DEWAN REDAKSI
PENASEHAT
: Sulistyowati Irianto, Dr., Prof. E. Kristi Poerwandari, Dr. Siti Dahsiar Anwar, Dr. Anisa R. Santoso, Dr.
PENANGGUNG JAWAB
: Cholid Badri, dr., SpRad.Onk.(K), Dr., Prof.
PEMIMPIN REDAKSI / KETUA EDITOR
: V. Sutarmo Setiadji, dr., Ph.D.
SEKRETARIS REDAKSI / WAKIL EDITOR
: Muhammad Rezal, dr., M.T.
STAF REDAKSI
: Tresna P. Soemardi, Ir., S.E., M.S., Dr., Prof. Boy S. Sabarguna, dr., M.A.R.S., Dr. Sastra Kusuma Wijaya, Ph.D. Nurhadi Ibrahim, dr., Ph.D. M. Ivan Fanany, S.Si, M.Kom, Ph.D. Prawito, Dr. Anwar S. Ibrahim, Drs., M.Eng. Supardjo, Ir., M.Kes. Ahyahudin Sodri, S.T., M.Sc. Atik Heru Maryanti, S.T., S.E., Akt., M.B.A. Ahmad Bilal, dr., M.Si.
EDITOR
: V. Sutarmo Setiadji, dr., Ph.D. Muhammad Rezal, dr., M.T. Anwar S. Ibrahim, Drs., M.Eng. Irzan Nurman, dr., M.Si.
ADMINISTRASI / KEUANGAN
: Karwoto
editorial
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi demikian pesat dalam dekade terakhir, termasuk teknologi di bidang kedokteran dan kesehatan. Teknik biomedis adalah ilmu multi- atau inter-disiplin yang dihasilkan dari integrasi ilmu teknik, kedokteran dan beberapa ilmu lain yang terkait, serta ditujukan untuk perbaikan pelayanan kedokteran. Sebagai sebuah bidang keilmuan yang relatif baru dan berkembang sejak setengah abad terakhir, teknik biomedis telah mampu membentuk berbagai subdisiplin yang bersifat otonom, di antaranya adalah instrumentasi biomedis, teknik klinis, informatika medis, pencitraan dan rekonstruksi citra, pemrosesan sinyal biomedika, dan telemedika. Kehadiran jurnal ilmiah merupakan hal mutlak yang dibutuhkan sebagai suatu identitas profesionalitas keilmuan. Jurnal Teknik Biomedis Indonesia (J. Tek Biomed Ind) sebagai sebuah sumbangsih kecil dalam perkembangan Teknik Biomedis di Indonesia adalah buah karya para Staf Pengajar yang penuh dedikasi pada Program Studi Magister Teknologi Biomedis Universitas Indonesia (TBM UI). Atas izin Allah YME, jurnal ini dapat kembali terbit untuk yang kedua kalinya. Tentunya, Tim Editor berusaha sebaik mungkin untuk tetap dapat menampilkan topik-topik makalah yang orisinal dan berkualitas. Selain itu, terdapat perbaikan panduan Instruksi untuk Penulis yang menjadi hal absolut untuk dibaca bagi calon penulis berikutnya dan sejumlah penyempurnaan format penerbitan. Penggunaan edisi daring (online) mulai digunakan sehingga kini jurnal terbit dalam dua versi, yakni cetak dan daring. Pembaca dapat menikmati hidangan ilmiah yang menjadi isu hangat di akhir tahun 2015 ini, yakni Telemedika (Telemedicine). Isu ini terlahir kembali menjadi perhatian di tingkat nasional, sejak duabelas tahun lalu dicetuskan dalam Simposium Nasional Telemedicine di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Peta Jalan Telemedika (Telemedicine RoadMap) kedepan akan dikaji dan digagas oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di bulan November 2015. Salah satu cabang Telemedika yang berpotensi kuat untuk dibangun adalah Teleradiologi. Kajian pustaka sebagai landasan teoritik dan manuskrip gagasan peta jalan tersebut dikupas secara lengkap dalam makalah pertama edisi ini. Selanjutnya, makalah kedua dan ketiga berbicara mengenai hal yang terkait dengan radiologi, yakni pengolahan citra sinar-X dan keselamatan lingkungan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Kedua hasil penelitian tersebut dapat melengkapi rencana impelementasi teknis Teleradiologi. Selain itu, tersedia hal yang amat menarik pada makalah keempat sebab penelitian ini menerapkan suatu metoda orisinal yakni analisis dan rancangan robot ortopedi yang dihasilkan dari kolaborasi riset. Analisis tersebut dikerjakan menggunakan teknik Computer Assisted Surgery (CAS). Jurnal ini pun diakhiri dengan makalah terakhir yang tidak kalah menarik, yakni keberhasilan Prodi TBM UI dalam membuat prototipe Pulse Oxymeter yang inovatif dan ekonomis. Keempat makalah hasil penelitian tersebut merupakan hasil penelitian tesis mahasiswa yang amat membanggakan dengan prestasi kelulusan cum laude secara serempak. Sebagai salam kedua kalinya, kepada para peneliti di bidang ilmu teknik biomedis, Redaksi kembali mengajak anda semua untuk dapat memanfaatkan Jurnal Teknik Biomedis Indonesia ini, sebagai ajang silaturahim dan saling berbagi hasil riset atau ide yang berguna. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan bimbingan agar kita semua mampu memberi kontribusi yang terbaik bagi sesama dan bangsa. Amin.
Sekretaris Redaksi / Wakil Editor, ttd Muhammad Rezal, dr., M.T.
i
Daftar isi
Editorial ..............................................................................................................................
I
Daftar Isi ..............................................................................................................................
II
Instruksi untuk Penulis ........................................................................................................
III
Perkembangan Teleradiologi di Indonesia .........................................................................
1
Cholid B, Ajeng P
Pengolahan Citra Radiologi Sinar-X Menggunakan Metode Active Contour Untuk Identifikasi Kelainan Pada Paru-Paru .....................................................................
6
Arierta P, Ahyahudin S, Cholid B
Penerapan Standar Keselamatan Lingkungan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ........
15
Ernia S, Ahyahudin S, Cholid B
Analisis dan Rancangan Computer Assisted Surgery (CAS) Robot Ortopedi Metode Rod and Screw Corrective Manipulation (RSCM) ............................................... 25 Rio A, Boy S Sabarguna, Irzan N
Rancang Bangun Prototipe Pulse Oximeter Genggam Berbasis Raspberry Pi B+ ............ Hendrana T, Ahyahudin S, Cholid B
ii
33
Instruksi untuk Penulis
Judul Lengkap Penulis 11, Penulis 22, Penulis 33 Grup Afiliasi atau Lab atau Departemen atau Sekolah atau Fakultas Nama Afiliasi, Alamat Surat Afiliasi, Negara Afiliasi Tel. +kode negara-kode area-nomor telpon ext.opsional 1 email penulis-1, 2email penulis-2, 3email penulis-3
masing-masing 1,75 cm, margin atas 2,54 cm dan margin bawah 4,13 cm. Jangan menulis atau mencetak apapun diluar area cetak tersebut. Semua teks harus dalam format dua kolom. Kolom berukuran lebar 8,35 cm dengan spasi sebesar 0,8 cm diantara keduanya. Teks dalam bentuk rata kiri-kanan. Ukuran spasi adalah satu dan pastikan melepas spasi antar paragraf (jika anda menggunakan MS Word).
Abstrak Abstrak harus diketik dalam format teks italik, rata kirikanan (justify) pada posisi kolom kiri paling atas, dibawah informasi penulis seperti ditunjukkan disini. Gunakan kata “Abstrak” sebagai judul, dengan huruf Times 12 poin, tebal, terletak di tengah relatif terhadap kolom, dan diawali huruf kapital. Abstrak diketik dengan ukuran 10 poin, spasi tunggal dan sebanyak paling panjang adalah 3 inci atau 7,62 cm. Sediakan dua baris kosong setelah abstrak, lalu mulai dengan teks utama. Semua naskah harus diketik dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Abstrak hanya dalam bentuk bahasa Indonesia.
3. Judul Judul diletakkan pada halaman pertama makalah pada jarak 3,49 dari tepi atas, di tengah halaman, dan menggunakan huruf Times 14 poin, tebal. Pastikan huruf besar pada huruf pertama dari kata benda, kata ganti, kata kerja, kata sifat dan kata keterangan; namun jangan menulis huruf besar pada kata sandang, kata hubung dan imbuhan (kecuali judul dimulai dengan kata-kata tersebut). Sediakan satu baris kosong setelah judul.
Katakunci - ditulis dalam bahasa Indonesia, kecuali bila belum terdapat padanan kata terkait, paling banyak lima buah, tidak singkatan, diletakkan setelah satu baris kosong di bawah abstrak, lalu diberikan dua baris kosong sesudahnya.
4. Nama pengarang dan afiliasi 1. Introduksi
Nama pengarang diletakkan di tengah dan di bawah judul, serta dicetak dalam huruf Times 12 poin, tidak ditebalkan. Nama yang terdiri dari dua kata, kata belakang atau keluarga disingkat inisial. Nama yang terdiri lebih dari dua kata, hanya kata awal dan akhir yang tidak disingkat. Pengarang jamak diperbolehkan sampai dengan tiga orang, dengan keterangan afiliasinya masing-masing dibawah namanya. Afiliasi diketik dengan Times 11 poin, tidak tebal, disertai dengan alamat emailnya. Sediakan tiga baris kosong setelah blok ini.
Panduan ini berisi deskripsi lengkap terkait jenis huruf (font), spasi dan informasi lain yang berguna untuk pembuatan makalah. Harap mengikuti aturan yang diberikan, namun jika ada hal yang kurang jelas, silakan langsung bertanya kepada Editor/Redaktur Pelaksana di Program Studi Teknologi Biomedis, Gedung IASTH Lt.4, Kampus Salemba Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430; Telpon/Faks: (021)-3155535; surel:
[email protected]. Informasi lainnya dapat diakses pada website: https://tbm.pps.ui.ac.id/jurnal. Rencana kedepan, jurnal akan didaftarkan pada sistem jurnal terpadu Universitas Indonesia.
5. Halaman kedua dan selanjutnya Halaman kedua dan selanjutnya dimulai dengan ukuran kertas dan tepi margin yang sama dengan halaman pertama, kecuali margin atas yang lebih kecil yakni 2,54 cm. Sebagai saran, pastikan jika anda menggunakan MS Word, maka margin distel berubah sejak halaman kedua dan seterusnya. Tidak dibenarkan meletakkan gambar atau tabel yang terpotong pada tepi halaman.
2. Format makalah Semua material cetak, termasuk teks, ilustrasi dan bagan, harus ditempatkan dalam area cetak, yakni pada kertas berukuran A4 dengan margin kiri dan kanan
iii
Instruksi untuk Penulis
diawali huruf kapital, tepi kiri, didahului satu baris kosong sebelumnya, lalu diikuti dengan tanda titik dan teks dimulai pada baris yang sama.
6. Jenis huruf Apabila Times disediakan oleh komputer, maka Times Roman atau New Times Roman diperbolehkan, namun bila tidak tersedia, harap gunakan jenis huruf yang paling mendekati dengan Times. Hindari penggunaan jenis huruf berbasis bitmap. True-Type 1 lebih diinginkan.
9. Gambar dan tabel Judul gambar dan tabel diketik dengan huruf Times New Roman 10 poin, tebal. Hanya huruf awal judul diketik kapital. Gambar dan tabel harus diberi nomor secara terpisah, sebagai contoh “Gambar 1. Konteks basis data”, “Tabel 1. Data masukan”. Judul gambar berada di bawah gambar. Judul tabel di atas tabel dan di tengah. Bila mencantumkan sumber kutipan, maka diketik dengan ukuran 9 poin. Urutan penomoran tidak mengikuti penomoran tajuk. Tabel atau gambar tidak boleh terpotong, kecuali dalam halaman yang sama. Diusahakan agar sesuai pada batasan kolom, namun jika tidak berhasil, maka ditempatkan mlintasi dua kolom secara proporsional. Jika terpotong, maka sisa sel yang ada harus dibuat dalam tabel baru dengan memberi judul dengan nomor yang sama dan diberi tambahan (Lanjutan), sebagai contoh “Tabel 1 (Lanjutan). Data masukan”.
7. Teks utama Ketik teks utama dengan huruf Times 10 poin dan spasi tunggal. Bukan spasi ganda. Indentasi paragraf sebesar 1 pica (0,422 cm). Pastikan tepi paragraf berbentuk rata kirikanan. Jangan tempatkan garis tambahan apapun di antara paragraf. Semua bentuk teks selain tajuk, misalnya kalimat dengan penomoran, tetap diletakkan dengan tanpa identasi yakni tepi paragraf rata kiri-kanan, tidak ditebalkan. Penulisan rumus atau formula diletakkan di tengah kolom, dengan baris kosong sebelum dan sesudahnya, diberikan nomor dengan format (nomor tajuk.urutan) yang diletakkan tepi kanan dalam baris yang sama.
8. Tajuk (heading) 10. Catatan kaki Tidak ada aturan baku kerangka tajuk dalam jurnal ini, sebab pada dasarnya ilmu Teknik Biomedis merupakan multi atau inter- disiplin, sehingga penulis dapat menyusun sesuai dengan kelayakan yang dianut.
Gunakan catatan kaki dengan hemat (atau tidak sama sekali!) dan tempatkan di bawah kolom halaman dimana keterangan itu dikaitkan. Diketik dengan Times 8 poin, spasi tunggal. Untuk membantu pembaca anda, sebaiknya hindarkan catatan kaki dan gunakan keterangan tambahan seperlunya (dalam kurung).
8.1. Tajuk orde pertama Sebagai contoh, “1. Pendahuluan”, diketik dengan Times 12 poin, tebal, diawali huruf kapital hanya pada awal kalimat, tepi kiri, didahului satu baris kosong sebelumnya dan satu baris kosong setelahnya. Gunakan tanda titik (“.”) setelah nomor tajuk, bukan tanda koma.
10. Referensi atau Pustaka Urutkan dan beri nomor semua acuan yang diketik dengan Times 9 poin, spasi tunggal pada akhir makalah. Bubuhkan nomor sitasi dengan kurung persegi dengan satu spasi sebelumnya dan tanda titik setelahnya, sebagai contoh [1]. Khusus untuk artikel Kajian Pustaka, maka yang digunakan adalah Daftar Pustaka. Kepustakaan atau acuan wajib ditulis dalam aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun format sitasi mengacu pada IFMBE Proceedings. Bila ada, sertakan nama editor dari buku yang digunakan, contoh:
8.2. Tajuk orde kedua Diketik dengan Times 11 poin, tebal, diawali huruf kapital, tepi kiri, dengan satu baris kosong sebelumnya dan satu baris kosong setelahnya. 8.3. Tajuk orde ketiga
[1] M.Rezal, Tati M., Jofizal J. (Tahun). “Judul Artikel”, Jurnal, Penerbit, Lokasi, hal.1-10.
Tajuk ini tidak dianjurkan. Namun, jika terpaksa digunakan, maka diketik dengan Times 10 poin, tebal,
iv
Kajian Pustaka
Perkembangan Teleradiologi di Indonesia Cholid B1, Ajeng P2 1,2
Program Studi Teknologi Biomedis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Gedung IASTH Lt.4, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat 10430 Tel. +62-21-3155535 1
[email protected],
[email protected]
Abstrak Teleradiologi mengacu pada transmisi gambar radiografi dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Dalam makalah akan diuraikan perspektif sejarah serta update mengenai teleradiologi di Indonesia. Akan dibahas pula masalah teknis pelaksanaan dan teknologi yang digunakan. Karena heterogenitas fasilitas radiologi, tenaga kerja, dukungan telekomunikasi dan rumah sakit yang tersebar di daerah yang luas, arah pengembangan sistem teleradiologi di Indonesia dapat dibagi dua, yaitu teleradiologi perkotaan serta teleradiologi daerah terpencil. Teleradiologi perkotaan dapat dikembangkan dengan mudah karena ketersediaan semua fasilitas dan telekomunikasi pendukung yang dibutuhkan di kota-kota besar sementara teleradiologi daerah terpencil akan menghadapi sejumlah kendala antara lain karena kurangnya fasilitas dan telekomunikasi pendukung yang tidak memadai. Diperkirakan bahwa teleradiologi perkotaan akan berkembang lebih cepat secara independen sedangkan teleradiologi daerah terpencil akan sulit untuk berkembang tanpa bantuan pemerintah. Selanjutnya akan ditinjau pilot project teleradiologi 2012 yang diprakarsai oleh pemerintah, yang telah dievaluasi untuk melihat penerapan perangkat keras, perangkat lunak, protokol komunikasi, alam prosedur operasi, kualifikasi staf, dan persyaratan pelatihan untuk sistem masa depan. Persyaratan broadband internet, medikolegal, lisensi, dan isu-isu regulasi yang terkait dengan pengiriman teleradiologi juga akan disinggung. Katakunci-Teleradiologi, Telemedicine,, sistem diagnosis, informasi medis
1. Pendahuluan 1.1. Definisi Teleradiologi dimaksudkan sebagai pemindahan pencitraan radiologik pasien dari suatu lokasi ke lokasi
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
lainnya untuk keperluan diagnosik dan konsultasi dengan spesialis Radiologi atau dokter lainnya. Teleradiologi merupakan suatu bentuk dari telemedicine yaitu penggunaan telekomunikasi dan teknologi informasi untuk penyediaan pelayanan kesehatan jarak jauh. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan akan teleradiologi antara lain adalah kekurangan jumlah spesialis radiologi, peningkatan penggunaan alat-alat radiologi yang canggih, sistim rujukan rumah sakit yang berjenjang, serta membantu menghilangkan hambatan jarak dan meningkatkan akses ke layanan kesehatan pada masyarakat pedesaan yang terpencil. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat dari pasien dan dokter-dokter yang merujuk untuk memperoleh hasil setiap saat terutama pada kasus-kasus emergency. Hal ini terjadi bila para subspesialis Radiologi seperti ahli MRI, neuroradiologi, Radiologi Anak atau muskuloskletal diperlukan sedangkan ahli-ahli itu berada di rumah sakit – rumah sakit tertentu dan hanya pada jam-jam kerja. Dengan sistem teleradiologi ini dimungkinkan pelayanan diberikan selama 24 jam/hari.
