1
1.PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, jagung saat ini merupakan komoditas strategis yang dibutuhkan untuk banyak industry.Selain untuk pakan ternak, jagung banyak dibutuhkan untuk industri makanan, baik untuk olahan jagung maupun untuk bahan pelengkap makanan. Selain itu, jagung juga mempunyai peranan penting terhadap perekonomian nasional dan telah menempatkan jagung sebagai kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tanaman pangan serealia, oleh karena itulah dapat dipahami kebutuhan akan jagung sangatlah tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2012). Angka produksi jagung sendiri setiap tahunnya memiliki kecenderungan naik diiringi angka produktivtias yang juga terus meningkat. Pada Tabel 1 dapat dilihat tingkat produksi jagung dari tahun 2007 yang hanya 13.287.527 ton meningkat setiap tahun hingga tahun 2012 yaitu 18.838.529 ton, sedangkan produktivtias sendiri telah naik pada tahun 2007 dengan nilai 3.66 ton/ha menjadi 4.84 ton/ha pada tahun 2012. Tabel 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia 2007-2012 Tahun Produksi Pertumbuhan Luas Panen Produktivitas Pertumbuhan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-Rata
( Ton)
Produksi (%)
( hektar)
( Ton/Ha)
Produktivtias(%)
13.287.527 16.317.252 17.629.748 18.327.636 17.643.250 18.838.529 17.007.323.67
22,8 8,04 3,96 -3,73 6,77 7,57
3.630.324 4.001.724 4.160.659 4.131.676 3.864.692 3.890.974 3946675
3,66 4,07 4,23 4,43 4,56 4,84 4,30
11,20 3,93 4,73 2,93 6,14 5,79
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)
Berdasarkan Tabel 1 juga diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2012 peningkatan angka produksi jagung rata-rata setiap tahun adalah sebesar 7.5%, peningkatan laju produksi jagung dalam negeri ini dipengaruhi oleh tingginya permintaan pakan ternak, hal ini didukung oleh pendapat Haryono (2012) bahwa proporsi penggunaan jagung untuk pakan terhadap total kebutuhan jagung mencapai 83% dan Tangenjaya et al(2002) bahwa komposisi pakan yang berasal dari jagung, adalah untuk ayam pedaging 54% dan ayam petelur 47,14%. Kenaikan angka produksi tersebut harusnya dapat memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri sehingga dapat menahan laju impor jagung, namun kenyataannya data lima tahun terakhir menunjukan kenaikan pada jumlah impor yang signifikan.Pada Gambar 1 terlihat grafik impor jagung meningkat signifikan dari tahun 2009 hingga tahun 2012, pada tahun 2009 impor jagung berjumlah 338.778 ton hingga tahun 2011 mencapai 3.207.657 ton yang meningkat sebesar 846.77%, sementara dari gambar 2 yaitu gambar kebutuhan total pakan ternak Indonesia, dapat disimpulkan bahwa dalam rentang 2010 hingga 2012 impor juga mensuplai rata-rata 17.6% dari total kebutuhan pakan ternak. Berdasarkan Gambar 2 terlihat grafik yang memperlihatkan bahwa kebutuhan pakan ternak dari tahun 2010 hingga tahun 2013 rata-rata meningkat sejumlah 9%
2
per tahun, dimana angka ini berada diatas rata-rata kenaikan produksi jagung. Apabila angka produksi jagung nasional masih berada dibawah angka kebutuhan pabrik pakan, maka kebutuhan jagung nasional akan bergantung pada impor luar negeri sehingga imbasnya dapat mempengaruhi devisa negara. Menurut data yang didapat dari GPMT (2005) impor jagung terbesar datang dari India dengan total impor 1,1 juta ton dengan nilai US$ 319 juta, dilanjutkan oleh Argentina dengan total impor jagung ke Indonesia sebesar 286,3 ribu ton dengan nilai US$ 89 juta, Pakistan sebesar 146,2 ribu ton dengan nilai US$ 46 juta, Brazil sebanyak 74,4 ribu ton dengan nilai US$ 23 juta, dan Amerika Serikat sebanyak 44,2 ribu ton dengan nilai US$ 15,8 juta..
