LAPORAN INDIVIDU RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR
Disusun oleh : Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849
LABORATORIUM SATWA LIAR BAGIAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
HALAMAN PENGESAHAN Laporan praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar ini telah diajukan dan dipertanggungjawabkan
kepada
co-ass
sebagai
prasyarat
untuk
dapat
menempuh
Responsi Riset dan Manajemen Satwa Liar. Telah disahkan pada : Hari
: Jumat
Tanggal
: 23 Desember 2016
Yogyakarta, 22 Desember 2016
Mengetahui,
Praktikan
(Auliasafir Yena Chatleya)
Tim Co.Ass
(…………………………..)
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat dan karunia-Nya sehingga Laporan Individu Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mengikuti seminar hasil dan penilaian Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar yang diselenggarakan Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta tahun akademik 2016/2017. Dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dosen pengajar mata kuliah Riset dan Manajemen Satwa Liar yang telah membimbing penulis dalam pelaksanaan Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar dan penyelesaian laporan ini. 2. Co ass yang juga telah membimbing dan membantu dalam pelaksanaan Praktikum Riset dan Manajemen Satwa Liar dan penyelesaian laporan ini. 3. Orang tua yang telah memberikan dukungan secara material dan spiritual sehingga laporan ini dapat diselesaikan. 4. Rekan-rekan
kelompok 8 yang
telah
membantu
dalam
pelaksanaan
Praktikum
Riset dan Manajemen Satwa Liar. 5. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan ini baik dari segi materi maupun penyajian. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat diterapkan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 22 Desember 2016
Praktikan,
Auliasafir Yena Chatleya
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................... KATA PENGANTAR................................................................................................................ DAFTAR ISI....................................................................................................................
PENGARUH KELERENGAN DAN TUTUPAN KAYU REBAH TERHADAP KEBERADAAN FAMILI SCINCIDAE DAN SELEKSI HABITAT DI HUTAN WANAGAMA I ......................................................................................................................... 1.1. ABSTRAK ............................................................................................................... 1.2. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1.3. BAHAN DAN METODE ......................................................................................... 1.4. PEMBAHASAN ....................................................................................................... 1.5. KESIMPULAN ........................................................................................................ 1.6. SARAN ..................................................................................................................... 1.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
PENGARUH KELERENGAN DAN KERAPATAN POHON TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN WANAGAMA…………………………………………............................................................. 2.1. ABSTRAK ............................................................................................................... 2.2. PENDAHULUAN .................................................................................................... 2.3. BAHAN DAN METODE ......................................................................................... 2.4. PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2.5. KESIMPULAN ........................................................................................................ 2.6. SARAN ..................................................................................................................... 2.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
STUDI KELAYAKAN HUTAN WANAGAMA I SEBAGAI TEMPAT RESTORASI RUSA JAWA (Rusa timorensis) DARI ASPEK RUANG..................................................................................................................................... 3.1. ABSTRAK ............................................................................................................... 3.2. PENDAHULUAN ....................................................................................................
3.3. BAHAN DAN METODE ......................................................................................... 3.4. PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3.5. KESIMPULAN ........................................................................................................ 3.6. SARAN ..................................................................................................................... 3.7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
PENGARUH KELERENGAN DAN TUTUPAN KAYU REBAH TERHADAP KEBERADAAN FAMILI SCINCIDAE DAN SELEKSI HABITAT DI HUTAN WANAGAMA I Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Menurut Xiong dan Yong (2007), herpetofauna menjadi bioindikator penting untuk menggambarkan perubahan ekosistem yang terjadi, termasuk Famili Scincidae. Faktor lingkungan fisik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku dan daya tahan herpetofauna. Beberapa faktor fisik tersebut adalah kelerengan dan penutupan kayu rebah. Hutan Wanagama I merupakan salah satu lokasi yang berpotensi menjadi habitat Famili Scincidae. Hutan Wanagama I mempunyai kondisi lingkungan dan vegetasi yang bervariasi. Famili Scincidae sebagai bioindikator peka terhadap lingkungan. Sehingga hal tersebut berdampak pada keberadaan Famili Scincidae. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai seleksi habitat Famili Scincidae di Hutan Wanagama I dan pengaruh dari aspek kelerengan dan penutupan kayu rebah terhadap kehadiran Famili Scincidae. Metode pengambilan data jumlah dan jenis individu dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara VES (Visual Encounter Survey), line transect, dan metode kuadrat. Adanya keberadaan Famili Scincidae disimbolkan dengan 1 dan ketidakadanya disimbolkan dengan 0. Untuk mendeteksi sifat selektif dari Famili Scincidae dilakukan analisis chi square test (X2) dibantu dengan software R statistik. Pengambilan data kelerengan diambil menggunakan klinometer. Penutupan kayu rebah dengan melihat berapa persentase kayu rebah yang menutupi plot protocol. Untuk mengetahui pengaruh keberadaan Famili Scincidae berdasar kelerengan dan penutupan kayu rebah, maka digunakan analisis regresi dengan bantuan software R statistic. Keberadaan Famili Scincidae di Hutan Wanagama I telah ditemukan pada 50 segmen dari total 105 segmen. Kehadiran Famili Scincidae lebih banyak ditemukan pada jenis tegakan Gamal dengan jumlah 12 segmen, Acacia sp. 24 segmen, dan Jati 8 segmen. Hasil analisis chi square diketahui bahwa Famili Scincidae tidak melakukan seleksi habitat di Hutan Wanagama I. Aspek kelerengan berpengaruh terhadap keberadaan Famili Scincidae sedangkan penutupan kayu rebah tidak berpengaruh. Kata kunci: Famili Scincidae, seleksi habitat, kelerengan, penutupan kayu rebah
Hutan Wanagama I merupakan salah
PENDAHULUAN Keberadaan
herpetofauna
memiliki
peranan penting dalam ekosistem. Reptilia mencakup empat ordo besar yaitu Chelnoia atau Testudines, Squamata atau Lepidosauria, Rhynchocephalia, dan Crocodilia. Salah satu famili dari ordo Squamata yaitu Famili Scincidae (Ario, 2010). Menurut Xiong dan
satu lokasi yang berpotensi menjadi habitat Famili
Scincidae.
jenis tipe tegakan. Jumlah spesies vegetasi penyusun hutan Wanagama I mencapai 190 spesies (Anon, 2005 dalam Purnomo, 2010). Hutan
Wanagama
kondisi
perubahan ekosistem yang terjadi.
bervariasi.
