LANDASAN TEORI
Landasan teori ini berdasarkan rujukan Jaharuddin (2004) dan Groesen et al. (1992), berisi penurunan persamaan dasar fluida ideal, syarat batas fluida dua lapisan dan sistem Hamiltonian. Penentuan karakteristik gelombang interfacial menggunakan pendekatan linear, sehingga perlu dilakukan linearisasi. Dalam proses linearisasai pada tulisan ini, menggunakan uraian Taylor. Penjelasan mengenai uraian Taylor berdasarkan rujukan Stewart (2003) dan disampaikan pada bagian akhir bab ini. Persamaan Dasar Fluida Penurunan persamaan dasar fluida menggunakan hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum. Misalkan ρ menyatakan rapat masa fluida, x dan y masing-masing menyatakan komponen horizontal dan komponen vertikal, dan t menyatakan waktu. Kemudian u dan w menotasikan kecepatan partikel dalam arah horizontal dan vertikal. Untuk menurunkan persamaan dasar fluida, diberikan sketsa laju perubahan massa pada fluida satu lapisan seperti di bawah ini,
ρw
y + ∆y
y + ∆y
ρw y
ρu x + ∆ x ∆ y − ρw y + ∆ y ∆ x atau
∆x∆y
∂ρ = ∆ y ( ρu x − ρu x + ∆ x ) + ∂t . ∆ x ( ρw y − ρ w y + ∆ y ) (2.1)
Pembagian kedua ruas persamaan (2.1) dengan ∆x∆y menghasilkan
ρw y − ρw y + ∆y ∂ρ ρu x − ρu x +∆x = + . ∂t ∆x ∆y Untuk ∆x → 0 dan ∆y → 0 , maka diperoleh ∂ρ ∂ ( ρu ) ∂ ( ρw) =− − . ∂t ∂x ∂y dinotasikan
q = (u , w) ,
Dt x + ∆x
Gambar 1. Laju perubahan massa
Dari Gambar 1, ρu x ∆y dan ρw y ∆x masing-masing menyatakan massa yang masuk dari arah horizontal dan vertikal.
ρu
x + ∆x ∆y
dan
∂ ∂ ∇ = , ∂x ∂y
dan ρ
serta notasi turunan total
Dρ ∆x
x
(2.2)
terhadap t , yakni
y
Besaran
∂ρ = ρu x ∆ y + ρ w y ∆ x − ∂t
Jika
ρu x + ∆x
ρu x
∆y
∆x∆y
ρw
y + ∆y ∆ x
masing-masing menyatakan massa yang keluar dari arah horizontal dan vertikal. Sehingga hukum kekekalan massa yang menyatakan bahwa laju perubahan massa merupakan selisih massa yang masuk dengan massa yang keluar, dapat dituliskan
=
∂ρ ∂t
+u
∂ρ ∂x
+w
∂ρ ∂y
maka persamaan (2.2) menjadi
Dρ = − ρ (∇ • q ) , Dt
(2.3)
dengan (∇ • q ) = ∂ , ∂ .(u, w) = ∂u + ∂w . ∂x ∂y ∂x ∂y
Dengan menggunakan asumsi fluida tak termampatkan, yaitu fluida yang mengalir tanpa mengalami perubahan volume atau massa jenis, maka diperoleh
Dρ =0 Dt Sehingga dari persamaan (2.3) diperoleh
(2.4)
3
∇ • q = 0.
(2.5)
Persamaan (2.4) dan (2.5) dapat dituliskan ρ + uρ + wρ = 0 t x y
(2.6)
ux + wy = 0 .