Jumlah Impor ( Juta Ton) 3.207.657
1.527.516 1.500.000 701.953
264.665 338.798
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 1. Grafik Kenaikan Impor Jagung Indonesia (2007-2012) Sumber : BPS 2013
Ketersediaan jagung memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak saat ini dipengaruhi oleh harga jagung dimana jagung yang dipakai untuk pakan ternak harus diimpor padahal jagung memakan biaya hampir 70% dari ongkos produksi pakan ternak, sehingga dengan kondisi seperti itu akan memberatkan peternak-peternak kecil maka dampaknya akan dirasakan yaitu harga daging ayam dan telur meningkat. Permasalahannya tidak semua jagung dalam negeri memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan pabrikan, terutama kandungan alfatoksin yang tinggi pada jagung dalam negeri ini(Subhana, 2005). Selain itu juga kadar air jagung dalam negeri tidak memenuhi syarat produksi untuk bahan baku pakan ternak dimana jagung dalam negeri airnya tinggi dan sistem penyimpananannya kurang baik sehingga jagung dalam negeri memiliki jamur dan tidak bisa disimpan dalam jangka waktu yang dibutuhkan oleh pabrik (Subijato, 2004).
3
Gambar 2 Kebutuhan Jagung Untuk Pakan Ternak Indonesia 2010-2013 Sumber : Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (2013)
Suplai jagung nasional berasal dari produksi jagung di wilayah Pulau Jawa dengan persentase hampir 60 % dari total produksi nasional (BPS, 2013), tingkat presentasi yang besar diakibatkan oleh sarana produksi dan infrastruktur yang lengkap, juga terdapat industri-industri penyerap jagung di Pulau Jawa. Penanaman jagung di Pulau Jawa sudah lama diusahakan oleh petani, pada awalnya jagung di Pulau Jawa merupakan komoditas pengganti kedelai yang harganya jatuh bertahun-tahun yang lalu dan akhirnya saat ini jagung menjadi salah satu komoditas wajib yang ditanam selain padi. Keberlanjutan penanaman jagung di Pulau Jawa dikarenakan kemudahan didalam perawatan disbanding komoditas lainnya. Meskipun begitu, petani jagung di Pulau Jawa memiliki keterbatasan didalam pengetahuan sehingga mereka masih belum mengerti pentingnya suplai yang terus berlanjut. Hal inilah yang menjadi kaitan penting antara kebutuhan suplai jagung dalam negeri dan permasalahan yang dihadapi petani. Di Pulau Jawa salah satu daerah sentra produsen jagung adalah Jawa Barat yang menyumbangkan 18 % terhadap produksi jagung nasional (BPS, 2013).Dari data pada Tabel 2 terlihat bahwa setiap tahun produksijagung di Jawa Barat mengalami kenaikan yang signifikan, pada tahun 2011 tercatat produksi jagung Jawa Barat adalah sebesar 945.104 ton pipilan kering, mengalami peningkatan sebanyak 21.142 ton atau naik sebesar 2,29 persen dibandingkan dengan produksi jagung pada tahun 2010 sebanyak 923.962 ton pipilan kering. Sejalan dengan volume produksi yang meningkat, ternyata produktivitas jagung juga mengalami kenaikan 4,75 persen dari 60,08 kuintal per hektar tahun 2010 menjadi 64,23 kuintal per hektar pada tahun 2011, rupanya kenaikan produktivitas ini disebabkan karena naiknya jumlah produksi namun luas panen menurun karena pada tahun 2011 tercatat luas panen mencapai 147.152 hektar, menurun 6.626 hektar atau mengalami penurunan -4,31 persen dibanding tahun 2010 yang mencapai 153.778 hektar. Apabila angka ini terus ditingkatkan bukannya tidak mungkin Jawa Barat akan mampu menjadi pemasok jagung dalam negeri terbesar. Ditambah lagi potensi jagung ditanaman di Jawa Barat didukung beberapa hal seperti
4
infrastruktur yang baik dan terjangkau oleh berbagai macam pihak, mudahnya petani mendapatkan informasi mengenai komoditas jagung, dan akses terhadap industri penyerap jagung berkapasitas besar yang berada di Jawa Barat. Tabel 2. Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Jagung di Jawa Barat Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (Ton) 639821 787599 923962 945104 1028653
Luas Panen (Ha) 118976 136707 153778 147152 148601
Produktivitas (Ton/Ha) 5.38 5.76 6.01 6.42 6.92
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2013)
Produksi jagung di Jawa Barat terpusat di Bandung Barat, Sumedang, Garut, Majalengka, dan Tasik (Diperta Jabar, 2013), dari survey awal didapatkan informasi bahwa pengusahaan jagung di Jawa Barat memiliki beberapa permasalahan, diantaranya yaitu hasil produksi jagung tidak dapat diterima oleh pabrik penyerap jagung dengan alas an pabrik pakanternak memiliki standar mutu kadar air dan tingkat aflatoksin yang rendah dan pabrik pakan ternak juga menerapkan standar kuantitas besar yang berkelanjutan sementara produksi jagung di Jawa Barat hanya satu tahun dua kali. Permasalahan tersebut menyebabkan pengusaha jagung kesulitan memasarkan jagungnya padahal pabrik pakan ternak juga kesulitan mendapatkan jagung, padahal