1.1. Sejarah Penggunaan teleradiologi adalah bagian dari telemedicine telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu bahkan sudah dimulai sejak era ditemukannya pesawat telepon disekitar tahun 1876 [1]. Prinsip-prinsip teleradiologi tahun 1930 telah digunakan sebagai bagian dari fasilitas pelayaran. Pada tahun 1960, Rumah Sakit Walter Reed di Washington, Amerika Serikat (USA) telah memasang televisi sirkuit tertutup (close-circuit television) antara Departemen Radiologi dengan Unit Gawat Darurat.Sementara itu sejak tahun yang sama di Amerika Serikat telah berkembang konsultasi pasien dan pengiriman citra medis (medical images) dari beberapa jenis spesialis seperti radiologi, patologi dan dermatologi melalui siaran televisi dan televisi sirkuit tertutup Sistem Teleradiologi sudah dapat diperoleh secara komersial dari berbagai vendor sejak tahun 1980an. Pada tahun 1994, The American College of Radiology (ACR) telah mengeluarkan the ACR Standard for
1
Kajian Pustaka
Teleradiology [2]. Di dalam standar teknis ini telah diatur keharusan untuk memiliki lisensi untuk tempat, dokter maupun staf penyelenggara teleradiologi. Di Indonesia, sistem teleradiologi sudah diimplementasikan pada berbagai rumah sakit paling tidak di rumah sakit - rumah sakit swasta. Pada umumnya rumah sakit melakukan teleradiologi secara teknis ketika seorang spesialis Radiologi tidak berada di tempat dan komunikasi dilakukan dengan e-mail, telepon atau lainnya sesuai dengan kesepakatan antara spesialis Radiologi dan rumah sakit. Saat ini, beberapa rumah sakit di Jakarta telah menjalankan teleradiologi untuk internal. Sebuah rumah sakit di Jakarta Utara menggunakan teleradiologi sehingga dokter spesialis radiologi bisa membaca gambar pencitraan dari jarak jauh. Kemudian, sebuah rumah sakit besar milik Pemerintah Indonesia menggunakan teleradiologi dalam intranet. Rumah sakit besar itu juga menggunakan teleradiologi dalam pendidikan kepada mahasiswa sebuah fakultas kedokteran di Kalimantan [3]. Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia telah merancang dan mengusulkan regulasi teleradiologi di Indonesia kepada Kementerian Kesehatan sejak tahun 2012. Pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai langkah untuk menerapkan sistem teleradiologi ini dengan mengadakan pilot proyek yang dimulai tahun 2012 sampai dengan 2014 dan akan dilanjutkan dengan pilot proyek Telemedicine yang lebih luas yang berfokus pada teleradiologi mulai tahun 2015 [4].
2. Perkembangan peralatan teleradiologi Untuk dapat melakukan teleradiologi umumnya diperlukan sistem pendukung yang terdiri dari: 1. Sistem pencitraan radiologi. Teleradiologi dapat dilaksanakan bila data dan citra radiologi telah dikonversi menjadi data digital. Data tersebut selanjutnya diubah dan dipancarkan sebagai gelombang electromagnet termodulasi. Alat-alat radiologi seperti radiologi konvensional, mammografi, panoramic pada awalnya menghasilkan citra yang bersifat analog. Citra ini dapat diubah menjadi citra digital menggunakan alat scanner digital (digitizer) atau dengan peralatan Computed Radiography (CR). Sebagian besar alat radiologi konvensional sekarang telah menggunakan system digital dengan bantuan CR. Modalitas radiologi non-konvensional seperti CT scan dan MRI pada dasarnya sudah menggunakan system digital. 2. Sistem komputer Komputer yang dipakai untuk mendukung teleradiologi yaitu komputer workstation/pemroses dan komputer server radiologi. Sistem komputer yang digunakan sebaiknya menggunakan perangkat keras dengan spesifikasi yang memadai.
3. Sistem perangkat lunak pemroses data / sinyal / citra 4. Sistem jaringan telekomunikasi ( telepon dan satelit) Alur kerja (workflow) sederhana sebuah perangkat teleradiologi sederhana adalah seperti yang terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Sistem teleradiologi sederhana Courtesy Oulu University Hospital[5]
Penggunaan PACS (Picture Archive Computerized System) suatu sistem yang berfungsi sebagai pengganti tempat penyimpanan film radiologi konvensional, dimana image disimpan, ditransmisikan dan didisplay secara digital. Berbagai perangkat Radiologi yang konvensional maupun modern seperti CT-scan. MRI dan Ultrasound dapat dihubungkan dengan system DICOM (Digital Imaging and Communication in Medicine) dengan PACS. Citra yang disimpan dalam FACS dapat diakses untuk dikirim melalui sistem Teleradiologi. Dengan demikian penerapan Teleradiologi sendiri menjadi lebih mudah dengan dukungan PACS [6]. Alur kerja (Workflow) yang lebih kompleks sebuah perangkat teleradiologi yang maju sederhana adalah seperti yang terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Sistem teleradiologi maju
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
2
Kajian Pustaka
3. Perkembangan sistem teleradiologi di Indonesia 3.1. Perkembangan di bidang pemerintah Perkembangan Teleradiologi dalam lingkungan fasiltas pemerintah diawali dengan pilot project Telemedicine pada tahun 2012 yang digagas oleh Kementerian Kesehatan. Pada awalnya ditunjuk 1 Rumah Sakit pengampu, yaitu Rumah Sakit Dr. Tjipto Manunkusumo (RSCM) Jakarta, dan 10 Rumah Sakit diampu yang wilayahnya tersebar dari Sumatra hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) [7]. Namun kendala yang ditemui pada pilot project pertama ini, salah satunya pada ketersediaan bandwith internet yang kurang memadai. Sebagai kelanjutan dari pilot project di tahun 2012 maka Kementerian Kesehatan kembali melakukan pilot projectnya di tahun 2014. Pada pilot project di 2014, RS pengampu tidak hanya di RS Cipto Mangunkusumo, melainkan juga melibatkan beberapa RSUP di Sumatra, Sulawesi dan RS Pusat Otak Nasional (RS PON) Jakarta (gambar 3).
3. Teknologi scanner teleradiologi diganti sistem Computed Radiography / Digital Radiografi kualitas hasil citra lebih terjaga. 4. Peningkatan perencanaan melakukan assessment kondisi infrastruktur jaringan komunikasi di daerah, ketersediaan SDM/tenaga IT, komitmen rumah sakit dan pemerintah daerah, pelaksanaan survey prainstalasi. 5. Pemenuhan jejaring mengacu regionalisasi sistem rujukan. 3.1.1. Kondisi yang mempengaruhi pilot project Kondisi-kondisi yang dapat diindentifikasi berpengaruh dalam dalam pelaksanaan pilot project tersebut antara lain [4,7] : 1. Luasnya jangkauan wilayah Indonesia terdiri dari l.k. 17.000 pulau dengan berbagai kondisi geografis yang bervariasi yaitu daerah pegunungan, dataran rendah, daerah pantai dll . Oleh karena itu terdapat berbagai kesulitan dalam pemerataan pelayanan kesehatan seperti program penempatan tenagatenaga kesehatan di daerah terpencil.
Gambar 4 : Peta Republik Indonesia Gambar 3. Pilot Project Telemedicine 2014 Melalui pilot project yang telah diselenggarakan oleh Kemenkes 2012-2014, didapat beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran kedepan, diantaranya : 1. Pengiriman data melalui jaringan GSM 3G belum direkomendasikan untuk saat ini di daerah belum stabil. 2. Pemasangan server untuk data center dan aplikasi dipusatkan di Kemenkes. Keuntungan: 1. Tidak ada biaya tambahan untuk penyediaan dan pemeliharaan server di RS (efisiensi), 2. Aplikasi tunggal nasional memudahkan pengawasan pelayanan (efektif), 3. Memungkinkan re-routing jejaring jika nanti terdapat perubahan pengampuan.
2. Jumlah dan distribusi dokter spesialis Radiologi Sumber daya manusia yang berkait dengan pelayanan teleradiologi di Indonesia yaitu dokter spesialis Radiologi relatif kurang dengan distribusi yang tidak merata seperti terilhat pada gambar 5. 1598
Gambar 5. Jumlah dokter spesialis Radiologi di Indonesia Sumber: Sistim Informasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
3
Kajian Pustaka
3. Distribusi Radiografer Pada gambar 6 terlihat distribusi Radiografer pada rumah sakit-rumah sakit tipe D di berbagai daerah yang menunjukkan kesenjangan antara daerah Indonesia bagian Tengah dan Timur dengan bagian Barat Indonesia.
Gambar 6 . Distribusi Radiografer di R.S. type D pada berbagai daerah di Indonesia Sumber: Research of Health Care Facility of Indonesia (Risfaskes), Information and Data Center, Ministry of Health (Republic of Indonesia), 2011
4. Peralatan Radiologi Suatu faktor yang penting dalam pelayanan teleradiologi adalah peralatan Radiologi yang di berbagai Rumah sakit berbeda spesifikasinya. Hal ini akan menimbulkan jenis dan mutu pelayanan yang berbeda serta ditribusi yang tidak merata terutama dalam jumlah alat canggih sehingga berdampak juga pada sistem teleradiologi yang digunakan.
Gambar 7. Jumlah peralatan radiologi diagnostik di Indonesia Sumber: Information and Data Center, Ministry of Health, Republic of Indonesia
5. Jaringan pendukung telekomunikasi. Distribusi jaringan pendukung telekomunikasi yang sangat menentukan dalam pelaksanaan umumnya rendah/minim di daerah Indonesia Bagian Timur (gambar 8).
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 8. Sebaran koneksi internet di Indonesia Sumber: Ministry of Health (Republic of Indonesia)
Untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pilot project I dan untuk meningkatkan keberhasilan pilot project II, pemerintah melalui Kementrian Kesehatan RI, tengah giat-giatnya mengadakan group discussion ataupun seminar-seminar seputar persiapan penerapan Telemedicine termasuk Teleradiologi di Indonesia. Salah satunya dengan mengundang ahli-ahli terkait untuk penyusunan Roadmap Pengembangan Telemedicine, Rancangan Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah yang akan mengatur aspek legalitas ataupun Standard Operating Procedures (SOP) yang berlaku [8].
3.2. Perkembangan di bidang swasta dan profesi Teleradiologi telah dilakukan pada beberapa rumah sakit antara lain di Jakarta Utara dan Jakarta Barat sejak tahun 2000-an. Dewasa ini penggunaannya sudah semakin berkembang di berbagai rumah sakit lainnya. Sejumlah vendor telah mulai mengembangkan bisnis teleradiologi di rumah sakit di Jakarta Pusat dan Bogor [9]. Selain dapat membantu mengatasi keterbatasan tenaga ahli, system teleradiologi diklaim juga bermanfaat dalam mempercepat layanan radiologi dan pengembangan layanan kesehatan di wilayah-wilayah terpencil secara efektif dan efisien. Selain itu, layanan teleradiologi ini juga diyakini dapat membantu banyak rumah sakit di
4
Kajian Pustaka
Indonesia karena dapat menghemat biaya. Pada umumnya teleradiologi dijalankan pada rumah-sakit yang mempunyai system peralatan radiologi yang canggih dan peralatan pendukung sistem teleradiologi yang mapan. Oleh karena rumah sakit–rumah sakit itu berada di kota maka umunya didukung oleh sistem internet yang baik. Hal yang menjadi hambatan adalah masalah legalisasi system pelayanan ini yang belum diatur oleh pemerintah.
4. Diskusi Perkembangan Teleradiologi dapat di pandang dari dua aspek yaitu pengembangan teleradiologi yang dilakukan oleh swasta/profesi berfokus pada pengembangan teleradiologi yang bersifat urban/perkotaan, sedangkan pengembangan yang dilakukan oleh Kemenkes adalah bersifat rural/daerah terpencil. Pengembangan yang bersifat urban terlihat lebih mudah dikerjakan karena didukung peralatan yang canggih, sumber daya manusia yang relative cukup serta jaringan komunikasi yang baik. Hal yang perlu diupayakan secepatnya adalah regulasi dan Sebaliknya pengembangan teleradiologi yang bersifat rural/daerah terpencil akan lebih sulit dilaksanakan oleh karena peralatan yang umumnya kurang memadai, sumber daya manusia yang kurang/tak merata dan dukungan jaringan komunikasi yang kurang baik. Untuk meningkatkan penggunaan teleradiologi di daerah-daerah terpencil seyogyanya teleradiologi dimasukkan dalam sistem rujukan rumah sakit yang berlaku, peningkatan peralatan radiologi dan teleradiologi serta peningkatan jumlah, keterampilan dan pemerataan SDM serta perbaikan jaringan komunikasi. Teleradiologi lebih dapat dirasakan manfaatnya pada pemeriksaan Radiologik dengan alat-alat canggih seperti CT- scan dan MRI sehingga perlu dipertimbangkan apakah alat-lat canggih tersebut dapat distiribusikan pada rumah-sakitrumah sakit di daerah pelosok atau terpencil di mana pembiayaan untuk maintenance dan keberadaan spesialis radiologi, radiographer dan teknisi lain sulit dipenuhi. Tak kalah pentingnya adalah struktur pembiayaan untuk fasilitas teleradiolgi yang cukup besar sehingga peran pemerintah sangat diperlukan. Sebagai perbandingan dengan Negara tetangga, Malaysia dianggap telah lebih sukses dalam mengimplementasikan Teleradiologi pada sistem jaringan sosial nasional disana [10].
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
5. Kesimpulan Penerapan Teleradiologi di Indonesia dalam rangka peningkatan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan dinilai perlu dan mendesak untuk segera dilakukan agar disparitas dalam akses dan pemerataan pelayanan kesehatan antara daerah terpencil dengan daerah perkotaan dapat dijembatani. Adapun hal-hal yang perlu menjadi perhatian diantaranya : 1. Peningkatan peralatan radiologi dan sistem teleradiologi 2. Peningkatan jumlah dan keterampilan serta pemerataan SDM yang terkait 3. Perbaikan/perluasan jaringan pendukung komunikasi 4. Dukungan pemerintah terutama dalam regulasi dan anggaran. 5. Model bisnis yang belum jelas (kesimpangsiuran klaim asuransi) 6. Minimumnya informasi dan promosi.
6. Pernyataan Tulisan ini disusun menggunakan materi yang akan disampaikan penulis pada seminar Roadmap Telemedicine November 2015 di Kemenkes Jakarta serta merujuk berbagai narasumber, jurnal nasional, internasional serta sumber-sumber lain tentang Teleradiologi.
Daftar Pustaka [1] Thrall JH. Teleradiology (2007). Part I. History and clinical applications. Radiology. 2007;243(3): 613–7. [2] ACR standard teleradiologi. http://www.acr.org [3] Harlan J. (2015). Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Yogyakarta. [4] Djojosoegito A., et al. (2014). Study of Cancer Patient characteristic in Indonesia. Sanskerta, Jakarta. [5] Karasti H., Reponen J. (1998). “The Teleradiology System and Changes in Work Practices.” Computer Methods and Programs in Biomedicine 57(1-2): 69-78. [6]. Strickland NH. (2000). PACS (Picture archiving and communication systems): filmless radiology. Arch Dis Child, 83(1): 82-6. [7] Telkom Indonesia (2015). Introducing Teleradiology. [8] Thomas AI, Chandra A. (2013). Telemedicine in Indonesia “Country Experiences. Ministry of Health, Jakarta. [9] Sinar Harapan (2015). Teknik Teleradiologi. Terbitan 16 Juni 2015. [10]Wynchank S, Fortuin J. (2008). Telepaediatrics, primary health care and developing countries. 2(4): 158–60.
5
Hasil penelitian
Pengolahan Citra Radiologi Sinar-X Menggunakan Metode Active Contour Untuk Identifikasi Kelainan Pada Paru-Paru Arierta P1, Ahyahudin S2, Cholid B3 1,2,3
Program Studi Teknologi Biomedis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Gedung IASTH Lt.4, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat 10430 Tel. +62-21-3155535 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Rontgen dada atau Chest X-Ray (CXR) merupakan salah satu aplikasi pencitraan medis yang paling sering digunakan dalam pendeteksian kelainan khususnya tumor paru. Untuk menentukan diagnosis kelainan tersebut, seorang dokter masih mengandalkan pengamatan visual dalam pembacaan hasil citra CXR sehingga penilaian bersifat subyektif tergantung pada masing-masing dokter. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perancangan sistem pengolahan citra sebagai alat bantu identifikasi kelainan paru-paru. Kategori citra CXR yang digunakan adalah citra pada keadaan normal, tumor, dan kelainan bukan tumor. Tahapan pengolahan yang dilakukan berupa pre-processing menggunakan median filtering dan ekualisasi histogram serta proses segmentasi menggunakan otsu’s thresholding dan active contour: snake. Uji hasil pengolahan citra dengan hasil diagnosis dokter menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation menghasilkan akurasi sebesar 92,85 %. Katakunci - Active contour, Chest X-Ray (CXR), Tumor Paru
1. Pendahuluan Aplikasi teknologi pencitraan di bidang medis sebagai alat bantu diagnostik dan terapi sampai saat ini masih terus mengalami kemajuan dan perkembangan yang pesat. Bahkan, pengolahan citra medis telah ditetapkan sebagai pusat lahan inovasi dalam perawatan kesehatan modern dengan menggabungkan informatika medis, neuroinformatika dan bioinformatika [1]. Rontgen dada atau yang sering disebut juga sebagai chest X-Ray (CXR) merupakan salah satu aplikasi pencitraan medis yang paling sering digunakan dalam untuk penyakit di dada khususnya paru-paru [2]. Tumor merupakan salah satu penyakit yang ditemukan pada organ paru-paru yang dapat berifat ganas, berbahaya dan menyebabkan kematian.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Hasil pemeriksaan citra tumor pada organ paru-paru dari pemotretan radiologi yang kabur, kurang kontras, ataupun yang berderau dapat bersifat subjektif dan memberikan kesimpulan berbeda jika dibaca secara manual oleh masing-masing dokter spesialis radiologi yang berbeda. Untuk membantu menegakkan diagnosis tersebut, diper-lukan program yang mampu mengidentifikasi tumor di paru-paru berdasarkan tingkat keabuan [3]. Merujuk pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya [2], [4], [5] perancangan program pengolahan citra dengan berbagai metode proses segmentasi seperti tresholding, deteksi tepi, Fuzzy C-Means (FCM), dan active contour telah dibuktikan dapat membantu identifikasi pola paru-paru. Kemudian dengan pengembangan lebih lanjut, beberapa penelitian [3], [6] membuktikan bahwa program pen-golahan citra dengan metode proses segmentasi seperti tresholding dan deteksi tepi dapat membantu identifikasi adanya kelainan tumor pada paru-paru. Sedangkan penelitian yang metode active contour sebagai proses segmentasi citra untuk identifikasi kelainan tumor pada abdomen [7]. Perancangan suatu program pengolahan citra digital untuk identifikasi tumor pada paru-paru dilakukan dengan dua tahap pengolahan citra. Tahap pertama adalah melakukan pre-processing atau pengolahan citra awal agar didapatkan kualitas citra yang siap untuk diproses selanjutnya. Tahap ini berupa proses cropping dan resizing citra, proses median filtering dan proses ekualisasi histogram (histogram equalization). Tahap kedua merupakan proses segmentasi citra yang diawali dengan proses otsu’s thresholding dan dilanjutkan dengan metode active contour: snake. Program ini diharapkan dapat berguna sebagai alat bantu dokter spesialis radiologi yang efektif dan efisien dalam melakukan pembacaan citra CXR.
2. Tinjauan pustaka 2.1. Pengolahan citra digital
6
Hasil penelitian
Secara harfiah, citra atau image adalah istilah lain dari gambar yang merupakan informasi berbentuk visual, yaitu informasi berupa sinyal yang dapat dipandang sebagai fungsi dua dimensi. Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, yaitu f (x,y), dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan besaran atau nilai f dari setiap koordinat (x,y) merupakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada koordinat tersebut [8]. Berdasarkan cara terbentuknya, citra dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog seperti mata manusia dan kamera analog, sedangkan citra diskrit dihasilkan melalui proses digitalisasi citra kontinu sehingga mampu menghasilkan citra diskrit, seperti kamera digital dan scanner [9]. Suatu hasil citra tidak selalu dapat tersaji secara sempurna. Hal ini disebabkan adanya gangguan yang menyebabkan kualitas citra tidak maksimal dan ada beberapa data yang hilang sehingga citra sulit untuk diinterpretasi dan informasi kurang tersampaikan dengan baik. Agar citra yang mengalami gangguan mudah diinterprestasi (baik oleh manusia maupun mesin), maka perlu dilakukan pengolahan citra untuk memperbaiki kualitas citra menjadi lebih baik [10].