Hukum kekekalan momentum menyatakan bahwa laju perubahan momentum adalah selisih momentum yang masuk dengan momentum yang keluar ditambah gaya-gaya yang bekerja pada elemen luasnya. Jika diamati dari komponen x , maka sketsanya sebagai berikut
ρ
Du ∂P =− . Dt ∂x
(2.9)
Laju perubahan momentum dalam elemen luas pada komponen- y ditunjukkan oleh Gambar 3. ρww y + ∆y
y + ∆y ρuw x + ∆x
ρuw x
∆y
ww y
y
∆x
ρwu
x + ∆x
x
y + ∆y
Gambar 3. Perubahan momentum pada arah y
y + ∆y
ρuu
∆y
ρuu
x
ρwu
x + ∆x
y
y
∆x
x
x + ∆x
∆ x ( P y − P y + ∆ y ) + ρ g ∆ x∆ y merupakan gaya yang bekerja pada komponeny , dengan g menyatakan percepatan gravitasi, maka laju perubahan momentum dituliskan sebagai berikut
Jika
Gambar 2.Perubahan momentum pada arah x
∆x∆y
∆x( ρww y − ρww y +∆y ) +
Dari Gambar 2, laju perubahan momentum dalam elemen luas pada komponen- x adalah
∆x∆y
∂ρu = ∆y ( ρuu x − ρuu x +∆x ) + ∂t ∆x( ρwu y − ρwu y +∆y ) + ∆y ( P x − P x +∆x ) (2.7)
∆y ( P x − P x + ∆x ) menyatakan jumlah gaya yang bekerja pada komponenx , dan P tekanan.
∂ρw = ∆y ( ρuw x − ρuw x + ∆x ) + ∂t
∆x( P y − P y + ∆y ) + ρg∆x∆y (2.10) Jika kedua ruas persamaan (2.10) dibagi dengan ∆x∆y dan ∆x → 0 , ∆y → 0 , maka diperoleh
∂ ( ρw) ∂ ( ρuw) ∂ ( ρww ) ∂P =− − − + ρg . ∂t ∂x ∂y ∂y (2.11)
dengan
Jika kedua ruas persamaan (2.7) dibagi dengan ∆x∆y , maka untuk ∆x → 0 dan ∆y → 0 diperoleh
∂ ( ρu ) ∂ ( ρuu ) ∂ ( ρwu ) ∂P =− − − ∂t ∂x ∂y ∂x
(2.8)
Dengan menggunakan asumsi fluida tak termampatkan, persamaan (2.8) dapat dituliskan
Dengan asumsi fluida tak termampatkan, persamaan (2.11) dapat dituliskan
ρ
∂P Dw =− + ρg ∂y Dt
(2.12)
Persamaan (2.9) dan (2.12) dapat dituliskan ρ (ut + uu x + wu y ) + Px = 0 ρ ( wt + uwx + ww y ) + Py + ρg = 0
(2.13)
4
Dari persamaaan (2.6) dan (2.13) diperoleh sistem persamaan pada fluida ideal sebagai berikut: ρt + uρ x + wρ y = 0 ux + wy = 0
ρ (ut + uux + wu y ) + Px = 0
(2.14)
ρ ( wt + uwx + ww y ) + Py + ρg = 0
Berdasarkan asumsi irrotational, maka terdapat fungsi ϕ yang merupakan potensial kecepatan yang memenuhi q = ∇ϕ didapat
sehingga dari persamaan (2.5)
atau dengan vektor satuan ∇ϕ • N = 0 . Syarat batas dinamik diperoleh dari persamaan dasar fluida (2.13) dihasilkan (lihat lampiran A) 1 2 ∇ϕ + gη 0 = 0 2 pada permukaan y = η 0 ( x, t ) . ϕt +
(2.17)
Fluida Dua Lapisan
y=h 1
y = h + η1 ( x , t ) 1
ρ1
ϕ xx + ϕ yy = 0 .
y=0 Syarat Batas
y = η 2 ( x, t )
ρ2
Terdapat dua syarat batas, yaitu syarat batas kinematik dan syarat batas dinamik. Syarat batas kinematik muncul karena gerak dari partikel fluida itu sendiri. Sedangkan syarat batas dinamik digunakan untuk permukaannnya. udara
y = −h 2
Gambar 5. Domain fluida dua lapisan
Dari Gambar 5, domain fluida memenuhi − h2 < y < h1 + η1 ( x, t ) . Domain fluida tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu
y = η 0 ( x, t ) air
S 2 (t1,η 2 ) = {( x, y ) : − h2 < y < η 2 ( x , t )} .