menurut Simamora (2006) keberhasilan dalam memperebutkan pasar yang sama sangat tergantung dari besarnya nilai kepuasan yang diberikan kepada konsumen. Saat ini,konsep pemasaran berorientasi pada persaingan, dimana pengusaha berpikir untuk memperoleh persaingan yang lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya dalam melayani konsumen yang tidak hanya menekankan untuk melayani konsumen sebaik-baiknya, namun harus pula berusaha untuk tampil meyakinkan dan memuaskan di mata konsumen dibandingkan dengan pesaing (Gitisudarmo, 2000) Apabila ingin memasarkan jagung kepada pabrik pakan ternak, maka produsen jagung di Jawa Barat harus dapat bersaing dengan jagung impor. Maka produsen jagung di Jawa Barat haruslah dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh pabrik pakan selaku konsumen jagung. Menurut Morgan et al (2004) daya saing dipengaruhi efektivitas dan efisiensi kinerja rantai pasok, maka dapat disimpulkan bahwa rantai pasok memegang peranan yang penting didalam memenangkan persaingan untuk memasarkan jagung. Untuk memenangkan persaingan jagung maka diperlukan optimalisasi rantai pasok dan nilai tambah pada lembaga-lembaga pemasaran jagung. Oleh karena itu penelitian mengenai analisis rantai pasok perlu dilakukan. Rumusan Masalah Saat ini, permintaan jagung yang tinggi terutama dipicu oleh kebutuhan untuk menghasilkan pakan ternak. Pada kenyataannya pemanfaatan jagung yang semula
5
untuk bahan makanan langsung, kini telah berubah menjadi komoditas industri. Hal ini dipicu oleh pemenuhan gizi masyarakat yang berasal dari protein hewani seperti, unggas dan ternak ruminansia. Kebutuhan penenuhan gizi yang berasal dari hewan terus mengalami peningkatan dan mendorong berkembangnya usaha peternakan, meskipun usaha menangkap dari alam bebas masih juga berlangsung. Ternak peliharaan memerlukan pakan buatan yang komponen utamanya adalah jagung. Maka untuk menyediakan gizi yang ber-mutu, perlu digiatkan produksi jagung domestik, sebab ketergantungan pada impor akan semakin rawan dan harga jagung impor juga akan semakin mahal. Jagung untuk bahan baku pabrik pakan yaitu jagung gigi kuda (Zea Mays Indentata) yang umumnya berwarna kuning. Jagung tersebut ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Di Indonesia daerah-daerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Pulau Jawa memiliki sentra unggulan produksi jagung, salah satunya adalah Jawa Barat. Jawa Barat merupakan sentra jagung yang paling dekat dengan lokasi konsumen jagung, maka dari itu Jawa Barat sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan pabrikpabrik pakan tersebut. Dalam pemenuhan kebutuhan jagung pabrik pakan, Jawa Barat sendiri seharusnya memiliki andil besar karena Jawa Barat memiliki kedekatan dengan banyak pabrik pakan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Pada Tabel3 terlihat bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki empat pabrik pakan ternak yang dapat menampung jagung, belum lagi pabrik pakan yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat seperti pabrik pakan di Provinsi Bantern (10 unit), Provinsi DKI Jakarta (4Unit), dan Jawa Tengah (3Unit). Namun, potensi Jagung Jawa Barat saat ini belum bisa memenuhi peluang yang ada. Berdasarkan jumlah produksi di Jawa Barat pada Tabel 4dapat dilihat bahwa pada produksi tahun 2010 hingga tahun 2011 terjadi peningkatan pada masing-masing kabupaten sentra produksi jagung di Jawa Barat, namun kenyataannya dibalik peningkatan tersebut terdapat permasalahan didalam pemasaran jagung sehingga pabrik pakan masih kesulitan mendapatkan jagung di daerah Jawa Barat. Permasalahan yang dihadapi jagung di Jawa Barat berkaitan dengan kegiatan pemasaran yang dilakukan petani, bandar, dan pedagang. Permasalahan permasalahan tersebut timbul karena petani tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai kebutuhan pabrik pakan tentang kualitas jagung yang harus memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu kadar air dibawah 18%, sehingga dampaknya pedagang besar kesulitan dalam memenuhi jumlah pasokan yang telah disepakati antara pedagang besar dan pabrik pakan. Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen, namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal. Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang
6
desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya. Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah. Tabel 3. Jumlah Industrik Pabrik Pakan Menurut Provinsi (2010) Jumlah Provinsi Pabrik Produksi Share ( Unit)
( Juta Ton)
(%)
Kapasitas Produksi ( Juta Ton)
Jawa Timur
15
2.71
35.2
3.64
Banten
10
2
25.9
2.71
Jawa Barat
4
0.94
12.2
1.11
Sumatera Utara
8
0.93
12.1
1.33
Jawa Tengah
3
0.48
6.2
1.12
DKI Jakarta
4
0.27
