2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah Secara umum tujuan atau misi dari konvensi Ramsar adalah konservasi
dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara bijaksana diseluruh dunia. Indonesia baru memiliki tiga lokasi Ramsar yaitu Taman Nasional Berbak (8 April 1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman Nasional Wasur (16 Maret 2006) (Ramsar Convention Bureu 2010). Taman Nasional Berbak seluas 1 627 km2 dan Taman Nasional Danau Sentarum seluas 1 320 km2 dan Taman Nasional Wasur seluas 4 138 km2 (Wikipedia 2010). Dua lokasi kawasan lahan basah lainnya saat ini masih dalam proses pengusulan ke Biro Ramsar, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Nirarita 2009). Indonesia bersama 178 negara lainnya menjadi pendukung perbaikan dan perlindungan lahan basah dalam konvensi Ramsar. Tahun 2010, negara yang menjalankan konvensi Ramsar sebanyak 178 negara dengan jumlah total Ramsar site sebanyak 1908 (Lampiran 1). Lokasi Ramsar site yang terbanyak adalah Inggris (175) diikuti oleh Mexico, Australia dan lainnya (Tabel 1) (Ramsar Convention Bureu 2010).
Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. No
Nama Negara
Jumlah Ramsar Site
No
Nama Negara
Jumlah Ramsar Site
1
UK
175
9
Ireland
45
2
Mexiko
114
10
Netherlands
43
3
Australia
65
11
Canada
37
4
Spain
63
12
China
37
5
Italy
51
13
Japan
37
6
Finland
49
14
France
36
7
Algeria
47
15
Ukraine
33
8
Algeria
47
11 Hingga Oktober 2008, Ramsar list of wetlands of international importance saat ini mencakup 1 882 lokasi yang dikenal dengan Ramsar sites, keseluruhannya seluas 1 680 000 juta ha, meningkat dari sebelumnya 1 201 lokasi (tahun 2000). Negara dengan jumlah lokasi terbanyak adalah Inggris dengan 175 lokasi, dan wilayah cakupan terluas adalah Kanada yaitu 13 066 675 km2, sementara di Indonesia terdapat 3 lokasi dengan total keseluruhannya 656 510 km2 (Damanik 2008). Empat kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota Konvensi: (1) mendaftarkan lokasi lahan basah yaitu menetapkan sedikitnya satu kawasan lahan basah kedalam Daftar Situs Ramsar (Ramsar list) dan mengupayakan konservasinya termasuk pemanfaatan secara bijaksana; (2) pemanfaatan secara bijaksana yaitu negara anggota konvensi berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana tata ruang Nasional, selain itu juga harus memformulasikan dan mengimplementasikan perencanaan tersebut untuk mengembangkan konservasi lahan basah dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana; (3) perlindungan dan pelatihan, yaitu negara anggota harus menetapkan perlindungan lahan basah, baik yang tercatat ke dalam Ramsar list maupun yang tidak, serta harus mengembangkan pelatihan di lapangan untuk penelitian
lahan
basah,
pengelolaan
dan
pengamannya;
(4)
kerjasama
internasional, yaitu negara anggota harus saling berkonsultasi satu sama lain mengenai implementasi konvensi, khususnya yang terkait dengan pengelolaan lahan basah di lintas batas negara, sistem air bersama, species bersama/migran (Nirarita et al. 1996).
2.2.
Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah Lahan basah adalah tempat di mana air adalah faktor primer yang berperan
terhadap lingkungan dan kehidupan kelompok flora dan fauna. Lahan basah terjadi pada saat permukaan air mendekati atau menggenangi permukaan tanah, ataupun pada saat tanah digenangi air dangkal. Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerahdaerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air
12 yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997). Wetlands International (2003) menyebutkan lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Lahan basah sebagai ekoton yaitu suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas (Denny 1985 dan Wortington 1976 dalam Davies et al. 1995). U.S. National Wetlands Inventory (Corwardin et al. 1979) batasan lahan basah yakni lahan-lahan peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air biasanya terletak pada atau dekat permukaan, atau lahan yang ditutupi oleh perairan dangkal. Lahan basah menurut batasan tersebut, harus memiliki salah satu atau lebih dari ciri-ciri sebagai berikut: paling tidak secara periodik ditumbuhi tumbuhan air; sebagian merupakan tanah tergenang (hydric soils), kondisinya jenuh air atau tertutup oleh air dangkal, paling tidak secara periodik yaitu pada musim tumbuh. Berdasarkan batasan tersebut, lahan basah terdiri atas rawa, daerah pinggir sungai, danau atau hutan bakau, dan rawa di tepi laut. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (PERMEN 16 2008). Kawasan hutan payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan lautan (Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006). Lahan basah pesisir meliputi daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air, yang umumnya payau atau asin, baik secara tetap atau musiman; umumnya terpengaruh oleh pasang surut air laut atau limpasan air tawar. Fungsi hutan mangrove dapat dibagi atas fungsi fisik, biologi dan komersial. Fungsifungsi tersebut antara lain adalah; (1) fungsi fisik yaitu menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai; (2) fungsi biologi yaitu sebagai tempat asuhan, dan berkembang biak bagi berbagai spesies udang, ikan
13 dan binatang lain, tempat berlindung bagi sejumlah besar spesies burung dan sebagai habitat kehidupan liar; dan (3) fungsi komersial yaitu tambak, rekreasi, penghasil kayu (Nirarita et al. 1996). Jenis lahan basah di Indonesia umumnya lahan basah palustrin, meliputi tempat-tempat yang bersifat merawa (berair, tergenang atau lembab), misalnya hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, dan rawa rumput atau rawa mangrove (WI-IP 2002). Lahan basah alami dalam peneliian ini adalah hutan mangrove dan yang dimaksud lahan basah buatan adalah ekowisata, tambak dan sawah. Lahan basah buatan (human made wetlands) adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk akibat intervensi manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Wibowo et al. 1996).
2.3.
Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah Menurut Green (1998), beberapa hal penting pada lahan basah adalah:
hidrologi, flora, fauna, kualitas air, penggunaan lahan, tanah dan substrat serta air tanah. Dalam penelitian ini, yang diamati adalah flora, fauna, geologi termasuk akresi dan abrasi, serta penggunaan lahan. Kriteria Ramsar adalah kriteria identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas. Burung air yang dimaksud dalam Konvensi ramsar adalah burung-burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah (Ramsar 1971). Vegetasi di lahan basah dapat memperlambat aliran air sehingga mempercepat pengendapan sedimen dan menjernihkan air. Di samping itu vegetasi juga mampu menyerap unsur hara dan bahan pencemar yang berlebihan sehingga dapat menjaga kualitas air. Kriteria untuk identifikasi lahan basah dengan kepentingan internasional (Ramsar Resolution COP VIII.13 2002), terdapat empat kelompok kriteria pengidentifikasian suatu kawasan lahan basah sebagai kawasan lahan basah yang memiliki nilai universal penting (untuk tercatat kedalam Daftar Situs Ramsar/Ramsar list) (Tabel 2).
14 Tabel 2. Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional. A. Keterwakilan langka atau unik, yaitu : Kriteria 1 : Lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan, langka atau unik dari tipe lahan basah alami atau yang mendekati alami, sesuai dengan karakteristik wilayah biogeografisnya. B. Konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: Kriteria 2 : Lahan basah tersebut mendukung spesies rentan, langka atau hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam. Kriteria 3 : Lahan basah tersebut mendukung populasi jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang penting bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah biogeografi yang sesuai, Kriteria 4 : Lahan basah tersebut mendukung jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang kritis dalam siklus hidupnya atau merupakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis tersebut saat melewati masa kritis dalam siklus hidupnya C. Kriteria khusus Waterbirds (Burung Air), yaitu : Kriteria 5 : Kriteria 6 :
Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh 20.000 atau lebih jenis burung air. Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh individu-individu dari satu spesies/sub spesies burung air hingga 1% dari total populasi spesies/sub spesies burung air tersebut.