Citra digital tidak dapat lepas dari derau (noise), hal ini ter-jadi baik pada saat dilakukan akuisisi atau pada saat transmisi citra. Derau akuisisi citra adalah derau fotoelektronik (pada sensor fotoelektronik) atau derau butiran film. Untuk mengurangi derau digunakan filtering, dalam penelitian ini penapisan derau digunakan median filtering. Median filtering sangat bermanfaat untuk menghilangkan outliners, yaitu nilai-nilai piksel yang ekstrim. Median fil-tering menggunakan sliding neighborhood untuk memproses suatu citra, yaitu suatu operasi dimana filter ini akan menentukan nilai masingmasing piksel keluaran dengan memeriksa tetangga m×n di sekitar piksel masukan yang bersangkutan. Median filtering mengatur nilai-nilai piksel dalam satu tetangga dan memilih nilai tengah atau median sebagai hasil [11]. Teleradiologi telah dilakukan pada beberapa rumah sakit antara lain di Jakarta Utara dan Jakarta Barat sejak tahun 2000-an. Dewasa ini penggunaannya sudah semakin berkembang di berbagai rumah sakit lainnya. Sejumlah vendor telah mulai mengembangkan bisnis teleradiologi di rumah sakit di Jakarta Pusat dan Bogor [9].
2.2. Pre-pemrosesan citra dengan ekualisasi histogram (histogram equalization) dan median filtering Setiap citra dapat dianalisis melalui histogram citranya. Histogram citra memberikan informasi tentang penyebaran intensitas piksel-piksel di dalam citra. Agar kita memperoleh citra yang baik, maka penyebaran nilai intensitas harus diubah. Teknik yang lazim dipakai adalah ekualisasi histogram (histogram equalization) [11].
Gambar 2.2. Median Filtering Pada Citra Terkontaminasi Noise Salt & Pepper Sumber: http://homepages.inf.ed.ac.uk/rbf/CVonline/ LOCAL_COPIES/OWENS/LECT5/img19.gif
2.3. Proses segmentasi citra
Gambar 2.1. Ekualisasi Histogram Pada Citra Grayscale Sumber: http://homepages.inf.ed.ac.uk/rbf/CVonline/ LOCAL_COPIES/OWENS/LECT5/img5.gif
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Thresholding adalah metode segmentasi citra dasar yang akan dilakukan sebelum proses segmentasi citra menggunakan metode active contour atau snake. Metode yang digunakan dalam melakukan proses thresholding adalah Metode Otsu. Metode Otsu merupakan metode dalam segmentasi citra yang menghitung nilai ambang T secara otomatis berdasarkan citra masukan. Pendekatan yang digunakan oleh metode Otsu adalah dengan analisis diskriminan yaitu menentukan suatu variabel yang dapat membedakan antara dua atau lebih kelompok yang muncul secara alami. Analisis diskriminan akan memaksimumkan
7
Hasil penelitian
variabel tersebut agar dapat membagi objek latar depan dan latar belakang. Tujuan dari metode Otsu adalah membagi histogram citra gray level ke dalam dua daerah yang berbeda secara otomatis tanpa membutuhkan bantuan pengguna untuk memasukkan nilai ambang [12], [13]. Active contour atau sering juga disebut snake merupakan suatu algoritma otomatis untuk segmentasi citra yang dikenalkan pertama kali pada tahun 1987 oleh Michael Kass, dkk. [14]. Algoritma ini membentuk suatu model kur-va hasil minimalisasi energi yang didefinisikan dalam do-main citra. Kurva ini merupakan kurva tertutup yang dapat bergerak melebar ataupun menyempit karena pengaruh gaya internal dari kurva itu sendiri dan gaya eksternal yang dihitung dari data citra. Gaya internal dan eksternal dibuat sedemikian rupa sehingga snake akan menuju ke batas suatu obyek citra atau fitur lain yang diinginkan. Algoritma ini memiliki kelebihan antara lain dapat mendeteksi garis dan kurva yang tidak tertutup dan dapat mendeteksi obyek citra dengan intensitas yang berbeda [15]. Jadi secara umum, active contour atau algoritma snake merupakan suatu proses minimalisasi energi, dimana batasan dari obyek citra merupakan nilai minimum dari fungsi energi. Fungsi energi tersebut bukan hanya terdiri dari informasi mengenai tepi obyek citra, melainkan juga berisi properti yang mengontrol pergerakan dari kurva itu sendiri [15]. Energi total atas snake sebagai fungsi energi E(t) dilakukan dengan mendefinisikan fungsi dari kontur awal untuk meminimalkan fungsi energi sesuai dengan persamaan berikut [16],
itas, disimbolkan dengan notasi α. Jika α bernilai rendah, kurva dapat lebih memanjang. • Turunan kedua mengungkapkan variasi kelengkungan kurva pada kontur yang dikendalikan oleh koefisien kekakuan, disimbolkan dengan notasi β. Jika β bernilai rendah, kurva dapat lebih melengkung. • Dua hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan kurva yang lebih kecil dan halus. Energi eksternal didefinisikan menurut informasi tentang gradien citra seperti nilai intensitas citra, tepi citra yang diindikasikan untuk masing-masing kasus tergantung pada citra yang digunakan pengguna. Tipikal energi eksternal ditunjukkan dalam persamaan (2.8). (2.8) Gaya internal dan eksternal menentukan bentuk dan posisi dari kurva snake. Gaya internal menjaga kurva snake agar tetap halus sedangkan gaya eksternal memandu kurva snake menuju fitur citra. Output dari model kurva snake adalah kontur tertutup. Hal ini memberikan keuntungan jika batas daerah citra memiliki diskontinuitas. Snake cenderung untuk mengambil bentuk umum dari batas gambar dan menghasilkan output tepi dari model kurva snake yang sangat halus. Hal ini dapat membuktikan bahwa dalam proses segmentasi citra menggunakan algoritma active contour atau snake mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan metode segmetasi citra yang lain dalam melakukan penggalian fitur citra yang berkaitan dengan tepi [17].
(2.5) persamaan (2.5) meliputi parameter atas snake yang ditentukan sebagai, (2.6) dan dimana Eint merepresentasikan energi internal atas snake dan Eext merepresentasikan energi eksternal. Energi internal menjaga konsistensi kurva untuk menjamin kelangsungan dan mengurangi efek noise pada citra. Hal ini ditunjukkan dalam persamaan (2.7).
(2.7) dimana s’(p) dan s’’(p) merepresentasikan turunan pertama dan kedua dari parameter snake s(p). Secara umum persamaan (2.6) berfungsi untuk mengontrol perilaku mekanik dari kurva snake. Berikut ini penjelasan detail untuk masing-masing parameter. • Turunan pertama mencerminkan variasi panjang kurva pada kontur yang dikendalikan oleh koefisien elastis-
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 2.3. Segmentasi Citra Menggunakan Metode Active contour Sumber : Nagappan, Britto, Banu, & Malmurugan, 2008
8
Hasil penelitian
2.4. Uji hasil citra menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation Backpropagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobotbobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktiva yang dapat didiferensiasikan seperti sigmoid [18]: (2.9) dengan atau tansig:
(2.10)
menghubungkan z1 dan z2 dengan neuron pada lapisan output, adalah w1 dan w2. Bobot bias b2 menghubungkan lapisan tersembunyi dengan lapisan output. Fungsi aktivasi yang digunakan, antara lapisan input dan lapisan tersembunyi, dan antara lapisan tersembunyi dengan lapisan output adalah fungsi aktivasi tansig.
3. Metode Penelitian ini telah dilakukan selama 5 bulan penuh dimulai dari bulan Februari–Juni 2015 di laboratorium Program Studi Teknologi Biomedis, gedung IASTH lantai 3, Jalan Salemba Raya, Universitas Indonesia. Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan di Departemen Radiologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Data tersebut berupa hasil citra Chest X-Ray (CXR) dari mesin computed radiography (CR) X-Ray digital. Data citra CXR ini terdiri dari tiga kategori, yaitu data citra CXR dengan kategori paru–paru normal (10 citra), terdapat kelainan (8 citra) dan terdapat kelainan khusus tumor pada paru–paru (10 citra).
(2.11) atau (2.12) dengan atau purelin : dengan
(2.13)
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Pre-processing dan Proses Segmentasi
Citra Chest X-Ray Digital Fomat .jpg
(2.14) (2.15) Variabel Kontrol • Citra CXR dengan kategori normal, tumor, kelainan lain • Citra CXR orang dewasa
Gambar 3.1. Blok diagram kerangka konsep
Gambar 2.4. Arsitektur jaringan backpropagation Arsitektur jaringan backpropagation seperti terlihat pada Gambar 2.4, jaringan terdiri atas 3 unit (neuron) pada lapisan input, yaitu x1, x2, dan x3 ; 1 lapisan tersembunyi dengan 2 neuron, yaitu z1 dan z2 ; serta 1 unit pada lapisan output, yaitu y. Bobot yang menghubungkan x1, x2, dan x3 dengan neuron pertama pada lapisan tersembunyi, adalah v11, v21, dan v31. Sedangkan b11 dan b12 adalah bobot bias yang menuju ke neuron pertama dan kedua pada laisan tersembunyi. Bobot yang
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Tulisan ini disusun menggunakan materi yang telah disampaikan penulis pada seminar Roadmap Telemedicine November 2015 di Kemenkes Jakarta serta merujuk berbagai narasumber, jurnal nasional, internasional serta sumber-sumber lain tentang Teleradiologi.
3.1. Tahapan Penelitian Dalam penelitian yang berjudul “Pengolahan Citra Radiologi Sinar-X Menggunakan Metode Active contour Untuk Identifikasi Kelainan Pada Paru-Paru” ini, dilaksanakan dalam empat tahapan, yaitu (a) pengumpulan dan input data citra, (b) pengolahan citra awal (preprocessing), (c) proses segmentasi citra, (d) analisis hasil citra.
9
Hasil penelitian
Start
Input citra CXR digital yang akan diproses
Pre-processing
Pembacaan Citra Oleh Dokter Spesialis Radiologi
3.3. Metode proses segmentasi citra Tahap kedua adalah melakukan segmentasi citra yang diawali dengan metode thresholding menggunakan metode Otsu kemudian dilanjutkan dengan segmentasi citra menggunakan metode active contour atau snake. Pada tahap kedua ini khususnya pada proses segmentasi menggunakan active contour atau snake, ada beberapa langkah – langkah yang harus dilakukan. Langkah – langkah itu berupa pencuplikan pola citra yang akan disegmentasi, menentukan nilai parameter yang dibutuhkan, menentukan jumlah iterasi yang akan dilakukan.
Proses Segmentasi
Hasil Sistem
Hasil Diagnosis
Analisis Hasil
End
Gambar 3.4. Diagram alur langkah dalam proses segmentasi
Gambar 3.2. Diagram alur penelitian
3.4. Metode analisis data 3.2. Metode pra-pemrosesan citra Tahap pertama adalah melakukan pre-processing citra agar didapatkan bentuk dan kualitas citra yang siap untuk diproses selanjutnya. Karena secara umum, tahap preprocessing ialah tahapan yang dilakukan guna menyetarakan data citra masukan apabila data citra masukan yang diperoleh tersebut memiliki ukuran serta tingkat kontras yang berbeda – beda [19].
Dalam melakukan uji akurasi hasil citra oleh sistem dengan hasil diagnosis dokter digunakan program toolbox neural network atau jaringan saraf tiruan pada MATLAB. Metode jaringan saraf tiruan yang digunakan adalah metode backpropagation. Pada program ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pelatihan dan pengujian. Keduanya dilakukan dengan menggunakan toolbox tersebut. Langkah – langkah yang dilakukan dalam menjalankan program ini yaitu sebagai berikut : a) Langkah pertama adalah membagi data pelatihan dan data uji. Karena data yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 28 data maka dilakukan empat kali pengujian dengan perbandingan data uji dan data pelatihan 1 : 3. 21 Data Pelatihan 14 Data Pelatihan 7 Data Pelatihan
Gambar 3.3. Diagram Alur langkah dalam prapemrosesan
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
7 Data Uji
7 Data Uji
7 Data Uji 7 Data Uji
7 Data Pelatihan 14 Data Pelatihan
21 Data Pelatihan
Gambar 3.5. Perbandingan jumlah data pelatihan dan pengujian untuk empat tahap
10
Hasil penelitian
b) Langkah kedua yang dilakukan adalah import data pada program. Data pelatihan dari tahap satu sampai dengan tahap empat diimport sebagai nilai input program. Kemudian dari data input pada masing–masing tahap mempunyai nilai output yang dalam hal ini merupakan data hasil diagnosis dokter, yaitu berupa diagnosis normal diwakilkan dengan nilai 1 dan di-agnosis tidak normal (tumor dan kelainan lainnya) diwakilkan dengan nilai -1. Nilai output inilah yang kemudian diimport sebagai nilai target program un-tuk data pelatihan. c) Langkah ketiga adalah merancang jaringan saraf tiruan backpropagation. Dalam merancang suatu jaringan saraf tiruan backpropagation menggunakan toolbox neural network pada MATLAB, kita tidak perlu merancang algoritma suatu program melainkan hanya dengan menentukan nilai – nilai parameter yang akan digunakan pada program. d) Langkah keempat adalah menjalankan program pelatihan. Untuk menjalankan program pelatihan ini perlu ditentukan nilai input dan target. Karena pembagian data pelatihan dan pengujian yang telah dilakukan pada langkah pertama, maka untuk langkah keem-pat ini dilakukan sebanyak empat kali dengan menggunakan nilai input dan target yang berbeda. e) Langkah kelima adalah menguji data sampel. Setelah program jaringan saraf tiruan cukup pintar dengan proses pelatihan yang telah dilakukan sebelumnya, maka kemudian dapat dilakukan pengujian data. Nilai input yang digunakan dalam langkah ini adalah nilai sam-pel. Setelah dilakukan pengujian data tersebut maka akan didapatkan nilai keluaran berupa nilai prediksi. Nilai keluaran inilah yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai hasil diagnosis dokter. Sesuai atau tidaknya menen-tukan nilai akurasi sistem. Langkah ini juga dilakukan sebanyak empat kali dengan menggunakan nilai sampel yang berbeda.
4. Hasil dan pembahasan 4.1. Hasil pengolahan citra pada tahap prepemrosesan Berikut ini disajikan citra hasil pengolahan untuk tahap pre-pemrosesan dan proses segmentasi. Citra yang ditampilkan ini merupakan sampel untuk masing–masing kategori citra paru–paru untuk setiap metode pengolahan yang dilakukan. Hal ini dil-akukan demi menunjukkan perbandingan tampilan dari citra hasil pengolahan.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 4.1. Tampilan citra paru keadaan normal sebagai citra masukan awal (kiri), setelah proses Median Filtering (tengah) dan setelah proses ekualisasi Histogram (kanan)
Gambar 4.2. Tampilan Citra Paru – Paru Dengan Kelainan Sebagai Citra Masukan Awal (kiri), Setelah Proses Median Filtering (tengah) dan Setelah Proses Ekualisasi Histogram (kanan)
Gambar 4.3. Tampilan Citra Paru – Paru Dengan Tumor Sebagai Citra Masukan Awal (kiri), Setelah Proses Median Filtering (tengah) dan Setelah Proses Ekualisasi Histogram (kanan)
4.2. Hasil segmentasi
pengolahan
citra
pada
tahap
Sedangkan untuk citra hasil keluaran program GUI akan didapatkan citra hasil akhir proses segmentasi dengan menggunakan metode active contour atau snake.
11
Hasil penelitian
Gambar 4.4. Tampilan citra paru hasil proses Otsu’s Thresholding normal (kiri), adanya kelainan (tengah) dan adanya tumor (kanan)
Nilai hasil normalisasi yang terdapat pada tabel 4.1 inilah yang kemudian akan digunakan sebagai nilai fitur masukan suatu sistem jaringan saraf tiruan dengan metode backpropagation. Nilai tersebut berjumlah 28 data maka dilakukan empat kali pengujian dengan per-bandingan data uji dan data pelatihan 1 : 3, yaitu 7 data pengujian dan 21 data pelatihan. Nilai keluaran yang didapatkan dari hasil pengujian data menggunakan program untuk masing–masing tahap ditunjukkan pada tabel 4.2–4.5. Tabel 4.2. Nilai keluaran untuk pengujian data sampel 1
Gambar 4.5. Tampilan citra paru hasil segmentasi Active contour atau Snake normal (kiri), adanya kelainan (tengah) dan adanya tumor (kanan)
4.3. Pembahasan hasil pengolahan citra Analisis hasil sistem dengan hasil diagnosis dokter diawali dengan proses pengujian yang dilakukan menggunakan metode jaringan saraf tiruan dengan tipe backpropagation. Pada proses ini dilakukan tahap pelatihan dan pengujian berdasarkan nilai yang diambil dari ekstraksi fitur pola citra hasil segmentasi menggunakan metode active contour. Nilai fitur yang digunakan terdiri tiga variabel, yaitu nilai perimeter yang dihitung berdasarkan panjang kurva merah snakes, nilai luas pola citra paru yang dihitung berdasarkan jumlah piksel warna hitam serta nilai rasio antara luas dan perimeter. Tabel 4.1. Normalisasi nilai fitur untuk setiap kategori normal (N), kelainan (K) dan tumor (T) Nilai Perimeter N K T 0.72 0.58 0.79 0.73 0.51 0.76 0.74 0.95 0.85 0.78 0.79 0.51 0.76 0.81 0.70 1 0.66 0.86 0.92 0.75 0.85 0.79 1 1 0.82 0.87 0.81 0.88
N 0.89 0.97 0.78 0.93 0.81 1 0.75 0.82 0.85 0.85
Nilai Luas K T 0.98 0.78 0.92 0.79 0.87 0.83 1 0.92 0.85 0.87 0.92 0.94 0.82 0.91 0.971 1 0.90 0.96
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
N 0.93 1 0.78 0.89 0.80 0.75 0.62 0.78 0.78 0.79
Nilai Rasio K T 0.93 0.55 1 0.57 0.50 0.54 0.69 1 0.57 0.68 0.76 0.60 0.60 0.59 0.53 0.55 0.57 0.60
Nilai Perimeter
Nilai Luas
Nilai Rasio
Target
Nilai Keluaran
Ket.
0.509804
0.92142
1
-1
-1
Benar
0.703081
0.873944
0.687739
-1
-1
Benar
0.862745
0.946162
0.606776
-1
-1
Benar
0.854342
0.912888
0.591196
-1
-1
Benar
1
1
0.553281
-1
-1
Benar
0.871148
0.906931
0.576007
-1
-1
Benar
0.887955
0.967773
0.603015
-1
-1
Benar
Tabel 4.3. Nilai keluaran untuk pengujian data sampel 2 Nilai Perimeter
Nilai Luas
Nilai Rasio
Target
Nilai Keluaran
Ket.