3.4
0.6
Lampung
4
0.25
3.3
0.66
Sulawesi Selatan
2
0.13
1.6
0.14
Total
50
7.7
100
11.3
Sumber: Kementrian Perdagangan dan Perindustrian (2012)
Kesulitan memenuhi jumlah pasokan, maka pedagang besar menerapkan sistem grading jagung kepada pedagang pengumpul desa, dampakanya pedagang desa berspekulasi mengenai harga sehingga mereka tidak berani membeli jagung di petani dengan harga yang tinggi. Pembentukan koperasi merupakan alternatif untuk menyalurkan jagung langsung kepada konsumen sehingga petani mendapatkan informasi mengenai kualitas yang diinginkan oleh konsumen, namun koperasi yang dibentuk memiliki kelemahan yaitu keterbatasan modal. Walaupun harga pembelian kepada petani lebih tinggi dibandingkan pedagang desa, tapi tidak semua petani dapat menjual jagung kepada koperasi dan koperasi sendiri menerapkan aturan yang ketat untuk petani bila ingin menjadi anggotanya. Padahal, dengan adanya koperasi dapat memperpendek saluran pemasaran sehingga marjin pemasaran antara petani dan konsumen bisa lebih rendah. Uraian diatas mengindikasikan bahwa rantai pasok jagung di Jawa Barat belum berjalan dengan baik, hal ini tercermin dari spekulasi harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa. Perlu adanya perbaikan didalam rantai pasok sehingga didalam pelaksanaannya rantai pasok pemasaran lebih optimal dalam menyampaikan produk dari produsen ke konsumen begitu juga dengan konsumen lebih mudah mendapatkan produk dari produsen. Maka diperlukan penelitian rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat Berkaitan dengan suplai jagung Jawa Barat ke industri pakan ternak, tentunya rantai pasok jagung di Jawa Barat merupakan hal yang sangat penting dan apabila ingin memenuhi kebutuhan pasokan untuk pabrik pakan tentunya dibutuhkan sebuah gambaran kondisi rantai pasok untuk dapat mengoptimalisasi integrasi rantai pasokan secara kontinyu. Gambaran mengenai kondisi rantai pasok diperlukan untuk melihat sejauh mana sistem pemasaran yang berjalan
7
antar anggota rantai pasok jagung di Jawa Barat, maka untuk mendapatkan gambaran kondisi rantai pasok dalam pemasaran jagung di Jawa Barat dapat menggunakan analisis sesuai dengan Vorst (2006) karena kerangka tersebut dapat menjelaskan secara rinci mengenai struktur rantai, sasaran rantai, manajemen rantai, sumberdaya rantai, dan proses bisnis rantai. Kondisi rantai pasok di Jawa Barat dapat dianalisis pada penelitian ini dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah kondisi rantai pasok jagung di Jawa Barat ? Tabel 4. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kabupaten- Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2010 Kabupaten
Garut Majalengka Sumedang Tasikmalaya Bandung
Luas Panen
Hasil Per Hektar
Produksi
Luas Panen
(Ha)
(Ton/Ha)
(Ton)
(Ha)
2011 Hasil Per Hektar (Ton/Ha)
394.843 112.462 68.687 61.155 51.682
60.568 16.062 13.118 9095 7061
7,335 6,642 5,542 6,325 5,841
55.717 18.577 13.888 10.092 8.611
7,087 6,054 4,946 6,06 6,02
Produksi
444.285 106.484 72.706 57.529 42.244
(Ton)
Sumber : Dinasi Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat (2012)
Penilaian kinerja rantai pasok sangatlah penting untuk dilakukan, karena pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana optimalisasi kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok sehingga akan terlihat sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan didalam pengelolaan rantai pasok tersebut, Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kinerja rantai pasok diperlukan integrasi didalam rantai pasok dengan cara perencanaan bersama (Frohlich & Westbrook 2001), mengurangi biaya pemesanan dengan melakukan outsourcing bahan baku setengah jadi (Scanell et al, 2000), mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan (Stanket al, 1999), serta mengurangi ketidakpastian bisnis (Childerhouse et al, 2003) dengan penggunaan teknologi informasi untuk berbagi informasi antar anggota rantai pasok. Maka, pada penelitian akan dijawab mengenai pertanyaan bagaimanakah kinerja rantai pasok di Jawa Barat? Peran yang dilakukan masing-masing anggota adalah sumber dari keunggulan –keunggulan kompetitif suatu rantai pasokan (Porter, 1985), dalam memasarkan jagung anggota rantai pasok membentuk sistem pemasaran yang didalamnya terdapat aliran pemasaran dimana pada setiap tingkatannya akan terbentuk nilai tambah tersendiri. Pada sistem pemasaran jagung terdapat kegiatan-kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok, kegiatan yang dilakukan tersebut memiliki nilai. Nilai yang didapatkan anggota rantai pasok pada proses pemasara tersebut merupakan nilai tambah Maka penting untuk dikaji, bagaimana nilai tambah yang dilakukan masing-masing anggota rantai pasok jagung di Provinsi Jawa Barat ?