Famili
bioindikator
peka
pemburu mangsa yang aktif (Regal, 1978), selain itu Vitt (1991) juga berpendapat bahwa Famili Scincidae mempunyai kemampuan mencari mangsa pada daerah perburuan yang luas (widely forager). Pada beberapa jenis kadal ternyata umur, ukuran tubuh dan jenis kelamin
memengaruhi
pemilihan
Demikian
juga
proporsi
mangsa
lingkungan
Sehingga
hal
dan
I
mempunyai
vegetasi
Scincidae terhadap
tersebut
yang sebagai
lingkungan.
berdampak
pada
keberadaan Famili Scincidae. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai seleksi habitat Famili Scincidae di Hutan Wanagama I dan pengaruh dari aspek kelerengan dan penutupan kayu rebah terhadap kehadiran Famili Scincidae.
mangsa
berupa avertebrata atau vertebrata kecil.
I
16 petak. Setiap petaknya terdiri dari beberapa
bioindikator penting untuk menggambarkan
dalam Famili Scincidae digolongkan sebagai
Wanagama
mempunyai luas kurang lebih 600 ha dengan
Yong (2007), herpetofauna juga menjadi
Semua anggota jenis yang termasuk
Hutan
BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan
terpilih
bervariasi (Avery, 1966; Castilla dkk,. 1991;
Penelitian ini dilakukan pada tanggal
Kurniati & Maryanto, 1996; Vitt & Cooper,
19-20 November 2016. Lokasi penelitian
1986;
ini
berada di Hutan Wanagama I, Kecamatan
Scincidae
Payen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten
Vitt
&
menunjukan
Cooper
bahwa
1988). Famili
Hal
merupakan indikator lingkungan salah satunya
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
berperan penting dalam dinamika populasi 2.2 Alat dan Bahan
serangga. Faktor lingkungan fisik merupakan
Bahan yang digunakan yaitu Famili
faktor yang sangat berpengaruh terhadap
Scincidae di Hutan Wanagama I, kelerengan,
perilaku
dan
Beberapa
dan
daya
faktor
tahan
fisik
herpetofauna.
tersebut
kelerengan dan penutupan kayu rebah.
adalah
penutupan
kayu
rebah.
Alat
yang
digunakan adalah peta Hutan Wanagama I, GPS, kompas, protractor, parang, tally sheet, dan buku identifikasi jenis herpetofauna, dan klinometer.
protocol. Kriteria kayu rebah yang diambil yaitu panjang minimal 1,5 m dengan diameter
2.3 Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data jumlah dan
minimal 8 cm.
jenis individu dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara VES (Visual Encounter
2.4 Analisis Data
Survey), line transect, dan metode kuadrat. Metode
ini
dilakukan
dengan
membuat
sebanyak tiga line dengan jarak line pertama terhadap sungai sebesar 10 meter untuk menghindari efek tepi dan jarak tiap line sebesar 50 meter. Line transect dibuat dengan lebar 20 meter dan panjang 250 meter
Keberadaan diketahui
VES digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis dan
memperkirakan
kelimpahan
relative
Scincidae
masing-masing
lokasi
pengamatan di lokasi. Keberadaan Famili Scincidae dikategorikan dengan ada atau tidak adanya. Adanya keberadaan Famili Scincidae disimbolkan dengan 1 dan ketidakadanya disimbolkan dengan 0.
mengikuti alur Sungai Oyo. Tiap line terbagi menjadi 5 segmen dengan panjang 50 meter.
untuk
Famili
Kondisi
lingkungan
fisik
dideskripsikan berdasarkan angka atau besaran dari masing-masing parameter Kelerengan dan penutupan kayu rebah dinyatakan dalam satuan persen.
spesies (Bismark,2011). Data yang digunakan untuk analisis seleksi variabel digunakan data variabel habitat yang sudah diperoleh dari setiap unit sampel yatu plot pengamatan. Untuk mendeteksi sifat selektif
dari
Famili
Scincidae
dilakukan
analisis chi square test (X2) dibantu dengan software R statistik. Manly, et al (2002) Gambar 1. Metode Pengambilan Data
menyatakan formula X2 sebagai berikut:
Herpetofauna
Metode pengambilan data kelerengan dan tutupan kayu rebah dilakukan pada setiap segmen VES transect. Pengambilan data tersebut dilakukan pada pusat masing-masing segmen. Pengambilan data kelerengan diambil menggunakan klinometer. Penutupan kayu rebah diukur dalam protocol sampling yang berdiameter 22,6 m dengan melihat berapa persentase kayu rebah yang menutupi plot
Dimana : O : frekuensi jumlah plot yang ada
Famili
Scincidae hasil observasi E : Frekuensi yang diharapkan X2 tabel diperoleh dengan taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan (dk) = Jumlah tipe tegakan -1 Dengan mengacu pada hipotesis : Ho : Peluang keberadaan Famili Scincidae
pada semua tipe tegakan yang ada sama
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ha : Peluang keberadaan Famili Scincidae pada semua tipe tegakan tidak sama Jika X2 hitung lebih besar daripada X2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima.
dilakukan
bahwa keberadaan Famili Scincidae telah ditemukan pada 50 segmen dari total 105 segmen. Kehadiran Famili Scincidae ini
Apabila memiliki sifat selektif, maka selanjutnya
Dari hasil pengamatan, dapat diketahui
penaksiran
tingkat
kesukaan tipe tegakan dengan nilai indeks
kebanyakan ditemukan di jenis tegakan gamal dengan jumlah 12 segmen, Acacia sp. 24 segmen, dan jati 8 segmen.
seleksi (Standardized Index) : Tabel 1. Keberadaan Famili Scincidae di Hutan Wanagama I Dimana : W : Rasio Seleksi (Selection index)
Jumlah
Jenis Tegakan
Ada
Tidak
Gamal
12
27
39
Jati
8
2
10
Gamal dan Jati
0
1
1
Mahoni
3
3
6
Dimana :
Kayu putih
3
2
5
B : Nilai standard seleksi
Acacia sp.
