.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Nanti dulu. Jadi yang diajukan Pak Alan Sutarlan? Yang kedua Pak Sukendi?
18.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Dia tidak bisa hadir.
19.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Yang bisa Pak Arlan Sutarlan, saya persilakan memperkenalkan diri.
20.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Nama saya Alan Sutarlan alamat dari Subang.
21.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Hubungannya dengan perkara ini apa? Saudara ini? Apa yang dialami? Sebagai apa ini?
22.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Saya sebagai Saksi.
23.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, wiraswasta ya?
24.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Ya, tani.
5
25.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, wiraswasta dan petani beda itu? Baik, selamat datang ya? Dan kalau ada yang mau ditambahkan sebagai usulan itu diajukan saja secara tertulis dulu dan ada kemungkinan itu diterima tapi bisa juga tidak, karena misalnya pertimbangan bahwa kalau persidangan ini dianggap sudah cukup maka sidang ini cukup satu kali, jadi tidak ada sidang selanjutnya. Kalau nanti kita anggap ini sudah cukup. Demikian juga pihak Pemerintah sekiranya sudah cukup jelas masalahnya bisa saja tidak perlu kita sidang lagi, tapi misalnya memang masih perlu, ada kemungkinan kita bisa buka sidang lagi. Jadi ini kita selesaikan dulu yang sekarang, begitu ya? Jadi yang ada adalah Pak Alan Sutarlan sebagai Saksi dan Ibu Arie Sukanti Hutagalung sebagai Ahli begitu ya? Baik, sekali lagi saya ucapkan selamat datang pada Saudara-saudara. Seperti diketahui sesuai dengan surat panggilan, surat-menyurat resmi mengenai persidangan ini kita akan mengadakan pemeriksaan atas permohonan pengujiaan undangundang yang diajukan oleh Saudara Pemohon mengenai Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. Nah, sebelum kita lanjutkan, saya persilakan terlebih dahulu Saudara Pemohon mengulangi pokok-pokok permohonan Saudara, intinya bagaimana? Apa yang Saudara mohon? Argumennya apa? Saudara datang sendirian ini? Tanpa pengacara? Tanpa didampingi oleh advokat?
26.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Tidak, sendirian.
27.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik silakan, coba diulangi tapi pendek saja ya, intinya saja.
28.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Alasan-alasan Pemohon Dalam pengajuan permohonan ini, Pemohon tidak menyampaikan dalil-dalil hukum yang rumit dan teori-teori hukum yang sulit dan canggih, karena menurut hemat Pemohon, apa yang menjadi alasan Pemohon ini sudah sangat jelas dan kuat serta sulit dibantah, bahwa Pasal 10 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian secara nyata telah bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan setiap
6
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Adapun alasan-alasan permohonannya adalah sebagai berikut: Bahwa jika terjadi tindak pidana dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (disebut Undang-Undang PLTP) adalah pelanggaran, yaitu: a. Bahwa Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang PLTP menyebutkan jika terjadi tindak pidana yang dimaksud ayat (1) huruf (a) pasal ini maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedangkan tanah yang bersangkutan jatuh pada negara, tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian apapun. b. Bahwa pengertian anak kalimat “jika terjadi tindak pidana” adalah mengandung pengertian tidak ada kepastian hukum bagi orang-orang yang memiliki tanah melebihi batas maksimal dan ini hanya berlaku bagi orang yang terkena tindak pidana meskipun memiliki tanah melebihi batas maksimum dibiarkan sekalipun sudah melanggar Undang-Undang PLTP, sebagai contoh, masih banyak Dukrim-Dukrim lain di Republik Indonesia ini dalam artian memiliki tanah yang luasnya melebihi batas maksimum kepemilikan, akan tetapi tanahnya tidak dirampas oleh negara sehingga jelas ada tindakan diskriminatif dan tidak adil. c. Bahwa pengertian anak kalimat, “tanah yang bersangkutan jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun”, ini jelas merupakan sanksi yang sangat berat padahal tindak pidana ini hanya bersifat pelanggaran dan bukan kejahatan yang seharusnya kita setujui bersama dengan penetapan luas tanah pertanian maka batas maksimal diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian sesuai Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Sehingga Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang PLTP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945. d. Bahwa penjelasan Pasal 10 dan 11 adalah sebagai berikut, sudah dijelaskan dalam penjelasan umum angka (10) apa yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) tidak memerlukan keputusan pengadilan tetapi berlaku karena hukum setelah ada ketentuan hakim yang mempunyai ketetapan hukum untuk dijalankan, yang menyatakan bahwa benar terjadi tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1), jika di sini adalah penjelasan yang keliru dimana kalau tidak ada keputusan pengadilan pasti tidak ada ketentuan hukum yang mempunyai kekuatan yang untuk dijalankan. Oleh karena kejelasan ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. e. Bahwa Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang PLTP menyebutkan jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) pasal ini maka kecuali di dalam hal termaksud dalam Pasal 7 ayat (1), tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/atau anggota keluarganya dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk mengemukakan 7
keinginannya mengenai tanah yang jatuh kepada negara, ia tidak berhak atas ganti kerugian berupa apapun. Bahwa pengertian anak kalimat “jika terjadi tindak pidana” adalah pengertian yang tidak adil dan diskriminatif karena hanya yang terkena tindakan pidana saja sedangkan yang tidak kena tindakan pidana lepas dari ketentuan ini. Bahwa karena tidak adil ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, yang seharusnya dikatakan bila ada orang yang tidak taat kepada ketentuan peraturan perundangundangan dengan diberi sanksi pidana dan bukan terjadi tindak pidana baru diberi sanksi. Kalau ada diskriminatif yang membeda-bedakan yang satu dengan yang lain karena yang terjadi tindak pidana dikenakan sanksi dan yang tidak kena pidana bekas bebas dalam ketentuan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang PRP Tahun 1960 dan ini jelas ada diskriminatif dan ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar 1945, “setiap orang berhak bebas dari pengakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bahwa anak kalimat, “mengenai tanah yang jatuh kepada negara itu tidak berhak atas ganti kerugian berupa apapun”, adalah perkataan yang melanggar hak asasi manusia sebab ini bertentangan Pasal 28H ayat (4), “setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Berarti negara pun tidak boleh mengambil alih secara sewenang-wenang. Jadi tidak ada tanah yang jatuh pada negara terkecuali ada kesepakatan antara pemilik dengan negara dengan bentuk sesuai dengan pengadilan sesuai dengan Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Jadi jelaslah apa yang diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UndangUndang PLTP tidak sejalan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar 1945. 29.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup? Ya, diringkaskan! Tekan mic-nya!
30.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA
Maka berdasarkan fakta-fakta, alasan-alasan, dan pendapat sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon memohon agar yang terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat berkenan untuk memberikan keputusan sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon; 8
2. Menyatakan Pasal 10 ayat (3), (4), dan Penjelasan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 3. Menyatakan materi muatan Pasal 10 ayat (3), (4), dan Penjelasan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. 31.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Ya, cukup! Baik, sebelum nanti Pemerintah saya beri kesempatan, supaya lengkap begitu kita lanjutkan saja dulu ke pembuktian kita dengar keterangan Saksi. apa yang diterangkan oleh Saksi nanti Saudara tanya ya? Tapi sebelum itu sesudah Saksi, Ahli. Sekarang pengambilan sumpah dulu. Saya persilakan Pak Alan Sutarlan berdiri, silakan berdiri! Pak Laica?
32.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Saudara calon Saksi diminta mengikuti lafal sumpah yang bakal dibacakan, Demi Allah saya bersumpah akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
33.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN
Demi Allah saya bersumpah akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 34.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Ya, terima kasih.
35.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Kita lanjutkan Ibu Arie sebagai Ahli?
36.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Diminta mengikuti lafal sumpah yang akan dibacakan, Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
9
37.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
38.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H. Terima kasih.
39.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, sekarang kita mulai dengan Saksi. Saya persilakan Saudara Pemohon sesudah tadi Saudara terangkan pokok-pokok permohonannya. Nah, sekarang kesaksian apa yang perlu diterangkan oleh Pak Alan Sutarlan dalam rangka mendukung argumen atau dalil yang Saudara ajukan tadi? Coba silakan! Jadi Saudara yang tanya. Coba silakan, dipandu.
40.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, kepada Saudara Saksi yaitu Bapak Alan, saya akan menanyakan bahwa apakah Bapak Dukrin itu memiliki tanah melebihi batas maksimal?
41.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Betul.
42.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Yang kedua, saya juga memiliki tanah lebih dari batas maksimal, terus sesuai yuridis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di lapangannya berjalan atau tidak? Itu saja barangkali.
43.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Tidak.
44.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Jadi begini, saya terangkan dulu ya. Beda Saksi dan Ahli. Kalau Saksi itu faktual, fakta. Jadi apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dirasakannya sendiri, dialaminya sendiri, itu yang perlu diungkapkan untuk mendukung permohonan Saudara. Kalau Ahli, orang yang didengar keterangannya berdasarkan 10
keahliannya, pengetahuannya, begitu. Jadi itu nanti yang akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Kalau di luar itu kita tidak akan pertimbangkan, silakan. Dijawab atau ditanya lagi, biar pasti, pertanyaannya tadi. 45.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Apakah Saksi pada tahun 1979, waktu Saksi sebagai Kepala Desa Pangalengan, apakah ada kasus tanah almarhum Bapak Dukrim?
46.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Betul, ada. Kurang lebih 23 hektar di wilayah saya, tapi jumlah yang ada menurut pengetahuan saya kurang lebih 277 hektar terdiri dari tiga desa, satu desa Tegalurung, dua Pamanukan Hilir, tiga Pangalengan dengan jumlah total dua ratus tujuh puluh tujuh koma sekian hektar.
47.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Apakah tanah itu oleh Pemerintah itu dirampas atau disita oleh Kejaksaan Negeri pada waktu itu?
48.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Betul, dirampas dan saya juga diberikan surat dari Kejaksaan pada waktu itu, dititipkan kepada saya.
49.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terus, apakah di sana masih banyak orang-orang yang seperti Dukrim yang memiliki tanah pertanian atau diproses atau tidak sampai sekarang?
50.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Masih ada, seperti Dukrim-dukrim yang lain. Secara yuridis memang masih ada tapi tidak berjalan di lapangan. Saya bisa buktikan karena saya disumpah, di daerah saya juga ada beberapa orang yang lebih dari seperti Pak Dukrim, banyak Dukrim-dukrim yang lain, tapi kenyataannya di lapangan tidak berjalan. Kenapa orang lain tidak seperti di Pak Dukrim-kan?
51.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Saya Pemohon mempunyai tanah lebih dari batas maksimal. Apakah betul saya memiliki tanah sebelas hektaran? 11
52.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Pak Yusri kalau tidak salah, sepengetahuan atau informasi itu kurang lebih 11 hektaran.
53.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Apakah saya pernah didengar atau dilaporkan, dipanggil oleh BPN atau dipanggil oleh pejabat di sana, kepala desa atau camat atau bupati barangkali? Pernah dengar saya dipanggil untuk urusan itu?
54.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Urusan yang mana?
55.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Yang lebih tanah, tadikan saya juga memiliki tanah, pernah tahu? Pernah dipanggil atau tidak?
56.
SAKSI DARI PEMOHON : ALAN SUTARLAN Tidak, tidak pernah tahu.
57.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Barangkali cukup itu saja dulu.
58.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, sudah cukup begitu? Ini untuk pelajaran, jadi Saudara itu berhak sebagai warga negara untuk berperkara, juga berhak didampingi oleh advokat. Dan Sidang Mahkamah Konstitusi tidak main-main ini, kalau misalnya permohonan itu dikabulkan, undang-undang buatan DPR bersama Presiden dibatalkan, jadi tidak bisa dianggap tidak serius, jadi sangat serius kalau berperkara di Mahkamah Konstitusi. Jadi Saudara punya hak untuk didampingi oleh advokat, karena masalah tanah ini masalah yang sangat serius, banyak masalah tanah di seluruh Indonesia. Jadi Saudara punya hak, tapi Saudara tidak pakai itu hak, silakan kalau begitu, sudah dianggap selesai ini? Saksi?
59.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Pertanyaan saya sementara itu saja dulu.
12
60.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, selanjutnya saya persilakan Saudara Ahli, silakan barangkali kira-kira pertanyaannya adalah apakah materi yang dimohonkan oleh Saudara Pemohon ini secara hukum memang—sesuai dengan yang menjadi keahlian Profesor Arie—itu memang dapat dibenarkan, apa yang dalil-dalil yang dimajukan oleh Saudara Pemohon ini? Saya persilakan.
61.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I Materi hukum yang sedang diuji memang bidang saya, tetapi halhal lain di luar itu bukan bidang saya. Contohnya apakah persoalan pribadi itu bisa mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi? Itu pertanyaan saya yang pertama. Apakah masalah ini masalah tadinya pidana, kemudian untuk menghapuskan undang-undang ini apakah secara pribadi seorang warga negara Indonesia dapat mengajukan pengujian berdasarkan itu ke Mahkamah Konstitusi? Itu yang tidak saya ketahui. Tapi atas dasar kemanusiaan dan atas dasar perintah dari, memang permohonan dari yang bersangkutan dan juga adanya surat tugas dari dekan, saya sudah membuat suatu argumentasi sebagai ahli di bidang hukum agraria, tidak di luar itu.
62.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan, silakan!
63.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I Yang pertama memang ini Undang-Undang 56 PRP Tahun 1960 ini diundangkan pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku yang tadinya itu merupakan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tiga hal yang diatur; penetapan luas tanah maksimum pertanian dan penguasaannya juga penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan pengembalian serta penebusan tanah-tanah yang digadaikan. Memang di kalangan pakar hukum agraria termasuk konseptor dari Undang-Undang Pokok Agraria, Profesor Budi Harsono juga menyatakan bahwa salah satu hal yang harus disempurnakan dalam Undang-Undang Pertanahan adalah pelaksanaan dari Pasal 7 dan 17 Undang-Undang 56 PRP Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Juga di samping hal-hal lain seperti nanti dapat dibaca dalam uraian saya.