0.818182
0.85113
0.575836
-1
-1
Benar
0.664141
0.922177
0.768611
-1
-1
Benar
0.757576
0.822689
0.601122
-1
-1
Benar
1
0.971127
0.537563
-1
-1
Benar
0.789916
0.786495
0.550885
-1
-1
Benar
0.764706
0.798824
0.577966
-1
-1
Benar
0.851541
0.835962
0.543159
-1
-1
Benar
12
Hasil penelitian
Tabel 4.4. Nilai keluaran untuk pengujian data sampel 3 Nilai Perimeter
Nilai Luas
Nilai Rasio
Target
Nilai Keluaran
Ket.
0.794595
0.819625
0.78055
1
0.97767 1
Benar
0.824324
0.855991
0.785783
1
0.97758 1
Benar
1
0.97772 1
Benar
Akurasi yang didapatkan dari hasil pengujian sistem menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation sudah cukup baik namun belum mencapai nilai sempurna. Hal ini dapat disebabkan jumlah data input pelatihan sistem masih tergolong sedikit sehingga tidak cukup dapat membuat sistem pintar. Selain itu, nilai fitur masukan yang digunakan masih kurang dapat membedakan target. Sehingga beberapa data citra hasil sistem tidak dapat diklasifikasikan dengan baik.
5. Kesimpulan dan Saran 0.818919
0.856558
0.791494
5.1. Kesimpulan
0.583333
0.979923
0.929882
-1
1
Salah
0.512626
0.926079
1
-1
1
Salah
0.954545
0.869542
0.504251
-1
-1
Benar
0.792929
1
0.698101
-1
-1
Benar
Tabel 4.5. Nilai keluaran untuk pengujian data sampel 4 Nilai Perimeter
Nilai Luas
Nilai Rasio
Targe t
Nilai Keluaran
0.721622
0.89312
0.936551
1
0.99997 1
Benar
0.735135
0.971484
1
1
0.99665 1
Benar
0.748649
0.78065
0.789059
1
1
Benar
0.789189
0.934822
0.896353
1
0.9996 1
Benar
0.764865
0.812155
0.803499
1
1
Benar
1
1
0.756713
1
0.95413 1
Benar
0.924324
0.757478
0.620122
1
0.87627 1
Benar
Ket.
Ditinjau dari nilai keluaran untuk pengujian data sampel 1 – 4 maka dapat diketahui dari total jumlah 28 data yang diujikan dihasilkan nilai keluaran 2 data salah dan 26 data benar. Atau jika dikalkulasikan maka didapatkan akurasi sebesar 92,85%.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Dari seluruh hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan, bahwa : 1. Program pengolahan citra CXR menggunakan metode median filtering dan ekualisasi histogram serta program segmentasi citra menggunakan metode active contour : snake secara umum dapat dirancang dan dijalankan dengan baik, walaupun terdapat kekurangan pada hasil proses cropping yaitu masih terliputi bagian tulang yang tidak diperlukan. 2. Proses segmentasi citra menggunakan metode active contour : snake berhasil dilakukan dan ditunjukkan dengan kurva snake yang membentuk pola citra paru – paru pada keadaan normal, adanya kelainan, dan adanya tumor. 3. Uji citra hasil sistem jika dibandingkan dengan hasil diagnosis dokter memperoleh nilai akurasi sebesar 92,85%. Nilai akurasi tersebut sudah cukup baik walau masih di bawah target yang diinginkan yaitu sebesar 98%.
5.2. Saran Dalam melakukan penelitian ini masih kekurangan yang dapat dilengkapi pada penelitian selanjutnya, seperti : 1. Mencari metode yang lebih baik dalam melakukan preprocessing citra agar didapatkan citra dengan bagian paru – paru saja tanpa meliputi bagian lainnya seperti tulang. 2. Melanjutkan penelitian pengembangan proses segmentasi citra paru – paru dengan tumor menggunakan metode active contour : snake untuk membentuk dua pola kurva atau lebih yang bertujuan untuk menunjukkan pola tumor pada paru - paru jika berjumlah lebih dari satu. 3. Dalam usaha meningkatkan nilai akurasi uji hasil sistem dengan diagnosis dokter agar dapat mencapai atau melebihi target bisa dilakukan eksperimen beberapa hal di bawah ini:
13
Hasil penelitian
•
Menentukan nilai fitur citra dari aspek lain yang lebih dapat membedakan masing – masing kategori citra. • Menambahkan jumlah data penelitian sebanyak > 30 data, sehingga data pelatihan yang digunakan cukup dapat membuat sistem pintar. 4. Selain itu juga dapat dilakukan pengembangan dalam pengujian sistem secara apple to apple, yaitu pengujian citra awal dan citra akhir hasil pengolahan dan proses segmentasi yang dilakukan masing – masing oleh dokter dan komputer untuk mengetahui perbandingannya.
Referensi [1] T. M. Deserno, H. Handels, K. H. Maier-Hein, S. Mersmann,
C. Palm, and T. Tolxdorff (2013) “Viewpoints on Medical Image Processing: From Science to Application.,” Curr. Med. Imaging Rev., vol. 9, no. 2, pp. 79–88. [2] W. S. H. M. Wan Ahmad, W. M. D. W Zaki, and M. F. Ahmad Fauzi (2015) “Lung segmentation on standard and mobile chest radiographs using oriented Gaussian derivatives filter,” Biomed. Eng. Online, vol. 14, no. 1, pp. 1–26. [3] N. Wulandari, A. Hidayatno, and R. Isnanto (2011) “Identifikasi Tumor Pada Jaringan Sekitar Tulan dan Paru Paru Menggunakan Segmentasi Berdasar Aras Keabuan Citra,” pp. 2–9. [4] K. Lavanya (2012) “Segmentation of Lungs , Fissures , Lobes from Chest CT Images and Analysis,” Int. J. Electron. Commun. Comput. Technol., vol. 2, no. 5, pp. 208–212. [5] A. Mardhiyah and A. Harjoko (2012) “Metode Segmentasi Paru-paru dan Jantung Pada Citra X- Ray Thorax,” vol. 1, no. 2, pp. 35–44. [6] N. Maulida, D. F. Paramitha, and E. A. Sukarno (2013) “Klasifikasi Kanker Paru-Paru Menggunakan Pengolahan Citra,” vol. 2, no. 1. [7] P. V. V. Kishore, S. Kumar, Y. S. Reddy, J. K. Chaitanya, and M. V. D. Prasad (2014) “Tumor Identification in CT Medical Images using Semi Automatic Active contour Models,” Int. J. Comput. Appl., vol. 96, no. 17, pp. 8–14. [8] R. C. Gonzalez and R. E. Woods (2002) Digital Image Processing, Second. New Jersey: Prentice Hall. [9] R. S. Naibaho (2014) “Peningkatan Kualitas Citra Dengan Pemanfaatan Ekualisasi Histogram Pada Citra Medis (Citra Rontgen Hidung),” Maj. Ilm. Inf. dan Teknoogi Ilm., vol. II, pp. 105–114. [10] R. Munir (2004) Pengolahan Citra Digital dengan Pendekatan Algoritmik. Bandung: Informatika. [11] Muhtadan and D. Harsono (2008) “Pengembangan Aplikasi Untuk Perbaikan Citra Digital Film Radiografi,” Semin. Nas. IV SDM Tenaga Nukl., pp. 25–26. [12] W. M. Nabella, J. Sampurno, and Nurhasanah (2013) “Analisis Citra Sinar-X Tulang Tangan Menggunakan Metode Thresholding Otsu Untuk Identifikasi Osteoporosis,” Positron, vol. III, no. 1, pp. 12–15.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
[13] S. Cahyaningsih (2010) “Deteksi Osteoporosis Dengan Thresholding Metode Otsu Pada Citra X-Ray Tulang Rahang,” UIN : Malang. [14] M. Kass, A. Witkin, and D. Terzopoulos (1988) “Snakes: Active contour models,” Int. J. Comput. Vis., vol. 1, no. 4, pp. 321–331. [15] M. A. Ulinuha, I. K. E. Purnama, and M. Hariadi (2010) “Segementasi Optic Disk pada Penderita Diabetic Retinopathy Menggunakan GVF Snake,” ITS Libr. [16] A. Ben Slama, A. N. Machraoui, and M. Sayadi (2014) “Pupil tracking using active contour model for videonystagmography applications,” IEEE Int. Image Process. Appl. Syst. Conf. [17] N. E. Jacob and M. V. Wyawahere (2013) “Tibia Bone Segmentation in X-ray Images - A Comparative Analysis,” Int. J. Comput. Vis., vol. 76, no. 9, pp. 34–41. [18] S. Kusumadewi (2004) Membangun Jaringan Saraf Tiruan Menggunakan MATLAB & Excel Link, Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. [19] A. A. Abdullah and S. M. Shaharum (2012) “Lung Cancer Cell Classification Method Using Artificial Neural Network,” Inf. Eng. Lett., vol. 2, no. 1, pp. 49–58.
14
Hasil penelitian
Penerapan Standar Keselamatan Lingkungan Magnetic Resonance Imaging (MRI) Ernia S1, Ahyahudin S2, Cholid B3 1,2,3
Program Studi Teknologi Biomedis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Gedung IASTH Lt.4, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat 10430 Tel. +62-21-3155535 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Keselamatan pasien merupakan isu yang mendapat perhatian pemerintah dan tertuang dalam UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan UndangUndang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan peralatan radiologi diagnostik yang tidak mengandung radiasi pengion. Hal tersebut tentunya tidak serta merta menjadikan alat ini bebas dari potensi bahaya baik bagi pasien maupun pihak lain yang berada di sekitar peralatan MRI. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik purposive sampling mengacu pada standar lokal/nasional yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KMK) 410/MENKES/SK/III/2010 dan standar internasional yaitu American Collage of Radiology (ACR). Hasil penilaian menunjukkan bahwa standar ACR jauh lebih aplikatif dibandingkan dengan standar lokal. Ketersediaan elemen perangkat keselamatan ACR dapat terpenuhi oleh semua rumah sakit sumber data dengan nilai perolehan bervariasi antara 76,5%-82,3%, sedangkan elemen perangkat keselamatan pada standar KMK 410/2010 hanya dapat terpenuhi sebagian rumah sakit sumber data dengan nilai perolehan antara 40%60%. Hal tersebut tentunya perlu menjadi masukan bagi Kementerian Kesehatan untuk untuk mengkaji dan mengevaluasi kembali KMK 410/2010 sebagai standar pelayanan radiologi diagnostik khususnya terkait pelayanan MRI di sarana pelayanan kesehatan. Katakunci - Potensi bahaya, fasilitas MRI, keselamatan pasien, standar keselamatan, perangkat keselamatan.
1. Pendahuluan MRI merupakan alat kedokteran diagnostik yang dapat menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh manusia. MRI memiliki kemampuan menghasilkan gambaran jaringan lunak secara axial, coronal dan sagittal tanpa mengubah posisi tubuh pasien.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Perkembangan teknologi dan pemanfaatan MRI berkembang begitu pesat sejak dikembangkannya teknologi magnet superkonduktor. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia tetapi juga di Indonesia, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Teknologi magnet superkonduktor yang saat ini terbanyak digunakan adalah jenis magnet superkonduktor berkekuatan 1.5T (15,000 Gauss) dan tidak menutup kemungkinan bila pemanfaatan kekuatan magnetnya akan terus berkembang mengikuti kebutuhan pelayanan kesehatan. Terbukti saat ini banyak ditemui rumah sakit di wilayah DKI Jakarta yang memiliki atau meng-upgrade layanannya dengan layanan MRI 3T. Teknologi MRI yang berkembang pesat dan pemahaman bahwa alat ini tidak mengandung radiasi pengion, tidak serta merta menjadikan alat ini bebas dari potensi bahaya. Isu-isu keselamatan terkait medan magnet utama, medan magnet gradien, dan radiofrekuensi (RF) yang dimanfaatkan untuk penggambaran penampang tubuh dalam pencitraan medis serta zat cyrogenic harus dipertimbangkan dan menjadi perhatian [6]. Semakin tinggi teknologi magnet yang digunakan maka semakin besar potensi bahaya yang dapat terjadi. Potensi bahaya MRI tidak hanya dapat terjadi pada pasien tetapi juga pihak lain seperti keluarga pasien, staff rumah sakit, teknisi keagenan dan petugas outsourcing yang berada di dekat peralatan MRI. Fasilitas MRI merupakan layanan kesehatan yang padat mutu serta padat resiko, sehingga tidak mengherankan kejadian tidak diinginkan (KTD) dan kejadian nyaris cedera (KNC) dimungkinkan dapat terjadi. Phin (2001) menyatakan bahwa kebijakan dan prosedur yang memadai harus dikembangkan dan dipatuhi untuk memastikan kondisi aman pada fasilitas MRI [13]. Penilaian penerapan keselamatan lingkungan MRI dilakukan melalui studi kasus pada rumah sakit di wilayah DKI Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik purposive sampling. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan perangkat keselamatan lingkungan tersedia pada fasilitas MRI rumah sakit dan mengetahui literatur standar keselamatan yang lebih aplikatif untuk diterapkan di lingkungan fasilitas MRI. Standar keselamatan yang
15
Hasil penelitian
digunakan mengacu standar internasional (ACR) dan standar nasional (KMK 410/2010). Ruang lingkup perangkat keselamatan yang dinilai difokuskan pada ketersediaan perangkat keselamatan lingkungan MRI dari zone I hingga zone IV sebagaimana yang didefinisikan oleh standar American College of Radiology (ACR).
2. Tinjauan pustaka 2.1. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pada awalnya MRI dikenal dengan nama Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Hal ini disebabkan prinsip dasar MRI bersumber pada pemanfaatan nukleus bermuatan positif atau proton yang berinteraksi dengan gelombang radio didalam suatu medan magnet yang sangat kuat. Namun karena persepsi masyarakat luas yang negatif terhadap nuklir maka NMR diganti menjadi Magnetic Resonance Imaging (MRI). Secara garis besar, MRI terdiri dari hardware dan software pendukung. Hardware pada MRI berfungsi sebagai pengolah data dan sebagai sumber dari Radio Frequency. Secara ringkas saat proses pembentukan gambar pada MRI, proton akan melewati 3 (tiga) fase, yaitu gerakan presisi, resonansi dan relaksasi. Setelah melewati tiga fase tersebut maka proton akan memancarkan sinyal yang dikenal dengan nama Free Induction Decay (FID). Kemudian sinyal FID ini akan diterima oleh antena berbentuk coil sebagai raw data dan dikirim ke sisitem komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar digital. Blok diagram MRI ditampilkan pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram blok MRI
2.2. Potensi bahaya MRI Peralatan MRI memiliki potensi bahaya yang cukup besar. Menurut ECRI (2001), potensi bahaya terbesar dari pemanfaatan MRI karena adanya induksi kekuatan medan magnet utama, pemanasan RF (radio frekuensi) dan adanya kerusakan pada sistem MRI [1].
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Sedangkan berdasarkan hasil Penelitian Sawyer (2008), faktor penyebab KTD/KNC terbanyak yang diakibatkan dari pemanfaatan MRI adalah : metal / logam besi yang masuk ke ruang magnet, pasien dengan peralatan medis atau implan yang tidak aman digunakan saat pemeriksaan MRI berlangsung; dan luka bakar akibat RF karena penggunaan coil, kabel dan peralatan pemantau yang tidak tepat serta adanya gangguan/kerusakan pada fungsi perangkat keras dan piranti lunak pada sistem MRI. Berikut adalah potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari peralatan MRI: a) Potensi bahaya medan magnet utama. Medan magnet utama selalu berada dalam keadaan aktif (ON) meskipun sedang tidak digunakan sehingga hal tersebut dapat menimbulkan potensi bahaya yang signifikan. Dokter dan petugas harus waspada adanya penggunaan peralatan dan perangkat medis serta peralatan lainnya yang membutuhkan perhatian lebih saat bendabenda tersebut berada di dekat medan magnet utama dari unit MRI. Potensi bahaya dari kekuatan induksi medan magnet utama dapat menimbulkan tenaga translasi dan torsi pada benda-benda yang mengandung unsur ferromagnetik. b) Potensi bahaya medan magnet gradient. Medan magnet dari sistem MRI juga dapat menginduksi arus yang ada dalam benda yang mengandung bahan konduktor bila benda tersebut berada pada bagian dalam lubang gantry (bore) MRI saat proses pemindaian berlangsung. Induksi yang terjadi dapat menyebabkan pemanasan pada bahan konduktor tersebut sehingga hal tersebut dapat menyebabkan luka bakar pada pasien jika bahan konduktor tersebut kontak dengan tubuh pasien. c) Potensi gangguan pendengaran. Proses pemeriksaan MRI juga berpotensi menimbulkan risiko pendengaran bagi pasien. Hal tersebut bersumber dari medan magnet saat prosedur pemeriksaan MRI berlangsung. Kebisingan bunyi terjadi saat radiografer memodifikasi parameter pencitraan MRI sehingga mengakibatkan adanya perubahan yang cepat dari arus dalam kumparan gradien. Perubahan output gradien menyebabkan tingkat kebisingan yang bervariasi. Selain ketergantungan pada parameter pencitraan, kebisingan juga tergantung pada sistem MRI: hardware, konstruksi, dan lingkungan sekitarnya. HPA menyatakan bahwa tingkat kebisingan yang dapat ditimbulkan oleh semua merk scanner MRI dapat melebihi 85 dB(A) dan sulit dalam prakteknya untuk mengukur atau memprediksi tingkat kebisingan dalam setiap urutan proses pemeriksaan yang sedang berjalan. Kebisingan dapat menimbulkan masalah khusus untuk kelompok pasien tertentu. Sebagai contoh, pasien dengan gangguan kejiwaan yang dapat menjadi bingung atau menderita kecemasan yang meningkat karena paparan keras. (ECRI, 2001).
16
Hasil penelitian
d) Potensi bahaya zat cryogenic. Saat ini, semua magnet superkonduktor menggunakan zat cyrogenic berupa helium cair untuk menjaga kumparan magnet pada suhu yang memungkinkan terjaganya sifat superkonduktivitas (resistansi pada material kawat adalah nol). Suhu yang dibutuhkan untuk zat cryogenic ini sangatlah dingin. Suhu helium cair adalah sekitar -269 0C atau 4.170K dan kondisi tersebut harus selalu terjaga agar sifat magnet dari bahan super konduktor yang digunakan tidak hilang [3]. Apabila volume helium cair dibawah standar yang ditetapkan maka akan terjadi peristiwa quench (hilangnya sifat magnet pada magnet). Namun, quench dapat digunakan untuk alasan keselamatan. Hal ini bisa dilakukan bilamana terjadi keadaan pasien terhimpit oleh logam dengan kapasitas besar/berat seperti tabung gas dan dapat membahayakan nyawanya. Potensi bahaya lain yang dapat ditimbulkan menurut Hamza (2013) antara lain: cryo-burns , sesak nafas (asphyxiation), dan pengembunan oksigen pada pipa-pipa salurannya saat dipindahkan yang dapat menyebabkan bahaya kebakaran (bukan karena adanya api, melainkan karena suhunya yang terlalu dingin). e) Potensi artefak. Artefak yang ditemukan saat pemeriksaan MRI dapat disebabkan karena adanya implant medis atau benda asing yang mengandung ferromagnetik yang sebelumnya tidak teridentifikasi. Bila terjadi demikian, pemeriksaan perlu dihentikan dan pasien harus di-skrining ulang untuk menyingkirkan benda tersebut (bila memungkinkan) atau dilakukan identifikasi risiko sebelum terjadinya potensi bahaya efek torsi terhadap benda tersebut (“Magnetic Resonance”, 2009). Hal ini dapat dicegah bila dokter dan petugas sudah waspada. f) Potensi ketidaknyamanan pasien. Menurut bulletin WIllisHRH (2009), ketidaknyamanan pasien dapat disebabkan antara lain karena desain MRI dengan model gantri silinder (tertutup) dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien claustrophobic, timbulnya bunyi keras, cahaya berkedip dan hal lainnya yang dapat dirasakan oleh pasien, dan hal lain terkait kondisi pasien.