24
19
43
W : Rasio seleksi pada tipe tegakan i
Kolonjono
0
1
1
Oi : Proporsi plot di tipe tegakan I yang terdapat Jenis Famili Scincidae Πi: Proporsi area tipe habitat I yang tersedia
segmen
∑W : total rasio seleksi Selanjutnya,
untuk
mengetahui
pengaruh variabel terhadap keberadaan Famili Scincidae dilakukan Analisis Regresi Logistik.
Grafik 1. Gambar persebaran Famili Scincidae di berbagai segmen di Hutan Wanagama I
Dimana kehadiran jenis-jenis Famili Scincidae menempati variabel dependen (Y). Selanjutnya variabel
lingkungan
(suhu,
kelembaban,
kelerengan ,JDSA, ketebalan seresah, tutupan tajuk,tutupan tumbuhan bawah,dan kerapatan
KEBERADAAN SCINCIDAE 30 20 10 0
vegetasi) menempati variabel independen (X). Untuk keberadaan
mengetahui Famili
Scincidae
pengaruh berdasar
Ada
Famili
Scincidae
Tidak
merupakan
reptil
kelerengan dan penutupan kayu rebah, maka
terrestrial,
digunakan analisis regresi dengan bantuan
intensitas aktivitas yang tinggi diatas tanah.
software R statistic.
Aktivitas yang dilakukan Famili Scincidae
yakni
reptile
yang
memiliki
diatas tanah adalah seperti yang terlihat saat
pengamatan, tempat bersembunyi atau tidur,
Batang pohon yang mati maupun cabang -
aktivitas makan, berjemur dan bergerak.
cabang yang mati dapat menjadi tempat
Berdasarkan
berlindung,
pada
hasil
penelitian
yang
tempat
beristirahat
dan
dilakukan pada Hutan Pendidikan Wanagama
menghasilkan makanan bagi herpetofauna.
I, dari 105 segmen yang terdapat pada tiap
Beberapa jenis herpetofauna memanfaatkan
petak
yang
kondisi ini untuk tempat bersarang. Selain itu,
ditemukannya Famili Scincidae. Berdasarkan
berbagai jenis serangga yang tinggal pada
tipe jenis tegakan, Famili Scincidae paling
bagian kayu yang mati merupakan makanan
banyak ditemukan pada tipe jenis tegakan
bagi herpetofauna (Noon,1981).
didapatkan
50
segmen
Akasia dan Jati. Pada hasil analisis data menunjukan bahwa Famili Scincidae tidak melakukan
seleksi
terhadap
habitatnya
berdasarkan tipe jenis tegakan. Hal ini menunjukan bahwa tipe jenis tegakan bukan menjadi komponen family Scincidae dalam memilih habitatnya. Jenis-jenis dari family Scincidae yang ditemukan antara lain adalah Eutropis multifasciata, dan Eutropis rudis.
Hasil yang diperoleh mengenai penutupan kayu rebah tidak sesuai dengan teori yang ada. Saat pertama kali dibangun pada tahun 1964, Hutan Wanagama I hanya seluas 10 ha kemudian meluas menjadi 599,9 ha pada tahun 1983. Hutan Wanagama I merupakan salah satu bentuk hasil reboisasi yang berhasil, dimana dahulunya merupakan kawasan bukit gundul berbatu menjadi hutan yang heterogen. Dapat disimpulkan bahwa Hutan Wanagama I adalah hutan sekunder. Ini berarti keadaan hutan masih belum mencapai keadaan klimaks seperti hutan alam. Tutupan vegetasi hutan sekunder belum sekompleks hutan alam,
Gambar 2. Hasil analisis statistik regresi
sehingga jumlah kayu rebah lebih minimum
pengaruh kelerengan dan penutupan kayu
dibanding dengan hutan alam. Keadaan hutan
rebah
alam yang penuh dengan pencekik sebagai dapat
penyebab kayu rebah, tidak sebanding dengan
berpengaruh
keadaan hutan sekunder yang lebih jarang
terhadap keberadaan Famili Scincidae. Hasil
dijumpai pencekik. Kemudian, Wanagama
yang diperoleh dikatakan signifikan apabila
merupakan kawasan yang berdekatan dengan
nilai Pr(>|t|) kurang dari 0,05 dan didapat hasil
tempat tinggal masyarakat. Apabila ada kayu
sebesar 0.0241. Penutupan kayu rebah tidak
roboh, maka kemungkinan kayu tersebut untuk
berpengaruh
diambil oleh masyarakat lebih besar dibanding
Dari diketahui
hasil bahwa
analisis
tersebut,
kelerengan
terhadap
keberadaan
Famili
Scincidae. Hasil tidak signifikan apabila nilai
dibiarkan
melapuk.
Kegiatan
Pr(>|t|) lebih dari 0,05 dan didapat nilai sebesar
pohon pun juga dilakukan dengan tujuan
0.7462.
pemenuhan
kebutuhan
penebangan
ekonomi
oleh
masyarakat. Selain itu, Hutan Wanagama I
tempat yang lebih lembab sehingga pada
merupakan
kelerengan
hutan
pendidikan
yang
sebmaksimal mungkin agar pepohonan yang ada
dapat
dipertahankan
sebagai
Daerah yang lebih tinggi atau lebih rendah,
Gambar 3. Coplot kelerengan
berpengaruh terhadap
keberadaan Scincidae.
media
pembelajaran.
tersebut
kurang
berpengaruh
terhadap
keberadaan Scincidae. Karena kelerengan akan
Dari hasil analisis diperoleh data bahwa kelerengan ± 00-40 adalah kelerengan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan
memengaruhi
kondisi
fisik
lingkungan.