8
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : 1. Menganalisis kondisirantai pasok jagung di Jawa Barat menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) 2. Menganalisis kinerja rantai pasok jagung di Jawa Barat 3. Menganalisis aktivitas-aktivitas nilai tambah yang dilakukan oleh para anggota rantai pasok di Jawa Barat Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberi rekomendasi kebijakan yang mendukung pengembangan agribisnis jagung untuk meningkatkan kesejahteraan petani jagung di Jawa Barat. Selain itu penelitian diharapkan menjadi rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian terkati rantai pasok dan nilai tambah komoditas jagung. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Keterbatasan utama penelitian ini adalah dalam melihat performa rantai pasok dan saluran pemasaran tidak sampai pada produk hilir jagung, tetapi dibatasi hanya sampai pada produk jagung pipilan karena disebabkan sulit mengakses data sampai kepada industri selanjutnya. Oleh sebab itu dalam melakukan pengukuran seperti farmer share’s yang seharusnya membandingkan harga yang diterima petani jagung dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir, hanya dapat dibatasi dari harga yang diterima petani jagung dengan harga yang diterima oleh bandar sebagai konsumen antara. 2. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Komoditi Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsistem), sehingga hasilnya relatif rendah.Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung mutiara (Zemaysindurata) yang umumnya berwarna putih. Jagung untuk bahan baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zeamays indentata) yang umumnya berwarna kuning. Di Indonesia daerahdaerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 2007). Persyaratan mutu jagung untuk perdagangan menurut Standar Nasional Indonesia
9
(SNI) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu persyaratan kualitatif dan persyaratan kuantitatif. Persyaratan kualitatif meliputi 1. Produk harus terbebas dari hama dan penyakit. 2. Produk terbebas dari bau busuk maupun zat kimia lainnya (berupa asam). 3. Produk harus terbebas dari bahan dan sisa-sisa pupuk maupun pestisida Sedangkan persyaratan lainnya bisa dilihat pada Tabel5 yaitu tabel persyaratan kuantitatif jagung.
Gambar 3. Jagung Tanaman Pangan (Zeamays indentata) Tabel 5. Persyaratan Kuantitatif Jagung Sesuai Standar Nasional Indonesia No Komponen Persyaratan Mutu (%Maks) Utama I II III IV 1 Kadar Air 14 14 15 17 2 Butir Rusak 2 4 6 8 3 Butir Pecah 1 4 3 5 4 Butir Warna 1 3 7 10 Lain 5 Kotoran 1 1 2 2 Sumber : Deptan, 1995
10
Kondisi Jagung Nasional Sebelum tahun 1980, penggunaan jagung di Indonesia hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung. Demikian juga pada tahun 1980, 94% digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung, hanya 6% untuk industri pakan, dan belum ada untuk industri pangan. Pada tahun 1990 walaupun penggunaan jagung masih didominasi untuk konsumsi langsung, tetapi penggunaan untuk industri pangan sudah di atas untuk industri pakan. Orientasi pengembangan jagung ke depan sebaiknya lebih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan industri pakan dan pangan, mengingat produk kedua industri ini merupakan barang normal (elastis terhadap peningkatan pendapatan), sebaliknya merupakan barang inferior dalam bentuk jagung konsumsi langsung seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat sesuai dengan hasil penelusuran di lapangan, pabrik pakan ternak tidak mau menggunakan produk lokal karena masalah kualitas dan kuantitas dari petani langsung.Sedangkan untuk subsitusi jagung sendiri tidak dimungkinkan.Berbagai upaya untuk menggantikan jagung dengan bahan pakan lain di Indonesia belum berhasil. Kedelai segar, selain mahal juga tidak dapat digunakan langsung sebagai komponen pakan, kecuali dalam bentuk bungkil kedelai yang merupakan hasil sampingan pabrik minyak kedelai dan seluruhnya masih diimpor. Ubikayu, meskipun berlimpah, masih memerlukan pengolahan antara, sebelum digunakan sebagai bahan campuran pakan pabrikan.Gaplek (ubikayu kering) mempunyai kandungan protein rendah, sehingga masih memerlukan tambahan sumber protein agar dapat memenuhi kebutuhan ternak. Sorgum adalah satu-satunya bahan pakan yang mempunyai kandungan gizi hampir sama dengan jagung, namun ketersediaannya di Indonesia sangat terbatas (Tangendjajaet al, 2003). Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri. Kasus yang sedang terjadi adalah pemerintah tidak ingin memberatkan industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent, yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit. Seiring dengan peningkatan jumlah produksi jagung nasional pemerintah pelan-pelan menutup keran impor untuk bahan baku industri karena pemerintah ingin jagung Indonesia lah yang dipakai untuk kebutuhan produksi pabrik pakan ternak dan industri -industri lainnya. Rantai Pasok Baatz (1995) menyatakan bahwa secara konseptual rantai pasok merupakan keseluruhan proses dari bahan mentah mulai diproduksi hingga menjadi produk yang habis masa pakainya.Menurut Simchi-Levi et al (2008) dan Chopra dan Meindl(2001) rantai pasokan adalah setiap tahapan yang melibatkan
11
konsumen dari mulai tahap pemesanan produk dari suplaier, manufaktur, jasa transportasi dan gudang, retailer, hingga pelanggan. Setiap fungsi atau proses yang ada didalam rantai pasok didukung oleh proses pemasaran, operasional, distribusi, keuangan, dan servis untuk pelanggan. Proses –proses tersebut harus dapat disampaikan dalam kuantitas yang tepat dalam waktu yang tepat, serta lokasi yang tepat, juga dapat meminimalisasi biaya.Rantai pasok juga berarti mengurangi inventori serta memperbaiki kinerja produksi (Challener,1999), selain itu juga rantai pasok harus dapat memberikan nilai tambah kepada pelanggan serta kepada para pemangku kepentingan (Jayaram et al, 2000; Handfield dan Nichols, 2002). Golicic et al (2002) menyatakan bahwa rantai pasok harus dapat menjelaskan hubungan yang mendasar diantara para anggota dalam sebuah organisasi dari mulai transaksi simple hingga transaksi yang sangat kompleks. Dalam rantai pasok juga setiap informasi haruslah jelas untuk dapat mengurangi bullwhip effect yang dapat mempengaruhi kerjasama antar anggota, selain itu juga fungsi rantai pasok adalah perencanaan, monitoring, efisiensi stok, efisiensi waktu dan menghilangkan ketidakpastian, serta meningkatkan kemampuan utilisasi organisasi (Skjøtt-Larsen, 2000). Challener (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas dalam sebuah kordinasi maka seluruh sumberdaya dalam rantai pasok harus diintegrasi dengan melibatkan optimisasi rantai pasok, integrasi rantai pasok, kolaborasi organisasi, serta rintangan secara kulturan dan teknologi, sehingga organisasi tersebut dapat responsive terhadap pasar Austin (1992)dan Brown(1994) dalam Marimin dan Maghfiroh (2010) menyatakan bahwa manajemen rantai pasok produk pertanian dapat berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena produk pertanian bersifat mudah rusak, proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan produk pertanian bersifat kamba sehingga sangat sulit ditangani. Bukan itu saja, menurut Marimin dan Maghfiroh (2010), struktur hubungan pemain rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manufaktur, pada komoditas pertanian anggota rantai pasok tidak harus mengikuti rantai pasokan seperti manufaktur, syaratnya anggota rantai pasok pertanian dapat melakukan fungsi-fungsi pemasaran seperti yang dilakukan rantai berikutnya. Hal tersebut bisa dilihat dari gambar 3 (Vorst, 2006)terlihat bahwa anggota-anggota rantai pasok bebas untuk menyalurkan informasi, produk, dan finansial ke anggota rantai pasok lainnya Menurut Vorst (2006) dalam satu waktu, proses paralel, dan berurutan dapat terjadi dalam rantai pasok pertanian sehingga proses bisnis didalam jaringan rantai pasok pertanian akan teridentifikasi lebih dari satu. Sebagai contoh, proses bisnis dari jagung untuk pakan ternak dialirkan dari petani bisa ke berbagai pihak seperti pedagang perantara kemudian diproses untuk dialirkan lagi ke konsumen akhir. Pada proses pengaliran tersebut anggota rantai pasok yang terlibat melakukan proses bisnis sesuai dengan kebutuhan, misalkan pedagang perantara melakukan proses yang berbeda terkait jagung yang dikirimkan untuk industri ternak dan jagung yang akan dikirimkan untuk industri makanan. Salah satu aspek fundamental dalam rantai pasok adalah pengukuran kinerja. Untuk menciptakan kinerja yang efisiem maka diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok, hal ini sesuai dengan pendapat Pujawan (2005) bahwa sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk monitoring
12
dan evaluasi dan mengetahui dimana posisi suatu organisasi terhadap tujuan yang ingin dicapai serta menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan bersaing. Maka dari itu, untuk mengetahui sejauh mana potensi jagung di Jawa Barat saat ini diperlukan sebuah pengukuran kinerja rantai pasok jagung.