13
Kemudian kami juga kebetulan meneliti mengenai land reform tahun 1979 sampai 1980, salah satu Kecamatan di Kabupaten Minahasa, juga kami temukan bahwa ketidaksuksesan program land reform sebagian berada dari tidak sempurnanya Undang-Undang 56. Dan kebetulan dari asas-asas hukum tanah nasional, ada beberapa asas yaitu asas regiolisitas, kemudian asas kebangsaan, asas demokrasi, asas pemerataan, asas kesamaan dan kemitraan, asas kepastian hukum dan keterbukaan, asas penggunaan dan pemanfaatan tanah. Yang terakhir adalah asas kemanusiaan yang adil dan beradab, itu satu. Jadi salah satu dasar hukum tanah adalah asas kemanusiaan dan beradab dalam penyelesaian masalah pertanahan sesuai dengan sila kedua Pancasila. Dan perwujudan sifat negara hukum berdasarkan Pancasila ini khususnya sila kedua itu juga ditampung dalam Tap MPR Tahun 2001 dan dinyatakan sebagai salah satu prinsip pembaruan agraria. Dalam hukum tanah nasional itu sendiri bahwa memperoleh tanah kepunyaan siapapun untuk keperluan apapun harus dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan baik mengenai penyerahan tanah maupun imbalannya, termasuk dalam rangka pencabutan tanah. Dari uraian tersebut kami menyimpulkan bahwa asas hukum tanah nasional sangat memperhatikan hak asasi manusia sebagai pemegang hak atas tanah dan walaupun untuk pencabutan hak diambil secara paksa, tapi juga diberikan ganti rugi yang layak. Hal ini sesuai dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dilihat dari Pasal 3 Undang-Undang 56 PRP 1960, yaitu kewajiban untuk melapor bagi orang yang mempunyai tanah di luar batas maksimum, menurut hemat kami ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu sosialisasi undang-undang tersebut kepada masyarakat yang terkena. Kemudian derajat kepatuhan masyarakat tersebut. Jadi secara sosiologis hal tersebut Pasal 3 itu sulit untuk diimplementasikan pada saat diundangkan Undang-Undang 56 dimana alat-alat komunikasi untuk menerima informasi belum secanggih seperti sekarang ini. Jadi belum ada penyuluhan melalui televisi dan sebagainya, seingat saya televisi baru ada tahun 1962. Kemudian sanksi dari pelanggaran Pasal 3, 4, 6, dan 9 sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) ada denda dan mungkin kalau sekarang itu ditentukan dengan harga emas dan juga ada kurungan. Tetapi dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) itu ditambah lagi, jadi menurut hemat kami tidak adanya pemberian ganti rugi bagi pihak yang melakukan pelanggaran itu bertentangan dengan asas-asas hukum tanah nasional, asas perolehan hak sebagai dasar pembangunan hukum tanah nasional, dan juga tidak memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana dicantumkan di pasal di Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu memang ada beberapa pasal yang tidak relevan lagi sesuai dengan keadaan sosial ekonomi sekarang, misalnya melapor. Orang yang tanahnya luas harus melapor, jadi ini sangat terpengaruh pada sosialisasi undang-undang dan derajat kepatuhan hukum orang tersebut. 14
Jadi memang sudah saatnya Pemerintah mengadakan perubahan atas Undang-Undang 56. Jadi hanya ini yang dapat kami sampaikan dari sisi hukum tanah nasional sebagai salah satu tugas kami dalam pengabdian masyarakat. Terima kasih kepada yang mulia para Hakim, secara tertulis juga sudah kami siapkan. 64.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih, ada dua belas copy atau satu? Silakan petugas, diambil dulu! Semestinya melalui Pemohon, jadi Saudara yang mengajukan Saudara yang meng-copy jadi dua belas, dibagi-bagi. Semua orang yang berperkara di sini tidak ada biaya. Jadi fotokopi masing-masing, Pemerintah juga begitu, copy sendiri. Baik, kalau Pemohon masih ada lagi yang mau ditanyakan untuk mendukung argumen Saudara? Saudara mengajukan Pemohon maksudnya untuk mendukung argumen Saudara, tadi setelah mendapat penjelasan secara umum apa masih ada yang perlu ditanya? Silakan.
65.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Mungkin saya akan bertanya kepada Ahli, ini kenyataan di lapanganlah Prof. Jadi apakah tadikan undang-undang itu Profesor katakan 17980 di Kabupaten tadi di Minahasa atau apa begitu, ini kenyatan di lapangan bahwa kalau kami hanya melihat di Kabupaten Subang saja, di luar Kabupaten Subang kami belum tahulah. Kenyataan bahwa land reform ini tidak berjalan karena tadi yang seperti kasus mungkin orang tua saya, dia ada tindak pidana, baru dia kena sanksi Pasal 10 ayat (3) dan (4). Ternyata seperti saya sendiri yang mempunyai tanah tadi tidak melapor dibiarkan saja. Pertanyaan saya mungkin ini di seluruh Indonesia apakah undang-undang ini sampai sekarang masih berlaku atau tidak begitu? Itu saja barangkali.
66.
AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H., M.L.I Selama belum ada yang mencabut undang-undang ini tetap berlaku. Yang kita pertanyakan di sini adalah efektifitasnya. Sedangkan efektifitas itu tidak hanya tergantung dari undang-undang itu sendiri, tapi juga tergantung dari para penegak hukumnya dan para pihak yang terkena hukum itu dan fasilitas-fasilitasnya.Tadi saya sudah sebutkan pada saat itu mungkin belum ada fasilitas yang dapat memberikan sosialisasi undang-undang itu kepada masyarakat, sehingga pelanggaran itu dilakukan atas adanya ketidaktahuan, terima kasih.
15
67.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Cukup?
68.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Ya.
69.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, sekarang Saudara haknya sudah dipakai. Sekarang haknya pembentuknya undang-undang, walaupun Pak Joyo ini tidak terlibat dalam membentuk undang-undang tahun 60-an ini, tetapi sebagai institusi; Presiden, DPR itu adalah dua lembaga pembentuk undangundang yang pada kesempatan ini kami minta keterangannya mengenai undang-undang yang dimohonkan pengujiannya ini, termasuk juga kami juga ingin mendengar bagaimana politik pertanahan nasional yang dirancang, yang sedang dikerjakan, sedang dikembangkan oleh Pemerintah sekarang ini. Ini saya rasa kesempatan untuk Pemerintah untuk menjelaskan dalam sidang ini dan sekaligus sesudah itu nanti sekiranya mau mengajukan pertanyaan kepada Ahli dan Saksi boleh, jadi diberi hak supaya seimbang. Pemerintah juga boleh tanya kepada Ahli yang diajukan oleh Pemohon, kepada Saksi yang diajukan Pemohon. Di samping tentu nanti Majelis Hakim mungkin kalau ada yang mau tanya akan saya beri kesempatan juga. Sekarang, saya persilakan.
70.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN)
Bissmillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, Pada pagi hari ini izinkan kami merespon dua hal, sebagaimana arahan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang pada tanggal 26 Juni lalu, yaitu yang pertama berkaitan dengan politik pertanahan dan bagaimana penataan pertanahan ke depan. Dan yang kedua, mengenai efektifitas pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 ini. Bersamaan dengan ini kami sudah mempersiapkan dua belas eksemplar bahan yang akan kami sampaikan kepada Yang Mulia dan terdiri dari dua bahan. Bahan yang pertama adalah sebagian dari bahan yang akan kami bacakan. Dan yang kedua adalah bahan yang nanti kalau diizinkan waktu agak leluasa, kami akan sajikan melalui overhead (projector). Dan yang kedua, sebelum kami sampaikan lebih lanjut, kami ingin perkenalkan tambahan dari pihak Pemerintah, bersama kami juga 16
hadir Dr. Sugiri. Beliau adalah Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN-RI, ini lembaga yang baru kami lahirkan setelah kami memimpin BPN-RI. Ini barangkali catatan-catatan yang kami sampaikan dan mohon diizinkan agak leluasa barangkali waktu yang kami butuhkan untuk itu. 71.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan! Ini penting juga dalam sidang resmi ya, jadi disaksikan juga oleh masyarakat luas. Silakan.
72.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa dan ini secara jelas secara resmi tertuang di dialam Undang-Undang Pokok Agraria. Dan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria juga disebutkan bahwa hubungan tanah dengan manusia Indonesia itu bersifat abadi. Di dalam istilah filsafat sekarang, ini hubungan tersebut bersifat asasi karena memang fundamentalnya persoalan-persoalan pertanahan, baik sebagai sumber-sumber kemakmuran maupun sumber-sumber politik masyarakat. Dan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria juga disebutkan bahwa hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah Indonesia adalah cerminan kebangsaan Indonesia dan tanah adalah perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi bangsa Indonesia hubungan manusia masyarakat dengan tanah sebagaimana kami sampaikan merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik akan lahir kemiskinan, ketidakadilan atau berbentuk lain yang nanti akan disampaikan secara khusus yang setelah kami frame, yang umumnya bisa bersifat struktural, khususnya persoalan-persoalan pertanahan ini. Hubungan yang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungi keberadaannya oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 termasuk setelah amandemen. Sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menunjukkan suatu perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di sana tertuang tujuan dan cita-cita kemerdekaan, tetapi kalau kita artikulasikan secara utuh sesungguhnya ujung dari perjalanan kebangsaan dan berkenegaraan kita adalah mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan negara. Kalau ini yang diatur secara apik di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Pokok 17
Agraria yang disebut lahirnya hak menguasai negara. Hak negara dimaksud berisi kewenangan. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati. Kalau kita melihat Pasal 33 terlebih dahulu, “Bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara”. Ini memang kita bisa mengartikan apa saja tergantung perkembangan sistem politik kita, tetapi yang paling penting dari semua itu adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan di dalam konteks itulah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria mengatur kewenangan bagi negara yaitu kewenangan yang pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. Kedua, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Ketiga kewenangan sebagaimana yang dimaksud tersebut, untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 7 mengamanatkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Selanjutnya di dalam Pasal 17 bahwa untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang dapat dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang, sehingga dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Tanahtanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian dan selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Luas maksimum dan minimum yang dimaksud ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi undang-undang. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia. Ini adalah pengantar kami, izinkan kami untuk memberikan presentasi lebih luas untuk merespon secara spesifik arahan dari Majelis 18
Hakim pada sidang yang lalu. Kami akan menggunakan overhead untuk ini, tayangan kami akan diberikan judul, “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Pengertian ini kami ambil sepenuhnya dari beberapa dokumen. Satu, dokumen Undang-Undang Dasar 1945. Dua, dokumen Undang-Undang Pokok Agraria. Tiga, Tap MPR Nomor IX Tahun 2001. Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003, dan juga Pidato Politik Presiden RI tanggal 31 Januari Tahun 2007 yang lalu. Di dalam kerangka ini, setelah kita mengartikulasikan beberapa dasar dari politik pertanahan di tanah air itu sebenarnya dasar-dasarnya sudah ada. Dasar-dasar dari politik pertanahan di tanah air itu, kalau boleh kami artikulasikan secara umum adalah, yang pertama, adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal yang kedua, beberapa pasal dari batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33. Dan acuan yang selanjutnya dari arah politik pertanahan di tanah air adalah Undang-Undang Pokok Agraria dan undang-undang turunan yang masih konsisten dan sejalan dengan Undang-Undang Pokok Agraria, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960. Yang selanjutnya sebagai acuan adalah Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 mengenai pembaruan agraria. Yang inipun nanti kami minta diberikan porsi sedikit untuk mengkaitkan dengan semua persoalan dan perjalanan kita ke depan. Dan yang kelima, sebagai acuan dari politik pertanahan adalah Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003 yang mengharuskan Pemerintah untuk melakukan reformasi agraria atau pembaruan agraria nasional. Dan acuan politik yang terakhir adalah Pidato Presiden RI tanggal 31 Januari 2007 yang menyatakan—kami ambil sitirannya adalah, program reforma agraria secara bertahap akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita, boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah menurut Presiden yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Yang hal ini saya anggap mutlak untuk dilakukan. Kalau kita artikulasikan secara keseluruhan dan untuk mempermudah perjalanan kita menata pertanahan di tanah air dari prinsip-prinsip politik pertanahan yang kami sebutkan tadi, sebenarnya kita hanya mengenali empat hal yang mendasar. Dan kami mohon izin juga untuk memberikan elaborasi konsepsional normatif, tetapi sekaligus realitas-realitasnya dan bersamaan dengan ini kami akan angkat datadata yang akan mendukung. Jadi berdasarkan prinsip-prinsip tersebut sebenarnya pertanahan ini dengan karakteristik yang mendasar untuk kehidupan tersebut empat hal yang kita harapkan menjadi acuan dasar setiap gerak pelaksanaan, penyelenggaraan atau kebijakan-kebijakan pertanahan di tanah air yaitu, yang pertama, tanah harus terkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan masyarakat, dan 19
membangkitkan sumber-sumber kemakmuran baru bagi rakyat. Di dalam kerangka ini banyak hal yang kita lakukan. Satu, tentu memberikan akses yang nyata bagi rakyat terhadap sumber ekonomi dan sumber politik negara ini, yaitu tanah. Dan tentu kita bisa juga membangkitkan aset-aset tidur berupa tanah menjadi aset-aset produktif untuk rakyat. Dan skema ini tentu kita masuki. Kenapa kita perlu menjadikan ini sebagai prinsip? Kalau diizinkan kami akan menyampaikan data. Data di sini ada dua hal saja yang akan kami angkat, yaitu yang pertama data mengenai kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia sekarang ini, menurut data akhir tahun 2006 adalah 39,3 juta, tapi data terbaru yang baru keluar yang diliris oleh BPS adalah 37,17 juta. Ini Majelis Hakim yang Mulia, ini kurang lebih 16 kali penduduk Singapura. Dalam komposisi ini ada data yang tidak saya sampaikan secara khusus ini, ada data yang hasil studi yang menyatakan, dari keseluruhan rakyat miskin di Indonesia itu 66% ada di pedesaan 56% berkaitan dengan pertanian. Dari penelusuran kita lebih lanjut, dari masyarakat miskin yang ada di pedesaan itu, 90% bekerja, ini data yang sangat-sangat menarik untuk melihat bahwa rakyat Indonesia itu bekerja tetapi miskin, jumlahnya 90%. Setelah kita dalami lebih lanjut mengapa rakyat Indonesia yang sudah bekerja ini juga masih miskin, ternyata persoalan utamanya adalah akses rakyat, akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi itu yang very limited—sangat terbatas, baik terhadap tanah, modal, pendampingan, pengembangan, pendidikan, kesehatan, dan seterusnya ini adalah persoalan riil yang dihadapi oleh bangsa kita dan pertanahan harus bisa, politik pertanahan harus bisa menembus ini karena kalau tidak persoalan-persoalan struktural ini tidak akan pernah terselesaikan di dalam perjalanan kebangsaan kita ke depan. Data yang kedua yang kita miliki adalah data pengangguran. Data pengangguran kita yang terakhir adalah 10,45%. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, untuk memberikan gambaran saya tidak terlalu paham hukum secara pribadi, karena background saya adalah ekonomi politik, jadi mungkin di dalam kerangka itu tapi nanti coba akan tetap akan kita kaitkan dalam konteks hukum dan UndangUndang Dasar yang kita miliki. Di dalam aturan semacam rule of thumb yang ada di berbagai negara, pengangguran itu sebaiknya tidak lebih dari 6%, karena itu punya implikasi-implikasi yang sangat luas bagi suatu negara. Sementara kita memiliki 10,45% setara dengan 11,1 juta kurang lebih empat kali penduduk Singapura saat sekarang ini. Ini tentu pertanahan harus punya kontribusi yang jelas, politiknya harus diarahkan ke sana, kebijakannya harus mengarah ke sana dan nanti akan kami sampaikan apa langkah-langkah tersebut. Jadi prinsip yang pertama dari politik pertanahan adalah meningkatkan kesejahteraan dan membangun sumber-sumber kemakmuran baru bagi rakyat. Prinsip yang kedua, adalah untuk menata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan. Kami punya data kalau ini data yang setiap saat bisa kita temukan mengenai penguasaan dan 20
pemilikan, tetapi izinkan kami kalau dimungkinkan yang saya sitir sekarang off the record, dimungkinkan Majelis? Bagian yang terakhir data yang akan saya sitir? 73.
KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Nah, ini sidangnya terbuka untuk umum jadi biasanya makin dibilang off the record makin menarik, karena memang ini terbuka. 74.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Jadi ada satu studi yang menyatakan begini, kurang lebih 0,2% dari penduduk di negeri ini menguasai kurang lebih 56% aset nasional, tetapi ini tetap butuh verifikasi, tetapi indikasi, kita anggap saja sebagai indikasi. Dari studi lebih lanjut 62 sampai 87% tergantung lokasinya, tergantung wilayahnya. Konsentrasi aset ini dalam bentuk tanah. Ini bisa dalam bentuk perkebunan, tambak, properti, dan seterusnya. Intinya, jika kita bisa menata politik pertanahan di tanah air ini, maka pertanahan sebenarnya bisa berkontribusi antara 62 sampai 87% di dalam penataan kehidupan yang lebih berkeadilan di tanah air ini. Ini adalah suatu prinsip yang menurut pendapat kami sangat-sangat mendasar, belum lagi kalau kita lihat data-data semacam ini bahwa penguasaan tanah dari hari ke hari semakin terparsialisasi, semakin kecil, semakin kecil oleh karena hukum pewarisan dan sebagainya. Jadi komplikasinya memang kaitannya banyak, jadi tidak bisa berdiri sendiri. Yang ketiga, atau prinsip yang ketiga adalah pertanahan harus punya kontribusi yang nyata untuk mewujudkan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia. Di dalam konteks sustainability—keberlanjutan, hal ini bisa terjamin jika dan hanya jika, keberagaman terjaga, akses rakyat, masyarakat terjaga, tapi yang lebih penting dari itu adalah kesempatan bagi anak cucu kita besok lebih baik secara sah, lebih luas daripada kita hari ini. Di dalam konteks pertanahan ada dua hal yang sangat mendasar yang menurut pendapat saya sangat penting untuk dibangun konsensus baru di negeri ini, yaitu yang pertama mulai ada degradasi di dalam pemikiran kita untuk tidak membedakan antara suatu keputusan negara dengan persoalanpersoalan pelayanan, yang menurut berbagai tataran ini tidak bisa disamakan. Yang kami maksudkan di sini adalah sebagai contoh mengenai batas waktu pemberian hak. Undang-Undang Pokok Agraria sebagai contoh memberikan untuk HGU 35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun, kalaupun kita jumlahkan itu 60 tahun. 60 tahun itu adalah kisaran dua sampai dua setengah generasi. Apapun yang diputuskan oleh negara ini boleh, sejauh ini dibangun melalui konsensus bersama yang dituangkan secara hukum. Pertanyaannya kemudian, ini didekritir dalam konteks pelayanan, kenapa kita tidak bisa memberikan hak langsung 90 tahun? 95 tahun dan 21
sebagainya? Pertanyaannya adalah apakah betul negara di dalam mengelola sumber dayanya, mengelola tanah yang vital bagi NKRI ini mengikuti sistem itu atau sistem yang lain? Apapun kalau bagi kami itu harus bangun konsensus politik yang tertuang di dalam hukum kita, itu yang pertama. Jadi ini menjadi hal yang menurut pendapat saya layak dibangun konsensus-konsensus baru. Yang kedua, mengenai luasan. Berapa banyak luasan seseorang itu boleh memiliki? Kita punya undang-undang, kita bersyukur dengan Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 sebagaimana yang diajukan oleh Saudara Ardi Soma, yang ada juga persoalan pribadi yang menyangkut dengan ini, tetapi ini adalah suatu undang-undang yang sangat penting yang sudah memberikan tonggak bagi kita untuk memberikan pembatasan yang jelas, yang clear. Walaupun Majelis Hakim yang kita miliki sekarang baru pembatasan pemilikan untuk perorangan dan rumah tangga. Yang belum kita miliki adalah untuk penguasaan dan pengusahaan oleh badan-badan hukum, ini juga persoalan yang menurut pendapat kami adalah hal yang harus diatur melalui suatu konsensus bangsa dan dituangkan dalam undangundang, tidak boleh asal apa saja boleh. Ini merupakan dua hal besar yang menurut pendapat kami memberikan jaminan kepada anak cucu kita, opportunity—peluang— yang sah yang lebih baik, apapun mekanisme pengaturannya. Kita sering diplesetkan sebagai contoh, “lho sekarangkan harga sawit tinggi? Iya betul, harga sawit tinggi. Apakah kita tidak perlu mengembangkan sawit? Perlu. Pertanyaannya apakah harus dikuasasi oleh satu, dua, tiga orang, empat orang atau mungkin lima orang atau aksesnya dibuka lebih luas untuk rakyat dan bangsa ini? Ini adalah pertanyaan mendasar yang menurut pendapat kami adalah bagian dari sistem politik pertanahan yang kita atur dan inilah pilar ketiga yang menurut pendapat kami sangat-sangat penting untuk menjadi perhatian kita sebagai bangsa saat ini. Yang keempat, prinsip pertanahan kita yang keempat adalah kita ingin secara nyata bahwa pertanahan itu punya kontribusi yang nyata untuk harmoni sosial, mohon maaf kami menggunakan istilah lebih sosiologis tidak menggunakan istilah law and order di dalam pengertian hukum karena ini kami tarik dengan perspektif yang lebih luas. Hasil simulasi kami kalau persoalan-persoalan sengketa dan konflik pertanahan di tanah air sekarang ini tidak diatasi secara sistemik, sepuluh tahun ke depan persoalan-persoalan yang kita hadapi lebih banyak persoalan pertanahan. Hari ini dari hasil konsultasi kami dengan Ketua Mahkamah Agung menunjukkan bahwa perkara-perkara pertanahan lebih dari 50% mendominasi perkara di pengadilan kita sekarang ini. Dan ini menjadi catatan kita adalah ini persoalan-persoalan yang lahir tahun 60-an, 70-an, 80-an, dan awal 90-an, ketika kita tahun 1973 membubarkan Pengadilan Land Reform dan yang kedua pelemahan dari kelembagaan pertanahan, sementara dinamika masyarakat dalam 22
kaitannya dengan kebutuhan tanah semakin hari semakin tinggi, realitas di lapangan mengenai pertanahan ini hampir tidak ter-comprehen oleh kelembagaan kita di masa lalu, yang kita harapkan kelembagaan ke depan dari hari ke hari semakin ber-comprehen. Yang kami ingin kami nyatakan di sini adalah pertanahan harus punya kontribusi yang nyata untuk harmoni sosial itu dengan cara mengatasi sengketa dan konflik pertanahan baik mengatasi secara ad hoc yang sudah ada sekarang, maupun secara sistemik ke depan. Kalau diizinkan kami akan menyampaikan data dan data ini adalah data yang sangat-sangat relevan barangkali di dalam perspektif pembahasan undang-undang ini dan apalagi dengan usulan kaitannya dengan sengketa yang mungkin lebih banyak adalah sengketa perdata sebenarnya dalam kaitan ini, bukan persoalan undang-undang. Sampai dengan akhir tahun 2006, kami berhasil mengindentifikasi setelah kami mendirikan satu kelembagaan baru yang sebelumnya tidak ada yang menangani ini. Dengan kelembagaan baru kita sudah mulai mengindentifikasi, sengketa dan konflik pertanahan yang skalanya cukup luas itu 2.810 kasus. Dari 2.810 kasus itu, yang berupa sengketa itu 1.423, yang konflik 322. Ini magnitude-nya bisa apa saja, bisa ke mana saja dan yang dalam konteks perkara di pengadilan sekarang 1.065 kasus, cukup besar. Kalau kita dalami lebih lanjut karakteristik dari sengketa-sengketa yang ada di tanah air, ternyata sengketa terbesar pertanahan di tanah air adalah sengketa penguasaan dan pemilikan, yang ini sudah lepas dari konteks pertanahan ketika nanti tanah yang sudah haknya jelas dipertukarkan, penipuan, diperdagangkan, atau apapun dari konteks itu atau melalui proses-proses pewarisan. Dan ini cukup besar, kurang lebih 67% dari total kasus yang kita hadapi. Yang kedua, ini adalah bagian dari kelembagaan kami untuk membenahi yaitu yang lahir dari sengketa prosedur penetapan hak dan pendaftaran tanah, tetapi yang lebih menarik dari semua ini adalah kalau kita lihat bagian F, bahwa sejak kita jalankan land reform pada tanggal 1 Januari 1961, sengketa land reform itu sangat kecil, kurang dari tiga persen termasuk salah satunya yang sekarang dihadapi oleh Pemohon, kecil dan hampir semuanya itu adalah sengketa perdata. Dan kalau melihat karakteristik itu sebenarnya sumber-sumber sengketanya sudah terindentifikasi dan kita sebenarnya bisa melakukan langkah-langkah tetapi sekaligus juga kita justru semakin menganggap pentingnya dikaitkan dengan persoalan prinsip yang ketiga semakin pentingnya Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 ini, apapun nanti kerangka politik dalam menjembatani dan memproses serta mengimplentasikannya. Lebih lanjut, ini kalau kita ingin memperoleh gambaran siapa pihak-pihak yang bersengketa? Di sini yang paling banyak pihak yang bersengketa adalah orang per orang, itu kurang lebih 36,85%. Setelah itu disusul yang dua persen masyarakat dengan masyarakat, artinya kelompok masyarakat. Yang ketiga instansi Pemerintah dan masyarakat, ini cukup besar 8,2% tetapi yang menarik 23
juga ada instansi Pemerintah dengan instansi Pemerintah 0,9%, yang seharusnya di dalam konteks Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, pindah dari kantong kiri ke kantong kanan seharusnya. Dan yang 18% itu cukup besar adalah perorangan dengan badan hukum. Jadi karakteristik ini sudah kita dalami dan yang menarik adalah ketika kita tidak meng-komprehen secara keseluruhan persoalan-persoalan sengketa ini, jenis, modus dari persoalan-persoalan pertanahan ini imajinasi kita yang kebetulan saya seorang akademisi sama dengan Bapak Ketua, ini seringkali imajinasi kita tidak sampai untuk bisa memikirkan seperti begitu rumitnya dan peliknya permainan-permainan yang ada di balik sengketa-sengketa dan konflik-konflik pertanahan ini. Di dalam kerangka itu ada sesungguhnya agenda besar negara yang untuk sementara ini kita letakkan di dalam kerangka agendanya BPN-RI, tapi sesungguhnya ini sebagian besar adalah agendanya negara. Hal yang pertama adalah, yang nomor satu urusan internal saja BPN dan yang kedua, meningkatkan pelayanan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah serta menyeluruh di seluruh tanah air. Saat sekarang ini dari seluruh bidang-bidang tanah yang sudah berhasil kita identifikasi baru 35% yang tersertifikatkan. Dari yang tersertifikatkan itu baru sebelas persen yang terpetakan sampai level bidang tanah, jadi inipun juga membuka peluang, potensi konflik di kemudian hari. Kita sudah merombak cara baru, kita harapkan dengan cara yang baru tanpa percepatan insya Allah, kalau dengan cara yang ada sekarang butuh seratus sampai 120 tahun untuk mendaftar dan berikan hak semuanya, tapi dengan cara yang baru kita introduksikan insya Allah 18 tahun dan bisa dipercepat dengan introduksi teknologi. Yang ketiga, memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah bagi negara. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria itu adalah tonggak untuk melahirkan apa yang disebut dalam istilah akademik cross border identity bagi negara ini, tetapi realitas di masyarakat keragaman masih ada, maka konversi ke arah sini adalah merupakan suatu proses keharusan. Selanjutnya menyelesaikan persoalan pertanahan dan seterusnya, tetapi agenda-agenda besar yang penting lagi adalah nomor delapan, karena ini agendanya BPN, sebenarnya yang paling penting adalah di sini penataan penguasaan tanah yang dari sudut pandang kepantasan, sudut pandang keadilan, itu terganggu batin dan pikiran kita. Penguasaan-penguasaan tanah skala besar banyak dan itu harus dikelola dan banyak di antaranya yang terlantar. Undang-Undang Pokok Agraria menjamin itu harus diambil dan dikelola oleh negara, tapi Peraturan Pemerintah kita—kami sedang merevisi, itu malah tidak memungkinkan itu dilakukan. Ini sedang kami tata Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dan di situ kalau data ini benar, baik yang di kawasan kehutanan maupun non kehutanan, tanah terlantar ini kurang lebih 7,15 juta hektar, itu kurang lebih 120 kali luas Singapura. Dan ini sudah susah dimasuki aksesnya bagi masyarakat karena sudah ada hak dan karena ada hak biasanya sudah terkait juga dengan perbankan, ini 24
adalah persoalan-persoalan yang tidak ringan untuk kita tata karena itu ketika kita sudah memiliki pondasi ini kita menginginkan pondasi ini justru diperkuat bukan diperlemah. Selanjutnya yang bagian yang kesebelas, agenda yang kesebelas itu mengembangkan dan memperbaharui politik hukum dan kebijakan pertanahan, ini adalah mandat Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 yang diperkuat oleh Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003, jika kami diizinkan untuk meng-komprehen persoalan-persoalan itu dan mengkaitkannya dengan nantinya pentingnya Undang-Undang Nomor 56 PRP 1960 ini, kami mohon izin untuk bisa menyampaikan gagasan mengenai reforma agraria, sebelumnya nanti kami masuk ke Undang-Undang 1956, terima kasih. Ada dua pengertian sekarang yang lahir mengenai reforma agraria atau pembaharuan agraria. Tap MPR Nomor IX itu menyebutkan pengertiannya pembaruan agraria, tapi Undang-Undang Pokok Agraria dan Keputusan MPR Nomor 5 itu menyebutkan pengertian reforma agraria. Jadi dua pengertian ini secara konsepsional kita artikan untuk sementara sama dan kita definisikan sesuai dengan hukum kita miliki, kalau menurut Tap MPR yang disebut pembaruan agraria atau reforma agraria itu suatu proses yang berkesinambungan bukan one stop program. Berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan menurut Undang-Undang Pokok Agraria terutama tertuang di dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan (2) dikatakan di sana yang menarik situasi tahun 1960 sama persis situasinya dengan kita, setelah kita dalami. Dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia yaitu negara-negara yang telah sedang menyelenggarakan apa yang disebut land reform atau agrarian reform, yaitu tanah harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri, ini adalah konsepsinya land reform dan yang menarik juga penjelasannya cukup baiknya Undang-Undang Agraria dikatakan, akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit, dan bantuan dan seterusnya. Sebenarnya di dalam pengertian ini reforma agraria itu mengandung dua pengertian, satu, asset reform yaitu aset tanah untuk masyarakat dan access reform, akses mereka yang ikut dalam program agrarian reform untuk mendapatkan semua hal yang dibutuhkan bagi mereka untuk mengelola dan memanfaatkannya. Oleh karena itu biasanya kami menyebut secara simple saja, reforma agraria itu harus ditempuh dengan dua jalan; jalan pertama, itu tentu kami ingin ikut berproses BPN RI, tetapi ini adalah kewenangan negara yaitu penataan sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, dan UUPA. Mengapa kami menyampaikan UUPA sebagai acuan juga di dalam kita melakukan penataan sistem politik ini? 25
1. 2.