D. Kriteria khusus ikan, yaitu : Kriteria 7 : Lahan basah tersebut mendukung/dihuni oleh proporsi yang nyata dari species/sub species/famili ikan-ikan asli, perkembangan sejarah kehidupan dan interaksi satu sama lainnya sehingga menunjukan adanya nilai-nilai atau kontribusi penting dari lahan basah tersebut terhadap keanekaragaman hayati global. Kriteria 8 : Lahan basah tersebut merupakan sumber makanan yang penting bagi ikan-ikan, tempat berpijah dan asuhan dan/atau sebagai jalur migrasi untuk stok ikan yang berada di lahan basah tersebut atau tempat lain di luar lahan basah tersebut. Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomis yang kualitas dan kuantitasnya menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu dijelaskan sebagai suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata tanpa mengabaikan kelestarian ekosistem (Global Water
15 Partnership 2000). Unsur kunci dalam alokasi air adalah keterlibatan stakeholder dalam proses pembuatan keputusan. Melalui partisipasi stakeholder pemanfaatan dan penggunaan air yang beragam dalam satu areal tangkapan air harus ditetapkan sesuai dengan tujuan alokasi air, yang harus melibatkan ciri ekologi lahan basah yang diharapkan. Tujuan alokasi air ke lahan basah diutamakan untuk kepentingan ekologis atau berkaitan dengan praktek penggunaan secara bijaksana, seperti untuk perikanan (Ramsar Resolution COP VIII.14 2002). Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi lahan basah, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kualitas air merupakan hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan basah. Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak dari kualitas air terhadap nilai dari lahan basah seperti salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, keasaman yang berdampak terhadap flora dan fauna di lahan basah (NSW 2004). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0.5 psu, perairan payau antara 0.5 – 30 psu, dan perairan laut 30 – 40 psu. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40 – 80 psu. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Lahan basah Muaragembong di dominasi oleh atau dibentuk oleh endapan sungai yang ditransfer oleh air. Bahan-bahan tersebut adalah bahan erosi yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), baik sepanjang sungai maupun anak-anak sungai, khususnya dihulu sungai di mana topografi umumnya berundulasi, kadang-kadang terjal. Proses erosi di pantai adalah bagian dari transportasi sedimen yang tergantung pada profil pantai dan proses pantai di bawah pengaruh gelombang, pasut dan arus (Moore et al. 1993). Erosi di pantai (abrasi) dalam hal ini lahan basah pesisir membentuk serta merubah bentuk pantai dan membentuk morfologi pantai (Bird 1996). Keterpaduan konservasi lahan basah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, keterpaduan konservasi lahan basah dan pemanfaatan secara bijaksana dalam pengelolaan daerah aliran sungai merupakan hal yang penting untuk dimaksimalkan dan dipertahankan agar keuntungan-keuntungan yang
16 diberikan lahan basah kepada masyarakat dapat tetap dinikmati (Wetlands International 2003). Zona pantai adalah peralihan yang relatif sempit antara laut dan darat, dimana fungsi dan proses ekologi yang komplek dan intensif yang bergantung pada interaksi antara laut dan darat (Ramsar Resolution VIII.4 2002). Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible). Zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut (MCRMP-DKP 2004). Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/KPTS/4/1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Departemen Kehutanan Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada
hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di
sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Disamping itu dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan lindung berupa kriteria sepadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Diperkirakan pasang surut pantai Utara Pulau Jawa lebih kurang 1.1 meter, sehingga lebar sepadan pantai berhutan bakau sekitar 143 meter atau 150 meter. Pada lahan basah Muaragembong, yang memungkinkan pembentukan kawasan lindung adalah hutan mangrove. Rehabilitasi lahan basah didefinisikan oleh Whitaker (1998) sebagai: (1) aktivitas pemeliharaan di dalam atau di sekitar kawasan lahan basah alami yang meningkatkan fungsi dan status ekologi, (2) aktivitas yang mengurangi kesenjangan antara keuntungan yang diberikan oleh lahan basah saat ini dengan keuntungan yang seharusnya diberikan, dan (3) bagian dari pengelolaan lahan basah seperti menyembuhkan seseorang dari sakit. Rehabilitasi bukan sebagai
17 pengganti konservasi. Rehabilitasi lahan basah mencakup identifikasi prosesproses alami lahan basah dan meminimalkan aktivitas-aktivitas yang mengancam. Proses rehabilitasi mencakup: menilai kondisi eksisting, identifikasi sumberdaya air, identifikasi pengelolaan air, dan memperhatikan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi lahan basah (Richardson 1998). Klasifikasi lain yang membagi lahan basah (Duggan 1990) yang antara lain budidaya perairan / perikanan dan pertanian.