Kondisi lingkungan yang lebih kering ataupun terlalu dingin kurang disukai oleh Scincidae. Keadaan
Hutan
Wanagama
memiliki
kelerengan yang beragam, namun dari hasil penelitian ini lereng yang datar akan lebih sering dijumpai Famili Scincidae karena letaknya yang berdekatan dengan Sungai Oyo maupun kemudahan dalam beraktivitas seperti berburu, mendapatkan air, ataupun menjelajah karena landainya topografi. KESIMPULAN 1.
Keberadaan Famili Scincidae di Hutan
Scincidae. Primack et al. (1998) dalam Yusuf
Wanagama I telah ditemukan pada 50
(2008)
segmen
mengatakan
bahwa
komposisi
dari
total
segmen.
komunitas dan keanekaragaman jenis reptil
Kehadiran
lebih tinggi pada dataran rendah dibandingkan
banyak ditemukan pada jenis tegakan
dengan dataran tinggi, dan kelimpahan jenis
Gamal dengan jumlah 12 segmen,
reptil
Acacia sp. 24 segmen, dan Jati 8
semakin
bertambahnya
berkurang
ketinggian.
Dimana
dengan
kondisi
lingkungannya
mendukung
bagi
Pada kelerengan yang lebih landai, letak sungai atau sumber air lebih sering ditemukan. Kadal (Eutropis sp.) juga sering dijumpai di bebatuan atau batang pohon pada hari
lebih
2.
Hasil analisis chi square tersebut diketahui bahwa p-value chi square test adalah 0.06333. Diketahui bahwa
habitat reptil.
pagi
Scincidae
segmen.
pada
dataran rendah dengan kelerengan yang landai
Famili
105
serta
dekat
pinggiran
sungai
(Yanuela, 2012). Karena, Scincidae menyukai
data normal apabila lebih dari 0.05 dan dari hasil yang didapat yaitu 0.06333 lebih dari 0.05, sehingga diketahui bahwa
Famili
Scincidae
tidak
melakukan seleksi habitat di Hutan Wanagama I.
3.
Aspek
kelerengan
berpengaruh
terhadap keberadaan Famili Scincidae sedangkan penutupan kayu rebah tidak berpengaruh.
Publishers. Netherlands. Noon, B.R. 1981. The Distribution of An Avian Guild Along A Temperate Elevational Gradient:
SARAN Perlu
Dordrecht, Kluwer Academic
dilakukan
survei
yang
lebih
The Importance and Expression
menyeluruh pada kawasan Wanagama I untuk
Of Competation. Ecological
mendapatkan gambaran Famili Scincidae yang
monographs. 51:105-124.
lebih akurat. Keberadaan Famili Scincidae
Purnomo, D.W. 2010. A Habitat Selection
sebagai bioindikator lingkungan dapat menjadi
Model
for
Javan
Deer
(Rusa
rujukan pengelolaan Hutan Wanagama I
timorensis) in Wanagama I Forest,
terhadap perubahan lingkungan.
Yogyakarta. Journal of Bioscience 2 (2): 84-89.
DAFTAR PUSTAKA
Ario,
A.
2010.
Panduan
Mengenal
Satwa
Nasional
Gunung
Regal, P.J. 1978. Behavior differences Lapangan
between reptiles and mammals: an
Taman
analysis of activity and metal
Gede
capabilities. Dalam: Greenberg, N
Jakarta:
& Maclean, P.D (eds.). Behavior
Pangrango. Perpustakaan Nasional.
and Neurology of Lizards. Pp 183-
Avery, R.A. 1966. Food and feeding habits
202. National Institute of Mental
of
the
the
common
lizard
(Lacerta vivipara) in the west of
Health. Maryland. Xiong W. C. and W. Yong. 2007.
England. Journal Zoology of
Emergent
London 149 : 115-121.
Herpetofauna in Alabama, USA.
Bismark M,. 2003. Daya Dukung Habitat Sebagai Parameter Dominan dalam Pengelolaan Populasi Satwaliar Di Alam. Paket Teknologi. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam .Bogor. Manly BFJ, McDonald LL, Thomas DL,
McDonald TL, Erickson WP.2002. Resource selection by animals: statistical design and analysis for field studies. 2nd ed.
Spatial
Pattern
of
Acta Herpetologica 2(2): 97-115. Yanuela, M. F. 2012. Panduan Lapangan Herpetofauna (Amfibi dan Reptil) Taman NasionalAlas Purwo. Balai Taman
Nasional
Alas
Purwo.
Banyuwangi. Yusuf, L R. 2008. Studi Keanekaragaman Jenis Repti Pada Beberapa Tipe Habitat Di Eks HPH PT RKI Kabupaten Bungo Jambi. Jurusan
Konservasi
Sumberdaya
Vitt, L.J & Cooper, W.E.1988. Feeding
Hutan.Fakutas Kehutanan Institut
responses of skinks ( Eumeces
Petanian Bogor.
laticeps) to velvet ants (Dasymutilla
Vitt, L.J & Cooper, W.E. 1986. Foraging and diet of a diurnal predator (Eumeces
laticeps)
hidden
prey.
feeding Journal
Herpetology 20 (3): 408-415.
occidentalis).