3. 4.
Satu tahun setengah ini kami berinteraksi secara intensif dengan DPR, kita coba memikirkan apakah kita ganti? Apakah kita amandemen? Dan seterusnya. Akhirnya kesimpulan terakhir adalah Undang-Undang Pokok Agraria kita pertahankan as it is, tetapi kita menurunkan undang-undang yang konsisten dengan itu terutama dengan prinsip-prinsip yang dituangkan di dalam Pasal 1 sampai 15 mengenai keadilan sosial. Di dalam konteksnya yang lebih simple reforma agraria itu adalah land reform plus, plus access reform itu di dalam definisi bahwa land reform itu adalah proses redistribusi atau distribusi tanah, bisa redis bisa distribusi. Di dalam konteks yang kita hadapi sekarang ini persoalan redistribusi, tetapi land reform itu bisa juga distribusi tanah untuk menata penguasaan, pemilikan, dan penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan. Dan access reform-nya adalah suatu proses penyediaan akses bagi masyarakat terhadap segala hal yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan, partisipasi ekonomi politik, modal, pasar, dan seterusnya. Dan secara akademik, ini yang pertama ini di samping bagian yang pertama land reform-nya itu konsisten dengan apa yang tertuang dalam Konstitusi kita, tetapi juga ini sejalan dengan perkembangan keilmuan yang baru termasuk Hernando de Soto meskipun falsafahnya berbeda dari Pancasila yang mendasari dia, tetapi pembangkitan kekuatan tanah untuk sumber-sumber ekonomi dan politik itu ternyata di sini dan access reform ini sejalan betul dengan gagasan yang dilahirkan oleh Profesor Amartiasen pemenang hadiah Nobel tahun 1996, jadi sebenarnya konsisten dengan Konstitusi kita. Di dalam konteks memastikan ini bisa berjalan, layak barangkali kita melihat model-model reforma agraria yang ada di dunia sekarang ini. Ketika kita memperkenalkan reforma agraria hampir selalu, konsensusnya bagus. Baik yang kapitalistik maupun yang komunistik, apapun setuju biasanya, tetapi perdebatan politik selalu lahir di bawahnya. Model apa yang kita gunakan? Di situ letak perdebatannya dan kalau kita ambil pengalaman negara-negara lain yang menjalankan ini hanya ada empat kategorinya: radical agrarian reform, itu intinya tanah orang kaya diambil dan dibagi atas nama politik dan hampir semua gagal ini. land right restitution, itulah yang Venezuela sekarang lakukan dengan aturan undang-undang yang jelas yang memenuhi aturan undangundang itu diminta untuk menyerahkan tanahnya dengan kompensasi dibayar oleh negara dan tanah itu yang direstribusikan, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 56 kurang lebih sejalan dengan ini, walaupun nanti juga berkait dengan nomor empat. land colonization—kita tidak menjalankan ini tentu. market based agrarian reform, ini yang banyak di-exercise kalau kita bicara mengenai persoalan pertanahan dari text book-text book dan dari penyelenggaraan pertanahan yang akhir-akhir ini, tapi sebenarnya intinya adalah membuka pasar tanah untuk memungkinkan peralihan 26
dan perubahan secara voluntary bisa terjadi. Hanya persoalannya ketika kita menghadapi persoalan ketidakadilan secara struktural hal ini tidak bisa digunakan, karena siapa yang bisa bertransaksi adalah mereka yang sudah punya, akses untuk melakukan transaksi bagi sebagian besar rakyat kita tidak bisa. Oleh karena itu tentu pendekatan kita berbeda dari itu, tetapi sebelum itu kami ingin menyampaikan bahwa reforma agraria itu di semua negara adalah upaya bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, upaya bersama tidak bisa BPN saja. Oleh karena itu di dalam mempersiapkan reforma agraria ini kami menekuni dengan berupaya menjadi, mencapai tingkat kesabaran yang tertinggi yang kami bisa lakukan untuk tidak mengulang kesalahan sejarah dan kesalahan politik masa lalu. Dalam persiapan ini kami persiapkan secara matang termasuk kami berkonsultasi secara khusus dengan Ketua MA dengan jajaran, berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Jaksa Agung dan Kapolri dengan jajaran, Panglima dengan jajaran, Menhan dengan jajaran, BIN dengan jajaran, BAIS dengan jajaran, Menko dengan jajaran dan menteri-menteri lain. Yang kami secara khusus datang untuk menjelaskan bahwa ini adalah persoalanpersoalan yang kita hadapi bersama dan dari apa yang kita dapatkan semuanya mendukung, tinggal bagaimana kita merealisasikan ke depan? Apa bentuk yang disebut sebagai upaya bersama ini? Biasanya di Indonesia the devil is a coordination and the details. Yang kedua, sebenarnya reforma agraria mandat Konstitusi, politik, dan hukum. Kalau ini tentu kami menggarami laut kalau ini kami jelaskan, tapi ini adalah keharusan sejarah. Kalau kita lihat kenapa kita sebut sebagai keharusan sejarah? Negara-negara yang menjalankan reforma agraria secara baik, hampir semua struktur politik hukum dan politiknya paling stabil, apakah itu Amerika Serikat, Cina, Japan, Taiwan, dan beberapa negara yang lain. Yang menarik adalah Taiwan yang sudah mulai bareng dengan kita tahun 1961, sekarang merevitalisasi reforma agrarianya dan artikulasi politik, artikulasi akademik akhir abad 20 itu justru menyarankan reforma agraria itu menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa-bangsa di abad 21. Oleh karena itu sekarang Asia; itu Thailand, Filipina, Taiwan itu merevitalisasi kembali reforma agraria. Negara-negara Amerika Latin sekarang bangkit dengan reforma agrarianya dan tentu nanti persoalannya apakah itu dikaitkan penuh dengan realita yang kita hadapi atau tidak. Sebagai contoh misalnya El Savador gagal melakukan ini ketika modal yang berhasil di Jepang dan di Taiwan diambil, diterapkan, tidak berhasil. Karena ahistoris terhadap bangsanya dan terhadap rakyatnya sendiri. Pengalaman reforma agraria di Indonesia tentu ini kita punya dan artikulasinya ada yang ada di sana itu masih artikulasi yang sama dengan penemuan-penemuan kita sekarang. Dalam konteks ini lebih baik terlambat daripada kita tidak menjalankan sama sekali, tapi kita harus memastikan reforma agraria ini adalah reforma agraria yang damai, tidak 27
ada lagi gerakan sepihak seperti pengalaman sejarah kita yang lalu. Oleh karena itu selalu kami pelit setiap kali ditanya dimana tanahnya? Kami tidak pernah keluarkan sampai pada saatnya. Karena kalau itu kita khawatirkan aksi-aksi sepihak dan seterusnya yang dulu pernah ada di dalam sejarah kita, tapi ini juga sangat mendasar pengalaman ketika Jepang kalah perang McArthur itu memerintahkan dan office of McArthur mengikuti Jepang untuk menjalankan reforma Agraria, tetapi karena punya pengalaman 1689 mengenai Restorasi Meiji maka pelaksanaannya bagus dan bisa diadopsi di Taiwan karena kulturnya relatif bagus. Di kita pada tanggal 1 Januari 1961 Presiden Republik Indonesia juga menyatakan kita menjalankan reforma agraria sejalan dengan pada saat itu diumumkan pembangunan semesta nasional. Artinya reforma agraria itu merupakan core dalam konteks pembangunan yang karena juga kebetulan ini sangat mendasar di dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin kami sampaikan. Ada tujuh tujuan di sini yang penting, yaitu menata ulang ketimpangan struktur penggunaan, pemanfaatan penguasaan dan pemilikan tanah ke arah yang lebih berkeadilan. Hal yang kedua mengurangi kemiskinan, yang ketiga menciptakan lapangan kerja, yang keempat mengurangi sengketa dan konflik pertanahan. Khusus yang keempat ini karena ini relevan dengan kita hari ini ada dua jalan yang kami tempuh untuk penataan sengketa dan konflik pertanahan itu. Satu, secara sistemik dengan penataan kembali politik dan hukum pertanahan yang kami exercise terus dengan DPR-RI sekarang dan yang kedua melalui reforma agraria, itu yang sistemik. Hal yang kedua, jalan yang kedua, melalui penyelesaian ad hoc dari kasus-kasus yang sekarang sudah ada peninggalan masa lalu dan ini kita sudah persiapkan kelembagaannya. Kita sudah siapkan mekanismenya melalui Perpres Nomor 10 Tahun 2006 ada dua jalur, jalur pengadilan dan jalur mediasi untuk bisa diselesaikan hal-hal ini dan kita juga sudah sekarang punya mekanisme mulai dari pusat sampai di kabupaten/kota untuk proses penanganan ini. Ada sepuluh aturan main yang kita keluarkan di sana dan kita sudah memiliki penyidik PNS pertanahan, yang penyidik PNS pertanahan ini tentu sangat relevan dengan Pasal 10 ayat (3) dan (4) dari UndangUndang Nomor 56 PRP Tahun 1960 ini, karena tanpa memiliki ini apa saja bisa terjadi. Sekarang ini istilah kalau di Jakarta kalau ada orang bangun tiba-tiba ada yang klaim. Ada tanah yang kosong tiba-tiba diduduki. Dengan dasar yang tidak pernah jelas tidak pernah valid. Dengan kerangka penataan ini kita lakukan itu dan tujuan-tujuan yang lain. Sekarang barangkali yang penting di sini adalah apa kemudian strategi dasar reforma agraria di Indonesia itu supaya sejalan dan konsisten? Jalan pertama adalah jalan yang lebih makro, lebih soft, yaitu jalan yang banyak di luar kewenangan BPN RI, yaitu menata politik dan hukum pertanahan sejalan dengan empat prinsip pertanahan yang telah disebutkan tersebut berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan UUPA. Di antaranya tentu penataan konsentrasi aset pertanahan 28
1.
2. 3. 4.
5.
6.