y = −h
Gambar 4. Domian fluida satu lapisan
Pada
Gambar 4, misalkan kurva merupakan batas atas y = η0 (x,t) permukaan sehingga S ( x, y, t ) = η0 ( x, y) − y = 0 adalah persamaan permukaan, maka syarat batas kinematiknya adalah (lihat lampiran A) η 0t + ϕ xη 0 x − ϕ y = 0 di y = η 0 ( x, t ) . (2.15)
Syarat batas kinematik pada dasar fluida yang rata, misal y = − h adalah (lihat lampiran A) ϕy = 0 .
( x, y ) : η2 ( x, t ) < y < h1 + S1 (t1 , η 2 , η1 ) = η1 ( x, t )
(2.16)
Analog dengan asumsi fluida irrotational pada fluida satu lapisan, pada fluida dua lapisan diperoleh persamaan berikut ϕ1xx + ϕ1 yy = 0 pada S1 (t1 ,η 2 ,η1 )
(2.18a)
ϕ 2 xx + ϕ 2 yy = 0 pada S 2 (t1,η 2 ) .
(2.18b)
Syarat batas kinematik pada dasar fluida yang rata adalah
ϕ 2 y = 0 , pada
y = −h2 .
(2.19)
Sedangkan syarat batas kinematik pada y = η 2 ( x, t ) diperoleh dari analogi syarat batas permukaan fluida satu lapisan (2.15), dihasilkan (lihat lampiran A) η = ∇ϕ .N (1 + η 2 )1/2 2t 2 2x dan (2.20) 2 1 / 2 η 2t = ∇ϕ1.N (1 + η 2 x ) .
5
syarat batas dinamik di y = η 2 ( x, t ) diperoleh dari kekontinuan tekanan pada batas kedua lapisan fluida, diperoleh
dengan γ bilangan real dan Γ merupakan operator simetri miring, sehingga turunan variasi dapat dituliskan δ v H .
2 1 ρ 2 ϕ 2t + ∇ϕ 2 + gη 2 2 2 1 = ρ1 ϕ1t + ∇ϕ1 + gη 2 2
Turunan variasi δ v H dapat ditentukan dengan cara berikut ini. Diberikan fungsional ∞ H (v + γs ) = ∫ h( x, v + γs, v x + γs x ,...)dx −∞
(2.21)
Pada kasus batas atas berupa permukaan rata diperoleh ϕ1 y = ∇ϕ1.N = 0 di y = h1 (2.22) dengan N 1 = (0,1) T vektor normal satuan di y = h1 . Turunan Variasi Syarat berlakunya sistem Hamilton dijelaskan menggunakan konsep turunan variasi dan operator simetri miring. Sehingga diperlukan pengertian keduanya. Ruang linear merupakan sistem matematika yang melibatkan operasi penjumlahan dan perkalian dengan skalar, dalam konteks yang beraneka ragam dalam matematika. Jika M ruang linear, maka operator Γ : M → M disebut operator simetri miring jika v, sΓ = − Γv, s , ∀v, s ∈ M ,
dengan
.,. notasi untuk perkalian dalam.