2.4.
Pengelolaan Lahan Basah Pesisir Untuk mengelola lahan basah secara efektif, diperlukan pengetahuan yang
mendalam mengenai isu utama yang akan dilakukan dan dampaknya terhadap lahan basah, flora dan fauna, dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Isu yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori; (1) lahan basah membutuhkan pengelolaan sumberdaya fisik seperti air dan sumberdaya biologisnya seperti burung, ikan, satwa liar, dan vegetasi, (2) lahan basah dapat dikelola sebagai masalah khusus yang secara umum berasal dari aktivitas antropogenik seperti pengendapan dan polusi, (3) lahan basah juga dapat dikelola dari jasa-jasa lingkunganya seperti rekreasi dan nilai estetika (Gopal 1995). Suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis apabila pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien, berkelanjutan secara ekologi apabila dapat
mempertahankan
integritas ekosistem,
memeliharan daya dukung
lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan berkelanjutan secara sosial apabila pemerataan hasil-hasil, mobilitas sosial, partisipasi
masyarakat,
pemberdayaan
masyarakat
dan
pengembangan
kelembagaan (Serageldin 1996). Pembangunan berkelanjutan dari suatu lingkungan alami adalah mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial di satu pihak dan melindungi alam di pihak lain, dengan kata lain, antara pemanfaatan di satu pihak
18 dan konservasi di lain pihak. Banyak kegiatan manusia yang secara ekologis tidak berkelanjutan dan menyebabkan degradasi serta hilangnya lahan basah. Konvensi Ramsar telah mengembangkan panduan untuk pemanfaatan lahan basah secara bijaksana yaitu penggunaan lahan basah yang lestari untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan tetap menjaga sifat-sifat alami dari ekosistem. Konsep pemanfaatan bijaksana tersebut, menunjukkan modifikasi pemanfaatan lahan basah oleh manusia sehingga memberikan keuntungan secara kontinu kepada generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan ini harus diadaptasikan kepada masyarakat lokal, agar menjadi budaya dalam pemanfaatan lahan basah yang sifatnya masih tradisional (Biro Konvensi Ramsar 1997). Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah konservasi sumberdaya, harmonisasi pembangunan dengan pemanfaatan lingkungan fisik, meningkatkan kualitas lingkungan, keadilan sosial, partisipasi politik: meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan politik dan berinisiatif dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan pada semua level komunitas lokal ke atas (Blowers 1995). Kondisi lahan basah yang kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal apabila mengalami degradasi, memerlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan lahan basah khususnya di negara berkembang sudah banyak dilakukan. Konsep mitigasi lahan basah, dan restorasi dan mitigasi telah menjadi strategi konservasi lahan basah (Swanson 1979; Brinson and Lee 1990). Konsep mitigasi mencakup tindakan preventif dan korektif selama dan setelah kegiatan berlangsung yang berdampak negatif terhadap lahan basah sedangkan restorasi merupakan proses pengembalian fungsi-fungsi ekologis bagi lahan basah yang terdegradasi. Dalam rangka mencapai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di daerah, maka terdapat pentahapan unsur-unsur utama kerangka kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu di daerah yang terdiri atas perencanaan strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil seperti pada Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dilaksanakan dengan tahapan: (1) Rencana strategis, (2) Rencana Zonasi (3) Rencana Pengelolaan (4) Rencana Aksi.
19
Gambar 1.
Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
Fungsi lahan basah mencakup keanekaragaman hayati, pengisian kembali air tanah, penyimpan air, kualitas air, habitat, dan pemanfaatan langsung lahan basah oleh manusia seperti rumput, stok makanan ternak, perburuan, dan rekreasi. Fungsi lahan basah ini sangat bernilai bagi masyarakat. Variabel ekonomi dan lingkungan ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai sosial lahan basah di kawasan pertaniann (CAST 1994; Berry and Buechler 1993). Dalam buku Handbook of Wetland Management (WWF – India 1995), hal yang perlu diperhatikan pengelolaan lahan basah selain pengelolaan habitat dan pemanfaatan lahan basah adalah perhatian terhadap pelibatan masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan, kegiatan monitoring lahan basah, dan penegakan hukum dan kelembagaan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan lahan basah merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan. Pelibatan masyarakat dalam hal ini berorientasi pada konsep pembangunan partisipatif dimana masyarakat lokal turut menentukan tujuan dan sasaran kebijakan dan berperan dalam proses untuk mencapai tujuan. Masyarakat yang terkait dengan pengelolaan lahan basah adalah mereka yang berpotensi terkena dampak atau memiliki kekuatan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan, yang disebut sebagai stakeholder (Brown dan Lee 2001). Pendekatan yang dapat dilakukan
20 agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan antara lain: inisiasi konsep kegiatan oleh masyarakat lokal, kepemimpinan lokal yang disegani sehingga dapat mengendalikan kegiatan masyarakat lokal, komposisi sosial-ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan oleh masyarakat secara sukarela (WWFIndia 1995). Pengelolaan lahan basah, khususnya lahan basah pesisir membutuhkan pendekatan dari tiga dimensi yakni pengelolaan lahan basah itu sendiri, pengelolaan sumberdaya pesisir dan pengelolaan daerah aliran sungai. Ketiga pendekatan ini harus terpadu dan terintegrasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pengelolaan suatu ekosistem yang kompleks. Monitoring merupakan proses pengukuran perubahan karakter ekologi pada lahan basah sepanjang periode tertentu. Kegiatan monitoring merupakan bagian dari pengelolaan lahan basah. Kondisi lahan basah dapat dinilai dengan memeriksa kondisi lingkungan dan menyesuaikan hasil pengamatan ini dengan tujuan dan sasaran pengelolaan. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, yang selanjutnya disebut kawasan Jabodetabekpinjur adalah kawasan strategis nasional yang meliputi seluruh wilayah Propinsi Khusus Ibukota Jakarta, sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Propinsi Banten. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sepadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi pantai. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008).
21 2.5.
Hasil Penelitian Terdahulu pada Lahan Basah Muaragembong Beberapa peneliti terdahulu pada lahan basah Muaragembong terdapat
pada Bab III dan Bab IV antara lain, Situmorang (1982), Koesoemadinata et al. (1985), Supriyatna et al. (1989), Panjaitan (1997), Rayad (2004), Suhaeri (2005). Ekosistem lahan basah Muargembong memiliki komponen utama penutupan lahan yang lebih terbuka. Kawasan areal tertutup vegetasi dapat dijumpai pada vegetasi hutan mangrove didaerah pesisir garis pantai. Telaah liputan lahan wilayah ini dominan adalah pengelolaan untuk tambak. Selain itu penutupan lahan yang cukup luas juga dijumpai untuk tanaman padi, yang sifat tajuk tanaman relatif memiliki penutupan yang rendah (Sunarto dan Melisch 1994). Hasil penelitian Abdunnur (1997) dan Zudiana (1997) menunjukan bahwa nilai-nilai parameter fisika-kimia air dan parameter fisika-kimia sedimen di Muara Jaya telah melebihi ambang batas baku mutu yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 1988. Fungsi dan manfaat lahan basah Muaragembong dapat dikategorikan ke dalam manfaat langsung, manfaat ekologi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Manfaat langsung adalah meredam pengaruh gelombang dan pasang sehingga mengurangi abrasi pantai dan menjadi lokasi untuk rekreasi, penelitian dan pendidikan. Manfaat ekologi antara lain penambat sedimen dan penjernih air, sedangkan manfaat ekonomi antara lain adalah penyedia air untuk masyarakat, penyedia hasil hutan seperti kayu, bangunan, tumbuhan obat, sumber perikanan terutama ikan dan udang, dan pendukung pertanian (Setiawan 2003).
2.6.
Analisis Kebijakan Dunn (2000) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pejabat publik sesuai
22 dengan kewenangannya. Untuk itu dalam mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta lahirnya kebijakan yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Strategi yang perlu dilakukan, adalah penguatan organisasi kelompok masyarakat.
Advokasi
kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proposional dan partisipatif, komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik. Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPPMangrove (2000) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan. Bahkan dengan berkembangnya Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Kayu (IUPHHK), IUPHHT sebagian besar dari mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan keabsahannya.