Gambar 3. Skema Rantai Pasok Sumber: Van der Vorst (2006)
Kinerja Rantai Pasok Menurut Qhoirunisa (2014) keragaan struktur rantai pasok dapat dianalisis secara kualitatif, termasuk dalam menganalisis kinerja atau performance yang dihasilkan. Analisis kinerja rantai pasok secara kualitatif perlu didukung adanya ukuran kinerja yang kuantitatif agar menghasilkan hasil kinerja yang lebih terukur dan objektif. Sebagai proses yang saling terintegrasi antar anggota yang tergabung di dalamnya, pengukuran kinerja rantai pasok perlu menggunakan pendekatan tertentu.Kinerja rantai pasok didefinisikan oleh Christien et al (2006) sebagai titik temu antara konsumen dan pemangku kepenting dimana syarat keduanya telah terpenuhi dengan relevansi atribut indikator kinerja dari waktu ke waktu. Pentingnya kinerja rantai pasok dapat ditemukan didalam hasil penelitian Vinícius Gustavo Trombinb and Rafael Bordonal Kalakic (2013) di Brazil tentang orange juice menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah konsumen dikarenakan distribusi orange juice yang tidak responsive didalam rantai pasok. Orange juice yang tidak dapat memenuhi keinginan konsumen pada waktu, tempat, dan harga akan kehilangan keuntungan lebih besar dibandingkan orange juice yang memiliki rantai pasok dengan kinerja yang efisien. Keberhasilan rantai pasok dapat dilihat dari tingkat kinerja yang dimilikinya, menurut Pettersson (2008) kinerja rantai pasok dapat diukur melalui
13
perhitungan biaya total rantai pasok terdiri dari penjumlahan harga di tingkat petani, biaya transportasi dan pengemasan, biaya mark-up, serta pemborosan akibat barang usah dan biaya kehilangan dalam transportasi. Penelitian yang dilakukan oleh Beamon (1996) menyatakan bahwa pengukuran kinerja rantai pasok dapat melalui pendekatan biaya, respon konsumen, activity time, dan fleksibilitas. Contoh pengukuran kinerja rantai pasok yang menggunakan pendekatan biaya adalah penelitian Dilana (2013) yang meneliti kakaodengan analisis marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya pada setiap saluran pemasaran dalam struktur rantai pasok biji kakao. Hasil penelitiannya menunjukan marjin pemasaran terendah dan nilai farmer’s share tertinggi yaitu pada saluran ke-4 (petani-pedagang pengumpul tingkat kabupatenpedagang besar) dengan nilai marjin pemasaran sebesar Rp 929/kg dan nilai farmer’s share sebesar 94.37 persen. Sedangkan nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar pada saluran ke-3 (petani-pedagang pengumpul tingkat kecamatanpedagang besar) yaitu sebesar 4.68. Kebanyakan pengukuran kinerja rantai pasok selalu dikaitkan dengan pengukuran efisiensi rantai pasok organisasi tersebut(Chakravarthy, 1986; Venkatraman dan Ramanujan, 1986; Eccles, 1991; Kaplan dan Norton, 1992; Brown dan Leverick, 1994) dan kebanyakan studi rantai pasok pada agro-industri dipengaruhi banyak teori ekonomi yang berfokus pada kebijakan publik, struktur organisasi, serta daya saing industry padahal rantai pasok lebih fokus kepada efisiensi, efektivitas, operasiona, serta kebutuhan konsumen (Pereira dan Csillag, 2004). Sistem pengukuran rantai pasok haruslah sesuai dengan sistem yang sedang berjalan, bisa jadi satu rantai pasok dan rantai pasok lainnya memiliki perbedaan sistem pengukuran (Beamon, 1996). Penentuan kinerja rantai pasok sendiri dapat diambil berdasarkan evaluasi dan perkembangan rantai pasok, perkembangan prosedur dan model dari rantai pasok, isu-isu terkait yang mempengaruhi rantai pasok, dan juga teknik umum yang telah ditentukan(Beamon, 1996) Nilai Tambah Nilai tambah merupakan nilai tangible yang ditambahkan dan jasa intangible yang dipasok (Hines 2004). Nilai tambah berhubungan dengan prinsip rantai pasok karena dengan penambahan nilai pada suatu produk pertanian maka komoditas tersebut akan lebih mudah diterima oleh pasar yang luas(Coltrain, Barton and Boland, 2000). Amanour dan Boadu (2004) konsep nilai tambah didalam bisnis merupakan bagian dari rantai pasok karena aktiftias yang