Journal
of
Herpetology 22 (4): 485-488. 36
on
Vitt, L.J. 1991. An introduction to the
of
ecology of Cerrado lizards. Journal of Herpetology 25 (1): 79-90
PENGARUH KELERENGAN DAN KERAPATAN POHON TERHADAP KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN WANAGAMA I Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Salah satu jenis keanekaragaman hayati Indonesia adalah burung. Burung memiliki peranan sebagai indikator keanekaragaman hayati, karena keanekaragaman jenis burung di suatu wilayah dapat mencerminkan tingginya kehidupan liar di daerah tersebut (Sujatnika, dkk, 1995). Hutan Wanagama I menjadi salah satu habitat keanekaragaman jenis burung. Seiring berjalannya waktu, Hutan Wanagama I telah menjadi kawasan hutan dengan berbagai macam kerapatan vegetasi yang dikelola secara silvikultur intensif (Oemi dan Ibrahim, 1980). Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang memengaruhinya (Helvoort 1981). Yuda (1993) menyebutkan bahwa ditemukan 71 jenis burung di Wanagama I. Jumlah jenis burung di Hutan Wanagama I terus berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I berdasar pengaruh kelerengan dan kerapatan pohon terhadap keanekaragaman jenis burung. Data keberadaan burung diambil menggunakan metode point count dan dianalisis dengan formula Shannon-Wiener. Data kelerengan diambil pada titik pusat point count pada arah utara, selatan, barat, dan timur. Data kerapatan pohon dibuat dengan metode nested sampling dengan ukuran 20 m x 20 m. Kemudian dicatat jenis, jumlah, dan keliling pohon. Kemudian untuk mengetahui pengaruh kelerengan dan kerapatan pohon digunakan analisis regresi dengan menggunakan statistik R. Tingkat keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I tergolong tinggi dengan indeks Shannon yang diperoleh sebesar 2,15333. Kelerengan dan kerapatan pohon terhadap keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I tidak berpengaruh.
Kata kunci: keanekaragaman jenis, burung, kelerengan, kerapatan pohon
atau segala sesuatu yang tidak bernyawa
PENDAHULUAN Salah
satu
jenis
keanekaragaman
hayati Indonesia adalah burung. Burung memiliki
peranan
keanekaragaman
sebagai
indikator
hayati,
karena
keanekaragaman jenis burung di suatu wilayah dapat mencerminkan tingginya kehidupan liar di daerah tersebut (Sujatnika, dkk, 1995). Indonesia
memiliki jumlah jenis
(Irwan, 1992). Kelerengan merupakan salah satu variabel abiotik. Kelerengan memengaruhi penyebaran mahkluk hidup (Hofrichter, 2000). Kelerengan berkaitan dengan kelembaban, cahaya, suhu, serta keadaan tanah disuatu daerah. Organisme yang hidup di daerah berbukit berbeda dengan daerah datar.
burung
Faktor biotik adalah faktor yang
tertinggi di dunia selain Brazil, tercatat 1.599
mempengaruhi keberadaan suatu individu,
jenis (Sukmantoro et al. 2007). Seiring dengan
berasal dari segala macam makhluk hidup pada
perkembangan
suatu
teknologi
molekuler
dan
wilayah,
baik
maupun
burung di Indonesia telah bertambah menjadi
Kerapatan vegetasi pohon merupakan salah
1.605 jenis, (20 bangsa dan 94 suku). Jumlah
satu variabel biotik. Barlow, dkk (2007)
ini mencakup sekitar 16% dari total 10.140
menemukan fakta bahwa keanekaragaman
jenis burung di dunia (Birdlife International,
spesies burung sangat berkolerasi dengan
2003).
tingkat
habitat keanekaragaman jenis burung. Seiring
pembukaan
(Chettri,
tumbuhan
penemuan jenis baru di berbagai tempat, jenis
Hutan Wanagama I menjadi salah satu
hewan
manusia,
kanopi.
dkk.,
Hutan
2005).
yang
memiliki kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragman spesies burung yang tinggi.
berjalannya waktu, Hutan Wanagama I telah
Yuda (1993) menyebutkan bahwa
menjadi kawasan hutan dengan berbagai
ditemukan 71 jenis burung di Wanagama I.
macam kerapatan vegetasi yang dikelola secara
Jumlah jenis burung di Hutan Wanagama I
silvikultur intensif (Oemi dan Ibrahim, 1980).
terus berkembang sesuai dengan kondisi
Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang memengaruhinya (Helvoort 1981). Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik mapun
faktor
biotik,
keduanya
saling
lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I berdasar pengaruh kelerengan dan kerapatan pohon terhadap keanekaragaman jenis burung. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan
berkaitan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal Faktor
abiotik
adalah
komponen
lingkungan yang terdiri atas makhluk tak hidup
5-6 November. Lokasi penelitian berada di Hutan Wanagama I, Kecamatan Payen dan
Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul,
20 m. Kemudian dicatat jenis, jumlah, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
keliling pohon. 2.4 Analisis Data
2.2 Alat dan Bahan Untuk Bahan yang digunakan yaitu aneka jenis
burung
di
Hutan
Wanagama
I,
menghitung
indeks
keanekaragaman jenis menggunakan formula Shannon-Wiener.
kelerengan, dan kerapatan pohon. Alat yang digunakan
adalah
tally
sheet,
kamera, alat tulis, buku panduan lapangan identifikasi burung, GPS, kompas, klinometer. 2.3 Metode Pengambilan Data Data
keberadaan
burung
H' = -∑ (pi. Ln pi)
binokuler,
H' = indeks keanekaragaman Shannon Pi = ni/N, perbandingan antara jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah total individu
diambil
Ni = jumlah suatu jenis
menggunakan metode point count, dengan
N =jumlah seluruh jenis yang ada dalam
radius tiap titik pengamatan sebesar 50 m, dan
contoh.
jarak tiap titik pengamatan adalah 200 m. . Tingkat keanekaragaman
Pengamatan burung dilakukan selama 10 menit di setiap titik, dimulai 3 menit setelah pengamat sampai di titik pengamatan. Burung
diklasifikasikan berdasarkan criteria Lee et al., (1978) dalam Arisandi (1999), yaitu:
yang dihitung adalah yang teramati atau
Sangat Tinggi H > 3,0
terdengar suaranya pada radius 50 m. Burung
Tinggi jika H > 2,0
yang berada di luar point tidak dihitung.
Sedang jika 1,6 < H < 2,0 Rendah jika 1,0 < H < 1,5 Sangat rendah jika H < 1,0. Untuk menghitung kerapatan pohon digunakan rumus:
Gambar 1. Contoh bentuk plot point count Data kelerengan diambil pada titik Kemudian untuk mengetahui pengaruh
pusat point count pada arah utara, selatan, barat, dan timur.
kelerengan dan kerapatan pohon digunakan analisis regresi dengan menggunakan statistik
Data kerapatan pohon dibuat dengan metode nested sampling dengan ukuran 20 m x
R.