75.
dan tanah-tanah terlantar di tanah air dan ini tentu butuh waktu, butuh proses, tapi yang kedua bisa kita berikan sekarang. Memberikan akses langsung kepada rakyat kepada masyarakat membutuhkan atas tanahtanah yang langsung dikuasai negara dan yang telah diperuntukan bagi tujuan reforma agraraia. Jadi kalau boleh kami mensimulasikan sedikit, itu tadi kami sampaikan bahwa sedikit orang di Indonesia itu menguasai aset, sebagian besar rakyat menguasai sebagian terkecil aset, di sini pun juga ada. Konsentrasi-konsentrasi di sini pun ada konsentrasikonsentrasi. Pertanyaannya kemudian pada saat kita menata ini yang butuh proses yang juga proses politiknya mungkin tidak ringan ini bisa dilakukan, proses ini diangkat. Jadi akses masyarakat ini diangkat, ditingkatkan. Bagaimana caranya? Diinjeksi dengan tanah baru, apa tanah baru itu? Ada atau tidak? Tanah baru itu ada dan bisa dilakukan. Salah satunya nanti menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, apa tanahnya itu? Kita bagi tiga kelompok Yang Mulia; Yang pertama adalah tanah-tanah yang menurut peraturan perundang-undangan pertanahan kita dimungkinkan: tanah-tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang. Ini menurut aturan Undang-Undang Pokok Agraria dan ini bisa menjadi objek reforma agraria; tanah-tanah bekas hak barat yang terkena ketentuan konversi, yang terkena ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958; tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak ini berdasarkan UndangUndang Pokok Agraria; tanah-tanah yang pemegangnya melanggar ketentuan dan atau yang tidak sejalan dengan keputusan haknya. Ini didasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, ini Undang-undang Nomor 56 PRP Tahun 1960; tanah objek bekas land reform, ini yang ditetapkan melalui Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 dan tanah bekas penggunaan land reform. Artinya penggunaan yang berbeda, objeknya sama. Ini juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 56; selanjutnya tanah timbul, ini yang diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria, KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Mungkin bisa diusahakan lima menit atau sepuluh menit lagi, supaya ada tanya jawab.
76.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Bisa.
77.
KETUA: Prof. Dr. JIMLY ASSHIDIQIE, S.H. Ya, silakan.
29
78.
PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) (KEPALA BPN) Dan yang kedua tanah bekas kawasan yang selanjutnya tanahtanah yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004. Tanah-tanah ini dan kita identifikasi kurang lebih 1,1 hektar dan yang kedua tanah yang dialokasikan dari tanah konversi, hutan konversi. adalah hutan yang diperuntukkan untuk non kehutanan dan yang ketiga dari hasil koordinasi kami dengan Kehutanan yang belum definitif. Jadi kurang lebih ada 9,25 hektar yang layak untuk dijadikan andalan program untuk menata kembali ketimpangan ini sambil menata bagian yang pertama dan tanah-tanah ini tentu mempunyai tujuan yang berbeda, bisa memenuhi tujuan yang berbeda, ini kalau di sini ada objeknya tadi, tanah-tanahnya dan ini tujuan-tujuannya ada yang bisa memenuhi tujuan-tujuan, ada yang hanya memenuhi sebagian, tapi yang penting dari semua itu kita sudah kembangkan suatu mekanisme dan sebagainya. Izinkan kami memberikan catatan dengan waktu yang tersedia yang terakhir, kalau Undang-Undang Nomor 56 dengan pasal tertentu yang kami hari ini ingin menyatakan bahwa itu secara yuridis dan sosiologis masih efektif, nanti kami akan sampaikan data dan ternyata undang-undang ini juga menjadi bagian penting dari proses perjalanan penataan pertanahan kita ke depan. Sebelum kita bisa mengkonsolidasikan keseluruhan Undang-Undang Pertanahan kita, maka undang-undang ini layak menjadi undang-undang yang dipertahankan sebagaimana adanya. Kenapa kami sampaikan semacam itu? Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut; penetapan batas maksimum yang dapat dimiliki oleh keluarga, penetapan batas minimum yang dapat dimiliki oleh keluarga, larang pemindahtanganan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum, yang ini dari satu daerah ke daerah lain berbeda. Kalau tadi disampaikan oleh Pemohon kenapa kami punya sebelas koma sekian, tidak. Karena memang ketentuan ada yang dua puluh hektar, ada yang tujuh hektar, ada dua belas hektar, tergantung bagaimana kondisi di wilayah itu. Yang keempat pengembalian tanah-tanah gadai kepada pemiliknya dan yang kelima pemberian sanksi bagi pelanggar ketentuan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 mewajibkan pemilik tanah pertanian yang melebihi batas maksimum untuk melapor dalam waktu tiga bulan. Ini yang kami ingin kaitkan dengan apa yang tadi disampaikan Saksi Ahli, apa iya mungkin? Nanti akan data kami menunjukkan, zaman itu saja efektif, apalagi zaman sekarang. Selanjutnya Pasal 4 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 mengatur bahwa, “orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut”. Menurut Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pihak yang 30
melanggar ketentuan undang-undang ini diberikan sanksi pidana dan atau denda, Pasal 10. Pelanggaran atas larangan dan kewajiban melapor tersebut di atas mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan kepemilikan atas tanah kelebihannya tersebut termasuk hak atas ganti kerugian dari negara dan sanksi serta penerapan sanksi itu merupakan akibat hukum yang harus diterima dan ditanggung bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum. Jadi yang melakukan pelanggaran tentu kena, yang tidak juga tidak kena. Sanksi pidana di dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) undangundang ini merupakan upaya paksa bagi seseorang yang tidak mematuhi kewajiban dan atau larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk tercapainya ketertiban, keteratura,n dan atau keadilan. Sanksi ini tentu merupakan salah satu ciri hukum. Sanksi bertujuan agar pelaksanaan suatu undang-undang, lebih efektif. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, pada kesempatan ini perkenankan kami menyampaikan mengenai keberlakuan UndangUndang Nomor 56 Tahun 1960 sebagaimana yang diminta oleh Majelis Hakim yang mulia pada sidang pada tanggal 26 Juni 2007 yang lalu. Undang-undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 sejak diberlakukannya pada tanggal 1 Januari 1961 hingga saat ini masih efektif berlaku, baik secara yuridis maupun secara sosiologis. Efektivitas dari ketentuan Pasal 10 dan ayat (3) dan ayat (4) itulah yang menyebabkan dia efektif. Justru karena ada ketentuan itu dia efektif, banyak yang tidak mau melanggar tentu. Berdasarkan data yang kami miliki, data 61 tahun 2007 kita punya data sebagaimana berikut; luas tanah menurut undang-undang ini yang sudah dilaporkan adalah 121.605.941,2 hektar dan ganti kerugian yang sudah diberikan oleh negara adalah 58 miliar sekian karena ini aturannya berdasarkan konversi atas nilai beras dan yang ketiga bekas pemilik yang sudah melaporkan ternyata tidak sedikit Yang Mulia, itu 31.593 orang, ini yang sudah melaporkan. Coba data selanjutnya! Dan ini berlaku tidak hanya di Jawa, tapi juga di provinsi-provinsi lain, di pulau-pulau lain sebagaimana sebaran yang kita tunjukkan ini, itu terjadi di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan seterusnya terjadi. Sekarang kenyataannya apakah berhenti atau masih berlangsung? Data selanjutnya Mas! Ternyata data yang kita miliki Yang Mulia sampai dengan saat sekarang termasuk beberapa saat yang lalu saya masih menandatangani distribusi ini dan melaporkan ini dan data yang Kami miliki sekarang sampai dengan data yang kami artikulasikan hanya sampai dengan akhir 2006, ini cukup besar, masih berlaku, masih berlangsung terus dan ini tentu karena efektifitas dari ayat (3) dan (4) itu, ini barangkali catatan-catatan penting dan ada pertanyaan kemudian berapa banyak sesungguhnya yang sudah mendapatkan ini di dalam sejarah sejak tahun 1961, data yang kami miliki Yang Mulia 1,12 juta orang, rata-rata kepemilikan 0.77 hektar. Jadi masih berlangsung dan masih berjalan dan ini justru akan menjadi signifikan hasilnya jika kita 31
kaitkan sepenuhnya dengan reforma agraria tadi karena dalam kerangka Undang-Undang 56 dia menjadi bagian dari skema besar yang tadi kami butuhkan. Kami juga menyadari sampai saat ini masih terdapat tanahtanah kelebihan maksimum yang belum dilaporkan oleh Pemiliknya. Oleh karena itu tindak pidana yang diancam berdasarkan Pasal 10 ayat (3) dan (4) undang-undang ini masih tetap layak untuk kita pertahankan. Yang Mulia, inilah catatan-catatan kami yang penting dan tentu kami mohon maaf kalau penyampaian kami bisa lepas ke sana kemari. Yang inti adalah tentu kami ingin melihat sesuai dengan permintaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melihat perspektifnya lebih luas dan mengkaitkannya ini dan apa kepentingan yang lebih besar dari semua itu, tokh di dalam konteks Undang-Undang Nomor 56 ini kepentingan publik dan privat telah diseimbangkan melalui proses yang undang-undang ini telah atur. Untuk sementara itu yang kami sampaikan, billahi taufik wal hidayah, wassalammu’alaikum Wr. Wb. 79.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.
Wa’alaikumsalam. Baik, Saudara Pemerintah sudah memberi penjelasan panjang lebar baik sekali, komprehensif dan memang seharusnya demikianlah setiap kali materi undang-undang diuji. Kita tidak boleh hanya melihat kata-kata teks di undang-undang itu tapi juga berbagai aspek, banyak sekali yang ada di dalam maupun di sekitar teks itu dan keterangan ini membantu kita untuk melihat persoalannya. Nanti boleh mengajukan pertanyaan tapi sekalian saja nanti, kalaupun Pemerintah tidak bertanya saya akan persilakan juga ahli untuk memberi respon, nanti pada saatnya, tapi sekarang ini saya mengundang dulu kalau ada yang mau tanya dari Majelis Hakim boleh tanya ke Pemohon, boleh tanya ke Ahli ke Saksi ataupun juga kepada Pemerintah, siapa? Panelnya dulu? Silakan. Pak Darsono dulu silakan. 80.
HAKIM KONSTITUSI : SOEDARSONO, S.H. Terima kasih Bapak Ketua, Saya hanya ingin bertanya kepada Ibu Ahli ya? Yaitu Prof. Arie untuk lebih menjelaskan, lebih jelas, yaitu keterangan tertulis Anda. Tapi sebelumnya itu saya ingin juga bertanya pengertian menurut disiplin ilmu yang Anda miliki, yaitu pertama apa beda bumi dengan tanah? Menurut keahlian Anda? Kemudian yang kedua adalah cobalah tolong dijelaskan lebih lanjut dimana Anda berkesimpulan bahwa pasal yang dimintakan pengujian ini bertentangan dengan asas-asas hukum tanah dan asas-asas perolehan tanah yang menjadi dasar pembangunan hukum tanah nasional, itu kami belum jelas. Sehingga Saudara 32
berkesimpulan pasal tersebut Saudara anggap tidak relevan. Hanya dua itu saja yang kami ingin mendapat penjelasan dari Saudara Ahli, terima kasih. 81.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Dikumpul dulu ya supaya sekalian, Pak Hakim Maruarar Siahaan, saya persilakan.
82.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Terima kasih Pak Ketua. Pertanyaan saya kepada Ahli maupun kepada Pemerintah, tetapi saya ingin melihat dulu penjelasan Pemerintah itu sudah cukup komprehensif Pak dan menurut saya ada suatu situasi yang mungkin tahun 60-an bahwa Undang-Undang Nomor 56 dan undang-undang yang lain itu banyak kita lihat dalam suasana politik masa itu yang menurut Pemerintah tadi, pimpinan BPN, itu masih relevan kondisinya sekarang. Tetapi paradigma sekarang di dalam membangun Indonesia Anda sebagai ekonom tentunya, kita sekarang ini adalah paradigma kapitalis tentunya. Dimana capital sangat dihargai, mobilisasi dana sangat dihargai. Oleh karena itu pertanyaan saya, sama juga kepada ahli, apakah di dalam kebijakan reforma agraria itu yang akan kita pilih kita menghargai modal yang misalnya dimiliki oleh orang yang sudah mengeluarkan modal untuk menghimpun tanah meskipun tadi melanggar batas, atau kita mengambil posisi bahwa kita mengambil alih tanah itu yang disebutkan tadi dalam kebijakan empat model itu, radical reform itu dirampas saja begitu. Ini pertanyaan penting tentunya karena memang ada prinsip-prinsip di dalam Konstitusi yang harus diperhitungkan sekarang ini yang mungkin dari tadi belum secara rinci karena memang menyangkut politik agraria saja yang mungkin nanti Ibu Sukatri yang bisa menjelaskanya lebih jauh, tetapi persoalannya model yang dipilih Indonesia ke depan kira-kira radical agrarian reform. Saya menganggap itu termasuk karena kejahatan merupakan suatu alasan bahwa satu bukti, alat bukti atau barang atau hasil kejahatan itu dirampas untuk negara tapi jelas dalam Undang-Undang Nomor 56 dikatakan dia pelanggaran. Kalau alasannya dengan itu bahwa pelanggaran juga boleh karena dianggap pelanggaran hukum tentu pertanyaannya model yang mana yang dipilih oleh model agrarian reform ini? Yang kedua pertanyaan saya kalau di dalam penyerahan dari Kejaksaan kepada BPN tentang tanah rampasan itu tadi Pemerintah atau BPN belum menjelaskan seberapa banyak kira-kira tanah yang dirampas seperti ini diserahkan kepada BPN dan bagaimana peruntukannya? Apakah redistribusi itu adalah gratis setelah dirampas dari seorang yang bernama, siapa namanya itu, orang tuanya itu? Kemudian diserahkan kepada BPN dan apakah BPN Pusat mengetahui distribusinya itu atau 33
realokasinya itu secara cuma-cuma atau bayar juga? Kalau bayar juga kepada siapa itu uang pembayaran itu? Kalau iya, tentu Pemerintah ada memperoleh pendapatan dari hasil perampasan. Apakah BPN memiliki yang di dalam pertanyaan kita yang lalu punya data nasional semacam ini untuk membuktikan bahwa benar efektif ini dilakukan atau undangundang ini masih efektif. Barangkali pertanyaan kita juga kepada Ibu Arie itu tadi mengatakan berdasarkan apa Anda mengatakan bahwa ini tidak efektif lagi? Apakah ada data di dalam penelitian itu yang menyatakan, kecuali kasus yang sudah ada ini sebenarnya itu tidak pernah dilaksanakan lagi. Tadi paradigma kapitalis yang tadi saya katakan itu yang menyatakan 62% dari tanah sekarang dikuasai oleh orang-orang tertentu di Indonesia, bolehkah Anda memperbedakan aset yang dimiliki oleh para kapitalis ini dengan orang-orang di pedesaan, ada tidak perbedaan untuk melihat ukurannya? Apakah di pedesaan itu misalnya yang Anda katakan tadi bisa dilakukan reforma agraria juga dengan tidak memperpanjang hak atas tanah, hak-hak atas tahan yang didasarkan atas adat. Apakah itu ada mekanisme perpanjangan atau tidak ada sama sekali? Dan bagaimana Pemerintah melihat di dalam politik agraria kalau didasarkan bahwa itu hak yang sudah melekat dan bukan diperoleh dari negara, misalnya. Terima kasih. 83.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, dicatat dulu ya? Jadi ini betul-betul bertanya ini. Jadi kita belum punya pendirian apa-apa. Silakan nomor tiga, Pak Hakim Mukthie Fadjar, silakan.