dilakukan didalam penambahan nilai produk sampai saat ini dilakukan juga oleh rantai pasok pada perusahaan downstream.Wood (1978) mengilustrasikan penambahan nilai pada produk pertanian dengan mencontohkan seseorang yang membeli bahan baku mentah kemudian orang tersebut memproduksi suatu barang dan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi Lal (1999) memberikan ilustrasi mengenai perhitungan nilai tambah di level industry, menurutnya ada dua jenis nilai tambah yaitu gross value added dan net value added. Gross value added adalah nilai dari output dikurangi nilai dari konsumsi antara yang dihasilkan barang dan jasa, sementara net value added adalah nilai
14
dari output dikurangi nilai antara dan konsumsi fix capital. Menurut USDA (2002) konsep nilai tambah pada pertanian adalah saat sebuah barang mendapatkan perlakukan baik pada saat proses produksi ataupun penyaluran kepada konsumen sehingga dengan aktiftias tersebut konsumen mengeluarkan uang lebih banyak untuk barang yang dibelinya. Pada penelitian Hayami, Kawagoe, dan Marooka (1985) nilai tambah didalam pemasaran diukur dengan menghitung nilai yang dibuat pada tahap produksi tertentu oleh faktor–faktor produksi, termasuk nilai tangible yang ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan barang modal, serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal intelektual (menggunakan aset pengetahuan) dan hubungan pertukaran (yaitu hubungan kerja sama yang dibangun). Pada penelitian Hayami (1985) yang berjudul Agricultural Marketing and Processing in Upland Java perhitungan nilai tambah digunakan untuk mengetahui kontributsi kegiatan pemasaran kedelai didalam produksi kedelai, hasilnya menunjukan bahwa kegiatan pemasaran mampu menyumbang 50% dari pendapatan buruh serta memiliki intensitas hingga 60% dari total pekerjaan yang terdapat pada produksi kedelai. Menurut Dilana (2013) peningkatan nilai tambah pada produk primer komoditas pertanian menjadi salah satu langkah agar dapat meningkatkan pendapatan petani terutama di wilayah pedasaan. Dalam penciptaan nilai tambah Cowan (2002) mencontohkan bahwa dari tahun 1910 hingga 1990, kondisi farmer’s share di Amerika Serikat terhadap produk domestik bruto (PDB) sistem pangan keseluruhan turun dari 21 persen menjadi lima persen, sementara sumbangan input pertanian dan subsektor distribusi meningkat dari 13 persen menjadi 30 persen. Hal ini menunjukkan adanya peran penciptaan nilai tambah produk pertanian pada strategi pembangunan ekonomi pedesaan di masa depan. Contoh tersebut merupakan kesempatan bagi produsen untuk menciptakan nilai tambah dan mengambil keuntungan dari komoditasnya untuk diproses secara lokal. Dengan begitu diharapkan peningkatan nilai tambah akan memberikan keuntugnan bagi petani, usaha pedesaan, dan masyaratak pedesaan. Selain itu, dengan bukti yang diutarakan Cowan maka penciptaan nilai tambah dipercaya akan mampu meningkatkan peerekonomian karena penciptaan nilai tambah artinya penyerapan tenaga kerja yang baru dan pada ujungnya diharapkan akan meningkatkan perekonomian di tempat tersebut. Menurut Dilana (2013) sebelummemutuskan untuk memasuki pasar baru harus terlebih dahulu menentukan bisnisyang paling menguntungkan. Hal ini sangat penting bagi orang-orang miskin yangmemiliki sumber daya yang terbatas sehingga tidak memilih pasar yang salah.Pendapatan, biaya, dan marjin harus dibandingkan dalam rantai nilai (keduasaluran pemasaran yang berbeda dan rantai produk yang berbeda). Selain itu jugapotensi scaling up dan investasi yang diperlukan harus diselidiki.Setelah memetakan rantai nilai langkah berikutnya adalah untukmempelajari aspek-aspek tertentu dari rantai nilai secara mendalam. Ada berbagaipilihan aspek yang dapat dijabarkan lebih lanjut diantaranya adalah biaya danmarjin. Analisis biaya dan marjin harus dipertimbangkan untuk mengetahuiapakah rantai nilai merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat miskin danapakah rantai nilai dapat diakses bagi masyarakat miskin.