Yaitu petak 5, 6, 7, 13, 14, 16 dan 18. Dari
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Jenis dan Jumlah Burung di Hutan
18 jenis burung dari 14 suku. Jenis burung
Wanagama I Jenis Burung
hasil pengamatan yang dilakukan ditemukan
Jumlah ditemukan
yang paling banyak dijumpai adalah Walet, Cucak Kutilang dan Prenjak Jawa. Suku yang sering dijumpai adalah Columbidae, Sylviidae
Cucak Kutilang
26
Prenjak Jawa
27
Burung Madu Sriganti
21
dan
Alcedinidae.
Jumlah
burung
yang
ditemukan di Hutan Wanagama 1 sebanyak 231 ekor. Dari
Cipoh Kacat
20
Shannon
Cekakak Sungai
6
diperoleh
Layang-layang batu
6
Elang Ularbido
9
Walet
82
Cekakak Jawa
2
Cinenen
16
Sepah Kecil
4
Kacamata
4
Uncal
2
rumus
indeks
keanekaragaman
(Shannon-Wiener). menunjukan
keanekaragaman Wanagama
jenis
Hasil nilai
burung
yang indeks
di
Hutan
1 sebesar 2,1533. Nilai
ini
menunjukan bahwa keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama 1 tergolong tinggi. Hutan Wanagama I merupakan hutan tanaman, yang dibiarkan berkembang secara alami.
Adanya
perkembangan
tersebut
mengakibatkan perubahan vegetasi di dalam jenis, kelebatan, kerapatan serta susunan komposisi
dapat
berpengaruh
terhadap
populasi satwa burung (Djuwantoko dan Hardiwinoto, 1983). Hutan Wanagama I
Gemak Loreng
1
Wiwik Kelabu
1
memiliki beberapa petak dimana dalam setiap petak mempunyai jenis vegetasi yang berbeda. Menurut Tortosa (2000) habitat dengan variasi
Cabai Jawa
1
vegetasi
Tekukur
2
keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi
Merpati
1
lebih
beragam
akan
memiliki
dibandingkan dengan habitat yang memiliki
TOTAL
231
sedikit jenis vegetasi. Hal ini menunjukan bahwa keragaman struktur habitat di Hutan Wanagama yang memiliki berbagai macam vegetasi dapat menyebabkan keanekaragaman
Pengamatan keanekaragaman jenis burung di Hutan Wanagama I dilakukan pada 7 petak.
jenis burung yang tinggi.
apabila
terdapat
pepohonan
yang
kriteria
kebutuhan burung maka
sesuai mereka
beraktivitas pada pohon-pohon tersebut tanpa melihat kelerengan. Barlow, dkk (2007) menyebutkan bahwa hutan yang memiliki kanopi yang rapat memiliki Gambar 2. Hasil analisis statistic R pada variabel kelerengan dan kerapatan pohon Dari
hasil
analisis
tersebut,
dapat
diketahui bahwa kelerengan dan kerapatan pohon
tidak
berpengaruh
diperoleh dikatakan signifikan apabila nilai Pr(>|t|) kurang dari 0,05 dan hasilnya tidak signifikan apabila nilai Pr(>|t|) lebih dari 0,05. Kusmardiastuti,
1999,
menyebutkan
bahwa efek penting lereng memengaruhi pengaliran air di atas permukaan tanah. Lereng mengakibatkan
intensitas
sinar
matahari
menjadi berkurang karena arah sudut jatuhnya sinar matahari. Pada daerah kelerengan yang besar akan berbeda dengan kelerengan yang kecil.
Kelerengan
berkaitan
dengan
kelembaban, cahaya, suhu, serta keadaan tanah
keanekaragman
spesies
burung yang tinggi. Dari analisis statistik yang diperoleh, hal ini berkebalikan dengan teori karena kerapatan pohon tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung.
terhadap
keanekaragaman jenis burung. Hasil yang
tingkat
Hutan
Pendidikan
Wanagama
I
merupakan salah satu bentuk hasil reboisasi yang berhasil, dimana dahulunya merupakan kawasan bukit gundul berbatu menjadi hutan yang heterogen (Soesono dan Setyo dalam Suratini, 2004). Kerapatan pohon berpengaruh terhadap kerapatan tajuk.. Keadaan Hutan Wanagama I yang termasuk dalam hutan sekunder membuat jenis-jenis burung yang datang tidak memerlukan kerapatan tajuk yang spesifik. Sehingga jenis-jenis yang datang di Hutan Wanagama I adalah jenis-jenis yang tidak melihat kerapatan pohon untuk menjadi habitatnya.
disuatu daerah. Organisme yang hidup di daerah berbukit berbeda dengan daerah datar.
KESIMPULAN
Kelerengan juga mempengaruhi penyebaran
Tingkat keanekaragaman jenis burung
mahkluk hidup (Hofrichter, 2000). Variabel kelerengan tidak berpengaruh
di Hutan Wanagama I tergolong tinggi dengan indeks
Shannon
yang
diperoleh
sebesar
signifikan terhadap keanekaragaman jenis
2,15333. Kelerengan dan kerapatan pohon
burung. Hal ini dikarenakan burung bersifat
terhadap keanekaragaman jenis burung di
mobile dan burung adalah hewan terbang yang
Hutan Wanagama I tidak berpengaruh.
tidak melihat kelerengan untuk dipilih sebagai tempat habitatnya. Karena sebagian besar burung bersarang pada tajuk pohon, sehingga
Helvoort, B.V. 1981. Bird Populations in The
SARAN Sebaiknya pengelola rutin melakukan monitoring terhadap keadaan yang ada di dalam
Hutan
Pendidikan
Wanagama
I
sehingga apabila ada perubahan habitat akan lebih mudah untuk mengontrolnya. Kemudian perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait faktor yang mempengaruhi keanekaragam jenis burung
di
Hutan
Wanagama
I
dengan
menggunakan variabel yang lebih banyak lagi, sehingga akan dihasilkan data yang lebih
Rural Ecosistems of West Java. Nature Conservation
Depertment.