84.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S. Terima kasih Pak Ketua, Saya sangat berterima kasih dan gembira dari Pemerintah telah merespon apa yang saya tanyakan pada sidang lalu, yaitu tentang politik hukum agraria ke depan dalam rangka, tentu untuk reformasi agraria. Mudah-mudahan politik dan juga mungkin strategi itu bisa diwujudkan karena sebetulnya gairah untuk melaksanakan land reform pada dasawarsa 60-an, termasuk lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang PRP Nomor 56 ini dinilai banyak mengalami kegagalan dan tentu undang-undang itu juga lahir pada konteks sosio politik zamannya. Dalam perspektif ke depan terutama setelah perubahan UndangUndang Dasar dengan adanya ketentuan Pasal 28H ayat (4) yang tadi disinggung oleh Profesor Arie, setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun. Apakah ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang34
Undang Nomor 56 PRP 1960 ini tidak berlebihan sebagai suatu sanksi, setelah ada sanksi denda, sanksi ini kurungan dan dalam kasus a quo juga sudah mengalami di penjara. Agar ketentuan pidana itu tidak berlebihan sanksi itu yang menyebabkan ada penilaian tadi juga dikemukakan oleh Ahli sebagai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4), bagaimana ini reforma agraria, apakah akan mempertahankan secara utuh keseluruhan undang-undang itu? Mungkin jiwanya bisa dipertahankan dalam rangka redistribusi tanah-tanah kepada rakyat yang membutuhkannya dan yang kedua mungkin meskipun itu mungkin dalam tingkat implementatif itu konsistensi, sebab selama ini termasuk penerapan Undang-Undang Pokok Agraria atau land reform itu juga persoalan konsistensi, yang tadi mungkin secara tidak langsung disinggung oleh Pak Hakim Siahaan untuk di pedesaan, untuk di kota, kemudian tadi Pemerintah juga menyinggung untuk perorangan dan untuk mungkin korporasi bisa berbeda-beda atau bahkan belum tersentuh tanah-tanah yang dikuasai oleh institusi-institusi yang juga menimbulkan konflik-konflik baru seperti kasus di Pasuruan dan sebagainya. Terima kasih. 85.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terakhir. Pak Hakim Natabaya, silakan!
86.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Saya mau tanya dengan Pemohon lagi ya! Pemohon ini—karena ini dalam rangka uji undang-undang ini. Pemohon di dalam permohonannya mengatakan demikian, bahwa dikatakan Pemohon, Pemohon sebagai ahli waris dari mendiang Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon telah menandatangani surat tanda penerimaan penyerahan hak dan ganti rugi—STP3 atas tanah kelebihan batas maksimum pada tanggal 1 Juli 1986 Nomor bla, bla. Sampai sekarang belum mendapatkan ganti rugi. Jadi artinya yang saya tanyakan memang pada waktu itu sudah ada surat dari agraria untuk mendapatkan ganti rugi?
87.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terima kasih Yang Mulia Majelis Hakim, jadi pada waktu itu sudah ada putusan pengadilan bahwa tadi kita melanggar peraturan, terus setelah itu ada tindak lanjut dari tahun 1986. Saya dipanggil ke BPN untuk memilih tanah mana yang menjadi kepemilikan tetap yang luasnya 7,5 hektar, terusnya tanah lebihnya yang diambil Pemerintah. Waktu itu disuruh membuat STP3 karena akan diusulkan ganti rugi, dibuatkan pada waktu oleh bupati, SK bupati, tapi sampai sekarang terus berusaha
35
waktu itu karena kita pakai kuasa hukum yang ke BPN pada waktu itu tapi tadi alasannya kita terbentur dengan Pasal 10 ayat (3) dan (4) itu? 88.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Terbenturnya kenapa?
89.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Karena tadi orang tua,
90.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Karena sudah ada putusan pengadilan?
91.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Putusan pengadilan, melanggar undang-undang itu.
92.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Jadi masalahnya itu tadi sebetulnya permasalahan mengenai masalah ganti rugi yang tidak bisa diuangkan menjadi persoalan sekarang menjadi persoalan norma yang dipersoalkan, Pasal 10 ayat (3) bukan?
93.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Saya juga memiliki tanah lebih. Apa yang dikatakan oleh Pemerintah, saya itu sebelas hektar, di Kabupaten Subang itu 7,5 untuk tanah sawah dan sembilan hektar untuk tanah kering, jadi sudah ada ketentuan sebetulnya. Tapi kenyataan di lapangan bukan saya saja, banyak petani-petani yang melebihi. Jadi dengan tadi saya mengikutilah, karena saya orang awam, mengikuti dengan tadi amandemen UndangUndang Dasar 1945 ini ada anggapan saya pada Konstitusi yang bertentangan.
94.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Jadi yang persoalan tadi artinya persoalan ini semula adalah ganti rugi yang tidak terwujud, sehingga sekarang karena terbuka ada saluran yang lain Saudara mempersoalkan norma. Kepada Ibu Arie, di dalam keterangan Ibu saya belum baca tadi, tapi didengar tadi bahwa Pasal 10 ayat (3) dan (4) itu yang menjadi persoalan menurut Ibu Arie itu yang tidak bersesuaian dengan hukum tanah. Tapi ada hal yang perlu dicermati, Pasal 3 dan 4 ini, inikan tidak berdiri sendiri. Ini Pasal 3 dan 4 36
ini ada kaitannya dengan Pasal 10 ayat (1), ini saya bacakan, Pasal 10 ayat (3) itu mengatakan, “jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini, maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedang tanah yang bersangkutan jatuh pada negara”, tidak ada kata rampas. Nanti saya akan jelaskan, “tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun”. Sekarang kita baca dan Pasal 4 ini ada kaitannya dengan Pasal 3. Pasal 3 dan Pasal 4, “orang-orang atau sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum yang dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut”. Jadi dia sudah tahu bahwa ada tanah yang jumlahnya itu dilarang untuk dipindahkannya, masih dipindahkannya. Karena Pasal 3 mengatakan, “orang-orang kepala keluarga yang anggota keluarga menguasai tanah pertanian yang jumlahnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan”. Jadi di sini ada kolerasi bahwa undang-undang ini mengatur ada kewajiban daripada warga negara kalau melebihi jumlah sekian, maka Anda harus melapor. Bahwa menurut Ibu tadi bahwa ini kurang tersosialisasi sehingga tidak ada kepatuhan itu masalah lain, itu masalah efektivitas, 95.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Coba langsung ke pertanyaannya saja.
96.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA, S.H., LL.M Tunggu Pak, ini ada kaitannya dengan pertanyaannya, sehingga Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini adalah merupakan konsekuensi daripada pelanggaran dari pada Pasal 3 dan 4 ini terhadap orang itu, sehingga kelebihannya itu tidak ganti rugi. Kalau dia memang dilaporkannya maka kelebihannya itu dapat diganti rugi karena ayat (3) itu. Sekarang apakah boleh dirampas apa tidak? Ini boleh dirampas, Pasal 39 KUHP mengatakan demikian, saya bacakan, oleh karena itu di dalam putusan pengadilan dikatakan itu dirampas selebihnya, Pasal 39 mengatakan demikian. Ayat (2), “dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran dapat dijatuhkan dengan perampasan berdasarkan hal yang ditentukan dalam undangundang”. Undang-undang ini sendiri sudah menentukan, sehingga norma yang diatur dalam undang-undang ini, ini tidak bertentangan sama sekali, itu kira-kira tanggapan Ibu bagaimana?
37
97.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Bagaimana, kita mulai dari Pemerintah dulu. Tadi banyak pertanyaannya atau Pemohon dulu? Ada yang perlu disampaikan? Sudah terjawab belum tadi yang ditanya? Silakan.
98.
PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terima kasih, mungkin saya akan bertanya kepada Pemerintah, barangkali tadi, tadi sesuai dengan (…)
99.
KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Tidak, tidak. jawab pertanyaan, kalau tidak ada ya sudah. Saudara tidak boleh bertanya kepada Pemerintah, karena dia bukan pihak, Saudara bertanya kepada Ahli. Kalau misalnya Pemerintah mengajukan ahli juga, Saudara tanya kepada ahli yang diajukan Pemerintah, begitu ya! Tapi tanya kepada Pemerintah tidak, karena dia bukan orang yang berperkara, jadi ini lain dengan di pengadilan negeri, dia bukan pihak, dia hanya pemberi keterangan saja karena dia pembentuk undang-undang, dia pun tidak ikut membentuk undangundangnya, begitu ya? Kalau tidak ada lagi saya persilakan Pemerintah.
100. PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) Terima kasih Yang Mulia, Izinkan kami pertama merespons pertanyaan Yang Mulia Hakim Maruarar Siahaan. Kalau boleh kami rumuskan ulang pertanyaannya sebenarnya lebih konkret dua hal. Kalau nanti kurang tepat mohon bisa diingatkan. Yang pertama sesungguhnya reforma agraria ke depan ini acuannya apa? Apakah mau bergerak ke kiri atau ke kanan? Mau adopsi ideologi kiri atau ideologi kanan? Kurang lebih itu sebenarnya pertanyaannya secara konkret. Kami akan buka saja nanti. Pertanyaan yang kedua, apakah sesungguhnya model yang akan diambil oleh Pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria ke depan itu? Karena kedua pertanyaan ini sesungguhnya juga menyambung. Pertanyaannya begini, negara pada tahun 1946 melahirkan suatu undang-undang, yang undang-undang itu hanya satu lembar, UndangUndang Nomor 13 Tahun 1946 mengenai penghapusan tanah-tanah perdikan, itu baru sesaat kita merdeka yang kita masih bergulat dengan Belanda sampai 1949. Itu pertama sudah dikeluarkan untuk menunjukkan bahwa spirit mengenai penataan ketidakadilan dalam penguasaan tanah. Di tanah air ini cukup menjadi concern daripada pendiri bangsa. Dari situ bergulirlah kemudian pada tahun 1946 itu negara membentuk panitia-panitia negara, Panitia Negara Yogya, Jakarta, dan seterusnya yang akhirnya melahirkan Undang-undang 38
Pokok Agraria, artinya undang-undang ini empat belas tahun prosesnya dan menuntaskan juga persoalan-persoalan ideologi yang ada di sana. Dan Undang-Undang Pokok Agraria ini dinyatakan secara jelas di tahun 1959 pada bulan Agustus dikatakan bahwa payung dari perjalanan kita menata keagrariaan di tanah air itu adalah undang-undang yang akan kita sahkan. Berarti ini adalah undang-undang yang komitmen para pendiri bangsa yang cukup tinggi. Lepas dari persoalan sosial politik yang kita hadapi di periode itu yang nanti kita bisa analisis dan telaah terpisah. Kalau begitu land reform atau reforma agraria yang kita tuntaskan sekarang, yang kita jalankan sekarang ini, acuannya apa? Ternyata acuan yang bisa kita turunkan dari semua yang setelah kita telaah itu, ya Undang-Undang Agraria. Kalau kita menggunakan UndangUndang Pokok Agraria kemudian kita ini berideologi kiri atau berideologi kanan? Secara normatif dulu, Undang-Undang Pokok Agraria ini satusatunya undang-undang yang masih menarik sampai saat ini, Pasal 2 itu disebutkan diulang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 dan seterusnya, berarti dia nyantol penuh dengan undang-undang ini. Tapi kalau kita lihat lagi dari Pasal 1 sampai 15, itu isinya keadilan sosial. Kalau isinya keadilan sosial, kita tidak bisa menyatakan bahwa arah yang kita tempuh adalah kapitalistik, tidak bisa. Tetapi, apakah kalau begitu menjadi sosialistik atau komunistik? Tidak bisa juga, karena Undang-Undang Pokok Agraria ini mengatur kepemilikan pribadi. Kalau begitu dasar dari ideologi yang menaungi ini jelas Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, dan payungnya, acuannya Undang-Undang Pokok Agraria itu. Jadi dengan demikian konkret kemudian. Pertanyaannya yang mungkin agak dibiaskan secara ekonomi politik adalah apakah kalau begitu kita menggunakan pasar atau bukan pasar sebagai pendekatan? Pasar itu ada, baik di kapitalistik, sosialistik, maupun yang tradisional. Pasar itu ada kalau pasar itu didefinisikan sebagai kelembagaan masyarakat yang tempat dilakukannya voluntary exchange—pertukaran secara volunteer, itu pasar. Cuma persoalannya pasar ini ada yang diabsorsi kapitalistik ada yang di sosialistik. Ciri dari segala ciri pasar kapitalistik itu adalah dia privat property right systems sebagai penopangnya. Pertanyaannya kemudian model kita ke depan apa? Apakah market based agrarian reform atau restitution of land right, karena kita tidak mungkin melakukan radikal. Berbagai kondisi sosial politik tidak mungkin. Yang paling mungkin restitution of land right atau market based? Tetapi kalau kita lihat porsi ini pun juga porsi kecil dari keseluruhan program yang digunakan. Dari 9,25 juta hektar itu hanya 1,1 juta hektar, dari 1,1 itu pun juga ada yang voluntary penyerahannya dan ada juga yang menggunakan undang-undang lain. Intinya kemudian strategi kita tentu sebenarnya paling ideal adalah strategi yang tidak eksklusif, satu di antara empat ini. Yang paling mungkin adalah di situ adalah pendekatan yang disebut sebagai state driven agrarian reform karena diberikan tanah fresh oleh negara 39
sebanyak 18,5 juta hektar yang dikombinasikan dengan land restitution dan market setelah dia bergulir. Jadi itu yang menjadi pandangan kita, sehingga kemudian ada pertanyaan implikasi dari pertanyaan ini kalau saya mencoba meraba-raba, apakah kemudian bagi tanah terlantar, tanah kelebihan maksimum dan sebagainya, itu bisa diproses secara hukum? Iya itu bisa. Kalau untuk perorangan kita punya Undang-Undang 56, tetapi kalau untuk perusahaan kita punya Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Sebagai mekanisme itu yang tentu kami menyadari ini kurang sempurna untuk efektivitasnya. Ini barangkali catatan kami untuk Yang Mulia Hakim Maruarar Siahaan, nanti pertanyaan seberapa besar tanah dan sebagainya nanti kami akan minta Direktur Penanganan Perkara Pertanahan untuk merespon. Pertanyaan secara khusus dari Yang Mulia Hakim Mukthie Fadjar, kami ingin merespons, mengapa gagal agrarian reform di tahun 1960? Kalau dilihat perangkatnya ada, hukumnya siap, tapi waktu itu tentu saya tidak in position menjelaskan kecuali saya mendalami dari sejarah dan sekian banyak Cornell paper yang saya baca untuk mendalami situasi ini. Di situ nampak sebenarnya ada proses yang baik terjadi tahun 1961 sampai 1964 dari land reform kita. Tetapi mengenai tahun 1964 ketika persoalan-persoalan politik cukup hangat di tanah air dan pada pertengahan tahun 1965 terjadi penguasaan sepihak dari proses politik yang tujuannya bukan agrarian reform, tetapi untuk tujuan politik yang lebih besar. Ini yang menyebabkan asosiasi dari land reform itu terkait erat dengan persoalannya. Tetapi undang-undangnya semua sudah sangat memadai. Pertanyaannya kemudian setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan lahirnya (Pasal) 28H, tetapi tentu barangkali kalau kami melihatnya senantiasa semua terkait juga dengan (Pasal) 28J. Tetapi sebagaimana tadi dijelaskan oleh Yang Mulia Hakim Natabaya, sebenarnya tidak ada pertentangan secara khusus yang lahir ini, tokh ini terkait dengan suatu proses, tidak serta merta seseorang dihukum, diambil, dan dirampas, tidak ada proses semacam itu. Undang-undang ini melihatnya dalam suatu konteks yang proper. Dan pertanyaannya apakah dalam reforma agraria kemudian, ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini tetap ingin dipertahankan? Jawaban kami begini, ini jawaban konsepsional dan jawaban yang praktis. Jawaban konsepsionalnya adalah idealnya negara ini membentuk panitia negara atau apapun bentuknya untuk menata kembali semua hukum pertanahan di tanah air ini sekaligus untuk memperkuat reforma agraria bisa dijalankan, sengketa dan konflik pertanahan bisa diselesaikan, tumpang tindih bisa diselesaikan, masih ragamnya persepsi masyarakat mengenai hukum-hukum pertanahan bisa diselesaikan. Tapi ini butuh proses, yang tentu Kepala BPN not in capacity. Di dalam proses itu tentu ada proses politik yang mengarah ke sana.
40
Yang kedua, yang pragmatis. Sebelum itu ada, undang-undang yang menjamin keadilan sosial harus kita pertahankan, tetapi ada pertanyaan harus lebih diefektifkan. Dalam kaitannya dengan UndangUndang Nomor 56 Tahun 1960 ini dia di dalam kerangka besar reforma agraria yang sudah kita matangkan cukup panjang ini dan yang insya Allah akan segera di-launching secara resmi di tahun 2007 ini. Karena proses-proses ini sudah kita masuki dengan sangat apik dan sangat hatihati. Jadi pertanyannya kalau secara konkret, ya tentu di dalam situasi yang kita hadapi sekarang karena ini undang-undang yang kita miliki dan kedua ayat itu menjadi unsur yang mengefektifkan undang-undang ini kami ingin tetap dipertahankan secara utuh dan bahkan hal ini adalah dan bahkan ini adalah mekanisme yang semakin memperkuat bagi kita untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan, karena kita memiliki penyidik PNS tersebut. Selebihnya kami kalau diizinkan memberikan Direktur Perkara Pertanahan untuk pertanyaan yang terkait langsung dengan yang disampaikan oleh Pemohon. Silakan, Saudara Agus. 101. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Silakan! 102. PEMERINTAH : RB. AGUS WIJAYANTO, S.H., M.H. (DIRT PERKARA BPN) Mohon izin Bapak Kepala Badan. Barangkali saya ingin mengelaborasi sedikit mengenai pertanyaan nomor dua dan nomor empat, sekaligus menambah jawaban dari Bapak Kepala Badan kaitannya dengan efektifitas dan mengenai keberlakuan Pasal 10 ayat (3) dan (4). Kalau tidak salah tadi ada pertanyaan dari Yang Mulia Majelis bahwa apakah Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini tidak berlebihan? Sebagaimana tadi sudah disampaikan oleh Bapak Kepala Badan bahwa ketika kita melihat ketentuan Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 tentunya kita juga perlu melihat ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan atau penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi. Mengenai pembatasan ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960, sehingga barangkali sebagaimana tadi disampaikan bahwa ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 harmonis dengan Undang-Undang Dasar 1945. 41
Mengenai ketentuan pidana, kita tahu bahwa di dalam sistem hukum pidana dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan. Di dalam hukuman pokok di situ ada hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, dan denda. Dan dimungkinkan ada hukuman tambahan berupa pencabutan hak, perampasan, atau pengambilalihan hak, dan pengumuman putusan pengadilan. Di dalam konteks ini sebagaimana tadi disebutkan oleh Bapak Hakim yang mulia, pengambilalihan ini dilakukan jatuh kepada negara, tanah ini jatuh kepada negara apabila dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan adalah telah melakukan pelanggaran, pelanggaran atas ketentuan pasalpasal yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960. Karena itu pembuktiannya perlu melalui proses hukum acara pidana dan kepada yang bersangkutan telah terbukti secara pidana melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal yang diatur dalam UndangUndang Nomor 56 PRP Tahun 1960, sehingga untuk itu sanksi tambahan itu dikenakan. Dan melengkapi pernyataan Bapak Kepala Badan, Yang Mulia dengan adanya proses pidana, maka tentu tindak pidana yang dilakukan ini sebetulnya adalah tindak pidana tertentu, sehingga sejalan dengan itu tepat apabila ke depan barangkali Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 ini juga bisa menjadi cantolan untuk pembentukan suatu penyidik PNS yang saat ini sangat dibutuhkan oleh BPN. Yang di masa lalu barangkali teratasi dengan adanya peradilan land reform yang kemudian telah dibubarkan. Kemudian yang berkaitan dengan efektifitas, Yang Mulia tadi menanyakan seberapa besar jumlah yang diperoleh melalui Kejaksaan dalam proses. Jumlah itu tidak besar Yang Mulia, justru efektifitas dari Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini terlihat dari data yang tadi disampaikan banyaknya wajib lapor dari para pemilik tanah kelebihan maksimum. Jadi efektifitas ini dilihat dari bukan seringnya dilakukan peradilan, tetapi dari banyaknya wajib lapor. Karena sanksi tersebut, maka wajib lapor cukup banyak. Dan sebagaimana disinyalir oleh Bapak Kepala Badan masih ada tanah-tanah kelebihan maksimum yang belum dilaporkan. Dan oleh karena itu ke depan kelembagaan BPN di sini barangkali akan bisa mengidentifikasi tanah-tanah kelebihan maksimum yang belum dilaporkan. Dan oleh karena itu sangat relevan Pasal 10 ayat (3) ini dengan keberadaan saat ini maupun masa yang akan datang. Kemudian, berkaitan dengan perolehan ahli waris yang telah menandatangani STP3. Justru dari pernyataan yang bersangkutan yang telah menandatangai STP3, jelas di dalam kasus ini adalah tuntutannya adalah tuntutan ganti rugi. Tuntutan ganti rugi yang belum terpenuhi karena ada Pasal 10 ayat (3). Dan oleh karena itu barangkali Yang Mulia tidak berkelebihan apabila kami berpendapat bahwa apabila memang tujuannya adalah untuk tuntutan ganti rugi yang terhalang oleh Pasal 10 ayat (3) yang kemudian tidak dilakukan penyelesaian oleh Pemerintah dalam kasus ini BPN, maka penyelesaiannya seharusnya dilakukan melalui peradilan perdata atau PTUN berkaitan dengan penolakan yang 42
fiktif negatif apabila itu tidak dituangkan dalam suatu beschiking. Barangkali itu tambahan dari kami Yang Mulia melengkapi jawaban dari Bapak Kepala Badan. Terima kasih. Mengenai proses distribusi tanah, barangkali dari Direktur Land Reform dapat menjelaskan secara lebih rinci dan lengkap apabila diperkenankan. Terima kasih. 103. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Boleh. Mungkin sedikit saja, disingkat. 104. PEMERINTAH : GUNAWAN SASMITA, MPA (DIRT LAND REFORM, BPN) Mohon izin Pak Kepala, Majelis Hakim yang mulia. Bahwa pelaksanaan redistribusi tanah diatur yang merupakan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Jadi bagi tanah-tanah kelebihan maksimum yang pemiliknya memenuhi kewajibannya dalam pengertian melaporkan dan menerima ganti kerugian, tanah tersebut dibagikan kepada para penggarapnya. Dan karena Pemerintah telah mengeluarkan uang untuk memberikan ganti kerugian, maka para penggarapnya itu juga membayar dengan mengansur selama 15 tahun. Apabila tanah-tanah tersebut jatuh pada negara, maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan didistribusikan kepada penggarap yang ada di situ, petani penggarap dengan tidak membayar, karena Pemerintah sendiri tidak mengeluarkan uang untuk memberikan ganti kerugian. Demikian Yang Mulia. Terima kasih. 105. KETUA : Prof. Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, nanti yang tadi disampaikan itu, powerpoint itu tadi, termasuk barangkali data-data yang belum disampaikan dari yang ditanya tadi, kalau masih ada bisa ditambahkan, itu penting sekali. Itu peraturan pemerintah yang tadi juga tolong copy-nya! Mualimin juga koordinasi dengan BPN, apa saja yang perlu tadi itu, yang disebut tadi. Baik, sekarang saya persilakan Ibu Arie.