KMK 410/MENKES/SK/III/2010 merupakan perubahan dari KMK No. 1014/MENKES/SK/XI/2008 tentang standar pelayanan radiologi diagnostik di sarana pelayanan kesehatan. Standar ini merupakan standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yang digunakan sebagai acuan, tolak ukur dan pedoman bagi pelayanan MRI masuk dalam pelayanan imejing diagnostik bersama alat USG. KMK 410/2010 berisi tentang mutu pelayanan radiologi diagnostik di sarana kesehatan, jenis, kelengkapan alat, komponen pendukung, alat monitoring keselamatan dan proteksi, parameter kendali mutu, alat kendali mutu, dan jumlah untuk setiap jenis peralatan yang digunakan di sarana pelayanan kesehatan. Tabel 1. Standar KMK 1014/2008 vs KMK 410/2010
Kelengkapan Kepmenkes 1014/2008
• • •
•
Min. 1.5T Dicom 3 compliance Neuroradiolo gy, oncology pediatric, musculo sceletal, cardiology, spectroscopy dilengkapi dengan work station, injector, metal detektor
Kelengkapan Sesuai Kepmenkes 410/2010 Komponen Pendukung
Alat Monitoring Keselamatan dan Proteksi
Alat Kendali Mutu
• Printer film/ paper • CD / DVD
• Metal detektor • Electrical safety analyzer (ESA) • Gauss meter • Monitor ECG dan Saturasi O2
• Gauss meter • RF Meter • Phantom Kalibrasi
2.3. Standar keselamatan Standar keselamatan yang digunakan dalam menilai ketersediaan perangkat keselamatan yang dipersyaratkan adalah standar KMK 410/MENKES/SK/III/2010 sebagai standar lokal/nasional dan standar American College of Radiology (ACR).
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
American College of Radiology (ACR) dibentuk pada tahun 1923, merupakan asosiasi medis profesional nonprofit yang terdiri dari ahli radiologi diagnostik, ahli onkologi radiasi, ahli radiologi intervensional, dokter kedokteran nuklir, dan fisikawan medik.
17
Hasil penelitian
Organisasi ini berkantor pusat di Reston, Virginia. Organisasi ini juga menerbitkan The Journal of American College of Radiology (JACR) dan The ACR Bulletin. Pada bulan November 2001, ACR membentuk suatu panel ahli, yang diketuai oleh Dr. Emanual Kanal yang bertujuan untuk mengembangkan suatu dokumen yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk fasilitas MRI [9]. Pedoman ini disusun berdasarkan laporan-laporan insiden yang terjadi dan diangkat oleh media dan literatur medik. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran bahwa potensi risiko dapat terjadi pada siapapun yang berada di lingkungan MRI. Rekomendasi dalam pedoman ditujukan untuk menjaga keselamatan semua individu yang berada dalam lingkungan MRI. Pedoman yang ada selalu direvisi dan diperbarui untuk menyertakan isu-isu keselamatan baru. Publikasi pertama untuk pedoman ACR safety practice diterbitkan pada bulan Juni 2002, kemudian diperbaharui kembali di tahun 2004. Panel terus memperbarui pedoman tersebut dan saat ini versi terbarunya adalah ACR safety practice 2013. Semua lingkungan fasilitas MRI disarankan untuk memberlakukan kebijakan atau pedoman keselamatan American College of Radiology (ACR) pada fasilitas lingkungan MRI [9]. Hal ini dikuatkan kembali dengan rekomendasi FDA pada MRI Safety Public Workshop 2011 yang menetapkan standar ACR sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pada fasilitas MRI. Rumah sakit pengguna MRI harus menetapkan, mendokumentasikan dan menerapkan kebijakan atau pedoman terkait protokol keamanan dan keselamatan di lingkungan fasilitas MRI. Protokol keamanan harus ditinjau dan dievaluasi kembali oleh pejabat terkait secara berkala dan atau mengikuti setiap perubahan dalam lingkungan MRI. Hal ini ditujukan agar kebijakan yang ada selalu menyesuaikan perubahan-perubahan signifikan yang diperlukan dan dilakukan dalam parameter keamanan lingkungan MRI. Standar-standar yang ada dibuat dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien dan lingkungannya dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Isu ini sangat mendapat perhatian pemerintah dan tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Menurut Henner dan Servomaa (2010), faktor utama yang mempengaruhi praktik keselamatan di unit MRI salah satunya adalah pemahaman dan sikap petugas selain gaya manajemen sehingga seorang radiografer profesional yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan ilmu akan sangat berperan dalam penanggulangan potensi bahaya yang dapat terjadi di lingkungan fasilitas MRI [5]. Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Agar sikap dapat menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor dukungan atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah ketersediaan fasilitas/peralatan. Ketersediaan peralatan yang memadai yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi rumah sakit serta memperhatikan praktek keselamatan merupakan faktor selanjutnya yang diperlukan dalam penerapan keselamatan pasien.
3. Metode Secara keseluruhan, penelitian didesain dengan pendekatan metode campuran (mixed methods) triangulasi konkuren dalam bentuk studi kasus kolektif (collective case study). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling pada 4 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta yang menggunakan fasilitas MRI 1.5T. Desain ini dipilih dengan tujuan meneliti aspek-aspek pendukung keselamatan lingkungan antara lain adalah pemahaman petugas (radiografer), ketersediaan perangkat keselamatan lingkungan dan kepatuhan petugas terhadap prosedur yang kesemuanya mengacu pada pedoman/standar yang berlaku. Waktu penelitian berlangsung dari Pebruari s/d Mei 2015. Untuk menilai aspek yang mendukung keselamatan lingkungan MRI yaitu perangkat keselamatan lingkungan , Penulis melakukan eksplorasi dengan metode kualitatif dengan cara melakukan observasi kualitatif pada kondisi sesungguhnya di lapangan dan wawancara terhadap informan yang telah ditetapkan pada masing-masing rumah sakit sumber data.
18
Hasil penelitian
Analisis data kualitatif dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan perangkat keselamatan lingkungan tersedia pada fasilitas MRI rumah sakit dan mengetahui literatur standar keselamatan mana yang lebih aplikatif untuk diterapkan di lingkungan fasilitas MRI. Menurut Sugiyono (2011), data kualitatif diperoleh dari reduksi data , menampilkan data dan menguji keabsahan data. Setelah menganalisis data selanjutnya dilakukan keabsahan data kualitatif yaitu dengan cara triangulasi kualitatif (triangu-lasi sumber dan triangulasi metode). Selanjutnya melakukan member cek keabsahan data . Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar 2 dan 3, serta tabel 2 dan 3. Persentase untuk setiap kemungkinan jawa-ban diperoleh dengan membagi frekuensi yang diperoleh dengan jumlah sampel kemudian dikalikan 100%. Rumusnya dijelaskan sebagai berikut : (3.1)
P=
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Karakteristik fasilitas MRI Secara umum, karakteristik fasilitas MRI yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah fasilitas MRI menggunakan teknologi tinggi (>1T) yaitu MRI 1.5T. Merek yang digunakan oleh rumah sakit sumber data adalah merek X dan merek Y dengan rincian 3 (tiga) rumah sakit sumber data menggunakan merek yang sama yaitu merek X sedang 1 (satu) rumah sakit sumber data lainnya menggunakan merek Y. Status kepemilikian dengan persentase 75% (3 rumah sakit sumber data) adalah milik sendiri dan 25% lainnya (1 rumah sakit sumber data) adalah kerjasama operasional (KSO) dengan pihak keagenan. Pemeliharaan alat secara keseluruhan oleh rumah sakit sumber data diserahkan kepada pihak keagenan baik dengan sistem kontrak service maupun KSO.
Ketersediaan Perangkat
Kesesuaian Perangkat Keselamatan Sesuai Standar KMK 410/2010 5 4 3 2 1 0
Tersedia Tidak Tersedia
Jenis Perangkat Keselamatan (6 item)
Ketersediaan Perangkat
Gambar 2. Grafik ketersediaan perangkat keselamatan sesuai standar nasional (KMK 410/2010)
Ketersediaan Perangkat Keselamatan Sesuai Standar ACR 5 4 3 2 1 0
Jenis Perangkat Keselamatan (17 item)
Tersedia Tdk Tersedia
Gambar 3. Grafik ketersediaan perangkat keselamatan sesuai standar internasional (ACR)
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
19
Hasil penelitian
Tabel 2. Hasil Penilaian Perangkat Keselamatan Sesuai Standar ACR Perangkat Keselamatan Sesuai Standar ACR
Ketersediaan di @ Lokasi
Pemenuhan Persyaratan
Catatan
RSA
RS-B
RS-C
RS-D
Memenu hi
Tidak Memenuhi
Manager Risiko
1
1
1
1
4
0
Program Training
1
1
1
1
4
0
Kebijakan/Prosedur Keselamatan
1
1
1
1
4
0
Denah Arsitektur : 4 zona akses
1
1
1
1
4
0
Tanda & Label Keselamatan
1
1
1
1
4
0
Peralatan Medis MR
1
1
1
1
4
0
Perangkat Medis MR
1
1
1
1
4
0
0
0
0
0
0
4
1
1
1
1
4
0
1
1
1
1
4
0
Ferromagnetik Detektor
0
0
0
0
0
4
APD Pendengaran
1
1
1
1
4
0
Alat Monitoring Pasien : CCTV
1
0
1
1
3
1
5 Gauss Skrining Form Baju Ganti Khusus
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Tidak ditunjuk secara khusus ditunjuk tetapi menyatu dengan ketugasan sebagai Kepala Ruang atau Tim K3 (Pasien Safety) Telah masuk dalam program rumah sakit, minimal 1 kali dalam setahun Pada level dokumen tingkat I, kebijakan manajeman hanya menyatakan secara umum terkait keselamatan pada semua unit pelayanan. Kebijakan keselamatan MRI diimplementasikan pada level II dalam bentuk prosedur. Prosedur penanganan pasien dan protokol klinis sebagian besar telah dibuat oleh rumah sakit. Secara arsitektur telah diadopsi disesuaikan dengan ketersediaan lahan. Tidak semua akses menuju zona 1V diatur untuk melalui zona 1II terlebih dahulu. Tanda keselamatan yang digunakan menyesuaikan dengan merek MRI yang digunakan. Hanya sebagian perangkat medis yang diberi label keselamatan. Label keselamatan beragam belum mengacu kriteria ASTM Peralatan medis yang tersedia sesuai persyaratan jenisnya bervariasi. KMK 410/2010 mensyaratkan peralatan medis minimal yaitu SPO2, injector media contrast dan patient monitor Jenis peralatan medis yang tersedia bervariasi, minimal memiliki : brankart dan tiang infus dengan spesifikasi “MR Conditional” Tidak didapati pada 4 rumah sakit sumber data Format form bervariasi untuk masing-masing rumah sakit sumber data Tersedia pada ruang ganti pasien, desain dan warna bervariasi menyesuaikan kebijakan rumah sakit. Ferromagnetik detektor tidak tersedia di semua lokasi tetapi metal detektor konvensional yang tersedia di lokasi penelitian Model earmuff/ear phone tersedia pada semua lokasi, model earplug hanya tersedia dibeberapa tempat. Merek bervariasi sebagai sarana untuk memantau kondisi pasien dan ditujukan untuk meyakinkan bahwa pasien mengetahui dan memahami instruksi yang diberikan radiografer selama proses pemindaian gambar berlangsung. Hanya RS-B yang tidak dilengkapi CCTV.
20
Hasil penelitian
Tabel 2 (Lanjutan). Hasil Penilaian Perangkat Keselamatan Sesuai Standar ACR Phantom Kalibrasi
1
1
1
1
4
0
Tersedia sesuai kebutuhan kalibrasi oleh Radiografer
Sarana Komunikasi : interkom
1
1
1
1
4
0
Disesuaikan dengan merek MRI yang digunakan, jenisnya ada yang dalam bentuk terintegrasi maupun terpisah
1
1
1
1
4
0
Bentuk bervariasi, disesuaikan dengan merek dan tipe MRI yang digunakan
0
0
0
0
0
4
TOTAL
14
14
14
13
55
13
%
82,3
82,3
82,3
76,5
80,8
19,2
Cyrogenic Safety
Tabung Pemadam MR
Bentuk bervariasi, disesuaikan dengan merek dan tipe MRI yang digunakan
Tabel 3. Hasil Penilaian Perangkat Keselamatan Sesuai Standar KMK 410/2010 Perangkat Keselamatan Sesuai Standar KMK410/2010
Pemenuhan Persyaratan
Ketersediaan di @ Lokasi
Catatan
RS-A
RS-B
RS-C
RS-D
Memenuhi
Tidak Memenuhi
ESA
0
0
0
0
0
4
Tidak didapati pada fasilitas MRI sumber data
Gaussmeter
0
0
0
0
0
4
Tidak didapati pada fasilitas MRI sumber data
RF Meter
0
0
0
0
0
4
Tidak didapati pada fasilitas MRI sumber data
Phantom
1
1
1
1
4
0
Tersedia sesuai kebutuhan kalibrasi oleh Radiografer
Peralatan Medis MR
0
0
1
1
2
2
Metal Detektor
1
1
1
1
4
0
Peralatan medis yang tersedia sesuai persyaratan jenisnya bervariasi. KMK 410/2010 mensyaratkan peralatan medis minimal yaitu SPO2, injector media contrast dan patient monitor Tersedia di semua lokasi, tetapi perangkat ini tidak lagi direkomendasi oleh ACR dan JCI. Ferromagnetik detektor lebih direkomendasikan untuk digunakan pada fasilitas MRI
TOTAL %
2 40
2 40
3 60
3 60
10 50
14 50
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
21
Hasil penelitian
4.2. Karakteristik keselamatan MRI
ketersediaan
perangkat
Metode observasi digunakan untuk menilai ketersediaan perangkat keselamatan lingkungan fasilitas MRI yang jenis perangkat keselamatan lingkungannya disusun berdasar-kan pengelompokkan standar yang akan digunakan, yaitu standar yang berlaku di Indonesia yaitu KMK No. 410/2010 dan standar internasional yaitu ACR. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kepatuhan rumah sakit sebagai penyedia layanan MRI terhadap standar yang berlaku. Selain itu penilaian ketersediaan perangkat keselamatan juga dapat digunakan menilai kepatuhan pihak keagenan terhadap standar yang dipersyaratkan dalam keselamatan peralatan MRI. Berdasarkan hasil penelitian, dijelaskan bahwa 3 rumah sakit sumber data menggunakan merek MRI yang sama, yaitu merek X mendapatkan persentase nilai kesesuaian yang sama yaitu 82,3%. Demikian pula dengan pihak keagenan merek Y yang dinilai telah memenuhi kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kedua keagenan telah menerapkan standar keselamatan ACR pada fasilitas MRI yang mereka ageni. Berdasarkan hasil penilaian di 4 rumah sakit sumber data, terdapat perbedaan hasil yang cukup signifikan terkait kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan yang dinilai berdasarkan standar KMK 410/2010 sebagai standar lokal/nasional dan standar ACR sebagai standar internasional. Hasil dijelaskan dalam tabel 4 dan 5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa standar ACR telah diadopsi di 4 (empat) rumah sakit sumber data, sedang untuk standar KMK 410/2010 baru dapat dipenuhi oleh sebagian rumah sakit sumber data. Standar ACR dipandang lebih aplikatif dibanding standar KMK 410/2010. Hal yang menjadi catatan Peneliti adalah pada KMK 410/2010 mensyaratkan beberapa alat proteksi dan keselamatan serta alat kendali mutu yang cukup sulit dipenuhi oleh rumah sakit penyedia fasilitas MRI. Beberapa hal yang perlu menjadi faktor pertimbangan untuk meninjau kembali persyaratan ketersediaan alat seperti gaussmeter, RF meter dan electrical safety analyzer (ESA) antara lain adalah nilai investasi alat tersebut yang jumlahnya cukup besar dan tidak bisa dibilang murah, bervariasi tergantung fitur dan tingkat akurasi yang ditawarkan. Dampak langsung dari ketersediaan alat tersebut terhadap keselamatan lingkungan MRI tidak terlalu berpengaruh karena alat lebih banyak diperlukan saat prainstalasi dan instalasi oleh seorang BMET (biomedical engineering technician) terlatih dan kompeten.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
ESA adalah alat yang digunakan untuk mengukur keselamatan listrik peralatan medis termasuk didalamnya arus bocor, kualitas isolasi dan pembumian. Pada MRI, peralatan ESA tidak dibutuhkan karena MRI termasuk peralatan yang tidak memiliki kontak langsung dengan pasien. Alat ESA pada MRI hanya diperlukan saat pembuatan sangkar faraday untuk menentukan kualitas isolasi dan pembumian (grounding). RF Meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat radiofrekunsi. MRI 1,5T menggunakan radiofrekuensi sebesar 42 MHz dalam operasionalnya. Peneliti melihat bahwa fungsi RF meter hanya diperlukan untuk mengetahui berapa ukuran radiofrekuensi yang dikeluarkan oleh MRI. Pengaruh langsung terkait nilai terukur tersebut tidak berdampak langsung terhadap keselamatan MRI. Alat ini secara fungsi lebih cocok dimiliki oleh pabrik pembuat MRI dibanding oleh keagenan apalagi rumah sakit. Sebenarnya peralatan MRI telah melengkapi peralatannya dengan pengaturan SAR (specific absorbance rate) limit yang akan mempengaruhi efek hangat/panas yang akan dirasakan oleh tubuh pasien. Sehingga dalam hal akan melakukan proses pemindaian gambar, radiografer wajib mengisi berat badan pasien dengan toleransi ± 10%. Jika radiografer tidak mengisikan data berat badan pada kontrol monitor maka alat akan interlock. Selain itu peringatan bila nilai SAR melebihi batas akan selalu muncul di layar monitor untuk mengingatkan radiografer saat melakukan perubahan sequence. Standar IEC menyatakan bahwa kemampuan radiografer dalam prosedur pengoperasian alat dan ketepatan menentukan sequence pemeriksaan dari protokol klinis yang akan dilakukan merupakan hal mendasar dalam meminimalisir karakteristik radiofrekuensi di MRI . Gaussmeter digunakan untuk mengukur kuat medan magnet dan diperlukan saat instalasi alat MRI oleh keagenan untuk menentukan garis 5G pada lantai ruang magnet (zona 4) MRI (Green). Bila dilihat dari dasar fungsi alat, sebenarnya gaussmeter hanya diperlukan saat instalasi alat oleh keagenan dalam menentukan garis batas 5G di ruang zona 4. Garis batas tidak akan berubah selama tidak terjadi perubahan seperti penggantian alat dan perubahan posisi alat (Green). Dari dasar tersebut sebenarnya alat ini lebih wajib dimiliki oleh keagenan alat MRI dibanding oleh rumah sakit. Tetapi rumah sakit (radiografer) wajib mengetahui terkait fungsi garis batas 5G sehingga saat pengadaan MRI hal tersebut dipersyaratkan dalam dokumen pengadaan dan keagenan wajib memenuhinya. Garis 5G (gauss) atau (0.0005T) dalam lingkungan MRI, membagi lingkungan menjadi daerah yang aman dan tidak aman. Lingkungan di mana kekuatan medan magnet kurang dari 5G umumnya dianggap aman [9]. Daerah yang memiliki kekuatan medan magnet statis yang melebihi 5 G merupakan daerah yang berpotensi berbahaya.