Netrherlands. Hofrichter, Robert (2000). Amphibians: The World of Frogs, Toads, Salamanders, and Newts. Firefly Books: Buffalo. Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekolgi dan Organisasi Ekosistem
komunitas dan
Lingkungan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Oemi, H. S. dan Ibrahim E. 1980 Silvikultur.
spesifik dan beragam.
Penerbitan. Fakultas Kehutanan UGM. DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta. Sujatnika, dkk. 1995. Melestarikan
Barlow, dkk. 2007. The Value of Primary, Secondary, and Plantation Forests for
Keanekaragaman Hayati Indonesia
Amazonian
pendekatan daerah burung Endemik,
Birds.
Biological
PHPA
Conservation 136: 212-231. BirdLife International. (2003). Saving Asia’s Threatened
Birds:
Government
and
A
Guide
Civil
for
Society.
BirdLife International. Cambridge. Chettri N., Deb D.C., Sharma E., Jackson R.
Sukmantoro, W. et al. (2007). Daftar Burung Indonesia
2.
Indonesian
Yuda, P. 1993. Burung-Burung Yang Hidup di
Communities and Habitat: A Study
Yogyakarta.
and Development 25:235-243.
No.
Ornithologists Union. Bogor.
Wanagama
Sikkim, Himalaya. Mountain Research
International
Indonesia-Progamme, Jakarta.
2005. The Relationship between Bird
Along a Trekking Corridor in the
Birldlife
I
Yogyakarta.
Kutilang.
STUDI KELAYAKAN HUTAN WANAGAMA I SEBAGAI TEMPAT RESTORASI RUSA JAWA (Rusa timorensis) DARI ASPEK RUANG Auliasafir Yena Chatleya 14/367881/KT/07849 Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Pada tahun 2008, IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) menetapkan Rusa Jawa (Rusa timorensis) dalam kategori vulnerable (rentan) (Hedges et all., 2008). Salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi Rusa Jawa (Rusa timorensisi) adalah dengan melakukan restorasi pada kawasan Hutan Wanagama I, Gunung Kidul, Yogyakarta. Keberhasilan restorasi dapat ditinjau dari aspek populasi, habitat, dan sosial masyarakat. Ruang adalah salah satu aspek habitat. Populasi Rusa Jawa pada habitat alaminya (in situ) terus menurun akibat degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges dkk, 2008 dalam Rozza dkk, 2011). Selain itu Hutan Wanagama I juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan, khususnya sebagai lahan pertanian. Sehingga hal ini akan mengurangi ruang jelajah Rusa Jawa. Ruang rusa yang semakin berkurang dapat memengaruhi populasinya. Mengetahui ruang yang disediakan oleh Hutan Wanagama I yaitu harus diketahui terlebih dahulu jumlah populasi Rusa Jawa. Metode untuk mencari populasi Rusa Jawa digunakan metode pellet count dan dianalisis dengan rumus P = (Ap)/(tda). Ketersediaan ruang dianalisis dengan Ruang = (Luas area)/(jumlah individu). Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh data kebutuhan ruang bagi Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Wanagama I adalah 24 ha/individu sedangkan Hutan Wanagma I mampu menyediakan 150 ha/individu, sehingga Hutan Wanagama I dikatakan layak sebagai tempat restorasi dari aspek habitat berupa ruang.
Kata kunci: Rusa timorensis, restorasi, habitat, ruang
pengelola sebagai rujukan restorasi Rusa Jawa
PENDAHULUAN Pada tahun 2008, IUCN (International
di Hutan Wanagama I.
Union for Conservation of Nature and Natural BAHAN DAN METODE
Resources) menetapkan Rusa Jawa (Rusa timorensis) dalam kategori vulnerable (rentan) (Hedges et all., 2008). Salah satu upaya untuk menyelamatkan populasi Rusa Jawa (Rusa timorensisi)
adalah
dengan
melakukan
restorasi. Hutan Wanagama I merupakan salah satu kawasan restorasi rusa yang berada di Gunung Kidul, Yogyakarta. Kegiatan restorasi
2.1 Waktu dan Lokasi Pengamatan Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5-6 November. Lokasi penelitian berada di Hutan Wanagama I, Kecamatan Payen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2.2 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan yaitu Rusa
dimulai sejak tahun 2000.
Jawa (Rusa timorensisi), onggokan Rusa Jawa, Keberhasilan restorasi dapat ditinjau
dan luas kawasan Wanagama I. Alat yang
dari aspek populasi, habitat, dan sosial
digunakan yaitu GPS, peta Wanagama I,
masyarakat. Ruang adalah salah satu aspek
plastic, dan raffia.
habitat. Individu-individu satwa membutuhkan
2.3 Metode Pengambilan Data
variasi ruang untuk mendapatkan cukup pakan,
Mengetahui ruang yang disediakan
pelindung, air, dan tempat untuk berkembang
oleh Hutan Wanagama I yaitu harus diketahui
biak.
terlebih dahulu jumlah populasi Rusa Jawa.
Besarnya
ruang
yang
dibutuhkan
tergantung ukuran populasi (Shaw,1985).