Dalam tulisan ini, perkalian dalam yang digunakan berbentuk
v, s
(2.25) Misalkan r = v + γs , maka dapat dituliskan ∞ ∂h ∂r ∂h ∂rx ∂H + ...)dx + = ∫ ( ∂γ −∞ ∂r ∂γ ∂rx ∂γ ∞ ∂h ∂h = ∫ ( s+ s + ...)dx ∂ ∂ rx x r −∞ ∞ ∂h d ∂h = ∫ ( − + ...)sdx −∞ ∂r dx ∂rx Setelah dilakukan integrasi parsial berulangulang dan untuk γ = 0 diperoleh δvH =
∂h d ∂h d 2 ∂h + ... . + − ∂v dx ∂v x dx 2 ∂v xx
(2.26)
Sistem Hamilton Suatu persamaan diferensial parsial dikatakan sistem Hamilton jika terdapat H dan operator simetri miring Γ sehingga dapat dituliskan dalam bentuk ∂ t v = Γδ v H
(2.27)
Jika R himpunan bilangan real, maka dapat didefinisikan pemetaan H : M → R sebagai berikut
Hamiltonian H merupakan besaran yang tetap, artinya bahwa jika v(x,t) merupakan penyelesaian dari persamaan (2.27), maka nilai H (v( x, t )) tidak berubah terhadap waktu. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut. Jika r = v + γ∂ t v , maka
∞ H (v) = ∫ h( x, v, v x , v xx ,...)dx −∞
dH (r ) ∂r d H (v ( x, t )) = dr ∂t γ =0 dt
∞ v, s = ∫ vsdx −∞
∀v, s ∈ M .
∀v ∈ M
(2.23) dimana h merupakan fungsi sembarang dari v beserta turunannya. Fungsional H terhadap v didefinisikan sebagai berikut ∞ d H (v + γs) γ =0 = ∫ Γsdx, dγ −∞
∀s ∈ M ,
(2.24)
=
dH (r ) ∂r dr ∂γ γ =0
dH (r ) dγ γ =0 d . = H (v( x, t ) + γ∂ t v ) dγ γ =0 =
(2.28)
6
Sistem persamaan (2.34) merupakan suatu sistem Hamilton, karena Γ merupakan operator simetri miring.
dari persamaan (2.24) diperoleh dH = δ v H , Γδ v H . dt
(2.29) Karena Γ operator simetri miring, maka δ v H , Γδ v H = 0
Misalkan f(x) fungsi sebarang yang dapat dinyatakan sebagai suatu deret pangkat sebagai berikut:
sehingga diperoleh dH =0. dt
(2.30)
Selanjutnya akan dibahas sistem persamaan yang merupakan sistem Hamiltonian. Didefinisikan fungsi H adalah H (v1 , v 2 ) = ∫ h ( x, v1 , v 2 , v1x v 2 x v1xx ,...)dx, (2.31) dengan h fungsi sembarang dari v1 dan v 2 beserta turunannya. Turunan variasi dari H terhadap v1 atau dituliskan δ v1 H , memenuhi d H (v1 + γs1 , v 2 ) = δ v H , s1 γ =0 dγ 1
∀s1 ∈ M
(2.32)
dan turunan variasi dari H terhadap v 2 , dituliskan δ v2 H , memenuhi d H (v1 , v 2 + γs 2 ) = s1 , δ v H , γ =0 dγ 2 ∀s 2 ∈ M
.
(2.33).
Kedua persamaan di atas dapat dituliskan dalam bentuk δ v H v ∂ t 1 = Γ 1 , δ v H v2 2
Γ Γ = 11 Γ21
Uraian Taylor
Γ12 Γ22 (2.34)
f ( x) = c 0 + c1 ( x − a ) + c 2 ( x − a ) 2 + ...
(2.35) dimana c n dengan n = 1,2,3,... , menyatakan koefisien deret pangkat dan a menyatakan titik pusatnya. Fungsi f(x) pada persamaan (2.35) dapat dinyatakan dalam bentuk ∞
f ( x) = ∑
f
n =0
( n)
(a ) ( x − a) n n!
= f (a ) +
f ' (a ) f ' ' (a ) ( x − a) 2 ( x − a) + 2! 1!
f ' ' ' (a ) ( x − a ) 3 + ... . 3!
(2.36) Persamaan (2.36) disebut deret Taylor dari fungsi f(x) yang berpusat di a . Misalkan fungsi f(x) merupakan fungsi eksponen yang berpusat di x=0, yaitu f ( x) = e x
(2.37)
maka berdasarkan uraian deret Taylor pada persamaan (2.36), persamaan (2.37) dapat dinyatakan sebagai berikut: ∞
xn n = 0 n!
ex = ∑
.
(2.38)