22
Hasil penelitian
Rekomendasi standar ACR terkait hal tersebut adalah tersedianya batas atau garis penanda 5G yang jelas di ruangan baik dibuat dalam bentuk permanen (pembeda warna lantai yang kontras) ataupun non permanen (stiker). 5G juga dapat digunakan sebagai strategi untuk memastikan peralatan yang berpotensi tidak aman tidak diletakkan terlalu dekat dengan medan magnet utama. Hal ini dinilai dapat menimbulkan perhatian lebih dari petugas di lingkungan MRI terhadap peralatan yang berpotensi tidak aman . Pada lingkungan MRI 3T hingga 7T, garis batas 5G wajib tersedia karena mengingat besarnya kuat magnet yang ditimbulkannya. Berdasarkan pernyataan tersebut terkait dengan penelitian ini, ketersediaan garis batas 5G pada MRI 1,5T dapat ditoleransi. Tetapi keselamatan MRI harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Pengamanan berlapis akan menjamin keselamatan pasien dan individu yang ada disekitarnya. ACR saat ini tidak lagi merekomendasikan metal detektor konvensional tetapi lebih menganjurkan penggunaan sistem deteksi feromagnetik sebagai tambahan untuk skrining menyeluruh dan lebih teliti bagi orang ataupun perangkat yang akan memasuki zona 4. Seperti namanya, sistem deteksi feromagnetik selektif mendeteksi benda-benda feromagnetik dan mengabaikan item non ferromagnetik. Bahan non ferromagnetik seperti aluminium dan tembaga tidak akan terdeteksi oleh FMDS. Dengan demikian, FMDS hanya akan memberikan alarm pada obyek yang berpotensi akan menimbulkan interaksi dengan medan magnet. Berbagai versi dari FMDS saat ini yang tersedia antara lain adalah : sistem portal/gate, perangkat pilar, atau versi genggam. Tabung pemadam yang tersedia di fasilitas MRI tidak memiliki kompatibilitas MRI sehingga hanya dapat digunakan maksimal hingga zona 3 dengan pengawasan radiografer dan dilarang untuk dibawa masuk ke zona 4. Pelabelan sesuai kriteria ASTM sangat direkomendasikan selain pemasangan tanda keselamatan pada pintu masuk zona 4.
5. Kesimpulan Penilaian terhadap kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan sesuai pedoman menunjukkan bahwa standar ACR lebih aplikatif dibandingkan standar KMK 410/2010, hal ini didasarkan pada hasil penilaian yang menunjukkan bahwa keempat rumah sakit sumber data dinyatakan memenuhi kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan sesuai standar ACR dengan perolehan nilai persentase yang sama untuk RS-A, RS-C dan RS-D yang menggunakan MRI dengan merek “X”, yaitu : 82,3 % sedangkan RS-B : 76,5%. Gambaran diatas juga menunjukkan bahwa perusahaan keagenan MRI yang mereknya digunakan pada rumah sakit sumber data telah mengadopsi dan menerapkan standar ACR pada fasilitas MRI yang mereka ageni.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Standar yang diterapkan pun sama pada semua fasilitas MRI. Hal ini diwakili dengan data yang ditunjukkan pada 3 rumah sakit sumber data yaitu RS-A, RS-C dan RS-D yang menggunakan merek yang sama yaitu merek “X” pada fasilitas MRI-nya. Hanya sebagian rumah sakit sumber data yang dinyatakan memenuhi kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan sesuai standar KMK 410/2010 yaitu RS-C dan RS-D dengan nilai persentase : 60% sedang RS-A dan RS-B dinyatakan belum memenuhi kesesuaian ketersediaan perangkat keselamatan sesuai standar KMK 410/2010. Rumah sakit perlu mengembangkan dan mematuhi kebijakan keselamatan MRI untuk memastikan kondisi aman pada fasilitas MRI. Hal-hal yang belum terlaksana dan belum terpenuhi perlu dikaji ulang agar penerapan keselamatan MRI benar-benar dilaksanakan sesuai kebijakan dan pedoman yang berlaku. Dalam hal pengadaan peralatan MRI, rumah sakit perlu memilih keagenan yang tepat dan menitikberatkan komitmen keagenan dalam mendukung penerapan keselamatan MRI mengingat perannya yang sangat besar dalam proses pra-instalasi hingga alat MRI dioperasionalkan serta menanamkan pemahaman petugas akan kepedulian terhadap keselamatan MRI. Dengan perkembangan yang ada saat ini dan adanya rekomendasi Food Drugs Administration (FDA) dalam MRI Safety Public Workshop 2011, Kementerian Kesehatan perlu mempertimbangkan untuk mengkaji dan mengevaluasi kembali KMK 410/2010 sebagai standar pelayanan radiologi diagnostik khususnya terkait pelayanan MRI di sarana pelayanan kesehatan dengan mengacu pada standar ACR sebagai template dalam penerapan praktek aman pada keselamatan lingkungan fasilitas MRI.
Referensi [1] [2] [3]
[4]
[5]
[6]
ECRI. (2001). The safe use of equipment in the Magnetic Resonance Environment. Health Devices, vol. 30. Enderle, Blanchard, Bronzino. (2005). Introduction to biomedical engineering (2nd edition). USA : Elsevier. Hamza Raheem. (2013). Efficiency enhancement of cooling system for MRI. International Journal of Advanced Research in Computer Science and Software Engineering. India. 12 Mei 2015. www.ijarcsse.com Healthcare Human Factors, University Health Network. (2006). Magnetic resonance imaging environment safety in Ontario. 12 Mei 2015. http://ehealthinnovation.org Henner , Servomaa. (2007). The safety culture as a part of radiation protection in medical imaging. Proceedings of Third European IRPA Congress Helsinki. Hoong, Ahmad, Nizam, Abdullah. (2003). Magnetic resonance imaging : health effects and safety. Proceedings of The International Conference on Non Ionizing Radiation at UNITEN.
23
Hasil penelitian
[7]
JCI. (2008). Preventing accidents and injuries in the MRI suite. Sentinel Event Alert Issue 38 : 14 Februari 2008. 11 Mei 2015. http://www.jointcommission.org/Sentinel Events/SentinelEventAlert/ [8] Johan Overweg. MRI main field magnets. Hamburg, Germany: Philips Research. 17 Mei 2015. http://mriq.com/uploads/3/2/7/4/3274160/main_field_magnets_ismr m2006.pdf [9] Kanal E, et al. (2013). ACR guidance document on MR safe practices : 2013. Journal Of Magnetic Resonance Imaging. Willey Periodical, Inc. 10 Mei 2015. onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jmri.24011/pdf [10] KMK 410 (2010, 25 Maret). Standar pelayanan radiologi diagnostik di sarana pelayanan kesehatan. 10 Mei 2015. http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
[11] MHRA. (2014, November). Safety guidelines for magnetic resonance imaging equipment in clinial use. 12 Mei 2015. http://www.gov.uk [12] Opoku, Antwi & Sarblah. (2013). Assessment of safety standards of magnetic resonance imaging at the korle bu teaching hospital (KBTH) in Accra, Ghana. Imaging and Radioanalytical Techniques in Interdisciplinary Research Fundamentals and Cutting Edge Applications. 12 Mei 2015. http://www.intechopen.com [13] Phin, D. (2001). Workplace safety. general safety policies. 15 Mei 2015. http://www.inc.com/tools/2000/12/ 21572.html [14] Safety guidelines for magnetic resonance imaging equipment in clinical use, safeguarding public health. (2007).Device Bulletin. www.psychologie.hu.berlin.de.
24
Hasil penelitian
Analisis dan Rancangan Computer Assisted Surgery Robot Ortopedi Metode Rod and Screw Corrective Manipulation Rio A1, Boy SS2, Irzan N3 1,2,3
Program Studi Teknologi Biomedis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Gedung IASTH Lt.4, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat 10430 Tel. +62-21-3155535 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas analisis dan perancangan Computer Assisted Surgery (CAS) untuk robot ortopedi yang menggunakan metode Rod and Screw Correcive Manipulation (RSCM) dengan tujuan hasil analisis dan perancangan dapat dipergunakan untuk pembuatan prototipe. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan: analisis kebutuhan, analisis sistem dan perancangan sistem. Hasil penelitian menerangkan bahwa masukan sistem ini didefinisikan sebagai nilai pengukuran yang dilakukan oleh robot ortopedi, dan keluarannya merupakan tampilan pada layar monitor yang memberikan nilai tekanan, besar sudut koreksi tulang belakang dan amplitudo keadaan saraf. Proses untuk mendapatkan keluaran dibuat sesederhana mungkin sehingga proses berjalan cepat dan tepat. Katakunci - Computer Assisted Surgery (CAS), metode Rod and Screw Correcive Manipulation (RSCM)
1. Pendahuluan Saat ini perkembangan teknologi medis di dunia maupun di Indonesia telah berkembang pesat, begitu pula perkembangan teknologi terkait informatika medis juga telah berkembang pesat. Kebutuhan akan adanya robot medis telah tumbuh sejalan kebutuhan akan keakuratan dan kecepatan pada proses operasi tulang belakang. Banyaknya kasus tulang belakang juga merupakan salah satu alasan diperlukannya kecepatan dan ketepatan dalam operasi. Penderita kasus skoliosis ini jumlahnya cukup banyak, beberapa fakta tentang penderita skoliosis disertakan sebagai berikut: a) 0.5% dari populasi di dunia, 1– 2 per 10.000 orang di Eropa, b) umumnya terjadi pada masa remaja, terutama pada perempuan, c) kemiringan ≥10° pada sekitar 2.5% dari kasus pada populasi remaja, d) 5.4 perempuan berbanding 1 laki-laki untuk kemiringan diatas 21°, e) pasien dengan kemiringan 50° pada masa
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
pertumbuhan atau kemiringan 80° pada orang dewasa dapat meningkatkan resiko sesak nafas, f) jarang terjadi akan tetapi ada kasus dimana kemiringan tulang mencapai >100° yang menyebabkan kematian [1]. Kebutuhan akan robot medis juga semakin dirasakan penting setelah dilaksanakan operasi secara manual yang memberikan keterbatasan kemampuan operator dan beban operator oleh radiasi sangat besar yang dialami sendiri oleh dokter ortopedi bersangkutan. Dokter bedah yang melakukan minimal invasive surgery menerima 10 hingga 20 kali radiasi daripada mereka yang melakukan open operations [2]. Meskipun demikian minimal invasive surgery dianggap lebih menguntungkan bagi pasien, dengan bekas sayatan yang lebih kecil, maka bekas luka pun akan lebih kecil, kerusakan jaringan lunak yang lebih sedikit dan kehilangan darah pun lebih sedikit. Selain itu, rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien juga tidak terlalu sakit, penggunaan narkotika pasca operasi juga dapat dikurangi, dengan waktu pemulihan yang lebih cepat membuat waktu tinggal di rumah sakit lebih cepat sehingga pasien dapat segera pulang dan melanjutkan aktivitasnya [3]. Peningkatan kemampuan operator dan untuk mengurangi beban operator terhadap radiasi, maka perlu dikembangkan robot ortopedi besama-sama antara Departemen Orthopaedi dan Traumatologi RSCM dengan Peminatan Informatika Medis, Program Studi Teknologi Biomedis Pascasarjana UI. Akan tetapi meskipun sudah dipermudah dengan bantuan teknologi dalam kegiatan pelayanan kesehatan, masih ditemukan kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan, dan yang menjadi penyebab utamanya adalah buruknya interaksi antara dokter dan komputer [4]. Dalam rangka membantu para dokter dalam mengoperasikan robot ortopedi tersebut akan dibuat Computer Assisted Surgery (CAS) yang ditujukan untuk membantu dokter yang akan mengoperasikan robot tersebut agar terbiasa dengan sistemnya dan memiliki gambaran dalam menggunakan robot ortopedi, sehingga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan kegagalan pada saat proses operasi menggunakan robot tersebut.
25
Hasil penelitian
Salah satu langkah dalam perancangan ini adalah melakukan analisis dan rancangan dari sistem, langkah ini bertujuan untuk mendefinisikan masalah, termasuk di dalamnya mendefinisikan masukan, proses dan keluaran dari sistem yang akan dibangun.
2. Tinjauan pustaka 2.1. Robot medis Didefinisikan sebagai robot yang berfungsi menggantikan kerja dokter dalam melakukan pekerjaan berbahaya dan beracun yang tersusun oleh sistem mekanik yang berkarakteristik seperti manusia dengan kendali komputer [5]. Berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi Computer Assisted Surgery (CAS) dan Robotic Surgery. CAS hanya terdiri atas sensor dan tampilan, sedangkan Robotic Surgery mencakup konstruksi mekaniknya. Pemanfaatan robot medis salah satunya untuk operasi skoliosis. Keunggulan robot ortopedi pada operasi skoliosis adalah akurasi geometrik yang lebih baik, stabil, resistansi terhadap rasiasi dan infeksi tinggi, dan dapat lebih mudah disterilisasi [6].
2.2. Metode Rod and Screw Corrective Manipulation (RSCM) Metode RSCM merupakan metode yang dikembangkan oleh Dr. dr. Rahyussalim, Sp.OT(K) untuk operasi skoliosis tulang belakang. Ciri khusus dari metode ini adalah pembagian struktur tulang belakang untuk kepentingan manipulasi teknik menjadi 3 area, yaitu torakal atas, torakal bawah dan lumbal. Dengan membagi area kerja maka mempermudah dokter untuk fokus memperbaiki posisi tulang setiap area sehingga hasil operasi lebih baik. Teknik RSCM ini dilakukan dengan tahapan: penempatan sekrup pedikel, penempatan rod koreksi, penempatan bar manipulator, maneuver koreksi, penempatan rod penahan, dan penempatan rod penghubung [7].
2.3. Analisis sistem Prof. Dr. Jogiyanto mendefinisikan analisis sistem sebagai penguraian dari suatu sistem informasi yang utuh ke dalam bagian-bagian komponennya dengan maksud untuk mengidentifikasikan dan memberikan evaluasi dari permasalahan, kesempatan, hambatan yang terjadi dan kebutuhan yang diharapkan sehingga dapat diusulkan perbaikan-perbaikannya. Tahapan dasar untuk menganalisa suatu sistem adalah: analisis masalah, analisis persyaratan, dan analisis keputusan [8].
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 1. Tahapan teknik RSCM (1) penempatan sekrup pedikel (2) penempatan rod koreksi (3) penempatan bar korektor (4) manuver koreksi (5) penempatan rod penahan (6) penempatan rod penghubung
2.4. Rancangan Sistem Pengertian rancangan sistem adalah spesifikasi solusi yang terdiri atas masukan, proses dan keluaran, dengan teknologi digital terbaru yang dapat secara jelas memberikan solusi seperti yang diharapkan [9]. Langkah perancangan sistem adalah: merancang arsitektur aplikasi, database sistem, dan antamuka sistem [8].
3. Metode 3.1. Tahapan penelitian Tahapan penelitian dirancang untuk menghasilkan keluaran sesuai yang diinginkan dari masukan yang dimiliki.
26
Hasil penelitian
Tabel 1. Input-process-output tahapan analisis sistem
3.2. Pengumpulan data
Tahapan Analisis Sistem No.
Tahapan
Input
Process
Output
1
Analisis masalah
Permasalahan saat operasi
Mempelajari area masalah, analisis masalah dan peluang, membuat sasaran dan batasan
Sasaran peningkatan sistem
Pengumpulan data dilakukan pada tahap studi literatur, anaisis sistem dan perancangan sistem. Dilakukan dengan sumber, buku, jurnal ilmiah dan internet untuk materi robot medis. Sedangkan untuk metode RSCM diperoleh melalui Dr. dr. Rahyussalim, Sp.OT(K).
4. Hasil 4.1. Analisis sistem
2
Analisis persyaratan
Permasalahan kebutuhan sistem
Menetapkan persyaratan, analisis persyaratan fungsional, melengkapi persyaratan
Pernyataan persyaratan
3
Analisis keputusan
Permasalahan pengambilan keputusan
Menyediakan pilihan solusi, analisa solusi dengan studi kelayakan
Proposal sistem
Ruang lingkup permasalahannya adalah CAS yang akan dirancang memiliki batasan bahwa terbatas untuk operasi ortopedi dengan menggunakan metode RSCM dan informasi yang ditampilkan pada CAS terbatas pada penggunaan alat ukur yang terdaftar (pengukuran tekanan, sudut koreksi, dan keadaan saraf). Analisis persyaratan dibagi 2, yaitu fungsional dan non fungsional. Tabel 3. Analisis persyaratan fungsional No.
Input
Proses
Output
Data tersimpan
1
Besar tekanan
Tekanan pada bar diukur
Tampilan nilai tekanan
Nilai tekanan terukur
2
Derajar kemiringan koreksi
Pengukuran derajat kemiringan
Tampilan sudut kemirngan
Nilai derajat terukur
3
Keadaan saraf
Penggunaan IONM
Tampilan nilai MEP dan SSEP
Nilai-nilai MEP dan SSEP
No.
Kriteria
Keterangan
Tujuan
Batasan sistem
1
Efficiency
Semakin sedikit sumber daya dan kode program yang dibutuhkan sistem untuk menjalankan fungsinya akan semakin baik
Mempersing kat proses operasi pada sistem dalam memberikan informasi
Ada prosesproses dalam pengoperasian sistem yang tidak dapat dipersingkat
2
Timeliness/ Delay
Apabila ada delay dalam menampilkan informasi keadaan operasi, dapat membahayakan keselamatan pasien
Sistem dapat memberikan informasi pada saat itu juga (realtime) tanpa adanya delay.
karena adanya transfer data dan proses, akan tetap ada delay.
Tabel 2. Input-process-output rancangan sistem Tahapan Rancangan Sistem No
Tahapan
Input
Process
Output
1
Perancangan arsitektur aplikasi
Proposal sistem, fakta dan rekomendasi calon pengguna
Analisis model data hasil analisis sistem
Arsitektur aplikasi, flow diagram
2
Perancangan sistem database
Keputusan arsitektur aplikasi
Merancang database sesuai analisis perkembangan kebutuhan
Skema database
3
Perancangan antarmuka sistem
Skema database
Pengumpulan ide dan saran untuk masukan keluaran sistem, pertimbangan factor familiaritas pengguna
Masukan, keluaran, spesifikasi dialog
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Tabel 4. Analisis persyaratan non-fungsional
27
Hasil penelitian
Tabel 4 (Lanjutan). Analisis persyaratan nonfungsional 3
Flexibility
Sistem yang tidak fleksibel tidak dapat dirubah / dimodifikasi sesuai kebutuhan pengguna
Sistem dapat dirubah apabila dibutuhkan, sesuai dengan kebutuhan pengguna
Sistem tidak dapat digunakan selain pada robot ortopedi dengan metode Rod and Screw Corrective Manipulation
4
Reliability
Tingkat keandalan dari sistem yang rendah menunjukkan banyaknya kesalahankesalahan dalam operasi sistem
Meminimalis ir kesalahan dan mempermud ah mengendalik an operasi sistem
Semakin lama sistem beroperasi semakin banyak proses dilakukan sehingga dapat memperlambat kerja sistem
No.