Metode untuk mencari populasi Rusa Jawa digunakan metode pellet count. Metode ini
Populasi Rusa Jawa pada habitat
dilakukan
dengan
cara
membuat
petak
alaminya (in situ) terus menurun akibat
pengamatan berukuran 20 m x 100 m di area
degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges
yang diperkirakan terdapat kotoran Rusa Jawa
dkk, 2008 dalam Rozza dkk, 2011). Selain itu
atau individu rusa. Pada pengamatan pertama,
Hutan Wanagama I juga dimanfaatkan oleh
onggokan kotoran yang terdapat pada plot
masyarakat
khususnya
dibersihkan agar data yang diambil tidak bias.
sebagai lahan pertanian. Sehingga hal ini akan
Dari onggokan kotoran Rusa Jawa yang
mengurangi ruang jelajah Rusa Jawa. Ruang
ditemukan, dihitung jumlah kotorannya.
rusa
yang
sekitar
kawasan,
semakin
berkurang
dapat
memengaruhi populasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan Hutan Wanagama I
2.4 Analisis Data Analisis kotoran Rusa Jawa untuk estimasi populasi:
sebagai tempat restorasi Rusa Jawa ditinjau dari aspek ketersediaan ruang. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada
Keterangan :
P = Estimasi populasi
Tabel 1. Jumlah onggokan dan pellet
A = Luas areal pengamatan
count Rusa Jawa di beberapa petak
p = Jumlah timbunan kotoran yang ditemukan
Hutan Wanagama I
a = luas seluruh pellet count
Petak
Onggokan
Pellet count
5
1
5
6
6
5
7
0
4
13
0
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
0
4
Penelitian
16
0
3
18
0
4
d = rerata defaksi (defection rates) t = waktu Analisis ruang yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan ruang di Hutan Wanagama I:
yang
telah
dilakukan
didapatkan onggokan pada petak 5 dan 6. Petak 6 memiliki kondisi lingkungan yang komplek dengan kerapatan vegetasinya tinggi dan kondisi kontur yang sedikit terjal sehingga aktivitas manusia sangat sedikit dilakukan
Estimasi populasi Rusa Jawa:
pada petak tersebut. Hal ini dapat dijadikan salah satu penilaian kelayakan petak 6 sebagai habitat Rusa Jawa karena semakin sedikit jumlah interaksi manusia, maka rusa semakin mampu bertahan hidup dialamnya. Lokasi pada petak 5 dan petak 6 dekat dengan sumber air, yaitu Sungai Oyo yang menjadi sumber minum bagi rusa. Sedangkan pada petak 7, 13, 14, 16, dan 18 tidak ditemukan onggokan. Beberapa hal yang menyebabkan hal itu adalah kawasan yang dekat dengan manusia membuat rusa menghindari daerah tersebut karena rusa sangat sensitif terhadap ancaman. Persebaran dan daya jelajah Rusa Jawa yang meluas dan bebas memungkinkan rusa untuk keluar dari kawasan Wanagama, penempatan pellet count yang kurang tepat dan kurang teliti dalam menemukan onggokan.
Jumlah awal Rusa Jawa di Wanagama I saat penangkaran I adalah 10 ekor (Satiawan, 2004). Rusa Jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I mengalami penurunan populasi tiap tahunnya (Ardi, 2013). Penelitian kali ini ditemukan 4 ekor Rusa Jawa dan semakin berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Individu
-
membutuhkan
individu
satwa
ruang
untuk
variasi
KESIMPULAN Berdasarkan
hasil
perhitungan,
mendapatkan cukup pakan, pelindung, air, dan
diperoleh data kebutuhan ruang bagi Rusa
tempat
Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Wanagama I
untuk
berkembang
biak.
Ukuran
populasi tergantung besarnya satwa, jenis
adalah
24
pakan, produktivitas, dan keragaman habitat.
Wanagma
Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung
ha/individu, sehingga Hutan Wanagama I
ukuran populasi (Shaw,1985). Ketersediaan
dikatakan layak sebagai tempat restorasi dari
ruang adalah aspek yang memengaruhi daya
aspek habitat berupa ruang.
I
ha/individu
sedangkan
Hutan
mampu
menyediakan
150
jelajah Rusa Jawa yang ada di suatu kawasan. Alikodra (1990) menyatakan bahwa
SARAN
kebutuhan home range untuk Rusa Jawa
Dalam pengenolaan restorasi Rusa Jawa,
adalah 1 Ha. Ruang yang dibutuhkan Rusa
sebaiknya
Jawa berarti = 6 ha x 4 ekor = 24 ha/individu.
populasi dan habitat Rusa Jawa di Hutan
Sedangkan
Wanagama I secara berkala.
Hutan
Wanagama
I
mampu
menyediakan 150 ha/individu. Ini berarti
dilakukan
monitoring
terhadap
DAFTAR PUSTAKA
bahwa Hutan Wanagama I, mampu mencukupi kebutuhan ruang rusa untuk daya jelajahnya,
Ardi, Bahtera. 2013. Studi Kelayakan Hutan
bahkan lebih dari kebutuhan. Sehingga dalam
Pendidikan Wanagama I Sebagai
upaya restorasi dilihat dari aspek ruang,
Tempat Restorasi Rusa Jawa (Cervus
Wanagama I dikatakan layak.
timorensis).
Dalam kawasan Hutan Wanagama I,
Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J.,
juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
Semiadi, G. & Priyono, A. 2008. Rusa
untuk
timorensis.
lahan
pertanian.
Sebagian
besar
Daftar
Merah
Spesies
keberadaan lahan pertanian dekat dengan
Terancam IUCN 2008, diakses pada 25
perkampungan dan mampu dijangkau oleh
Oktober 2016.
masyarakat. Menurut Mukhtar (1996), Rusa Jawa sulit didekati karena sangat sensitif terhadap ancaman bahaya. Sehingga aktivitas yang dilakukan rusa akan menghindari area yang berhubungan dengan manusia. Dalam kawasan
Hutan
Wanagama
I
walaupun
terdapat pemanfaatan lahan pertanian, kondisi
Hedges, S., Duckworth, J.W., Timmins, R.J., Semiadi, G. & Priyono, A. 2008. Rusa timorensis.
Daftar
Merah
Spesies
Terancam IUCN 2008. IUCN 2008. Diakses pada 25 Oktober 2016. Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon The
tersebut tidak mengurangi ruang Rusa Jawa
Land of The Last Rhinoceros.
dalam beraktivitas.
Leiden E, J. Brill.
Mukhtar, A.S. (1996). Studi dinamika populasi
Pascasarjana).
rusa (Cervus timorensis de Blainville)
Bogor. Bogor.
dalam menunjang manajemen Taman Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa Tenggara Barat (Disertasi Sekolah
Shaw, J. 1985.
Institut
Introduction
Management
Pertanian
to
Wildlife
.McGraw-Hill
Book Company. New York.