43
106. AHLI DARI PEMOHON : Prof. Dr. ARIE SUKANTI HUTAGALUNG, S.H. Terima kasih atas kesempatannya. Pertanyaannya saya akan coba jawab satu persatu, tetapi mungkin maklum kalau sudah Profesor suka lupa. Ada masalah sedikit saya, karena saya sedang flu. Perbedaan antara bumi dan tanah. Pengertian bumi itu lebih luas daripada tanah. Dari segi yuridis yang disebut tanah oleh UndangUndang Pokok Agraria adalah permukaan bumi, tetapi hak atas tanah yaitu penggunaan permukaan bumi sebagian dan di dalam dan di atas dalam bentuk-bentuk yang wajar dengan penggunaannya. Karena itu tidak pernah ada secara konkret, kemarin juga dibicarakan dalam pelaksanaan RUU Tata Ruang. Jadi tidak konkret sampai mana bisa digunakan yang disebut tanah dalam hak atas tanah itu. Lalu mengenai Pasal 10, sekalian menjawab Yang Mulia Bapak Profesor Natabaya mengenai anggapan saya mengenai Pasal 10 bahwa itu bertentangan. Saya tidak melihat itu bertentangan dengan undangundang yang sebelumnya, yang saya lihat adalah bertentangan dengan asas hukum. Asas hukumnya itu pada, kalau seseorang tanahnya diambil oleh negara, itu pada asasnya diberikan ganti rugi. Jadi saya melihat dari asas hukumnya itu dan mengaitkannya dengan hak asasi manusia. Ini terus terang ini pekerjaan rumah yang sulit buat saya menjelaskan, untuk membantu Pemohon, tetapi mungkin bisa dikaji lagi apa yang saya tulis, saya melihat ada asas hukum tanah dengan asas-asas penguasaan tanah. Sedangkan untuk pencabutan hak saja harus ada ganti rugi. Mengenai efektifitas dari Undang-Undang Nomor 56, saya sudah meneliti sejak tahun 1979. Mungkin Prof. Jimly juga tahu saya mendatangi para penggarap sendiri, lokasi adalah di Kabupaten Minahasa Kecamatan Kerakas, lalu saya selalu mengadakan penelitian pustaka juga di University of Wisconsin, memang dari buku-buku bacaan di sana learn training center yang terbesar. Di sana saya lebih banyak mendapatkan buku di sana daripada Perpustakaan Universitas Indonesia. Di sana terlihatlah bahwa Undang-Undang Nomor 56 tidak efektif. Jadi saya meragukan itu yang data yang diterima oleh BPN karena memang banyak seperti Pak Sujarwo itu menyatakan sendiri dan ada seorang Polandia Wolf Ladinsky juga bahwa itu land retribution itu tidak efektif, karena apa? Karena ada jangka waktu tiga bulan untuk melapor. Sebelum tiga bulan itu, apa yang dilakukan? Tanah itu dialihkan kepada anak, keponakan, mantu, dan sebagainya. Jadi akhirnya tidak terdapat tanah-tanah kelebihan maksimum, lalu juga waktu pada saat itu berlakulah kuasa mutlak, berlaku kuasa mutlak. Lalu tanah dibeli oleh tuan tanah, tetapi tetap atas nama pemegang hak atas tanah sebelumnya, sehingga tidak tercapai demikian. Mengapa saya mengatakan Pasal 3 itu sebetulnya, apalagi zaman sekarang tidak sesuai lagi, itu ada suatu kewajiban melapor. Kalau saya mempunyai rumah 44
sampai sepuluh dan ditanya sama KPK, mungkin saya tidak akan melaporkan semuanya, kalau sekarang begitu Pak. Tetapi pada waktu masa dulu itu tergantung sekali, maka saya katakan derajat kepatuhan masyarakat itu. Banyak tuan tanah itu yang tidak mau melapor, itu jelas. Justru malah membuat suatu pemindahan-pemindahan dalam waktu tiga bulan, ini hasil penelitian saya yang demikian. Kemudian mengenai pengecualian, pengecualian tanah bengkok. Apa yang terjadi di Minahasa saya menemukan satu hukum tua, hukum tua itu kepala desa, menguasai 40% tanah desanya, tapi itu dikecualikan, lalu juga dikecualikannya tanah hak guna usaha dan sebagainya. Itu malah dijadikan suatu rekayasa hukum walaupun dulu belum ada konsultan hukum yang pintar-pintar, tetapi tetap dijadikan rekayasa untuk menghindarkan tanah kelebihan maksimum. Mungkin juga mengenai penetapan keluarga saya katakan, dulu satu keluarga tujuh orang, sekarang kita sudah keluarga berencana mungkin lebih cocok kalau satu keluarga itu ditetapkan empat orang. Jadi ada hal-hal yang memang saya lihat dari segi hukum itu sudah banyak yang tidak sesuai, misalnya penetapan batas tanah maksimum kepadatan penduduk dan sebagainya dan misalnya termasuk tanah absensi misalnya kalau dulu harus satu kecamatan dan sekarang bisa saja petani apel di Malang tinggalnya di Surabaya, karena ada mekanisme transportasi yang baik. Inilah yang saya katakan selain Pasal 10 itu, kalau khusus Pak Profesor Natabaya, Pasal 10 itu saya juga membaca dan dari depan di Pasal 10 ayat (1) itu sudah ada pidana kurungan dan denda. Kenapa di bawah dikenakan lagi? Begitu maksud saya, apa tidak terlalu berlebihan? Karena pada asasnya hukum tanah itu memang kalau kita mengambil tanah itu diberikan ganti rugi. Mungkin ini bisa dikemukakan bahwa ini suatu sanksi, seperti Pak Joyo katakan sebagai suatu trigger—pemicu supaya orang itu patuh. Kembali mengenai kepatuhannya itu dia tahu tidak ada peraturan itu? Itu masih harus dipertanyakan lagi secara sosiologis, bagaimana sosialisasi Undang-Undang Nomor 56 pada saat tahun sebelumnya ini? Ini yang masih harus diitukan, makanya saya mencoba untuk menolong Pemohon ke arah demikian bahwa ketidakpatuhan dari almarhum Bapaknya itu mungkin karena mungkin adanya suatu ketidaktahuan, mungkin. Tapi saya tidak tahu itu karena memang proses pidananya sudah berlangsung. Jadi saya tidak menyatakan bahwa itu bertentangan dengan Pasal 28H, bertentangan dengan asas-asas hukum tanah. Jadi saya mengatakan asas hukum tanah itu sesuai dengan HAM dan sesuai dengan Pasal 28, sangat memperhatikan perikemanusiaan yang adil dan beradab. Kembali kalau pertanyaan model apa tadi? Mungkin saya boleh ikut memberikan saran kepada Pemerintah model apa? Karena kita sekarang lebih kapitalis dengan adanya Undang-Undang Penanaman Modal Asing, model apa? Saya rasa kita kembali kepada falsafah kita, karena falsafah adalah suatu akar daripada pohon hukum, sedang 45
undang-undang itu hanyalah ranting-ranting saja. Falsafahnya Pancasila, kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebesar-besar kemakmuran rakyat, jadi tetaplah kita walaupun menarik penanaman modal itu harus diperhatikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mungkin di sini saya di dalam pidato pengukuhan saya, kita harus melihat konsepsinya harus tetap sama. Konsepsi yang memungkinkan penguasaan bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, tapi mengandung unsur kebersamaan. Ini memang suatu idealisme yang agak sulit untuk ditanamkan, tetapi memang UUPA itu dasarnya hukum adat di dalam konsepsinya adalah komunalistik religius. Jadi dasar penguasaan pribadi itu adalah kebersamaan, jadi dalam penggunaan pribadi itu juga harus memperhatikan hal-hal yang secara bersama, ini mungkin untuk reforma agraria ke depan, tapi saya rasa pihak Pemerintah, Undang-Undang Nomor 56 itu kalau kita kupas satu-satu sudah banyak yang tidak relevan dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, terutama mengenai batas maksimum. Tadi saya ada koreksi, batas maksimum itu memang berbeda, tapi kebetulan ayah dan anak ini dalam suatu wilayah yang sama. Jadi memang batas maksimum di Jawa itu lima hektar untuk sawah dan enam hektar untuk tanam palawija. Jadi ini yang dapat saya jawab mudah-mudahan bisa menjawab para yang mulia Hakim, maaf kalau ada kekeliruan, maklum sudah tua. Terima kasih. 107. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, terima kasih. Itu enaknya jadi Profesor begitu, lupa boleh. Nanti kalau misalnya ada keterangan yang dirasa masih perlu ditambahkan secara tertulis dipersilakan, Pemerintah juga demikian. Saya tidak tahu apa masih ada yang perlu disampaikan lagi? Pemerintah boleh? Saya rasa sudah cukup lengkap sehingga sidang ini kita cukupkan di sini saja sehingga nanti Saudara kalau mau ada yang mau disampaikan saya persilakan, nanti kesimpulan juga bisa selain yang lisan sementara, nanti bisa ditulis. Silakan Pemerintah kalau ada yang mau disampaikan? 108. PEMERINTAH : JOYO WINOTO (KEPALA BPN) (KEPALA BPN) Terima kasih Yang Mulia. Dua hal kecil, yang pertama sebagaimana tadi dinyatakan oleh Saksi Ahli, ada hal yang memang menarik apakah betul Ahli? Kami mohon maaf Yang Mulia saya baru pertama kali masuk ruangan semacam ini, jadi groginya masih lebih banyak. Tidak ada kesempurnaan dalam kehidupan dan kami tahu juga sebelum mengembangkan gagasan yang lebih besar kami melakukan kajian-kajian yang cukup mendasar 46
mengenai proses land reform kita. Di sini ada dua hal kecil yang ingin saya sampaikan, yang pertama adalah ada kajian-kajian kami yang justru nanti oleh kekuatan hukum yang lain yang menyebabkan ada penyimpangan. Sebagai contoh kami temukan di suatu daerah setelah itu diredis ternyata memang bisa mengumpul kepada satu orang, karena ini ada kuasa-kuasa substitusi yang akhirnya tidak terasa dan ini merupakan PR bagi kita ke depan untuk pertanahan. Dan yang kedua apakah betul ini tidak efektif? Ini kebetulan sempat staf saya minta untuk coba carikan dengan cepat saja sebelum berangkat, ini ada satu masih redis yang saya tandatangani tanggal 14 Desember 2006 kemarin dan 2007 ini juga sudah banyak. Artinya sebenarnya, sebagai contoh ini, keluarga Andi Tako Onde ini yang tinggal di kampung sana, di Sindeng Rangrapang ini tahu dan melaporkan dan memperoleh ganti rugi kurang lebih Rp 383.479.250, ini masih kita lakukan. Dan justru kita tertunda melakukan reforma agraria, land form kita berhenti pada saat itu. Ada suatu periode bagi kita sebagai bangsa untuk melakukan refleksi diri, dan refleksi diri ini tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah, karena gerakan untuk lahirnya Tap MPR Nomor IX itupun sebenarnya secara politik bisa kita maknai sebagai konsensus baru dari masyarakat untuk melahirkan keinginan baru dan refleksi inilah kita melihat kekuatan dan kelemahan yang lalu untuk kita lihat ke depan. Sementara sebelum ada yang fundamental yang keseluruhan, kita pertahankan yang ada, tetapi implementasinya kita jaga dan kita efektifkan dan yang kedua sebagai penutup mohon izin kami menyerahkan bahan-bahan sebagaimana yang telah kami janjikan tadi, terima kasih Yang Mulia. 109. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Terima kasih, petugas silakan! Baik, saya persilakan barangkali ada yang mau disampaikan Saudara Pemohon. Jadi nanti, sebagaimana mestinya, Pemohon saya beri kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan tertulis saja, tapi kalau misalnya ada kesimpulan sementara, lisan, dalam sidang ini saya persilakan. 110. PEMOHON : YUSRI ARDISOMA Terima kasih Yang Mulia. Ketua Majelis, jadi mungkin untuk sementara untuk kesimpulan nanti kami akan membuat secara tertulis. Untuk pertama kami tetap kepada apa yang telah kami sampaikan di permohonan, terus kedua nanti akan menanggapi apa yang tadi sudah diupayakan oleh Pemerintah, keterangan Pemerintah untuk redistribusi, ini barangkali hanya, itu mungkin tahapannya ada tanah kelebihan. Jadi ada tanah 47
negara yang diredistribusikan. Pengalaman kami di Subang yang dilakukan itu ada tanah-tanah negara atau bebas murni itu yang dilakukan redistribusi itu kalau di kabupaten Subang, jadi nanti tanah kelebihan dari masyarakat saya rasa di Subang tidak ada setelah kasus Pak Dukrim itu. Kedua, tadi pengertian Pasal 10 ayat (3) atau (4), ini penafsiran saya yang awam barangkali, di sini terjadi tindak pidana. Jadi jika terjadi tindak pidana, tindak pidananya sudah terjadi, sedangkan saya sependapat ada pembatasan luas tanah, ada sanksi, sependapat. Hanya tadi di sini dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) itu jika terjadi tindak pidana. Kebetulan orang tua saya terjadi tindak pidananya yang tadi disampaikan oleh Profesor Arie itu semata-mata bukan kesalahan orang tua saya saja, karena timbul perkaranya bukan oleh tadi dilakukan oleh BPN pada waktu itu, karena ada kasus lain. Dengan penyerobotan, dengan tadilah, ada tanah sewa, dan sebagainya itu tidak terbukti, baru itu. Kembali kepada itu, jadi sudah terjadi tindak pidana. Orang yang tidak terjadi tindak pidana, seperti mungkin saya yang mempunyai kelebihan tanah dan lain-lain karena tidak terjadi tindak pidana orang itu dibiarkan, barangkali untuk sementara itu saja. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. 111. KETUA : Prof.Dr. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H. Baik, jadi dengan demikian cukuplah sidang kita sampai di sini tapi ini untuk informasi, begitu jadi memang di Mahkamah Konstitusi bedanya dengan di pengadilan biasa. Pengadilan biasa mengadili kasus konkret, sedangkan di sini mengadili norma. Yang membawa norma ini ke Mahkamah Konstitusi harus orang yang punya kaitan, punya pengalaman, punya kepentingan yang dirugikan. Boleh jadi kepentingan pribadinya terganggu, tetapi mengenai ini kepentingan pribadi itu hanya alasan untuk membawa perkara, nanti kalau sudah masuk menjadi perkara yang kami lihat bukan persoalan pribadinya itu. Persoalan pribadi itu hanya untuk membatasi jangan semua orang membawa perkara ke mari, itu namanya legal standing. Nanti yang akan kita lihat apakah norma yang Saudara persoalkan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar apa tidak? Tadi sudah dijelaskan oleh Ibu Arie, ini menurut Ibu Arie bertentangan dengan asas hukum dan asas hukumnya ada di Pasal 28H. Hanya yang menjadi masalah apa ini termasuk hak asasi yang tidak terkena Pasal 28J atau tidak? Jadi biar itu kami yang menilai data-data keterangan Saudara sudah sangat lengkap, nanti kalau misalnya masih kurang tolong Saudara lengkapi di dalam kesimpulan tertulis, lampiri apalagi yang Saudara anggap perlu untuk membantu kami mendalami perkara ini. Begitu juga Pemerintah, kalau misalnya masih terasa kurang silakan dilengkapi, kami belum punya pendapat ini. Sesudah ini nanti kalau sudah lengkap dalam waktu tujuh hari dari 48
sekarang. Jadi kesempatan tujuh hari ini untuk melengkapi termasuk membuat kesimpulan tertulis, termasuk kalau ada tambahan keterangan dari Saksi, dari Ahli, silakan dimasukkan dalam tujuh hari ini. Setelah itu baru giliran kami baru mengadakan rapat permusyawaratan, mudah-mudahan tidak lama nanti kita nanti sidang terakhir untuk pembacaan putusan, begitu ya? Baik, dengan demikian Saudara-saudara saya ucapkan terakhir kepada Saudara Ahli dan Saksi terima kasih atas keterangannya dan mudah-mudahan ini berguna bagi kami dan dengan ini Sidang Mahkamah Konstitusi hari ini saya nyatakan ditutup.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.30 WIB
49