Kriteria
Tujuan
Solusi
Uraian solusi
1
Efficiency
Mempersingkat proses operasi pada sistem
Kode program yang digunakan singkat
Dilakukan oleh programmer
4.2. Perancangan sistem
Tabel 5. Analisis keputusan
2
Timeliness /delay
Sistem dapat memberikan informasi pada saat itu juga (realtime) tanpa adanya delay
Pengkodean yang tepat sehingga hasil sesuai dengan yang diharapkan
Dilakukan oleh programmer
3
Flexibility
Sistem dapat dirubah apabila dibutuhkan, sesuai dengan kebutuhan pengguna
Pengkodean dengan pertimbangan perubahan. Sehingga perubahan kode nantinya tidak merusak sistem.
Dilakukan oleh programmer
4
Reliability
Perencanaan operasi sistem untuk mengurangi kesalahan operasi sistem
Maintenance secara berkala
Dilakukan oleh programmer
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 2. Bagan arsitektur sistem proses pada torakal atas
Gambar 3. Skema database sistem
28
Hasil penelitian
Gambar 4. Bagan dialog antarmuka sistem
CAS merupakan sistem yang ditujukan untuk membantu robot ortopedi dalam melakukan manuver koreksi dengan menggunakan metode RSCM. Robot ortopedi pada metode RSCM ini sendiri dirancang untuk dapat melakukan seluruh proses operasi dimulai dari langkah pertama yaitu penempatan sekrup pedikel agar akurasi menjadi lebih baik, melakukan manuver koreksi agar hasil koreksi tulang belakang bisa maksimal, hingga meletakkan rod penghubung. Sedangkan posisi CAS itu sendiri pada rangkaian robot ortopedi dan metode RSCM dapat dilihat bahwa sistem dibutuhkan untuk mempermudah dokter melakukan pemeriksaan keadaan pasien pada saat robot melakukan tahap manuver koreksi pada metode RSCM ini. Informasi-informasi yang diberikan oleh CAS RSCM tersebut akan mempermudah kerja dokter dalam melakukan operasi terhadap pasien penderita skoliosis. Kenyataan yang dihadapi adalah untuk menciptakan sistem CAS RSCM ini ada banyak bidang keilmuan yang terlibat, maka dari itu untuk menciptakan sistem CAS RSCM ini dibutuhkan kerjasama para tenaga ahli dari berbagai keahlian. Ahli-ahli yang dibutuhkan kurang lebih ada tiga bidang keahlian, yaitu yang pertama adalah ahli informatika medis untuk melakukan analisis dan rancangan dari sistem, yang kedua adalah software engineer sebagai pembuat algoritma untuk perangkat lunaknya dan yang terakhir adalah dokter untuk pematangan konsep, pelaku teknis dan pelaksanaan di ruang operasi.
5.2. Analisis sistem Gambar 5. Tampilan antarmuka sistem CAS
5. Pembahasan 5.1. Analisis kebutuhan
Gambar 6. Hubungan robot ortopedi RSCM, operasi RSCM, dan CAS RSCM.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Solusi dari analisis sistem sebagian besar ada pada pengkodean yang efisien dan tepat, hal ini sesuai dengan metode extreme programming, yaitu metode yang mengutamakan kemudahan bagi pengguna sistem untuk memperoleh informasi, dan juga tidak perlu menambahkan fungsi-fungsi atau fitur lain yang tidak diperlukan atau tidak sesuai dengan tujuan sistem [10]. Analisis solusi tersebut dapat dilihat pada tabel 5 pada bab 4 sesuai kriteria yang diberikan oleh Prof. Dr. Jogiyanto HM. MBA, Akt. pakar dibidang analisis dan rancangan sistem [11]. Efisiensi sistem, dengan tujuan untuk mempersingkat proses operasi yang dilakukan oleh sistem untuk memberikan informasi sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu untuk mendapatkan efisiensi dari sistem maka line of code (jumlah kode) harus bisa seefisien mungkin sehingga proses sistem tidak akan membebani RAM dari komputer yang nanti akan dipergunakan, hal tersebut didukung oleh Edsger W. Dijkstra, seorang peneliti berkebangsaan Belanda dibidang komputer yang mengemukakan bahwa produktivitas seorang programmer bukan dilihat dari seberapa banyak dia mampu menuliskan kode program tetapi seberapa
29
Hasil penelitian
sedikit kode program yang dibuat untuk menghasilkan keluaran yang sama [12]. Kriteria timeliness dari sistem yaitu kemampuan dari sistem untuk menyediakan informasi pada saat sebelum atau pada saat dibutuhkan oleh pengguna, diperoleh melalui pengkodean yang tepat dan pemeliharaan sistem, sehingga apabila diperlukan perubahan yang harus disesuaikan dengan sistem dapat dilakukan dengan segera, karena untuk mendapatkan informasi tanpa adanya waktu tunggu dibutuhkan sistem yang berada dalam keadaan terbaiknya. Analisis ini didukung oleh jurnal Dynamic Adaptation of Real-Time Software, yang menjelaskan bahwa sebuah sistem real-time harus dapat dirubah, bukan secara fungsinya akan tetapi untuk menyesuaikan terhadap timeliness dan realibilitas dari sistem [13]. Kriteria lainnya adalah flexibility atau fleksibilitas dari sistem, yaitu kemudahan sistem untuk dirubah sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Kemungkinan adanya perubahan kebutuhan pengguna selalu ada, maka dari itu pengkodean yang dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut dan membuat kode yang dapat beradaptasi apabila dilakukan perubahan, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemilihan kode yang tepat. Analisis tersebut didukung oleh jurnal Dr. Amnon H. Eden seorang peneliti dibidang komputer yang menjelaskan bahwa pemilihan kode yang tepat dapat meningkatkan fleksibilitas dari sistem karena kode yang tepat dapat beradaptasi dengan baik. Sehingga apabila ada perubahan pengkodean, hanya sebagian kecil kode saja yang perlu dirubah [14]. Kriteria keandalan dari sistem, dinilai penting karena suatu sistem dalam masa kerjanya dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh virus ataupun memori yang penuh. Oleh karena itu untuk mempertahankan keandalan sistem diperlukan maintenance atau perawatan, perawatan dapat dilakukan sebagai pencegahan ataupun sebagai perbaikan. Perawatan sistem untuk pencegahan sebaiknya dilakukan secara berkala, dengan tujuan untuk mendeteksi kelainan-kelainan pada sistem sedini mungkin sehingga sistem tetap pada kualitas terbaiknya dan keluaran yang dihasilkan oleh sistem tetap memiliki akurasi yang baik [15]. Setelah membahas kriteria-kriteria pada tabel analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memenuhi segala kriteria dari sistem diperlukan kemampuan dalam melakukan pengkodean yang efisien yaitu pengkodean yang singkat sehingga tidak memakan memori terlalu besar dalam proses sistemnya dan juga pengkodingan yang tepat sehingga keluaran yang dihasilkan sesuai dengan harapan.
pemrosesan sistem berlangsung singkat sehingga dapat dihasilkan keluaran dengan cepat. Apabila keluaran dapat diterima dengan cepat oleh operator/dokter operasi maka operasi dapat berjalan dengan lebih akurat dan cepat.
Gambar 7. Bagan arsitektur subproses tampilan tekanan Ketiga proses tersebut dibedakan berdasarkan bagian yang dipantau, yaitu bagian torakal atas untuk proses pertama, bagian torakal bawah untuk proses kedua dan bagian lumbal untuk proses yang ketiga. Ketiga proses itu memiliki subproses yang sama, subproses pertama seperti pada gambar 8 adalah merekam nilai tekanan pada bar korektor yang diberikan sebagai masukan dari alat pengukuran tekanan yang digunakan, dan menampilkan informasi tersebut ke layar monitor. Pada perancangan database, database dibagi ke dalam 3 tingkatan atau level, yakni level eksternal, level konseptual dan level internal [16]. Level eksternal database berisi-kan database yang dapat diakses oleh pengguna sistem, level eksternal inilah yang akan menyediakan nilainilai dari pengukuran yang akan ditampilkan pada layar monitor untuk digunakan oleh pengguna sistem. Level konseptual database menjabarkan data-data apa saja yang disimpan di database sistem, untuk sistem ini berisikan spesifikasi dari setiap alat ukur yang digunakan dan nilai keluaran hasil pengukurannya seperti pada gambar 8 di bawah ini.
5.3. Perancangan sistem Pada perancangan arsitektur perangkat lunak dibuat proses menjadi 3 proses yang sesederhana mungkin, agar
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 8. Level konseptual skema database
30
Hasil penelitian
Sedangkan level internal dari perancangan database menjabarkan bagaimana database akan disimpan, dengan kata lain berisikan pengkodean pemrogramannya. Level internal hanya dapat diakses oleh pembuat perangkat lunak untuk menjaga sistem tetap berjalan sesuai dengan kebutuhan dan untuk mempermudah kerja pengguna sistem. Pengguna sistem tidak memerlukan data-data berupa kode-kode program sehingga kode ini tidak perlu ditampilkan kepada pengguna sistem.
Hasil analisis pada kriteria-kriteria analisis sistem serta solusi keputusan juga sudah menjawab permasalahan kebutuhan sistem untuk penggunaan sistem oleh dokter. Hasil perancangan dan analisis dianggap sangat sesuai sehingga apabila prototipe dapat dibuat akan sangat memudahkan kerja dokter. Hal ini didukung oleh jurnal Robot-assisted Surgery: The Future is Here, yang mengungkapkan bahwa dengan adanya robot surgery ini akan meringankan kerja dokter sehinga dokter dapat duduk tidak berdekatan dengan pasien dengan tetap dapat memantau keadaan pasien melalui monitor, dan melanjutkan operasi dengan lebih mudah [18]. 5.4.2. Verifikasi ahli 2 (Informatika Medis)
Gambar 9. Bagian tampilan antarmuka Tampilan awal antarmuka, juga dibuat sesederhana mungkin untuk mempermudah pengguna mengidentifikasi dan menerima informasi yang disediakan. Kesederhanaan dan kemudahaan yang diberikan seperti sistem auto-start, dimana sistem langsung memproses data yang diperoleh menjadi informasi tampilan saat pengguna berhasil login ke sistem, tanpa perlu melakukan pengaturan-pengaturan terlebih dahulu. Sebagai contoh adalah ketika pengguna berhasil masuk ke dalam sistem, maka akan langsung muncul informasiinformasi terkait keadaan operasi pasien ortopedi dengan menggunakan robot metode RSCM tersebut. Sebagai contoh tampilannya adalah gambar 9 di atas. Gambar tersebut menunjukkan tampilan besarnya tekanan yang diterima pada bar korektor, derajat koreksi yang perlu dilakukan dan keadaan amplitudo saraf pada torakal atas. Nilai tersebut langsung ditampilkan ketika perangkat lunak dijalankan, dan nilai tersebut akan langsung berubah ketika keadaan pada torakal atas pasien yang sedang dipantau mengalami perubahan.
5.4. Pembahasan verifikasi 5.4.1. Verifikasi ahli 1 (Dokter Ortopedi) Dokter ortopedi yang melakukan verifikasi / validasi adalah Dr. dr. Rahyussalim, SpOT(K) berikut ini adalah pembahasannya. Dikemukakan bahwa pendefinisian input, proses, dan output sudah sangat sesuai dengan kebutuhan dokter selaku pengguna. Salah satu input dan output yang didefinisikan adalah perubahan amplitudo keadaan saraf yang perlu dipantau keadaannya. Keadaan saraf sangat perlu diperhatikan untuk dalam proses operasi tulang belakang oleh karenanya digunakan IONM untuk memonitor keadaannya [17].
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Informatika medis yang melakukan verifikasi/validasi adalah Ajeng Pramastuty S.Kom, M.Si. Berikut ini adalah pembahasan dan saran yang diberikan. User interface dinilai user friendly dengan perlu peningkatan tampilan grafis yang baik serta detail (pixel by pixel). Dikemukakan bahwa kualitas output sudah sesuai karena rancangan dari sistem sudah memenuhi fungsi dasar yang diperlukan. Penilaian rancangan kemudahan akses dinilai bahwa tampilan sistem cukup sederhana dan mudah diakses. Maintenance berkala yang disarankan sudah tepat, karena akan sangat dibutuhkan pemeliharaan mengingat sistem berfungsi secara real-time serta sistem menggabungkan fungsi-fungsi sistem lain secara bersamaan. Cost effectiveness akan tercapai karena sistem ini mempersingkat beberapa proses yang biasanya tergantung pada penggunaan sistem lain secara terpisah. Salah satu cara ntuk mencapai cost effectiveness adalah dengan mengubah bagaimana pekerjaan atau aktivitas pendukung dilakukan, Information and Communication Technology (ICT) harus diberdayagunakan agar dapat mempercepat pekerjaan [19]. Hal tersebutlah yang diberikan oleh CAS RSCM ini, dimana CAS mampu menggabungkan informasi-informasi yang tadinya terpisah. Rancangan sistem ini layak untuk dilanjutkan ketahapan pembuatan prototipe.
6. Kesimpulan dan saran 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian analisis dan rancangan sistem ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Telah dibuat model sistem CAS robot ortopedi yang merupakan sebuah rancangan dan analisis perangkat lunak dengan tujuan untuk membantu dokter ortopedi mempermudah operasi tulang belakang dalam menggunakan robot ortopedi untuk metode RSCM.
31
Hasil penelitian
Masukan dari sistem CAS robot ortopedi ini didefinisikan sebagai nilai-nilai hasil pengukuran yang dilakukan oleh robot ortopedi RSCM, nilai-nilai tersebut adalah nilai tekanan pada bar korektor, besarnya derajat koreksi tulang belakang, dan nilai amplitudo keadaan saraf. Keluaran dari sistem CAS robot ortopedi didefinisikan sebagai tampilan pada layar monitor, yang memberikan informasi keadaan pasien besarnya nilai-nilai hasil pengukuran pada masukan sistem. Proses sistem CAS robot ortopedi ini didefinisikan sebagai pengkodean bahasa komputer oleh programmer dengan memperhatikan kriteria-kriteria sistem, sehingga menghasilkan perangkat lunak yang sesederhana mungkin namun mampu memberikan informasi keluaran sesuai yang diharapkan dengan efisien dan efektif dari masukan yang sudah didefinisikan sebelumnya.
6.2. Saran Saran perbaikan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Setelah sudah ada model rancangan dan analisis sistemnya, maka dapat dimulai pengembangan lebih lanjut menjadi prototipe perangkat lunaknya. Masukan yang sudah didefinisikan dapat dibuat lebih spesifik lagi dengan bantuan dari pihak teknik yang akan mengembangkan robot ortopedinya, sehingga lebih jelas masukan yang ada, yaitu dari alat pengukuran yang sudah ada atau dengan membuat mikrokontroler sendiri pada robot ortopedi tersebut. Keluaran yang sudah didefinisikan dapat diperbaiki pada perancangan tampilan antarmuka bersama dengan pengguna, sehingga pengguna sistem dapat mendapatkan informasi dengan lebih mudah lagi. Proses dapat diperbaiki sejalan dengan pengerjaan prototipe bersama programmer sehingga dapat diperoleh keluaran yang diinginkan.
Referensi [1] M. A. Asher and D. C. Burton (2006) “Adolescent idiopathic scoliosis: natural history and long term treatment effects,” Scoliosis, vol. 1, no. 1, p. 2.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
[2] M. W. Mariscalco, T. Yamashita, M. P. Steinmetz, A. A. Krish-naney, I. H. Lieberman, and T. E. Mroz (2011) “Radiation Exposure to the Surgeon During Open Lumbar Microdiscectomy and Minimally Invasive Microdiscectomy: A Prospective, Con-trolled Trial,” Spine, vol. 36, no. 3, pp. 255–260. [3] Biere, Cuesta, and van der Peet Dl (2009) “Minimally invasive versus open esophagectomy for cancer: a systematic review and meta-analysis.,” Minerva Chir., vol. 64, no. 2, pp. 121–133. [4] N. Gardner and E. Keller (2012) “eHealth Safety - A Journey Begun An Action Needed and A Program Under Development,” p. 4. [5] B. S. Sabarguna and A. Kekalih (2010) Eds., Sistem Robot Medis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. [6] V. Bozovic (2008) Medical Robotics. [7] Rahyussalim (2014) “Tahapan Teknik RSCM.” [8] J. L. Whitten, L. D. Bentley, and K. C. Dittman (2004) Metode Desain & Analisis Sistem, 6th ed. Yogyakarta: Penerbit Andi. [9] B. S. Sabarguna (2011) Softskill Terkait Keterampilan Berpikir. Jakarta: nulisbuku. [10] R. Fojtik (2011) “Extreme Programming in development of specific software,” Procedia Comput. Sci., vol. 3, pp. 1464– 1468. [11]H. M. Jogiyanto (2005) Analisis dan Desain Sistem Informasi: pendekatan terstruktur teori dan praktek aplikasi bisnis, 3rd ed. Yogyakarta: Penerbit Andi. [12] E. W. Dijkstra (1983) “The fruits of misunderstanding,” ItInf. Tech-nol., vol. 25, no. 1–6, pp. 286–289. [13] T. E. Bihari and K. Schwan (1991) “Dynamic Adaptation of Real-time Software,” ACM Trans Comput Syst, vol. 9, no. 2, pp. 143–174. [14] A. H. Eden and T. Mens (2006) “Measuring software flexibility,” IEE Proc.-Softw., vol. 153, no. 3, pp. 113–125. [15] G. Niu, B.-S. Yang, and M. Pecht (2010) “Development of an optimized condition-based maintenance system by data fusion and reliability-centered maintenance,” Reliab. Eng. Syst. Saf., vol. 95, no. 7, pp. 786–796. [16]A. Kadir (2014) Pengenalan Sistem Informasi Edisi Revisi, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Andi. [17] R. R. Lall, R. R. Lall, J. S. Hauptman, C. Munoz, G. R. Cybul-ski, T. Koski, et al (2012) “Intraoperative neurophysiological monitoring in spine surgery: indications, efficacy, and role of the preoperative checklist,” Neurosurg. Focus, vol. 33, no. 5, p. E10. [18] D. Gerhardus (2003) “Robot-assisted surgery: The future is here,” J. Healthc. Manag., vol. 48, no. 4, pp. 242–51. [19]R.N. Simanjuntak (2014). “Cost Efficiency and Effectiveness Strategy – Keys for Maximizing Profitability”.
32
Hasil penelitian
Rancang Bangun Prototipe Pulse Oximeter Genggam Berbasis Raspberry Pi B+ Hendrana T1, Ahyahudin S2, Cholid B3 1,2,3
Program Studi Teknologi Biomedis Program Pascasarjana Universitas Indonesia Gedung IASTH Lt.4, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat 10430 Tel. +62-21-3155535 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Pulse oximeter telah mendapatkan penerimaan yang luas dalam komunitas medis untuk beberapa alasan. Sejak produksi pertamanya di awal tahun 1980-an dengan mengacu pada hukum Beer-Lambert, pulse oximeter telah diakui dan dipuji karena biaya operasionalnya yang rendah serta pengoperasiannya yang mudah. Kebanyakan peralatan pulse oximeter tidak membutuhkan komponen perangkat keras yang besar. Penelitian ini bertujuan membuat prototipe pulse oximeter genggam yang dilengkapi LCD layar sentuh berbasis Single Board Computer Raspberry Pi B+ yang dapat menampilkan besar nilai saturasi oksigen (SpO2), pulse rate (PR) dan photoplethysmography (PPG). Perangkat lunak menggunakan Qt berbasis Linux, sehingga menghasilkan Graphical User Interfaces (GUI) lebih informatif. Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium eksperimental melalui pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan data primer. Peneliti berhasil membuat prototipe pulse oximeter genggam berbasis Raspberry Pi B+ yang dapat menampilkan saturasi oksigen dengan tingkat akurasi 2% dan pulse rate dengan tingkat akurasi 2 bpm serta dilengkapi dengan tampilan grafik photopletysmography. Katakunci - pulse oximeter, Raspberry Pi B +, software Qt, Beer-Lambert, SpO2, photoplethysmography
1. Pendahuluan Oksigen merupakan unsur yang sangat penting dalam menunjang kehidupan. Seperti kita ketahui kekurangan oksigen beresiko pada kerusakan organ-organ penting di dalam tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian. Peredaran oksigen ke seluruh tubuh dilakukan melalui sistem peredaran darah [1]. Hemoglobin merupakan komponen sel darah yang berfungsi mengikat oksigen, jadi dapat dianalogikan
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
hemoglobin merupakan sarana pengangkut sedangkan saturasi oksigen merupakan banyaknya muatan yang diangkut [2]. Salah satu indikator yang sangat penting untuk memonitor kadar oksigen di dalam tubuh adalah mengetahui nilai saturasi oksigen (SpO2). Saturasi oksigen merupakan jumlah hemoglobin yang mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang ada di dalam darah. Saturasi oksigen dalam darah (SpO2) dinyatakan dalam persentase [3]. Sekarang telah dikembangkan peralatan untuk mengukur saturasi oksigen secara non invasive yang dikenal dengan nama pulse oximeter. Alat ini bertujuan mengukur saturasi oksigen darah dengan observasi absorpsi gelombang optik yang melewati kulit dan berinteraksi dengan sel darah merah [4]. Pada saat ini peralatan pulse oximeter masih didatangkan dari luar Indonesia sehingga mengakibatkan adanya ketergantungan teknologi. Peralatan pulse oximeter sebenarnya memungkinkan untuk dibuat dengan komponen yang terdapat di dalam negeri. Berawal dari masalah di atas maka peneliti melakukan penelitian dengan tujuan membuat prototipe pulse oximeter genggam menggunakan LCD layar sentuh berbasis Single Board Computer (SBC) yang dapat menampilkan nilai saturasi oksigen (SpO2), pulse rate (PR) dan photoplethysmography (PPG) [5]. Penggunanan Single Board Computer dilakukan karena SBC termasuk ke dalam jenis mikroprosesor. Mikroprosesor memiliki keunggulan dalam memproses data sehingga tampilan Graphical User Interfaces (GUI) akan lebih baik dibandingkan denagan sistem mikrokontroler [6]. Blok diagram peralatan pulse oximeter dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu : probe sensor, analog front end, prosesor, monitor dan ditambah blok catu daya, seperti terlihat pada Gambar 1 [7]. LED Merah dan IR perlu diberi setting timer/clock agar LED menyala berkedip dengan frekuensi 1000 Hz. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kecepatan denyut aliran darah pada arteri. Cahaya yang diteruskan akan ditangkap oleh fototransistor
33
Hasil penelitian
yang nilai keluarannya berupa tegangan analog. Keluaran dari fototransitor kemudian dikuatkan oleh rangkaian Amplifier Cascade. Sinyal analog ini diubah menjadi sinyal digital oleh rangkaian ADC (Analog to Digital Converter). Mikroprosesor akan memproses data digital tersebut yang kemudian ditampilkan pada layar LCD.
berbasis Linux [9] dalam waktu singkat Raspberry Pi telah digunakan untuk pengembangan hobi maupun untuk merealisasikan proyek-proyek profesional. Sebagai sebuah IoT (Internet of Things), dengan cepat dan mudah Raspsberry Pi dapat start up dan berselancar di internet, atau untuk menulis program seperti layaknya sebuah kit pengembangan SDK (Software Development Kit) untuk alat tersebut.Raspberry Pimodel B+ ini dilengkapi dengan empat terminal USB 2.0 yang terhubung ke LAN 9512 combo hub / Ethernet Chip IC3. Perangkat USB itu sendiri terhubung ke hulu port USB tunggal di CPUBCM2835. Perangkat keras yang terhubung pada Raspberry Pi melalui USB memiliki tingkat dukungan yang rendah dan sederhanasehingga membutuhkan dukungan yang tinggi dari perangkat lunak agar perangkat keras tersebut dapat bekerja.
Gambar 1. Blok diagram rangkaian pulse oximeter Sumber: Moyle TB John, 2009
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan prototipe pulse oximeter mengacu pada hukum Beer-Lambert yang mendasari prinsip kerja pulse oximeter. Hukum BeerLambert menyatakan bahwa perambatan cahaya ketika melewati suatu media akan berubah secara eksponensial sesuai dengan konsentrasi larutan media serta tebal media yang dilaluinya. Hukum Beer-Lambert dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut [8]. Gambar 2. Raspberry Pi B+
I = I 0e
− ε ( λ ) cd
(1.1)
ε(λ) merupakanabsorptivity dari media, c merupakan konsentrasi dari media d merupakan ketebalan dari media Single board computer pada penelitian ini menggunakan Raspberry Pi berukuran kartu kredit yang dkembangkan oleh Raspberry Pi Foundaion. Sejatinya Raspberry Pi telah dilengkapi dengan semua fungsi layaknya sebuah komputer lengkap, menggunakan SoC (System-on-a-chip) ARM yang dikemas dan diintegrasikan diatas PCB (papan sirkuit) dengan dimensi 5.5 cm x 8.5 cm dan kebalan 2 cm (Gambar 2). Sifatnya yang kompak, lengkap, multi-guna, mudah dioperasikan dan didukung oleh komunitas yang aktif dari seluruh dunia, merupakan kunci suksesnya Raspberry Pi. Selain itu juga faktor harga yang terjangkau karena sepenuhnya didukung dengan semangat open source dan menggunakan sistem operasi
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 3. Rangkaian power supply Raspberry Pi B+ Perangkat Raspberry Pi B+ didukung oleh tegangan suplai sebesar 5Vdcmelalui terminal mikro USB. Biasanya pada model B menggunakan rentang konsumsi arus antara 700-1000mA, tergantung pada peralatan periferal yang terhubung. Konsumsi arus maksimum Raspberry Pi yang dapat gunakan adalah sekitar 1000 mA. Dibutuhkan catu daya eksternal sebesar 5 Vdc melalui mikro USB sebagai
34
Hasil penelitian
terminal catu daya yang dilengkapi sekering 2A seperti terlihat pada Gambar 3. Tegangan 5 Vdc ini kemudian melalui IC RT8020step down DC to DC menjadi 3.3 Vdc dan 1.8 Vdc. Karateristik catu daya menjadi penting pada perancangan prototipe pulse oximeter ini, karena untuk semua keperluan catu daya perangkat keras yang terhubung dengan Raspberry Pi akan bersumber dari baterai. Baterai ini hanya akan terhubung dengan Raspberry Pi sedangkan untuk perangkat keras lainnya akan mendapatkan catu daya melalui terminal GPIO dan USB dari perangkat Raspberry Pi. USB dan GPIO akan mengeluarkan output tegangan sebesar 5 Vdc dan 3.3 Vdc dengan arus maksimun 500 mA. Untuk dapat membuat firmware berbasis Linux maka peneliti menggunakan perangkat lunak Qt (dibaca qiut). Perangkat lunak Qt adalah toolkit yang digunakan untuk membangun aplikasi berbasis GUI di Unix. Qt dikembangkan oleh Trolltech dan menjadi fondasi untuk K Desktop Environment (KDE), selain juga telah dipergunakan dalam berbagai aplikasi komersial. Qt digolongkan sebagai perangkat lunak open-source karena dilisensi dual: dengan General Public License (GPL) dan Qt Public License (QPL). Peneliti menggunakan perangkat lunak Qt versi QPL yang merupakan open source. Qt dirancang untuk pengembangan aplikasi dengan C++ (Gambar 4).
harus mengubah kode program secara keseluruhan. Dengan solusi ini para programmer tidak lagi dipusingkan dengan perbedaan platform ketika melakukan pembuatan aplikasi.
2. Metode dan bahan Pada penelitian ini terdapat tiga kegiatan utama yaitu: rancang bangun prototipe pulse oximeter, uji fungsi dan melakukan verifikasi pengukuran. Tahapan rancang bangun prototipe terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: perancangan perangkat keras, perancangan perangkat lunak, merakit perangkat keras dan membuat perangkat lunak. Kemudian dilanjutkan dengan uji fungsi dan verifikasi pengukuran pada prototipe pulse oximeter. Perangkat lunak pada penelitian ini memegang peranan yang sangat penting karena berfungsi untuk mengolah data yang bersumber dari perangkat keras sehingga dapat menampilkan parameter hasil. Berikut ini merupkan alur perancangan perangkat lunak (Gambar 5, 6, 7).
Gambar 4. Aplikasi perangkat lunak Qt Oleh karenanya, Qt berisi sekumpulan kelas-kelas yang tinggal dimanfaatkan saja, mulai dari urusan antarmuka (user interface), operasi input ouput, networking, timer, template library, dan lain-lain. Qt mendukung penuh Unicode (mulai versi 2.0) sehingga urusan internationalization (I18N) dan encoding teks bukan menjadi suatu permasalahan. Walaupun merupakan free software, Qt terbukti stabil dan lengkapjika dibandingkan toolkit lain.Teknologi Qt banyak digunakan di banyak perusahan seperti Google, Skype dan sebagainya.Aplikasi yang dibuat dengan memanfaatkan Qt dapat dijalankan pada banyak platform desktop seperti Linux, Windows, dan Mac sampaikepada sistem operasi embbeded tanpa
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 5. Alur perancangan perangkat lunak
35
Hasil penelitian
kepada standar internasional yang berlaku yaitu: IEC60601-1, IEC 62366, ISO 13485, ISO 14971. Standar tersebut berlaku untuk peralatan medis secara umum. Karena pada penelitian ini menghasilkan prototipe pulse oximeter maka acuan tambahan yang digunakan adalah ISO 80601-2-61 dan SNI 16-6360-2000 yang mengatur tentang fungsi termasuk persyaratan keamanan pada peralatan pulse oximeter. Sedangkan metode verifikasi pengukuran pulse oximeter mengacu kepada ECRI 45120010301-01.
Gambar 6. Rancangan graphic user interfaces prototipe pulse oximeter
Gambar 8. Perangkat keras prototipe pulse oximeter Mengacu kepada tujuan penelitian ini yaitu membuat prototipepulse oximeter genggamberbasis single board computer yang dilengkapi LCD layar sentuh dengan menampilkan kadar saturasi oksigen (SpO2), pulse rate (PR) dan photoplethysmography (PPG). Oleh karena itu, dibutuhkan perancangan peralatan keras agar dapat memilih dan mendapatkan peralatan keras yang sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.
Gambar 7. Alur kerja penelitian Pada umumnya peralatan pulse oximeter terdiri dari tiga bagian utama yaitu: probe, CPU dan display. Kemudian dari tiga bagian utama tersebut diaplikasikan pada kebutuhan penelitian sehingga menghasilkan komposisi perangkat keras prototipe pulse oximeter yang dapat dilihat pada Gambar 8. Saat perancangan perangkat keras prototipe pulse oximeter juga memperhitungkan proses pengujian, keamanan serta fungsi peralatan yang mengacu
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 9. Diagram blok prototipe Pulse Oxymeter
36
Hasil penelitian
3. Hasil Hasil dari penelitian ini adalah berupa prototipe pulse oximeter dan data pengukuran hasil verifikasi pengukuran dari prototipe pulse oximeter. Fungsi dari perangkat keras adalah sebagai sumber data sedangkan fungsi perangkat lunak adalah sebagai penghubung antar muka perangkat keras dan pengolah data. Prototipe pulse oximeter dari hasil penelitian ini juga dapat menampilkan pada layar parameter kadar saturasi oksigen dengan satuan presentasi (%) dan pulse rate dalam satuan Beat Per Minutes (BPM). Untuk dapat menampilkan parameter kadar saturasi oksigen (SpO2), besarnya pulse rate serta grafik photopletysmography, prototipe pulse oximeter membutuhkan adanya perangkat monitor. Perangkat monitor yang digunakan pada prototipe pulse oximeter adalah LCD TFT 3.2" layar sentuh dari WaveShare. Peneliti memilih LCD dengan spesifikasi yang menggunakan antar muka GPIO karena bentuknya simpel dan tidak membutuhkan kabel tambahan serta tidak membutuhkan catu daya tambahan.Tidak semua jenis LCD cocok digunakan untuk pemakaian di Raspberry Pi B+. Pilihan jatuh ke LCD TFT 3.2" layar sentuh produk WaveShare selain ukurannya yang tidak berbeda jauh dengan ukuran perangkat Raspberry Pi B+. Sehingga ketika kedua perangkat digabungkan dapat menjadi peralatan yang mudah untuk digenggam, sesuai dengan tujuan dari peneltian ini.
pada perangkat Raspberry Pi B+. Pemograman tampilan General User Interfaces (GUI) dapat dilakukan langsung menggunakan Qt Creator atau dapat juga dilakukan melalui Qt Designer.
Gambar 11. Tampilan GUI melalui Qt Creator Prinsip kerja dari prototipe pulse oximeter diawali ketika finger sensor memberikan sinyal analog berupa hasil rasio absorsi antara LED merah dengan LED infrared yang ditangkap oleh photo detector. Untuk mengolah data input dari finger sensor probe tersebut maka dibutuhkan front end amplifier SpO2. Sinyal analog dari finger sensor, kemudian diperkuat dan dirubah oleh front end menjadi data digital yang terbagi menjadi 5 byte dengan masingmasing byte terdiri dari 8 bit data. Byte pertama memberikan informasi tentang kualitas koneksi. Byte kedua memberikan informasi tentang photoplethysmography denyut jantung. Byte ketiga memberikan informasi tentang kekuatan signal. Byte keempat memberikan informasi tentang pulse rate. Byte kelima memberikan informasi tentang saturasi oksigen.
Gambar 10. Pemasangan LCD melalui GPIO Raspberry PI B+ Pembuatan Perangkat lunak pada penelitian ini berupa aplikasi pulse oximeter sehingga parameter besarnya saturasi oksigen, pulse rate dan grafik photoplethysmography dapat ditampilkan pada layar LCD. Terdapat tiga kegiatan awal sebelum membuat aplikasi pusle oximeter, yaitu: memasang sistem operasi pada Raspberry Pi B+, memasang driver LCD WaveShare dan memasang perangkat lunak Qt pada Raspberry Pi B+. Setelah kegiatan awal tersebut, pemograman utama yaitu membuat aplikasi pulse oximeter baru dapat dilaksanakan. Pemograman aplikasi pulse oximeter langsung dilakukan
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Gambar 12. Prototipe pulse oximeter berbasis Raspberry Pi B+
37
Hasil penelitian
Tabel 1. Hasil verifikasi pengukuran SpO2 Untuk dapat menjadikan project SPO2 menjadi suatu aplikasi mandiri maka program tersebut harus melewati proses compile. Pada Qt proses compile dimulai dengan perintah run qmake. Peritah qmake menghasilkan berkas Makefile. Apabila tidak ada kesalahan pada proses qmake maka dengan menggunakan perintah Run, proses compile dimulai. Hasil dari proses compile merubah berkas-berkas pada header, source dan form menjadi berkas-berkas dengan nama yang sama namun ekstensinya menjadi berakhiran o (.o).
Parameter
Gold Standard
Rata-rata
Koreksi
85
86.00
-1.00
90
90.83
-0.83
95
95.67
-0.67
100
100.83
-0.83
SpO2 (%)
Tabel 2. Hasil verifikasi pulse rate
Parameter
Gold Standard
Rata-rata
60
60.00
0.00
80
80.00
0.00
120
120.33
-0.33
180
180.00
0.00
Pulse Rate (bpm)
Koreksi
4. Kesimpulan dan saran 4.1. Kesimpulan
Gambar 13. Source code
Prosedur verifikasi pengukuran untuk peralatan pulse oximeter mengacu kepada ECRI 451-20010301-01. Berikut ini merupakan hasil verifikasi pengukuran pada peralatan prototipe pulse oximeter.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini menghasilkan prototipe pulse oximeter genggamberbasis single board computer Raspberry Pi B+ dilengkapi LCD layar sentuh yang dapatmenampilkan kadar saturasi oksigen (SpO2), pulse rate (PR) dan photoplethysmography (PPG). 2. Hasil verifikasi pengukuran nilai kadar SpO2 dari prototipe pulse oximeter nilai rata-ratanya pada posisi 85% nilai rata-ratanya adalah 86%, pada posisi 90% nilai rata-ratanya adalah 90.83%, pada posisi 95% nilai rata-ratanya adalah 95.67% dan pada posisi 100% nilai rata-ratanya adalah 100.83%.
38
Hasil penelitian
3. Hasil verifikasi pengukuran nilai pulse ratedari prototipepulse oximeter pada posisi 60bpm nilai rataratanya adalah 60.00bpm,pada posisi 80bpm nilai rataratanya adalah 80.00bpm, pada posisi 120 bpm nilai rata-ratanya adalah 120.33bpm dan pada posisi 180bpm nilai rata-ratanya adalah 180.00bpm.
4.2. Saran Saran untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Prototipe pulse oximeter yang dihasilkan pada penelitian ini hanya menggunakan alarm dengan indikator visual untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dibuat alarm secara audio. 2. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi wireless pulse oximeter. 3. Diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan ke tahap produksi untuk menghasillkan pulse oximeter buatan Indonesia.
J. Tek Biomed Ind vol.1 no.2
Referensi [1] Kipge K. (2009) “Photoplethysmography device for multipurpose blood circulatory system assessment”. Latvia: University of Latvia. [2] Guyton A.C. (1996) “Buku ajar fisiologi edisi tujuh”, Jakata: Jakarta EGC. [3] Fox S.I. (2006) “Human physiology”, New York: McGrawHill. [4] Webster J.G. (1997) “Design of pulse oximeters”, Bristol : Institute of Physics Publishing”. [5] A. Omar (2011) “Adaptive filtering by non-invasive vital signalsmonitoring and diseases diagnosis,” Karlsruhe: Lino Garcia. [6] Sanjeetha S.J., P.A.C. Raj (2013) “Pulse oximeter using psoc”, International Journal of Innovative Technology and Exploring Engineering (IJITEE) ISSN: 2278-3075, Volume2, Issue-4. [7] Moyle T.B. John (2009) “Pulse oximetry”, London: BMJ Books. [8] Kennedy (2014) “Introduction to pulse oximeters equations and theory”. Madison: University of Wisconsin. [9] Reddy S., Narayanaraju S., Bhujanga R. (2013) “Design and implementation of a four parameter patient monitoring system based on embedded linux”, International Journal of Engineering Trends and Technology, Volume 2013; 4(8): 3682–3686.
39